Sains Riset Volume 3 - No. 1, 2013 - E-Jurnal Unigha

advertisement
PENGARUH PENERAPAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
MELALUI ALAT PERAGA SEDEP HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA SEKOLAH
DASAR
PADA MATERI PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN BILANGAN BULAT
Oleh : Roeslan Abdul Gani
(Dosen Prodi Matematika FKIP Universitas Jabal Ghafur)
ABSTRACT
This study is an experimental and control study design with randomized control group
pretest-posttest design. The experimental group was treated contextual learning, whereas the
control group treated with normal or conventional learning. The research was conducted at the
Grade 4 students at SDN 1 Sigli school year 2012/2013. Determination of two grade 4 are
defined as parallel to the experimental class and the control is done by random. The purpose of
this study to determine whether there is influence of the application of contextual learning in the
learning process of mathematics to the material addition and subtraction of positive integers and
negative integers on learning outcomes math grade 4 elementary school. Having in mind that the
data analyzed from the experimental group and control group were normally distributed and
variances homogeneous, both initial test data and final test data, we then tested the hypothesis by
using the t test. The results or findings in the study indicate that student learning outcomes that
were subjected to contextual learning is better than learning outcomes of students who were
treated in the ordinary or conventional learning. Other findings of the treatment effect of
contextual learning include: increasing student interest and motivation; students learn in a fun
atmosphere; students feel satisfied and proud that something earned on his own; increased
communication and mathematical connections students, as well as embedded understanding of
mathematical concepts better student
Keyword : Contextual learning, visual instrumen, understanding of the concept.
Latar Belakang Masalah
Matematika, meski sebagai salah satu
pelajaran yang cukup penting untuk
dipelajari pada berbagai tingkatan atau
satuan pendidikan, namun sampai saat ini
hasil atau mutu matematika belum juga
mengembirakan. Masih memprihatinkan
hasil belajar dan proses pembelajarannya
matematika, menurut Soedjadi (2000)
terlihat pada rerata pada NEM dan UAN
serta UN dari tahun 1984 sampai dengan
2010 selalu berada di bawah 6 dalam skala
1-10. Rendahnya hasil belajar siswa dalam
matematika juga tidak terlepas dari peran
guru yang masih cenderung menggunakan
cara-cara konvensional dan berpusat pada
guru. Artinya, dalam proses pembelajaran
matematika guru dianggap sebagai pusat
pembelajaran, sedangkan siswa bersifat
pasif, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh
Wahyuddin (1999), Sumarmo (1999), dan
Gani (2003).
Tanpa kita sadari bahwa selama ini
proses pembelajaran yang berlangsung
secara konvensional, dimana siswa bekerja
untuk dirinya sendiri, mata ke papan tulis,
Sains Riset Volume 3 - No. 1, 2013
penuh perhatian tanpa berani bertanya atau
mempersoalkan sesuatu yang kurang jelas
pada gurunya, bahan belajar hanya dari
guru, dan umumnya guru adalah pembuat
keputusan (Supinah, 2008). Akibatnya,
banyak siswa hanya mampu menyajikan
tingkat hafalan terhadap materi yang mereka
terima, tetapi pada kenyataannya mereka
tidak memahaminya dengan baik, sehingga
mereka tidak mampu menghubungkan apa
yang telah mereka pelajari untuk digunakan
atau dimanfaatkan di lapangan atau di luar
sekolah atau dalam kehidupan nyata/seharihari.
Dampak lain akibat pembelajaran
seperti di atas, dimana siswa sebagai
pebelajar merasa asing dengan apa yang
telah mereka pelajari, karena bagi mereka,
matematika
sukar
dan
menakutkan.
Sehingga tidaklah salah jika ada anggapan
sebagaimana yang dikemukakan oleh
Wahyuddin (1999) bahwa matematika
merupakan pelajaran yang sukar dipelajari
oleh siswa, bahkan sukar pula diajarkan oleh
guru itu sendiri. Gambaran atau kondisi di
1
atas juga sangat kentara kita lihat pada
tingkatan atau jenjang di Sekolah Dasar.
Hasil penelitian Sumarmo (1999)
menemukan bahwa pada umumnya siswa
Sekolah Dasar mengalami kesulitan belajar
matematika, terutama pada topik-topik
tertentu. Di samping karena dipengaruhi
oleh tingkat pemikiran siswa yang masih57
rendah, juga matematika kurang disukai
oleh siswa Sekolah Dasar. Menurut
Gravemeijer (1994) dan Ernest (1991)
mengatakan bahwa kurang disukainya
matematika oleh siswa Sekolah Dasar
mungkin dipengaruhi oleh faktor materi
matematika atau faktor proses pembelajaran
di dalam kelas, dari faktor materi
matematika itu sendiri, matematika dianggap
sebagai ilmu yang abstrak. Senada hal
tersebut, Ruseffendi (2001) mengemukakan
bahwa matematika bagi anak-anak semakin
terasa abstrak, jika materi yang diajarkan
jauh dari kehidupan sehari-hari mereka,
termasuk pada materi perhitungan dan
pengurangan. Oleh karena itu, pada bagian
lain Ruseffendi (2001) menyarankan agar
menerangkan
pengerjaan
perhitungan
sedapat
mungkin
dimulai
dengan
menggunakan benda-benda real, konkrit,
gambar ataupun diagram yang disajikan
supaya dikaitkan dengan kehidupan nyata
anak-anak, kemudian dilanjutkan ketahap
model dan tahap simbolisasi serta tahap
penanaman konsep.
Tidak dapat dipungkiri bahwa hasil
yang diperoleh siswa dalam matematika di
samping dipengaruhi oleh kemampuan siswa
itu sendiri juga sangat dipengaruhi oleh guru
dalam menjelaskan kepada siswanya. Jika
kemampuan guru rendah dalam menyajikan
materi matematika, maka dapat dipastikan
bahwa siswa akan cenderung menganggap
matematika itu sukar, rumit, membosankan,
bahkan menakutkan. Jika hal ini terus
dibiarkan berlarut-larut, maka mutu atau
hasil matematika siswa akan selalu rendah.
Sangat memprihatinkan kita sebagai
pendidik, jika kita menelaah lebih lanjut
hasil penelitian yang dilakukan oleh
Linggawati
dan
Frederick
(1999)
menemukan bahwa umumnya guru SD tidak
siap mental dalam mengajarkan matematika.
Dampaknya, para guru SD dalam mengajar
di kelas sangat menonjol dominasinya,
sehingga tidak mustahil supaya tercapainya
Sains Riset Volume 3 - No. 1, 2013
target kurikulum, maka materi yang
disajikan kurang menarik siswa, tanpa
memperdulikan,
apakah
siswa
memahaminya dengan baik atau tidak?
(Sumarmo, 2000).
Salah satu materi yang diajarkan pada
siswa Kelas 4 Sekolah Dasar adalah
Penjumlahan dan Pengurangan Bilangan
Bulat. Materi ini dirasakan sangat sulit atau
sukar diajarkan kepada siswa dan sulit pula
untuk ditanam konsep dalam diri siswa SD.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Krisnadi (2002) terdapat beberapa hal yang
sangat mendasar yang dijumpai oleh guru
SD dalam menyampaikan materi tentang
konsep operasi hitung Bilangan Bulat, yaitu:
1. Kurang memahami bagaiman seharusnya
menanamkan pengertian dasar adanya
Bilangan Bulat;
2. Kesulitan menjelaskan bentuk operasi (3) – (-5); 5 – (-8) dan sebagainya agar
proses pemahamannya mudah diterima
siswa;
3. Kesulitan memberikan jawaban secara
realistik apabila ditanya oleh siswa
dengan pertanyaan, “mengapa hasilnya
seperti itu” berkaitan dengan soal-soal
seperti point 2;
4. Kesulitan dalam mengambarkan bentukbentuk operasi seperti point 2 ke dalam
garis bilangan;
5. Tidak dapat membedakan bagaimana
proses menggambarkan bentuk operasi a
+ (-b) dan a – b atau a – (-b) dan a + b ke
dalam garis bilangan, dan
6. Tidak mengetahui alat peraga yang dapat
digunakan
untuk
memudahkan
menjelaskan materi ini agar mudah dan
senang diterima siswa.
Di samping sukarnya menjelaskan
materi ini kepada siswa SD, faktor lain juga
dipengaruhi tidak diperhatikannya taraf
berpikir anak, padahal proses abstraksi siswa
SD masih perlu dibantu dengan perantaraan
media tertentu. Hal ini dapat dipahami
karena pada umumnya usia siswa SD ratarata berumur 7 – 11 tahun, dimana
jangkauan perkembangan berpikir pada usia
tersebut masih berada pada fase operasional
konkret. Pada fase ini anak-anak akan lebih
terbantu melakukan operasi atau berpikir
logis, jika menggunakan benda-benda
konkret atau benda-benda yang familiar
dengan dirinya atau benda-benda yang lebih
2
sering dilihat dalam kehidupannya. Dengan
kata lain, anak-anak pada usia tersebut
belum mampu berimajinasi dengan bendabenda asing bagi dirinya. Sejalan dengan
pendapat
yang
dikemukakan
oleh
Ruseffendi di atas, Djaali (1999)
menyarankan bahwa sebaiknya guru
matematika dalam menyajikan konsepkonsep matematika di SD sedapat mungkin
dilakukan dengan pendekatan benda-benda
konkrit, karena tanpa menggunakan
pendekatan ini dikuatirkan materi yang
diajarkan akan abstrak bagi siswa SD,
sehingga akan mengalami kesulitan dalam
mempelajari materi selanjutnya.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas,
salah satu penyebab kegagalan siswa dalam
matematika menurut Suryadi (1997) adalah
rendah pemahaman siswa terhadap materi
prasyarat atau materi sebelumnya. Artinya,
siswa yang tidak memiliki kemampuan dasar
yang kuat dalam mata pelajaran matematika
akan
mendapatkan
kesulitan
dalam
mempelajari materi pelajaran selanjutnya.
Berdasarkan permasalahan di atas,
untuk membantu siswa SD supaya proses
berpikirnya pada perkembangan intelektual,
dari konkret ke abtraksi, dari real ke
imijinasi secara perlahan-lahan tertanam
kuat konsep matematika dan mudah diterima
siswa serta lama berada dalam otak siswa,
maka menurut Murwani (1999) guru
matematika harus mengupayakan cara
penyampaian yang efektif, dengan demikian
mutlak menggunakan alat peraga. Umumnya
informasi yang diterima oleh siswa yang
bersifat ilmu pengetahuan dan bertahan lama
dalam diri siswa atau permanen, jika
diperoleh dari pengalaman yang bersifat
konkrit. Salah satu caranya menurut Pitajeng
(2005) adalah melalui penyajian dengan
menggunakan alat peraga.
Pentingnya penggunaan alat peraga,
dalam proses pembelajaran matematika
menurut Gani (2011) dapat membantu siswa
untuk berkomunikasi matematik secara real
atau konkrit, mengintegrasikan pengalamanpengalaman sebelumnya, mempelancar atau
efektifnya proses belajar siswa, membantu
meningkatkan pemahaman dan memperkuat
daya ingat dalam diri siswa, meningkatkan
minat dan motivasi siswa, karena paradigma
pembelajaran sekarang menurut Sidi (2001)
dan Hadi (2001) adalah pendidikan yang
Sains Riset Volume 3 - No. 1, 2013
menekankan proses pembelajaran (learning)
daripada mengajar (teaching), pembelajaran
yang diorganisir dalam struktur yang bersifat
fleksibel, pendidikan yang memperlakukan
peserta didik sebagai individu yang memiliki
karakteristik khusus dan mandiri, dan pada
intinya proses pembelajaran bergeser dari
teacher active teaching menjadi student
active
learning.
Artinya,
oreintasi
pembelajaran yang berpusat pada guru
(teacher centered) menjadi pembelajaran
yang berpusat pada siswa (student centered),
sehingga pada akhirnya diharapkan akan
berpengaruh pada peningkatan hasil belajar
matematika siswa.
Salah satu cara atau strategi guru
matematika yang dapat digunakan dalam
kelas sesuai dengan permasalahan di atas
adalah
dengan
cara
menerapkan
pembelajaran kontekstual. Dalam strategi
pembelajaran kontekstual melalui kreativitas
guru untuk memberdayakan siswa secara
aktif, mendorong siswa bagaimana cara dan
mampu belajar (learning to learn), belajar
dengan menyenangkan (joyful learning),
mengaitkan dengan persoalan kehidupan
nyata (Johnson, 2002). Pembelajaran
kontekstual juga memberikan peluang
kepada siswa untuk mengkonstruksi
pengetahuan secara matematik dalam
menyelesaikan masalah yang dimulai dari
masalah yang dapat dibayangkan oleh siswa,
guru secara perlahan-lahan membimbing
siswa dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapi secara matematis formal melalui
matematisasi horizontal dan vertikal
(Zulkardi, 2001).
Masalah dan Tujuan Penelitian
Berdasarkan kajian latar belakang
masalah di atas, permasalahan dalam
penelitian ini adalah, “Apakah ada
perbedaan hasil belajar siswa yang belajar
melalui pendekatan kontekstual dengan hasil
belajar siswa yang belajar secara biasa pada
siswa Kelas 4 SD dalam pokok bahasan
penjumlahan dan pengurangan bilangan
bulat”.
Sesuai dengan permasalahan tersebut,
maka penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui dan menelaah tentang perbedaan
hasil siswa yang belajar melalui pendekatan
kontekstual dengan hasil belajar siswa yang
belajar secara biasa pada siswa Kelas 4 SD
3
dalam pokok bahasan penjumlahan dan
pengurangan bilangan bulat.
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan
kajian
permasalahan
seperti yang dikemukakan di atas, maka
hipotesis dalam penelitian ini adalah,
“Terdapat perbedaan hasil hasil belajar
siswa yang belajar melalui pendekatan
kontekstual dengan hasil belajar siswa yang
belajar secara biasa pada siswa Kelas 4 SD
dalam pokok bahasan penjumlahan dan
pengurangan bilangan bulat”.
Strategi atau Skenario/Rekayasa
Pembelajaran Kontekstual
Sebagaimana permasalahan di atas
bahwa pada umumnya siswa kelas 4 Sekolah
Dasar tidak banyak mengalami masalah
penjumlahan dan pengurangan yang
sederhana, namun mereka pada umumnyaa
mengalami hambatan ketika mengurangi
bilangan yang negatif, tidak sedikit siswa
yang merasa bingung dan menganggapnya
abstrak. Misal bentuk pengurangan seperti di
bawah ini:
1. 4 – (-3) = 7
2. (-2) – (-4) = 2
3. (-3) – (-2) = -1
Guru matematika ketika menjelaskan
soal-soal seperti sering menggunakan
senjata pamungkas yaitu memberi contoh
dan langsung menggunakan rumus di bawah
ini :
a + (-b) = a – b dan a – (-b) = a + b
Dari mana rumus itu berasal? siswa
tidak pernah tahu atau bahkan dianggap
tidak perlu tahu, mengapa a – (-b) sama
dengan a – b dan mengapa a + (-b) sama
dengan a - b?. Padahal sesungguhnya konsep
pembelajaran adalah bagaimana cara anak
belajar secara bermakna. Artinya, siswa
harus tahu bagaimana dan mengapa itu
terjadi, karena yang penting dalam belajar
adalah siswa tahu cara memperolehnya tapi
bukan hanya tahu hasilnya semata.
Dalam
konsep
pembelajaran
kontekstual, permasalahan di atas dicoba
untuk disederhanakan melalui penggunaan
alat peraga sederhana maupun penggunaan
garis bilangan. Alat peraga yang sederhana
yang kita pilih dan kita upayakan atau yang
kita rekayasakan adalah benda-benda yang
telah dikenal dan disenangi oleh siswa,
misalnya lingkaran kecil yang kita warnai
Sains Riset Volume 3 - No. 1, 2013
supaya menarik bagi siswa. Rekayasa yang
pertama dan yang harus ditanamkan kepada
siswa adalah dua model, yang satu mewakili
bilangan positif dan yang satu lagi mewakili
bilangan negatif seperti yang tertera di
bawah ini:
= 1 dan
= -1
Rekayasa yang kedua penanaman
konsep bahwa jika bilangan positif
dipasangkan dengan bilangan negatif
hasilnya nol, berapapun jumlah pasangan
yang dipasangkan.
=0
Rekayasa yang terakhir sebelum
ditanam konsep tentang bilangan, perlu juga
diberi pengetahuan pada siswa kumpulan
sejumlah pasangan benda-benda di atas,
yaitu:
1.
= -4
2.
=3
3.
=0
4.
=...?
Berapa nilai pada soal no 4 di atas?.
Guru perlu mengarahkan siswa, baik secara
individu maupun melalui diskusi dalam
kelompok
kecil
untuk
menemukan
jawabanya.
Dengan
menggunakan
pemahaman konsep sebelumnya bahwa
setiap pasangan bilangan yang berpasangan
selalu nilainya nol, maka pasangan di atas
perlu dikelompokkan sebagai berikut:
4.
=-2
karena yang
berpasangan
nilainya nol
Contoh lain juga dapat diberikan
oleh, yaitu:
4
1. (-2) + (-1) =
= -3
2. 2 + (-1) =
=
=0
=1
3. (-1) – (-1) =
=
= 0, catatan
yang dalam kotak dihilangkan atau
bernilai nol.
4. (-2) – (-1) =
=
= -1
Bentuk soal di atas merupakan tahapan
yang cukup menantang bagi siswa, karena
posisi guru harus mampu menjadi fasilitator
dan motivator buat siswa. Pada tahap ini,
guru harus mampu pula mengarahkan siswa
untuk mengali pengetahuannya sendiri
melalui diskusi secara aktif dalam
kelompoknya. Namun, apabila siswa juga
belum
mampu
memahami
konsep
sebagaimana contoh di atas, maka guru
harus memberi stimulan dan mengingatkan
siswa tentang konsep-konsep yang pernah
dibahas pada awal pelajaran, seperti konsep
tentang pasangan bilangan yang bernilai nol.
Hal ini penting dilakukan oleh guru karena60
dengan pemahaman konsep-konsep tersebut,
siswa diharapkan akan sampai pada solusi,
yaitu agar mampu menghadirkan objek yang
belum ada, perlu meminjam bilangan nol
atau menghadirkan pasangan bilangan
positif-negatif sebanyak angka pengurangan.
Akhirnya, siswa mampu memahami konsep
yang cukup penting dalam pokok bahasan
ini, yaitu “Pengurangan sama dengan
penjumlahan dengan lawan dari bilangan
pengurangan”.
Pada akhirnya, dengan memahami
konsep di atas, siswa dengan mudah dapat
memecahkan
soal
yang
diberikan
kepadanya, baik dengan menggunakan alat
peraga atau tanpa alat peraga, seperti contoh
atau latihan berikut:
1. 2 – 3 ternyata sama dengan 2 + (-3) = -1
2. (-1) – 3 ternyata sama dengan (-1) + (-3)
= -4
3. 5 – (-4) ternyata sama dengan 5 + 4 = 9
4. (-3) – (-3) ternyata sama dengan (-3) + 3
=0
Setelah memahami konsep di atas
dengan baik, tidak akan menjadi suatu
masalah bagi siswa jika dihadapkan dengan
Sains Riset Volume 3 - No. 1, 2013
soal-soal lain yang relevan dengan soal-soal
di atas. Dengan demikian melalui sedikit
sentuhan guru, siswa dapat merasakan
langsung proses re-invention atau penemuan
kembali dan melalui proses atau kreativitas
sendiri yang akhirnya siswa akan merasakan
kebermaknaan dalam belajar (belajar
bermakna), puas, menyenangkan dan
berpengaruh pada meningkatnya minat dan
motivasi siswa dalam matematika. Sebagai
contoh diberikan soal-soal latihan berikut
ini.
Tentukan nilai dari soal-soal berikut:
1. 3 – 7
2. 4 + (-5)
3. (-2) + 6
4. (-3) +(-4)
5. (-5) – (-6)
6. (-5) – 4
Dengan menggunakan pemahaman
konsep yang telah mereka peroleh
sebelumnya, siswa dapat menyelesaikan
soal-soal dengan cara penguraian seperti di
bawah ini, hal ini dapat dilakukan oleh
karena siswa telah tertanam konsep
pengelompokkan atau pasangan bilangan
dengan lawannya yang bernilai nol. Proses
penyelesaian dapat dilihat sebagai berikut:
1. 3 – 7 = 3 – (3 + 4) = 3 – 3 – 4 = (3 – 3) –
4 = 0 – 4 = -4
2. 4 + (-5) = 4 + (-4 – 1) = 4 – 4 – 1 = (4 –
4) – 1 = 0 – 1 = -1
3. (-2) + 6 = (-2) + 2 + 4 = (-2 + 2) + 4 = 0
+4=4
4. (-3) + (-4) = (-3 – 4) = -7
5. (-5) – (-6) = (-5) + 6 = (-5) + 5 + 1 = (-5
+ 5) + 1 = 0 + 1= 1
6. (-5) – 4 = (-5 – 4) = -9
Dari jawaban siswa di atas, tampak
bahwa dengan penguasaan konsep yang
baik, siswa tidak mengalami permasalahan
lagi
dalam
menyelesaikan soal-soal
penjumlahan dan pengurangan bilangan
bulat positif dan negatif. Demikian hakikat
dari pembelajaran kontekstual, penanaman
konsep dalam diri siswa dimulai dari hal
yang konkrit, nyata atau dapat dibayangkan
oleh siswa, disenangi lalu beranjak pada halhal yang abstrak, bahkan kadang-kadang
siswa dapat menyimpulkan sendiri apa-apa
yang mereka usahakan sendiri. Belajar
seperti ini sangat berpengaruh secara positif
dalam diri siswa, yang akhirnya berdampak
5
pada peningkatan minat, motivasi dan hasil
belajar mereka sendiri.
Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode eksperimen.
Dengan menggunakan metode ini, subyek
penelitian dibagi dalam dua kelompok, yaitu
kelompok atau kelas eksperimen dan
kelompok atau kelas kontrol. Kelompok
eksperimen adalah kelompok siswa yang
belajarnya diajarkan dengan pembelajaran
kontekstual, sedangkan kelompok kontrol
adalah kelompok siswa yang belajarnya
secara pembelajaran secara biasa. Penentuan
kedua kelompok tersebut dipilih secara acak
atau random.
Sesuai dengan metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini, maka desain
yang digunakan menurut Ruseffendi (1998)
adalah rondomized control gruop prettestpostest design sebagai berikut:
A O X1 O
A O X2 O
Dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:
 Pemilihan kelompok secara acak (A)
 Pemberian pretes dan postes (O)
 Penerapan
perlakuan,
dimana
pembelajaran kontekstual X 1 dan
pembelajaran biasa X 2
Instrumen yang digunakan berupa tes
essay sebanyak 10 buah soal, baik untuk tes
awal maupun untuk tes akhir. Siswa dalam
hal ini diminta untuk menjawab soal-soal
yang diberikan dengan bobot tiap soal jika
dijawab dengan benar adalah 20 dan skor
maksimal adalah 100. Artinya, jika
seseorang siswa mampu menjawab dengan
benar semua soal, maka siswa tersebut
memperoleh nilai 100.
dilakukan dengan uji Kay-Kuadrat pada
taraf signifikan 5%. Sedangkan untuk uji
homogenitas varians digunakan uji F.
Selanjutnya, dengan memperhatikan hasil
kedua uji di atas, ditetapkan statistik yang
sesuai dengan permasalahannya. Jika
datanya berdistribusi normal dan variansnya
homogen, maka digunakan uji t. Jika
datanya normal tetapi variansnya tidak
homogen, maka digunakan uji t yang
terkoreksi atau t’. Tetapi jika datanya tidak
normal, maka digunakan uji statistik
nonparametrik yaitu uji Mann Whitney
(karena datanya merupakan data yang
berasal
dari
dua
buah
sampel
bebas/independen) tanpa harus melakukan
uji homogenitas varians terlebih dahulu.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Data hasil tes, baik tes awal maupun tes
akhir untuk ukuran rata-rata dan standar
deviasi serta gain dapat dilihat pada poligon
dan grafik berikut.
Poligon 1
Perbandingan Rata-Rata dan Varians
Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen
100
80
56.4
56
Sains Riset Volume 3 - No. 1, 2013
71.8
Ratarata
60
40
20
11.4
12.1
Kel. Kontrol
Kel.
Eksperimen
12.02
11.15
0
Kel. Kontrol
Kel.
Eksperimen
Pada Tes Awal dan Tes Akhir
Sedangkan perbandingan gain rata-rata
kedua kelas tersebut dapat juga dilihat
100
90
80
Metode dan Prosedur Analisis Data
Penelitian ini bersifat eksperimen
(percobaan) tentang penerapan pembelajaran
kontekstual bagi siswa kelas 4 SD pada
kelas
eksperimen,
sedangkan
kelas
pembanding atau kelas kontrol diberikan
pembelajaran biasa atau konvensional.
Tahapan prosedur analisis data pertama
dilakukan uji normalitas data dan uji
homogenitas varians untuk kedua kelas
tersebut. Untuk uji normalitas data
66.2
66.2
71.8
70
60
56
Kls.
Kontr
ol
56.4
50
Kls.
Ekspe
rimen
40
30
20
10
0
Tes Awal
Tes Akhir
6
secara jelas dalam grafik berikut:
Grafik 1
Peningkatan Gain Rerata Data Kelas
Kontrol dan Kelas Eksperimen pada Tes
Awal dan Tes Akhir
Berdasarkan data pada poligon 1
dengan memperhatikan data tes awal dan tes
akhir tampak bahwa rata-rata nilai siswa
kelas eksperimen terjadi peningkatan lebih
besar dibandingkan peningkatan rata-rata
nilai siswa kelas kontrol. Begitu juga dari
grafik 1 di atas tampak bahwa terjadi selisih
peningkatan rata-rata dan gain, pada tes awal
10,2 dan pada tes akhir terjadi gain sebesar
15,4. Hal ini menunjukkan bahwa pada gain
pada tes awal dan tes akhir terjadi
perbedaan, dimana pada tes akhir lebih besar
terjadi gain dibandingkan tes awal.
Selanjutnya dilakukan uji normalitas
data, pada tes awal data kelas kontrol
diperoleh nilai  hit2  3,66 dan data kelas
eksperimen
diperoleh nilai
 hit2  6,80 .
2
Sedangkan nilai tab
 12,60 . Karena, baik
nilai
 hit2  3,66
dan
 hit2  6,80 <
2
tab
 12,60 .
Dengan demikian data
berdistribusi normal, baik data kelas kontrol
dan kelas eksperimen pada tes awal.
Selanjutnya, untuk uji homogenitas varians
pada tes awal diperoleh
Fhit  1,12 .
Sedangkan Ftab  1,80 karena Fhit  1,12 <
Ftab  1,80 . Sehingga dapat disimpulkan
bahwa pada tes awal kedua varians dapat
dikatakan
homogen.
Karena
data
berdistribusi normal dan variansnya
homogen, maka dapat digunakan uji t untuk
melihat kesamaan dua rata-rata. Uji ini perlu
dilakukan untuk mengetahui apakah
kemampuan awal siswa kelas kontrol dan
kelas eksperimen sama atau berbeda.
Dengan menggunakan data sebelumnya,
diperoleh thit  0,14 dan pada taraf signifikan
  5% dengan dk = 68 diperoleh ttab  1,67
.
Karena
nilai
atau
ttab  1,67  thit  0,14  ttab  1,67
dengan kata lain bahwa nilai thit  0,14
berada didaerah penerimaan H 0 . Dengan
demikian
dapat
disimpulkan bahwa
kemampuan awal siswa kelas kontrol sama
dengan kemampuan awal siswa kelas
eksperimen. Lebih lanjut dapat juga
dikatakan bahwa karena kemampuan awal
siswa pada kedua kelas tersebut sama, maka
hasil akhir pembelajaran kalaupun terdapat
perbedaan antara kedua kelas tersebut,
hanya dipengaruhi oleh faktor pembelajaran
atau perlakuan yang diberikan.
Selanjutnya pada tes akhir, untuk uji
normalitas data pada kelas kontrol diperoleh
nilai  hit2  5,75 dan data kelas eksperimen
diperoleh nilai  hit2  2,20 . Sedangkan nilai
2
tab
 12,60 . Karena, baik nilai  hit2  5,75
2
dan  hit2  2,20 < tab
 12,60 . Dengan
demikian data berdistribusi normal, baik
data kelas kontrol dan kelas eksperimen
pada tes akhir. Selanjutnya, pada tes akhir
diperoleh Fhit  1,16 . Sedangkan Ftab  1,80
karena Fhit  1,12 < Ftab  1,80 dengan
demikian pada tes akhir kedua varians dapat
dikatakan homogen. Sebagaimana data pada
tes awal, karena data berdistribusi normal
dan variansnya homogen, maka pada tes
akhir juga memenuhi syarat untuk
digunakan uji t. Dengan mempedomani data
sebelumnya, maka diperoleh thit  2,09 dan
pada taraf signifikan   5% dengan dk =
68. Sedangkan nilai ttab  1,67 . Karena nilai
t hit  2,09  t tab  1,67 atau dengan kata lain
bahwa nilai thit  0,14 berada didaerah
penolakan H 0 . Sehingga dapat disimpulkan
bahwa
rata-rata
nilai siswa
kelas
eksperimem lebih baik/tinggi dibandingkan
rata-rata nilai siswa kelas kontrol. Atau
dengan kata lain, hasil belajar siswa kelas
eksperimen atau siswa yang belajarnya
dengan pembelajaran kontekstual lebih baik
dibandingkan dengan hasil belajar siswa
kelas kontrol atau siswa yang belajarnya
secara biasa atau konvensional.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Berdasarkan temuan di atas dapat
disimpulkan bahwa pada tes akhir terdapat
perbedaan kemampuan atau hasil belajar
siswa
yang
belajar
secara
biasa/konvensional atau siswa kelas kontrol
dengan kemampuan atau hasil belajar siswa
yang
belajar
melalui
pembelajaran
kontekstual atau siswa kelas eksperimen.
Dengan kata lain, bahwa hasil belajar siswa
kelas eksperimen yang belajarnya dengan
Sains Riset Volume 3 - No. 1, 2013
7
pembelajaran kontekstual ternyata lebih baik
daripada hasil belajar siswa kelas kontrol
yang belajarnya secara biasa atau
konvensional.
Perbedaan hasil belajar tersebut tidak
terjadi secara kebetulan dan tidak
dipengaruhi kemampuan awal siswa, karena
berdasarkan analisis pada tes awal,
kemampuan awal siswa kontrol dan kelas
eksperimen adalah sama. Artinya, sebelum
diberikan perlakuan yang berbeda pada
kedua kelas tersebut, mereka mempunyai
kemampuan yang sama. Perbedaan hasil
belajar kedua kelas tersebut yang secara
statistik berbeda signifikan benar-benar
disebabkan oleh efek perlakuan yang
diberikan dalam proses pembelajaran di
kelas.
Berbedanya hasil belajar pada kedua
kelas tersebut dapat dipahami karena dalam
proses pembelajaran kontekstual siswa lebih
ditekankan dalam belajarnya mengaitkan
materi pelajaran dengan benda atau
permasalahan yang sering dijumpai seharihari
dalam
kehidupannya.
Dengan
menggunakan alat peraga, siswa akan
terbantu
meningkatnya
kemampuan
pemahaman konsep mereka. Perubahan cara
belajar sangat dirasakan oleh siswa karena
dalam proses pembelajaran kontekstual,
siswa diberi kesempatan secara aktif untuk
mengkonstruksi pengetahuan mereka dalam
matematika (Suparno, 1997). Siswa dalam
menyelesaikan suatu permasalahan yang
dimulai dari masalah-masalah yang dapat
dimanipulasi dan dapat dibayangkan oleh
siswa itu sendiri. Dengan sedikit bimbingan
dari guru, dalam pembelajaran kontekstual
siswa diberi kesempatan untuk melakukan
matematisasi dengan masalah kontekstual
yang realistik, sehingga siswa terdorong
untuk mengkonstruksi atau membangun
sendiri pengetahuan yang diperolehnya.
Karena
pada
hakekatnya
dalam
pembelajaran kontekstual, guru tidak
memulainya dari pemberitahuan sifat-sifat,
definisi, dalil atau teorema dan selanjutnya
diberi contoh-contoh yang diselesaikan oleh
guru, siswa hanya menulis apa yang tertera
di papan tulis, kemudian siswa mencoba
menyelesaikan soal-soal yang diberikan oleh
guru, walaupun sesungguhnya siswa tidak
memahami sama sekali apa yang telah
mereka terima. Namun, dalam pembelajaran
kontekstual siswa disuguhkan masalah
kontekstual atau nyata, selanjutnya siswa
diarahkan dapat menemukan sendiri sifat
atau definisi atau teorema atau aturan dalam
matematik oleh siswa itu sendiri, sehingga
pengetahuan yang mereka terima akan lebih
bermakna dan siswa akan merasa lebih puas
karena pengetahuan tersebut ditemukan oleh
mereka sendiri.
Dengan demikian secara keseluruhan
dapat
dinyatakan
bahwa
proses
pembelajaran kontekstual sangat cocok
diterapkan pada siswa Sekolah Dasar yang
pada umumnya sangat
senang bila
permasalahan yang diberikan kepada mereka
dapat dikaitkan dengan dunia nyata buat
mereka, karena taraf pemikiran mereka
masih berada pada taraf pemikiran konkrit
atau belum abstrak, sehingga pemodelan
matematik dengan cara informal tampaknya
sangat relevan untuk siswa tingkat Sekolah
Dasar.
Rekomendasi
1. Dalam upaya mengimplimentasikan
pembelajaran kontekstual dalam proses
pembelajaran matematika pada tingkat
Sekolah Dasar, perlu direkomendasikan
agar segera dilakukan perubahan
paradigma pembelajaran matematika,
termasuk perubahan cara bagaimana guru
yang selama ini sebagai pusat
pembelajaran menjadi pembelajaran yang
berpusat pada siswa.
2. Kepada guru matematika Sekolah Dasar
direkomendasikan agar dalam setiap
proses pembelajaran kontekstual supaya
dapat mengkolaborasi dengan pendekatan
pemecahan masalah yang berbasis atau
berorientasi pada lingkungan nyata/real,
lingkungan yang dekat dan sering dilihat
siswa, lingkungan yang menyenangkan
buat siswa. Sehingga timbul semangat
belajar menyenangkan dan pada akhirnya
dapat meningkatkan minat dan motivasi
siswa dalam matematika yang berdampak
pula pada peningkatan hasil belajar siswa
dalam matematika.
3. Agar diperoleh gambaran yang lebih
komprehensif
tentang
pengaruh
penerapan pembelajaran kontekstual
dalam pembelajaran matematika terhadap
hasil
belajar
siswa
dan
dapat
digeneralisasi pada ruang lingkup yang
Sains Riset Volume 3 - No. 1, 2013
8
lebih besar, direkomendasikan dilakukan
penelitian
lanjutan,
antara
lain
membandingkan perbedaan hasil belajar
siswa yang diajarkan dengan alat peraga
berupa gambar dengan alat peraga berupa
garis bilangan, menambah subyek,
memilah antara siswa pandai, sedang dan
siswa lemah, pada sekolah level rendah,
sedang dan tinggi dan penambahan waktu
penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Berns dan Ericson (2001). Theoretical Roots
of Contextual Teaching and
Learning
in
Mathematics.
Georgia: The Departement of
Mathematics Education.
Darhim. (2005). Pengaruh Pembelajaran
Matematika
Kontekstual
Terhadap Hasil Belajar Siswa
Sekolah Dasar. Jurnal Mimbar
Pendidikan No. 3 Tahun XXIV
Tahun 2005, 10-16. Bandung :
UPI Press.
Djaali.
(1999).
Materi
Pelajaran
Matematika di SD Terlalu
Abstrak dan Rumit. Jakarta :
Harian Kompas, tanggal 6 Mei
1998.
Ernest, P. (1991). The Philosophy of
Mathematics Education. London
: The Falmer Press.
Gani, R. A. (2003). Pengaruh Penerapan
Pembelajaran
dengan
Pendekatan Pemecahan Masalah
Terhadap
Hasil
Belajar
Matematika Siswa SMU di
Bandung. Tesis Pascasarjana
(PPs) UPI Bandung. Bandung :
Tidak diterbitkan.
Gani, R. A. (2011). Keefektifan Penggunaan
Alat
Peraga
pada
Proses
Pembelajaran Matematika pada
Pokok
Bahasan
Bilangan
Pecahan di Sekolah Dasar. Jurnal
Ilmiah Cemerlang 65
Edisi 7, 7-12.
Asahan : Fakultas Pertanian
Universitas Asahan.
Gravemeijer, K.P.E. (1994). Developing
Realistics
Mathematics
Education. Utrecht : CD-β Press,
Freudenthal Institute.
Hadi, S. (2001). Pendidikan Realistik :
Menjadikan
Pelajaran
Matematika Lebih Bermakna
Bagi Siswa. Makalah yang
Disampaikan pada
Seminar
Nasional
Pendidikan
Matematika-Perubahan
Paradigma
dari
Paradigma
Mengajar ke Paradigma Belajar
pada tanggal 20 September 2001
di Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
Yogyakarta
:
Universitas Sanata Dharma.
Johnson, B. E. (2002). Contextual Teaching
and Learning. California :
Corwin Press, Inc.
Krisnadi, E. (2002). Penggunaan Balok
Garis Bilangan dan Manik-Manik
Sebagai
Upaya
Mengatasi
Kebuntuan
Guru
Dalam
Pembelajaran Bilangan Bulat Di
Sekolah
Dasar.
Jurnal
Matematika
atau
Pembelajarannya-Prosiding
Konferensi Nasional Matematika
IX Bagian I. Tahun VIII Edisi
Khusus,
Juli
2002,
404411.Linggawati dan Frederick
(1999).
Guru Matematika Tidak Siap Mental.
Jakarta : Media Indonesia tanggal
28 Mei 1999.
Marpaung, Y. (2001). Pendekatan Realistik
dan Seni Dalam Pembelajaran
Matematika.
Makalah yang
Disampaikan pada
Seminar
Pendekatan Realistik dan Seni
pada tanggal 20 September 2001
di Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta. Yogyakarta : Tidak
diterbitkan.
Murwani,
S.
(1999).
Pengajaran
Matematika Rumit. Jakarta :
Harian Kompas, tanggal 14 Mei
1999.
Pitajeng (2005). Pembelajaran Matematika
yang Menyenangkan. Jakarta :
Depdiknas.
Ruseffendi, H. E.T. (1991). Pengajaran
Matematika
Modern
Untuk
Orang Tua, Murid, Guru, dan
SPG. Bandung : Tarsito.
Ruseffendi, H. E.T. (1998). Dasar-Dasar
Penelitian
Pendidikan
dan
Bidang Non-Eksakta Lainnya.
Sains Riset Volume 3 - No. 1, 2013
9
Semarang : IKIP Semarang
Press.
Ruseffendi, H. E.T. (2001). Evaluasi
Pembudayaan Berpikir Logis
Serta Bersikap Kritis dan Kreatif
Melalui Pendidikan Matematika
Realistik.
Makalah
yang
Disampaikan pada Lokakarya
Tentang
Sistem
Evaluasi
Pembelajaran
Matematika
Realistik,
Juli
2001
di
Yogyakarta. Yogyakarta : Tidak
diterbitkan.
Sidi, I. D. (2001). Menuju Masyarakat
Belajar-Menggagas Paradigma
Baru
Pendidikan.
Jakarta:
Paramadina.
Soedjadi, R. (2000). Kiat-Kiat Pendidikan
Matematika di Indonesia. Jakarta
: Dirjen Dikti Depdikbud.
Sumarmo, U. (1999). Pengembangan Model
Pembelajaran Matematika Untuk
Meningkatkan
Keterampilan
Intelektual Tingkat Tinggi Siswa
Sekolah Dasar. Laporang Hasil
Penelitian. Bandung : FMIPA
IKIP
Bandung
(tidak
diterbitkan).
Sumarmo, U. (2000). Handouts; Proses
Belajar dan Pemahaman Materi
Kuliah. Makalah Disampaikan
pada Lokakarya Tentang Peran
Pedagogi Peningkatan Proses
Pembelajaran TPB ITB, tanggal
4 Desember 2000 di Bandung.
Bandung : Tidak diterbitkan.
Suparno, P. (1997). Filsafat Konstruktivisme
dalam Pendidikan. Yogyakarta :
Kanisius.
Supinah. (2008). Pembelajaran Matematika
SD
dengan
Pendekatan
Kontektual Dalam Melaksanakan
KTSP. Yogyakarta : Pusat
Pengembangan
dan
Pemberdayaan Pendidik dan
Tenaga
Kependidikan
Matematika-Depdiknas.
Suryadi, D. (1997). Alat Peraga dan Media
Pengajaran Matematika. JakartaDitjen Dikdasmen, Depdikbud :
Karunika Universitas Terbuka
(UT).
Wahyuddin. (1999). Kemampuan Guru
Matematika,
Calon
Guru
Matematika dan Siswa Dalam
Mata Pelajaran Matematika.
66
Disertasi PPs IKIP Bandung.
Bandung : Tidak diterbitkan.
Zulkardi. (2001). Realistic Mathematics
Education (RME): Teori, Contoh
Pembelajaran
dan
Taman
Belajar di Internet. Makalah
yang Disajikan dalam Seminar
Sehari
tentang
Realistic
Mathematics Education tanggal 4
April 2001 di Bandung. Bandung
:
Tidak
diterbitkan.
Sains Riset Volume 3 - No. 1, 2013
10
Download