BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri 2.1.1 Definisi Bakteri

advertisement
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bakteri
2.1.1 Definisi
Bakteri adalah suatu kelompok organisme prokariotik, yakni tidak memiki
selubung inti. Bakteri memiliki informasi genetik berupa DNA, namun tidak
terlokalisasi dalam suatu tempat yang khusus (nukleus) dan tidak adanya
membran inti. DNA bakteri berbentuk sirkuler, panjang, dan umumnya disebut
nukleoid. Hanya ekson yang menyusun DNA bakteri, sehingga tidak dijumpai
intron. Selain itu, bakteri mempunyai DNA ekstrakromosomal yang berbentuk
kecil dan sirkuler disebut plasmid (Brooks et al., 2010).
2.1.2 Struktur
Gambar 1. Struktur Bakteri (Todar, 2012).
Struktur bakteri pada gambar 1 diatas akan dijabarkan melalui tabel 1.1 dibawah
ini.
Universitas Sumatera Utara
6
Tabel 1.1 Struktur Bakteri, Fungsi, dan Komposisi Kimianya (Todar, 2012).
Struktur
Fungsi
Komposisi Kimia
Predominan
Flagela
Pergerakan
Protein
Sex pilus
Menstabilkan bakteri saat Protein
transfer DNA melalui
konjugasi
Common
pili
atau Menempel
pada Protein
fimbriae
permukaan;
proteksi
terhadap fagositosis
Kapsul
Menempel
pada Polisakarida
permukaan;
proteksi
terhadap fagositosis
Dinding sel (Bakteri Mencegah lisis osmotik Peptidoglikan kompleks
Gram positif)
dari protoplas sel dan dengan asam teikoat
mempertahankan
kekakuan dan bentuk sel
Dinding sel (Bakteri Peptidoglikan mencegah Peptidoglikan dikelilingi
Gram negatif)
lisis
osmotik
dari fosfolipidproteinprotoplas
sel
dan lipopolisakarida
pada
mempertahankan
membran luar
kekakuan dan bentuk sel;
membran luar sebagai
sawar permeabilitas
Membran plasma
Sawar
permeabilitas; Fosfolipid dan protein
transpor cairan; tempat
berbagai sistem enzim
Ribosom
Tempat sintesis protein RNA dan protein
(translasi)
Inclusions
Penyimpanan nutrien
Karbohidrat,
lipid,
protein, dan zat inorganik
Kromosom
Materi genetik sel
DNA
Plasmid
Materi genetik sel diluar DNA
kromosom
Universitas Sumatera Utara
7
2.1.3 Klasifikasi
Berdasarkan responnya terhadap pewarnaan Gram, bakteri dapat dibagi
menjadi 2 kelompok, yakni bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif. Bakteri
Gram positif adalah bakteri yang dapat mempertahankan warna gentian ungu dan
iodium (lugol) setelah dibilas sejenak dengan alkohol atau aseton. Bakteri Gram
negatif tidak dapat mempertahankan warna kompleks gentian ungu dan iodin dan
menjadi transparan setelah dibilas dengan alkohol. Akan tetapi, dapat diwarnai
dengan warna yang berlawanan, yaitu safranin yang berwarna merah. Oleh karena
itu, pada mikroskop cahaya, bakteri Gram negatif terlihat berwarna ungu
sedangkan bakteri Gram negatif terlihat berwarna merah (Brooks et al., 2010).
2.1.3.1 Bakteri Gram Positif
A.
Staphylococcus aureus
Golongan Stafilokokus adalah jenis Gram-positif dengan bentuk sel seperti
bola (diameter 1 μm) dan biasanya tersusun dalam bentuk anggur yang tidak
beraturan (Gambar 2). Mereka dapat tumbuh pada banyak medium dan aktif
secara metabolik, memfermentasi karbohidrat dan menghasilkan pigmen yang
berwarna putih hingga kuning tua. Beberapa spesiesnya adalah flora normal pada
kulit dan membran mukosa pada manusia; sedangkan yang lainnya menyebabkan
supurasi, pembentuk abses, termasuk dalam jenis infeksi piogenik, bahkan sampai
pada septisemia yang fatal. Stafilokokus yang patogen biasanya menghemolisa
darah, menggumpalkan plasma, dan memproduksi berbagai enzim ekstraseluler
dan toksin. Stafilokokus cepat menjadi resisten terhadap banyak agen antimikroba
dan dapat menyebabkan kesulitan dalam terapi. Genus Staphylococcus setidaknya
memiliki 35 spesies, dan Staphylococcus aureus merupakan yang paling patogen
pada manusia dan termasuk dalam golongan koagulase positif (Brooks et al.,
2010).
Universitas Sumatera Utara
8
Gambar 2. Staphylococcus aureus (Brooks et al., 2010).
Patogenitas S. aureus terletak pada efek kombinasi antara faktor ekstrasel
dan toksin dengan sifat invasif yang dimiliki strain tersebut. S. aureus yang
patogen dan invasif menghasilkan koagulase dan cenderung menghasilkan pigmen
berwarna kuning serta bersifat hemolitik. Koagulase membekukan fibrin pada
sekitar lesi bahkan ke dalam limpa, menyebabkan pembentukan dinding yang
membatasi proses tersebut dan diperkuat dengan akumulasi dari sel-sel radang dan
jaringan fibrous. Dalam pusat lesinya, pencairan terhadap jaringan nekrotik pun
terjadi, drainase cairan jaringan pusat nekrotik diikuti dengan pengisian rongga
dengan jaringan granulasi dan diikuti dengan penyembuhan. Supurasi fokal
(abses) yang merupakan khas dari infeksi stafilokokus dapat menyebar ke bagian
lain dari tubuh melalui aliran limpa dan pembuluh darah. S. aureus dapat
menyebabkan pneumonia, meningitis, emfisema, endokarditis, atau sepsis dengan
supurasi pada sebagian organ (Brooks et al., 2010).
Bakteremia, endokarditis, pneumonia, dan infeksi berat lainnya yang
disebabkan oleh S. arueus membutuhkan terapi intravena penisilin β-laktamase-
Universitas Sumatera Utara
9
resisten. Jika infeksi yang ditemukan oleh karena S. aureus non-β-laktamase,
penisilin G adalah pilihan obatnya, namun hanya sedikit persentase dari strain S.
aureus yang rentan terhadap penisilin G (Brooks et al., 2010).
Oleh karena banyaknya strain yang resisten terhadap pengobatan, isolasi
stafilokokus seharusnya diuji untuk mengetahui kerentanan terhadap antibiotik
agar dapat menentukan pilihan antibiotiknya. Resistensi terhadap grup eritromisin
cenderung muncul begitu cepat sehingga obat jenis tersebut tidak dapat digunakan
secara tunggal dalam penatalaksanaannya. Agen antimikroba yang terbaru, seperti
linezolide, daptomycin, dan quinupristin secara umum diberikan pada pasien yang
menderita infeksi stafilokokus atau enterokokus yang serius (Brooks et al., 2010).
B.
Bacillus cereus
Bacillus cereus bersifat aerobik, Gram positif, berbentuk batang berukuran
1 x 3-4 μm yang tersusun dalam rantai dengan ujungnya berbentuk kotak dan
sporanya terletak di tengah basil nonmotil (Gambar 3). B. cereus dapat tumbuh
pada makanan dan memproduksi enterotoksin atau emetik toksin dan
menyebabkan keracunan makanan. Keracunan makanan yang disebabkan oleh
Bacillus cereus memiliki dua tipe yang berbeda; yakni tipe emetik, yang
berhubungan dengan nasi, dan tipe diareal, yang berhubungan dengan hidangan
daging dan saus. B. cereus memproduksi toksin yang menyebabkan penyakit yang
lebih mengarah kepada intoksikasi dibandingkan infeksi yang diperantarai
makanan (food-borne infection). Tipe emetik dimanifestasikan dengan mual,
muntah, kram abdomen, dan terkadang diare dan dapat sembuh sendiri, dengan
masa perbaikan selama 24 jam. Dimulai 1-5 jam setelah mengonsumsi nasi dan
terkadang hidangan pasta. B. cereus adalah organisme tanah yang biasa
mengontaminasi nasi.
Apabila nasi dalam jumlah yang banyak dimasak dan
dibiarkan dingin perlahan, B. cereus akan menumbuhkan spora dan sel vegetatif
memproduksi toksin selama pertumbuhan log-phase atau selama sporulasi. Tipe
diareal memiliki masa inkubasi selama 1-24 jam dan dimanifestasikan dengan
diare yang berlebihan disertai nyeri dan kram abdomen; demam dan muntah tidak
dijumpai (Brooks et al., 2010).
Universitas Sumatera Utara
10
Enterotoksin dapat dibentuk saat organisme berada di makanan atau
diproduksi di usus. Keberadaan B. cereus di tinja pasien tidak cukup untuk
mendiagnosis penyakit yang disebabkan oleh B. cereus; diagnosis baru dapat
ditegakkan bila konsentrasi bakterinya 105 atau lebih per gram makanan. B. cereus
adalah organisme penting penyebab infeksi mata, keratitis berat, endophthalmitis,
dan panophthalmitis. B. cereus juga terkait dengan infeksi sistemik, termasuk
endokarditis, meningitis, osteomielitis, dan pneumonia. Pengobatan antibiotik
yang biasa diberikan adalah penisilin, doksisiklin, dan siprofloksasin (Brooks et
al., 2010, Ryan et al., 2010).
Gambar 3. Bacillus cereus (Todar, 2014).
2.1.3.2 Bakteri Gram Negatif
A.
Pseudomonas aeruginosa
Pseudomonas aeruginosa memiliki bentuk kerucut dengan ukuran sekitar
0,6-2μm. P. aeruginosa termasuk dalam Gram negatif dan ditemukan dalam
bentuk tunggal, berpasangan, ataupun dalam rantai yang pendek (Gambar 4 A). P.
aeruginosa termasuk dalam aerob obligat yang dapat tumbuh pada banyak jenis
media kultur. Pseudomonas aeruginosa membentuk kolonisasi pada manusia
normal dan bersifat saprofitik dan biasanya memproduksi gula dan bau seperti
anggur atau corn taco. Beberapa spesies dari Pseudomonas dapat melisiskan darah.
Universitas Sumatera Utara
11
Banyak strain dari P. aeruginosa yang memproduksi pigmen piosianin dan
pioverdin yang dapat memberikan warna biru dan hijau pada agar (Gambar 4 B),
namun ada juga beberapa strain yang memproduksi pigmen piomelanin yang
memberikan warna hitam (Brooks et al., 2010).
(A)
(B)
Gambar 4. Pseudomonas aeruginosa: (A) Koloni Pseudomonas aeruginosa
diamati melalui mikroskop dan (B) Kultur P. aeruginosa berpigmen piosianin dan
pioverdin pada agar Mueller-Hinton (Brooks et al., 2010).
Patogenesitas Pseudomonas aeruginosa dapat berasal dari banyak hal. Pili
yang merupakan tonjolan permukaan sel membantu perlengketan dengan sel epitel
inang. Eksopolisakarida juga bertanggungjawab dalam beberapa penyakit yang
disebabkan organisme ini, termasuk cystic fibrosis. Kebanyakan P. aeruginosa
memproduksi enzim seperti elastase, protease, dan dua jenis hemolisin, yakni
phospolipase C yang tidak stabil terhadap panas dan glikolipid yang tahan panas.
Banyak dari strain P. aeruginosa yang memproduksi eksotoksin A, yang
mengakibatkan nekrosis jaringan dan dapat membunuh dengan mekanisme
memblok sintesis protein. P. aeruginosa menempel dan membuat koloni pada
membran mukosa atau kulit, menginvasi secara lokal, dan akhirnya menyebabkan
penyakit yang sistemik. Proses tersebut didukung oleh adanya pili, enzim,
maupun toksin yang sudah dijelaskan diatas. Liposakarida berperan langsung
dalam menyebabkan demam, syok, oliguria, leukositosis dan leukopenia, DIC,
dan ARDS (Brooks et al., 2010).
Universitas Sumatera Utara
12
Strain Pseudomonas aeruginosa umumnya rentan terhadap penisilin
antipseudomonas seperti karbenisilin, tikarsilin, piperasilin, mexlosilin, dan
azlosilin; sefalosporin generasi ketiga seperti sefoperazon, sefotaksim, dan
seftazidim; dan aminoglikosida seperti gentamisin, tobramisin, dan amikasin; juga
senyawa
karbokuinolon
berfluor
seperti
siprofloksasin;
aztreonam,
dan
monopenem. Meskipun demikian, beberapa strain P. aeruginosa memproduksi
broadly specific multi-drug efflux systems, seperti MexABOprM dan MexXyOprM, yang membuat P. aeruginosa resisten terhadap berbagai jenis antibiotik
seperti beta laktam, aminoglikosida, dan kuinolon jika diberikan sebagai terapi
tunggal (Moniri et al., 2006). Oleh karena itu, infeksi P. aeruginosa sebaiknya
tidak diobati dengan terapi satu macam obat saja, disebabkan keberhasilannya
rendah dan bakteri tersebut dapat dengan cepat berkembang menjadi resisten.
Ticarcillin atau piperacillin biasa digunakan sebagai kombinasi dengan
aminoglikosida, contohnya tobramisin. Obat lain seperti aztreonam, imipenem,
dan kuinolon terbaru, termasuk siprofloksasin. Sefalosporin terbaru, seftazidim
dan sefoperazon juga aktif digunakan dalam membasmi P. aeruginosa (Brooks et
al., 2010).
B.
Klebsiella pneumoniae
Klebsiella pneumoniae adalah salah satu spesies bakteri Gram negatif pada
kelompok bakteri Enterobacteriaceae. Bakteri ini berada dalam sistem pernafasan
dan tinja kurang lebih pada 5% individu normal, menyebabkan pneumonia sekitar
1%. Klebsiella pneumoniae dapat menimbulkan konsolidasi hemoragik intensif
pada paru-paru, bronkitis kronik, infeksi sekunder, dan pneumonia lobaris. K.
pneumoniae and Klebsiella oxytoca paling sering menyebabkan infeksi nookomial.
Terkadang bakteri ini dapat menyebabkan infeksi sistem saluran kemih dan
bakteremia dengan luka yang melemahkan pasien (Brooks et al., 2010).
Hal yang paling membedakan genus Klebsiella dengan yang lainnya
adalah tidak dapat melakukan pergerakan (nonmotil) dan adanya kapsul
polisakarida. Lebih dari 70 tipe kapsul telah ditemukan, termasuk diantaranya
dapat bereaksi silang dengan patogen lainnya, seperti Bacillus cereus dan
Universitas Sumatera Utara
13
Haemophilus influenzae. Beberapa studi mengungkapkan keterlibatan kapsul
dalam mengganggu aktivitas komplemen. Beberapa tipe pili juga terdapat pada
permukaan bakteri dan kemungkinan bertujuan untuk melekatnya bakteri pada
epitel saluran napas dan saluran kemih. Diantara kesemua spesies pada kelompok
Enterobacteriaceae, Klebsiella yang kini dianggap paling resisten terhadap
antibiotik (Ryan et al., 2010).
2.2 Tanaman Jahe
Jahe (Zingiber officinale) berasal dari Asia Pasifik yang tersebar dari India
sampai Cina. Jahe merupakan rempah-rempah Indonesia yang sangat penting
dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam bidang kesehatan. Jahe merupakan
tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang semu dan termasuk dalam suku
temu-temuan (Zingiberaceae) (Paimin, 2008). Jahe merupakan bahan pokok yang
biasa digunakan di banyak obat-obatan tradisional Cina sejak abad ke-4 SM,
begitu pula orang-orang Yunani dan Romania gunakan dalam makanan (Melvin et
al., 2009).
Berdasarkan ukuran, bentuk, dan warna rimpangnya ada tiga jenis jahe
yang dikenal, yaitu jahe gajah atau jahe besar (var. Roscoe), jahe putih kecil atau
jahe emprit (var. Amarum), dan jahe merah (var. Rubrum) (Gambar 5). Jahe
merah merupakan salah satu spesies jahe yang tersebar di wilayah Indonesia. Jahe
merah secara morfologis mirip dengan jahe biasa, tetapi rimpang dari jenis ini
lebih kecil dan rasanya lebih pedas, berwarna merah di luarnya dengan kuning
hingga merah muda di bagian dalamnya. Banyak jahe jenis tersebut yang
digunakan sebagai makanan dan pengobatan tradisional untuk berbagai penyakit
(Koswara et al., 2012).
Universitas Sumatera Utara
14
Gambar 5. Jenis-Jenis Jahe (Koswara, 1995).
2.2.1 Morfologi
Jahe merupakan herbal, tegak, tinggi sekitar 30-60 cm. Batang semu,
beralur, berwarna hijau. Daun tunggal, berwarna hijau tua. Helai daun berbentuk
lanset, tepi rata, ujung runcing, dan pangkalnya tumpul. Panjang daun lebih
kurang 20-40 cm dan lebarnya sekitar 2-4 cm. Rimpangnya bercabang-cabang,
tebal dan agak melebar, berwarna merah sampai jingga. Bagian dalam rimpang
berserat agak kasar, berwarna kuning muda dengan ujung merah muda. Rimpang
berbau khas, dan rasanya pedas menyegarkan (Matondang, I, 2006).
2.2.2 Taksonomi
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Musales
Family : Zingiberaceae
Genus : Zingiber
Spesies : officinale
(Paimin, 2008)
Universitas Sumatera Utara
15
2.2.3 Komposisi Jahe
Tabel 2.1 Komponen dalam Jahe (Tim Lentera, 2002).
Komponen
Jumlah
Jahe Segar
Jahe Kering
Energi (KJ)
184,0
1424,0
Protein (g)
1,5
9,1
Lemak (g)
1,0
6,0
Karbohidrat (g)
10,1
70,8
Kalsium (mg)
21
116
Phospat (mg)
39
148
Besi (mg)
4,3
52
Vitamin A (SI)
30
147
Thiamin (mg)
0,02
-
Niasin (mg)
0,8
5
Vitamin C (mg)
4
-
Serat Kasar (g)
7,53
5,9
Total abu (g)
3,70
4,8
Magnesium (mg)
-
184
Natrium (mg)
6,0
32
Kalium (mg)
57,0
1342
Seng (mg)
-
5
Secara umum, komponen senyawa kimia yang terkandung dalam jahe
terdiri dari minyak menguap (volatile oil), minyak tidak menguap (nonvolatile oil),
dan pati. Minyak atsiri termasuk jenis minyak menguap dan merupakan suatu
komponen yang memberi bau yang khas. Kandungan minyak tidak menguap
disebut oleoresin, yakni suatu komponen yang memberikan rasa pahit dan pedas.
Rimpang jahe merah selain mengandung senyawa-senyawa kimia tersebut, juga
mengandung gingerol, 1,8-cincole, 10-dehydro-gingerdione, 6-gingerdione,
arginine, a-linolenic acid, aspartic, β-sitosterol, caprylic acid, capsaicin,
Universitas Sumatera Utara
16
chlorogenis acid, farnseal, farnesene, farnesol, dan unsur pati seperti tepung kanji,
serta serat-serat resin dalam jumlah sedikit (Tim Lentera, 2002).
Berdasarkan beberapa penelitian, dalam minyak atsiri jahe terdapat unsurunsur n-nonylaldehyde, d-camphene, d-β-phellandrene, methyl heptenone, cineol,
d-borneol, geraniol, linalool, actates, dan caprylate, citral, chavicol, dan
zingiberene. Bahan-bahan tersebut merupakan sumber bahan baku terpenting
dalam industri farmasi atau obat-obatan (Tim Lentera, 2002).
Diantara ketiga jenis jahe, jahe merah lebih banyak digunakan sebagai
obat karena kandungan minyak atsiri dan oleoresinnya paling tinggi, sehingga
lebih ampuh menyembuhkan berbagai macam jenis penyakit. Kandungan minyak
atsiri jahe merah berkisar antara 2,58-3,72% (bobot kering), sedangkan jahe gajah
0,82-1,68% dan jahe emprit 1,5-3,3%. Selain itu, kandungan oleoresin jahe merah
juga lebih tinggi dibandingkan jahe lainnya, yaitu 3% dari bobot kering (Koswara,
2012).
Sekitar 115 bahan aktif telah diidentifikasi melalui berbagai proses analitik
dari jahe yang segar maupun yang telah dikeringkan. Gingerol adalah bahan aktif
terbanyak yang ditemukan pada jahe segar, sedangkan shogaol yang merupakan
hasil proses dehidrasi dari gingerol ditemukan lebih banyak pada jahe kering. Jahe
telah dibagi menjadi 14 senyawa bioaktif, yakni [4]-gingerol, [6]-gingerol, [8]gingerol, [10]-gingerol, [6]-paradol, [14]-shogaol, [6]-shogaol, 1-dehydro-[10]gingerdione,
[10]-gingerdione,
hexahydrocurcumin,
tetrahydrocurcumin,
gingerenone A, 1,7-bis-(4’hydroxyl-3’methoxyphenyl)-5-methoxyheptan-3-one,
dan methoxy-[10]-gingerol. Proporsi dari setiap komponen dari jahe bergantung
pada asalnya, proses komersialnya, dan apakah jahe tersebut kering, segar,
maupun sudah diproses (Bode dan Dong, 2011).
2.2.4 Kegunaan Jahe sebagai Obat Tradisional
Berdasarkan sejarahnya, tanaman obat menjadi sumber dari senyawa obatobatan sintetik. Produk derivat tumbuhan telah memberikan kontribusi yang besar
terhadap kesehatan manusia. Begitu banyak peneliti di seluruh dunia telah
Universitas Sumatera Utara
17
melaporkan kegunaan antimikroba dari beberapa tanaman obat dan telah
mengidentifikasi bahan aktifnya (Karrupiah dan Rajaram, 2012).
Penggunaan jahe yang paling sering adalah untuk mengurangi gejala mual
dan muntah. Keuntungan dan kerugian dari tanaman herbal dalam mengobati
pencernaan telah dibahas dan beberapa penelitian melaporkan bahwa jahe secara
umum efektif sebagai antiemetik. Efektivitas jahe sebagai antiemetik oleh karena
adanya efek carminative yang dimilikinya, sehingga mampu membuang gas yang
terdapat pada pencernaan. [6]-gingesulfonic acid yang terdapat pada jahe pun
efektif melawan lesi lambung yang diinduksi HCl atau etanol (Bode dan Dong,
2011).
Jahe adalah tanaman obat yang dipakai di seluruh dunia. Jahe segar biasa
digunakan untuk mengatasi penakit seperti batuk, mual, asma, kolik, palpitasi
jantung, dispepsia, perut kembung, kurang nafsu makan, maupun rematik, sama
halnya pada masa Cina Kuno. Di abad ke-19, jahe disajikan dalam bentuk jus
yang dicampur dengan sedikit jus bawang segar dan madu, sebagai obat yang
dikenal dapat menyembuhkan batuk dan asma (Karrupiah dan Rajaram, 2012).
Menurut Giyarto (2002), khasiat rimpang jahe adalah sebagai pelega perut,
obat batuk, obat rematik, penawar racun, antitusif, laksatif dan antasida, juga
sebagai antioksidan, dan serbuk jahe merah berperan sebagai anti inflamasi,
bahkan menurut Winarto (2007) efek jahe terhadap kulit, yaitu dapat merangsang
regenerasi sel kulit.
2.2.5 Efek Antibakteri
Jahe memiliki efek antibakteri yang sudah diteliti dan terbukti pada
beberapa studi yang dilakukan di seluruh dunia. Ekstrak etanol dari rimpang jahe
yang diujikan memiliki aktivitas antibakteri melawan lima jenis isolat yang
didapatkan dari klinis dengan rentang zona inhibisinya diantara 4-16 mm. Hasil
maksimum didapatkan pada Bacillus sp. (16,55 mm) diikuti dengan E. coli (15,50
mm) dan P. aeruginosa (14,55 mm). Sedangkan bila diujikan dengan ekstrak
kasar (crude extracts), Konsentrasi Hambat Minimal atau Minimum Inhibitory
Concentration (MIC) cukup rendah pada P. aeruginosa yakni 67,00 μg/ml diikuti
Universitas Sumatera Utara
18
dengan S. aureus (68,45 μg/ml) dan Proteus sp. (70,20 μg/ml). Kandungan
gingerol pada jahe tersebut yang diyakini mampu menunjukkan sifat antimikroba
dan antijamur. Potensi antimikroba juga dipercaya oleh karena kandungan tanin,
saponin, senyawa fenol, essential oils, dan flavonoid (Karrupiah dan Rajaram,
2012).
Zingiber officinale diyakini sinergis dengan beberapa jenis obat
antimikroba, seperti tetrasiklin dan netilmisin dalam menghambat protein sintesis
dari Staphylococcus aureus, dengan MIC 90% yakni 3,56 mg/ml (Betoni et al.,
2006). Bahkan dalam penelitian, rimpang Z. officinale memiliki aktivitas
antibakteri yang baik dan bisa disamakan dengan beberapa jenis antimikroba
sesuai ekstrak yang digunakan. Ekstrak metanol dari Z. officinale dapat digunakan
seperti asam traneksamat, gentamisin, sefuroksin, dan metronidazol dalam
pengobatan infeksi S. aureus, serta asam traneksamat dan metronidazol dalam
pengobatan P. aeruginosa (Khalid et al., 2011). Ekstrak metanol yang terdapat
pada tumbuhan terbukti lebih efektif dalam melawan bakteri. Semakin besar
kapasitas ekstrak metanol suatu tumbuhan, maka semakin banyak jumlah bagan
aktifnya yang memiliki aktivitas antibakteri. (Melvin et al., 2009).
2.3. Ekstraksi
Ekstraksi adalah teknik pemisahan suatu senyawa berdasarkan perbedaan
distribusi zat terlarut diantara dua pelarut yang saling bercampur. Pada umumnya
zat terlarut yang diekstrak bersifat tidak larut atau larut sedikit dalam suatu pelarut
tetapi mudah larut dengan pelarut lain. Metode ekstraksi yang tepat ditemukan
oleh tekstur kandungan air bahan-bahan yang akan diekstrak dan senyawasenyawa yang akan diisolasi (Harborne, 1996).
Menurut Winarno (1973) dalam Pratiwi (2010), ekstraksi adalah suatu cara
untuk memisahkan campuran beberapa zat menjadi komponen yang terpisah. Pada
proses ekstraksi pada dasarnya dibedakan menjadi dua fase yaitu fase pencucian
dan fase ekstraksi.
Universitas Sumatera Utara
19
1. Fase Pencucian (Washing Out)
Pada saat penggabungan pelarut dengan simplisia, maka sel-sel yang rusak
karena proses pengecilan ukuran langsung kontak dengan bahan pelarut.
Komponen sel yang terdapat pada simplisia tersebut dapat dengan mudah
dilarutkan dan dicuci oleh pelarut. Dengan adanya proses tersebut, maka dalam
fase pertama ini sebagian bahan aktif telah berpindah ke dalam pelarut. Semakin
halus ukuran simplisia, maka semakin optimal jalannya proses pencucian tersebut.
2. Fase Ekstraksi (Difusi)
Untuk melarutkan komponen sel yang tidak rusak, maka pelarut harus
masuk ke dalam sel dan mendesak komponen sel tersebut keluar dari sel.
Membran sel simplisia yang mula-mula mengering harus diubah terlebih dahulu
agar terdapat suatu perlintasan pelarut ke dalam sel. Hal ini dapat terjadi melalui
proses pembengkakan, dimana membran mengalami suatu pembesaran volume
melalui pengambilan molekul bahan pelarut. Kemampuan sel untuk mengikat
pelarut menyebabkan struktur dinding sel tersebut menjadi longgar, sehingga
terbentuk ruang antarmiselar, yang memungkinkan bahan ekstraksi mencapai ke
dalam ruang dalam sel. Peristiwa pembengkakan ini sebagian besar disebabkan
oleh air. Campuran alkohol-air lebih disukai untuk mengekstraksi bahan
farmasetik karena terbukti lebih cepat (Voigt, 1994).
2.3.1 Maserasi
Istilah maserasi berasal dari bahasa latin, yakni macerare yang artinya
mengairi, melunakkan, merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana. Bahan
jamu yang dihaluskan sesuai dengan syarat farmakope (umumnya terpotongpotong atau diserbuk kasarkan) disatukan dengan bahan ekstraksi. Rendaman
tersebut disimpan terlindungi dari cahaya langsung (mencegah reaksi yang
dikatalisis cahaya atau perubahan warna) dan dikocok kembali. Waktu maserasi
adalah berbeda-beda, masing-masing farmakope mancantumkan 4-10 hari. Namun
pada umumnya 5 hari, setelah waktu tersebut keseimbangan antara bahan yang
diekstraksi pada bagian dalam sel dengan luar sel telah tercapai. Pengocokan
dilakukan agar cepat mendapat kesetimbangan antara bahan yang diekstraksi
Universitas Sumatera Utara
20
dalam bagian sebelah dalam sel dengan yang masuk ke dalam cairan. Keadaan
diam tanpa pengocokan selama maserasi menyebabkan turunnya perpindahan
bahan aktif. Semakin besar perbandingan jamu terhadap cairan ekstraksi, akan
semakin baik hasil yang diperoleh (Voight, 1994).
2.3.2 Perkolasi
Istilah perkolasi berasal dari kata percolare yang artinya penetesan,
merupakan ekstraksi yang dilakukan dengan penetesan cairan penyari dalam
wadah silinder atau kerucut (perkolator), yang memilki jalan masuk dan keluar.
Bahan ekstraksi yang dimasukkan secara kontinyu dari atas mengalir lambat
melintasi simplisia yang umumnya berupa serbuk kasar. Melalui pembaharuan
terus-menerus bahan pelarut berlangsung sesuai suatu maserasi banyak tingkat.
Jika pada maserasi sederhana suatu ekstraksi sempurna dari simplisia tidak
terjadi, karena kesetimbangan konsentrasi antara larutan dalam sel dengan cairan
disekelilingnya dapat diatur, maka pada perkolasi melalui pemasukan bahan
pelarut yang ekstraksi total secara teoritis adalah mungkin, berkaitan dengan
perbedaan konsentrasi pada posisi yang baru, secara praktek diperoleh sampai
95% bahan yang terekstraksi. Sebelum perkolasi dilakukan, simplisia terlebih
dahulu direndam menggunakan pelarut dan dibiarkan membengkak agar
mempermudah pelarut masuk ke dalam sel. Namun pembengkakan ini juga dapat
menyebabkan pecahnya wadah itu sendiri. Dalam pengisian simplisia tidak boleh
terdapat ruang rongga. Hal ini akan menggagu keteraturan aliran cairan dan
menyebabkan berkurangnya hasil ekstraksi, namun suatu pengisian yang kompak
dapat menghambat aliran pelarut atau malah menghentikannya (Voigt, 1994).
2.4 Uji Aktivitas Antibakteri
Uji aktivitas antibakteri dapat dilakukan dengan metode difusi dan metode
pengenceran. Disc diffusion test atau uji difusi dilakukan dengan mengukur
diameter zona bening yang merupakan petunjuk adanya respon penghambatan
pertumbuhan bakteri oleh suatu senyawa antibakteri dalam ekstrak. Syarat jumlah
Universitas Sumatera Utara
21
bakteri untuk uji kepekaan/sensitivitas yaitu 105-108 CFU/ml (Hermawan et al.,
2007).
Metode difusi merupakan salah satu metode yang sering digunakan.
Metode difusi dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu metode silinder, metode
lubang/sumuran dan metode cakram kertas. Metode lubang/sumuran yaitu
membuat lubang pada agar padat yang telah diinokulasi dengan bakteri. Jumlah
dan letak lubang disesuaikan dengan tujuan penelitian, kemudian lubang
diinjeksikan dengan ekstrak yang akan diuji. Setelah dilakukan inkubasi,
pertumbuhan bakteri diamati untuk melihat ada tidaknya daerah hambatan di
sekeliling lubang (Kusmayati dan Agustini, 2007).
Metode dilusi dapat menentukan potensi suatu zat antibiotik dan dapat
diketahui
kepekaan
suatu
bakteri
terhadap
konsentrasi
zat
antibiotik.
Pengukurannya dapat dilakukan dengan metode dilusi cair atau padat (Volk,
1992). Prinsip metode pengenceran adalah senyawa antibakteri diencerkan hingga
diperoleh beberapa macam konsentrasi, kemudian masing-masing konsentrasi
ditambahkan suspensi bakteri uji dalam media cair. Perlakuan tersebut akan
diinkubasi dan diamati ada atau tidaknya pertumbuhan bakteri, yang ditandai
dengan terjadinya kekeruhan (Pratiwi I, 2008).
Larutan uji senyawa antibakteri pada kadar terkecil yang terlihat jernih
tanpa adanya pertumbuhan bakteri uji, ditetapkan sebagai Kadar Hambat Minimal
(KHM) atau Minimal Inhibitory Concentration (MIC). Larutan yang ditetapkan
sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media padat tanpa
penambahan bakteri uji ataupun senyawa antibakteri, dan diinkubasi selama 18-24
jam. Media padat yang tidak menunjukkan pertumbuhan bakteri setelah inkubasi
ditetapkan sebagai Kadar Bunuh Minimal (KBM) atau Minimal Bactericidal
Concentration (MBC) (Pratiwi I, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Download