BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perspektif/Paradigma Kajian Guba

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Perspektif/Paradigma Kajian
Guba dan Lincoln mendefinisikan paradigma sebagai serangkaian keyakinankeyakinan dasar (basic beliefs) atau metafisika yang berhubungan dengan prinsipprinsip pokok. Paradigma ini menggambarkan suatu pandangan dunia (world
view) yang menentukan bagi pengamat sifat dari “dunia” sebagai tempat individu
dan kemungkinan hubungan dengan dunia tersebut beserta bagian-bagiannya
(Sunarto dan Hermawan, 2011: 4). Keyakinan-keyakinan ini bersifat dasar dalam
pengertian harus diterima secara sederhana semata-mata berdasarkan kepercayaan
saja disebabkan tidak ada suatu cara untuk menentukan suatu kebenaran akhir.
Paradigma adalah basis kepercayaan atau metafisika utama dari sistem
bepikir: basis dari ontologi, epistemologi, dan metodelogi. Paradigama dalam
pandangan filosofis, memuat pandangan awal yang membedakan, memperjelas,
dan mempertajam orientasi berpikir seseorang. Dengan demikian paradigma
membawa konsekuensi praktis berperilaku, cara berpikir, interpretasi dan
kebijakan dalam pemilihan terhadap masalah (Salim, 2006: 96).
Macam paradigma itu sendiri tertnyata bervariasi. Guba dan Lincoln (1994)
menyebutkan empat macam paradigma, yaitu positivisme, post positivisme,
konstruktivisme dan kritis.
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme kritis (critical
constructivism). Paradigma ini adalah penggabungan dari pandangan konstruktivis
dengan pandangan kritis yang dikembangkan oleh Frankfurt School.
Menurut Ardianto dan Q-Anees (2007) paradigma konstruktivis memandang
bahwa semesta secara epistemologi sebagai hasil konstruksi sosial. Pengetahuan
manusia adalah konstruksi yang dibangun dari proses kognitif dengan
interaksinya dengan dunia objek material. Pengalaman manusia terdiri dari
interpretasi bermakna terhadap kenyataan dan bukan reproduksi kenyataan.
Dengan demikian dunia muncul dalam pengalaman manusia secara terorganisasi
dan bermakna. Keberagaman pola konseptual/kognitif merupakan hasil dari
lingkungan historis, kultural, dan personal yang digali secara terus-menerus. Bagi
Universitas Sumatera Utara
kaum konstruktivisis, semesta adalah suatu konstruksi, artinya bahwa semesta
bukan dimengerti sebagai semesta yang otonom, akan tetapi dikonstruksi secara
sosial, dan karenanya plural.
Konsekuensinya, kaum kontruktivis menganggap bahwa tidak ada makna
yang mandiri, tidak ada deskripsi yang murni objektif. Kita tidak dapat secara
transparan melihat “apa yang ada di sana” atau “yang ada di sini” tanpa termediasi
oleh teori, kerangka konseptual atau bahasa yang disepakati secara sosial. Semesta
yang ada di hadapan kita bukan sesuatu yang ditemukan, melainkan selalu
termediasi oleh paradigma, kerangka konseptual, dan bahasa yang dipakai.
Masalah kebenaran dalam konteks konstruktivis bukan lagi permasalahan fondasi
atau representasi, melainkan masalah kesepakatan pada komunitas tertentu.
Sedangkan paradigma kritis menekankan pada konstelasi kekuatan yang
terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap
sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan
pikirannya, karena dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada di dalam
masyarakat. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang
berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun
strategi-strategi di dalamnya (Eriyanto, 2001: 6).
Teori kritis dapat dianggap sama dengan paradigma konstruktivisme dengan
alasan sebagai berikut: (1) teori kritis meyakini bahwa ilmu pengetahuan itu
dikonstruksi atas dasar kepentingan manusiawi; (2) dalam praksis penelitian (dari
pemilihan masalah untuk penelitian, instrumen dan metode analisis yang
digunakan, interpretasi, kesimpulan dan rekomenasi) dibuat sangat bergantung
pada nilai-nilai peneliti; (3) standar penilaian ilmuwan bukan ditentukan oleh
prinsip verifikasi atau falsifikasi melainkan didasarkan konteks sosial historis
serta kerangka pemikiran yang digunakan ilmuwan.
Konstruktivis kritis mengkombinasikan pemikiran yang berkaitan dengan
cara
manusia
berpikir
sambil
berinteraksi
dengan
lingkungan
sosial
(konstruktivis) atau bagaimana makna diperoleh secara sosial dan dipengaruhi
oleh struktur kekuasaan di masyarakat, juga konsekuensi etis dari pilihan manusia
(kritis). Istilah konstrutivis kritis pertama kali digunakan tahun 1960-an di bidang
pendidikan dan kemudian di bidang psikologi (LittleJohn & Foss, 2009: 216).
Universitas Sumatera Utara
Istilah konstruktivisme kritis—yang juga bisa disebut kontruksionisme kritis—
pertama kali dipublikasikan dalam studi komunikasi tahun 1999 di buku
Questioning Technology karangan filsuf teknologi Amerika Andrew Feenberg.
Kemudian, Maria Bakardijieva memunculkan istilah tersebut secara independen
di disertasi doktoral komunikasinya tahun 2002 (dia juga meraih gelar PhD di
Sosiologi), yang lalu menjadi awal diterbitkannya buku terkenal The Internet in
Everyday Life, yang terbit tahun 2005. Kini, Feenberg dan Bakardjieva adalah
tokoh-tokoh terpenting dalam tradisi ini (LittleJohn & Foss, 2009: 216).
Keduanya sepaham dengan pendekatan kontruktivis kritis pendidikan yang
dikembangkan oleh sekolah berpikir kritis dalam pandangan terhadap perubahan
dan berfokus pada gagasan konstruksi untuk menjelaskan proses pemahaman.
Namun, para sarjana ini berangkat dari landasan bersama ini dalam pendekatan
mereka terhadap kritik. Dari perspektif mereka, konstruktivisme kritis mengacu
pada integrasi pembangunan sosial teori realitas, yang diajukan dalam tradisi
sosiologi ilmu pengetahuan dan teknologi, dan teori kritis, yaitu, kontribusi filsuf
Jerman, Herbert Marcuse dan Jurgen Habermas (LittleJohn & Foss, 2009: 216).
Menurut Feenberg, pendekatan kontruktivis kritis mengkritisi pandangan
deterministik, yang berpendapat bahwa teknologi membentuk masyarakat dengan
sendirinya, independen dari perkembangan utama politik dan kebudayaan.
Feenberg membuat tiga dalil: (1) teknologi dibentuk oleh proses sosial di mana
pilihan terhadap teknologi dipengaruhi berbagai kriteria kontekstual; (2) proses
sosial ini memuaskan berbagai kebutuhan kultural yang berhubungan dengan
teknologi; dan (3) definisi kompetitif teknologi mencerminkan pandangan
masyarakat yang bertentangan. Karena itulah, pilihan terhadap teknologi
dipengaruhi oleh pengaturan kekuatan di dalam masyarakat (LittleJohn & Foss,
2009:216).
2.2 Kajian Pustaka
2.2.1
Semiotika
Secara etimologis, kata “semiotika” berasal dari bahasa Yunani, semeion
yang berarti “tanda” (Sudjiman dan van Zoest, 1996: vii) atau seme, yang berarti
Universitas Sumatera Utara
“penafsir tanda” (Cobley dan Jansz, 1999:4). Semiotika berakar dari studi klasik
dan skolastik atas seni, logika, retorika, dan poetika (Kurniawan, 2001: 49).
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.
Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari
jalan di dunia, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Barthes
menyebutkan bahwa semiotika merupakan suatu ilmu dan metode analisis untuk
mengkaji tanda. Semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana
kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai berarti bahwa
objek-objek tidak hanya membawa informasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem
terstruktur dari tanda (Sobur, 2004: 15).
Umberto Eco (1979: 4-5) mengatakan bahwa semiotika adalah “ilmu yang
mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mendustai, mengelabui, atau
mengecoh.” Lebih lanjut lagi, menurutnya “semiotika menaruh perhatian apa pun
yang dapat dinyatakan sebagai tanda. Sebuah tanda adalah semua hal yang dapat
diambil sebagai penanda yang mempunyai arti penting untuk menggantikan
sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain tersebut tidak perlu harus ada, atau tanda itu
secara nyata ada di suatu tempat pada suatu waktu tertentu. Dengan begitu,
semiotika pada prinsipnya adalah sebuah disiplin yang mempelajari apa pun yang
bisa digunakan untuk mengatakan sesuatu kebohongan, sebaliknya, tidak bisa
digunakan untuk mengatakan kebenaran...” (Berger, 200a: 11-12).
Fiske (dalam Bungin, 2005: 67) mengatakan, bahwa semiotika mempunyai
tiga bidang studi utama yaitu:
a) Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang
berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna,
dan cara-cara tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya.
Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian
manusia yang menggunakannya.
b) Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara
berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat
atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia
untuk mentransmisikannya.
c) Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya
bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk
keberadaan dan bentuknya sendiri.
Universitas Sumatera Utara
Di lain pihak, menurut Littlejohn (2009: 55-56) semiotika dapat dibagi ke
dalam tiga dimensi kajian, yaitu semantik, sintaktik, dan pragmatik. Adapun
penjabarannya adalah sebagai berikut:
1. Semantik, berkenaan dengan makna dan konsep. Dalam hal ini membahas
bagaimana tanda memiliki hubungan dengan referennya, atau apa yang
diwakili suatu tanda. Prinsip dasar dalam semiotika adalah bahwa
representasi selalu diperantara atau dimediasi oleh kesadaran interpretasi
seorang individu dan setiap interpretasi atau makna dari suatu tanda akan
berubah dari suatu situasi ke situasi lainnya (Morrisan, 2009: 29).
2. Sintaktik, berkenaan dengan keterpaduan dan keseragaman, studi ini
mempelajari mengenai hubungan antara tanda. Tanda di lihat sebagai bagaian
dari sistem tanda yang lebih besar atau kelompok yang diorganisir melalui
cara tertentu. Sistem tanda seperti ini biasa disebut dengan kode. Menurut
pandangan semiotika, tanda selalu dipahami dalam hubungan dengan tanda
lainnya (Morrisan, 2009: 30).
3. Pragmatik, berkenaan dengan teknis dan praktis. Aspek ini mempelajari
bagaimana tanda menghasilkan perbedaan dalam kehidupan manusia dengan
kata lain adalah studi yang mempelajari penggunaan tanda serta efek yang
dihasilkan tanda. Berkaitan pula dengan mempelajari bagaimana pemahaman
atau kesalahpahaman terjadi dalam berkomunikasi (Morrisan, 2009: 30).
Ada dua pendekatan penting terhadap tanda-tanda yang biasa menjadi rujukan
para ahli (Berger, 2000b: 11-22). Pertama, adalah pendekatan yang didasarkan
pada pandangan Ferdinand de Sausurre (1857-1913) yang mengatakan bahwa
tanda-tanda disusun dari dua elemen, yaitu aspek citra tentang bunyi (semacam
kata atau representasi visual) dan sebuah konsep di mana citra bunyi disandarkan
(Sobur, 2004: 31).
Bagi Sausurre, hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer
(bebas), baik secara kebetulan maupun ditetapkan. Menurut Sausurre, ini tidak
berarti “bahwa pemilihan penanda sama sekali meninggalkan pembicara” namun
lebih dari itu adalah “tak bermotif” yaitu arbitrer dalam pengertian penanda tidak
mempunyai hubungan alamiah dengan petanda (Sausurre, 1996, dalam Berger
2000b:11).
Pendekatan kedua adalah pendekatan tanda yang didasarkan pada pandangan
seorang filsuf dan pemikir Amerika yang cerdas, Charles Sanders Perce (18391914). Pierce (dalam Berger, 2000b: 14) menandaskan bahwa tanda-tanda
berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki
hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional
Universitas Sumatera Utara
dengan tanda-tanda tersebut. Ia menggunakan istilah ikon untuk kesamaannya,
indeks untuk hubungan sebab-akibat, dan simbol untuk asosiasi konvensional.
Menurut Pierce, sebuah analisis tentang esensi tanda mengarah pada
pembuktian bahwa setiap tanda ditentukan oleh objeknya. Pertama, dengan
mengikuti sifat objeknya, ketika kita menyebut tanda sebuah ikon. Kedua,
menjadi kenyataan dan keberadaannya berkaitan dengan objek individual, ketika
kita menyebut tanda sebuah indeks. Ketiga, kurang lebih, perkiraan yang pasti
bahwa hal itu diinterpretasikan sebagai objek denotatif sebagai akibat dari suatu
kebiasaan ketika kita menyebut tanda sebagai simbol (Sobur, 2004: 35).
Semiotika memecah-mecah kandungan teks menjadi bagian-bagian, dan
menghubungkan mereka dengan wacana-wacana yang lebih luas. Sebuah analisis
semiotik menyediakan cara menghubungkan teks tertentu dengan sistem pesan di
mana ia beroperasi. Hal ini memberikan konteks intelektual pada isi: ia mengulas
cara-cara beragam unsur bekerja sama dan berinteraksi dengan pengetahuan
kultural kita untuk menghasilkan makna. Semiotika memiliki keuntungan dalam
menghasilkan apa yang disebut Clifford Geertz (1973) sebagai “deskripsi tebal”
(thick descriptions) yang berstruktur serta analisis-analisis yang kompleks. Karena
sangat subjektif, semiotika tidak reliable dalam konteks pemahaman ilmu
pengetahuan sosial tradisional—peneliti lain yang mempelajari teks yang sama
dapat saja mengeluarkan sebuah makna yang berbeda (Stokes, 2006: 78).
Analisis semiotik biasanya diterapkan pada citra atau teks visual (Berger,
1987; 1998a). Metode ini melibatkan pernyataan dalam kata-kata tentang
bagaimana citra bekerja, dengan mengaitkan mereka pada struktur ideologis yang
mengorganisasi makna (Stokes, 2006: 78).
2.2.1.1 Semiotika Komunikasi Visual
Semiotika sebagai sebuah cabang keilmuan memperlihatkan pengaruh pada
bidang-bidang seni rupa, seni tari, seni film, desain produk, arsitektur, termasuk
desain komunikasi visual.
Menurut Tinarbuko (dalam Piliang, 2012: 339-340) semiotika komunikasi
visual yaitu semiotika sebagai metode pembacaan karya komunikasi visual.
Dilihat dari sudut pandang semiotika, desain komunikasi visual adalah sistem
Universitas Sumatera Utara
semiotika khusus, dengan perbendaharaan kata (vocabulary) dan sintaks (sintagm)
yang khas, yang berbeda dengan sistem semiotika seni.
Fungsi signifikasi adalah fungsi di mana penanda yang bersifat konkrit
dimuati dengan konsep-konsep abstrak, atau makna, yang secara umum disebut
petanda. Dapat dikatakan di sini, bahwa meskipun semua muatan komunikasi dari
bentuk-bentuk komunikasi visual ditiadakan, ia sebenarnya masih mempunyai
muatan signifikasi, yaitu muatan makna.
Efektivitas pesan menjadi tujuan utama dari desain komunikasi visual.
Berbagai bentuk desain komunikasi visual: iklan, fotografi jurnalistik, poster,
kalender, brosur, film animasi, karikatur, acara televisi, video klip, web design, cd
interaktif adalah di antara bentuk-bentuk komunikasi visual, yang melaluinya
pesan-pesan tertentu disampaikan dari pihak pengirim (desainer, produser,
copywriter) kepada penerima (pengamat, penonton, pemirsa).
Semiotika komunikasi mengkaji tanda konteks komunikasi yang lebih luas,
yang melibatkan berbagai elemen komunikasi, seperti saluran, sinyal, media,
pesan, kode (bahkan juga noise). Semiotika komunikasi menekankan aspek
produksi tanda di dalam berbagai rantai komunikasi, saluran dan media,
ketimbang sistem tanda. Di dalam semiotika komunikasi, tanda ditempatkan di
dalam rantai komunikasi, sehingga mempunyai peran yang penting dalam
penyampaian pesan.
2.2.1.2 Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang
getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Sausurrean. Dalam studinya,
Barthes menekankan pentingnya peran pembaca tanda (the reader). Konotasi,
walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat
berfungsi (Sobur, 2004: 63).
Karakteristik semiotika Barthes adalah adanya dua tataran sistem pemaknaan.
Dalam Mythologies, sistem pemaknaan tataran pertama disebut denotatif,
sedangkan sistem pemaknaan tataran kedua disebut konotatif.
Barthes menjelaskan dua tingkat dalam pertandaan, yaitu denotasi dan
konotasi. ‘Denotasi’ adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara
Universitas Sumatera Utara
penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang
menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan pasti. Sementara, ‘konotasi’
adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan
petanda, yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung
dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan tafsiran). Selain
itu, Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatnya, akan tetapi lebih
bersifat konvensional, yaitu makna yang berkaitan dengan mitos. Mitos, dalam
pemahaman semiotika Barthes adalah pengkodean makna dan nilai-nilai sosial
(yang sebetulnya arbitrer atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap alamiah.
Gambar 2.1
Peta Tanda Roland Barthes
1. signifier
(Penanda)
2. signified
(Petanda)
3. denotative sign (tanda denotatif)
4. CONNOTATIVE SIGNIFIER
(PENANDA KONOTATIF)
5.CONNOTATIVE
SIGNIFIED
(PETANDA KONOTATIF)
6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)
Sumber : Cobley, Paul & Jansz, Litza. (1999). Introducing Semiotics. New York: Totem
Books, hlm. 51
Dari peta tanda Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri dari
penanda (1) dan petanda (2), namun bersamaan pula dengan tanda denotatif
menjadi penanda konotatif (4). Tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna
tambahan tapi mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi
keberadaannya.
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang
disebutnya sebagai ‘mitos’, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan
pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu
Universitas Sumatera Utara
(Budiman, 2001: 28). Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda,
petanda, dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh
suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau, dengan kata lain, mitos
adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua.
Barthes memampatkan ideologi dengan mitos karena, baik di dalam mitos
maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi
secara termotivasi (Budiman, 2001: 28). Seperti Marx, Barthes juga memahami
ideologi sebagai kesadaran palsu yang membuat orang hidup di dalam dunia yang
imajiner dan ideal, meski realitas hidupnya yang sesungguhnya tidaklah demikian.
Menurut Roland Barthes tuturan mitologis bukan hanya berupa tuturan oral,
namun tuturan itu bisa saja berbentuk tulisan, fotografi, film, laporan ilmiah, olah
raga, pertunjukan, iklan, lukisan. Mitos pada dasarnya adalah segala yang
mempunyai modus representasi. Artinya, paparan contoh di atas memiliki arti
yang belum tentu bisa ditangkap secara langsung (Iswidayanti, 2006).
Bagi Roland Barthes, di dalam teks beroperasi lima kode pokok (five major
code) yang di dalamnya terdapat penanda teks (leksia). Lima kode yang ditinjau
Barthes yaitu (Sobur, 2004: 65-66) :
1. Kode hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca
untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks.
Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi
tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan
suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita.
2. Kode proaretik, atau kode tindakan/lakuan dianggap sebagai perlengkapan
utama teks yang dibaca orang, yang artinya antara lain semua teks bersifat
naratif. Secara teoritis Barthes melihat semua lakuan dapat dikodifikasi.
Pada praktiknya ia menerapkan beberapa prinsip seleksi. Kita mengenal
kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya.
3. Kode simbolik, merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas
bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural.
Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa
oposisi biner atau pembedaan—baik dalam taraf bunyi menjadi fonem
dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf oposisi psikoseksual
yang melalui proses. Pemisahan dunia secara kultural dan primitif menjadi
kekuatan dan nilai-nilai yang berlawanan yang secara mitologis dapat
dikodekan.
4. Kode kultural atau gnomik merupakan acuan teks ke benda-benda yang
sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme
tradisional didefenisi oleh acuan budaya apa yang telah diketahui.
Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah
dikodifikasi yang di atasnya penulis bertumpu.
Universitas Sumatera Utara
5. Kode semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam
proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa
konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan
konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan
konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Jika sejumlah
konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu
tokoh dengan atribut tertentu.
Di samping penanda teks (leksia) dan lima kode pembacaan yang telah
dijabarkan di atas, beberapa konsep penting dalam analisis semiotika Roland
Barthes adalah:
1.
Penanda dan Petanda
Menurut Sausurre, bahasa merupakan sebuah sistem tanda, dan setiap tanda itu
tersusun dari dua bagian, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Tanda
adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau
petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna”
atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa:
apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca . Petanda
adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi petanda adalah aspek mental
dari bahasa (Bertens, 2001: 180). Menurut Sausurre, penanda dan petanda
merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas. Sausurre menggambarkan
tanda yang terdiri atas signifier dan signified itu sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2
Elemen-Elemen Makna Sausurre
Sign
Composed of
signification
Signifier plus
signified
external
reality
of
meaning
Sumber: Sobur, Alex. (2004). Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Pada dasarnya apa yang disebut signifier dan signified tersebut adalah produk
kultural. Setiap tanda kebahasaan, menurut Sausurre, pada pada dasarnya
menyatukan sebuah konsep (concept) dan suatu citra suara (sound image), bukan
menyatakan sesuatu dengan sebuah nama. Suara yang muncul dari sebuah kata
yang diucapkan merupakan penanda (signifier) sedangkan konsepnya adalah
petanda (signified). Dua unsur ini tidak bisa dipisahkan sama sekali. Pemisahan
hanya akan menghancurkan ‘kata’ tersebut.
2.
Denotasi dan Konotasi
Denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang
“sesungguhnya”, bahkan kadang kala juga dirancukan dengan referensi atau
acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi ini
biasanya mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti sesuai dengan apa yang
terucap (Sobur, 2004: 70).
Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada
sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran.
Universitas Sumatera Utara
Denotasi bersifat langsung, dapat dikatakan sebagai makna khusus yang terdapat
dalam sebuah tanda, sehingga sering disebut sebagai gambaran sebuah petanda.
Sedangkan menurut Kridalaksana, denotasi adalah makna kata atau kelompok
kata yang didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu.
Makna denotatif suatu kata ialah makna yang biasa kita temukan dalam kamus.
Makna konotatif ialah makna denotatif ditambah dengan segala gambaran,
ingatan, dan perasaan yang ditimbulkan oleh kata itu. Kata konotasi itu sendiri
berasal dari bahasa Latin connotare, "menjadi tanda" dan mengarah kepada
makna-makna kultural yang terpisah/berbeda dengan kata (dan bentuk-bentuk lain
dari komunikasi).
Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama dalam
sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran.
(Lyons, dalam Pateda, 2001: 98). Makna denotasi bersifat langsung, yaitu makna
khusus yang terdapat dalam sebuah tanda, dan pada intinya dapat disebut sebagai
gambaran sebuah petanda (Berger, 2000b: 55). Harimurti Kridalaksana (2001: 40)
mendefinisikan denotasi (denotation) sebagai "makna kata atau kelompok kata
yang didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang
didasarkan atas konvensi tertentu; sifatnya objektif."
Sedangkan konotasi (connotation, evertone, evocatory) diartikan sebagai
"aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau
pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar
(pembaca)". Dengan kata lain, "makna konotatif merupakan makna leksikal + X"
(Sobur, 2004: 263).
Makna denotatif (denotative meaning) disebut juga dengan beberapa istilah
lain seperti makna denotasional, makna kognitif, makna konseptual, makna
ideasional, makna referensial, atau makna proporsional (Keraf, 1994: 28). Disebut
makna denotasional, referensial, konseptual, atau ideasional, karena makna itu
menunjuk (denote) kepada suatu referen, konsep, atau ide tertentu dari suatu
referen. Disebut makna kognitif karena makna itu bertalian dengan kesadaran atau
pengetahuan; stimulus (dari pihak pembicara) dan respons (dari pihak pendengar)
menyangkut hal-hal
yang dapat diserap pancaindra (kesadaran) dan rasio
manusia. Dan makna ini disebut juga makna proposisional karena ia bertalian
Universitas Sumatera Utara
dengan informasi-informasi atau pernyataan-pernyataan yang bersifat faktual.
Makna ini, yang diacu dengan bermacam-macam nama, adalah makna yang
paling dasar pada suatu kata (Sobur, 2004: 265).
Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna
emotif, atau makna evaluatif (Keraf, 1994: 29). Makna konotatif adalah suatu
jenis makna di mana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional.
Makna konotatif sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan
setuju-tidak setuju, senang-tidak senang, dan sebagainya pada pihak pendengar; di
pihak lain, kata yang dipilih itu memperlihatkan bahwa pembicaranya juga
memendam perasaan yang sama (Sobur, 2004: 266).
Makna konotatif sebuah kata dipengaruhi dan ditentukan oleh dua
lingkungan, yaitu lingkungan tekstual dan lingkungan budaya (Sumardjo & Saini,
1994: 126). Yang dimaksud dengan lingkungan tekstual ialah semua kata di dalam
paragraf dan karangan yang menentukan makna konotatif itu. Pengaruh
lingkungan budaya menjadi jelas kalau kita meletakkan kata tertentu di dalam
lingkungan budaya yang berbeda (Sobur, 2004: 266).
Di dalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi
merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan
tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan
ketertutupan makna dan, dengan demikian, sensor atau represi politis. Sebagai
reaksi yang paling ekstrem melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif,
Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang ada hanyalah
konotasi semata-mata. Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, namun ia tetap
berguna sebagai sebuah koreksi atas kepercayaan bahwa makna “harfiah”
merupakan sesuatu yang bersifat alamiah (Budiman, 1999: 22 dalam Sobur, 2004:
71).
3. Paradigmatik dan Sintagmatik
Di dalam konteks strukturalisme bahasa, tanda tidak dapat dilihat hanya
secara individu, akan tetapi dalam relasi dan kombinasinya dengan tanda-tanda
lainnya di dalam sebuah sistem. Analisis tanda berdasarkan sistem atau kombinasi
yang lebih besar ini (kalimat, buku, kitab) melibatkan apa yang disebut aturan
Universitas Sumatera Utara
pengkombinasian yang terdiri dari dua aksis, yaitu aksis paradigmatik, yaitu cara
pemilihan dan pengkombinasian tanda-tanda, berdasarkan aturan atau kode
tertentu, sehingga dapat menghasilkan sebuah ekspresi bermakna.
Bahasa adalah struktur yang dikendalikan oleh aturan main tertentu, semacam
mesin untuk memproduksi makna. Dalam bahasa, kita harus mematuhi aturan
main bahasa (grammar, sintaks) jika kita ingin menghasilkan ekspresi yang
bermakna.
Aturan main pertama dalam bahasa, menurut Sausurre adalah: bahwa di
dalam bahasa hanya ada prinsip perbedaan. Misalnya, tidak ada hubungan
keharusan antara kata topi dan sebuah benda yang kita pakai sebagai penutup
kepala kita: apa yang memungkinkan terjadinya hubungan adalah perbedaan
antara topi, tapi, tepi, kopi, dan seterusnya. Kata-kata mempunyai makna
disebabkan mereka berada di dalam relasi perbedaan. Jadi, yang pertama-tama
dilihat di dalam strukturalisme bahasa adalah relasi, bukan hakikat tanda itu
sendiri.
Perbedaan dalam bahasa, menurut Sausurre, hanya dimungkinkan lewat
beroperasinya dua aksis bahasa yang disebutnya aksis paradigma dan aksis
sintagma. Paradigma adalah satu perangkat tanda yang melaluinya pilihan-pilihan
dibuat, dan hanya satu unit dari pilihan tersebut dapat dipilih. Sintagma adalah
kombinasi tanda dengan tanda lainnya dari perangkat yang ada berdasarkan aturan
tertentu, sehingga menghasilkan ungkapan bermakna (Piliang, 2012: 302-303).
Gambar 2.3
Poros Paradigma dan Sintagma
Sintagma
Paradigma
Sumber: Piliang, Yasraf Amir. Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya, dan Matinya
Makna (2012), hlm. 303
Universitas Sumatera Utara
Menurut semiotika Sausurrean, apa pun bentuk pertukaran tanda, ia harus
mengikuti model kaitan struktural antara penanda dan petanda yang bersifat stabil
dan pasti (Sobur, 2004: 278).
4.
Mitos
Pada umumnya mitos adalah suatu sikap lari dari kenyataan dan mencari
"perlindungan dalam dunia khayal". Sebaliknya dalam dunia politik, mitos kerap
dijadikan alat untuk menyembunyikan maksud-maksud yang sebenarnya, yaitu
membuka jalan, mengadakan taktik untuk mendapat kekuasaan dalam masyarakat
yang bersangkutan dengan "melegalisasikan" sikap dan jalan anti-sosial. Tujuan
dari suatu mitos politi adalah selalu kekuasaan dalam negara, karena dianggap
bahwa tanpa kekuasaan keadaan tidak dapat diubahnya (Susanto, 1985: 220).
Demikianlah mitos mudah menjadi "alat kekuasaan" yang sukar dibuktikan
kebenarannya selama tujuan mitos belum menjadi kenyataan, maka apa yang
dijanjikan oleh mitos masih saja dapat diproyeksikan ke masa "lebih ke depan"
lagi (Sobur, 2004: 223-224).
Mitos dalam pandangan Lappe & Collins (Rahardjo, 1996: 192) dimengerti
sebagai sesuatu yang oleh umum dianggap benar, tetapi sebenarnya bertentangan
dengan fakta," sekalipun perlu dicatat bahwa penafsiran fakta oleh Lappe &
Collins itu belum tentu benar atau disetujui oleh masyarakat ilmiah pada
umumnya. Apa yang disebut Lappe & Collins sebagai mitos itu adalah jenis
"mitos modern". Dalam bukunya Mythology (1991, dikutip Rahardjo, 1996: 192),
Fernand Comte memang membagi mitos menjadi dua macam: mitos tradisional
dan mitos modern. Mitos modern itu dibentuk oleh dan mengenai gejala-gejala
politik, olah raga, sinema, televisi dan pers.
Mitos (mythes) adalah suatu jenis tuturan (a type of speech), sesuatu yang
hampir mirip dengan sesuatu yang hampir mirip dengan "representasi kolektif" di
dalam sosiologi Durkheim (Budiman, 1999: 76). Barthes mengartikan mitos
sebagai
"cara
berpikir
kebudayaan
tentang
sesuatu,
sebuah
cara
mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu hal. Barthes menyebut mitos
sebagai rangkaian konsep yang saling berkaitan" (Sudibyo, 2001: 245). Mitos
adalah sistem komunikasi, sebab ia membawakan pesan. Maka, mitos bukanlah
Universitas Sumatera Utara
objek. Mitos bukan pula konsep atau suatu gagasan, melainkan suatu cara
signifikasi, suatu bentuk. Lebih jauhnya lagi, mitos tidak ditentukan oleh objek
ataupun suatu gagasan, melainkan cara mitos disampaikan. Mitos tidak hanya
berupa pesan yang disampaikan dalam bentuk verbal (kata-kata lisan ataupun
tulisan), namun juga dalam berbagai bentuk lain atau campuran antara bentuk
verbal dan nonverbal. Misalnya dalam bentuk film, lukisan fotografi, iklan, dan
komik (Sobur, 2004:224).
2.2.2 Video
Video sebenarnya berasal dari bahasa Latin, video-vidi-visum yang artinya
melihat (mempunyai daya penglihatan); dapat melihat (K. Prent dkk., 1969: 926).
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995: 1119) mengartikan video dengan: 1)
bagian yang memancarkan gambar pada pesawat televisi; 2) rekaman gambar
hidup untuk ditayangkan pada pesawat televisi. Senada dengan itu, Peter Salim
dalam
The
Contemporary
English-Indonesian
Dictionary
(1996:
2230)
memaknainya dengan sesuatu yang berkenaan dengan penerimaan dan
pemancaran gambar. Tidak jauh berbeda dengan dua definisi tersebut, Smaldino
(2008: 374) mengartikannya dengan “the storage of visuals and their display on
television-type screen” (penyimpanan/perekaman gambar dan penayangannya
pada layar televisi) (Amien & Lamere, 2010).
Video, dilihat sebagai media penyampai pesan, termasuk media audio-visual
atau media pandang-dengar (Setyosari & Sihkabuden, 2005: 117). Media audiovisual dapat dibagi menjadi dua jenis: pertama, dilengkapi fungsi peralatan suara
dan gambar dalam satu unit, dinamakan media audio-visual murni; dan kedua,
media audio-visual tidak murni. Film bergerak (movie), televisi, dan video
termasuk jenis yang pertama, sedangkan slide, opaque, OHP dan peralatan visual
lainnya yang diberi suara termasuk jenis yang kedua (Munadi, 2008: 113).
Perkembangan video sebagai media komunikasi tak lepas dari eksistensi
fotografi. 'Foto bergerak' pertama berhasil dibuat pada tahun 1877 oleh Eadward
Muybridge, fotografer Inggris yang bekerja di California. Mubridge mengambil
serangkaian gambar foto kuda berlari, mengatur sederetan kamera dengan benang
tersambung pada kamera shutter. Prosedur Mubridge mempengaruhi para penemu
Universitas Sumatera Utara
di pelbagai negara dalam mengembangkan perekam citra bergerak. Salah satu dari
mereka adalah Thomas Edison (1847-1931) yang untuk pertama kalinya
mengembangkan kamera citra bergerak pada 1888 ketika ia membuat film
sepanjang 15 detik yang merekam salah seorang asistennua ketika sedang bersin.
Segera sesudah itu, di tahun 1895, Auguste Marie Louis Nicolas Lumiere (18641948) memberikan pertunjukan film sinematik kepada umum di sebuah kafe di
Paris.
Dengan demikian lahirlah teknologi dan seni gambar bergerak (motion
picture) yang mungkin merupakan sebentuk seni paling berpengaruh dalam abad
yang lalu. Jika saat ini kita hidup dalam dunia yang 'termediasi-secara-visual'—
sebuah dunia tempat citra visual membentuk gaya hidup dan mengajarkan
pelbagai nilai perilaku, kebiasaan dan gaya hidup—kita berhutang pertama-tama
dan yang terutama pada film. Media berbasis penglihatan dan yang diperkuat oleh
penglihatan menjadi begitu umum dan kita hampir tidak menyadari betapa mereka
menjadi demikian intrinsik di dalam tatanan signifikasi modern (Danesi, 2010:
133).
Film juga sebetulnya tidak jauh beda dengan televisi. Namun, film dan
televisi memiliki bahasa yang berbeda (Sardar & Loon, 2001: 156). Tata bahasa
itu terdiri atas semacam unsur yang akrab, seperti pemotongan (cut), pemotretan
jarak dekat (close-up), pemotretan dua (two shot), pemotretan jarak jauh (long
shot), pembesaran gambar (zoom-in), pengecilan gambar (zoom-out), memudar
(fade), pelarutan (dissolve), gerakan lambat (slow motion), gerakan yang
dipercepat (speeded-up), efek khusus (special effect). Namun, bahasa tersebut
juga mencakup kode-kode representasi yang lebih halus, yang tercakup dalam
kompleksitas dari penggambaran visual yang harfiah hingga simbol-simbol yang
paling abstrak dan arbitrer serta metafora. Metafora visual sering menyinggung
objek-objek dan simbol-simbol dunia nyata serta mengonotasikan makna-makna
sosial dan budaya.
Berbeda dari permasalahan “tanda” bahasa di mana hubungan bersifat arbitrer
(semena) antara tanda (demikian pun antara significant dan signifie) dan benda
(choses), penanda (significant) sinematografis memiliki hubungan “motivasi” atau
“beralasan” (motivation) dengan penanda yang tampak jelas melalui hubungan
Universitas Sumatera Utara
penanda dengan alam yang dirujuk. Petanda sinematografis selalu kurang lebih,
kata Christian Metz, “beralasan” dan tidak pernah semena. Hubungan motovasi
itu berada baik pada tingkat denotatif maupun konotatif. Hubungan denotatif yang
beralasan itu lazim disebut analogi, karena memiliki persamaan perseptif/auditif
antara penanda/petanda dan referen. Perlu diketahui bahwa analogi ini hanyalah
salah satu bentuk dari motivasi karena konotasi sinematografis juga termasuk di
dalamnya. Meskipun analogi perseptif/auditif bukanlah prasyarat keberadaannya,
Metz menggarisbawahi tesis tentang polisemi motivasi dari Eric Buyyens dengan
mengatakan bahwa konotasi sinematografis bersifat simbolis: petanda memotivasi
penanda, tetapi melampauinya (Masak, 2000: 283 dalam Sobur, 2004: 13).
2.2.2.1 Teknik dalam Pengambilan Gambar
Tabel 2.1
Teknik Pengambilan Gambar
Pengambilan Gambar
Extreme Long Shot
Kesan luas dan keluarbiasaan
Full Shot
Hubungan Sosial
Big Close Up
Emosi, dramatik, momen penting
Close Up
Intim atau dekat
Medium Shot
Hubungan personal dengan subjek
Long Shot
Konteks perbedaan dengan publik
Sudut Pandang (Angle) Pengambilan Gambar
High
Dominasi, kekuasaan dan otoritas
Eye-Level
Kesejajaran, kesamaan dan sederajat
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1
(sambungan)
Low
Didominasi,
dikuasai,
dan
kurang
otoritas
Fokus
Selective Focus
Meminta perhatian (tertuju pada satu
objek)
Soft focus
Romantis serta nostalgia
Deep Focus
Semua unsur adalah penting
Pencahayaan
High Key
Riang, cerah
Low Key
Suram, muram
High Contrast
Dramatikal, teatrikal
Low Contrast
Realistik dan terkesan dokumenter
Sumber: Selby, Keith & Coedery, Ron. (1995). How to Study Television. London: Mc Millisan
Universitas Sumatera Utara
2.3 Model Teoritik
Gambar 2.4
Bagan Model Teoritik Konstruksi Makna dalam Video Takotak Miskumis
Karya Cameo Project
Objek Penelitian
Scene dan lirik lagu pada Video Takotak
Miskumis karya Cameo Project
Semiotika Roland Barthes
-Analisis Leksia dan 5 Kode Pembacaan
-Denotasi dan Konotasi
-Mitos
Level Analisis
-Teks (gambar/scene, lirik lagu)
-Konteks (sosial, budaya, sejarah,
politik)
-Pemaknaan dalam video
-Mitos
Universitas Sumatera Utara
Download