PENGARUH PENERAPAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL MELALUI ALAT PERAGA SEDEP HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA SEKOLAH DASAR PADA MATERI PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN BILANGAN BULAT Oleh : Roeslan Abdul Gani (Dosen Prodi Matematika FKIP Universitas Jabal Ghafur) ABSTRACT This study is an experimental and control study design with randomized control group pretest-posttest design. The experimental group was treated contextual learning, whereas the control group treated with normal or conventional learning. The research was conducted at the Grade 4 students at SDN 1 Sigli school year 2012/2013. Determination of two grade 4 are defined as parallel to the experimental class and the control is done by random. The purpose of this study to determine whether there is influence of the application of contextual learning in the learning process of mathematics to the material addition and subtraction of positive integers and negative integers on learning outcomes math grade 4 elementary school. Having in mind that the data analyzed from the experimental group and control group were normally distributed and variances homogeneous, both initial test data and final test data, we then tested the hypothesis by using the t test. The results or findings in the study indicate that student learning outcomes that were subjected to contextual learning is better than learning outcomes of students who were treated in the ordinary or conventional learning. Other findings of the treatment effect of contextual learning include: increasing student interest and motivation; students learn in a fun atmosphere; students feel satisfied and proud that something earned on his own; increased communication and mathematical connections students, as well as embedded understanding of mathematical concepts better student Keyword : Contextual learning, visual instrumen, understanding of the concept. Latar Belakang Masalah Matematika, meski sebagai salah satu pelajaran yang cukup penting untuk dipelajari pada berbagai tingkatan atau satuan pendidikan, namun sampai saat ini hasil atau mutu matematika belum juga mengembirakan. Masih memprihatinkan hasil belajar dan proses pembelajarannya matematika, menurut Soedjadi (2000) terlihat pada rerata pada NEM dan UAN serta UN dari tahun 1984 sampai dengan 2010 selalu berada di bawah 6 dalam skala 1-10. Rendahnya hasil belajar siswa dalam matematika juga tidak terlepas dari peran guru yang masih cenderung menggunakan cara-cara konvensional dan berpusat pada guru. Artinya, dalam proses pembelajaran matematika guru dianggap sebagai pusat pembelajaran, sedangkan siswa bersifat pasif, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Wahyuddin (1999), Sumarmo (1999), dan Gani (2003). Tanpa kita sadari bahwa selama ini proses pembelajaran yang berlangsung secara konvensional, dimana siswa bekerja untuk dirinya sendiri, mata ke papan tulis, Sains Riset Volume 3 - No. 1, 2013 penuh perhatian tanpa berani bertanya atau mempersoalkan sesuatu yang kurang jelas pada gurunya, bahan belajar hanya dari guru, dan umumnya guru adalah pembuat keputusan (Supinah, 2008). Akibatnya, banyak siswa hanya mampu menyajikan tingkat hafalan terhadap materi yang mereka terima, tetapi pada kenyataannya mereka tidak memahaminya dengan baik, sehingga mereka tidak mampu menghubungkan apa yang telah mereka pelajari untuk digunakan atau dimanfaatkan di lapangan atau di luar sekolah atau dalam kehidupan nyata/seharihari. Dampak lain akibat pembelajaran seperti di atas, dimana siswa sebagai pebelajar merasa asing dengan apa yang telah mereka pelajari, karena bagi mereka, matematika sukar dan menakutkan. Sehingga tidaklah salah jika ada anggapan sebagaimana yang dikemukakan oleh Wahyuddin (1999) bahwa matematika merupakan pelajaran yang sukar dipelajari oleh siswa, bahkan sukar pula diajarkan oleh guru itu sendiri. Gambaran atau kondisi di 1 atas juga sangat kentara kita lihat pada tingkatan atau jenjang di Sekolah Dasar. Hasil penelitian Sumarmo (1999) menemukan bahwa pada umumnya siswa Sekolah Dasar mengalami kesulitan belajar matematika, terutama pada topik-topik tertentu. Di samping karena dipengaruhi oleh tingkat pemikiran siswa yang masih57 rendah, juga matematika kurang disukai oleh siswa Sekolah Dasar. Menurut Gravemeijer (1994) dan Ernest (1991) mengatakan bahwa kurang disukainya matematika oleh siswa Sekolah Dasar mungkin dipengaruhi oleh faktor materi matematika atau faktor proses pembelajaran di dalam kelas, dari faktor materi matematika itu sendiri, matematika dianggap sebagai ilmu yang abstrak. Senada hal tersebut, Ruseffendi (2001) mengemukakan bahwa matematika bagi anak-anak semakin terasa abstrak, jika materi yang diajarkan jauh dari kehidupan sehari-hari mereka, termasuk pada materi perhitungan dan pengurangan. Oleh karena itu, pada bagian lain Ruseffendi (2001) menyarankan agar menerangkan pengerjaan perhitungan sedapat mungkin dimulai dengan menggunakan benda-benda real, konkrit, gambar ataupun diagram yang disajikan supaya dikaitkan dengan kehidupan nyata anak-anak, kemudian dilanjutkan ketahap model dan tahap simbolisasi serta tahap penanaman konsep. Tidak dapat dipungkiri bahwa hasil yang diperoleh siswa dalam matematika di samping dipengaruhi oleh kemampuan siswa itu sendiri juga sangat dipengaruhi oleh guru dalam menjelaskan kepada siswanya. Jika kemampuan guru rendah dalam menyajikan materi matematika, maka dapat dipastikan bahwa siswa akan cenderung menganggap matematika itu sukar, rumit, membosankan, bahkan menakutkan. Jika hal ini terus dibiarkan berlarut-larut, maka mutu atau hasil matematika siswa akan selalu rendah. Sangat memprihatinkan kita sebagai pendidik, jika kita menelaah lebih lanjut hasil penelitian yang dilakukan oleh Linggawati dan Frederick (1999) menemukan bahwa umumnya guru SD tidak siap mental dalam mengajarkan matematika. Dampaknya, para guru SD dalam mengajar di kelas sangat menonjol dominasinya, sehingga tidak mustahil supaya tercapainya Sains Riset Volume 3 - No. 1, 2013 target kurikulum, maka materi yang disajikan kurang menarik siswa, tanpa memperdulikan, apakah siswa memahaminya dengan baik atau tidak? (Sumarmo, 2000). Salah satu materi yang diajarkan pada siswa Kelas 4 Sekolah Dasar adalah Penjumlahan dan Pengurangan Bilangan Bulat. Materi ini dirasakan sangat sulit atau sukar diajarkan kepada siswa dan sulit pula untuk ditanam konsep dalam diri siswa SD. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Krisnadi (2002) terdapat beberapa hal yang sangat mendasar yang dijumpai oleh guru SD dalam menyampaikan materi tentang konsep operasi hitung Bilangan Bulat, yaitu: 1. Kurang memahami bagaiman seharusnya menanamkan pengertian dasar adanya Bilangan Bulat; 2. Kesulitan menjelaskan bentuk operasi (3) – (-5); 5 – (-8) dan sebagainya agar proses pemahamannya mudah diterima siswa; 3. Kesulitan memberikan jawaban secara realistik apabila ditanya oleh siswa dengan pertanyaan, “mengapa hasilnya seperti itu” berkaitan dengan soal-soal seperti point 2; 4. Kesulitan dalam mengambarkan bentukbentuk operasi seperti point 2 ke dalam garis bilangan; 5. Tidak dapat membedakan bagaimana proses menggambarkan bentuk operasi a + (-b) dan a – b atau a – (-b) dan a + b ke dalam garis bilangan, dan 6. Tidak mengetahui alat peraga yang dapat digunakan untuk memudahkan menjelaskan materi ini agar mudah dan senang diterima siswa. Di samping sukarnya menjelaskan materi ini kepada siswa SD, faktor lain juga dipengaruhi tidak diperhatikannya taraf berpikir anak, padahal proses abstraksi siswa SD masih perlu dibantu dengan perantaraan media tertentu. Hal ini dapat dipahami karena pada umumnya usia siswa SD ratarata berumur 7 – 11 tahun, dimana jangkauan perkembangan berpikir pada usia tersebut masih berada pada fase operasional konkret. Pada fase ini anak-anak akan lebih terbantu melakukan operasi atau berpikir logis, jika menggunakan benda-benda konkret atau benda-benda yang familiar dengan dirinya atau benda-benda yang lebih 2 sering dilihat dalam kehidupannya. Dengan kata lain, anak-anak pada usia tersebut belum mampu berimajinasi dengan bendabenda asing bagi dirinya. Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ruseffendi di atas, Djaali (1999) menyarankan bahwa sebaiknya guru matematika dalam menyajikan konsepkonsep matematika di SD sedapat mungkin dilakukan dengan pendekatan benda-benda konkrit, karena tanpa menggunakan pendekatan ini dikuatirkan materi yang diajarkan akan abstrak bagi siswa SD, sehingga akan mengalami kesulitan dalam mempelajari materi selanjutnya. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, salah satu penyebab kegagalan siswa dalam matematika menurut Suryadi (1997) adalah rendah pemahaman siswa terhadap materi prasyarat atau materi sebelumnya. Artinya, siswa yang tidak memiliki kemampuan dasar yang kuat dalam mata pelajaran matematika akan mendapatkan kesulitan dalam mempelajari materi pelajaran selanjutnya. Berdasarkan permasalahan di atas, untuk membantu siswa SD supaya proses berpikirnya pada perkembangan intelektual, dari konkret ke abtraksi, dari real ke imijinasi secara perlahan-lahan tertanam kuat konsep matematika dan mudah diterima siswa serta lama berada dalam otak siswa, maka menurut Murwani (1999) guru matematika harus mengupayakan cara penyampaian yang efektif, dengan demikian mutlak menggunakan alat peraga. Umumnya informasi yang diterima oleh siswa yang bersifat ilmu pengetahuan dan bertahan lama dalam diri siswa atau permanen, jika diperoleh dari pengalaman yang bersifat konkrit. Salah satu caranya menurut Pitajeng (2005) adalah melalui penyajian dengan menggunakan alat peraga. Pentingnya penggunaan alat peraga, dalam proses pembelajaran matematika menurut Gani (2011) dapat membantu siswa untuk berkomunikasi matematik secara real atau konkrit, mengintegrasikan pengalamanpengalaman sebelumnya, mempelancar atau efektifnya proses belajar siswa, membantu meningkatkan pemahaman dan memperkuat daya ingat dalam diri siswa, meningkatkan minat dan motivasi siswa, karena paradigma pembelajaran sekarang menurut Sidi (2001) dan Hadi (2001) adalah pendidikan yang Sains Riset Volume 3 - No. 1, 2013 menekankan proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching), pembelajaran yang diorganisir dalam struktur yang bersifat fleksibel, pendidikan yang memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri, dan pada intinya proses pembelajaran bergeser dari teacher active teaching menjadi student active learning. Artinya, oreintasi pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered) menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered), sehingga pada akhirnya diharapkan akan berpengaruh pada peningkatan hasil belajar matematika siswa. Salah satu cara atau strategi guru matematika yang dapat digunakan dalam kelas sesuai dengan permasalahan di atas adalah dengan cara menerapkan pembelajaran kontekstual. Dalam strategi pembelajaran kontekstual melalui kreativitas guru untuk memberdayakan siswa secara aktif, mendorong siswa bagaimana cara dan mampu belajar (learning to learn), belajar dengan menyenangkan (joyful learning), mengaitkan dengan persoalan kehidupan nyata (Johnson, 2002). Pembelajaran kontekstual juga memberikan peluang kepada siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan secara matematik dalam menyelesaikan masalah yang dimulai dari masalah yang dapat dibayangkan oleh siswa, guru secara perlahan-lahan membimbing siswa dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi secara matematis formal melalui matematisasi horizontal dan vertikal (Zulkardi, 2001). Masalah dan Tujuan Penelitian Berdasarkan kajian latar belakang masalah di atas, permasalahan dalam penelitian ini adalah, “Apakah ada perbedaan hasil belajar siswa yang belajar melalui pendekatan kontekstual dengan hasil belajar siswa yang belajar secara biasa pada siswa Kelas 4 SD dalam pokok bahasan penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat”. Sesuai dengan permasalahan tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menelaah tentang perbedaan hasil siswa yang belajar melalui pendekatan kontekstual dengan hasil belajar siswa yang belajar secara biasa pada siswa Kelas 4 SD 3 dalam pokok bahasan penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat. Hipotesis Penelitian Berdasarkan kajian permasalahan seperti yang dikemukakan di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah, “Terdapat perbedaan hasil hasil belajar siswa yang belajar melalui pendekatan kontekstual dengan hasil belajar siswa yang belajar secara biasa pada siswa Kelas 4 SD dalam pokok bahasan penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat”. Strategi atau Skenario/Rekayasa Pembelajaran Kontekstual Sebagaimana permasalahan di atas bahwa pada umumnya siswa kelas 4 Sekolah Dasar tidak banyak mengalami masalah penjumlahan dan pengurangan yang sederhana, namun mereka pada umumnyaa mengalami hambatan ketika mengurangi bilangan yang negatif, tidak sedikit siswa yang merasa bingung dan menganggapnya abstrak. Misal bentuk pengurangan seperti di bawah ini: 1. 4 – (-3) = 7 2. (-2) – (-4) = 2 3. (-3) – (-2) = -1 Guru matematika ketika menjelaskan soal-soal seperti sering menggunakan senjata pamungkas yaitu memberi contoh dan langsung menggunakan rumus di bawah ini : a + (-b) = a – b dan a – (-b) = a + b Dari mana rumus itu berasal? siswa tidak pernah tahu atau bahkan dianggap tidak perlu tahu, mengapa a – (-b) sama dengan a – b dan mengapa a + (-b) sama dengan a - b?. Padahal sesungguhnya konsep pembelajaran adalah bagaimana cara anak belajar secara bermakna. Artinya, siswa harus tahu bagaimana dan mengapa itu terjadi, karena yang penting dalam belajar adalah siswa tahu cara memperolehnya tapi bukan hanya tahu hasilnya semata. Dalam konsep pembelajaran kontekstual, permasalahan di atas dicoba untuk disederhanakan melalui penggunaan alat peraga sederhana maupun penggunaan garis bilangan. Alat peraga yang sederhana yang kita pilih dan kita upayakan atau yang kita rekayasakan adalah benda-benda yang telah dikenal dan disenangi oleh siswa, misalnya lingkaran kecil yang kita warnai Sains Riset Volume 3 - No. 1, 2013 supaya menarik bagi siswa. Rekayasa yang pertama dan yang harus ditanamkan kepada siswa adalah dua model, yang satu mewakili bilangan positif dan yang satu lagi mewakili bilangan negatif seperti yang tertera di bawah ini: = 1 dan = -1 Rekayasa yang kedua penanaman konsep bahwa jika bilangan positif dipasangkan dengan bilangan negatif hasilnya nol, berapapun jumlah pasangan yang dipasangkan. =0 Rekayasa yang terakhir sebelum ditanam konsep tentang bilangan, perlu juga diberi pengetahuan pada siswa kumpulan sejumlah pasangan benda-benda di atas, yaitu: 1. = -4 2. =3 3. =0 4. =...? Berapa nilai pada soal no 4 di atas?. Guru perlu mengarahkan siswa, baik secara individu maupun melalui diskusi dalam kelompok kecil untuk menemukan jawabanya. Dengan menggunakan pemahaman konsep sebelumnya bahwa setiap pasangan bilangan yang berpasangan selalu nilainya nol, maka pasangan di atas perlu dikelompokkan sebagai berikut: 4. =-2 karena yang berpasangan nilainya nol Contoh lain juga dapat diberikan oleh, yaitu: 4 1. (-2) + (-1) = = -3 2. 2 + (-1) = = =0 =1 3. (-1) – (-1) = = = 0, catatan yang dalam kotak dihilangkan atau bernilai nol. 4. (-2) – (-1) = = = -1 Bentuk soal di atas merupakan tahapan yang cukup menantang bagi siswa, karena posisi guru harus mampu menjadi fasilitator dan motivator buat siswa. Pada tahap ini, guru harus mampu pula mengarahkan siswa untuk mengali pengetahuannya sendiri melalui diskusi secara aktif dalam kelompoknya. Namun, apabila siswa juga belum mampu memahami konsep sebagaimana contoh di atas, maka guru harus memberi stimulan dan mengingatkan siswa tentang konsep-konsep yang pernah dibahas pada awal pelajaran, seperti konsep tentang pasangan bilangan yang bernilai nol. Hal ini penting dilakukan oleh guru karena60 dengan pemahaman konsep-konsep tersebut, siswa diharapkan akan sampai pada solusi, yaitu agar mampu menghadirkan objek yang belum ada, perlu meminjam bilangan nol atau menghadirkan pasangan bilangan positif-negatif sebanyak angka pengurangan. Akhirnya, siswa mampu memahami konsep yang cukup penting dalam pokok bahasan ini, yaitu “Pengurangan sama dengan penjumlahan dengan lawan dari bilangan pengurangan”. Pada akhirnya, dengan memahami konsep di atas, siswa dengan mudah dapat memecahkan soal yang diberikan kepadanya, baik dengan menggunakan alat peraga atau tanpa alat peraga, seperti contoh atau latihan berikut: 1. 2 – 3 ternyata sama dengan 2 + (-3) = -1 2. (-1) – 3 ternyata sama dengan (-1) + (-3) = -4 3. 5 – (-4) ternyata sama dengan 5 + 4 = 9 4. (-3) – (-3) ternyata sama dengan (-3) + 3 =0 Setelah memahami konsep di atas dengan baik, tidak akan menjadi suatu masalah bagi siswa jika dihadapkan dengan Sains Riset Volume 3 - No. 1, 2013 soal-soal lain yang relevan dengan soal-soal di atas. Dengan demikian melalui sedikit sentuhan guru, siswa dapat merasakan langsung proses re-invention atau penemuan kembali dan melalui proses atau kreativitas sendiri yang akhirnya siswa akan merasakan kebermaknaan dalam belajar (belajar bermakna), puas, menyenangkan dan berpengaruh pada meningkatnya minat dan motivasi siswa dalam matematika. Sebagai contoh diberikan soal-soal latihan berikut ini. Tentukan nilai dari soal-soal berikut: 1. 3 – 7 2. 4 + (-5) 3. (-2) + 6 4. (-3) +(-4) 5. (-5) – (-6) 6. (-5) – 4 Dengan menggunakan pemahaman konsep yang telah mereka peroleh sebelumnya, siswa dapat menyelesaikan soal-soal dengan cara penguraian seperti di bawah ini, hal ini dapat dilakukan oleh karena siswa telah tertanam konsep pengelompokkan atau pasangan bilangan dengan lawannya yang bernilai nol. Proses penyelesaian dapat dilihat sebagai berikut: 1. 3 – 7 = 3 – (3 + 4) = 3 – 3 – 4 = (3 – 3) – 4 = 0 – 4 = -4 2. 4 + (-5) = 4 + (-4 – 1) = 4 – 4 – 1 = (4 – 4) – 1 = 0 – 1 = -1 3. (-2) + 6 = (-2) + 2 + 4 = (-2 + 2) + 4 = 0 +4=4 4. (-3) + (-4) = (-3 – 4) = -7 5. (-5) – (-6) = (-5) + 6 = (-5) + 5 + 1 = (-5 + 5) + 1 = 0 + 1= 1 6. (-5) – 4 = (-5 – 4) = -9 Dari jawaban siswa di atas, tampak bahwa dengan penguasaan konsep yang baik, siswa tidak mengalami permasalahan lagi dalam menyelesaikan soal-soal penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat positif dan negatif. Demikian hakikat dari pembelajaran kontekstual, penanaman konsep dalam diri siswa dimulai dari hal yang konkrit, nyata atau dapat dibayangkan oleh siswa, disenangi lalu beranjak pada halhal yang abstrak, bahkan kadang-kadang siswa dapat menyimpulkan sendiri apa-apa yang mereka usahakan sendiri. Belajar seperti ini sangat berpengaruh secara positif dalam diri siswa, yang akhirnya berdampak 5 pada peningkatan minat, motivasi dan hasil belajar mereka sendiri. Metodologi Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Dengan menggunakan metode ini, subyek penelitian dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok atau kelas eksperimen dan kelompok atau kelas kontrol. Kelompok eksperimen adalah kelompok siswa yang belajarnya diajarkan dengan pembelajaran kontekstual, sedangkan kelompok kontrol adalah kelompok siswa yang belajarnya secara pembelajaran secara biasa. Penentuan kedua kelompok tersebut dipilih secara acak atau random. Sesuai dengan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, maka desain yang digunakan menurut Ruseffendi (1998) adalah rondomized control gruop prettestpostest design sebagai berikut: A O X1 O A O X2 O Dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: Pemilihan kelompok secara acak (A) Pemberian pretes dan postes (O) Penerapan perlakuan, dimana pembelajaran kontekstual X 1 dan pembelajaran biasa X 2 Instrumen yang digunakan berupa tes essay sebanyak 10 buah soal, baik untuk tes awal maupun untuk tes akhir. Siswa dalam hal ini diminta untuk menjawab soal-soal yang diberikan dengan bobot tiap soal jika dijawab dengan benar adalah 20 dan skor maksimal adalah 100. Artinya, jika seseorang siswa mampu menjawab dengan benar semua soal, maka siswa tersebut memperoleh nilai 100. dilakukan dengan uji Kay-Kuadrat pada taraf signifikan 5%. Sedangkan untuk uji homogenitas varians digunakan uji F. Selanjutnya, dengan memperhatikan hasil kedua uji di atas, ditetapkan statistik yang sesuai dengan permasalahannya. Jika datanya berdistribusi normal dan variansnya homogen, maka digunakan uji t. Jika datanya normal tetapi variansnya tidak homogen, maka digunakan uji t yang terkoreksi atau t’. Tetapi jika datanya tidak normal, maka digunakan uji statistik nonparametrik yaitu uji Mann Whitney (karena datanya merupakan data yang berasal dari dua buah sampel bebas/independen) tanpa harus melakukan uji homogenitas varians terlebih dahulu. Hasil Penelitian dan Pembahasan Data hasil tes, baik tes awal maupun tes akhir untuk ukuran rata-rata dan standar deviasi serta gain dapat dilihat pada poligon dan grafik berikut. Poligon 1 Perbandingan Rata-Rata dan Varians Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen 100 80 56.4 56 Sains Riset Volume 3 - No. 1, 2013 71.8 Ratarata 60 40 20 11.4 12.1 Kel. Kontrol Kel. Eksperimen 12.02 11.15 0 Kel. Kontrol Kel. Eksperimen Pada Tes Awal dan Tes Akhir Sedangkan perbandingan gain rata-rata kedua kelas tersebut dapat juga dilihat 100 90 80 Metode dan Prosedur Analisis Data Penelitian ini bersifat eksperimen (percobaan) tentang penerapan pembelajaran kontekstual bagi siswa kelas 4 SD pada kelas eksperimen, sedangkan kelas pembanding atau kelas kontrol diberikan pembelajaran biasa atau konvensional. Tahapan prosedur analisis data pertama dilakukan uji normalitas data dan uji homogenitas varians untuk kedua kelas tersebut. Untuk uji normalitas data 66.2 66.2 71.8 70 60 56 Kls. Kontr ol 56.4 50 Kls. Ekspe rimen 40 30 20 10 0 Tes Awal Tes Akhir 6 secara jelas dalam grafik berikut: Grafik 1 Peningkatan Gain Rerata Data Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen pada Tes Awal dan Tes Akhir Berdasarkan data pada poligon 1 dengan memperhatikan data tes awal dan tes akhir tampak bahwa rata-rata nilai siswa kelas eksperimen terjadi peningkatan lebih besar dibandingkan peningkatan rata-rata nilai siswa kelas kontrol. Begitu juga dari grafik 1 di atas tampak bahwa terjadi selisih peningkatan rata-rata dan gain, pada tes awal 10,2 dan pada tes akhir terjadi gain sebesar 15,4. Hal ini menunjukkan bahwa pada gain pada tes awal dan tes akhir terjadi perbedaan, dimana pada tes akhir lebih besar terjadi gain dibandingkan tes awal. Selanjutnya dilakukan uji normalitas data, pada tes awal data kelas kontrol diperoleh nilai hit2 3,66 dan data kelas eksperimen diperoleh nilai hit2 6,80 . 2 Sedangkan nilai tab 12,60 . Karena, baik nilai hit2 3,66 dan hit2 6,80 < 2 tab 12,60 . Dengan demikian data berdistribusi normal, baik data kelas kontrol dan kelas eksperimen pada tes awal. Selanjutnya, untuk uji homogenitas varians pada tes awal diperoleh Fhit 1,12 . Sedangkan Ftab 1,80 karena Fhit 1,12 < Ftab 1,80 . Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada tes awal kedua varians dapat dikatakan homogen. Karena data berdistribusi normal dan variansnya homogen, maka dapat digunakan uji t untuk melihat kesamaan dua rata-rata. Uji ini perlu dilakukan untuk mengetahui apakah kemampuan awal siswa kelas kontrol dan kelas eksperimen sama atau berbeda. Dengan menggunakan data sebelumnya, diperoleh thit 0,14 dan pada taraf signifikan 5% dengan dk = 68 diperoleh ttab 1,67 . Karena nilai atau ttab 1,67 thit 0,14 ttab 1,67 dengan kata lain bahwa nilai thit 0,14 berada didaerah penerimaan H 0 . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kemampuan awal siswa kelas kontrol sama dengan kemampuan awal siswa kelas eksperimen. Lebih lanjut dapat juga dikatakan bahwa karena kemampuan awal siswa pada kedua kelas tersebut sama, maka hasil akhir pembelajaran kalaupun terdapat perbedaan antara kedua kelas tersebut, hanya dipengaruhi oleh faktor pembelajaran atau perlakuan yang diberikan. Selanjutnya pada tes akhir, untuk uji normalitas data pada kelas kontrol diperoleh nilai hit2 5,75 dan data kelas eksperimen diperoleh nilai hit2 2,20 . Sedangkan nilai 2 tab 12,60 . Karena, baik nilai hit2 5,75 2 dan hit2 2,20 < tab 12,60 . Dengan demikian data berdistribusi normal, baik data kelas kontrol dan kelas eksperimen pada tes akhir. Selanjutnya, pada tes akhir diperoleh Fhit 1,16 . Sedangkan Ftab 1,80 karena Fhit 1,12 < Ftab 1,80 dengan demikian pada tes akhir kedua varians dapat dikatakan homogen. Sebagaimana data pada tes awal, karena data berdistribusi normal dan variansnya homogen, maka pada tes akhir juga memenuhi syarat untuk digunakan uji t. Dengan mempedomani data sebelumnya, maka diperoleh thit 2,09 dan pada taraf signifikan 5% dengan dk = 68. Sedangkan nilai ttab 1,67 . Karena nilai t hit 2,09 t tab 1,67 atau dengan kata lain bahwa nilai thit 0,14 berada didaerah penolakan H 0 . Sehingga dapat disimpulkan bahwa rata-rata nilai siswa kelas eksperimem lebih baik/tinggi dibandingkan rata-rata nilai siswa kelas kontrol. Atau dengan kata lain, hasil belajar siswa kelas eksperimen atau siswa yang belajarnya dengan pembelajaran kontekstual lebih baik dibandingkan dengan hasil belajar siswa kelas kontrol atau siswa yang belajarnya secara biasa atau konvensional. Kesimpulan dan Rekomendasi Berdasarkan temuan di atas dapat disimpulkan bahwa pada tes akhir terdapat perbedaan kemampuan atau hasil belajar siswa yang belajar secara biasa/konvensional atau siswa kelas kontrol dengan kemampuan atau hasil belajar siswa yang belajar melalui pembelajaran kontekstual atau siswa kelas eksperimen. Dengan kata lain, bahwa hasil belajar siswa kelas eksperimen yang belajarnya dengan Sains Riset Volume 3 - No. 1, 2013 7 pembelajaran kontekstual ternyata lebih baik daripada hasil belajar siswa kelas kontrol yang belajarnya secara biasa atau konvensional. Perbedaan hasil belajar tersebut tidak terjadi secara kebetulan dan tidak dipengaruhi kemampuan awal siswa, karena berdasarkan analisis pada tes awal, kemampuan awal siswa kontrol dan kelas eksperimen adalah sama. Artinya, sebelum diberikan perlakuan yang berbeda pada kedua kelas tersebut, mereka mempunyai kemampuan yang sama. Perbedaan hasil belajar kedua kelas tersebut yang secara statistik berbeda signifikan benar-benar disebabkan oleh efek perlakuan yang diberikan dalam proses pembelajaran di kelas. Berbedanya hasil belajar pada kedua kelas tersebut dapat dipahami karena dalam proses pembelajaran kontekstual siswa lebih ditekankan dalam belajarnya mengaitkan materi pelajaran dengan benda atau permasalahan yang sering dijumpai seharihari dalam kehidupannya. Dengan menggunakan alat peraga, siswa akan terbantu meningkatnya kemampuan pemahaman konsep mereka. Perubahan cara belajar sangat dirasakan oleh siswa karena dalam proses pembelajaran kontekstual, siswa diberi kesempatan secara aktif untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka dalam matematika (Suparno, 1997). Siswa dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang dimulai dari masalah-masalah yang dapat dimanipulasi dan dapat dibayangkan oleh siswa itu sendiri. Dengan sedikit bimbingan dari guru, dalam pembelajaran kontekstual siswa diberi kesempatan untuk melakukan matematisasi dengan masalah kontekstual yang realistik, sehingga siswa terdorong untuk mengkonstruksi atau membangun sendiri pengetahuan yang diperolehnya. Karena pada hakekatnya dalam pembelajaran kontekstual, guru tidak memulainya dari pemberitahuan sifat-sifat, definisi, dalil atau teorema dan selanjutnya diberi contoh-contoh yang diselesaikan oleh guru, siswa hanya menulis apa yang tertera di papan tulis, kemudian siswa mencoba menyelesaikan soal-soal yang diberikan oleh guru, walaupun sesungguhnya siswa tidak memahami sama sekali apa yang telah mereka terima. Namun, dalam pembelajaran kontekstual siswa disuguhkan masalah kontekstual atau nyata, selanjutnya siswa diarahkan dapat menemukan sendiri sifat atau definisi atau teorema atau aturan dalam matematik oleh siswa itu sendiri, sehingga pengetahuan yang mereka terima akan lebih bermakna dan siswa akan merasa lebih puas karena pengetahuan tersebut ditemukan oleh mereka sendiri. Dengan demikian secara keseluruhan dapat dinyatakan bahwa proses pembelajaran kontekstual sangat cocok diterapkan pada siswa Sekolah Dasar yang pada umumnya sangat senang bila permasalahan yang diberikan kepada mereka dapat dikaitkan dengan dunia nyata buat mereka, karena taraf pemikiran mereka masih berada pada taraf pemikiran konkrit atau belum abstrak, sehingga pemodelan matematik dengan cara informal tampaknya sangat relevan untuk siswa tingkat Sekolah Dasar. Rekomendasi 1. Dalam upaya mengimplimentasikan pembelajaran kontekstual dalam proses pembelajaran matematika pada tingkat Sekolah Dasar, perlu direkomendasikan agar segera dilakukan perubahan paradigma pembelajaran matematika, termasuk perubahan cara bagaimana guru yang selama ini sebagai pusat pembelajaran menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa. 2. Kepada guru matematika Sekolah Dasar direkomendasikan agar dalam setiap proses pembelajaran kontekstual supaya dapat mengkolaborasi dengan pendekatan pemecahan masalah yang berbasis atau berorientasi pada lingkungan nyata/real, lingkungan yang dekat dan sering dilihat siswa, lingkungan yang menyenangkan buat siswa. Sehingga timbul semangat belajar menyenangkan dan pada akhirnya dapat meningkatkan minat dan motivasi siswa dalam matematika yang berdampak pula pada peningkatan hasil belajar siswa dalam matematika. 3. Agar diperoleh gambaran yang lebih komprehensif tentang pengaruh penerapan pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran matematika terhadap hasil belajar siswa dan dapat digeneralisasi pada ruang lingkup yang Sains Riset Volume 3 - No. 1, 2013 8 lebih besar, direkomendasikan dilakukan penelitian lanjutan, antara lain membandingkan perbedaan hasil belajar siswa yang diajarkan dengan alat peraga berupa gambar dengan alat peraga berupa garis bilangan, menambah subyek, memilah antara siswa pandai, sedang dan siswa lemah, pada sekolah level rendah, sedang dan tinggi dan penambahan waktu penelitian. DAFTAR PUSTAKA Berns dan Ericson (2001). Theoretical Roots of Contextual Teaching and Learning in Mathematics. Georgia: The Departement of Mathematics Education. Darhim. (2005). Pengaruh Pembelajaran Matematika Kontekstual Terhadap Hasil Belajar Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Mimbar Pendidikan No. 3 Tahun XXIV Tahun 2005, 10-16. Bandung : UPI Press. Djaali. (1999). Materi Pelajaran Matematika di SD Terlalu Abstrak dan Rumit. Jakarta : Harian Kompas, tanggal 6 Mei 1998. Ernest, P. (1991). The Philosophy of Mathematics Education. London : The Falmer Press. Gani, R. A. (2003). Pengaruh Penerapan Pembelajaran dengan Pendekatan Pemecahan Masalah Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa SMU di Bandung. Tesis Pascasarjana (PPs) UPI Bandung. Bandung : Tidak diterbitkan. Gani, R. A. (2011). Keefektifan Penggunaan Alat Peraga pada Proses Pembelajaran Matematika pada Pokok Bahasan Bilangan Pecahan di Sekolah Dasar. Jurnal Ilmiah Cemerlang 65 Edisi 7, 7-12. Asahan : Fakultas Pertanian Universitas Asahan. Gravemeijer, K.P.E. (1994). Developing Realistics Mathematics Education. Utrecht : CD-β Press, Freudenthal Institute. Hadi, S. (2001). Pendidikan Realistik : Menjadikan Pelajaran Matematika Lebih Bermakna Bagi Siswa. Makalah yang Disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika-Perubahan Paradigma dari Paradigma Mengajar ke Paradigma Belajar pada tanggal 20 September 2001 di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Yogyakarta : Universitas Sanata Dharma. Johnson, B. E. (2002). Contextual Teaching and Learning. California : Corwin Press, Inc. Krisnadi, E. (2002). Penggunaan Balok Garis Bilangan dan Manik-Manik Sebagai Upaya Mengatasi Kebuntuan Guru Dalam Pembelajaran Bilangan Bulat Di Sekolah Dasar. Jurnal Matematika atau Pembelajarannya-Prosiding Konferensi Nasional Matematika IX Bagian I. Tahun VIII Edisi Khusus, Juli 2002, 404411.Linggawati dan Frederick (1999). Guru Matematika Tidak Siap Mental. Jakarta : Media Indonesia tanggal 28 Mei 1999. Marpaung, Y. (2001). Pendekatan Realistik dan Seni Dalam Pembelajaran Matematika. Makalah yang Disampaikan pada Seminar Pendekatan Realistik dan Seni pada tanggal 20 September 2001 di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Yogyakarta : Tidak diterbitkan. Murwani, S. (1999). Pengajaran Matematika Rumit. Jakarta : Harian Kompas, tanggal 14 Mei 1999. Pitajeng (2005). Pembelajaran Matematika yang Menyenangkan. Jakarta : Depdiknas. Ruseffendi, H. E.T. (1991). Pengajaran Matematika Modern Untuk Orang Tua, Murid, Guru, dan SPG. Bandung : Tarsito. Ruseffendi, H. E.T. (1998). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya. Sains Riset Volume 3 - No. 1, 2013 9 Semarang : IKIP Semarang Press. Ruseffendi, H. E.T. (2001). Evaluasi Pembudayaan Berpikir Logis Serta Bersikap Kritis dan Kreatif Melalui Pendidikan Matematika Realistik. Makalah yang Disampaikan pada Lokakarya Tentang Sistem Evaluasi Pembelajaran Matematika Realistik, Juli 2001 di Yogyakarta. Yogyakarta : Tidak diterbitkan. Sidi, I. D. (2001). Menuju Masyarakat Belajar-Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Jakarta: Paramadina. Soedjadi, R. (2000). Kiat-Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta : Dirjen Dikti Depdikbud. Sumarmo, U. (1999). Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Untuk Meningkatkan Keterampilan Intelektual Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Dasar. Laporang Hasil Penelitian. Bandung : FMIPA IKIP Bandung (tidak diterbitkan). Sumarmo, U. (2000). Handouts; Proses Belajar dan Pemahaman Materi Kuliah. Makalah Disampaikan pada Lokakarya Tentang Peran Pedagogi Peningkatan Proses Pembelajaran TPB ITB, tanggal 4 Desember 2000 di Bandung. Bandung : Tidak diterbitkan. Suparno, P. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta : Kanisius. Supinah. (2008). Pembelajaran Matematika SD dengan Pendekatan Kontektual Dalam Melaksanakan KTSP. Yogyakarta : Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika-Depdiknas. Suryadi, D. (1997). Alat Peraga dan Media Pengajaran Matematika. JakartaDitjen Dikdasmen, Depdikbud : Karunika Universitas Terbuka (UT). Wahyuddin. (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika dan Siswa Dalam Mata Pelajaran Matematika. 66 Disertasi PPs IKIP Bandung. Bandung : Tidak diterbitkan. Zulkardi. (2001). Realistic Mathematics Education (RME): Teori, Contoh Pembelajaran dan Taman Belajar di Internet. Makalah yang Disajikan dalam Seminar Sehari tentang Realistic Mathematics Education tanggal 4 April 2001 di Bandung. Bandung : Tidak diterbitkan. Sains Riset Volume 3 - No. 1, 2013 10