BERMAIN SEBAGAI SARANA INOVASI PEMBELAJARAN DI

advertisement
BERMAIN SEBAGAI SARANA INOVASI PEMBELAJARAN
DI SEKOLAH DASAR
Isna Rahmawati
Universitas Widya Dharma Klaten
[email protected]
Abstrak
Pembelajaran merupakan aktifitas yang memerlukan keterampilan khusus
di dalamnya supaya tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik. Melakukan
pembelajaran yang sesuai dengan keadaan siswa sangatlah penting bagi seorang
pendidik. Pemahaman terhadap karakteristik peserta didik dan tugas-tugas
perkembangan anak sekolah dasar dapat dijadikan titik awal untuk menentukan
tujuan pendidikan di sekolah dasar, dan untuk menentukan waktu yang tepat
dalam memberikan pendidikan sesuai dengan kebutuhan perkembangan anak itu
sendiri.
Karakteristik anak sekolah dasar adalah senang bermain. Karakteristik ini
menuntut guru sekolah dasar untuk melaksanakan kegiatan pendidikan yang
bermuatan permainan. Oleh karena itu, guru sekolah dasar seyogyanya dapat
melakukan inovasi pembelajaran yang memungkinkan adanya unsur permainan di
dalamnya.
Pada fase anak usia sekolah dasar, anak cenderung untuk bermain. Oleh
karena itu aktifitas bermain dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif dalam
melakukan inovasi pembelajaran di sekolah dasar. Permainan mempunyai peranan
penting dalam pembinaan pribadi anak. Bermain merupakan suatu aktivitas yang
membantu anak mencapai perkembangan yang utuh, baik fisik, intelektual, sosial,
moral, maupun emosional.
250
Pendahuluan
Proses pembelajaran yang
diselenggarakan secara formal di
sekolah
dimaksudkan
untuk
mengarahkan perubahan diri siswa
secara terencana baik aspek kognitif,
afektif,
maupun
psikomotorik.
Pendidikan dasar sebagai bagian dari
sistem pendidikan nasional dalam
penyelenggaraan pendidikan adalah
sebagai wahana untuk memberikan
pengetahuan dan mengembangkan
nilai-nilai sehingga keberadaannya
sangat penting.
anak (Oemar Hamalik, 2009: 102105). Oleh karena itu dalam
melakukan pembelajaran di sekolah
dasar pendidik dapat memanfaatkan
kegiatan bermain sebagai salah satu
sarana untuk melakukan inovasi.
Pembahasan
Pengertian Bermain
Pendidikan usia sekolah dasar
memegang peranan penting sebagai
pondasi bagi dasar kepribadian anak
yang akan menentukan sejarah
perkembangan anak selanjutnya.
Oleh karena itu dalam prosesnya
diperlukan berbagi inovasi dan
pelayanan yang tepat, pemberian
pengalaman awal yang posistif serta
stimulasi yang sesuai dengan tingkat
perkembangannya.
Permainan adalah setiap
kontes antara para pemain yang
berinteraksi satu sama lain dengan
mengikuti aturan-aturan tertentu
untuk
mencapai
tujuan-tujuan
tertentu. Setiap permainan harus
mempunyai empat komponen utama,
yaitu: (1) adanya pemain; (2) adanya
lingkungan di mana para pemain
berinteraksi; (3) adanya aturanaturan main; dan (4) adanya tujuantujuan tertentu yang ingin dicapai
(Arif S. Sandiman, dkk, 2009: 7576).
Karakteristik
anak
usia
sekolah
dasar
terletak
pada
perkembangan yang bersifat holistik
terpadu. Perkembangan fisik tidak
bisa
dipisahkan
dengan
perkembangan mental, sosial, dan
emosional. Aspek perkembangan
tersebut saling berkaitan dan akan
terpadu
dengan
pengalaman
kehidupan dan lingkungan. Salah
satu sifat khas anak usia sekolah
dasar yaitu gemar membentuk
kelompok sebaya, bisanya untuk
dapat
bermain
bersama-sama
(Syaiful Bahri Djamarah, 2008: 125).
Disamping itu anak usia sekolah
dasar juga mempunyai kebutuhan
dasar, antara lain adalah kebutuhan
untuk bermain,
ini merupakan
kegiatan alami dan bermakna bagi
Sedangkan menurut Weed
(„Athif
Abul‟id
&
Syeikh
Muhammad Sa‟id Marsa, 2009: 12)
bermain adalah sebuah aktivitas yang
terarah atau tidak, yang dilakukan
oleh anak-anak untuk mendapatkan
kepuasan
dan
hiburan
serta
dimanfaatkan
oleh
orang-orang
dewasa
untuk
membantu
mengembangkan
perilaku
dan
kepribadian mereka dengan berbagai
macam
dimensinya,
baik
intelektualitas, jasmani, maupun
rohani. Dalam terma psikologis,
bermain adalah suatu aktifitas yang
membantu
anak
mencapai
perkembangan yang utuh, baik
secara fisik, intelektual, sosial,
moral, dan emosional (Andang
Ismail, 2006: 16).
251
Encyclopedia of Children's
Health (2010: 3) menyatakan bahwa:
“Play reinforces the child's growth
and development. Some of the more
common functions of play are to
facilitate
physical,
emotional,
cognitive,
social,
and
moral
development.” Artinya bermain
berfungsi memperkuat pertumbuhan
dan perkembangan anak. Beberapa
fungsi yang lebih umum bermain
adalah
untuk
memfasilitasi
perkembangan fisik, emosi, kognitif,
sosial, dan moral.
Manfaat Bermain
Bermain mempunyai manfaat
yang banyak sekali bagi anak-anak
yang
melakukannya.
Menurut
Tedjasaputra (2005: 39) bermain
mempunyai
manfaat
untuk
membantu proses perkembangan
aspek fisik, motorik kasar dan
motorik halus, perkembangan aspek
sosial, perkembangan emosi dan
kepribadian, perkembangan aspek
kognisi,
mengasah
ketajaman
penginderaan,
mengembangkan
keterampilan olahraga dan menari,
media terapi, serta media intervensi.
Elliot et, all (2000: 75)
menyatakan bahwa:“Play also helps
social development because the
involvement of others demands a
give-and-take that teaches early
childhood youngsters the basics of
forming relationships.” Artinya,
bermain
juga
membantu
pembangunan
sosial
karena
keterlibatan orang lain menuntut
memberi dan menerima hal itu
mengajarkan anak hal mendasar
membentuk hubungan.
Permainan adalah aktivitas
penting yang bersifat psikis, sosial,
dan intelektual yang dilakukan oleh
anak,
sehingga
membuat
kepribadiannya menjadi terbuka.
Permainan membuat anak dapat
memperoleh keahlian bergerak,
kemampuan untuk memahami dunia
sekitar, dan berinteraksi dengan
orang lain. Melalui permainan anak
dapat belajar tentang kebiasaankebiasaan
mengendalikan
diri,
kebiasaan bergaul, dan percaya pada
diri sendiri. Melalui permainan
perkembangan
psikologis,
intelektual, sosial, dan emosional
pada anak dapat terwujud („Athif
Abul‟id & Syeikh Muhammad Sa‟id
Marsa, 2009: 5).
Lebih lanjut Tasmin (2002: 2)
mengemukakan bahwa saat bermain
anak
bisa
berimajinasi,
mengeluarkan ide-ide yang ada
dalam
benaknya.
Anak
juga
mengekspresikan pengetahuan yang
dimiliki tentang dunia di sekitarnya
dan
sekaligus
mendapatkan
pengetahuan dari hal tersebut dengan
rasa senang dan gembira. Saat
bermain anak akan mengekspresikan
hal-hal yang dirasakannya dari rasa
senang, sedih, atau takut, yang mana
hal ini sebenarnya perlu untuk
diperhatikan oleh orang tua sehingga
orang tua mengetahui apa yang
sebenarnya dirasakan oleh anak
tersebut.
Permainan sangat berguna
bagi siswa dan guru karena:
1) Permainan membuat orang
keluar
dari
kegiatan
rutinitas di kelas dengan
cara yang menyenangkan
2) Permainan
dapat
memberikan
anak-anak
peluang
agar
lebih
252
mengenal materi dalam
suatu hal yang baru
3) Permainan dapat menjadi
motivasi yang bagus bagi
seluruh siswa untuk jenis
pelajaran
yang
memerlukan driil. Fakta
bahwa siswa tertarik dalam
permainan akan dapat
mengganti reaksi mereka
terhadap
drill
yang
mungkin
membosankan(Grambs &
Care, 1979: 310).
National Association of Early
Childhood Specialists In State
Departments
of
Education
(Thompson, 2003: 4) mengemukakan
bahwa:
1. Bermain
merupakan
bentuk
pembelajaran
aktif
yang
menyatukan pikiran, tubuh dan
jiwa.
2. Bermain mengurangi ketegangan
yang sering datang dengan harus
mencapai atau perlu untuk belajar.
3. Anak-anak mengekspresikan dan
bekerja di luar aspek emosional
dari
pengalaman
sehari-hari
melalui bermain tidak terstruktur.
4. Anak-anak diizinkan bermain
secara bebas dengan rekan-rekan
untuk
mengembangkan
keterampilan
untuk
melihat
sesuatu melalui titik pandang
orang
lain,
bekerja
sama,
membantu,
berbagi,
dan
memecahkan masalah.
Dengan demikian permainan
akan dapat membantu siswa yang
tidak
tertarik
untuk
ikut
berpartisipasi dalam kelas. Dengan
menggunakan metode permainan
siswa akan lebih mudah untuk
memahami materi pelajaran yang
disampaikan oleh guru, karena
dengan metode permainan ini
suasana
belajar
akan
lebih
menyenangkan dan penuh daya tarik.
Melalui
metode
permainan
diharapkan
dalam
proses
pembelajaran terjadi interaksi di
antara siswa dan antara guru dan
siswa lewat permainan.
Para
psikolog
anak
menekankan
akan
pentingnya
bermain bagi anak-anak. Bagi anak
bermain merupakan kegiatan yang
alami dan sangat berarti. Dengan
bermain, anak mendapat kesempatan
untuk mengadakan hubungan yang
erat dengan lingkungannya. Piaget
memandang permainan sebagai
perkenalan dan arena untuk melatih
berilaku berfikir simbolis dan
pemecahan masalah. Di samping itu,
permainan sangat penting untuk
melatih otot-otot, ketrampilan fisik,
keseimbangan, bekerjasama dengan
orang lain, belajar bercakap-cakap,
persahabatan, dan latihan tata krama.
Permainan juga akan memberikan
kepuasan emosional. Permainan akan
memberikan kecepatan pada anak
untuk
melatih
keterampilanketerampilan fisik, sosial, dan
mendapat kepuasan emosional dan
latihan intelektual (Oemar Hamalik,
2009: 104).
Bermain sangat penting bagi
pertumbuhan dan perkembangan
anak. Para ahli sepakat, anak-anak
harus bermain agar dapat mencapai
perkembangan yang optimal. Tanpa
bermain anak akan bermasalah di
kemudian hari. Melalui bermain anak
akan mengembangkan rasa harga diri
karena dengan bermain anak
memperoleh kemampuan untuk
253
menguasai tubuh, benda-benda, dan
keterampilan sosial (Tadkiroatun
Musfiroh, 2008: 5).
Beberapa
ahli
pengikut
Vygotsky yakin bahwa bermain
mempengaruhi perkembangan anak
melalui tiga cara. Pertama, bermain
menciptakan zona of proximal
developmental (ZPD), yakni wilayah
yang
menghubungkan
antara
kemampuan aktual anak dan
kemampuan potensial anak. Kedua,
bermain
memfasilitasi
separasi
(pemisahan) pikiran dari objek dan
aksi. Di dalam bermain anak lebih
menuruti apa yang ada dalam
pikirannya dari yang ada dalam
realita.
Ketiga,
bermain
mengembangkan penguasaan diri. Di
dalam bermain anak tidak dapat
bertindak sembarangan. Anak mesti
bertindak
sesuai
skenario
(Tadkiroatun Musfiroh, 2008: 6-7; ).
Lebih lanjut Catron dan Allen
(Tadkiroatun Musfiroh, 2008: 11)
mengemukakan bahwa bermain
mendukung
perkembangan
sosialisasi anak dalam hal-hal:
1) interaksi sosial, yakni
interaksi dengan teman
sebaya, orang dewasa, dan
memecahkan konflik;
2) kerjasama, yakni interaksi
saling membantu, berbagi,
dan pola bergiliran;
3) peduli terhadap orang lain,
seperti memahami dan
menerima
perbedaan
individu,
memahami
masalah multi budaya dan
agama.
Anak mempelajari banyak hal
dalam bermain. Hal-hal yang
dipelajari anak melalui bermain
antara lain:
a) anak belajar untuk menerima,
mengekspresikan, dan menguasai
perasaan mereka secara posistif
dan konstruktif;
b) anak belajar tentang diri mereka
sendiri, untuk mengembangkan
jati diri, kepercayaan diri,
ketenangan diri, dan harga diri;
c) anak belajar tentang tingkah laku
sosial, seperti bergiliran bicara,
bekerja sama, berbagi, dan saling
membantu;
d) anak
belajar
untuk
mengungkapkan
ide
dan
perasaannya
secara
verbal,
menyimak tuturan orang lain,
memahami sudut pandang orang
lain, dan belajar memutuskan
suatu rencana kegiatan untuk
memecahkan masalah;
e) Anak belajar untuk menjadi
penengah
(pendamai)
dan
memilih jalan damai yang saling
menjaga satu sama lain;
f) Anak belajar menghargai dan
mempedulikan orang lain dan
saling menjaga satu sama lain;
g) Anak
belajar
menggunakan
konsep matematika;
h) Anak
belajar
baerbagai
ketrampilan motorik;
i) dan lain sebagainya (Tadkiroatun
Musfiroh, 2008: 31).
Dalam aktivitas bermain
terkandung nilai-nilai di dalamnya,
di antaranya yaitu :
1) Nilai Ragawi;
Permainan yang aktif sangat
penting bagi perkembangan
254
tulang anak. Dengan bermain
anak
belajar
mengenal
kecakapan untuk mencari dan
mengumpulkan sesuatu.
2) Nilai Edukatif
Bermain membuka ruang yang
luas di hadapan anak. Anak
mempelajari banyak hal melalui
bermacam-macam
permainan
dan alat permainan, seperti anak
menjadi tahu berbagai macam
bentuk, warna, ukuran, sifat, dan
sebagainya.
Dalam
banyak
kesempatan anak memperoleh
berbagai
informasi
dan
pengetahuan melalui permainan
yang tidak bisa dia peroleh
melalui sumber-sumber lain.
3) Nilai Sosial
Melalui bermain anak belajar
membangun hubungan sosial
dengan orang lain, serta
mempelajari cara agar sukses
bergaul. Dengan bermain anak
mempelajari untuk bekerjasama
dan berinteraksi secra baik
dengan orang lain.
4) Nilai Moral
Melalui bermain anak mulai
mempelajari tentang salah dan
benar. Secara fundamental anak
juga mempelajari beberapa
standar
moral,
misalnya
keadilan, kejujuran, amanah,
tanggung jawab, dan lain
sebagainya.
5) Nilai Kreasi
Dengan bermain anak mampu
mengekspresikan kemampuan
kreatif inovatifnya dan mencoba
ide-ide yang dia simpan dalam
otaknya.
6) Nilai Personalitas
Melalui bermain anak mampu
menemukan banyak hal dari
dirinya
sendiri,
misalnya
mengetahui kemampuan dan
kecakapannya
melalui
pergaulannya dengan temanteman sebayanya. Anak juga
belajar dari masalah-masalah
dan
bagaimana
cara
mengatasinya („Athif Abul‟id &
Syeikh Muhammad Sa‟id Marsa,
2009: 77-78).
Dunia anak adalah dunia
bermain. Melalui bermain, anak
memperoleh
pelajaran
yang
mengandung aspek perkembangan
kognitif, sosial, emosi, dan fisik.
Melalui kegiatan bermain dengan
berbagai macam bentuk permainan
anak dirangsang untuk berkembang,
baik perkembangan berpikir, emosi,
maupun sosial.
Tahapan Bermain
Dalam
perkembangannya
anak mengalami beberapa tahapan
dalam aktivitas bermain yang
dilakukan.
Tahapan
tersebut
dikemukakan oleh beberapa ahli
dalam berbagai sudut pandang.
Parten (Santrock, 2007: 573; Hyun,
1988: 2; Andang Ismail, 2006: 3235) membagi enam tahapan bermain
anak, yaitu:
1) Unoccopied play
Pada tahapan ini anak sebenarnya
tidak melakukan aktivitas bermain
secara nyata, akan tetapi hanya
mengamati kejadian yang menarik
di sekitarnya, apabila ia tidak ada
hal yang menarik, maka anak
akan menyibukkan diri dengan
memainkan anggota tubuhnya
atau mengikuti orang tanpa tujuan
yang jelas.
255
2) Solitary play
Pada tahapan ini anak lebih suka
dengan
aktivitas
atau
permainannya
sendiri
tanpa
memperhatikan
lingkungan
sekitarnya. Anak akan merasa
eksis
ketika
mainan
yang
digunakannya diambil oleh anak
atau orang lain dan ia akan marah,
karena pada tahapan ini anak lebih
bersifat egosentris.
3) Onlooker play
Pada tahapan ini anak mulai
tertarik dengan aktivitas atau
permainan yang dilakukan oleh
anak di sekitarnya. Tahapan ini
juga bisa terjadi bila anak
mengalami
perpindahan
lingkungan atau perpindahan pada
situasi yang baru.
4) Pararel play
Bermain pararel ini nampak
apabila ada dua anak atau lebih
yang sedang bermain bersama tapi
dengan jenis atau alat permainan
yang berbeda. Mereka (anakanak) ada interaksi tetapi hanya
sebatas interaksi tanpa ada
hubungannya dengan kerjasama
dalam melakukan permaianan
tersebut, karena pada dasarnya
pada tahapan ini anak masih
sangat bersifat egosentris.
5) Assosiative play
Jenis permainan ini ditandai
dengan
adanya
interaksi,
komunikasi antara satu anak
dengan anak yang lain dengan
jenis permainan yang sama, akan
tetapi tahapan kerjasama belum
nampak. Tahapan ini biasanya
muncul atau masih nampak pada
anak-anak usia pra sekolah atau
taman kanak-kanak. Aktivitas
yang biasanya melakukan anakanak pada tahapan ini yaitu
menggambar, anak-anak samasama menggambar kemudian
bertukar pensil gambar atau
crayon dan saling mengomentari
satu sama lain, akan tetapi mereka
tidak ada interaksi untuk saling
membantu atau kerjasama
6) Cooperative play
Cooperative
play
biasanya
ditandai dengan adanya kerjasama
antara satu anak dengan anak
yang lain, atau adanya pembagian
peran yang dilakukan dalam
memaikan sebuah permainan,
misalnya, bermain pasar-pasaran.
Tahapan ini biasanya akan
muncul pada anak usia lima
tahun, akan tetapi dukungan dari
orang
tua
juga
akan
mempengaruhi
terhadap
perkembangan anak. Bila orang
tua tidak mendorong anak untuk
berinteraksi dengan anak yang
lain ada kemungkinan anak tidak
mengalami tahapan ini.
Perkembangan
bermain
terjadi melalui tahap sebagai berikut:
a) Exploratory Stage
Ciri khas pada tahap ini adalah
berupa kegiatan mengenai objek
atau orang lain. Anak mulai bisa
mengamati benda-benda yang ada
di
sekelilingnya
kemudian
berusaha mencoba menjangkau
atau meraihnya. Ketika anak
sudah dapat merangkak dan
berjalan
penjelajahan
anak
semakin luas sehingga anak akan
mengamati setiap benda yang
dapat diraihnya. Semakin aktif
anak tersebut semakin luas pula
jangkauan dari anak.
256
b) Toy Stage
Tahap ini dimulai saat anak
berusia antara 2-3 tahun, dan
puncaknya adalah pada usia anak
mencapai 4-5 tahun. Pada tahap
ini anak biasanya mengamati
mainan yang ada di sekitarnya dan
mencoba berinteraksi dengan
mainan tersebut. Pada usia pra
sekolah anak-anak biasa bermain
dengan boneka dan mengajaknya
bercakap-cakap atau bermain
seperti
layaknya
teman
bermainnya.
c) Play Stage
Tahap ini muncul bersamaan pada
saat anak mulai memasuki
lingkungan sekolah dasar. Anak
mulai melakukan berbagai jenis
permainan semakin bertambah
banyak dengan berbagai macam
alat dan dengan berbagai macam
interaksi dengan teman-temannya.
Tahap ini semakin berkembang
lama kelamaan anak bermain
dengan permainan yang juga
dilakukan oleh orang dewasa.
d) Daydream Stage
Tahap ini diawali saat anak
mendekati masa pubertas. Anak
sudah mulai kurang berminat
terhadap kegiatan bermain yang
tadinya mereka sukai dan mulai
banyak menghabiskan waktunya
untuk melamun atau berkhayal
(Hurlock (Andang Ismail: 2006:
39-40).
Sejalan
dengan
perkembangan kognitif anak Jean
Piaget (Lin, 2002: 1) mengemukakan
empat tahapan pola bermain anak,
yaitu:
1) Sensory Motor Play (¾-6 bulan)
Pada usia sebelum ¾ bulan anak
belum bisa melakukan atau
merasakan aktivitas bermain yang
nyata. Pada tahapan ini anak
hanya bisa melakukan gerakan
atau aktivitas yang baginya
merupakan kesenangan, seperti
menyusu pada ibunya. Kemudian
pada usia 3-4 bulan kegiatan anak
semakin terkoordinasi, hal ini
akan nampak ketika anak bisa
menarik mainan yang digantung
di atas tempat tidurnya sehingga
mengeluarkan
bunyi-bunyian
yang berbeda. Kemudian pada
usia 7-11 bulan kegiatan yang
dilakukan
bukan
hanya
pengulangan semata, tetapi sudah
ada variasi, misalnya anak akan
senang bila bisa menemukan
mainan di balik selimutnya, atau
senang ketika melihat wajah di
balik bantalnya.
2) Symbolic/Make Believe Play (2-7
tahun)
Tahap bermain ini merupakan
cirri periode pra operasional yang
terjadi antara usia 2-7 tahun yang
ditandai dengan bermain khayal
dan bermain pura-pura. Pada masa
ini anak juga akan sering bertanya
dan terus bertanya meski tidak
mempedulikan
jawabannya.
Bentuk aktivitas lain yang
nampak adalah anak mulai bisa
mempresentasikan simbol atau
benda
dalam
permainannya,
seperti sapu untuk bermain kudakudaan atau menganggap sobekan
kertas sebagai uang ketika
bermain dengan temannya.
3) Social Play With Rules (8-11
tahun)
Masa ini bisa dikatakan sebagai
tahapan tertinggi dalam proses
257
bermain anak, karena dalam
melakukan permainannya anak
sudah mengedepankan logika,
simbol lebih banyak diwarnai oleh
nalar, dan yang paling bagus
adalah
ketika
anak
bisa
memainkan permainan dengan
teman-temannya
dengan
menggunakan aturan yang dibuat
sendiri, dan anak berusaha untuk
mematuhinya, dan ketika ada
kesalahan mereka bisa menerima
sanksi yang diberikan.
4) Games With Rules and Sport (11
tahun ke atas)
Pada tahapan ini, olahraga
merupakan
permainan
yang
menarik bagi anak meskipun
dalam
olahraga
akan
ada
peraturan yang lebih ketat bila
dibandingkan dengan permainan
yang sebelumnya mereka lakukan.
Dalam
tahapan
ini
bukan
kesenangan saja yang diinginkan
oleh
anak,
akan
tetapi
kemenangan dan memperoleh
hasil kerja yang baik juga menjadi
tujuan yang diinginkan.
Sejalan dengan berjalannya
kognitif anak, Rubin, Fein &
Vandenberg (Tedjasaputra, 2005: 28;
Andang Ismail, 2006: 41-43)
mengemukakan tahapan bermain
sebagai berikut:
a) Functional Play
Tahapan ini biasanya nampak
pada anak usia 1-2 tahun, berupa
gerakan yang bersifat sederhana
dan berulang-ulang. Kegiatan
bermain ini dapat dilakukan
dengan atau tanpa alat permainan.
Misalnya
anak-anak
banyak
bergerak berlari-larian mondar-
mandir mengelilingi ruangan atau
menarik mobil-mobilan.
b) Constructive Play
Tahap constructive play sudah
mulai terlihat pada saat anak
berusia 3-6 tahun. Pada tahap ini
yang muncul pada anak adalah
kemampuan untuk membangun
atau menyususn suatu bentuk
permaianan. Dalam kegiatan
bermain ini anak membentuk
sesuatu, menciptakan bangunan
tertentu dengan alat permainan
yang tersedia. Misalnya, membuat
rumah-rumahan dengan balok
kayu,
menyusun
potonganpotongan
gambar
atau
menggambar.
c) Make-Believe Play
Tahapan ini terlihat dilakukan
pada anak usia 3-7 tahun, anak
mulai banyak melakukan. MakeBelieve Play (bermain pura-pura).
Anak-anak menirukan apa yang
pernah
dilihatnya.
Anak
menirukan kegiatan orang yang
pernah
dijumpainya
dalam
kehidupan
sehari-hari
atau
melakukan
peran
imajinatif
memainkan peran tokoh yang
dikenal melalui film kartun atau
dongeng. Misal, main rumahrumahan, polisi dan penjahat, jadi
ksatria, dsb.
d) Games With Rule
Kegiatan bermain jenis ini
umumnya sudah dapat dilakukan
oleh anak usia 6-11 tahun, yaitu
anak usia sekolah dasar. Dalam
kegiatan bermain anak sudah
memahami
dan
bersedia
mematuhi
aturan-aturan
permainan. Pada tahap ini mulamula anak melakukan permainan
258
dengan aturan yang diarahkan,
akan tetapi lama kelamaan mereka
bisa memodifikasi aturan yang
dibuat
bersama
dengan
persetujuan teman-temannya.
Bermaian adalah sebagai
bagian kegiatan utama anak yang
sudah dapat dilakukan sejak anak
masih bayi. Perkembangan tahapan
bermain anak sangat penting untuk
diketahui karena bermain sangat
penting bagi perkembangan kognisi,
afeksi, dan psikomotorik anak.
Kegiatan
bermain
dalam
pembelajaran di sekolah dasar dapat
disesuaikan
sesuai
dengan
tahapannya.
Jenis-Jenis Permaianan
Kuczaj (Kozulin, et al, 2007:
355) membedakan
tiga jenis
permainan, yaitu social play yaitu
bermain
dengan
berinteraksi/melakukan
interaksi;
social contact play, yaitu bermain
yang tidak melakukan interaksi tapi
yang terjadi di depan anak-anak lain;
dan solitary play, yaitu bermain yang
terjadi saat anak sendirian, seperti
ketika dalam buaian.
Kathleen Stassen Berger
(Mayke S. Tedjasaputra, 2001: 2829) mengemukakan bahwa kegiatan
bermain dapat dibedakan atas:
1) Sensory Motor Play
Sensory Motor Play terlihat pada
saat anak mengamati, mendengar
suara di sekelilingnya, atau
merasakan
sesuatu
dengan
mulutnya. Selain itu juga ketika
anak menikmati berbagai tekstur
yang mereka rasakan saat bermain
dengan lilin, pasir, tanah liat, atau
adonan terigu.
2) Mastery Play
Sebagian besar kegiatan bermain
anak adalah mastery play, karena
dalam kegiatan bermain tersebut
dapat merupakan latihan bagi
anak
untuk
menguasai
ketrampilan-ketrampilan
yang
baru
baginya
melalui
pengulangan-pengulangan yang
dilakukan anak. Sejalan dengan
bertambahnya
usia
dan
berkembangnya
kemampuan
kognitif anak, mastery play pada
anak semakin banyak mencakup
permainan mengasah kecerdasan
dan melibatkan kegiatan berpikir
memecahkan masalah. Misalnya,
mengisi teka-teki atau bermain
tebak-tebakan.
3) Rough and Tumble Play
Bentuk kegiatan bermain jenis ini
merupakan bentuk kegiatan fisik
yang aktif, seperti berguling,
saling dorong, dan saling pukul
(tinju).
4) Social Play
Social p lay merupakan tonggak
penting
dalam
tahapan
perkembangan sosial anak. Social
play mulai tampak pada usia pra
sekolah. Kegiatan bermain sosial
ini ditandai dengan adanya
interaksi dengan orang lain di
sekeliling anak, sehingga akhirnya
anak mampu terlibat dalam kerja
sama dalam bermain. Misalnya
bermain kasti atau kelereng.
Melalui kegiatan bermain sosial
tampak bahwa egosentrisme anak
semakin berkurang dan anak
secara bertahap berkembang
menjadi makhluk sosial yang
bergaul dan menyesuaikan diri
dengan lingkungan sosialnya.
259
5) Dramatic Play
Dramatic play mulai tampak
seiring dengan mulai tumbuhnya
kemampuan anak untuk berpikir
simbolik.
Dalam
kegiatan
bermain, sekelompok anak dapat
bekerja sama menciptakan jalan
cerita sendiri. Misal, main
sekolah-sekolahan atau main
polisi-polisian, dan sebagainya.
Berdasarkan
perspektif
subjek dan ruangnya, Andang Ismail
(2006: 92-94) mengemukakan jenisjenis permainan terdiri atas:
1) Permainan Bayi; merupakan
permainan
sederhana
yang
dimainkan dengan
anggota
keluarga atau anak yang lebih
besar akan menyenangkan bayi
sebelum mereka berusia satu
tahun. Bentuk permainan ini
berupa permainan tradisional
yang diturunkan dari generasi ke
generasi.
2) Permainan Individu; merupakan
permainan
yang
bersifat
perorangan dan bersaing dengan
prestasinya di masa lampau.
3) Permainan Sosial; merupakan
permainan kelompok yang tidak
terdefinisi, di mana setiap orang
dapat bermain.
4) Permainan Tim; merupakan
permainan
yang
sangat
terorganisasi,
mempunyai
peraturan, dan mengandung
suasana persaingan yang kuat.
Permainan tim mulai populer di
kalangan anak usia delapan
hingga sepuluh tahun.
5) Permainan
dalam
Ruang;
merupakan permainan yang
dilakukan di dalam ruangan.
Permainan
ini
kurang
menekankan aktivitas fisik,
tetapi lebih menekankan pada
keterampilan motorik halus.
Bermain
merupakan
kebutuhan bagi anak-anak. Bermain
merupakan kegiatan yang melibatkan
anak secara aktif dan menyenangkan
sehingga
menimbulkan
suatu
kegembiraan pada diri anak. Proses
belajar pembelajaran yang dilakukan
dengan bermain akan mendorong
anak untuk aktif belajar pengetahuan,
sikap,
ketrampilan,
dan
berkembangnya daya fantasi anak.
Suasana senang dan gembira dalam
proses pembelajaran dapat diciptakan
dengan tanpa mengesampingkan
tujuan belajar, salah satunya yaitu
dengan
menggunakan
metode
permainan.
Penutup
Permainan pada anak dapat
melatih
ketrampilan-ketrampilan
fisik, sosial, dan mendapat kepuasan
emosional dan latihan intelektual.
Melalui bermain, anak memperoleh
pelajaran yang mengandung aspek
perkembangan
kognitif,
sosial,
emosi, dan fisik. Melalui kegiatan
bermain dengan berbagai macam
bentuk permainan anak dirangsang
untuk
berkembang,
baik
perkembangan
berpikir,
emosi,
maupun sosial
Daftar Pustaka
„Athif Abul‟id & Syeikh Muhammad
Sa‟id
Marsa.
(2009).
Bermain lebih baik daripada
nonton tv. Surakarta: Ziyad
Visi Media.
Andang Ismail. (2006). Education
games, menjadi cerdas dan
260
ceria dengan permainan
edukatif. Yogyakarta: Pilar
Media.
Arif S. Sandiman; dkk. (2009).
Mediapendidikan:
pengertian, pengembangan,
dan
pemanfaatannya.
Jakarta: Rajawali Pers.
Elliot, Stephen. N, et al. (2000)
Educational
psychology:
effective teaching, effective
learning 3 . McGraw-Hill
Companies, Inc.
Encyclopedia of Children's Health.
(2010). Play. Diambil pada
tanggal 10 Januari 2010, dari
http://www.healthofchildren.
com/P/Play.html
Hyun, E. (1998) Making sense of
developmentally
and
culturally
appropiate
practice (DCAP) in early
childhood educational. New
York: Peter Lang. Diambil
pada tanggal 10 Juni 2009,
dari
http://ruby.fgcu.edu/courses
Kozulin, Alex, et al. (2007).
Vygotsky’s
educational
theory in cultural context.
New
York:
Cambridge
University Press.
Mayke
Oemar Hamalik. (2009). Psikologi
belajar dan mengajar.
Bandung:
Sinar
Baru
Algensindo.
Santrock, John. W. (2007). A tipical
approach to life span
development
3ED
ed.
Boston: McGraw Hill.
Syaiful
Bahri Djamrah. (2008).
Psikologi belajar. Jakarta:
Rineka Cipta.
Tadkiroatun
Musfiroh.
(2008).
Cerdas melalui bermain.
Cara mengasah multiple
intelligence pada anak sejak
usia dini. Jakarta: Grasindo.
Tasmin, M.R.S. (2005). Belajar lebih
penting daripada bermain?
Artikel. Diambil pada tanggal
10
Juni
2009,
dari
http://www.epsikologi.com/anak/250402.h
tm
Thompson, Keith. (Desember 2003).
Playing around. Diambil
pada tanggal 10 Juni 2009,
dari
http://mensnewsdaily.com/ar
chive/t/kthompson/2003
S. Tedjasaputra. (2001).
Bermain, mainan, dan
permainan untuk anak usia
dini. Jakarta: Grasindo.
261
Download