POLICY BRIEF: MENINGKATKAN MANFAAT EKONOMI DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN © Andie Wibianto/MPAG MENINGKATKAN MANFAAT EKONOMI DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN Program pengembangan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) terus berbenah. Dengan target luasan mencapai 20 juta ha pada 2020. Data pada portwal web Kawasan Konservasi dan Jenis Ikan (KKJI) kini telah mencapai 16,07 juta ha (September 2013). Program pengembangan KKP diharapkan dapat memberikan nilai tambah tidak hanya secara ekologis namun juga secara ekonomi. Bersamaan dengan hal itu dikembangkannya alat ukur penilaian terhadap KKP berupa Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (E-KKP3K). Sementara itu dari sisi sumberdaya manusia, Direktorat Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) bersama Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Kelautan dan Perikanan (BPSDMKP) telah mengembangkan Standar Kompetensi Kerja Khusus (SK3), bagi penyedian tenaga kerja terampil dan terlatih di bidang kawasan konservasi perairan. Namun di sisi lain masih menimbulkan pertanyaan besar adalah tentang manfaat secara umum dengan adanya kawasan konservasi laut bagi masyarakat. Berbagai kajian manfaat langsung bagi habitat dan keanekaragaman hayati telah dilakukan di masingmasing lokasi KKP seiring dengan tersusunnya rencana pengelolaan dan rencana zonasi. Demikian pula manfaatnya bagi perikanan pada nelayan setempat. Sementara itu berbagai potensi manfaatlainnya seperti jasa pariwisata, jasa penelitian, dan sebagai jasa lingkungan masih belum dielaborasi lebih lanjut. Secara kajian ilmiah pun masih terus dijajaki tentang nilai manfaat secara ekonomi dari kawasan konservasi laut (marine protected area – MPA). Sebagai gambaran, sebuah kajian terakhir tentang riset ekonomi atas peruabahan manajemen di Taman Nasional Laut Great Barrier Reef (GBRMP) menunjukkan bahwa konsep maksimasi manfaat sosical dari pemanfaatan ganda (multiple use) dari sumberdaya laut. TNL Great Barrier Reef adalah salah satu taman nasional laut terbesar di dunia seluas 345,000 km2 yang membentang dari Bundaberg (selatan) menuju Quenssland (utara). Berbagai analisis biaya dan manfaat terhadap wilayah ini dilakukan sejak dideklarasikan sebagai taman nasional laut pada 1975. Sebuah studi kasus atas biaya dan manfaat pada rencana zonasi baru pada 2004 sejak diperluasnya zona inti (no take zone) dari 4,6% menjadi 32,5%. Data terakhir di kawasan itu menunjukan bahwa kontribusi ekonomi pada 2011-12 mencapai US$5,7 miliar dengan menyerap tenaga kerja seluruh bidang terkait mencapai 1 69.000 orang. Hal ini telah menyumbang kontribusi nilai tambah ekonomi Australia lebih dari $7 miliar pengeluaran di kawasan ini. Kontribusi terbesar dari nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja dari kegiatan wisata yang hampir US$5,2 miliar dengan sekitar 64.000 tenaga kerja (setara purna waktu) yang dihasilkan dari sektor pariwisata. Hampir 90% dari kegiatan ekonomi langsung di kawasan ini datang dari pariwisata, yang secara ekonomi kawasan tersebut kegiatan pariwisatanya mencapai nilai tambah 91% dan 93% kontribusi tenaga kerja. Rekreasi yang merupakan kegiatan rekreasi berskala rumah tangga yang tinggal di kawasan bahari tersebut berkontribusi lebih dari US$240. Kegiatan rekreasi meliputi memancing, boating, berlayar dan mengunjungi pulau-pulau, serta pengeluaran rumah tangga pada peralatan rekreasi (Deloitte, 2013). Salah satu kajian dari The Allen Consulting Group atas GBRMP tersebut menunjukkan bahwa meski terjadi perluasan kawasan zona inti, berkesimpulan bahwa teradapat kaitan erat antara diperkenalkannya rencana zonasi dengan ekonomi setemp[at, sebagai potensi manfaat yang lebih tinggai dari biaya yang diperkirakan. Bahkan dengan bertambahnya jumlah wisatawan, (karena menarik dengan penambahan zona inti tersebut) telah menghadirkan dampak ekonomi signifikan pada sektor wisata di kawasan ini. Bahkan jika nilai non-ekonomi dipertimbangkan, manfaat dari perbaikan GBRMP jauh lebih besar, semisal budaya, sosial, dan nilai-nilai kearifan lokal yang terkait dengan taman nasional tersebut, semisal nilai lingkungan (nilai keberadaan, nilai pilihan, dan jasa lingkungan). Bagian dari nilai keberadaan (exixtence value) dan nilai pilihan (option value) sendiri diperkirakan mencapai US$98 juta per tahun (The Allen Consulting Group, 2009). Sejalan dengan hal itu, sebuah kajian atas lima KKP di Vanuatu menunjukkan bahwa kegiatan rekreasi dan pariwisata potensial bermafaat bagi warga setempat, namun demikian mereka adalah hasil dari fungsi yang melibatkan input modal dan alam. Warga masyarakat pesisir yag sebagian besar hanya untuk mencukupi keluarga mereka sehari-hari (subsistence), secara tipikal berpendapatan rendah dan kemungkinan tidak mudah bagi mereka untuk menyediakan investasi mudal uang bagi infrastruktur pariwisata (Verdone, 2009). Kawasan Konservasi Perairan dan Kemiskinan Pertanyaan tentang nilai manfaat KKP juga seiring dengan pertanyaan apakah KKP berperan dalam mengurangi kemiskinan bagi warga masyarakat setempat? Sebuah kajian yang dilakukan Scherl dan Emerton pada 2007 terhadap 68 orang di empat Negara dengan melibatkan 950 wawancara per rumah tangga dengan melibatkan 1.100 partisipasi warga setempat dalam diskusi yang membahas tentang empat KKP tertentu dan kontribusinya 2 pada pengurangan kemiskinan. Salah satu dari yang diteliti adalah di Taman Nasional Laut Bunaken. Kajian ini menunjukkan terdapat pengakuan akan kebutuhan untuk mematikan bahwa intervensi konservasi adalah pro-poor dalam pendekatan dan dampaknya, yang secara khusus dirancang untuk tujuan pembangunan ekonomi dan mematikan bahwa ada distribusi yang adil dari manfaat dan biaya pada semua tingkatan. Hal ini termasuk upaya untuk memberi nilai tambah dan menciptakan ekonomi tangible dan manfaat sosial dari kawasan konservasi pada tingkat local sebagai pengganti opportunity cost dari konservasi agar tersedia insentif konservasi yang sebanding, yang juga bertujuan memperbaiki mata pencaharian dan mengurangi kemiskinan warga setempat. Meskipun demikian, jelas kajian ini, pendekatan konservasi membutuhkan instrument pelembagaan penuh yang secara khusus meggabungkan ekonomi, modal pemikiran pada target pembangunan dan pengurangan kemiskinan. Celakanya, perencanaan ekonomi pada umumnya masih gagal untuk menginternalisasi pentingnya kawasan konservasi bagi pengurangan kemiskinan (Scherl dan Emerton, 2008). Penelitian ini juga mengungkapkan pendanaan bagi kawasan konservasi hampir tetap tidak hadir dari pemerintah dan investasi donor pada pembangunan local dan pengurangan kemiskinan. Hal ini harus dilihat sebagai bagian integral dari persyaratan pendanaan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dengan keberadaaan kawasan konservasi atau yang akan dicadangkan, Investasi kecil pada kawasan konservasi perairan dapat berpotensi besar secara berganda (multiplier) baik secara ekonomi maupun non ekonomi. Sementara itu menurut kajian Mansourian (2008) beberapa faktor yang menjadi penting dalam pengurangan kemiskinan dan peran kawasan konservai perairan. Hal itu antara lain, perlu diperjelas apakah kawasan konservasi dapat atau tidak dapat berkontribusi pada pengurangan kemiskinan, kemitraan antara lintas sektor perlu diperkuat; diperlukan paket kompensasi yang kreatif secara jangka panjang, dan penguatan pembelaran dan pertukaran informasi sesama kawasan konservasi. KKP Indonesia dan Sektor Pariwisata Sementara itu dari beberapa fakta di KKP Indonesia, kajian dampak dan manfaat ekonomi KKP masih terbatas. Namun dari beberapa kajian menujukkan gambaran potensial. Sebagai contoh, sebuah kajian terhadap KKP di Nusa Penida, Provinsi Bali mengungkapkan, sejak kawasan tersebut telah dicadangkan menjadi KKP, perekonomian masyarakat setempat, khususnya warga masyarakat di Kecamatan Nusa Penida, 3 mengalami peningkatan signifikan. Jika sebelumnya rata-rata pendapatan masyarakat berkisar Rp 700.000 - Rp 900.000, maka setelah kawasan tersebut dicadangkan sebagai KKP, pendapatan warga naik menjadi Rp 1 juta hingga Rp 5 juta, atau mengalami kenaikan rata-rata 10-30% (Bato dkk., 2013). Penelitian yang dilakukan pada September 2012-Februari 2013 ini mengungkapkan, dengan adanya KKP di daerah tersebut, empat desa di sekitar KKP Nusa Penida, yaitu Desa Toyakapeh, Desa Ped, Desa Sakti, Desa Jungut Batu, mengalami peningkatan kesejahteraan, Terbukti kini tidak ada lagi warga desa yang tergolong tingkat kesejahteraan rendah, bahkan rata-rata warga di Desa Jungut Batu telah tergolong tingkat kesejahteraan tinggi. Sumber peningkatan pendapatan warga sebagian besar berasal dari kegiatan usaha terkait dengan jasa pariwisata khususnya wisata bahari. Dampak ekonomi KKP Nusa Penida itu juga telah meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Klungkung dengan kontribusi dari sektor pariwisata yang mengalami tren peningkatan 30%. Hasil pendataan yang dilakukan oleh Coral Triangle Centre (CTC) mengungkapkan bahwa setiap tahun Nusa Penida dikunjungi oleh 260.000 wisatawan yang sebagian besar sebagai menyelam. Bila dikalkulasikan yakni setiap penyelam dikenakan biaya masuk kawasan (entrance fee) sebesar US$15 menggunakan kurs Rp 10.000 dapat dipastikan menjadi pendapatan sekitar Rp 35 miliar, jumlah yang cukup untuk memajukan kawasan tersebut. Di tempat lain, KKP Gili Sulat menunjukkan bahwa dengan adanya KKP tersebut kini pembangunan daerah tersebut berdimenasi ekonomi berkelanjutan dengan meningkatnya PDRB dan penyerapan tenaga kerja secara signifikan (Abubakar, 2010). Sementara itu di KKP Berau, kunjungan wisatawan asing pada kegiatan wisata di kawasan tersebut mencapai sekitar 1.000 - 1.300 wisatawan (Wiryawan dkk., 2005). Meski diakui bahwa, dengan data masih terbatas, jika dibandingkan dengan daerah lain yang telah mengembangkan wisata bahari, seperti Bunaken dan Komodo, tampak bahwa kontribusi dari sektor wisata bahari terhadap pendapatan asli daerah (PAD) dan masyarakat lokal masih rendah Sementara itu kehadiran wisatawan di KKP Kepulauan Padaido, meski masih memiliki infrastruktur terbatas bagi wisatawan, jumlah pelancong mancanegara ke kawasan ini mencapai 115 orang yang berasal dari 14 negara (2009). Pada periode semester pertama 2010 (Januari–Juni) kawasan ini telah menarik 54 wisatawan mancanegara dengan total lama tinggal 25 hari. Di KKP Gili Matra, seperti sudah banyak diketahui, kawasan ini tidak pernah sepi dari pengunjung baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Meski belum ada data 4 spesifik, namun sebagai gambaran, jika pada 1987 di ketiga pulau kawasan Gili Matra tersebut hanya terdapat dua penginapan, pada rahun 2000-an jumlahnya melonjak menjadi masing-masing 100 kamar, 200 kamar, dan 300 kamar di masing-masing di Gili Meno, Gili Air dan Gili Trawangan (Bahtiar, 2012) Sejak beberapa tahun lalu bahkan pemerintah telah menetapkan kuota hanya 400 kamar di Gili Trawangan (pulas terluas di KKP Gili Matra, yakni 340 ha). Kawasan Raja Ampat pada era 1990-an masing belum dikenal luas, baik dalam negeri maupun mancanegara. Kini berbagai asal turis berbondong-bondong menikmati kawasan itu. Sayangnya mayoritas penduduk di sekitarnya masih hidup dibawah garis kemiskinan, sementara kegiatan resor yang sebagian besar dikelola oleh warga asing itu tidak melibatkan masyarakat setempat karena mereka tidak terampil dan belum memiliki bekal pendidikan dan pelatihan. Alhasil, sebagian kecil penduduk terpaksa melakukan perbuatan melanggar hukum seperti menangkap hiu untuk mendapatkan sirip dan penyu yang bisa dijual dengan harga tinggi (Kompaiana, 2012). Secara umum gambaran jumlah pengunjung wisatawan ke lokasi taman wisata alam laut periode 2006-2010 antara lain seperti pada Tabel 1 berikut. Jumlah pengunjung sempat mencuat pada 2006, namun terus menurun hingga pada 2009, dan 2010 kembali beranjak naik. Penurunan ini sejalan dengan rata-rata penurunan jumlah pengunjung untuk tujuan wisata lainnya. Adanya kejadian terkait terorisme di Indonesia mempengaruhi penurunan jumlah wisatawan tersebut. Data ini hanya berdasarkan taman wisata alam laut di bawah pengelolaan Kementerian Kehutanan. Tabel 1: jumlah pengunjung wisatawan taman wisata alam laut periode 2006-2010 (Kementerian Kehutanan, 2010) 5 Berbagai paparan itu merupakan gambaran bahwa pengelolaan KKP memiliki keunikan dan tangan yang beragam pada setiap tempat, namun yang terpenting adalah bagaimana di satu sisi tetap menjaga kelestarian kawasan tersebut, di sisi lain dapat mendorong peningkatan ekonomi, melalui kegiatan yang berbasis non-ekstraktif. Tahap Selanjutnya Momentum perkembangan kegiatan kawasan konservasi perairan akan terus bergulir seiring dengan tumbuhnya kesadaran kuat pada warga bangsa ini sebagai bangsa bahari. Hal ini akan menjadi pendorong bagi para pihak untuk semakin memperkuat basis pembangunan dengan mengedepankan prinsip pembangunan berkelanjutan yang tidak lagi menyandarkan diri pada kegiatan ekstraktif terhadap sumberdaya alam, yang dalam hal ini diwujudkan melalui pengelolaan kawasan konservasi perairan. Namun jika tanpa diiringi dengan perluasan manfaat secara ekonomi dari pergeseran dari basis ekstraktif ke nonekstraktif tersebut, maka kawasan konservasi perairan akan menjadi beban bagi para pihak, dan bahkan tidak mungkin menjadi boomerang dalam bentuk sumber antipati dan kekecewaan, yang memuncak pada kegagalan upaya konservasi dalam bentuk kembalinya warga setempat mengekstraksi sumberdaya alam perairan yang merusak dan tidak ramah lingkungan. Hal ini tentu saja tidak dikehendaki semua pihak. Oleh karena itu upaya-upaya ke arah perluasaan pemanfaatan ekonomi bagi kawasan konservasi perairan harus segera dijajaki dan diwujudkan sebelum pemerintah dan para pihak pemangku kepentingan utama lainnya terlambat dalam mengantisipasinya. Adalah menjadi tantangan khususnya bagi pemerintah pusat dalam hal ini Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan dan Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulaupulau Kecil (KP3K) untuk mendorong terjadinya peluang-peluang ekonomi bagi pemanfaatan ekonomi secara lestari di kawasan konservasi perairan. Beberapa hal yang perlu dikedepankan adalah (1) mengidentifikasi dan mengkaji kembali regulasi dan kebijakan yang telah ada apakah masih terdapat kendala bagi pemerintah daerah dan investor dan pihak swasta untuk mengembangkan kegiatan ekonomi di kawasan konservasi perairan; (2) merancang peraturan dan kebijakan yang mengarah kepada terbukanya peluang-peluang ekonomi di kawasan konservasi perairan; (3) merumuskan kebijakan yang terintegrasi dengan pembangunan daerah setempat bersama melibatkan para pemangku kepentingan (stakeholders) dengan mengedepankan kemitraan para pihak serta berprinsip pro-growth, pro-job dan pro-poor; (4) mengindentifikasi potensi ekonomi dan penerapan pemanfaatannya secara operasional di kawasan konservasi perairan melalui upaya fasilitasi riset bekerjasama dengan mitra bahari, perguruan tinggi 6 dan lembaga-lembaga penelitian dengan menggunakan dana-dana hibah dari bidang lingkungan; (5) mengidentifikasi dan mengundang para calon investor, kalangan swasta (private sector) dan penggiat pariwisata bahari dalam sebuah forum reguler guna pelibatan mereka dalam pengembangan dan pemanfaatan kawasan konservasi perairan; (7) merumuskan roadmap peningkatan ekonomi dan pemanfaatan kawasan konservasi perairan agar semua para pemangku kepentingan (stakeholders) memiliki peran dan kontribusinya masing-masing secara jelas dan terarah di masa kini dan mendatang.# Referensi: Abubakar (2010). “Strategi Pengembangan Pengelolaan Berkelanjutan Pada Kawasan Konservasi Laut Gili Sulat: Suatu Pendekatan Stakeholders” dalam Jurnal Bumi Lestari, Volume 10 No. 2, hlm. 256 – 262. The Allen Consulting Group (2009). The Economics of Marine Protected Areas: Application of Principles to Australia’s South West Marine Region. Report to the Conservation Council of Western Australia, Melbourne. Bachtiar, I. (2012). “Pengelolaan Taman Wisata Alam Laut Gili Matra, Kabupaten Lombok Barat” dalam http://budaya-indonesia-sekarang.blogspot.com/2010, diakses 2 September 2013. Bato, M., Yulianda, F. & Fahruddin, A. (2013). “Kajian Manfaat Kawasan Konservasi Perairan Bagi Pengembangan Ekowisata Bahari: Studi Kasus di Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida, Bali.” Tesis, IPB, Bogor. Deloitte Access Economics (2013). Economic contribution of the Great Barrier Reef, Great Barrier Reef Marine Park Authority, Townsville. James N. Sanchirico, Kathryn A. Cochran, and Peter M. Emerson, (2002). “Marine Protected Areas: Economic and Social Implications.” Discussion Paper 02–26, Resources for the Future, Washington, D.C. Kompasiana (2012). “Mengentas kemiskinan penduduk Raja Ampat”. 18 Oktober 2012. Scherl, L.M., & Emerton, L. (2008). “Protected Areas Contributing to Poverty Reduction” dalam Protected Areas in Today’s World: Their Values and Benefits for the Welfare of the Planet. Secretariat of the Convention on Biological Diversity, Technical Series no. 36, Montreal. Nusa Penida Post (2013). “Selangkah Lagi, Pengelolaan Wisata Bahari Nusa Penida.” Vol.12. 20 Maret 2013. Mansourian, S., Higgins-Zogib. L., Dudley, N., & Stolton, S. (2008). “Poverty and Protected Areas” dalam Protected Areas in Today’s World: Their Values and Benefits for the Welfare of the Planet. Secretariat of the Convention on Biological Diversity, Technical Series no. 36, Montreal. 7 Verdone (2009). “Can Marine Protected Areas Improve Livelihoods in Gateway Communities: An Economic View of the Evidence Base.” Working paper. Wiryawan, B., Khazali, M, & Knight, M. (eds.) (2005). Menuju Kawasan Konservasi Laut Berau, Kalimantan Timur: Status Sumberdaya Pesisir dan Proses Pengembangannya. Program Bersama Kelautan Berau TNC-WWF-Mitra Pesisir/CRMP II USAID. Jakarta. 8