5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri 2.1.1 Definisi Bakteri adalah suatu kelompok organisme prokariotik, yakni tidak memiki selubung inti. Bakteri memiliki informasi genetik berupa DNA, namun tidak terlokalisasi dalam suatu tempat yang khusus (nukleus) dan tidak adanya membran inti. DNA bakteri berbentuk sirkuler, panjang, dan umumnya disebut nukleoid. Hanya ekson yang menyusun DNA bakteri, sehingga tidak dijumpai intron. Selain itu, bakteri mempunyai DNA ekstrakromosomal yang berbentuk kecil dan sirkuler disebut plasmid (Brooks et al., 2010). 2.1.2 Struktur Gambar 1. Struktur Bakteri (Todar, 2012). Struktur bakteri pada gambar 1 diatas akan dijabarkan melalui tabel 1.1 dibawah ini. Universitas Sumatera Utara 6 Tabel 1.1 Struktur Bakteri, Fungsi, dan Komposisi Kimianya (Todar, 2012). Struktur Fungsi Komposisi Kimia Predominan Flagela Pergerakan Protein Sex pilus Menstabilkan bakteri saat Protein transfer DNA melalui konjugasi Common pili atau Menempel pada Protein fimbriae permukaan; proteksi terhadap fagositosis Kapsul Menempel pada Polisakarida permukaan; proteksi terhadap fagositosis Dinding sel (Bakteri Mencegah lisis osmotik Peptidoglikan kompleks Gram positif) dari protoplas sel dan dengan asam teikoat mempertahankan kekakuan dan bentuk sel Dinding sel (Bakteri Peptidoglikan mencegah Peptidoglikan dikelilingi Gram negatif) lisis osmotik dari fosfolipidproteinprotoplas sel dan lipopolisakarida pada mempertahankan membran luar kekakuan dan bentuk sel; membran luar sebagai sawar permeabilitas Membran plasma Sawar permeabilitas; Fosfolipid dan protein transpor cairan; tempat berbagai sistem enzim Ribosom Tempat sintesis protein RNA dan protein (translasi) Inclusions Penyimpanan nutrien Karbohidrat, lipid, protein, dan zat inorganik Kromosom Materi genetik sel DNA Plasmid Materi genetik sel diluar DNA kromosom Universitas Sumatera Utara 7 2.1.3 Klasifikasi Berdasarkan responnya terhadap pewarnaan Gram, bakteri dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yakni bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif. Bakteri Gram positif adalah bakteri yang dapat mempertahankan warna gentian ungu dan iodium (lugol) setelah dibilas sejenak dengan alkohol atau aseton. Bakteri Gram negatif tidak dapat mempertahankan warna kompleks gentian ungu dan iodin dan menjadi transparan setelah dibilas dengan alkohol. Akan tetapi, dapat diwarnai dengan warna yang berlawanan, yaitu safranin yang berwarna merah. Oleh karena itu, pada mikroskop cahaya, bakteri Gram negatif terlihat berwarna ungu sedangkan bakteri Gram negatif terlihat berwarna merah (Brooks et al., 2010). 2.1.3.1 Bakteri Gram Positif A. Staphylococcus aureus Golongan Stafilokokus adalah jenis Gram-positif dengan bentuk sel seperti bola (diameter 1 μm) dan biasanya tersusun dalam bentuk anggur yang tidak beraturan (Gambar 2). Mereka dapat tumbuh pada banyak medium dan aktif secara metabolik, memfermentasi karbohidrat dan menghasilkan pigmen yang berwarna putih hingga kuning tua. Beberapa spesiesnya adalah flora normal pada kulit dan membran mukosa pada manusia; sedangkan yang lainnya menyebabkan supurasi, pembentuk abses, termasuk dalam jenis infeksi piogenik, bahkan sampai pada septisemia yang fatal. Stafilokokus yang patogen biasanya menghemolisa darah, menggumpalkan plasma, dan memproduksi berbagai enzim ekstraseluler dan toksin. Stafilokokus cepat menjadi resisten terhadap banyak agen antimikroba dan dapat menyebabkan kesulitan dalam terapi. Genus Staphylococcus setidaknya memiliki 35 spesies, dan Staphylococcus aureus merupakan yang paling patogen pada manusia dan termasuk dalam golongan koagulase positif (Brooks et al., 2010). Universitas Sumatera Utara 8 Gambar 2. Staphylococcus aureus (Brooks et al., 2010). Patogenitas S. aureus terletak pada efek kombinasi antara faktor ekstrasel dan toksin dengan sifat invasif yang dimiliki strain tersebut. S. aureus yang patogen dan invasif menghasilkan koagulase dan cenderung menghasilkan pigmen berwarna kuning serta bersifat hemolitik. Koagulase membekukan fibrin pada sekitar lesi bahkan ke dalam limpa, menyebabkan pembentukan dinding yang membatasi proses tersebut dan diperkuat dengan akumulasi dari sel-sel radang dan jaringan fibrous. Dalam pusat lesinya, pencairan terhadap jaringan nekrotik pun terjadi, drainase cairan jaringan pusat nekrotik diikuti dengan pengisian rongga dengan jaringan granulasi dan diikuti dengan penyembuhan. Supurasi fokal (abses) yang merupakan khas dari infeksi stafilokokus dapat menyebar ke bagian lain dari tubuh melalui aliran limpa dan pembuluh darah. S. aureus dapat menyebabkan pneumonia, meningitis, emfisema, endokarditis, atau sepsis dengan supurasi pada sebagian organ (Brooks et al., 2010). Bakteremia, endokarditis, pneumonia, dan infeksi berat lainnya yang disebabkan oleh S. arueus membutuhkan terapi intravena penisilin β-laktamase- Universitas Sumatera Utara 9 resisten. Jika infeksi yang ditemukan oleh karena S. aureus non-β-laktamase, penisilin G adalah pilihan obatnya, namun hanya sedikit persentase dari strain S. aureus yang rentan terhadap penisilin G (Brooks et al., 2010). Oleh karena banyaknya strain yang resisten terhadap pengobatan, isolasi stafilokokus seharusnya diuji untuk mengetahui kerentanan terhadap antibiotik agar dapat menentukan pilihan antibiotiknya. Resistensi terhadap grup eritromisin cenderung muncul begitu cepat sehingga obat jenis tersebut tidak dapat digunakan secara tunggal dalam penatalaksanaannya. Agen antimikroba yang terbaru, seperti linezolide, daptomycin, dan quinupristin secara umum diberikan pada pasien yang menderita infeksi stafilokokus atau enterokokus yang serius (Brooks et al., 2010). B. Bacillus cereus Bacillus cereus bersifat aerobik, Gram positif, berbentuk batang berukuran 1 x 3-4 μm yang tersusun dalam rantai dengan ujungnya berbentuk kotak dan sporanya terletak di tengah basil nonmotil (Gambar 3). B. cereus dapat tumbuh pada makanan dan memproduksi enterotoksin atau emetik toksin dan menyebabkan keracunan makanan. Keracunan makanan yang disebabkan oleh Bacillus cereus memiliki dua tipe yang berbeda; yakni tipe emetik, yang berhubungan dengan nasi, dan tipe diareal, yang berhubungan dengan hidangan daging dan saus. B. cereus memproduksi toksin yang menyebabkan penyakit yang lebih mengarah kepada intoksikasi dibandingkan infeksi yang diperantarai makanan (food-borne infection). Tipe emetik dimanifestasikan dengan mual, muntah, kram abdomen, dan terkadang diare dan dapat sembuh sendiri, dengan masa perbaikan selama 24 jam. Dimulai 1-5 jam setelah mengonsumsi nasi dan terkadang hidangan pasta. B. cereus adalah organisme tanah yang biasa mengontaminasi nasi. Apabila nasi dalam jumlah yang banyak dimasak dan dibiarkan dingin perlahan, B. cereus akan menumbuhkan spora dan sel vegetatif memproduksi toksin selama pertumbuhan log-phase atau selama sporulasi. Tipe diareal memiliki masa inkubasi selama 1-24 jam dan dimanifestasikan dengan diare yang berlebihan disertai nyeri dan kram abdomen; demam dan muntah tidak dijumpai (Brooks et al., 2010). Universitas Sumatera Utara 10 Enterotoksin dapat dibentuk saat organisme berada di makanan atau diproduksi di usus. Keberadaan B. cereus di tinja pasien tidak cukup untuk mendiagnosis penyakit yang disebabkan oleh B. cereus; diagnosis baru dapat ditegakkan bila konsentrasi bakterinya 105 atau lebih per gram makanan. B. cereus adalah organisme penting penyebab infeksi mata, keratitis berat, endophthalmitis, dan panophthalmitis. B. cereus juga terkait dengan infeksi sistemik, termasuk endokarditis, meningitis, osteomielitis, dan pneumonia. Pengobatan antibiotik yang biasa diberikan adalah penisilin, doksisiklin, dan siprofloksasin (Brooks et al., 2010, Ryan et al., 2010). Gambar 3. Bacillus cereus (Todar, 2014). 2.1.3.2 Bakteri Gram Negatif A. Pseudomonas aeruginosa Pseudomonas aeruginosa memiliki bentuk kerucut dengan ukuran sekitar 0,6-2μm. P. aeruginosa termasuk dalam Gram negatif dan ditemukan dalam bentuk tunggal, berpasangan, ataupun dalam rantai yang pendek (Gambar 4 A). P. aeruginosa termasuk dalam aerob obligat yang dapat tumbuh pada banyak jenis media kultur. Pseudomonas aeruginosa membentuk kolonisasi pada manusia normal dan bersifat saprofitik dan biasanya memproduksi gula dan bau seperti anggur atau corn taco. Beberapa spesies dari Pseudomonas dapat melisiskan darah. Universitas Sumatera Utara 11 Banyak strain dari P. aeruginosa yang memproduksi pigmen piosianin dan pioverdin yang dapat memberikan warna biru dan hijau pada agar (Gambar 4 B), namun ada juga beberapa strain yang memproduksi pigmen piomelanin yang memberikan warna hitam (Brooks et al., 2010). (A) (B) Gambar 4. Pseudomonas aeruginosa: (A) Koloni Pseudomonas aeruginosa diamati melalui mikroskop dan (B) Kultur P. aeruginosa berpigmen piosianin dan pioverdin pada agar Mueller-Hinton (Brooks et al., 2010). Patogenesitas Pseudomonas aeruginosa dapat berasal dari banyak hal. Pili yang merupakan tonjolan permukaan sel membantu perlengketan dengan sel epitel inang. Eksopolisakarida juga bertanggungjawab dalam beberapa penyakit yang disebabkan organisme ini, termasuk cystic fibrosis. Kebanyakan P. aeruginosa memproduksi enzim seperti elastase, protease, dan dua jenis hemolisin, yakni phospolipase C yang tidak stabil terhadap panas dan glikolipid yang tahan panas. Banyak dari strain P. aeruginosa yang memproduksi eksotoksin A, yang mengakibatkan nekrosis jaringan dan dapat membunuh dengan mekanisme memblok sintesis protein. P. aeruginosa menempel dan membuat koloni pada membran mukosa atau kulit, menginvasi secara lokal, dan akhirnya menyebabkan penyakit yang sistemik. Proses tersebut didukung oleh adanya pili, enzim, maupun toksin yang sudah dijelaskan diatas. Liposakarida berperan langsung dalam menyebabkan demam, syok, oliguria, leukositosis dan leukopenia, DIC, dan ARDS (Brooks et al., 2010). Universitas Sumatera Utara 12 Strain Pseudomonas aeruginosa umumnya rentan terhadap penisilin antipseudomonas seperti karbenisilin, tikarsilin, piperasilin, mexlosilin, dan azlosilin; sefalosporin generasi ketiga seperti sefoperazon, sefotaksim, dan seftazidim; dan aminoglikosida seperti gentamisin, tobramisin, dan amikasin; juga senyawa karbokuinolon berfluor seperti siprofloksasin; aztreonam, dan monopenem. Meskipun demikian, beberapa strain P. aeruginosa memproduksi broadly specific multi-drug efflux systems, seperti MexABOprM dan MexXyOprM, yang membuat P. aeruginosa resisten terhadap berbagai jenis antibiotik seperti beta laktam, aminoglikosida, dan kuinolon jika diberikan sebagai terapi tunggal (Moniri et al., 2006). Oleh karena itu, infeksi P. aeruginosa sebaiknya tidak diobati dengan terapi satu macam obat saja, disebabkan keberhasilannya rendah dan bakteri tersebut dapat dengan cepat berkembang menjadi resisten. Ticarcillin atau piperacillin biasa digunakan sebagai kombinasi dengan aminoglikosida, contohnya tobramisin. Obat lain seperti aztreonam, imipenem, dan kuinolon terbaru, termasuk siprofloksasin. Sefalosporin terbaru, seftazidim dan sefoperazon juga aktif digunakan dalam membasmi P. aeruginosa (Brooks et al., 2010). B. Klebsiella pneumoniae Klebsiella pneumoniae adalah salah satu spesies bakteri Gram negatif pada kelompok bakteri Enterobacteriaceae. Bakteri ini berada dalam sistem pernafasan dan tinja kurang lebih pada 5% individu normal, menyebabkan pneumonia sekitar 1%. Klebsiella pneumoniae dapat menimbulkan konsolidasi hemoragik intensif pada paru-paru, bronkitis kronik, infeksi sekunder, dan pneumonia lobaris. K. pneumoniae and Klebsiella oxytoca paling sering menyebabkan infeksi nookomial. Terkadang bakteri ini dapat menyebabkan infeksi sistem saluran kemih dan bakteremia dengan luka yang melemahkan pasien (Brooks et al., 2010). Hal yang paling membedakan genus Klebsiella dengan yang lainnya adalah tidak dapat melakukan pergerakan (nonmotil) dan adanya kapsul polisakarida. Lebih dari 70 tipe kapsul telah ditemukan, termasuk diantaranya dapat bereaksi silang dengan patogen lainnya, seperti Bacillus cereus dan Universitas Sumatera Utara 13 Haemophilus influenzae. Beberapa studi mengungkapkan keterlibatan kapsul dalam mengganggu aktivitas komplemen. Beberapa tipe pili juga terdapat pada permukaan bakteri dan kemungkinan bertujuan untuk melekatnya bakteri pada epitel saluran napas dan saluran kemih. Diantara kesemua spesies pada kelompok Enterobacteriaceae, Klebsiella yang kini dianggap paling resisten terhadap antibiotik (Ryan et al., 2010). 2.2 Tanaman Jahe Jahe (Zingiber officinale) berasal dari Asia Pasifik yang tersebar dari India sampai Cina. Jahe merupakan rempah-rempah Indonesia yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam bidang kesehatan. Jahe merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang semu dan termasuk dalam suku temu-temuan (Zingiberaceae) (Paimin, 2008). Jahe merupakan bahan pokok yang biasa digunakan di banyak obat-obatan tradisional Cina sejak abad ke-4 SM, begitu pula orang-orang Yunani dan Romania gunakan dalam makanan (Melvin et al., 2009). Berdasarkan ukuran, bentuk, dan warna rimpangnya ada tiga jenis jahe yang dikenal, yaitu jahe gajah atau jahe besar (var. Roscoe), jahe putih kecil atau jahe emprit (var. Amarum), dan jahe merah (var. Rubrum) (Gambar 5). Jahe merah merupakan salah satu spesies jahe yang tersebar di wilayah Indonesia. Jahe merah secara morfologis mirip dengan jahe biasa, tetapi rimpang dari jenis ini lebih kecil dan rasanya lebih pedas, berwarna merah di luarnya dengan kuning hingga merah muda di bagian dalamnya. Banyak jahe jenis tersebut yang digunakan sebagai makanan dan pengobatan tradisional untuk berbagai penyakit (Koswara et al., 2012). Universitas Sumatera Utara 14 Gambar 5. Jenis-Jenis Jahe (Koswara, 1995). 2.2.1 Morfologi Jahe merupakan herbal, tegak, tinggi sekitar 30-60 cm. Batang semu, beralur, berwarna hijau. Daun tunggal, berwarna hijau tua. Helai daun berbentuk lanset, tepi rata, ujung runcing, dan pangkalnya tumpul. Panjang daun lebih kurang 20-40 cm dan lebarnya sekitar 2-4 cm. Rimpangnya bercabang-cabang, tebal dan agak melebar, berwarna merah sampai jingga. Bagian dalam rimpang berserat agak kasar, berwarna kuning muda dengan ujung merah muda. Rimpang berbau khas, dan rasanya pedas menyegarkan (Matondang, I, 2006). 2.2.2 Taksonomi Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Ordo : Musales Family : Zingiberaceae Genus : Zingiber Spesies : officinale (Paimin, 2008) Universitas Sumatera Utara 15 2.2.3 Komposisi Jahe Tabel 2.1 Komponen dalam Jahe (Tim Lentera, 2002). Komponen Jumlah Jahe Segar Jahe Kering Energi (KJ) 184,0 1424,0 Protein (g) 1,5 9,1 Lemak (g) 1,0 6,0 Karbohidrat (g) 10,1 70,8 Kalsium (mg) 21 116 Phospat (mg) 39 148 Besi (mg) 4,3 52 Vitamin A (SI) 30 147 Thiamin (mg) 0,02 - Niasin (mg) 0,8 5 Vitamin C (mg) 4 - Serat Kasar (g) 7,53 5,9 Total abu (g) 3,70 4,8 Magnesium (mg) - 184 Natrium (mg) 6,0 32 Kalium (mg) 57,0 1342 Seng (mg) - 5 Secara umum, komponen senyawa kimia yang terkandung dalam jahe terdiri dari minyak menguap (volatile oil), minyak tidak menguap (nonvolatile oil), dan pati. Minyak atsiri termasuk jenis minyak menguap dan merupakan suatu komponen yang memberi bau yang khas. Kandungan minyak tidak menguap disebut oleoresin, yakni suatu komponen yang memberikan rasa pahit dan pedas. Rimpang jahe merah selain mengandung senyawa-senyawa kimia tersebut, juga mengandung gingerol, 1,8-cincole, 10-dehydro-gingerdione, 6-gingerdione, arginine, a-linolenic acid, aspartic, β-sitosterol, caprylic acid, capsaicin, Universitas Sumatera Utara 16 chlorogenis acid, farnseal, farnesene, farnesol, dan unsur pati seperti tepung kanji, serta serat-serat resin dalam jumlah sedikit (Tim Lentera, 2002). Berdasarkan beberapa penelitian, dalam minyak atsiri jahe terdapat unsurunsur n-nonylaldehyde, d-camphene, d-β-phellandrene, methyl heptenone, cineol, d-borneol, geraniol, linalool, actates, dan caprylate, citral, chavicol, dan zingiberene. Bahan-bahan tersebut merupakan sumber bahan baku terpenting dalam industri farmasi atau obat-obatan (Tim Lentera, 2002). Diantara ketiga jenis jahe, jahe merah lebih banyak digunakan sebagai obat karena kandungan minyak atsiri dan oleoresinnya paling tinggi, sehingga lebih ampuh menyembuhkan berbagai macam jenis penyakit. Kandungan minyak atsiri jahe merah berkisar antara 2,58-3,72% (bobot kering), sedangkan jahe gajah 0,82-1,68% dan jahe emprit 1,5-3,3%. Selain itu, kandungan oleoresin jahe merah juga lebih tinggi dibandingkan jahe lainnya, yaitu 3% dari bobot kering (Koswara, 2012). Sekitar 115 bahan aktif telah diidentifikasi melalui berbagai proses analitik dari jahe yang segar maupun yang telah dikeringkan. Gingerol adalah bahan aktif terbanyak yang ditemukan pada jahe segar, sedangkan shogaol yang merupakan hasil proses dehidrasi dari gingerol ditemukan lebih banyak pada jahe kering. Jahe telah dibagi menjadi 14 senyawa bioaktif, yakni [4]-gingerol, [6]-gingerol, [8]gingerol, [10]-gingerol, [6]-paradol, [14]-shogaol, [6]-shogaol, 1-dehydro-[10]gingerdione, [10]-gingerdione, hexahydrocurcumin, tetrahydrocurcumin, gingerenone A, 1,7-bis-(4’hydroxyl-3’methoxyphenyl)-5-methoxyheptan-3-one, dan methoxy-[10]-gingerol. Proporsi dari setiap komponen dari jahe bergantung pada asalnya, proses komersialnya, dan apakah jahe tersebut kering, segar, maupun sudah diproses (Bode dan Dong, 2011). 2.2.4 Kegunaan Jahe sebagai Obat Tradisional Berdasarkan sejarahnya, tanaman obat menjadi sumber dari senyawa obatobatan sintetik. Produk derivat tumbuhan telah memberikan kontribusi yang besar terhadap kesehatan manusia. Begitu banyak peneliti di seluruh dunia telah Universitas Sumatera Utara 17 melaporkan kegunaan antimikroba dari beberapa tanaman obat dan telah mengidentifikasi bahan aktifnya (Karrupiah dan Rajaram, 2012). Penggunaan jahe yang paling sering adalah untuk mengurangi gejala mual dan muntah. Keuntungan dan kerugian dari tanaman herbal dalam mengobati pencernaan telah dibahas dan beberapa penelitian melaporkan bahwa jahe secara umum efektif sebagai antiemetik. Efektivitas jahe sebagai antiemetik oleh karena adanya efek carminative yang dimilikinya, sehingga mampu membuang gas yang terdapat pada pencernaan. [6]-gingesulfonic acid yang terdapat pada jahe pun efektif melawan lesi lambung yang diinduksi HCl atau etanol (Bode dan Dong, 2011). Jahe adalah tanaman obat yang dipakai di seluruh dunia. Jahe segar biasa digunakan untuk mengatasi penakit seperti batuk, mual, asma, kolik, palpitasi jantung, dispepsia, perut kembung, kurang nafsu makan, maupun rematik, sama halnya pada masa Cina Kuno. Di abad ke-19, jahe disajikan dalam bentuk jus yang dicampur dengan sedikit jus bawang segar dan madu, sebagai obat yang dikenal dapat menyembuhkan batuk dan asma (Karrupiah dan Rajaram, 2012). Menurut Giyarto (2002), khasiat rimpang jahe adalah sebagai pelega perut, obat batuk, obat rematik, penawar racun, antitusif, laksatif dan antasida, juga sebagai antioksidan, dan serbuk jahe merah berperan sebagai anti inflamasi, bahkan menurut Winarto (2007) efek jahe terhadap kulit, yaitu dapat merangsang regenerasi sel kulit. 2.2.5 Efek Antibakteri Jahe memiliki efek antibakteri yang sudah diteliti dan terbukti pada beberapa studi yang dilakukan di seluruh dunia. Ekstrak etanol dari rimpang jahe yang diujikan memiliki aktivitas antibakteri melawan lima jenis isolat yang didapatkan dari klinis dengan rentang zona inhibisinya diantara 4-16 mm. Hasil maksimum didapatkan pada Bacillus sp. (16,55 mm) diikuti dengan E. coli (15,50 mm) dan P. aeruginosa (14,55 mm). Sedangkan bila diujikan dengan ekstrak kasar (crude extracts), Konsentrasi Hambat Minimal atau Minimum Inhibitory Concentration (MIC) cukup rendah pada P. aeruginosa yakni 67,00 μg/ml diikuti Universitas Sumatera Utara 18 dengan S. aureus (68,45 μg/ml) dan Proteus sp. (70,20 μg/ml). Kandungan gingerol pada jahe tersebut yang diyakini mampu menunjukkan sifat antimikroba dan antijamur. Potensi antimikroba juga dipercaya oleh karena kandungan tanin, saponin, senyawa fenol, essential oils, dan flavonoid (Karrupiah dan Rajaram, 2012). Zingiber officinale diyakini sinergis dengan beberapa jenis obat antimikroba, seperti tetrasiklin dan netilmisin dalam menghambat protein sintesis dari Staphylococcus aureus, dengan MIC 90% yakni 3,56 mg/ml (Betoni et al., 2006). Bahkan dalam penelitian, rimpang Z. officinale memiliki aktivitas antibakteri yang baik dan bisa disamakan dengan beberapa jenis antimikroba sesuai ekstrak yang digunakan. Ekstrak metanol dari Z. officinale dapat digunakan seperti asam traneksamat, gentamisin, sefuroksin, dan metronidazol dalam pengobatan infeksi S. aureus, serta asam traneksamat dan metronidazol dalam pengobatan P. aeruginosa (Khalid et al., 2011). Ekstrak metanol yang terdapat pada tumbuhan terbukti lebih efektif dalam melawan bakteri. Semakin besar kapasitas ekstrak metanol suatu tumbuhan, maka semakin banyak jumlah bagan aktifnya yang memiliki aktivitas antibakteri. (Melvin et al., 2009). 2.3. Ekstraksi Ekstraksi adalah teknik pemisahan suatu senyawa berdasarkan perbedaan distribusi zat terlarut diantara dua pelarut yang saling bercampur. Pada umumnya zat terlarut yang diekstrak bersifat tidak larut atau larut sedikit dalam suatu pelarut tetapi mudah larut dengan pelarut lain. Metode ekstraksi yang tepat ditemukan oleh tekstur kandungan air bahan-bahan yang akan diekstrak dan senyawasenyawa yang akan diisolasi (Harborne, 1996). Menurut Winarno (1973) dalam Pratiwi (2010), ekstraksi adalah suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa zat menjadi komponen yang terpisah. Pada proses ekstraksi pada dasarnya dibedakan menjadi dua fase yaitu fase pencucian dan fase ekstraksi. Universitas Sumatera Utara 19 1. Fase Pencucian (Washing Out) Pada saat penggabungan pelarut dengan simplisia, maka sel-sel yang rusak karena proses pengecilan ukuran langsung kontak dengan bahan pelarut. Komponen sel yang terdapat pada simplisia tersebut dapat dengan mudah dilarutkan dan dicuci oleh pelarut. Dengan adanya proses tersebut, maka dalam fase pertama ini sebagian bahan aktif telah berpindah ke dalam pelarut. Semakin halus ukuran simplisia, maka semakin optimal jalannya proses pencucian tersebut. 2. Fase Ekstraksi (Difusi) Untuk melarutkan komponen sel yang tidak rusak, maka pelarut harus masuk ke dalam sel dan mendesak komponen sel tersebut keluar dari sel. Membran sel simplisia yang mula-mula mengering harus diubah terlebih dahulu agar terdapat suatu perlintasan pelarut ke dalam sel. Hal ini dapat terjadi melalui proses pembengkakan, dimana membran mengalami suatu pembesaran volume melalui pengambilan molekul bahan pelarut. Kemampuan sel untuk mengikat pelarut menyebabkan struktur dinding sel tersebut menjadi longgar, sehingga terbentuk ruang antarmiselar, yang memungkinkan bahan ekstraksi mencapai ke dalam ruang dalam sel. Peristiwa pembengkakan ini sebagian besar disebabkan oleh air. Campuran alkohol-air lebih disukai untuk mengekstraksi bahan farmasetik karena terbukti lebih cepat (Voigt, 1994). 2.3.1 Maserasi Istilah maserasi berasal dari bahasa latin, yakni macerare yang artinya mengairi, melunakkan, merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana. Bahan jamu yang dihaluskan sesuai dengan syarat farmakope (umumnya terpotongpotong atau diserbuk kasarkan) disatukan dengan bahan ekstraksi. Rendaman tersebut disimpan terlindungi dari cahaya langsung (mencegah reaksi yang dikatalisis cahaya atau perubahan warna) dan dikocok kembali. Waktu maserasi adalah berbeda-beda, masing-masing farmakope mancantumkan 4-10 hari. Namun pada umumnya 5 hari, setelah waktu tersebut keseimbangan antara bahan yang diekstraksi pada bagian dalam sel dengan luar sel telah tercapai. Pengocokan dilakukan agar cepat mendapat kesetimbangan antara bahan yang diekstraksi Universitas Sumatera Utara 20 dalam bagian sebelah dalam sel dengan yang masuk ke dalam cairan. Keadaan diam tanpa pengocokan selama maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif. Semakin besar perbandingan jamu terhadap cairan ekstraksi, akan semakin baik hasil yang diperoleh (Voight, 1994). 2.3.2 Perkolasi Istilah perkolasi berasal dari kata percolare yang artinya penetesan, merupakan ekstraksi yang dilakukan dengan penetesan cairan penyari dalam wadah silinder atau kerucut (perkolator), yang memilki jalan masuk dan keluar. Bahan ekstraksi yang dimasukkan secara kontinyu dari atas mengalir lambat melintasi simplisia yang umumnya berupa serbuk kasar. Melalui pembaharuan terus-menerus bahan pelarut berlangsung sesuai suatu maserasi banyak tingkat. Jika pada maserasi sederhana suatu ekstraksi sempurna dari simplisia tidak terjadi, karena kesetimbangan konsentrasi antara larutan dalam sel dengan cairan disekelilingnya dapat diatur, maka pada perkolasi melalui pemasukan bahan pelarut yang ekstraksi total secara teoritis adalah mungkin, berkaitan dengan perbedaan konsentrasi pada posisi yang baru, secara praktek diperoleh sampai 95% bahan yang terekstraksi. Sebelum perkolasi dilakukan, simplisia terlebih dahulu direndam menggunakan pelarut dan dibiarkan membengkak agar mempermudah pelarut masuk ke dalam sel. Namun pembengkakan ini juga dapat menyebabkan pecahnya wadah itu sendiri. Dalam pengisian simplisia tidak boleh terdapat ruang rongga. Hal ini akan menggagu keteraturan aliran cairan dan menyebabkan berkurangnya hasil ekstraksi, namun suatu pengisian yang kompak dapat menghambat aliran pelarut atau malah menghentikannya (Voigt, 1994). 2.4 Uji Aktivitas Antibakteri Uji aktivitas antibakteri dapat dilakukan dengan metode difusi dan metode pengenceran. Disc diffusion test atau uji difusi dilakukan dengan mengukur diameter zona bening yang merupakan petunjuk adanya respon penghambatan pertumbuhan bakteri oleh suatu senyawa antibakteri dalam ekstrak. Syarat jumlah Universitas Sumatera Utara 21 bakteri untuk uji kepekaan/sensitivitas yaitu 105-108 CFU/ml (Hermawan et al., 2007). Metode difusi merupakan salah satu metode yang sering digunakan. Metode difusi dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu metode silinder, metode lubang/sumuran dan metode cakram kertas. Metode lubang/sumuran yaitu membuat lubang pada agar padat yang telah diinokulasi dengan bakteri. Jumlah dan letak lubang disesuaikan dengan tujuan penelitian, kemudian lubang diinjeksikan dengan ekstrak yang akan diuji. Setelah dilakukan inkubasi, pertumbuhan bakteri diamati untuk melihat ada tidaknya daerah hambatan di sekeliling lubang (Kusmayati dan Agustini, 2007). Metode dilusi dapat menentukan potensi suatu zat antibiotik dan dapat diketahui kepekaan suatu bakteri terhadap konsentrasi zat antibiotik. Pengukurannya dapat dilakukan dengan metode dilusi cair atau padat (Volk, 1992). Prinsip metode pengenceran adalah senyawa antibakteri diencerkan hingga diperoleh beberapa macam konsentrasi, kemudian masing-masing konsentrasi ditambahkan suspensi bakteri uji dalam media cair. Perlakuan tersebut akan diinkubasi dan diamati ada atau tidaknya pertumbuhan bakteri, yang ditandai dengan terjadinya kekeruhan (Pratiwi I, 2008). Larutan uji senyawa antibakteri pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan bakteri uji, ditetapkan sebagai Kadar Hambat Minimal (KHM) atau Minimal Inhibitory Concentration (MIC). Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media padat tanpa penambahan bakteri uji ataupun senyawa antibakteri, dan diinkubasi selama 18-24 jam. Media padat yang tidak menunjukkan pertumbuhan bakteri setelah inkubasi ditetapkan sebagai Kadar Bunuh Minimal (KBM) atau Minimal Bactericidal Concentration (MBC) (Pratiwi I, 2008). Universitas Sumatera Utara