BERMAIN SEBAGAI SARANA INOVASI PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR Isna Rahmawati Universitas Widya Dharma Klaten [email protected] Abstrak Pembelajaran merupakan aktifitas yang memerlukan keterampilan khusus di dalamnya supaya tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik. Melakukan pembelajaran yang sesuai dengan keadaan siswa sangatlah penting bagi seorang pendidik. Pemahaman terhadap karakteristik peserta didik dan tugas-tugas perkembangan anak sekolah dasar dapat dijadikan titik awal untuk menentukan tujuan pendidikan di sekolah dasar, dan untuk menentukan waktu yang tepat dalam memberikan pendidikan sesuai dengan kebutuhan perkembangan anak itu sendiri. Karakteristik anak sekolah dasar adalah senang bermain. Karakteristik ini menuntut guru sekolah dasar untuk melaksanakan kegiatan pendidikan yang bermuatan permainan. Oleh karena itu, guru sekolah dasar seyogyanya dapat melakukan inovasi pembelajaran yang memungkinkan adanya unsur permainan di dalamnya. Pada fase anak usia sekolah dasar, anak cenderung untuk bermain. Oleh karena itu aktifitas bermain dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif dalam melakukan inovasi pembelajaran di sekolah dasar. Permainan mempunyai peranan penting dalam pembinaan pribadi anak. Bermain merupakan suatu aktivitas yang membantu anak mencapai perkembangan yang utuh, baik fisik, intelektual, sosial, moral, maupun emosional. 250 Pendahuluan Proses pembelajaran yang diselenggarakan secara formal di sekolah dimaksudkan untuk mengarahkan perubahan diri siswa secara terencana baik aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Pendidikan dasar sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional dalam penyelenggaraan pendidikan adalah sebagai wahana untuk memberikan pengetahuan dan mengembangkan nilai-nilai sehingga keberadaannya sangat penting. anak (Oemar Hamalik, 2009: 102105). Oleh karena itu dalam melakukan pembelajaran di sekolah dasar pendidik dapat memanfaatkan kegiatan bermain sebagai salah satu sarana untuk melakukan inovasi. Pembahasan Pengertian Bermain Pendidikan usia sekolah dasar memegang peranan penting sebagai pondasi bagi dasar kepribadian anak yang akan menentukan sejarah perkembangan anak selanjutnya. Oleh karena itu dalam prosesnya diperlukan berbagi inovasi dan pelayanan yang tepat, pemberian pengalaman awal yang posistif serta stimulasi yang sesuai dengan tingkat perkembangannya. Permainan adalah setiap kontes antara para pemain yang berinteraksi satu sama lain dengan mengikuti aturan-aturan tertentu untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Setiap permainan harus mempunyai empat komponen utama, yaitu: (1) adanya pemain; (2) adanya lingkungan di mana para pemain berinteraksi; (3) adanya aturanaturan main; dan (4) adanya tujuantujuan tertentu yang ingin dicapai (Arif S. Sandiman, dkk, 2009: 7576). Karakteristik anak usia sekolah dasar terletak pada perkembangan yang bersifat holistik terpadu. Perkembangan fisik tidak bisa dipisahkan dengan perkembangan mental, sosial, dan emosional. Aspek perkembangan tersebut saling berkaitan dan akan terpadu dengan pengalaman kehidupan dan lingkungan. Salah satu sifat khas anak usia sekolah dasar yaitu gemar membentuk kelompok sebaya, bisanya untuk dapat bermain bersama-sama (Syaiful Bahri Djamarah, 2008: 125). Disamping itu anak usia sekolah dasar juga mempunyai kebutuhan dasar, antara lain adalah kebutuhan untuk bermain, ini merupakan kegiatan alami dan bermakna bagi Sedangkan menurut Weed („Athif Abul‟id & Syeikh Muhammad Sa‟id Marsa, 2009: 12) bermain adalah sebuah aktivitas yang terarah atau tidak, yang dilakukan oleh anak-anak untuk mendapatkan kepuasan dan hiburan serta dimanfaatkan oleh orang-orang dewasa untuk membantu mengembangkan perilaku dan kepribadian mereka dengan berbagai macam dimensinya, baik intelektualitas, jasmani, maupun rohani. Dalam terma psikologis, bermain adalah suatu aktifitas yang membantu anak mencapai perkembangan yang utuh, baik secara fisik, intelektual, sosial, moral, dan emosional (Andang Ismail, 2006: 16). 251 Encyclopedia of Children's Health (2010: 3) menyatakan bahwa: “Play reinforces the child's growth and development. Some of the more common functions of play are to facilitate physical, emotional, cognitive, social, and moral development.” Artinya bermain berfungsi memperkuat pertumbuhan dan perkembangan anak. Beberapa fungsi yang lebih umum bermain adalah untuk memfasilitasi perkembangan fisik, emosi, kognitif, sosial, dan moral. Manfaat Bermain Bermain mempunyai manfaat yang banyak sekali bagi anak-anak yang melakukannya. Menurut Tedjasaputra (2005: 39) bermain mempunyai manfaat untuk membantu proses perkembangan aspek fisik, motorik kasar dan motorik halus, perkembangan aspek sosial, perkembangan emosi dan kepribadian, perkembangan aspek kognisi, mengasah ketajaman penginderaan, mengembangkan keterampilan olahraga dan menari, media terapi, serta media intervensi. Elliot et, all (2000: 75) menyatakan bahwa:“Play also helps social development because the involvement of others demands a give-and-take that teaches early childhood youngsters the basics of forming relationships.” Artinya, bermain juga membantu pembangunan sosial karena keterlibatan orang lain menuntut memberi dan menerima hal itu mengajarkan anak hal mendasar membentuk hubungan. Permainan adalah aktivitas penting yang bersifat psikis, sosial, dan intelektual yang dilakukan oleh anak, sehingga membuat kepribadiannya menjadi terbuka. Permainan membuat anak dapat memperoleh keahlian bergerak, kemampuan untuk memahami dunia sekitar, dan berinteraksi dengan orang lain. Melalui permainan anak dapat belajar tentang kebiasaankebiasaan mengendalikan diri, kebiasaan bergaul, dan percaya pada diri sendiri. Melalui permainan perkembangan psikologis, intelektual, sosial, dan emosional pada anak dapat terwujud („Athif Abul‟id & Syeikh Muhammad Sa‟id Marsa, 2009: 5). Lebih lanjut Tasmin (2002: 2) mengemukakan bahwa saat bermain anak bisa berimajinasi, mengeluarkan ide-ide yang ada dalam benaknya. Anak juga mengekspresikan pengetahuan yang dimiliki tentang dunia di sekitarnya dan sekaligus mendapatkan pengetahuan dari hal tersebut dengan rasa senang dan gembira. Saat bermain anak akan mengekspresikan hal-hal yang dirasakannya dari rasa senang, sedih, atau takut, yang mana hal ini sebenarnya perlu untuk diperhatikan oleh orang tua sehingga orang tua mengetahui apa yang sebenarnya dirasakan oleh anak tersebut. Permainan sangat berguna bagi siswa dan guru karena: 1) Permainan membuat orang keluar dari kegiatan rutinitas di kelas dengan cara yang menyenangkan 2) Permainan dapat memberikan anak-anak peluang agar lebih 252 mengenal materi dalam suatu hal yang baru 3) Permainan dapat menjadi motivasi yang bagus bagi seluruh siswa untuk jenis pelajaran yang memerlukan driil. Fakta bahwa siswa tertarik dalam permainan akan dapat mengganti reaksi mereka terhadap drill yang mungkin membosankan(Grambs & Care, 1979: 310). National Association of Early Childhood Specialists In State Departments of Education (Thompson, 2003: 4) mengemukakan bahwa: 1. Bermain merupakan bentuk pembelajaran aktif yang menyatukan pikiran, tubuh dan jiwa. 2. Bermain mengurangi ketegangan yang sering datang dengan harus mencapai atau perlu untuk belajar. 3. Anak-anak mengekspresikan dan bekerja di luar aspek emosional dari pengalaman sehari-hari melalui bermain tidak terstruktur. 4. Anak-anak diizinkan bermain secara bebas dengan rekan-rekan untuk mengembangkan keterampilan untuk melihat sesuatu melalui titik pandang orang lain, bekerja sama, membantu, berbagi, dan memecahkan masalah. Dengan demikian permainan akan dapat membantu siswa yang tidak tertarik untuk ikut berpartisipasi dalam kelas. Dengan menggunakan metode permainan siswa akan lebih mudah untuk memahami materi pelajaran yang disampaikan oleh guru, karena dengan metode permainan ini suasana belajar akan lebih menyenangkan dan penuh daya tarik. Melalui metode permainan diharapkan dalam proses pembelajaran terjadi interaksi di antara siswa dan antara guru dan siswa lewat permainan. Para psikolog anak menekankan akan pentingnya bermain bagi anak-anak. Bagi anak bermain merupakan kegiatan yang alami dan sangat berarti. Dengan bermain, anak mendapat kesempatan untuk mengadakan hubungan yang erat dengan lingkungannya. Piaget memandang permainan sebagai perkenalan dan arena untuk melatih berilaku berfikir simbolis dan pemecahan masalah. Di samping itu, permainan sangat penting untuk melatih otot-otot, ketrampilan fisik, keseimbangan, bekerjasama dengan orang lain, belajar bercakap-cakap, persahabatan, dan latihan tata krama. Permainan juga akan memberikan kepuasan emosional. Permainan akan memberikan kecepatan pada anak untuk melatih keterampilanketerampilan fisik, sosial, dan mendapat kepuasan emosional dan latihan intelektual (Oemar Hamalik, 2009: 104). Bermain sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Para ahli sepakat, anak-anak harus bermain agar dapat mencapai perkembangan yang optimal. Tanpa bermain anak akan bermasalah di kemudian hari. Melalui bermain anak akan mengembangkan rasa harga diri karena dengan bermain anak memperoleh kemampuan untuk 253 menguasai tubuh, benda-benda, dan keterampilan sosial (Tadkiroatun Musfiroh, 2008: 5). Beberapa ahli pengikut Vygotsky yakin bahwa bermain mempengaruhi perkembangan anak melalui tiga cara. Pertama, bermain menciptakan zona of proximal developmental (ZPD), yakni wilayah yang menghubungkan antara kemampuan aktual anak dan kemampuan potensial anak. Kedua, bermain memfasilitasi separasi (pemisahan) pikiran dari objek dan aksi. Di dalam bermain anak lebih menuruti apa yang ada dalam pikirannya dari yang ada dalam realita. Ketiga, bermain mengembangkan penguasaan diri. Di dalam bermain anak tidak dapat bertindak sembarangan. Anak mesti bertindak sesuai skenario (Tadkiroatun Musfiroh, 2008: 6-7; ). Lebih lanjut Catron dan Allen (Tadkiroatun Musfiroh, 2008: 11) mengemukakan bahwa bermain mendukung perkembangan sosialisasi anak dalam hal-hal: 1) interaksi sosial, yakni interaksi dengan teman sebaya, orang dewasa, dan memecahkan konflik; 2) kerjasama, yakni interaksi saling membantu, berbagi, dan pola bergiliran; 3) peduli terhadap orang lain, seperti memahami dan menerima perbedaan individu, memahami masalah multi budaya dan agama. Anak mempelajari banyak hal dalam bermain. Hal-hal yang dipelajari anak melalui bermain antara lain: a) anak belajar untuk menerima, mengekspresikan, dan menguasai perasaan mereka secara posistif dan konstruktif; b) anak belajar tentang diri mereka sendiri, untuk mengembangkan jati diri, kepercayaan diri, ketenangan diri, dan harga diri; c) anak belajar tentang tingkah laku sosial, seperti bergiliran bicara, bekerja sama, berbagi, dan saling membantu; d) anak belajar untuk mengungkapkan ide dan perasaannya secara verbal, menyimak tuturan orang lain, memahami sudut pandang orang lain, dan belajar memutuskan suatu rencana kegiatan untuk memecahkan masalah; e) Anak belajar untuk menjadi penengah (pendamai) dan memilih jalan damai yang saling menjaga satu sama lain; f) Anak belajar menghargai dan mempedulikan orang lain dan saling menjaga satu sama lain; g) Anak belajar menggunakan konsep matematika; h) Anak belajar baerbagai ketrampilan motorik; i) dan lain sebagainya (Tadkiroatun Musfiroh, 2008: 31). Dalam aktivitas bermain terkandung nilai-nilai di dalamnya, di antaranya yaitu : 1) Nilai Ragawi; Permainan yang aktif sangat penting bagi perkembangan 254 tulang anak. Dengan bermain anak belajar mengenal kecakapan untuk mencari dan mengumpulkan sesuatu. 2) Nilai Edukatif Bermain membuka ruang yang luas di hadapan anak. Anak mempelajari banyak hal melalui bermacam-macam permainan dan alat permainan, seperti anak menjadi tahu berbagai macam bentuk, warna, ukuran, sifat, dan sebagainya. Dalam banyak kesempatan anak memperoleh berbagai informasi dan pengetahuan melalui permainan yang tidak bisa dia peroleh melalui sumber-sumber lain. 3) Nilai Sosial Melalui bermain anak belajar membangun hubungan sosial dengan orang lain, serta mempelajari cara agar sukses bergaul. Dengan bermain anak mempelajari untuk bekerjasama dan berinteraksi secra baik dengan orang lain. 4) Nilai Moral Melalui bermain anak mulai mempelajari tentang salah dan benar. Secara fundamental anak juga mempelajari beberapa standar moral, misalnya keadilan, kejujuran, amanah, tanggung jawab, dan lain sebagainya. 5) Nilai Kreasi Dengan bermain anak mampu mengekspresikan kemampuan kreatif inovatifnya dan mencoba ide-ide yang dia simpan dalam otaknya. 6) Nilai Personalitas Melalui bermain anak mampu menemukan banyak hal dari dirinya sendiri, misalnya mengetahui kemampuan dan kecakapannya melalui pergaulannya dengan temanteman sebayanya. Anak juga belajar dari masalah-masalah dan bagaimana cara mengatasinya („Athif Abul‟id & Syeikh Muhammad Sa‟id Marsa, 2009: 77-78). Dunia anak adalah dunia bermain. Melalui bermain, anak memperoleh pelajaran yang mengandung aspek perkembangan kognitif, sosial, emosi, dan fisik. Melalui kegiatan bermain dengan berbagai macam bentuk permainan anak dirangsang untuk berkembang, baik perkembangan berpikir, emosi, maupun sosial. Tahapan Bermain Dalam perkembangannya anak mengalami beberapa tahapan dalam aktivitas bermain yang dilakukan. Tahapan tersebut dikemukakan oleh beberapa ahli dalam berbagai sudut pandang. Parten (Santrock, 2007: 573; Hyun, 1988: 2; Andang Ismail, 2006: 3235) membagi enam tahapan bermain anak, yaitu: 1) Unoccopied play Pada tahapan ini anak sebenarnya tidak melakukan aktivitas bermain secara nyata, akan tetapi hanya mengamati kejadian yang menarik di sekitarnya, apabila ia tidak ada hal yang menarik, maka anak akan menyibukkan diri dengan memainkan anggota tubuhnya atau mengikuti orang tanpa tujuan yang jelas. 255 2) Solitary play Pada tahapan ini anak lebih suka dengan aktivitas atau permainannya sendiri tanpa memperhatikan lingkungan sekitarnya. Anak akan merasa eksis ketika mainan yang digunakannya diambil oleh anak atau orang lain dan ia akan marah, karena pada tahapan ini anak lebih bersifat egosentris. 3) Onlooker play Pada tahapan ini anak mulai tertarik dengan aktivitas atau permainan yang dilakukan oleh anak di sekitarnya. Tahapan ini juga bisa terjadi bila anak mengalami perpindahan lingkungan atau perpindahan pada situasi yang baru. 4) Pararel play Bermain pararel ini nampak apabila ada dua anak atau lebih yang sedang bermain bersama tapi dengan jenis atau alat permainan yang berbeda. Mereka (anakanak) ada interaksi tetapi hanya sebatas interaksi tanpa ada hubungannya dengan kerjasama dalam melakukan permaianan tersebut, karena pada dasarnya pada tahapan ini anak masih sangat bersifat egosentris. 5) Assosiative play Jenis permainan ini ditandai dengan adanya interaksi, komunikasi antara satu anak dengan anak yang lain dengan jenis permainan yang sama, akan tetapi tahapan kerjasama belum nampak. Tahapan ini biasanya muncul atau masih nampak pada anak-anak usia pra sekolah atau taman kanak-kanak. Aktivitas yang biasanya melakukan anakanak pada tahapan ini yaitu menggambar, anak-anak samasama menggambar kemudian bertukar pensil gambar atau crayon dan saling mengomentari satu sama lain, akan tetapi mereka tidak ada interaksi untuk saling membantu atau kerjasama 6) Cooperative play Cooperative play biasanya ditandai dengan adanya kerjasama antara satu anak dengan anak yang lain, atau adanya pembagian peran yang dilakukan dalam memaikan sebuah permainan, misalnya, bermain pasar-pasaran. Tahapan ini biasanya akan muncul pada anak usia lima tahun, akan tetapi dukungan dari orang tua juga akan mempengaruhi terhadap perkembangan anak. Bila orang tua tidak mendorong anak untuk berinteraksi dengan anak yang lain ada kemungkinan anak tidak mengalami tahapan ini. Perkembangan bermain terjadi melalui tahap sebagai berikut: a) Exploratory Stage Ciri khas pada tahap ini adalah berupa kegiatan mengenai objek atau orang lain. Anak mulai bisa mengamati benda-benda yang ada di sekelilingnya kemudian berusaha mencoba menjangkau atau meraihnya. Ketika anak sudah dapat merangkak dan berjalan penjelajahan anak semakin luas sehingga anak akan mengamati setiap benda yang dapat diraihnya. Semakin aktif anak tersebut semakin luas pula jangkauan dari anak. 256 b) Toy Stage Tahap ini dimulai saat anak berusia antara 2-3 tahun, dan puncaknya adalah pada usia anak mencapai 4-5 tahun. Pada tahap ini anak biasanya mengamati mainan yang ada di sekitarnya dan mencoba berinteraksi dengan mainan tersebut. Pada usia pra sekolah anak-anak biasa bermain dengan boneka dan mengajaknya bercakap-cakap atau bermain seperti layaknya teman bermainnya. c) Play Stage Tahap ini muncul bersamaan pada saat anak mulai memasuki lingkungan sekolah dasar. Anak mulai melakukan berbagai jenis permainan semakin bertambah banyak dengan berbagai macam alat dan dengan berbagai macam interaksi dengan teman-temannya. Tahap ini semakin berkembang lama kelamaan anak bermain dengan permainan yang juga dilakukan oleh orang dewasa. d) Daydream Stage Tahap ini diawali saat anak mendekati masa pubertas. Anak sudah mulai kurang berminat terhadap kegiatan bermain yang tadinya mereka sukai dan mulai banyak menghabiskan waktunya untuk melamun atau berkhayal (Hurlock (Andang Ismail: 2006: 39-40). Sejalan dengan perkembangan kognitif anak Jean Piaget (Lin, 2002: 1) mengemukakan empat tahapan pola bermain anak, yaitu: 1) Sensory Motor Play (¾-6 bulan) Pada usia sebelum ¾ bulan anak belum bisa melakukan atau merasakan aktivitas bermain yang nyata. Pada tahapan ini anak hanya bisa melakukan gerakan atau aktivitas yang baginya merupakan kesenangan, seperti menyusu pada ibunya. Kemudian pada usia 3-4 bulan kegiatan anak semakin terkoordinasi, hal ini akan nampak ketika anak bisa menarik mainan yang digantung di atas tempat tidurnya sehingga mengeluarkan bunyi-bunyian yang berbeda. Kemudian pada usia 7-11 bulan kegiatan yang dilakukan bukan hanya pengulangan semata, tetapi sudah ada variasi, misalnya anak akan senang bila bisa menemukan mainan di balik selimutnya, atau senang ketika melihat wajah di balik bantalnya. 2) Symbolic/Make Believe Play (2-7 tahun) Tahap bermain ini merupakan cirri periode pra operasional yang terjadi antara usia 2-7 tahun yang ditandai dengan bermain khayal dan bermain pura-pura. Pada masa ini anak juga akan sering bertanya dan terus bertanya meski tidak mempedulikan jawabannya. Bentuk aktivitas lain yang nampak adalah anak mulai bisa mempresentasikan simbol atau benda dalam permainannya, seperti sapu untuk bermain kudakudaan atau menganggap sobekan kertas sebagai uang ketika bermain dengan temannya. 3) Social Play With Rules (8-11 tahun) Masa ini bisa dikatakan sebagai tahapan tertinggi dalam proses 257 bermain anak, karena dalam melakukan permainannya anak sudah mengedepankan logika, simbol lebih banyak diwarnai oleh nalar, dan yang paling bagus adalah ketika anak bisa memainkan permainan dengan teman-temannya dengan menggunakan aturan yang dibuat sendiri, dan anak berusaha untuk mematuhinya, dan ketika ada kesalahan mereka bisa menerima sanksi yang diberikan. 4) Games With Rules and Sport (11 tahun ke atas) Pada tahapan ini, olahraga merupakan permainan yang menarik bagi anak meskipun dalam olahraga akan ada peraturan yang lebih ketat bila dibandingkan dengan permainan yang sebelumnya mereka lakukan. Dalam tahapan ini bukan kesenangan saja yang diinginkan oleh anak, akan tetapi kemenangan dan memperoleh hasil kerja yang baik juga menjadi tujuan yang diinginkan. Sejalan dengan berjalannya kognitif anak, Rubin, Fein & Vandenberg (Tedjasaputra, 2005: 28; Andang Ismail, 2006: 41-43) mengemukakan tahapan bermain sebagai berikut: a) Functional Play Tahapan ini biasanya nampak pada anak usia 1-2 tahun, berupa gerakan yang bersifat sederhana dan berulang-ulang. Kegiatan bermain ini dapat dilakukan dengan atau tanpa alat permainan. Misalnya anak-anak banyak bergerak berlari-larian mondar- mandir mengelilingi ruangan atau menarik mobil-mobilan. b) Constructive Play Tahap constructive play sudah mulai terlihat pada saat anak berusia 3-6 tahun. Pada tahap ini yang muncul pada anak adalah kemampuan untuk membangun atau menyususn suatu bentuk permaianan. Dalam kegiatan bermain ini anak membentuk sesuatu, menciptakan bangunan tertentu dengan alat permainan yang tersedia. Misalnya, membuat rumah-rumahan dengan balok kayu, menyusun potonganpotongan gambar atau menggambar. c) Make-Believe Play Tahapan ini terlihat dilakukan pada anak usia 3-7 tahun, anak mulai banyak melakukan. MakeBelieve Play (bermain pura-pura). Anak-anak menirukan apa yang pernah dilihatnya. Anak menirukan kegiatan orang yang pernah dijumpainya dalam kehidupan sehari-hari atau melakukan peran imajinatif memainkan peran tokoh yang dikenal melalui film kartun atau dongeng. Misal, main rumahrumahan, polisi dan penjahat, jadi ksatria, dsb. d) Games With Rule Kegiatan bermain jenis ini umumnya sudah dapat dilakukan oleh anak usia 6-11 tahun, yaitu anak usia sekolah dasar. Dalam kegiatan bermain anak sudah memahami dan bersedia mematuhi aturan-aturan permainan. Pada tahap ini mulamula anak melakukan permainan 258 dengan aturan yang diarahkan, akan tetapi lama kelamaan mereka bisa memodifikasi aturan yang dibuat bersama dengan persetujuan teman-temannya. Bermaian adalah sebagai bagian kegiatan utama anak yang sudah dapat dilakukan sejak anak masih bayi. Perkembangan tahapan bermain anak sangat penting untuk diketahui karena bermain sangat penting bagi perkembangan kognisi, afeksi, dan psikomotorik anak. Kegiatan bermain dalam pembelajaran di sekolah dasar dapat disesuaikan sesuai dengan tahapannya. Jenis-Jenis Permaianan Kuczaj (Kozulin, et al, 2007: 355) membedakan tiga jenis permainan, yaitu social play yaitu bermain dengan berinteraksi/melakukan interaksi; social contact play, yaitu bermain yang tidak melakukan interaksi tapi yang terjadi di depan anak-anak lain; dan solitary play, yaitu bermain yang terjadi saat anak sendirian, seperti ketika dalam buaian. Kathleen Stassen Berger (Mayke S. Tedjasaputra, 2001: 2829) mengemukakan bahwa kegiatan bermain dapat dibedakan atas: 1) Sensory Motor Play Sensory Motor Play terlihat pada saat anak mengamati, mendengar suara di sekelilingnya, atau merasakan sesuatu dengan mulutnya. Selain itu juga ketika anak menikmati berbagai tekstur yang mereka rasakan saat bermain dengan lilin, pasir, tanah liat, atau adonan terigu. 2) Mastery Play Sebagian besar kegiatan bermain anak adalah mastery play, karena dalam kegiatan bermain tersebut dapat merupakan latihan bagi anak untuk menguasai ketrampilan-ketrampilan yang baru baginya melalui pengulangan-pengulangan yang dilakukan anak. Sejalan dengan bertambahnya usia dan berkembangnya kemampuan kognitif anak, mastery play pada anak semakin banyak mencakup permainan mengasah kecerdasan dan melibatkan kegiatan berpikir memecahkan masalah. Misalnya, mengisi teka-teki atau bermain tebak-tebakan. 3) Rough and Tumble Play Bentuk kegiatan bermain jenis ini merupakan bentuk kegiatan fisik yang aktif, seperti berguling, saling dorong, dan saling pukul (tinju). 4) Social Play Social p lay merupakan tonggak penting dalam tahapan perkembangan sosial anak. Social play mulai tampak pada usia pra sekolah. Kegiatan bermain sosial ini ditandai dengan adanya interaksi dengan orang lain di sekeliling anak, sehingga akhirnya anak mampu terlibat dalam kerja sama dalam bermain. Misalnya bermain kasti atau kelereng. Melalui kegiatan bermain sosial tampak bahwa egosentrisme anak semakin berkurang dan anak secara bertahap berkembang menjadi makhluk sosial yang bergaul dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. 259 5) Dramatic Play Dramatic play mulai tampak seiring dengan mulai tumbuhnya kemampuan anak untuk berpikir simbolik. Dalam kegiatan bermain, sekelompok anak dapat bekerja sama menciptakan jalan cerita sendiri. Misal, main sekolah-sekolahan atau main polisi-polisian, dan sebagainya. Berdasarkan perspektif subjek dan ruangnya, Andang Ismail (2006: 92-94) mengemukakan jenisjenis permainan terdiri atas: 1) Permainan Bayi; merupakan permainan sederhana yang dimainkan dengan anggota keluarga atau anak yang lebih besar akan menyenangkan bayi sebelum mereka berusia satu tahun. Bentuk permainan ini berupa permainan tradisional yang diturunkan dari generasi ke generasi. 2) Permainan Individu; merupakan permainan yang bersifat perorangan dan bersaing dengan prestasinya di masa lampau. 3) Permainan Sosial; merupakan permainan kelompok yang tidak terdefinisi, di mana setiap orang dapat bermain. 4) Permainan Tim; merupakan permainan yang sangat terorganisasi, mempunyai peraturan, dan mengandung suasana persaingan yang kuat. Permainan tim mulai populer di kalangan anak usia delapan hingga sepuluh tahun. 5) Permainan dalam Ruang; merupakan permainan yang dilakukan di dalam ruangan. Permainan ini kurang menekankan aktivitas fisik, tetapi lebih menekankan pada keterampilan motorik halus. Bermain merupakan kebutuhan bagi anak-anak. Bermain merupakan kegiatan yang melibatkan anak secara aktif dan menyenangkan sehingga menimbulkan suatu kegembiraan pada diri anak. Proses belajar pembelajaran yang dilakukan dengan bermain akan mendorong anak untuk aktif belajar pengetahuan, sikap, ketrampilan, dan berkembangnya daya fantasi anak. Suasana senang dan gembira dalam proses pembelajaran dapat diciptakan dengan tanpa mengesampingkan tujuan belajar, salah satunya yaitu dengan menggunakan metode permainan. Penutup Permainan pada anak dapat melatih ketrampilan-ketrampilan fisik, sosial, dan mendapat kepuasan emosional dan latihan intelektual. Melalui bermain, anak memperoleh pelajaran yang mengandung aspek perkembangan kognitif, sosial, emosi, dan fisik. Melalui kegiatan bermain dengan berbagai macam bentuk permainan anak dirangsang untuk berkembang, baik perkembangan berpikir, emosi, maupun sosial Daftar Pustaka „Athif Abul‟id & Syeikh Muhammad Sa‟id Marsa. (2009). Bermain lebih baik daripada nonton tv. Surakarta: Ziyad Visi Media. Andang Ismail. (2006). Education games, menjadi cerdas dan 260 ceria dengan permainan edukatif. Yogyakarta: Pilar Media. Arif S. Sandiman; dkk. (2009). Mediapendidikan: pengertian, pengembangan, dan pemanfaatannya. Jakarta: Rajawali Pers. Elliot, Stephen. N, et al. (2000) Educational psychology: effective teaching, effective learning 3 . McGraw-Hill Companies, Inc. Encyclopedia of Children's Health. (2010). Play. Diambil pada tanggal 10 Januari 2010, dari http://www.healthofchildren. com/P/Play.html Hyun, E. (1998) Making sense of developmentally and culturally appropiate practice (DCAP) in early childhood educational. New York: Peter Lang. Diambil pada tanggal 10 Juni 2009, dari http://ruby.fgcu.edu/courses Kozulin, Alex, et al. (2007). Vygotsky’s educational theory in cultural context. New York: Cambridge University Press. Mayke Oemar Hamalik. (2009). Psikologi belajar dan mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Santrock, John. W. (2007). A tipical approach to life span development 3ED ed. Boston: McGraw Hill. Syaiful Bahri Djamrah. (2008). Psikologi belajar. Jakarta: Rineka Cipta. Tadkiroatun Musfiroh. (2008). Cerdas melalui bermain. Cara mengasah multiple intelligence pada anak sejak usia dini. Jakarta: Grasindo. Tasmin, M.R.S. (2005). Belajar lebih penting daripada bermain? Artikel. Diambil pada tanggal 10 Juni 2009, dari http://www.epsikologi.com/anak/250402.h tm Thompson, Keith. (Desember 2003). Playing around. Diambil pada tanggal 10 Juni 2009, dari http://mensnewsdaily.com/ar chive/t/kthompson/2003 S. Tedjasaputra. (2001). Bermain, mainan, dan permainan untuk anak usia dini. Jakarta: Grasindo. 261