BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak masa reformasi media massa di Indonesia mengalami perkembangan pesat. Mulai dari media cetak seperti surat kabar dan majalah hingga munculnya saluran-saluran baru radio dan televisi. Dari segi isi dan pemberitaan, media juga dapat dikatakan lebih „berani‟ dalam mengomentari kebijakan pemerintah atau memberitakan realita di masyarakat. Guy Cook menyebut tiga hal sentral dalam pengertian wacana, yaitu teks, konteks dan wacana. Eriyanto kemudian menjelaskan ketiga makna tersebut, “Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks diproduksi. Wacana disini kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama.” Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa teks memiliki peranan yang signifikan dalam pembentukan wacana. Hal ini dapat dilihat misalnya pada wacana mengenai pendidikan di Indonesia, salah satunya yaitu wacana yang berkembang mengenai lembaga pendidikan agama, dalam hal ini yaitu pondok pesantren. Dalam pembentukan suatu wacana, media massa dapat menempatkan peranan sangat penting. Pembentukan wacana di masyarakat tidak hanya 2 melalui media massa seperti televisi atau surat kabar saja. Novel dianggap sebagai salah satu media massa yang dapat mewacanakan sesuatu atas interpretasi penulis dalam melihat fenomena yang terjadi di masyarakat. Dalam sebuah novel, cerita yang disampaikan mengandung suatu pesan yang diharapkan dapat menjadi acuan atau pengetahuan baru bagi masyarakat. Novel Negeri 5 Menara merupakan novel yang mengangkat tentang pendidikan Islam. Novel ini berbeda dengan novel Islam lainnnya yang mengangkat Islam dari segi percintaan. Novel ini juga menjadi salah satu novel best seller nasional dan akan difilmkan karena adanya kata hikmah yang ditampilkan dalam novel tersebut. Novel dengan cerita latar belakang pendidikan pesantren memang tidak cukup banyak. Tema-tema yang diangkat juga tidak jauh dengan model pemberitaan yang dapat kita lihat di televisi atau kita baca di surat kabar saat ini. Sebut saja misalnya Pesantren Impian karya Asma Nadia, menceritakan mengenai pesantren di ujung propinsi Nangroe Aceh Darussalam tempat mantan kriminal, anak-anak korban kekerasan rumah tangga atau korban pelecehan seksual yang ingin bertaubat, merupakan penggambaran pesantren sebagai sebuah tempat rehabilitasi. Novel yang diangkat ke layar lebar berjudul Perempuan Berkalung Sorban, sebuah novel karya Abidah El Khalieqy mengangkat cerita santri yang memberontak dengan aturan pesantren yang menurutnya kaku dan mendeskreditkan dirinya sebagai perempuan, merupakan penggambaran pesantren sebagai lembaga pendidikan yang tidak cukup 3 mumpuni dalam menyikapi kehidupan yang lebih modern, bahkan dapat dikatakan tidak mampu bersaing dengan lembaga pendidikan non agama. Hal berbeda mengenai dunia pesantren ditampilkan Ahmad Fuadi, penulis trilogi novel Negeri 5 Menara. Novel yang terinspirasi oleh kisah yang dialami penulis selama mengenyam pendidikan pesantren di Pondok Modern Gontor ini, membawa wacana baru mengenai dunia pesantren. Wacana dan realita yang berbeda dengan pemberitaan mengenai pesantren di media massa maupun novel bergenre pesantren sebelumnya. Suksesnya Negeri 5 Menara sebagai salah satu novel yang bertemakan pendidikan ini mengangkat tentang kehidupan di sebuah pesantren modern dengan pola pendidikan dan komunikasi pengajaran ala pesantren yang berbeda dari pesantren-pesantren lain di Indonesia. Salah satu metode pengajaran yang digambarkan Fuadi adalah bagaimana para santri dapat berkomunikasi secara fasih dengan dua bahasa asing selama 24 jam dalam waktu 4 bulan saja. Metode pendidikan yang dalam pesantren tidak hanya berkutat masalah agama, tetapi ada kesinambungan antara ilmu agama dan ilmu umum. Selain itu juga, pesantren merupakan tempat para santri berkreasi mengembangkan bakatnya, mulai dari seni, musik, fotografi, dan olahraga. Novel Negeri 5 Menara selain berisi banyak kalimat-kalimat pembangkit semangat dari para Kiai dan Ustadz, buku ini juga menceritakan bagaimana kehidupan di sebuah „kamp konsentrasi‟ berlabelkan pondok yang sangat menarik. Selama ini kita mungkin diliputi dengan stereotipe bahwa jika 4 seseorang belajar ke pondok, maka orang itu hanya akan belajar agama, mengaji, ceramah dan dituntun untuk menjadi seorang Ustadz. Seiring dengan kuatnya arus modernisasi dan liberalisasi, secara perlahan tapi pasti model pendidikan ala pondok pesantren mulai kurang diminati oleh generasi muda sekarang. Hal ini tercermin dari semakin berkurangnya jumlah santri di sebagian besar pondok pesantren di nusantara. Masyarakat semakin bersifat hedonis dan pragmatis sebagai dampak modernisasi dan globalisasi sehingga biasanya masyarakat cenderung lebih memilih model pendidikan yang lulusannya siap bekerja di dunia industri, perkantoran atau menjadi Pegawai Negeri Sipil. Sementara itu pondok pesantren selama ini memang dikhususkan untuk mencetak ulama guna mengembangkan agama saja. Dengan demikain pesanteran kurang mampu memenuhi tuntutan pasaran kerja masyarakat modern yang berdasarkan keterampilan atau skill, ilmu pengetahuan dan penguasaan teknologi modern. Ahmad Fuadi dalam novelnya menceritakan pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang tidak kalah dengan lembaga pendidikan non agama baik negeri maupun swasta. Pesantren tidak hanya tempat buangan anakanak nakal atau korban kekerasan dalam rumah tangga atau anak-anak yang nilainya tidak cukup untuk masuk ke lembaga pendidikan negeri atau tidak memiliki cukup dana untuk masuk ke lembaga pendidikan swasta. Fuadi menggambarkan bahwa pesantren seharusnya menjadi tempat untuk mendidik bibit-bibit unggul calon-calon da‟i dan menjadi tempat untuk mendalami pendidikan agama. 5 Cerita dalam novel ini berangkat dari seorang remaja bernama Alif Fikri berasal dari Maninjau, Sumatera Barat yang baru saja lulus Madrasah dan bercita-cita untuk masuk SMA bersama dengan sahabatnya, Randai. Namun keinginannya bertolak dengan putusan orang tuanya yang menginginkan ia untuk masuk kembali ke Madrasah, tujuannya mulia, agar anaknya menimba ilmu agama agar dapat turut membangun bangsa ini agar tercipta bangsa yang tidak hanya berilmu, namun juga beragama. Alif yang begitu bertekad untuk masuk SMA dan bertolak ke perguruan tinggi nantinya kecewa. Hasil diskusi alot dengan orangtuanya menghasilkan sebuah keputusan besar dalam hidupnya, ia memutuskan untuk „menghukum‟ orang tuanya untuk sekalian saja masuk ke sebuah Pondok (atau pesantren) di daerah Jawa Timur, Pondok Madani (yang dicatatan penulis, bernama asli Pondok Modern Gontor). Alif bertemu dengan banyak teman baru di Pondok Madani, ada Baso, anak pintar yang giat menghafidz Al-Quran, Raja dengan kemampuan bahasanya yang luar biasa, Dulmadjid dan Atang yang rajin, serta Said si penyuka olahraga. Mereka berenam, bersama-sama menjalani suka-duka selama mengikuti pendidikan di Pondok Madani, dari dihukum jewer kolektif oleh keamanan, berlibur sejenak tiap jumat ke Ponorogo, sampai bersaing dalam menarik perhatian lawan jenisnya yang memang jarang muncul di pondok. Di pesantren atau pondok tersebut Alif menemukan metode pembelajaran yang baru berbeda dengan madrasyah yang ia tempati dulu. Di 6 tempat ini selain mengajarkan tentang agama, juga mengajarkan tentang bagaimana menghadapi dunia luar. Hal ini ditunjang dengan berbagai macam fasilitas-fasilitas pendidikan yang masih kurang ditemukan di sekolahsekolah lain. Novel Negeri 5 Menara ini menceritakan tentang pengalaman dan perjuangan hidup Alif Fikri dalam menempuh pendidikannya di Pondok Madani yang jauh dari sanak saudaranya dengan paksaan orang tuanya yang pada akhirnya menjadi sebuah anugerah, novel ini dituangkan dengan bahasa ringan sehingga mudah dipahami oleh pembaca. Novel ini juga membahas betapa dahsyatnya kalimat “Man jadda wajada” sehingga mampu memberikan sebuah inspirasi bagi pembaca untuk lebih bersungguh-sungguh dalam melakukan kegiatan apapun. Novel ini pun mendapat sambutan yang cukup luas dari khalayak masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya apresiasi dan testimoni yang diberikan oleh tokoh-tokoh pakar pendidikan maupun public figure lainnya, salah satu tokoh masyarakat yang memberikan testimoni terhadap novel ini adalah bapak mantan presiden RI yang ketiga, Bj Habibie. Beliau mengatakan, “Novel yang berkisah tentang generasi muda bangsa ini penuh motivasi, bakat, semangat, dan optimisme untuk maju dan tidak mudah menyerah, merupakan pelajaran yang amat berharga bukan saja sebagai karya seni, tetapi juga tentang proses pendidikan dan pembudayaann untuk terciptanya sumber daya insani yang handal. Andaikan banyak bangsa yang mempunyai banyak kesempatan dan pengalaman seperti mereka, akan 7 beruntunglah bangsa Indonesia dalam mewujudkan masa depannya yang maju dan sejahtera, yang disegani dan sejajar dengan bangsa-bangs lain.” (Fauadi, 2010:407) Dalam kurun waktu tiga bulan sejak cetakan pertama, novel ini kemudian menjadi Best Seller dan sudah mencapai cetakan kesembilan dalam kurun waktu satu tahun. Negeri 5 Menara dan A. Fuadi menerima penghargaan sebagai Buku dan Penulis Fiksi Terfavorit 2010 dari Anugerah Pembaca Indonesia pada bulan Desember 2010. Penghargaan ini berdasarkan pilihan dari 7.629 pembaca yang mengikuti polling di internet. Sebuah prestasi tersendiri untuk novel bertema pendidikan pesantren dengan tokoh utama para santri. Hal-hal seperti ini tidak biasanya dipublikasikan secara luas dalam media. Oleh karena itu, masalah ini menjadi menarik untuk diteliti. Apakah tata bahasa yang dipergunakan dalam novel Negeri 5 Menara dapat mengkonstruksi bagaimana pola pendidikan dan komunikasi pengajaran di lingkungan pesantren. Ketertarikan terhadap masalah-masalah sosial dari aspek kehidupan yang menyangkut nilai-nilai kemanusiaan khususnya nilai pendidikan dan agama,serta ketertarikan terhadap wacana-wacana yang hadir dalam novel Negeri 5 Menara karya A.Fuadi inilah yang menjadi dasar penulis ingin melakukan penelitian mengenai konstruksi dunia pendidikan pesantren dalam novel Negeri 5 Menara. Konstruksi dunia pendidikan pesantren ini dianalisis dengan teori analisis wacana Sara Mills karena teori ini memusatkan perhatian bagaimana 8 posisi-posisi aktor ditampilkan dalam teks. Selain itu Sara Mills juga memusatkan perhatian pada bagaimana pembaca dan penulis ditampilkan dalam teks. Berdasarkan hal-hal yang dipaparkan di atas, penulis memilih untuk mengkaji novel Negeri 5 Menara ke dalam bentuk skripsi dengan judul : Konstruksi Dunia Pendidikan Pesantren dalam Novel Negeri 5 Menara (Analisis Wacana) B. Rumusan Masalah Dari pembahasan latarbelakang di atas maka penulis dalam penelitian ini menetapkan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana konstruksi dunia pendidikan pesantren dalam novel Negeri 5 Menara karya A. Fuadi? 2. Apa pesan-pesan tentang nilai-nilai pendidikan yang disampaikan oleh penulis dalam Novel Negeri 5 Menara? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah 1) Untuk mengetahui konstruksi dunia pendidikan pesantren dalam novel Negeri 5 Menara. 2) Untuk mengetahui pesan tentang nilai-nilai pendidikan yang disampaikan oleh penulis yang di tampilkan dalam Novel Negeri 5 Menara 9 2. Kegunaan Penelitian 1. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi konstribusi terhadap perkembangan teori komunikasi dalam kaitannya dengan studi mengenai analisis wacana kritis teks. Selain itu penelitian ini diharapkan menjadi acuan untuk menengetahui kepentingan dan kekuasaan teks-teks yang bertemakan pendidikan. 2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca agar lebih kritis terhadap informasi yang disajikan media D. Kerangka Konseptual 1. Novel sebagai Media Novel adalah sebuah teks naratif . novel menceritakan kisah yang merepresentasi suatu situasi yang dianggap mencerminkan kehidupan nyata atau untuk merangsang imajinasi. Sering dalam proses pengisahannya novel merujuk secara langsung atau tidak langsung ke teks-teks lain. Di dalam teori semiotika mutakhir, aspek penarasian seperti ini dinyatakan sebagai intekstualitas. Interteks adalah teks narasi lain yang dimainkan oleh novel melalui pengutipan atau implikasi. Sebuah novel juga bisa memiliki subteks, yaitu kisah yang secara implisit terkandung di dalamnya yang mendorong sebuah narasi di permukaan (Danesi, 2010:75). Novel dalam proses komunikasi secara sederhana dapat dipahami sebagaimana dikemukakan oleh Harols Laswell (Effendy, 2003:253), who says what which channel to whom with what effect? Teori ini menunjukan A. Fuadi hadir sebagai komunikator (who says), kisah siswa-siswa dalam sebuah 10 pesanter di maknai sebagai pesan (what say), tulisan A. Fuadi berupa novel yang berfungsi sebagai saluran (in channel), sementara komunikan adalah masyarakat luas dan aktivis pendidikan, dan efeknya dapat berupa perilaku sikap dan perilaku dalam hubungan dengan elemen pendidikan. 2. Bahasa ,Teks, Konteks dan Makna a. Bahasa Bahasa, bagi linguistik, yaitu sistem tanda bunyi yang disepakati untuk dipergunakan oleh para anggota kelompok masyarakat tertentu dalam bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri (Kushartanti, 2009:3). Bahasa merupakan alat komunikasi yang penting bagi manusia sehingga dalam kenyataannya bahasa menjadi aspek penting dalam melakukan sosialisasi atau interaksi sosial. Menurut Ferdinand de Saussure (Littlejohn, 2009: 155-156), bahasa yang berbeda menggunakan kata-kata yang berbeda untuk hal yang sama dan biasanya ada hubungan secara fisik antara sebuah kata dan acuannya. b. Teks Teks adalah suatu kesatuan bahasa yang memiliki isi dan bentuk, baik lisan maupun tulisan yang disampaikan oleh seorang pengirim kepada penerima untuk menyampaikan pesan tertentu. Menurut Guy Cook (Eriyanto,2009:9), teks merupakan semua bentuk bahasa, bukan hanya katakata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya. 11 c. Konteks Konteks menurut Guy Cook (Eriyanto,2009:9) merupakan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi di mana teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan lain sebagainya. Ada beberapa konteks yang penting karena berpengaruh pada produksi wacana. Pertama, partisiapan wacana, latar siapa yang memproduksi wacana. Jenis kelamin umur,pendidikan, kelas sosial,etnis, agama, dalam banyak hal yang sangat relevan dalam menggambarkan suatu wacana. Kedua, settingan sosial tertentu, seperti tempat, waktu, posisi pembicara dan pendengar atau lingkungan fisik adalah konteks yang berguna untuk menerti suatu suatu wacana. Situasi sosial dan aturan yang melingkupinya berbeda menyebabkan partisipan komunikasi harus menyesuaikan diri dengan konteks yang ada. d. Makna Makna pada umumnya dibedakan atas makna yang bersifat denotatif dan bersifat konotatif. Makna kata yang tidak mengandung makna atau perasaan-perasaan tambahan disebut makna denotatif , sedangkan makna kata yang menagndung arti tambahan, perasaan tertentu, atau nilai rasa tertentu di samping makna dasar yang umum disebut makna konotatif atau konotasi (Keraf, 2010: 27-31) Makna merupakan kesatuan mental penegtahuan dan pengalaman yang terkait dengan lambang bahasa yang mewakilinya. Analisis makna 12 dapat dilakukan melalui prototipe yang artinya representasi mental yang mewakili contoh terbaik satu konsep tertentu. Pembentukan prototipe dipengaruhi latar belakang sosial budaya dan lingkungan suatu masyarakat bahasa (Kushartanti, 2009: 121 – 122). Makna menurut Devito berasal dari dalam diri manusia,makna tidak terletak pada kata-kata melainkan pada manusia. Ia mengatakan, “Kita menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang ingin kita komunikasikan. Tetapi kata-kata tidak secara sempurna dan lengkap menggambarkan makna yang kita maksudkan. Demikian pula, makna yang didapat pendengar dari pesan-pesan kita akan sangat berbeda dengan makna yang ingin kita komunikasikan. Komunikasi adalah proses yang kita pakai untuk mereproduksi, di benak pendengar, apa yang ada dalam benak kita. Reproduksi ini hanyalah sebuah proses parsial dan selalu bisa salah” (dalam Sobur, 2009: 20). 3. Konstruksi atas Realitas Sosial Realitas sosial adalan hasil ciptaan kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingya. Dunia sosial yang dimaksud oleh George Simmel (Veeger dalam Bungin,2008:12),bahwa realitas dunia sosial itu berdiri sendiri di luar individu, yang menurut kesan kita bahwa realitas itu “ada” dalam diri kita dan hukum yang menguasai. Hugh Mehan dan Houtson Wood dalam buku “The Production Of Reality” (O‟Brien, 2001: 356), melihat realitas mempunyai ciri-ciri yaitu realitas sebagai kegiatan refleksif, realitas sebagai tubuh pengetahuan yang 13 koheren, realitas sebagai kegiatan interaksional, kerapuhan pada realitas, penyerapan atas realitas. Pada kenyataannya realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran individu, baik di dalamnya maupun di luar realitas tersebut. Realitas memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara subyektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara obyektif. Individu mengkonstruksikan realitas sosial, dan merekonstuksikannya ke dalam dunia realitas, memantapkan realitas berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi sosialnya. Istilah Konstruksi sosial atas realitas (social constructionof reality) diperkenalkan oleh Peter L.Belger dan Thomas Luckmann. Mereka menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksi, yang mana individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Belger dan Luckmann (1990) mulai menjelaskan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman “kenyataan” dan “pengetahuan”. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas yang diakui sebagai keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri. Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas nyata (real) dan memiliki karateristik spesifik. Menurut Berger dan Luckman (1990) Realitas sosial dikonstruksi melalui tiga proses: (1) eksternalisasi (penyesuaian diri) dengan dunia 14 sosiokultural sebagi produk manusia, (2) objektivitas yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan,dan (3) internalisasi yaitu proses di mana individu mengidentifikasikan dirinya dalam lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat indivudu menjadi anggotanya. Eksternalisasi dipengaruhi oleh stock of knowledge (cadangan pengetahuan) yang dimilikinya. Cadangan sosial pengetahuan adalah akumulasi dari common sense knowledge (pengetahuan akal-sehat).3 Common sense adalah pengetahuan yang dimiliki individu bersama individu-individu lainnya dalam kegiatan rutin yang normal, dan sudah jelas dengan sendirinya, dalam kehidupan sehari-hari (Berger, 1990: 34). Obyektivasi yaitu manusia memanifestasikan diri dalam produkproduk kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur dari dunia bersama (Berger,1990: 49). Masyarakat sebagai realitas obyektif menyiratkan pelembagaan di dalamnya. Proses pelembagaan (institusionalisasi) diawali oleh eksternalisasi yang dilakukan berulang-ulang –sehingga terlihat polanya dan dipahami bersama- yang kemudian menghasilkan pembiasaan (habitualisasi). Dengan habitualisasi tindakan yang sering diulangi menjadi suatu pola yang mana pola tersebut dapat dilakukan kembali di masa akan datang dengan cara yang sama. Habitualisasi yang telah berlangsung memunculkan pengendapan dan tradisi. Pengendapan dan tradisi terjadi apabila beberapa individu mengalami suatu biografi bersama, di mana 15 pengalaman-pengalamannya yang lalu menjadi bagian dari cadangan pengetahuan bersama dan kemudian diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Disinilah terdapat peranan di dalam tatanan kelembagaan, termasuk dalam kaitannya dengan pentradisian pengalaman dan pewarisan pengalaman tersebut. Jadi, peranan mempresentasikan tatanan kelembagaan atau lebih jelasnya; pelaksanaan peranan adalah representasi diri sendiri. Peranan mempresentasikan suatu keseluruhan rangkaian perilaku yeng melembaga, misalnya peranan hakim dengan peran-peran lainnya di sektor hukum. Masyarakat sebagai realitas obyektif juga menyiratkan keterlibatan legitimasi. Legitimasi merupakan obyektivasi makna tingkat kedua, dan merupakan pengetahuan yang berdimensi kognitif dan normatif. Legitimasi bukan hanya menganyangkut masalah nilai-nilai tetapi juga menjelaskan atau mengimplikasikan suatu “pengetahuan”. Legitimasi berfungsi untuk membuat obyektivasi yang sudah melembaga menjadi masuk akal secara subyektif. Berger dan Luckmann (1990: 186) mengemukakan internalisasi adalah pemahaman atau penafsiran yang berlangsung dari suatu peristiwa obyektif sebagai pengungkapan suatu makna, dimana sebagai suatu manifestasi dari proses-proses subyektif dari orang lain yang demikian menjadi bermakna secara subyektif bagi individu sendiri. Internalisasi berlangsung seumur hidup melibatkan sosialisasi, baik primer maupun sekunder. Sosialisasi primer adalah sosialisasi yang pertama yang dialami 16 individu dalam masa kanak-kanak, yang dengan itu ia menjadi anggota masyarakat. Sedangkan sosialisasi sekunder yaitu setiap proses berikutnya yang mengimbas individu yang sudah disosialisasikan itu ke dalam sektorsektor baru dunia obyektif masyarakatnya (Berger, 1990: 187). Dalam proses mengkonstruksi, individu berperan aktif sebagai pembentuk, pemelihara, sekaligus perubah masyarakat. Pekerjaan media pada hakikatnya adalah mengonstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkatnya, maka seluruh isi media merupakan realitas yang dikonstruksikan. Sedangkan bahasa bukan saja alat untuk merepresentasikan realitas, namun juga bisa menentukan bentuk seperti apa yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Bahasa bukan cuma mampu mencerminkan realitas, tetapi sekaligus menciptakan realitas. Oleh karena itu, media massa melakukan berbagai tindakan dalam konstruksi realitas dimana hasil akhirnya berpengaruh terhadap pembentukan makan suatu realitas. Media massa tidak hanya dianggap sebagai penghubung antara pengirim pesan kepada penerima pesan. Intinya terletak pada bagaimana pesan/teks berinteraksi dengan orang untuk memproduksi makna. (Fiske, dalam Sobur 2009: 93). 4. Pendekatan Analisis Wacana Kritis Analisis wacana adalah studi tentang stuktur pesan dalam komunikasi atau telaah mengenai fungsi (prakmatik) bahasa. Analisis wacana lahir dari kesadaran bahwa persoalan yang terdapat dalam komunikasi bukan terbatas 17 pada penggunaan kalimat, fungsi ucapan, tetapi juga mencakup struktur pesan yang lebih kompleks yang disebut wacana (Littlejohn, dalam Sobur, 2009: 48). Dalam analisis wacana kritis, konteks sangat berperan dalam wacana seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana di sini dipandang diproduksi, dimnegerti dan dianalisis pada sustu konteks tertentu. Mengikuti Guy Cook (Eriyanto, 2009:9) analisis wacana memeriksa konteks dari komunikasi: siapa yang mengkomunikasikan dengan siapa dan mengapa; dalam jenis khalayak dan situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi; hubungan untuk setiap masing-masing pihak. Guy Cook juga menyebutkan tiga hal yang menjadi sentral dalam pengertian wacana : teks, konteks dan wacana. Titik perhatian dari analisis wacana adalah bagaimana penggambaran teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi. Adapun analisis wacana kritis yang dijadikan perangkat analisis adalah analisis wacana Sara Mills. Analisis wacana Sara Mills melihat bagaimana posisi aktor ditempatkan dalam teks. Posisi –posisi ini dalam arati siapa yang menjadi subjek penceritaan dan siapa yang menjadi objek penceritaan akan menentukan bagaimana stuktur teks dan bagaimana makna diperlakukan dalam teks secara keseluruhan. Selain itu Sarah Mills juga memusatkan perhatiannya pada bagaimana pembaca dan penulis ditampilkan dalam teks. Bagaimana pembaca mengidentifikasikan dan menempatkan dirinya dalam penceritaan teks. Posisi semacam ini akan menempatkan 18 pembaca pada salah satu posisi dan mempengaruhi bagaimana teks itu hendak dipahami dan bagaimana pula aktor sosial itu ditempatkan (Eriyanto,2009:200) Berikut ini tabel kerangaka analisis wacana Sarah Mills : Tingkat Posis Subjek-Objek Yang Ingin dilihat Bagaimana peristiwa dilihat, dari kacamata siapa peristiwa itu dilihat. Siapa yang diposisikan sebagai pencerita (subjek) dan siapa yang menjadi objek yang diceritakan. Apakah masingmasing aktor dan kelompok sosial mempunyai kesempatan untuk menampilkan dirinya sendiri, gagasan ataukah kehadirannya, gagasan yang ditampilkan oleh kelompok/orang lain. Posisi Penulis-Pembaca Bagaimana posisi pembaca ditampilkan dalam teks. Bagaimana pembaca memposisikan dirinya dalam teks yang ditampilkan. Kepada kelompok manakah pembaca mengidentifikasi dirinya. Sumber : Eriyanto, Analisis Wacana 2009 Dari tabel di atas Sara Mills lebih menekankan pada posisi dari berbagai aktor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa yang ditempatkan dalam teks. Posisi-posisi tersebut pada akhirnya menentukan bentuk teks yang hadir di tengah khalayak. Wacana media bukanlah sarana yang netral, tetapi 19 cenderung menampilkan aktor tertentu sebagai subjek yang mendefinisikan peristiwa atau kelompok tertentu Posisi itulah yang menentukan semua bangunan unsur teks, dalam arti pihak yang mempunyai posisi tinggi untuk mendefinisikan realitas akan menampilkan peristiwa aatau kelompok lain ke dalam struktur wacana tertentu yang akan hadir kepada khalayak (Eriyanto,2009:201). Menurut Sarah Mills (Eriyanto,2009:203) teks adalah suatu negoisasi antara penulis dan pembaca. Oleh karena itu, pembaca disini tidaklah dianggap hanya sebagai pihak yang menerima teks, tetapi juga ikut melakukan transaksi sebagaiman akan terlihat dalam teks. Dalam mempelajari konteks tidak cukup hanya konteks dari sisi penulis saja tetapi perlu juga mempelajari konteks dari sisi pembaca. Dari paparan tersebut, maka kerangka konsep dari penelitian ini adalah : Novel Negeri 5 Menara Konstruksi pendidikan dan pengajaran di pesantren dalam Novel Negeri 5 Menara Analisis Wacana Sara Mills Konstruksi Dunia Pendidikan pesantren di Indonesia Posisi Subjek-Objek Posisi PenulisPembaca 20 E. Definisi Operasional 1. Konstruksi adalah menghadirkan bentukan realitas pendidikan pesantren yang ditampilkan dalam novel Negeri 5 Menara 2. Pendidikan Pesantren Pendidikan Islam tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar ilmu-ilmu keagamaan di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan kyai. Asrama untuk para siswa tersebut berada dalam komplek pesantren dimana kyai bertempat tinggal. 3. Novel Negeri 5 Menara Negeri 5 Menara karangan A.Fuadi salah satu novel yang bertemakan pendidikan ini mengangkat tentang kehidupan di sebuah pesantren modern dengan pola pendidikan dan komunikasi pengajaran ala pesantren yang berbeda dari pesantren-pesantren lain di Indonesia. 4. Analisis Wacana Analisis wacana adalah metode penelitian yang memfokuskan pada pengkajian struktur pesan dan makna dalam komunikasi. Analisis wacana mengkaji muatan pesan, nuansa, dan makna yang tersembunyi dalam teks yang menggunakan pendekatan interpretatif dengan mengandalkan interpretasi dan penafsiran peneliti. F. Metode penelitian 1. Tipe Penelitian Tipe penelitian ini menggunakan pendekatan kualitaif. Penelitian ini dilakukan dengan melihat konteks permasalahan secara utuh dengan 21 fokus penelitian pada proses bukan pada hasil. Dalam penelitian kualitatif, peneliti secara langsung yang mengumpulkan data atau informasi yang didapat dari subyek penelitian. Pada penelitian ini data-data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka. Hal ini dilakukan seperti orang merajut sehingga setiap bagian ditelaah satu demi satu (Moeloeng, 2002: 6). 2. Objek dan Waktu Penelitian 1. Objek Penelitian Novel yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah seluruh isi cerita yang terdapat dalam novel “Negeri 5 Menara” karya Ahmad Fuadi (A. Fuadi), yang terdiri dari xiii+423 halaman. Peneliti menggunakan novel cetakan kesembilan, November 2010 yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 2. Waktu Penelitian Waktu penelitian dimulai dari bulan Juni sampai Agustus tahun 2011. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis adalah melalui: a. Pengumpulan data berupa teks-teks tertulis dari novel Negeri 5 Menara serta sejumlah data yang berkaitan dengan objek penelitian tersebut, seperti berita-berita terkait, biografi penulis/penerjemah dan dokumen-dokumen lainnya. b. Penelitian pustaka (library research) dengan mengkaji dan mempelajari berbagai literatur yang berkaitan dengan 22 permasalahan yang diteliti untuk mendukung asumsi sebagai landasan teori permasalahan yang dibahas. c. Penelusuran data online, yaitu menelusuri data dari media online seperti internet sehingga peneliti dapat memanfaatkan data informasi online secepat dan semudah mungkin serta dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Peneliti memilih sumber-sumber data online mana yagn kredibel dan dikenal banyak kalangan. 4. Analisis Data Untuk teknik analisis data, penulis menggunakan kerangka analisis wacana kritis oleh Sara Mills yang berfokus pada bagaimana aktor ditampilkan dalam teks yakni dalam novel Negeri 5 Menara. Selain itu dalam analisis ini juga menggambarkan bagaimana satu pihak, kelompok, orang, gagasan,dan peristiwa ditampilkan dengan cara tertentu dalam wacana dan mempengaruhi pemaknaan khalayak, dalam hal ini dunia pendidikan di Indonesia. Dalam analisis wacana kritis Sara Mills selain menekankan pada bagaimana posisi dari aktor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa ditempatkan dalam teks, posisi pembaca dalam teks juga sangat penting dan diperhitungkan karena pembaca bukan semata-mata pihak yang hanya menerima teks, tetapi juga ikut melaksanakan transaksi sebagaimana akan terlibat dalam teks.