BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak masa

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak masa reformasi media massa di Indonesia mengalami
perkembangan pesat. Mulai dari media cetak seperti surat kabar dan majalah
hingga munculnya saluran-saluran baru radio dan televisi. Dari segi isi dan
pemberitaan, media juga dapat dikatakan lebih „berani‟ dalam mengomentari
kebijakan pemerintah atau memberitakan realita di masyarakat.
Guy Cook menyebut tiga hal sentral dalam pengertian wacana, yaitu
teks, konteks dan wacana. Eriyanto kemudian menjelaskan ketiga makna
tersebut, “Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang
tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan,
musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya. Konteks memasukkan semua
situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa,
seperti partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks diproduksi. Wacana disini
kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama.” Dari penjelasan
di atas, dapat dipahami bahwa teks memiliki peranan yang signifikan dalam
pembentukan wacana. Hal ini dapat dilihat misalnya pada wacana mengenai
pendidikan di Indonesia, salah satunya yaitu wacana yang berkembang
mengenai lembaga pendidikan agama, dalam hal ini yaitu pondok pesantren.
Dalam pembentukan suatu wacana, media massa dapat menempatkan
peranan sangat penting. Pembentukan wacana di masyarakat tidak hanya
2
melalui media massa seperti televisi atau surat kabar saja. Novel dianggap
sebagai salah satu media massa yang dapat mewacanakan sesuatu atas
interpretasi penulis dalam melihat fenomena yang terjadi di masyarakat. Dalam
sebuah novel, cerita yang disampaikan mengandung suatu pesan yang
diharapkan dapat menjadi acuan atau pengetahuan baru bagi masyarakat.
Novel Negeri 5 Menara merupakan novel yang mengangkat tentang
pendidikan Islam. Novel ini berbeda dengan novel Islam lainnnya yang
mengangkat Islam dari segi percintaan. Novel ini juga menjadi salah satu
novel best seller nasional dan akan difilmkan karena adanya kata hikmah yang
ditampilkan dalam novel tersebut.
Novel dengan cerita latar belakang pendidikan pesantren memang
tidak cukup banyak. Tema-tema yang diangkat juga tidak jauh dengan model
pemberitaan yang dapat kita lihat di televisi atau kita baca di surat kabar saat
ini. Sebut saja misalnya Pesantren Impian karya Asma Nadia, menceritakan
mengenai pesantren di ujung propinsi Nangroe Aceh Darussalam tempat
mantan kriminal, anak-anak korban kekerasan rumah tangga atau korban
pelecehan seksual yang ingin bertaubat, merupakan penggambaran pesantren
sebagai sebuah tempat rehabilitasi. Novel yang diangkat ke layar lebar berjudul
Perempuan Berkalung Sorban, sebuah novel karya Abidah El Khalieqy
mengangkat cerita santri yang memberontak dengan aturan pesantren yang
menurutnya kaku dan mendeskreditkan dirinya sebagai perempuan, merupakan
penggambaran pesantren sebagai lembaga pendidikan yang tidak cukup
3
mumpuni dalam menyikapi kehidupan yang lebih modern, bahkan dapat
dikatakan tidak mampu bersaing dengan lembaga pendidikan non agama.
Hal berbeda mengenai dunia pesantren ditampilkan Ahmad Fuadi,
penulis trilogi novel Negeri 5 Menara. Novel yang terinspirasi oleh kisah yang
dialami penulis selama mengenyam pendidikan pesantren di Pondok Modern
Gontor ini, membawa wacana baru mengenai dunia pesantren. Wacana dan
realita yang berbeda dengan pemberitaan mengenai pesantren di media massa
maupun novel bergenre pesantren sebelumnya.
Suksesnya Negeri 5 Menara sebagai salah satu novel yang bertemakan
pendidikan ini mengangkat tentang kehidupan di sebuah pesantren modern
dengan pola pendidikan dan komunikasi pengajaran ala pesantren yang
berbeda dari pesantren-pesantren lain di Indonesia. Salah satu metode
pengajaran yang digambarkan Fuadi adalah bagaimana para santri dapat
berkomunikasi secara fasih dengan dua bahasa asing selama 24 jam dalam
waktu 4 bulan saja. Metode pendidikan yang dalam pesantren tidak hanya
berkutat masalah agama, tetapi ada kesinambungan antara ilmu agama dan
ilmu umum. Selain itu juga, pesantren merupakan tempat para santri berkreasi
mengembangkan bakatnya, mulai dari seni, musik, fotografi, dan olahraga.
Novel Negeri 5 Menara selain berisi banyak kalimat-kalimat
pembangkit semangat dari para Kiai dan Ustadz, buku ini juga menceritakan
bagaimana kehidupan di sebuah „kamp konsentrasi‟ berlabelkan pondok yang
sangat menarik. Selama ini kita mungkin diliputi dengan stereotipe bahwa jika
4
seseorang belajar ke pondok, maka orang itu hanya akan belajar agama,
mengaji, ceramah dan dituntun untuk menjadi seorang Ustadz.
Seiring dengan kuatnya arus modernisasi dan liberalisasi, secara
perlahan tapi pasti model pendidikan ala pondok pesantren mulai kurang
diminati oleh generasi muda sekarang. Hal ini tercermin dari semakin
berkurangnya jumlah santri di sebagian besar pondok pesantren di nusantara.
Masyarakat semakin bersifat hedonis dan pragmatis sebagai dampak
modernisasi dan globalisasi sehingga biasanya masyarakat cenderung lebih
memilih model pendidikan yang lulusannya siap bekerja di dunia industri,
perkantoran atau menjadi Pegawai Negeri Sipil. Sementara itu pondok
pesantren selama ini memang dikhususkan untuk mencetak ulama guna
mengembangkan agama saja. Dengan demikain pesanteran kurang mampu
memenuhi tuntutan pasaran kerja masyarakat modern yang berdasarkan
keterampilan atau skill, ilmu pengetahuan dan penguasaan teknologi modern.
Ahmad Fuadi dalam novelnya menceritakan pesantren sebagai sebuah
lembaga pendidikan yang tidak kalah dengan lembaga pendidikan non agama
baik negeri maupun swasta. Pesantren tidak hanya tempat buangan anakanak nakal atau korban kekerasan dalam rumah tangga atau anak-anak yang
nilainya tidak cukup untuk masuk ke lembaga pendidikan negeri atau tidak
memiliki cukup dana untuk masuk ke lembaga pendidikan swasta. Fuadi
menggambarkan bahwa pesantren seharusnya menjadi tempat untuk
mendidik bibit-bibit unggul calon-calon da‟i dan menjadi tempat untuk
mendalami pendidikan agama.
5
Cerita dalam novel ini berangkat dari seorang remaja bernama Alif
Fikri berasal dari Maninjau, Sumatera Barat yang baru saja lulus Madrasah
dan bercita-cita untuk masuk SMA bersama dengan sahabatnya, Randai.
Namun keinginannya bertolak dengan putusan orang tuanya yang
menginginkan ia untuk masuk kembali ke Madrasah, tujuannya mulia, agar
anaknya menimba ilmu agama agar dapat turut membangun bangsa ini agar
tercipta bangsa yang tidak hanya berilmu, namun juga beragama.
Alif yang begitu bertekad untuk masuk SMA dan bertolak ke
perguruan tinggi nantinya kecewa. Hasil diskusi alot dengan orangtuanya
menghasilkan sebuah keputusan besar dalam hidupnya, ia memutuskan untuk
„menghukum‟ orang tuanya untuk sekalian saja masuk ke sebuah Pondok
(atau pesantren) di daerah Jawa Timur, Pondok Madani (yang dicatatan
penulis, bernama asli Pondok Modern Gontor).
Alif bertemu dengan banyak teman baru di Pondok Madani, ada Baso,
anak pintar yang giat menghafidz Al-Quran, Raja dengan kemampuan
bahasanya yang luar biasa, Dulmadjid dan Atang yang rajin, serta Said si
penyuka olahraga. Mereka berenam, bersama-sama menjalani suka-duka
selama mengikuti pendidikan di Pondok Madani, dari dihukum jewer kolektif
oleh keamanan, berlibur sejenak tiap jumat ke Ponorogo, sampai bersaing
dalam menarik perhatian lawan jenisnya yang memang jarang muncul di
pondok.
Di pesantren atau pondok tersebut Alif menemukan metode
pembelajaran yang baru berbeda dengan madrasyah yang ia tempati dulu. Di
6
tempat ini selain mengajarkan tentang agama, juga mengajarkan tentang
bagaimana menghadapi dunia luar. Hal ini ditunjang dengan berbagai macam
fasilitas-fasilitas pendidikan yang masih kurang ditemukan di sekolahsekolah lain.
Novel Negeri 5 Menara ini menceritakan tentang pengalaman dan
perjuangan hidup Alif Fikri dalam menempuh pendidikannya di Pondok
Madani yang jauh dari sanak saudaranya dengan paksaan orang tuanya yang
pada akhirnya menjadi sebuah anugerah, novel ini dituangkan dengan bahasa
ringan sehingga mudah dipahami oleh pembaca. Novel ini juga membahas
betapa dahsyatnya kalimat “Man jadda wajada” sehingga mampu
memberikan sebuah inspirasi bagi pembaca untuk lebih bersungguh-sungguh
dalam melakukan kegiatan apapun.
Novel ini pun mendapat sambutan yang cukup luas dari khalayak
masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya apresiasi dan testimoni
yang diberikan oleh tokoh-tokoh pakar pendidikan maupun public figure
lainnya, salah satu tokoh masyarakat yang memberikan testimoni terhadap
novel ini adalah bapak mantan presiden RI yang ketiga, Bj Habibie. Beliau
mengatakan, “Novel yang berkisah tentang generasi muda bangsa ini penuh
motivasi, bakat, semangat, dan optimisme untuk maju dan tidak mudah
menyerah, merupakan pelajaran yang amat berharga bukan saja sebagai karya
seni, tetapi juga tentang proses pendidikan dan pembudayaann untuk
terciptanya sumber daya insani yang handal. Andaikan banyak bangsa yang
mempunyai banyak kesempatan dan pengalaman seperti mereka, akan
7
beruntunglah bangsa Indonesia dalam mewujudkan masa depannya yang
maju dan sejahtera, yang disegani dan sejajar dengan bangsa-bangs lain.”
(Fauadi, 2010:407)
Dalam kurun waktu tiga bulan sejak cetakan pertama, novel ini
kemudian menjadi Best Seller dan sudah mencapai cetakan kesembilan dalam
kurun waktu satu tahun. Negeri 5 Menara dan A. Fuadi menerima
penghargaan sebagai Buku dan Penulis Fiksi Terfavorit 2010 dari Anugerah
Pembaca Indonesia pada bulan Desember 2010. Penghargaan ini berdasarkan
pilihan dari 7.629 pembaca yang mengikuti polling di internet. Sebuah
prestasi tersendiri untuk novel bertema pendidikan pesantren dengan tokoh
utama para santri.
Hal-hal seperti ini tidak biasanya dipublikasikan secara luas dalam
media. Oleh karena itu, masalah ini menjadi menarik untuk diteliti. Apakah
tata bahasa yang dipergunakan dalam novel Negeri 5 Menara dapat
mengkonstruksi bagaimana pola pendidikan dan komunikasi pengajaran di
lingkungan pesantren. Ketertarikan terhadap masalah-masalah sosial dari
aspek kehidupan yang menyangkut nilai-nilai kemanusiaan khususnya nilai
pendidikan dan agama,serta ketertarikan terhadap wacana-wacana yang hadir
dalam novel Negeri 5 Menara karya A.Fuadi inilah yang menjadi dasar
penulis ingin melakukan penelitian mengenai konstruksi dunia pendidikan
pesantren dalam novel Negeri 5 Menara.
Konstruksi dunia pendidikan pesantren ini dianalisis dengan teori
analisis wacana Sara Mills karena teori ini memusatkan perhatian bagaimana
8
posisi-posisi aktor ditampilkan dalam teks. Selain itu Sara Mills juga
memusatkan perhatian pada bagaimana pembaca dan penulis ditampilkan
dalam teks.
Berdasarkan hal-hal yang dipaparkan di atas, penulis memilih untuk
mengkaji novel Negeri 5 Menara ke dalam bentuk skripsi dengan judul :
Konstruksi Dunia Pendidikan Pesantren dalam Novel Negeri 5 Menara
(Analisis Wacana)
B. Rumusan Masalah
Dari pembahasan latarbelakang di atas maka penulis dalam penelitian ini
menetapkan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konstruksi dunia pendidikan pesantren dalam novel Negeri
5 Menara karya A. Fuadi?
2. Apa pesan-pesan tentang nilai-nilai pendidikan yang disampaikan oleh
penulis dalam Novel Negeri 5 Menara?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah
1) Untuk mengetahui konstruksi dunia pendidikan pesantren dalam
novel Negeri 5 Menara.
2) Untuk mengetahui pesan tentang nilai-nilai pendidikan yang
disampaikan oleh penulis yang di tampilkan dalam Novel Negeri 5
Menara
9
2. Kegunaan Penelitian
1. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi konstribusi
terhadap perkembangan teori komunikasi dalam kaitannya dengan
studi mengenai analisis wacana kritis teks. Selain itu penelitian ini
diharapkan menjadi acuan untuk menengetahui kepentingan dan
kekuasaan teks-teks yang bertemakan pendidikan.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca agar
lebih kritis terhadap informasi yang disajikan media
D. Kerangka Konseptual
1. Novel sebagai Media
Novel adalah sebuah teks naratif . novel menceritakan kisah yang
merepresentasi suatu situasi yang dianggap mencerminkan kehidupan nyata
atau untuk merangsang imajinasi. Sering dalam proses pengisahannya novel
merujuk secara langsung atau tidak langsung ke teks-teks lain. Di dalam teori
semiotika mutakhir, aspek penarasian seperti ini dinyatakan sebagai
intekstualitas. Interteks adalah teks narasi lain yang dimainkan oleh novel
melalui pengutipan atau implikasi. Sebuah novel juga bisa memiliki subteks,
yaitu kisah yang secara implisit terkandung di dalamnya yang mendorong
sebuah narasi di permukaan (Danesi, 2010:75).
Novel dalam proses komunikasi secara sederhana dapat dipahami
sebagaimana dikemukakan oleh Harols Laswell (Effendy, 2003:253), who
says what which channel to whom with what effect? Teori ini menunjukan A.
Fuadi hadir sebagai komunikator (who says), kisah siswa-siswa dalam sebuah
10
pesanter di maknai sebagai pesan (what say), tulisan A. Fuadi berupa novel
yang berfungsi sebagai saluran (in channel), sementara komunikan adalah
masyarakat luas dan aktivis pendidikan, dan efeknya dapat berupa perilaku
sikap dan perilaku dalam hubungan dengan elemen pendidikan.
2. Bahasa ,Teks, Konteks dan Makna
a. Bahasa
Bahasa, bagi linguistik, yaitu sistem tanda bunyi yang disepakati
untuk dipergunakan oleh para anggota kelompok masyarakat tertentu dalam
bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri (Kushartanti,
2009:3).
Bahasa merupakan alat komunikasi yang penting bagi manusia
sehingga dalam kenyataannya bahasa menjadi aspek penting dalam
melakukan sosialisasi atau interaksi sosial.
Menurut Ferdinand de Saussure (Littlejohn, 2009: 155-156), bahasa
yang berbeda menggunakan kata-kata yang berbeda untuk hal yang sama
dan biasanya ada hubungan secara fisik antara sebuah kata dan acuannya.
b. Teks
Teks adalah suatu kesatuan bahasa yang memiliki isi dan bentuk, baik
lisan maupun tulisan yang disampaikan oleh seorang pengirim kepada
penerima untuk menyampaikan pesan tertentu. Menurut Guy Cook
(Eriyanto,2009:9), teks merupakan semua bentuk bahasa, bukan hanya katakata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi
komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya.
11
c. Konteks
Konteks menurut Guy Cook (Eriyanto,2009:9) merupakan semua
situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian
bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi di mana teks tersebut
diproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan lain sebagainya.
Ada beberapa konteks yang penting karena berpengaruh pada
produksi wacana. Pertama, partisiapan wacana, latar siapa yang
memproduksi wacana. Jenis kelamin umur,pendidikan, kelas sosial,etnis,
agama, dalam banyak hal yang sangat relevan dalam menggambarkan suatu
wacana. Kedua, settingan sosial tertentu, seperti tempat, waktu, posisi
pembicara dan pendengar atau lingkungan fisik adalah konteks yang
berguna untuk menerti suatu suatu wacana. Situasi sosial dan aturan yang
melingkupinya
berbeda
menyebabkan
partisipan
komunikasi
harus
menyesuaikan diri dengan konteks yang ada.
d. Makna
Makna pada umumnya dibedakan atas makna yang bersifat denotatif
dan bersifat konotatif. Makna kata yang tidak mengandung makna atau
perasaan-perasaan tambahan disebut makna denotatif , sedangkan makna
kata yang menagndung arti tambahan, perasaan tertentu, atau nilai rasa
tertentu di samping makna dasar yang umum disebut makna konotatif atau
konotasi (Keraf, 2010: 27-31)
Makna merupakan kesatuan mental penegtahuan dan pengalaman
yang terkait dengan lambang bahasa yang mewakilinya. Analisis makna
12
dapat dilakukan melalui prototipe yang artinya representasi mental yang
mewakili contoh terbaik satu konsep tertentu. Pembentukan prototipe
dipengaruhi latar belakang sosial budaya dan lingkungan suatu masyarakat
bahasa (Kushartanti, 2009: 121 – 122).
Makna menurut Devito berasal dari dalam diri manusia,makna tidak
terletak pada kata-kata melainkan pada manusia. Ia mengatakan, “Kita
menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang ingin kita
komunikasikan. Tetapi kata-kata tidak secara sempurna dan lengkap
menggambarkan makna yang kita maksudkan. Demikian pula, makna yang
didapat pendengar dari pesan-pesan kita akan sangat berbeda dengan makna
yang ingin kita komunikasikan. Komunikasi adalah proses yang kita pakai
untuk mereproduksi, di benak pendengar, apa yang ada dalam benak kita.
Reproduksi ini hanyalah sebuah proses parsial dan selalu bisa salah” (dalam
Sobur, 2009: 20).
3. Konstruksi atas Realitas Sosial
Realitas sosial adalan hasil ciptaan kreatif melalui kekuatan konstruksi
sosial terhadap dunia sosial di sekelilingya. Dunia sosial yang dimaksud
oleh George Simmel (Veeger dalam Bungin,2008:12),bahwa realitas dunia
sosial itu berdiri sendiri di luar individu, yang menurut kesan kita bahwa
realitas itu “ada” dalam diri kita dan hukum yang menguasai.
Hugh Mehan dan Houtson Wood dalam buku “The Production Of
Reality” (O‟Brien, 2001: 356), melihat realitas mempunyai ciri-ciri yaitu
realitas sebagai kegiatan refleksif, realitas sebagai tubuh pengetahuan yang
13
koheren, realitas sebagai kegiatan interaksional, kerapuhan pada realitas,
penyerapan atas realitas.
Pada kenyataannya realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran
individu, baik di dalamnya maupun di luar realitas tersebut. Realitas
memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan
secara subyektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara
obyektif.
Individu mengkonstruksikan realitas sosial, dan merekonstuksikannya
ke dalam dunia realitas, memantapkan realitas berdasarkan subjektivitas
individu lain dalam institusi sosialnya.
Istilah Konstruksi sosial atas realitas (social constructionof reality)
diperkenalkan oleh Peter L.Belger dan Thomas Luckmann. Mereka
menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksi, yang mana
individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan
dialami bersama secara subjektif.
Belger dan Luckmann (1990) mulai menjelaskan realitas sosial
dengan memisahkan pemahaman “kenyataan” dan “pengetahuan”. Realitas
diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas yang
diakui sebagai keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak
kita sendiri. Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa
realitas-realitas nyata (real) dan memiliki karateristik spesifik.
Menurut Berger dan Luckman (1990) Realitas sosial dikonstruksi
melalui tiga proses:
(1) eksternalisasi (penyesuaian diri) dengan dunia
14
sosiokultural sebagi produk manusia, (2) objektivitas yaitu interaksi sosial
yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan,dan (3)
internalisasi yaitu proses di mana individu mengidentifikasikan dirinya
dalam lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat indivudu
menjadi anggotanya.
Eksternalisasi dipengaruhi oleh stock of knowledge (cadangan
pengetahuan) yang dimilikinya. Cadangan sosial pengetahuan adalah
akumulasi dari common sense knowledge (pengetahuan akal-sehat).3
Common sense adalah pengetahuan yang dimiliki individu bersama
individu-individu lainnya dalam kegiatan rutin yang normal, dan sudah jelas
dengan sendirinya, dalam kehidupan sehari-hari (Berger, 1990: 34).
Obyektivasi yaitu manusia memanifestasikan diri dalam produkproduk kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya
maupun bagi orang lain sebagai unsur dari dunia bersama (Berger,1990:
49). Masyarakat sebagai realitas obyektif menyiratkan pelembagaan di
dalamnya.
Proses
pelembagaan
(institusionalisasi)
diawali
oleh
eksternalisasi yang dilakukan berulang-ulang –sehingga terlihat polanya dan
dipahami
bersama-
yang
kemudian
menghasilkan
pembiasaan
(habitualisasi). Dengan habitualisasi tindakan yang sering diulangi menjadi
suatu pola yang mana pola tersebut dapat dilakukan kembali di masa akan
datang dengan cara yang sama. Habitualisasi yang telah berlangsung
memunculkan pengendapan dan tradisi. Pengendapan dan tradisi terjadi
apabila beberapa individu mengalami suatu biografi bersama, di mana
15
pengalaman-pengalamannya yang lalu menjadi bagian dari cadangan
pengetahuan bersama dan kemudian diwariskan dari generasi ke generasi
berikutnya. Disinilah terdapat peranan di dalam tatanan kelembagaan,
termasuk dalam kaitannya dengan pentradisian pengalaman dan pewarisan
pengalaman tersebut. Jadi, peranan mempresentasikan tatanan kelembagaan
atau lebih jelasnya; pelaksanaan peranan adalah representasi diri sendiri.
Peranan mempresentasikan suatu keseluruhan rangkaian perilaku yeng
melembaga, misalnya peranan hakim dengan peran-peran lainnya di sektor
hukum.
Masyarakat sebagai realitas obyektif juga menyiratkan keterlibatan
legitimasi. Legitimasi merupakan obyektivasi makna tingkat kedua, dan
merupakan pengetahuan yang berdimensi kognitif dan normatif. Legitimasi
bukan hanya menganyangkut masalah nilai-nilai tetapi juga menjelaskan
atau mengimplikasikan suatu “pengetahuan”. Legitimasi berfungsi untuk
membuat obyektivasi yang sudah melembaga menjadi masuk akal secara
subyektif.
Berger dan Luckmann (1990: 186) mengemukakan internalisasi
adalah pemahaman atau penafsiran yang berlangsung dari suatu peristiwa
obyektif sebagai pengungkapan suatu makna, dimana sebagai suatu
manifestasi dari proses-proses subyektif dari orang lain yang demikian
menjadi bermakna secara subyektif bagi individu sendiri. Internalisasi
berlangsung seumur hidup melibatkan sosialisasi, baik primer maupun
sekunder. Sosialisasi primer adalah sosialisasi yang pertama yang dialami
16
individu dalam masa kanak-kanak, yang dengan itu ia menjadi anggota
masyarakat. Sedangkan sosialisasi sekunder yaitu setiap proses berikutnya
yang mengimbas individu yang sudah disosialisasikan itu ke dalam sektorsektor baru dunia obyektif masyarakatnya (Berger, 1990: 187). Dalam
proses mengkonstruksi, individu berperan aktif sebagai pembentuk,
pemelihara, sekaligus perubah masyarakat.
Pekerjaan media pada hakikatnya adalah mengonstruksi realitas
dengan bahasa sebagai perangkatnya, maka seluruh isi media merupakan
realitas yang dikonstruksikan. Sedangkan bahasa bukan saja alat untuk
merepresentasikan realitas, namun juga bisa menentukan bentuk seperti apa
yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Bahasa bukan
cuma mampu mencerminkan realitas, tetapi sekaligus menciptakan realitas.
Oleh karena itu, media massa melakukan berbagai tindakan dalam
konstruksi
realitas
dimana
hasil
akhirnya
berpengaruh
terhadap
pembentukan makan suatu realitas. Media massa tidak hanya dianggap
sebagai penghubung antara pengirim pesan kepada penerima pesan. Intinya
terletak pada bagaimana pesan/teks berinteraksi dengan orang untuk
memproduksi makna. (Fiske, dalam Sobur 2009: 93).
4. Pendekatan Analisis Wacana Kritis
Analisis wacana adalah studi tentang stuktur pesan dalam komunikasi
atau telaah mengenai fungsi (prakmatik) bahasa. Analisis wacana lahir dari
kesadaran bahwa persoalan yang terdapat dalam komunikasi bukan terbatas
17
pada penggunaan kalimat, fungsi ucapan, tetapi juga mencakup struktur pesan
yang lebih kompleks yang disebut wacana (Littlejohn, dalam Sobur, 2009:
48).
Dalam analisis wacana kritis, konteks sangat berperan dalam wacana
seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana di sini dipandang
diproduksi, dimnegerti dan dianalisis pada sustu konteks tertentu. Mengikuti
Guy Cook (Eriyanto, 2009:9) analisis wacana memeriksa konteks dari
komunikasi: siapa yang mengkomunikasikan dengan siapa dan mengapa;
dalam jenis khalayak dan situasi apa; melalui medium apa; bagaimana
perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi; hubungan untuk setiap
masing-masing pihak. Guy Cook juga menyebutkan tiga hal yang menjadi
sentral dalam pengertian wacana : teks, konteks dan wacana. Titik perhatian
dari analisis wacana adalah bagaimana penggambaran teks dan konteks secara
bersama-sama dalam suatu proses komunikasi.
Adapun analisis wacana kritis yang dijadikan perangkat analisis
adalah analisis wacana Sara Mills. Analisis wacana Sara Mills melihat
bagaimana posisi aktor ditempatkan dalam teks. Posisi –posisi ini dalam arati
siapa yang menjadi subjek penceritaan dan siapa yang menjadi objek
penceritaan akan menentukan bagaimana stuktur teks dan bagaimana makna
diperlakukan dalam teks secara keseluruhan. Selain itu Sarah Mills juga
memusatkan perhatiannya pada bagaimana pembaca dan penulis ditampilkan
dalam teks. Bagaimana pembaca mengidentifikasikan dan menempatkan
dirinya dalam penceritaan teks. Posisi semacam ini akan menempatkan
18
pembaca pada salah satu posisi dan mempengaruhi bagaimana teks itu hendak
dipahami
dan
bagaimana
pula
aktor
sosial
itu
ditempatkan
(Eriyanto,2009:200)
Berikut ini tabel kerangaka analisis wacana Sarah Mills :
Tingkat
Posis Subjek-Objek
Yang Ingin dilihat
Bagaimana peristiwa dilihat, dari kacamata siapa
peristiwa itu dilihat. Siapa yang diposisikan
sebagai pencerita (subjek) dan siapa yang
menjadi objek yang diceritakan. Apakah masingmasing aktor dan kelompok sosial mempunyai
kesempatan untuk menampilkan dirinya sendiri,
gagasan ataukah kehadirannya, gagasan yang
ditampilkan oleh kelompok/orang lain.
Posisi Penulis-Pembaca Bagaimana posisi pembaca ditampilkan dalam
teks. Bagaimana pembaca memposisikan dirinya
dalam teks yang ditampilkan. Kepada kelompok
manakah pembaca mengidentifikasi dirinya.
Sumber : Eriyanto, Analisis Wacana 2009
Dari tabel di atas Sara Mills lebih menekankan pada posisi dari
berbagai aktor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa yang ditempatkan dalam
teks. Posisi-posisi tersebut pada akhirnya menentukan bentuk teks yang hadir
di tengah khalayak. Wacana media bukanlah sarana yang netral, tetapi
19
cenderung menampilkan aktor tertentu sebagai subjek yang mendefinisikan
peristiwa atau kelompok tertentu Posisi itulah yang menentukan semua
bangunan unsur teks, dalam arti pihak yang mempunyai posisi tinggi untuk
mendefinisikan realitas akan menampilkan peristiwa aatau kelompok lain ke
dalam struktur wacana tertentu yang akan hadir kepada khalayak
(Eriyanto,2009:201).
Menurut Sarah Mills (Eriyanto,2009:203) teks adalah suatu negoisasi
antara penulis dan pembaca. Oleh karena itu, pembaca disini tidaklah
dianggap hanya sebagai pihak yang menerima teks, tetapi juga ikut
melakukan transaksi
sebagaiman akan terlihat dalam teks. Dalam
mempelajari konteks tidak cukup hanya konteks dari sisi penulis saja tetapi
perlu juga mempelajari konteks dari sisi pembaca.
Dari paparan tersebut, maka kerangka konsep dari penelitian ini
adalah :
Novel Negeri 5 Menara
Konstruksi pendidikan
dan pengajaran di
pesantren dalam Novel
Negeri 5 Menara
Analisis Wacana Sara
Mills
Konstruksi Dunia
Pendidikan pesantren di
Indonesia

Posisi Subjek-Objek

Posisi PenulisPembaca
20
E. Definisi Operasional
1. Konstruksi adalah menghadirkan bentukan realitas pendidikan pesantren
yang ditampilkan dalam novel Negeri 5 Menara
2. Pendidikan Pesantren
Pendidikan Islam tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan
belajar ilmu-ilmu keagamaan di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal
dengan sebutan kyai. Asrama untuk para siswa tersebut berada dalam
komplek pesantren dimana kyai bertempat tinggal.
3. Novel Negeri 5 Menara
Negeri 5 Menara karangan A.Fuadi salah satu novel yang bertemakan
pendidikan ini mengangkat tentang kehidupan di sebuah pesantren modern
dengan pola pendidikan dan komunikasi pengajaran ala pesantren yang
berbeda dari pesantren-pesantren lain di Indonesia.
4. Analisis Wacana
Analisis wacana adalah metode penelitian yang memfokuskan pada
pengkajian struktur pesan dan makna dalam komunikasi. Analisis wacana
mengkaji muatan pesan, nuansa, dan makna yang tersembunyi dalam teks
yang menggunakan pendekatan interpretatif dengan mengandalkan
interpretasi dan penafsiran peneliti.
F. Metode penelitian
1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian ini menggunakan pendekatan kualitaif. Penelitian
ini dilakukan dengan melihat konteks permasalahan secara utuh dengan
21
fokus penelitian pada proses bukan pada hasil. Dalam penelitian
kualitatif, peneliti secara langsung yang mengumpulkan data atau
informasi yang didapat dari subyek penelitian.
Pada penelitian ini data-data yang dikumpulkan berupa kata-kata,
gambar dan bukan angka-angka. Hal ini dilakukan seperti orang merajut
sehingga setiap bagian ditelaah satu demi satu (Moeloeng, 2002: 6).
2. Objek dan Waktu Penelitian
1. Objek Penelitian
Novel yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah seluruh isi
cerita yang terdapat dalam novel “Negeri 5 Menara” karya Ahmad
Fuadi (A. Fuadi), yang terdiri dari xiii+423 halaman. Peneliti
menggunakan novel cetakan kesembilan, November 2010 yang
diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian dimulai dari bulan Juni sampai Agustus tahun 2011.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis adalah melalui:
a. Pengumpulan data berupa teks-teks tertulis dari novel Negeri 5
Menara serta sejumlah data yang berkaitan dengan objek
penelitian
tersebut,
seperti
berita-berita
terkait,
biografi
penulis/penerjemah dan dokumen-dokumen lainnya.
b. Penelitian pustaka (library research) dengan mengkaji dan
mempelajari
berbagai
literatur
yang
berkaitan
dengan
22
permasalahan yang diteliti untuk mendukung asumsi sebagai
landasan teori permasalahan yang dibahas.
c. Penelusuran data online, yaitu menelusuri data dari media online
seperti internet sehingga peneliti dapat memanfaatkan data
informasi online secepat dan semudah mungkin serta dapat
dipertanggungjawabkan
secara
akademis.
Peneliti
memilih
sumber-sumber data online mana yagn kredibel dan dikenal
banyak kalangan.
4. Analisis Data
Untuk teknik analisis data, penulis menggunakan kerangka analisis
wacana kritis oleh Sara Mills yang berfokus pada bagaimana aktor
ditampilkan dalam teks yakni dalam novel Negeri 5 Menara. Selain itu
dalam analisis ini juga menggambarkan bagaimana satu pihak, kelompok,
orang, gagasan,dan peristiwa ditampilkan dengan cara tertentu dalam
wacana dan mempengaruhi pemaknaan khalayak, dalam hal ini dunia
pendidikan di Indonesia.
Dalam analisis wacana kritis Sara Mills selain menekankan pada
bagaimana posisi dari aktor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa
ditempatkan dalam teks, posisi pembaca dalam teks juga sangat penting
dan diperhitungkan karena pembaca bukan semata-mata pihak yang hanya
menerima teks, tetapi juga ikut melaksanakan transaksi sebagaimana akan
terlibat dalam teks.
Download