sifat fisik dan mikrobiologi sosis frankfurter dengan

advertisement
SIFAT FISIK DAN MIKROBIOLOGI SOSIS FRANKFURTER
DENGAN TAMBAHAN ROSELA DAN ANGKAK
SELAMA PENYIMPANAN
SKRIPSI
JACOBUS GLEN
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
RINGKASAN
Jacobus Glen. D14062172. 2012. Sifat Fisik dan Mikrobiologi Sosis Frankfurter
dengan Tambahan Rosela dan Angkak Selama Penyimpanan. Skripsi.
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut
Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Irma Isnafia Arief, S. Pt., M. Si.
Pembimbing Anggota : Ir. Hj. Komariah, M. Si.
Produk olahan daging seperti sosis yang dikonsumsi sehari-hari pada umumnya
menggunakan zat pengawet dan pewarna buatan dengan tujuan untuk meningkatkan
nilai jual dan daya tarik dari produk tersebut. Nitrit umumnya digunakan sebagai
bahan pengawet makanan pada produk-produk olahan daging, seperti sosis, dengan
fungsi untuk fiksasi mioglobin dan pengawet. Akan tetapi nitrit dapat
membahayakan kesehatan manusia karena nitrit memiliki sifat karsinogenik. Bahaya
dari nitrit itu sendiri sebenarnya dapat kita hindari apabila nitrit tersebut kita ganti
dengan menggunakan bahan pengawet alami seperti rosela dan angkak.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan sifat fisik dan
mikrobiologis dari sosis pada masa penyimpanan selama dua puluh hari (hari 0, hari
ke-10, dan hari ke-20) dengan tiga ulangan dan dua faktor, yakni jenis pengawet,
yaitu nitrit sebagai kontrol dengan kombinasi angkak-rosela (0,75%:1%), dan lama
penyimpanan. Peubah yang diamati yaitu sifat fisik yang terdiri atas pH, daya
mengikat air, stabilitas emulsi, dan keempukan, sedangkan untuk analisa
mikrobiologi, peubah yang diamati ialah total populasi mikroba (TPC), total
Escherischia coli dan total Bakteri Asam Laktat (BAL). Penelitian ini menggunakan
metode rancangan acak lengkap faktorial dan data yang didapat dianalisa dengan
ANOVA. Penelitian dilaksanakan pada periode bulan Juli hingga Agustus 2010 di
Laboratorium Ruminansia Besar Departemen IPTP dan SEAFAST Center IPB.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kombinasi bubuk angkak-rosela
(0,75%:1%) dapat dijadikan sebagai substitusi nitrit dalam sosis frankfurter. Analisis
ragam menunjukkan bahwa perlakuan jenis pengawet tidak berpengaruh nyata
terhadap sifat fisik dan mikrobiologis sosis frankfurter baik dengan penambahan
nitrit maupun dengan penambahan kombinasi rosela-angkak selama masa
penyimpanan. Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini ialah penggunaan
kombinasi angkak-rosela (0,75%:1%) tidak berbeda nyata dengan penggunaan nitrit
(0,0125%) pada sosis. Lama simpan merupakan faktor yang paling berpengaruh
dalam perubahan sifat fisik maupun mikrobiologi pada sosis frankfurter selama
masa penyimpanan.
Kata-kata kunci : Sosis Frankfurter, nitrit, angkak, rosela.
ABSTRACT
PHYSICAL AND MICROBIOLOGICAL CHARACTERISTICS CHANGES
OF FRANKFURTERS SAUSAGE WITH ADDITION OF ROSELA AND
ANKA DURING STORAGE
Glen, J., I. I. Arief and Komariah
Processed foods, in this case sausage, which can be met nowadays often use
additives to preserve and color it in order to increase the value and acceptability of
the foods. Nitrite is widely used for its mioglobin fixation, antibacterial, and
preservatives, but nitrite could harm human’s health because of its carsinogenic
characteristic. The harm can be prevented if we substitute nitrite with natural herbs
such as rosella and anka. The objectives of this research were to determine physical
and microbiological change during storing period. Storing period were 20 days and
tested three times (day 0, day 10, and day 20) with three repetition and and the two
factors were preservative type (nitrite as control and the combination of anka-rosella
(0.75%:1%)) and storing duration. Observed variables are the physical characteristics
(pH, water holding capacity and tenderness) and microbial characteristic such as total
microbial population, total lactic acid bacteria population and quantitative population
of Escherischia coli. This research used factorial randomized complete design and
the data analyzed with ANOVA. The research conducted from July to August 2010
at the Processing Laboratory of Large Ruminants, Faculty of Animal Science and
Seafast Center IPB. Result showed that combination of anka and rosela (0.75%:1%)
could substitute nitrite function in sausage. ANOVA showed that kinds of
preservatives had no difference to microbial population in sausage. In conclusion, the
addition of anka and rosela (0.75%:1%) were no different to sausage with nitrite
addition (0,0125%). Storage time was the most influencing factor of physical and
microbiological change on sausage during storage.
Keywords: Frankfurter sausage, anka and rosella powder, and nitrite
SIFAT FISIK DAN MIKROBIOLOGI SOSIS FRANKFURTER
DENGAN TAMBAHAN ROSELA DAN ANGKAK
SELAMA PENYIMPANAN
JACOBUS GLEN
D14062172
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
Judul Skripsi : Sifat Fisik dan Mikrobiologi Sosis Frankfurter dengan Tambahan
Rosela dan Angkak Selama Penyimpanan
Nama
: Jacobus Glen
NIM
: D14062172
Menyetujui :
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
(Dr. Irma Isnafia Arief, S.Pt., M.Si.)
NIP. 19750304 199902 2 001
(Ir. Hj. Komariah, M.Si.)
NIP. 195905150 1989030 2 001
Mengetahui :
Ketua Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Fakultas Peternakan IPB
(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr. Sc.)
NIP. 19591212 198603 1 004
Tanggal Ujian : 18 Januari 2012
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 18 Juni 1988 di Jakarta. Penulis adalah anak
pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Andreas Iswan dan Ibu Maria F. L.
Ellen.
Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1994 di Sekolah Dasar
Mardi Yuana Cibinong dan diselesaikan pada tahun 2000. Pendidikan lanjutan
tingkat pertama dimulai pada tahun 2000 dan diselesaikan pada tahun 2003 di
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Mardi Waluya Cibinong. Penulis melanjutkan
pendidikan di Sekolah Menengah Atas Budi Mulia Bogor pada tahun 2003 dan
diselesaikan pada tahun 2006.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur
Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima di Departemen Ilmu
Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan pada tahun 2007. Penulis
aktif dalam organisasi Keluarga Mahasiswa Katholik IPB (KEMAKI) dan pernah
menjadi ketua pada kegiatan acara KEMAKI di tahun 2008. Penulis pernah
mengikuti kegiatan magang di Koperasi Peternak Babi Indonesia (KPBI) di
Lembang, Bandung pada tahun 2008. Penulis juga pernah mengikuti lomba PKM
(Program Kreativitas Mahasiswa) bidang penelitian dengan judul Peningkatan
Keamanan Pangan Sosis Frankfurter dengan Penggunaan Rosela dan Angkak
sebagai Bahan Tambahan Alami Pengganti Nitrit. PKM-P tersebut lolos seleksi IPB
dan dibiayai oleh DIKTI tahun 2010.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Bapa di Surga dan Tuhan
Yesus yang telah melimpahkan rahmat dan berkat-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini yang merupakan salah satu syarat
untuk meraih gelar sarjana di Fakultas Peternakan, IPB.
Sudah kita ketahui secara umum bahwa pangan olahan yang biasa kita
konsumsi sahari-hari tidak pernah lepas dari bahan-bahan kimia yang digunakan baik
untuk mengawetkan makanan tersebut maupun untuk menambah daya tarik dari
pangan itu sendiri. Hal inilah yang cukup mengkhawatirkan karena bahan kimia
tersebut, khususnya nitrit yang biasa digunakan dalam produk-produk loan daging
seperti sosis, memliki sifat karsinogenik yang membahayakan kesehatan konsumen
apabila terakumulasi dalam tubuh sehingga perlu ditemukan jalan kerluarnya. Salah
satu jalan yang dapat ditempuh ialah dengan menggantinya dengan tumbuhan herbal
alami yang jelas tidak membahayakan kesehatan manusia seperti rosela dan angkak.
Skripsi berjudul ”Sifat Fisik dan Mikrobiologi Sosis Frankfurter dengan
Tambahan Rosela dan Angkak Selama Penyimpanan” diharapkan mampu
memberikan sejumlah informasi kepada para pembaca mengenai pengaruh
penambahan angkak dan rosela terhadap kualitas sosis frankfurter sehingga dapat
diaplikasikan secara nyata pada berbagai produk pangan asal hewan lainnya.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam
skripsi ini. Akan tetapi, semoga hasil penelitian mengenai penggunaan angkak dan
rosela pada sosis Frankfurter dapat memberikan manfaat kepada setiap pembaca.
Bogor, Februari 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ...................................................................................................
ii
ABSTRACT......................................................................................................
iii
LEMBAR PERNYATAAN ..............................................................................
iv
LEMBAR PENGESAHAAN ...........................................................................
v
RIWAYAT HIDUP ..........................................................................................
vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................
vii
DAFTAR ISI.....................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL.............................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................................
xii
PENDAHULUAN ............................................................................................
1
Latar Belakang ......................................................................................
Tujuan ...................................................................................................
1
2
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................
3
Keamanan Pangan.................................................................................
Daging ..................................................................................................
Sosis ......................................................................................................
Bahan Baku Pembuatan Sosis .............................................................
Rosela....................................................................................................
Pigmen Angkak……………………………………………………….
Sifat Antimikroba Pigmen Angkak………………………….
Pigmen Angkak Sebagai Bahan Pewarna Sosis……………..
Pembuatan Sosis……………………………………………………..
Umur Simpan ........................................................................................
Pengaruh Pembekuan dan Penyimpanan Dingin pada .........................
Sifat Fisik Sosis ....................................................................................
Daya Serap Air (DSA) ..............................................................
Derajat Keasaman (pH)……………………………………….
Kekenyalan ...............................................................................
Sifat Organoleptik .................................................................................
Bakteri Patogen .....................................................................................
Escherichia coli ........................................................................
Bakteri Asam Laktat .............................................................................
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroorganisme .....
Faktor Intrinsik .........................................................................
Faktor Ekstrinsik .......................................................................
3
3
3
6
9
11
12 13
13 13
15
18
18
18
19
19
19
21
20
20
20
22
METODE PENELITIAN .................................................................................
23
Lokasi dan Waktu .................................................................................
23
Materi ....................................................................................................
Rancangan .............................................................................................
Prosedur ................................................................................................
Nilai pH Produk Sosis...............................................................
Kekenyalan ...............................................................................
Daya Serap Air..........................................................................
Uji Kualitas Mikrobiologis Daging ..........................................
Uji Organoleptik (Soekarto, 1990) ...........................................
23
23
24
26
26
26
26
28
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................
29
Sifat Fisik Sosis Frakfurter...................................................................
Nilai pH Sosis Frakfurter .........................................................
Nilai Daya Serap Air (DSA) Sosis Frankfurter........................
Nilai Kekenyalan Sosis Frankfurter .........................................
Uji Organoleptik Sosis Frankfurter ......................................................
Penilaian Organoleptik Sosis Frankfurter Sebelum Simpan ....
Penilaian Organoleptik Sosis Frankfurter Hari Penyimpanan
ke-10 .........................................................................................
Penilaian Organoleptik Sosis Frankfurter Hari Penyimpanan
ke-20 .........................................................................................
Kualitas Mikrobiologi Daging ..............................................................
Kualitas Mikrobiologi Sosis Frankfurter Selama Masa Penyimpanan
Jumlah Total Plate Count (TPC) pada Sosis Frankfurter
Selama Penyimpanan ...............................................................
Jumlah Escherischia coli pada Sosis Frankfurter Selama
Penyimpanan .............................................................................
Jumlah Total Bakteri Asam Laktat (BAL) pada Sosis
Frankfurter................................................................................
29
29
31
33
36
36
38
39
40
42
44
48
50
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................
53
Kesimpulan ...........................................................................................
Saran .....................................................................................................
53
53
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................
54
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
55
LAMPIRAN......................................................................................................
60
ix
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Komposisi Nutrisi Sosis Daging Sapi ......................................................
5
2. Komposisi Kimia Bunga Rosela Jenis Hibiscuss Sabdariffa L dalam
100 g ........................................................................................................
10
3. Komposisi Kimiawi Angkak ...................................................................
11
4. Pengaruh beberapa Faktor terhadap Reaksi Deteriorasi pada Pangan ....
14
5. Penyimpanan Dingin untuk Produk Segar dan Sudah Dimasak ..............
17
6. Nilai pH Sosis Frakfurter selama Periode Penyimpanan ........................
29
7. Nilai Rataan DSA Sosis Frankfurter selama Periode Penyimpanan .......
31
8. Nilai Rataan Kekenyalan Sosis Frankfurter selama Periode
Penyimpanan ............................................................................................
33
9. Nilai Rataan Mutu Uji Hedonik Sosis Frankfurters dengan
Perlakuan Pemberian Nitrit dan Kombinasi Rosela dan Angkak pada
Periode Penyimpanan yang Berbeda ........................................................
36
10. Hasil Analisis Mikrobiologi pada Daging Segar ......................................
41
11. Perubahan Jumlah TPC pada Sosis selama Penyimpanan ........................
44
12. Perubahan Jumlah E. Coli pada Sosis selama Penyimpanan ....................
48
13. Perubahan Jumlah BAL pada Sosis selama Penyimpanan .......................
51
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Kelopak Bunga Rosela ............................................................................
9
2. Beras Merah Cina atau Angkak ...............................................................
10
3. Escherischia Coli .....................................................................................
20
4. Skema Proses Pembuatan Sosis ...............................................................
25
5. Gambar Analisis DMA Sosis Frankfurter pada Hari ke-20 ....................
33
6. Sosis Frankfurter .....................................................................................
37
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Hasil Analisis Ragam Nilai pH Sosis Frankfurter .................................
61
2. Hasil Analisis Ragam Nilai DSA Sosis Frankfurter ..............................
61
3. Hasil Analisis Ragam Kekenyalan Sosis Frankfurter ….………..…….
61
4. Hasil Uji Kruskal-Wallis Parameter Warna Sosis Frankfurter H0 ….....
61
5. Hasil Uji Kruskal-Wallis Parameter Bau Sosis Frankfurter H10 …..…..
61
6. Hasil Uji Kruskal-Wallis Parameter Lendir Sosis Frankfurter H20 ........
62
7. Hasil Uji Kruskal-Wallis Parameter Kekenyalan Sosis Frankfurter H0..
62
8. Hasil Uji Kruskal-Wallis Parameter Tekstur Sosis Frankfurter H10 .......
62
9. Jumlah Total Mikroba Sosis Frankfurter pada Tiap Taraf Perlakuan (H0)
62
10. Jumlah Total Mikroba Sosis Frankfurter pada Tiap Taraf Perlakuan (H10) 63
11. Jumlah Total Mikroba Sosis Frankfurter pada Tiap Taraf Perlakuan (H20)
63
12. Analisis Ragam Penambahan Jenis Bahan Tambahan terhadap Jumlah
Total Mikroba (log cfu/g) pada Sosis Frankfurter ..................................
64
13. Jumlah Total E. coli Sosis Frankfurter pada Tiap Taraf Perlakuan (H0)
64
14. Jumlah Total E. coli Sosis Frankfurter pada Tiap Taraf Perlakuan (H10)
65
15. Analisis Ragam Penambahan Jenis Bahan Tambahan terhadap Jumlah
Total Escherischia coli (log cfu/g) pada Sosis Frankfurter ....................
65
16. Proses Pembuatan Sosis …………………………………………..……
65
17. Pengukuran Sifat Fisik Sosis ...................................................................
66
18. Analisa Mikrobiologi Sosis ………………………………….................
67
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pangan tidak pernah lepas dari kehidupan, karena semua manusia dan mahluk
hidup lainnya membutuhkan pangan untuk dapat mempertahankan kelangsungan
hidupnya. Saat ini dapat ditemui industri-industri pangan dengan mudah. Dalam
industri pangan, khususnya pangan olahan, sering dijumpai penggunaan bahan-bahan
pengawet dan bahan pewarna buatan untuk makanan yang bertujuan untuk
meningkatkan daya jual. Bahan pengawet ini pada umumnya dibuat dari bahanbahan kimia yang bersifat sintetis. Penggunaan bahan kimia sebagai bahan tambahan
pada makanan berfungsi untuk memperlambat kerusakan makanan, baik yang
disebabkan oleh mikroba pembusuk, bakteri, ragi maupun jamur dengan cara
mencegah, menghambat, menghentikan proses pembusukan dan fermentasi dari
bahan makanan.
Penggunaan bahan pengawet dan pewarna buatan pada makanan dapat
membahayakan jika terakumulasi dalam tubuh. Bahan pengawet yang umum
digunakan pada produk-produk sosis serta produk olahan daging lainnya ialah nitrit.
Nitrit merupakan zat kimiawi buatan yang berguna untuk mengawetkan daging dan
produk olahan lainnya dengan mencegah pertumbuhan mikroba serta untuk
menghasilkan produk olahan daging yang memiliki warna yang lebih baik dan
menarik.
Namun,
penggunaan
natrium
nitrit
sebagai
pengawet
untuk
mempertahankan warna daging/sosis menimbulkan efek yang membahayakan
kesehatan, karena nitrit dapat berikatan dengan amino dan amida yang terdapat pada
protein daging membentuk turunan nitrosamin yang bersifat toksik. Nitrosamin
diduga merupakan salah satu senyawa yang dapat menyebabkan kanker.
Sebagai upaya untuk mencegah akibat buruk penggunaan bahan-bahan
kimiawi tersebut, dapat dimanfaatkan tanaman-tanaman yang berpotensi untuk
menggantikan bahan-bahan kimia tersebut. Tanaman bersifat alami, maka
kemungkinan timbulnya penyakit yang dapat menganggu kesehatan lebih kecil.
Tanaman-tanaman herbal dapat memberikan efek positif bagi kesehatan manusia.
Salah satu tanaman yang berpotensi sebagai bahan pengawet dan pewarna alami
ialah rosela dan angkak.
Kelopak bunga rosela mengandung zat warna antosianin dengan kadar yang
relatif tinggi, sehingga kelopak bunga rosela mempunyai potensi untuk dimanfaatkan
sebagai sumber zat warna alami untuk bahan pangan. Antosianin pada rosela
mengandung zat antioksidan yang dapat memperbaiki metabolisme tubuh dengan
menekan jumlah zat radikal bebas dalam tubuh. Beras merah cina atau angkak
merupakan pengawet dan pewarna makanan alami dan menyehatkan yang juga
dianggap sebagai obat berbagai macam penyakit. Selain keuntungan secara medis,
kedua jenis tanaman herbal tersebut juga mudah ditemukan dan dibeli, sehingga
ketersediaanya tidak akan menjadi kendala. Namun, kestabilan warna serta flavornya
yang agak berbeda dari sosis pada umumnya mungkin dapat menjadi salah satu
aspek yang perlu mendapat perhatian lebih.
Perlu dilakukan lagi penelitian terhadap efek yang mungkin didapat pada
produk akhir di samping semua keuntungan yang mungkin didapat dari penggunaan
tanaman-tanaman herbal yang telah disebutkan. Dengan mengaplikasikan tanaman
herbal tersebut pada produk sosis, diharapkan manfaat tanaman herbal tersebut dapat
berfungsi dengan maksimal. Perlu diteliti pula hubungannya dengan kualitas fisik
dan mikrobiologi dari produk sosis tersebut selama penyimpanan.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan kualitas fisik dan
mikrobiologi sosis frankfurter dengan penambahan jenis pengawet dan pewarna
alami yaitu rosela dan angkak selama masa penyimpanan sampai dua puluh hari.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Keamanan Pangan
Sesuai dengan Undang-undang RI N0. 7 tahun 1996, keamanan pangan
adalah suatu kondisi atau upaya untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran
biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan
membahayakan kesehatan manusia. Ruang lingkup keamanan pangan adalah bahaya
biologis (bahaya mikrobiologis), kimia dan fisik. Ketiga jenis bahaya ini menurut
Winarno (1997) akan selalu ada dalam industri katering, karena beragamnya bahan
baku yang berasal dari produk hasil peternakan dan pertanian yang berpotensi
sebagai tempat pertumbuhan mikroorganisme. Pengembangan sistem mutu dan
keamanan pangan disesuaikan dengan penerapan sistem jaminan mutu pangan untuk
setiap mata rantai dalam setiap proses.
Daging
Daging
merupakan
semua
jaringan
hewan
beserta
produk
hasil
pengolahannya yang dapat dimakan dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan
bagi yang memakannya. Otot hewan berubah menjadi daging setelah pemotongan
karena fungsi fisiologisnya telah berhenti. Otot merupakan komponen utama
penyusun daging. Daging juga tersusun atas jaringan ikat, epitel, jaringan-jaringan
saraf, pembuluh darah dan lemak (Soeparno, 2005).
Secara umum, kandungan gizi daging terdiri atas protein, air, lemak,
karbohidrat dan mineral (Aberle et al., 2001). Berbeda dengan daging segar, daging
olahan mengandung lebih sedikit protein dan air, serta lebih banyak lemak dan
mineral. Kenaikan persentase mineral daging olahan disebabkan penambahan
bumbu-bumbu dan garam, sedangkan kenaikan nilai kalorinya disebabkan
penambahan karbohidrat dan protein yang berasal dari biji-bijian, tepung dan susu
skim (Soeparno, 2005).
Sosis
Sosis adalah makanan yang dibuat dari daging yang digiling dan dibumbui
yang umumnya dibentuk menjadi bentuk yang simetris (Kramlich, 1973). Menurut
DSN (1995) sosis adalah produk makanan yang diperoleh dari campuran daging
halus (tidak kurang dari 75%) dengan tepung atau pati dengan atau tanpa
penambahan bumbu-bumbu dan bahan tambahan makanan lain yang diizinkan dan
dimasukan ke dalam selongsong sosis. Bahan baku yang digunakan untuk membuat
sosis terdiri dari bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama yaitu daging, es,
minyak, garam dan lemak. Sedangkan bahan tambahannya yaitu bahan pengisi,
bahan pengikat, bumbu-bumbu, bahan penyedap dan bahan makanan lain yang
diizinkan (bahan inovasi).
Istilah sosis berasal dari kata dalam bahasa latin “salsus”, yang memiliki arti
garam, sehingga sosis dapat diartikan sebagai daging giling yang diawetkan dengan
garam. Sosis didefinisikan sebagai makanan yang dibuat dari daging yang dicacah
serta dibungkus dalam casing menjadi bentuk silinder (Kramlich, 1973). Sosis
merupakan salah satu jenis emulsi, namun emulsi sosis bukanlah emulsi
sesungguhnya seperti mayonnaise atau emulsi minyak dalam air lainnya. Emulsi
sosis yang secara umum dimaksud oleh industri sosis adalah campuran daging yang
digiling halus, lemak, dan bumbu-bumbu. Lemak pada sosis dibungkus oleh protein
daging lean dengan struktur serupa dengan emulsi, walaupun bukan emulsi minyak
dalam air yang sesungguhnya. Protein larut garam, terutama myosin, diekstrak
dengan garam dan selama proses pencacahan membentuk sejenis emulsi yang
membungkus partikel lemak (Pearson dan Tauber, 1985). Komposisi nutrisi sosis
daging sapi menurut DSN (1995) dapat dilihat pada Tabel 1.
Daging yang banyak digunakan untuk membuat sosis adalah daging penutup ,
pendasar gandik, lemusir, pada depan, dan daging iga. Sebenarnya hampir semua
jenis daging dari bagian karkas dapat digunakan, namun karena perbedaan
kandungan lemak dan jaringan ikat tiap bagian daging maka penggunaannya
disesuaikan dengan mutu produk yang dihasilkan (Effie, 1980). Daging digunakan
sebagai bahan baku pada sosis karena memiliki daya ikat terhadap air dan memiliki
daya mengemulsi lemak. Bahan utama sosis ialah jaringan daging hewan selain
daging murni, juga ditambah daging berlemak untuk memberi rasa lezat. Jumlah
penambahan lemak dibatasi untuk mempertahankan tekstur selama pengolahan dan
penanganan (Wilson et al., 1981), yaitu tidak boleh lebih dari 30% bobot daging
(Kramlich, 1973).
4
Tabel 1. Komposisi Nutrisi Sosis Daging Sapi
Komposisi nutrisi
Persentase (%)
Air
Maks 67,0
Protein
Min 13,0
Abu
Maks 3,0
Lemak
Maks 25,0
Karbohidrat
Maks 8
Sumber: Dewan Standarisasi Nasional (1995)
Jumlah penambahan lemak dibatasi untuk mempertahankan tekstur selama
pengolahan dan penanganan (Wilson et al., 1981), yaitu tidak boleh lebih dari 30%
bobot daging (Kramlich, 1973). Proses pembutan sosis sapi dimulai dengan
penggilingan daging sapi yang telah dicacah menggunakan glinder. Menurut
Rust (1977), dalam proses pembuatan sosis, faktor kehalusan penggilingan
menentukan jenis sosis. Tahap selanjutnya dilakukan penggilingan dan pencampuran
bumbu dalam cutter. Proses pencampuran berfungsi sebagai proses homogenisasi
semua bahan-bahan yang digunakan untuk membuat adonan sosis. Alat yang
digunakan sebagai cutter bowl mixer. Tahap ini juga ditambahkan serpihan es atau
air dingin, garam dapur, bahan pengikat, dan bahan tambahan lainnya sehingga
terdistribusi merata (Kramlich, 1973).
Tahap ini ditambahkan serutan es yang bertujuan untuk menjaga suhu
penggilingan agar tetap dibawah 20 oC dan untuk mencegah pecahnya emulsi
(Tauber, 1977). Adonan yang telah terbentuk dimasukkan ke dalam casing dengan
alat filler. Penggunaan filler dimaksudkan untuk mempertahankan kestabilan emulsi
dan mengurangi terbentuknya kantong-kantong udara yang akan mempengaruhi
mutu sosis (Henrickson, 1978). Tahap pemasakan selain bertujuan untuk
menghasilkan jenis sosis masak, juga untuk mengurangi kandungan mikroba dan
membersihkan permukaan sosis (Girard, 1992).
Bahan-bahan dalam pembuatan sosis memiliki fungsi agar sosis memiliki
rasa yang berbeda dan lebih gurih dari yang beredar di pasaran pada umumnya.
Bahan tersebut diantaranya adalah minyak merupakan salah satu faktor yang penting
karena dapat menentukan aroma dan rasa selain itu juga dapat mempengaruhi
palatabilitas daging. Air es berfungsi untuk meningkatkan keempukan dan juice (sari
5
minyak) daging, melarutkan protein larut air, membentuk larutan garam untuk
melarutkan protein larut garam, sebagai fase kontinu dari emulsi daging, menjaga
temperatur
produk
serta
mempermudah
penetrasi
bahan-bahan
curing
(Soeparno, 2005).
Lemak merupakan bahan utama dalam emulsi daging karena lemak berperan
sebagai fase diskontinu pada emulsi sosis. Kadar lemak berpengaruh pada
keempukan dan jus daging. Emulsi dari lemak sapi cenderung lebih stabil karena
lemak sapi mengandung lebih banyak asam lemak jenuh. Sosis masak harus
mengandung lemak tidak lebih dari 30 % (Kramlich, 1973). Penambahan bumbu
pada pembuatan sosis terutama ditujukan untuk menambah atau meningkatkan
flavour. Garam dan merica merupakan bahan penyedap utama dalam pembuatan
sosis (Soeparno, 2005). Dalam beberapa hal bumbu juga bersifat sebagai
bakteriostatik dan antioksidan. Garam mempunyai sifat mendehidrasi dan mampu
mengubah tekanan osmotik, dengan demikian garam bisa mengurangi pertumbuhan
mikroba dan menjadikan daging olahan menjadi lebih awet (Pearson dan Tauber,
1985). Garam berfungsi untuk menambah citarasa, sebagai pengawet, dan juga
melarutkan protein.
Bahan Baku Pembuatan Sosis
Bahan baku yang digunakan untuk membuat sosis umumnya terdiri dari
bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama yaitu daging, es atau air es, garam,
dan lemak atau minyak, sedangkan bahan tambahan yaitu bahan pengisi, bahan
pengikat, bumbu-bumbu, bahan penyedap dan bahan makanan lain yang diizinkan.
Formulasi menurut Soeparno (2005) adalah menghasilkan daging proses dengan
penampakan yang kompak, cita rasa dan sifat fisik yang stabil serta seragam.
Penambahan bahan penyedap dan bumbu terutama ditujukan untuk menambah atau
meningkatkan flavour.
Bahan Pengisi
Bahan pengisi adalah bahan yang mampu mengikat sejumlah air tetapi
mempunyai pengaruh yang kecil terhadap emulsifikasi. Bahan pengisi berfungsi
memperbaiki stabilitas emulsi, memperbaiki sifat irisan, mengurangi proses
penyusutan selama proses pemasakan, peningkatan cita rasa dan mereduksi biaya
produksi. Bahan pengisi ternyata dapat meningkatkan daya mengikat air karena
6
mampu menahan air selama proses pengolahan dan pemanasan. Tepung dapat
mengabsorbsi air dua sampai tiga kali lipat dari berat semula. Contoh dari bahan
pengisi ialah tepung gandum dan tepung terigu (Soeparno, 2005). Tapioka adalah
pati yang berasal dari ekstra umbi ketela pohon yang telah mengalami pencucian dan
pengeringan. Tepung berpati sebagai bahan pengisi dapat digunakan untuk
meningkatkan daya mengikat air karena mempunyai kemampuan menahan air selama
proses pengolahan dan pemanasan. Disamping itu, tepung berpati dapat mengabsorbsi
air dua sampai tiga kali dari berat semula, sehingga adonan bakso menjadi lebih besar
(Ockerman, 1983). Salah satu bahan pengisi yang biasa digunakan dalam pembuatan
sosis adalah tepung tapioka.
Es atau Air Es
Fungsi air es adalah untuk meningkatkan keempukan dan juice (sari minyak)
daging, menggantikan sebagian air yang hilang selama proses pembuatan,
melarutkan protein yang mudah larut dalam air, membentuk larutan garam yang
diperlukan untuk melarutkan protein larut garam, berperan sebagai fase kontinu dari
emulsi daging, menjaga temperatur produk serta mempermudah penetrasi bumbu
pada saat curing (Soeparno, 2005). Menurut Kramlich (1973), pada proses
pembuatan sosis biasanya ditambahkan air dalam bentuk es sebanyak 20-30%.
Nitrit
Nitrit dan nitrat sebagai garam natrium atau kalium dipergunakan dalam
daging cured dengan tujuan untuk mengembangkan warna daging menjadi warna
merah muda terang, mempercepat proses curing (Soeparno, 2005). Fungsi utama
nitrit dalam pembuatan sosis adalah untuk memperbaiki warna daging. Perbaikan
warna daging, untuk sosis masak dianjurkan penggunaannya sebanyak 3-50 ppm
(Ockerman, 1983). Jumlah maksimum nitrit yang bisa ditambahkan dalam curing
daging adalah 62,8 g/100 Kg. Dosis nitrit yang lebih dari 15-20 mg/Kg berat badan
akan menimbulkan kematian (Aberle et al., 2001). Penggunaan natrium nitrit sebagai
pengawet untuk mempertahankan warna daging ternyata dapat menimbulkan efek
yang membahayakakan kesehatan. Nitrit dapat berikatan dengan amino dan amida
yang
menghasilkan
turunan
nitrosamin
yang
bersifat
karsinogenik
(Husni et al., 2007). Penambahan nitrit tidak terlalu mempengaruhi karakteristik
7
sensori, akan tetapi nitrit mempengaruhi proses oksidatif dan pembentukan
komponen volatil yang berasal dari mikroorganisme (Marco et al., 2006).
Garam
Garam merupakan komponen yang penting dalam pembuatan produk sosis.
Garam mempunyai fungsi (1) meningkatkan citarasa, (2) pelarut protein yaitu miosin
sehingga dapat menstabilkan emulsi daging, (3) sebagai pengawet, karena dapat
mencegah pertumbuhan mikroba sehingga memperlambat kebusukan dan (4) untuk
meningkatkan daya mengikat air yang biasanya dipadukan dengan alkali fosfat
(Buckle et al., 1987). Penggunaan garam bervariasi, umumnya 2-2,5% karena
penggunaan garam yang berlebihan dapat menyebabkan penyakit, salah satunya
adalah penyakit darah tinggi.
Sodium Tripolifosfat (STPP)
Tujuan utama penambahan fosfat yaitu untuk mengurangi kehilangan lemak
dan air selama pemasakan, pengalengan, atau penggorengan. Penambahan polifosfat
dalam bentuk kering rata-rata sekitar 0,3% (Wilson et al., 1981). Fungsi penambahan
alkali fosfat pada produk daging adalah (1) meningkatkan pH daging dan
mengakibatkan meningkatnya daya mengikat air, (2) fosfat dan garam mempunyai
fungsi sinergis sehingga mempengaruhi daya mengikat air, (3) dapat menurunkan
penyusutan makanan karena dapat mengurangi air yang hilang selama pemasakan,
(4) meningkatkan keempukan dan memudahkan pengirisan, (5) menstabilkan warna
dan keseragaman, (6) menghambat ketengikan karena fosfat memiliki sifat sebagai
antioksidan, dan (7) selain dapat meningkatkan mutu produk daging, harganya relatif
murah (De Freitas et al., 1997; Ockerman, 1983).
Lemak
Lemak atau minyak pada pembuatan sosis berfungsi untuk memberikan rasa
lezat, mempengaruhi keempukan dan juicenes daging dari produk yang dihasilkan.
Lemak menghasilkan fase dispersi (diskontinyu) dari emulsi daging sehingga lemak
merupakan komponen struktural utama. Lemak yang mengandung asam lemak jenuh
lebih mudah diemulsi daripada asam lemak tak jenuh. Sosis masak harus
mengandung lemak maksimum 30% (Kramlich. 1973).
8
Rosela
Rosela (Hibiscus sabdariffa Linn) adalah tanaman yang berkembang biak
dengan biji, bermanfaat untuk kesehatan antara lain meningkatkan stamina tubuh,
mengandung vitamin C dan mineral essensial yang cukup tinggi yang mampu
menangkal radikal bebas penyebab kanker (Maria dan Ramli, 2008). Wianti et al.,
(2008) menyebutkan bahwa kandungan senyawa kimia dalam kelopak bunga rosela
untuk TBC yaitu campuran asam sitrat dan asam malat 13%, anthocianin
(Hydroxyflavone) dan Hibiscin 2%, asam askorbat (vitamin C) 0,004%-0,005%,
protein (6,7% BS dan 7,9% BK), flavonol glucoside hibiscritin, flavonoid
gossypetine, hibiscetine dan sabdaretine, delphinidine 3-monoglucoside, cyanidin 3monoglucoside dan delphinidine. Dalam 100 g kelopak bunga rosela, mengandung
unsur-unsur, seperti berikut ini: kalori 49 kal, H2O 84,5%, protein 1,9 gr, lemak 0,1
gr, 12,3 g karbohidrat, serat 1,2 gr, kalsium 0,0172 gr, phospor 0, 57 gr, logam 0,029
gr, karotene B-3 gr, asam askorbat gr 0,14, abu 6,90 gr, 0117 mg thiamine dan
riboflavin 0,277 mg. Gambar kelopak bunga rosela dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kelopak Bunga Rosela
(Amanda dan Prima, 2008)
Penyimpanan ekstrak rosela selama tujuh hari pada suhu kamar menyebabkan
penurunan konsentrasi antosianin serta kenaikan nilai pH dari ekstrak rosela tersebut,
sedangkan penyimpanan ekstrak selama tujuh hari pada suhu dingin menyebabkan
kenaikan nilai pH tetapi tidak menyebabkan penurunan konsentrasi antosianin
(Retno et al., 1999). Bridle dan Timberlake (1996) menambahkan, warna merah dari
antosianin lebih baik atau cerah pada pH yang sangat rendah (pH<2). Pada nilai pH
di atas 3,5 warna merah dari antosianin mulai memudar. Adapun komposisi kimia
dari bunga Rosela jenis Hibiscuss Sabdariffa L dapat dilihat pada Tabel 2.
9
Tabel 2. Komposisi Kimia Bunga Rosela Jenis Hibiscuss Sabdariffa L dalam 100 g
Komposisi
Protein
Lemak
Serat
Kalsium
Fosfor
Besi
Karoten
Tiamin
Riboflavon
Niasin
Sumber : Amanda dan Prima (2008)
Jumlah
1,14 g
2,61 g
12,0 g
1,26 mg
273,2 mg
8,98 mg
0,029 mg
0,117 mg
0,277 mg
3,76 mg
Pigmen Angkak
Pigmen angkak merupakan pigmen yang dihasilkan oleh kapang, yang
digunakan sebagai zat pewarna makanan dan minuman di negara-negara Asia seperti
Cina, Jepang, Taiwan, Filipina dan Indonesia (Sutrisno, 1987). Angkak dapat dilihat
pada Gambar 2.
Gambar 2. Beras Merah Cina atau Angkak
(Kasim et al., 2005)
Pigmen angkak dapat diproduksi dengan cara fermentasi media padat maupun
dengan cara menggunakan sistem fermentasi media cair (Wong dan Koehler, 1981).
Secara tradisoinal, umumnya pembuatan angkak dilakukan dengan sistem fermentasi
media padat, karena tekniknya lebih sederhana dan praktis. Menurut Palo et al.
(1960), suhu optimum untuk memproduksi pigmen angkak adalah 27 oC dengan
kisaran 20 oC-37 oC. Produksi pigmen Monascus purpureus dapat pula dihasilkan
dengan menggunakan sumber karbon selain beras seperti gadung, kentang, ganyong,
seweg, ubi jalar, gaplek dan tapioka. Tabel 3 berikut ini menyajikan komposisi
kimiawi dari angkak.
10
Tabel 3. Komposisi Kimiawi Angkak
Kandungan
Air
Pati
Nitrogen
Protein kasar
Lemak kasar
Abu
Sumber : Steinkraus (1983)
Jumlah (%)
7-0
53-60
2,4-2,6
15-16
6-7
0,9-1
Angkak dapat dijadikan pewarna makanan yang baik, tetapi sebelumnya
perlu diperhatikan pula kondisi fermentasinya untuk menghasilkan pigmen angkak
yang
baik,
serta
sedikit
atau
tidak
mengandung
citrinin
sama
sekali
(Pattanagul et al, 2007). Masalah utama dalam penggunaan zat pewarna alami
adalah stabilitas pigmen. Pewarna alami sangat sensitif terhadap suhu, cahaya,
keasaman, udara dan perubahan aktivitas air (Wong dan Koehler, 1981). Menurut
Sutrisno (1987), pigmen angkak yang diproduksi oleh Monascus sp ini sedikit larut
dalam air dan kurang stabil terhadap pengaruh-pengaruh fisika dan kimia. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pigmen angkak yang dimodifikasi dengan
menggunakan asam amino asetat, asam p-amino benzoat dan asam glutamat lebih
stabil terhadap pengaruh fisik dan kimia serta kelarutan yang lebih baik dalam air.
Sutrisno (1987) telah melakukan penelitian terhadap sifat fisik pigmen
angkak. Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitiannya adalah pigmen angkak
yang dipengaruhi oleh sinar matahari, sinar ultraviolet, pH, suhu dan indikator.
Pengaruh suhu akan menyebabkan zat warna mengalami dekomposisi dan berubah
strukturnya, sehingga dapat terjadi pemucatan. Pigmen angkak paling stabil pada
pH 9,2 bila dibandingkan dengan pH 7 dan pH 3. pemanasan pada suhu 100oC
selama satu jam tidak mengakibatkan kerusakan yang nyata terhadap pigmen
angkak.
Sifat Antimikroba Pigmen Angkak
Hasil penelitian Fardiaz et al. (1996), yang melakukan serangkaian
pengujian toksisitas pigmen angkak yang diproduksi dari limbah cair tapioka
terhadap jenis tikus wistar, terlihat bahwa pemberian pigmen angkak sampai dosis
tertinggi yaitu 3,913 g/kg selama 4 minggu tidak menyebabkan pembengkakan
11
hati, ginjal, dan pankreas. Selain itu, dari hasil pengujian imunogenisitasnya,
pigmen angkak yang dihasilkan dari limbah cair tapioka tidak menyebabkan
ketidakabnormalan sel limfosit, yang berarti tidak mengganggu sistem kekebalan.
Jenie dan Kuswanto (1994) telah membuktikan pada penelitiannya bahwa
pigmen angkak dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen, yaitu B. Cereus
dan bakteri perusak Pseudomonas sp. Selanjutnya sifat antimikroba dari pigmen
angkak ini diterapkan oleh Justiawan (1997) dengan kesimpulan konsentrasi
pigmen angkak 7,5 g cukup efektif dalam menghambat pertumbuhan sel bakteri
B. Stearothermophilus bahkan konsentrasi 40 ppm nitrit yang dimodifikasi dengan
5,0 g angkak lebih baik penghambatannya daripada konsentrasi 125 ppm nitrit.
Pigmen Angkak Sebagai Bahan Pewarna Sosis
Warna merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat
kualitas dari sosis. Intensistas warna dapat dihasilkan diantaranya dari konsentrasi
larutan curing (Shehata et al., 1998). Penggunaan nitrit dalam pengolahan
makanan telah lama dilakukan yaitu sebagai senyawa ”curing” terutama untuk
produk-produk olahan daging. Awalnya nitrit digunakan untuk memperoleh warna
merah pada daging, sebagai bahan pengawet dan sebagai bahan pembentuk faktorfaktor sensori (warna, aroma dan citarasa). Nitrit dapat berikatan dengan amino
dan amida dalam protein daging dan membentuk turunan nitrosamin. Perhatian
terhadap nitrosamin meningkat pada awal tahun enampuluhan, mengikuti suatu
bencana penyakit hati berat pada biri-biri di Norwegia, yang menunjukkan bahwa
biri-biri menjadi sakit setelah mengkonsumsi tepung ikan yang diawetkan dengan
nitrit (Muchtadi, 1987).
Menteri kesehatan telah mengeluarkan peraturan mengenai penggunaan
nitrat dan nitrit dalam daging yang diawetkan. Menurut standar USDA (2000),
batas maksimum nitrit (dalam bentuk NaNO2) yang digunakan untuk sosis masak
adalah 156 ppm (Justiawan, 1997). Hasil
penelitian
Fabre
et
al.
(1993)
menyatakan bahwa pigmen angkak dapat mewarnai sosis. Semakin banyak pigmen
angkak yang ditambahkan, maka intensitas warna merah sosis semakin tinggi.
Selain itu dijelaskan lebih lanjut bahwa penambahan angkak justru memperbaiki
tekstur dan flavour.
12
Pengujian angkak sebagai subtitusi nitrit pada sosis daging sapi telah
dilakukan oleh Justiawan (1997). Hasil pengujian organoleptik menunjukkan dari
segi warna dan penampakan penelis lebih menyukai sosis daging sapi dengan
jumlah penambahan angkak 2,5 g/kg daging. Hasil penelitian Justiawan (1997)
dijadikan sebagai acuan dalam penelitian ini untuk menentukan jumlah angkak
yang ditambahkan dalam formulasi.
Pembuatan Sosis
Proses pembutan sosis sapi dimulai dengan penggilingan daging sapi yan
telah dicacah menggunakan glinder. Dalam proses pembuatan sosis, faktor kehalusan
penggilingan menentukan jenis sosis (Rust, 1977). Tahap selanjutnya dilakukan
penggilingan dan pencampuran bumbu dalam cutter. Proses pencampuran berfungsi
sebagai proses homogenisasi semua bahan-bahan yang digunakan untuk membuat
adonan sosis. Alat yang digunakan sebagai cutter bowl mixer. Tahap ini juga
ditambahkan serpihan es atau air dingin, garam dapur, bahan pengikat, dan bahan
tambahan lainnya sehingga terdistribusi merata (Kramlich, 1973). Tahap ini
ditambahkan serutan es yang bertujuan untuk menjaga suhu penggilingan agar tetap
dibawah 20 oC dan untuk mencegah pecahnya emulsi (Tauber, 1977).
Adonan yang telah terbentuk dimasukkan ke dalam casing dengan alat filler.
Penggunaan filler dimaksudkan untuk
mempertahankan kestabilan emulsi dan
mengurangi terbentuknya kantong-kantong udara yang akan mempengaruhi mutu
sosis (Henrickson, 1978). Tahap pemasakan selain bertujuan untuk menghasilkan
jenis sosis masak, juga untuk mengurangi kandungan mikroba dan membersihkan
permukaan sosis (Girard, 1992).
Umur Simpan
Umur simpan adalah rentang waktu antara produk mulai dikemas atau
diproduksi sampai digunakan dengan mutu yang memenuhi syarat untuk dikonsumsi.
Kerusakan pangan diukur laju degradasinya dengan menggunakan model matematis
tertentu (Labuza, 1982). Penyimpangan produk dari mutu awalnya disebut
deteriorasi. Produk pangan mengalami deteriorasi segera setelah diproduksi. Reaksi
deteriorasi dimulai dengan persentuhan produk dengan udara, oksigen, uap air,
cahaya atau akibat perubahan suhu. Reaksi ini juga dapat diawali oleh hentakan
mekanis seperti vibrasi dan kompresi (Arpah, 2001). Tingkat kerusakan produk
13
dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan, sedangkan laju kerusakan dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan penyimpanan. Reaksi deteriorasi pada produk pangan dapat
disebabkan oleh faktor intrinsik maupun ekstrinsik yang selanjutnya akan memicu
reaksi di dalam produk berupa reaksi kimia, reaksi enzimatis atau lainnya seperti
proses fisika dalam bentuk penyerapan uap air atau gas dari sekeliling. Ini akan
menyebabkan perubahan-perubahan terhadap produk yang meliputi: perubahan
tekstur, flavor, warna, penampilan fisik, nilai gizi dan lain-lain (Arpah, 2001).
Pengaruh beberapa faktor terhadap reaksi kerusakan pada produk pangan disajikan
pada Tabel 4.
Tabel 4. Pengaruh Beberapa Faktor dan Efek Deterioratif Pada Pangan
Faktor Utama
Efek Deterioratif
Oksigen
Oksidasi lipida
Kerusakan vitamin
Kerusakan protein
Oksidasi pigmen
Uap air
Kehilangan/kerusakan vitamin
Perubahan organoleptik
Oksidasi lipida
Cahaya
Oksidasi
Pembentukan bau/perubahan flavor
Kerusakan vitamin
Kompresi/bantingan,
vibrasi,
abrasi, penanganan secara kasar
Perubahan organoleptik
Kebocoran pada pengemas
Bahan kimia toksik/bahan kimia
off-flavor
Off-flavor
Perubahan organoleptik
Perubahan kimia
Pembentukan racun
Kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik yang
disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh otooksidasi radikal asam lemak
tidak jenuh dalam lemak. Otooksidasi dimulai dengan pembentukan radikal-radikal
bebas yang disebabkan oleh faktor-faktor yang dapat mempercepat reaksi seperti
cahaya, panas, peroksida lemak atau hidroperoksida, logam-logam berat seperti Cu,
Fe, Co dan Mn serta enzim-enzim lipooksidase (Winarno, 1997).
Penyimpangan-penyimpangan ini menyebabkan produk pangan tidak
menyerupai tekstur seperti aslinya pada awal produksi. Tergantung pada tingkat
deteriorasi yang berlangsung. Perubahan tersebut dapat menyebabkan produk pangan
14
tidak dapat lagi digunakan untuk tujuan seperti yang seharusnya atau bahkan tidak
dapat dikonsumsi sehingga dikategorikan sebagai bahan kadaluarsa (Arpah, 2001).
Menurut Syarief et al. (1989), penentuan umur simpan bahan pangan dapat
dilakukan dalam tiga metode yaitu metode konvensional, metode akselerasi kondisi
penyimpanan dan metode nilai paruh waktu (half value point). Metode konvensional
menitikberatkan pada pengaruh kadar air dan perubahan yang terjadi pada produk
yang dikemas dengan RH beragam. Metode akselerasi kondisi penyimpanan
dilakukan dengan pengamatan kenaikan atau penyusutan berat produk yang dikemas
dengan menggunakan berbagai jenis kemasan, sedangkan metode nilai paruh waktu
juga memperhitungkan kadar air yang diserap pengemas dan kadar air kritis produk.
Persamaan Arrhenius menunjukkan ketergantungan laju reaksi deteriorasi terhadap
suhu. Keadaan suhu ruang penyimpanan sebaiknya tetap dari waktu ke waktu, tetapi
seringkali keadaan suhu penyimpanan berubah-ubah (Syarief dan Halid, 1993).
Pengaruh Pembekuan dan Penyimpanan Dingin pada
Pertumbuhan Mikroorganisme
Perubahan
kualitas
daging
beku
sangat
minimal
pada
temperatur
penyimpanan -18 oC, sehingga temperatur pembekuan ini digunakan sebagai dasar
penyimpanan beku. Penyimpanan beku pada temperatur di bawah -10 oC akan sangat
menurunkan
dan
menghambat
pertumbuhan
mikroorganisme
pembusuk
(Soeparno, 2005). Pertumbuhan mikroorganisme pada makanan pada suhu di bawah
kira-kira -12 oC belum dapat diketahui dengan pasti. Jadi penyimpanan makanan
beku pada suhu sekitar -18 oC dan di bawahnya akan mencegah kerusakan
mikrobiologis, dengan persyaratan tidak terjadi perubahan suhu yang besar.
Mikroorganisme psikofilik mempunyai kemampuan untuk tumbuh pada suhu
lemari es, terutama di antara 0 oC dan 5 oC. Jadi penyimpanan yang lama pada suhusuhu ini dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan oleh mikroorganisme. Walaupun
jumlah mikroba biasanya menurun selama pembekuan dan penyimpanan beku
(kecuali spora), makanan beku tidak steril dan seringkali cepat membusuk.
Pembekuan dan penyimpanan makanan beku juga mempunyai pengaruh nyata pada
kerusakan sel mikroba. Jika sel yang rusak atau luka tersebut mendapat kesempatan
menyembuhkan dirinya, maka pertumbuhan yang cepat akan terjadi jika lingkungan
sekitarnya memungkinkan (Buckle et al., 1987).
15
Berdasarkan temperatur maksimum dan optimum untuk pertumbuhan,
mikroorganisme dibagi menjadi 3 kelompok yaitu mesophylles yang tumbuh pada
suhu optimum antara 15 oC sampai 40 oC, sedangkan thermophylles tumbuh
optimum pada suhu 45 oC sampai 60 oC dan psychrophillic tumbuh optimum pada
suhu -1 sampai 3 oC. pertumbuhan bakteri pada dan di dalam daging dapat di bagi
menjadi 4 fase, yaitu fase lag, fase pertumbuhan logaritmik, fase konstan dan fase
kematian.
Berdasarkan definisi pembekuan atau penyimpanan beku daging, pembekuan
dilaksanakan pada suhu dimana mikroorganisme tidak dapat tumbuh dan pada suhu
dimana daging dalam kondisi yang cukup keras dan tahan pada penimbunan. Dalam
pelaksanaannya ialah penggunaan suhu di bawah -15 oC. Dalam tubuh hewan yang
masih hidup terdapat suatu mekanisme organisme biologi tertentu yang tidak
berfungsi lagi setelah hewan mati, dan yang akan mengakibatkan enzim pencernaan
akan menyerang jaringan tubuh (Desroisier, 1988).
Kerusakan yang menyebabkan penurunan mutu daging segar terutama
disebabkan oleh mikroorganisme. Mikroorganisme yang masuk ke dalam daging
hewan yang telah mati berasal dari daerah sekitarnya dan terjadi mulai dari saat
pemotongan hewan serta pada proses penanganan lebih lanjut. Dalam daging, bakteri
tumbuh dan berkembang biak dengan baik dan untuk itu bakteri mengambil
kebutuhan pangannya dari daging yang setempat. Tingkat kerusakan daging
tergantung dari tingkat kebutuhan bahan pangan (nutrisi) bakteri. Kebanyakan
bakteri termasuk bakteri pembusuk daging dari genus pseudomonas, mempunyai
kebutuhan energi tingkat menengah. Temperatur pembekuan dan pendinginan
sebenarnya tidak jauh berbeda, suhu pembekuan yaitu -15 oC. Ini dapat mengurangi
bahaya dari bakteri pathogen dan memperlambat pertumbuhan dan pembusukan yang
terjadi karena mikroorganisme. Kebanyakan bakteri patogen termasuk Pseudomonas
sp, adalah bakteri yang paling menonjol pada permukaan daging, pada penyimpanan
dingin dan beku pada penyimpanan daging. Jika pendinginan dilakukan dengan cepat
di bawah suhu 10 oC sebelum pH di otot menjadi 6, maka serat pada otot akan
berkontraksi dan daging akan mengeras pada saat pemasakan (USDA, 2000).
Daging seperti bahan biologis yang lain, tidak mempunyai titik beku tertentu,
akan tetapi mempunyai kisaran titik beku, jumlah air yang terdapat sebagai es
16
ditentukan oleh rendahnya suhu. Jadi pada suhu 0 oC belum terdapat es, pada suhu
-10 oC kira-kira 83% beku dan baru pada suhu -40 oC semua air yang ada membeku
pada titik beku. Menurut Buckle et al. (1987), daging yang dibekukan mengalami
kerusakan yang lambat selama penyimpanan beku, terutama yang disebabkan oleh
oksida lemak, dapat mempengaruhi rasa terutama pada daging yang mengandung
banyak lemak. Lama penyimpanan dingin (≤0 oC) dari produk segar dan sudah
dimasak ditampilkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Penyimpanan Dingin untuk Produk Segar dan Sudah Dimasak
Produk
Lama Waktu Penyimpanan
Unggas
1 atau 2 hari
Daging sapi, daging kambing
3 sampai 5 hari
Hari, otak, jantung (organ bagian dalam)
Daging
yang
telah
diasinkan,
dimasak
1 atau 2 hari
5 sampai 7 hari
sebelum dimakan
Sosis, kalkun yang belum dimasak
1 sampai 2 hari
Telur
3 sampai 5 hari
Sumber: USDA (2000)
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mempertahankan keawetan daging,
diantaranya adalah pendinginan. Menurunkan suhu penyimpanan dapat berdampak:
(1) berkurangnya pertumbuhan mikroorganisme dan (2) melambatnya aktifitas
fisiologis pada jaringan tumbuhan dan aktivitas metabolisme dari jaringan hewan
post-mortem. Penyimpanan dingin biasanya dilakukan untuk mengontrol beberapa
komponen seperti suhu, kelembaban (RH), kecepatan udara, komposisi udara, dll
(Ramaswamy dan Marcotte, 2006). Pendinginan akan dapat mempertahankan
kesegaran serta dapat memperpanjang masa simpan suatu bahan pangan
(Desroisier, 1988). Heldman dan Singh (1988) menyatakan bahwa semakin rendah suhu
lingkungan, aktivitas mikroorganisme serta sistem enzim menjadi semakin
berkurang. Penyimpanan dengan cara pendinginan menggunakan suhu yang tidak
begitu juah dibawah suhu pembekuan dan biasanya melibatkan sistem pendinginan
dengan es atau refrigerasi mekanik. Cara ini digunakan sebagai pengawetan utama
17
untuk bahan pangan atau untuk pengawetan sementara sampai proses pengawetan
lebih lanjut dilakukan (Frazier, 1967).
Penyimpanan karkas atau daging pada suhu dingin, meskipun dalam waktu
yang singkat diperlukan untuk mengurangi kontaminasi atau untuk mengendalikan
kerusakan dan perkembangan mikroorganisme. Kemungkinan kerusakan daging atau
karkas selama masa penyimpanan dingin dapat diperkecil dengan cara menyimpan
karkas dalam bentuk yang belum dipotong-potong (Soeparno, 2005). Pada
umumnya, makin besar ukuran karkas dan lemak eksternal, makin lama waktu yang
dibutuhkan untuk pendinginan pada suhu kecepatan udara pendingin tertentu
(Bouton et al., 1978). Suhu, kecepatan udara dan kelembaban merupakan parameter
penting yang mempengaruhi kekeringan/ pengeringan produk. Semakin tinggi suhu
udara semakin cepat proses pengeringan. Semakin cepat aliran angina akan
memperlambat proses pengeringan. Menurut Ramaswamy dan Marcotte (2006)
ukuran, bentuk dan luas permukaan produk sangat mempengaruhi kekeringan serta
kecepatan kering produk.
Sifat Fisik Sosis
Daya Serap Air (DSA)
Muchtadi dan Sugiono (1992), menyatakan bahwa daya serap air (DSA)
menunjukan kemampuan daging untuk mengikat air bebas. Sifat ini sangat penting
dalam pembuatan produk emulsi daging, seperti sosis dan bakso. Produk sosis dan
bakso diperlukan DSA yang tinggi.
Menurut Ellinger (1972), keberadaan air dalam daging mempengaruhi susut
berat, sifat kekerasan dan kekenyalan. Natrium Chlorida (NaCl) mempunyai peranan
untuk meningkatkan mutu, menekan susut berat dan daya mengikat air terutama pada
penggunaan daging segar. Semakin tinggi konsentrasi NaCl yang digunakan terjadi
peningkatan daya mengkat air.
Derajat Keasaman (pH)
Nilai pH merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui dalam setiap
pembuatan produk olahan daging. Nilai pH dipengaruhi oleh bahan-bahan yang
digunakan dalam produk tersebut terutama daging yang digunakan. Nilai pH
berpengaruh terhadap sifat-sifat produk yang dihasilkan, yaitu masa simpan, DMA,
tekstur, stabilitas emulsi, kekenyalan, dan warna produk (Indriyani, 2007).
18
Kekenyalan
Faktor yang mempengaruhi kekenyalan daging digolongkan menjadi faktor
antemortem (genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, dan umur) dan
faktor postmortem (metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, dan pH
daging). Bertambahnya penggunaan tapioka menjadikan sosis lebih kenyal
(Gadiyaram dan Kannan, 2004). Menurut Moedjiharto (2003) pembentukan
kekenyalan berkaitan dengan daya elastisitas dan berhubungan dengan kemampuan
pengikatan air oleh pati dan kelarutan protein miosin, campuran dengan lemak, gula,
garam, dan pati.
Sifat Organoleptik
Sifat mutu subjektif pangan disebut organoleptik atau indrawi karena
penilaiannya menggunakan organ indra manusia. Kadang-kadang juga disebut sifat
sensorik karena penilaiannya berdasarkan pada rangsangan sensorik pada organ
indra. Palatabilitas panelis dapat ditujukan melalui uji organoleptik yang meliputi
warna, rasa, aroma, kekenyalan, dan tekstur (Soekarto, 1990).
Bakteri Patogen
Bakteri yang dapat digunakan untuk menguji aktivitas antibakteri pada bahan
pangan meliputi bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Mikroba-mikroba
tersebut dapat digolongkan dalam mikroba bakteri perusak. Mikroba yang dapat
menyebabkan keracunan dan infeksi saat ikut terkonsumsi disebut mikroba patogen.
Escherichia coli
E. coli tergolong dalam famili Enterobacteriaceae dan termasuk bakteri gram
negatif, berbentuk batang dengan ukuran panjang 2,0-6,0 mikrometer, E. coli
terdapat dalam bentuk tunggal atau berpasangan, bersifat motil atau non motil.
Aktivitas air (aw) minimum yang memungkinkan pertumbuhan E. coli adalah antara
0,95 sampai 0,96 (Fraizer dan Westhoff, 1998).
E. coli merupakan flora normal yang hidup dalam saluran pencernaan
manusia dan hewan. Sel bakteri ini terdapat pada feses dan air yang terkontaminasi
oleh feses. Bakteri ini stabil dalam medium yang mengandung glukosa, amonium
19
sulfat dan sedikit garam mineral (Salle, 1961). Gambar bakteri E. coli dapat dilihat
pada Gambar 3.
Gambar 3. Escherichia Coli
(http://www.lintasberita.com/go/226395)
Bakteri Asam Laktat
Bakteri asam laktat (BAL) merupakan mikroflora normal yang berada dalam
daging yang dapat disebabkan oleh terdapatnya kontaminasi selama pengolahan.
Bakteri asam laktat dapat memfermentasi karbohidrat menjadi asam laktat sehingga
dapat menyebabkan turunnya pH daging. Turunnya pH daging dapat membantu
menekan pertumbuhan bakteri patogen pembusuk yang ada (Fardiaz, 1992). Bakteri
asam laktat termasuk bakteri gram positif, tidak berspora, selnya berbentuk batang
atau bulat, baik tunggal, berpasangan maupun berantai dan kadang berbentuk tetrad
(Banwart, 1983).
Menurut Jay (1996), bakteri asam laktat bersifat mesofilik dan termofilik,
beberapa dapat tumbuh pada suhu 5 oC dan suhu maksimum 45 oC, dapat bertahan
pada pH 3,2 dan pada pH yang lebih tinggi 9,6 serta beberapa bakteri asam laktat
dapat tumbuh pada kisaran pH yang sangat sempit (4,0-4,5). Bakteri asam laktat
menghasilkan beberapa senyawa antimikroba berupa asam-asam organik berupa
asetat, asam laktat dan karbondioksida (Ouwehand, 1998). Selain itu juga dihasilkan
hidrogen peroksida dan senyawa diasetil serta senyawa-senyawa reuterin dan 2pirolidon-5asam karboksilat, sehingga efektif dalam menghambat bakteri.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroorganisme
Faktor Intrinsik
Kandungan Nutrisi. Mikroorganisme membutuhkan nutrisi untuk kehidupan dan
pertumbuhannya yaitu sebagai sumber karbon, nitrogen, energi dan faktor
pertumbuhan yaitu mineral dan vitamin. Nutrisi tersebut dibutuhkan untuk
20
membentuk energi dan menyusun komponen-komponen sel (Jay, 2000). Ray (2004)
menyatakan bahwa pertumbuhan mikroorganisme disempurnakan melalui sintesis
komponen-komponen sel dan energi. Kebutuhan akan nutrisi proses tersebut berasal
dari lingkungan yang dekat dengan sel-sel mikroorganisme. Sel-sel tersebut apabila
tumbuh, maka akan mensuplai nutrisi. Nutrisi-nutrisi ini terdiri atas karbohidrat,
protein, lemak, mineral dan vitamin.
Nilai pH dan TAT (Total Asam Tertitrasi). Nilai pH medium sangat
mempengaruhi jenis mikroorganisme yang dapat tumbuh. Mikroorganisme
umumnya dapat tumbuh pada kisaran pH 3-6. Kebanyakan bakteri memiliki pH
optimum yaitu pH untuk pertumbuhan maksimum sekitar 6,5-7,5 (Fardiaz, 1992).
Pengukuran TAT adalah jumlah hidrogen total (dalam bentuk terdisosiasi dan tidak
terdisosiasi), sedangkan dalam pengukuran pH yang terukur adalah jumlah ion
hidrogen dalam bentuk terdisosiasi. Pengontrolan terhadap nilai TAT dan pH
merupakan suatu parameter yang penting, karena adanya perubahan nilai TAT dan
pH pada bahan pangan akan mempengaruhi kualitas bahan pangan tersebut. Nilai pH
dan TA dipengaruhi oleh produksi asam laktat dan asam organik lainnya sehingga
hasil metabolisme starter terhadap karbohidrat daging. Varnam dan Sutherland
(1995) menyatakan bahwa pembentukan asam laktat tergantung pada tingkat
aktivitas mikroba yang digunakan.
Aktivitas Air (aw). Adalah jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroba
untuk pertumbuhannya (Syarief dan Halid, 1993). Kandungan air suatu bahan tidak
dapat digunakan sebagai indikator nyata dalam menentukan ketahanan simpan suatu
produk pangan. Ray (2004) menambahkan, bahwa aktivitas air merupakan
pengukuran ketersediaan air untuk menjalankan fungsi-fungsi biologis. Aktivitas air
berkaitan dengan keberadaan air dalam bahan pangan dalam bentuk bebas. Air yang
terkandung dalam bahan pangan, apabila terikat kuat dengan komponen bukan air
lebih sukar digunakan baik untuk aktivitas mikrobiologis maupun aktivitas kimia
hidrolitik. Fardiaz (1992) menyatakan bahwa mikroorganisme memiliki aw minimal
yang berbeda.
Komponen Antimikroba. Bahan pangan kemungkinan dapat mengandung
komponen-komponen yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme.
21
Komponen antimikroba tersebut terdapat dalam bahan pangan melalui beberapa cara,
yaitu: (1) terdapat secara alamiah di dalam bahan pangan, (2) ditambahkan dengan
sengaja ke dalam bahan pangan dan (3) terbentuk selama pengolahan atau oleh jasad
renik yang tumbuh selama fermentasi bahan pangan (Fardiaz, 1992). Bakteri asam
laktat dapat menghasilkan bakteriosin yang dapat menghambat petumbuhan bakteri
patogen atau pembusuk (Ray, 2004). Proliferasi mikroorganisme dapat dipenaruhi
oleh komponen penghambat. Bahan-bahan yang dapat menghambat aktivitas
mikroorganisme
disebut
bacteriostat,
sedangkan
yang
dapat
membunuh
mikroorganisme disebut bactericide (Marriott, 1989).
Faktor Ekstrinsik
Suhu. Marriott (1989) menyatakan bahwa mikroorganisme memiliki suhu optimum,
minimum dan maksimum. Suhu di bawah minimum dan di atas maksimum, aktivitas
enzim akan berhenti atau bahkan terdenaturasi pada suhu yang terlalu tinggi.
Menurut Fardiaz (1992) suhu tempat suatu bahan pangan disimpan berpengaruh
besar
terhadap
mikroorganisme
yang
dapat
tumbuh
serta
kecepatan
pertumbuhanannya.
Kelembaban Relatif (RH). Kelembaban relatif merupakan faktor ekstrinsik yang
mempengaruhi pertumbuhna mikroorganisme dan dipengaruhi oleh suhu. Semua
mikroorganisme memiliki kebutuhan air yang tinggi untuk mendukung pertumbuhan
dan aktivitasnya. RH yang tinggi dapat menyebabkan uap air terkondensasi pada
makanan, peralatan, dinding dan langit-langit ruangan. Kondensasi tersebut dapat
menyebabkan permukaan menjadi lembab atau basah, sehingga kondusif bagi
pertumbuhan mikroorganisme dan kerusakan (Marriott, 1989). RH optimal bagi
bakteri adalah 92% atau lebih, sedangkan khamir membutuhkan 90% atau lebih, dan
kapang membutuhkan RH yang lebih kecil yaitu 85%-90%.
22
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ternak Ruminansia Besar dan
Laboratorium Pusat Antar Universitas (PAU), Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Pelaksanaan penelitian dilakukan dari bulan Juli sampai Agustus 2010.
Materi
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging sapi segar
bagian gandik, tepung tapioka, susu skim, minyak sayur, es batu, bawang putih,
STPP, lada bubuk, pala bubuk, garam, rosela bubuk dan angkak bubuk. Untuk
analisa mikrobiologi, bahan yang digunakan adalah plate count agar (PCA), Eosyn
Methylen Blue Agar (EMBA) dan deMan Ragosa Sharp Agar (MRSA).
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain food processor merk
national, termometer, kompor, wadah plastik, timbangan digital merk mettler, pisau,
label, spatula, sendok, chiller, tali kasur dan lemari pendingin. Alat untuk analisis
fisik meliputi Warner Bratzler Meat Shear untuk mengukur keempukan, pH meter
dan sentrifuse serta tabung eppendorf (untuk uji daya mengikat air). Alat yang
digunakan untuk analisis mikrobiologi adalah tabung reaksi, pipet volumetrik, pipet
10 ml, kapas, aluminium foil, karet gelang, tabung scott, mikro pipet, tip, jarum ose,
cawan Petri, autoclave, bunsen, alat sentrifuge Hettich Zentrifugen 6000 rpm,
kantong plastik tahan panas (HDPE), termometer dan inkubator.
Rancangan
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan
dua faktor, faktor pertama yaitu perbedaan jenis pengawet dengan 2 taraf perlakuan
yaitu sosis dengan kombinasi rosella : angkak = 1 %:0,75% dan kontrol (nitrit), dan
faktor kedua adalah lama penyimpanan (0, 10 dan 20 hari) pada suhu dingin
4oC±1oC. Setiap perlakuan dilakukan dengan 3 kali ulangan.
Model Matematika yang digunakan pada penelitian ini adalah :
Yijk = μ + Si + Pj + SPij + ε ijk
Keterangan :
Yijk
μ
= variabel respon jenis bahan pengawet ke-i dan lama penyimpanan
ke-j pada ulangan ke-k
= nilai tengah umum
Si
= pengaruh jenis bahan tambahan pengawet ke-i terhadap kualitas
sosis.
Pj
= pengaruh lama penyimpanan ke-j terhadap kualitas sosis
SPij
= pengaruh interaksi antara kombinasi rosella dan angkak ke-i
dengan lama penyimpanan ke-j
εijk
= pengaruh galat percobaan pada unit percobaan ke-k dalam
kombinasi perlakuan ke-ij.
Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan Analysis of
Variance dan dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (Steel dan Torrie, 1997).
Prosedur
Pembuatan Rosela Bubuk dan Angkak Bubuk
Pertama-tama kelopak bunga rosela yang telah kering digerus hingga halus
seperti bubuk halus. Bubuk angkak diperoleh dari beras merah Cina yang telah
difermentasi oleh bakteri Monascus purpureus dalam bentuk serbuk. Perbandingan
komposisi antara rosela dan angkak pada adonan sosis adalah sebesar 1% rosela
bubuk dengan angkak bubuk 0,75%. Penentuan jumlah angkak bubuk pada
penelitian ini berdasarkan acuan dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya
oleh Justiawan (1997), yang menyatakan bahwa dari hasil pengujian organoleptik
menunjukkan dari segi warna dan penampakan panelis lebih menyukai sosis daging
sapi dengan jumlah penambahan 2,5g/kg.
Proses Pembuatan Sosis Frankfurter dan Pengamatan selama Penyimpanan
Pembuatan sosis frankfurter dimulai dari penyiapan daging sapi segar dan
dilakukan pemisahan dari lemak (trimming). Daging yang telah dibersihkan dipotong
kecil-kecil dan dimasukkan ke dalam grinder bersama bahan es, sehingga
memudahkan dalam penghancuran daging dan menjaga suhu daging sapi sehingga
stabilitas. Selengkapnya dapat di lihat pada Gambar 4.
Setelah proses pembuatan sosis frankfurter selesai dilanjutkan dengan
penyimpanan sosis selama tiga puluh hari pada refrigerator dengan suhu 4 oC. Proses
analisis dilakukan setiap 10 hari, yaitu dimulai pada hari ke-0 (sosis yang baru
selesai dibuat langsung dianalisis), lalu analisis dilakukan lagi pada hari ke 10 dan
20.
24
300 g daging dibersihkan lemak permukaannya, dipotong kecil-kecil, kemudian
dimasukkan ke dalam food processor
Ditambahkan 15% es batu,
lemak 30% dan 0,5% STPP
Penggilingan 1 selama 30 detik
Ditambahkan 15% es batu,5%
tepung tapioka, 10% susu
skim, 0.5% bawang putih,
0.3% STPP, 2.5% garam,
0.5% ketumbar, 2% gula pasir,
0.5% merica, 0.5% jahe, 0.5%,
dan pala2% Penggilingan ke 2 selama 90 detik
Adonan ditambahkan dengan 1 % bubuk ekstrak Rosela dan 0,75 % bubuk
angkak
Adonan yang terbentuk dimasukkan dalam selongsong (cassing)
Perebusan sosis (60-650C selama 45 menit)
Disimpan dalam lemari es bersuhu 4 oC selama 20
hari
Analisis dilakukan setiap sepuluh hari
Gambar 4. Skema Proses Pembuatan Sosis (Syudhly, 2010)
25
Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati untuk mengetahui sifat fisik sosis yaitu pH, daya
mengikat air, stabilitas emulsi, dan keempukan. Sifat mikrobiologi yaitu pengujian
terhadap TPC, E. coli dan Salmonella.
Nilai pH Produk Sosis
Adonan sosis diukur dengan menggunakan pH-meter merek Corning
dikalibrasi dengan larutan buffer dengan nilai pH 4 dan 7. Sampel ditimbang 5 gram,
kemudian ditambah aquades 45 ml, setelah itu sampel diblender selama satu menit,
sampel dipindahkan ke dalam gelas ukur, pH-meter dicelupkan ke dalam sampel
kira-kira 2 – 4 cm. Nilai pH diperoleh dengan membaca skala tersebut (AOAC,
1995).
Kekenyalan
Kekenyalan yang diuji adalah kekenyalan produk sosis. Pengukuran
menggunakan alat Instron (Warner Bratzler Shear Force) tipe 5542. Sampel sosis
ditempatkan pada alat pemotong. Sampel dipotong sampai putus dengan chart speed
250 mm/menit. Parameter yang diukur dinyatakan dalam bentuk grafik dan secara
otomatis terhubungkan dengan komputer. Respon dari kekenyalan yang dihasilkan
diterapkan dalam grafik skala, nilai kekenyalan dinyatakan oleh grafik maksimal
dengan satuan kgf/cm2.
Daya Serap Air
Sampel ditimbang sebanyak 1 g dan dihancurkan, dimasukkan ke dalam
tabung reaksi (tabung sentrifusi). Air sebanyak 10 ml ditambahkan, dikocok dengan
vortex mixer, lalu didiamkan selama 30 menit pada suhu kamar, kemudian
disentrifusi dengan kecepatan 3500 rpm selama 30 menit. Volume supernatan diukur
dengan gelas ukur 10 ml. Air yang terserap dihitung yaitu selisih air mula-mula (10
ml) dengan volume supernatan yang dinyatakan dalam g/g dengan asumsi berat jenis
air adalah 1 (g/ml) (Fardiaz et al., 1992).
Uji Kualitas Mikrobiologis Daging
Sebelum dilakukan analisis mikrobiologi, sample daging segar dipersiapkan
terlebih dahulu dengan cara sebagai berikut : sebanyak 5 gram sampel daging
26
dimasukkan ke dalam plastic steril lalu ditambahkan 45 ml larutan pengencer steril,
kemudian dikocok diremas-remas hingga diperoleh campuran yang homogen dengan
konsentrasi 0,1 g/ml. Sampel ini kemudian diencerkan dengan larutan pengencer
sesuai dengan kebutuhan dan siap untuk plating.
Analisis Total Plate Count (Bakteriological Analytical Manual, 2001).
Pengenceran dilakukan dengan mengambil 1 ml larutan sampel yang sudah
homogen tersebut dengan menggunakan pipet steril kemudian dimasukkan ke dalam
tabung reaksi berisi 9 ml (NaCl) larutan pengencer sehingga terbentuk pengenceran
10-1 kemudian larutan tersebut dikocok sampai homogen. Pengambilan sampel
dilakukan dengan menggunakan pipet pada pengenceran 10-4, 10-5, dan 10-6 sebanyak
1 ml larutan sampel dan dipindahkan ke dalam cawan petri steril secara duplo dengan
menggunakan pipet steril. Media agar ditambahkan ke dalam cawan Petri dengan
metode tuang sebanyak 15 ml dan dihomogenkan sampai merata. Cawan tersebut
diinkubasi dengan posisi terbalik dalam inkubator bersuhu 37 °C selama 24 jam.
Koloni mikroba yang terbentuk dihitung berdasarkan Standard Plate Count (SPC)
dengan rumus sebagai berikut :
CFU/g =
Keterangan :
∑ N cawan
(n1 + (0,1 x n2)) x d
N = Jumlah koloni yang berbeda dalam kisaran hitung (TPC : 25-250 koloni).
n1= Jumlah cawan pertama yang koloninya dapat dihitung pada setiap
pengenceran.
n2= Jumlah cawan kedua yang koloninya dapat dihitung pada setiap
pengenceran.
d = Tingkat pengenceran berbeda.
Analisis Kuantitatif Escherichia coli (American Public Health Association, 1992)
Sebanyak 1 ml dari larutan pengencer pertama yang sudah homogen
dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml larutan pengencer NaCl sehingga
terbentuk pengenceran 10-2 kemudian larutan tersebut dikocok sampai homogen.
Pengenceran dilakukan sampai 10-3. Setelah pengenceran, dilakukan pemupukan
dengan cara mengambil sebanyak 1 ml pengencer dari masing-masing tabung
pengenceran (berdasarkan 3 pengenceran pertama yaitu 10-1, 10-2, dan 10-3)
27
dipindahkan ke dalam cawan Petri steril secara duplo. Media Eosyn Methylen Blue
Agar (EMBA) ditambahkan ke dalam cawan Petri tersebut. Pemupukan ini dilakukan
dengan metode tuang sebanyak 15 ml dan dihomogenkan membentuk angka 8.
Cawan tersebut diinkubasi dengan posisi terbalik dalam inkubator bersuhu 37 oC
selama 24 jam. Koloni E. coli berwarna hijau metalik jika diletakkan di bawah sinar
matahari atau sinar lampu.
Analisis Kuantitatif Bakteri Asam Laktat (American Public Health Association,
1992)
Sebanyak 5 gram sampel sosis yang telah disiapkan diencerkan menggunakan
45 ml NaCl 0,85% steril, lalu dipipet secara aseptik sebanayak 1 ml lalu dimasukkan
ke tabung yang berisi media pengencer NaCl 0,85% 9 ml yang selanjutnya disebut
pengenceran 10-1, sebanyak 1 ml diambil dari tabung pengenceran 10-1 dimasukkan
ke tabung ke 2 yang berisi NaCl 0,85% 9 ml yang selanjutnya disebut pengenceran
10-2, kemudian dilakukan prosedur yang sama sampai pengenceran 10-5. Media
tumbuh yang digunakan adalah de Man Ragosa Sharp Agar (MRS-A) lalu
pengenceran 10-3 sampai pengenceran 10-5 dipupukkan ke dalam cawan petri steril
secara duplo, selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam dan dihitung
populasinya. Koloni yang berwarna putih atau kekuning-kuningan merupakan koloni
bakteri asam laktat.
Uji Organoleptik (Soekarto, 1990)
Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji mutu hedonik. Penelitian ini
menggunakan 30 orang panelis yang diminta untuk menilai kualitas sampel yang
disajikan. Parameter yang diuji adalah warna, bau, lendir, tekstur, dan kekenyalan.
28
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Fisik Sosis Frankfurter
Nilai pH Sosis Frankfurter
Nilai pH merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui dalam setiap
pembuatan produk olahan daging. Nilai pH dipengaruhi oleh bahan-bahan yang
digunakan dalam produk tersebut terutama daging yang digunakan. Nilai pH
berpengaruh terhadap sifat-sifat produk yang dihasilkan, yaitu masa simpan, DMA,
tekstur, stabilitas emulsi, kekenyalan, dan warna produk (Indriyani, 2007). Hasil
pengukuran pH pada periode penyimpanan yang berbeda dan perubahannya dapat
dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Nilai pH Sosis Frankfurter selama Periode Penyimpanan
Periode penyimpanan
Perlakuan
Rosela-Angkak
Nitrit
H0
4,873±0,02
a
5,833±0,06c
H10
5,073±0,16a
5,911±0,01c
H20
5,498±0,01b
6,403±0,15d
Keterangan : H0 = analisis sosis hari ke-0, H10 = analisis sosis hari ke-10, H20 = analisis sosis hari ke20. Superscript yang berbeda pada perlakuan jenis pengawet dan periode penyimpanan
yang berbeda menunjukkan pengaruh nyata terhadap pH sosis (P<0,05).
Analisis ragam menyatakan bahwa lama simpan dan jenis pengawet
berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pH sosis. Interaksi antara faktor lama simpan
dengan jenis pengawet tidak terjadi. Berdasarkan Tabel 6 di atas dapat dilihat bahwa
nilai pH pada produk sosis frankfurter baik yang ditambahkan rosela-angkak maupun
yang ditambahkan nitrit mengalami peningkatan (P<0,05) pada periode penyimpanan
hari ke-20. Peningkatan pH sosis ini dapat disebabkan oleh pH pada antosianin
mengalami peningkatan. Menurut Retno et al. (1999), penyimpanan rosela selama
tujuh hari pada suhu dingin menyebabkan kenaikan nilai pH, tetapi tidak
menyebabkan penurunan knsentrasi antosianin. Penyebab lain ialah meningkatnya
jumlah asam laktat pada sosis frankfurter yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat
yang hidup pada sosis. Hal ini didasari oleh hasil analisa koloni bakteri asam laktat
yang dilakukan pada penelitian ini yang menunjukkan bahwa terdapat koloni bakteri
asam laktat yang hidup pada sosis frankfurter ini, baik pada sosis yang menggunakan
rosela-angkak maupun pada sosis yang menggunakan nitrit. Menurut penelitian
Dewanti (2009), peningkatan nilai pH diakibatkan oleh adanya reaksi antara protein
dengan asam dan menghasilkan amonia yang bersifat basa. Akumulasi asam laktat
akan mendegradasi protein dalam sosis dan menghasilkan amonia. Bakteri asam
laktat ini juga berasal dari daging segarnya sendiri sejak sebelum diolah menjadi
sosis frankfurter. Nilai kisaran pH sosis frankfurter dan suhu yang digunakan dalam
penelitian ini (±5 oC) mendukung pernyataan Jay (1996) yaitu bahwa bakteri asam
laktat bersifat mesofilik dan termofilik, beberapa dapat tumbuh pada suhu 5 oC dan
suhu maksimum 45 oC, dapat bertahan pada pH 3,2 dan pada pH yang lebih tinggi
9,6 serta beberapa bakteri asam laktat dapat tumbuh pada kisaran pH yang sangat
sempit (4,0-4,5).
Kisaran nilai pH sosis rosela-angkak pada penelitian ini ialah 4,87-5,49. Nilai
ini lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian Liana (2010) yang serupa
dengan penelitian ini yaitu terdapat pada kisaran 5,85-5,91. Hal ini dapat
dikarenakan perbedaan pH daging segar yang digunakan untuk membuat sosis. Pada
penelitian Liana (2010), pH daging segar yang digunakan yaitu ±5,4, sedangkan pada
penelitian ini, pH daging yang digunakan ialah ±5,1 yang mungkin disebabkan oleh
jumlah asam laktat, yang dihasilkan bakteri asam laktat, pada masing-masing daging
segar yang digunakan berbeda. Penelitian Syudhli (2010) menyatakan bahwa
populasi total mikroba yang tinggi kemungkinan disebabkan oleh adanya bakteri
asam laktat alami pada daging dan bakteri pencemar lain yang mengkontaminasi
daging selama proses pemotongan ternak di RPH, distribusi dan penjualan di pasar.
Dengan kisaran pH yang agak rendah, sulit untuk memasukan pH sosis ini ke dalam
pH kisaran sebab menurut Rust (1977), produk olahan daging seperti sosis memiliki
nilai pH berkisar antara 5,8-6,2. Berdasarkan hasil penelitian Justiawan (1997) sosis
dengan 2,5 gram angkak nilai pH nya adalah 6,06. Nilai pH pada penelitian ini lebih
rendah, karena sosis dalam penelitian ini tidak hanya ditambahkan dengan angkak
tetapi juga ditambah rosella yang bersifat asam. Liana (2010) menyatakan bahwa
kombinasi angkak dan rosela dapat menggantikan penggunaan nitrit. Nilai pH yang
didapatkan berada diantara nilai kisaran pH produk olahan sosis. Hal ini dapat terjadi
karena terdapat perbedaan sifat dari kedua jenis bahan tambahan alami tersebut.
Rosela yang memiliki rasa asam memiliki nilai pH normal jauh di bawah 7, yaitu 24, sedangkan angkak yang berasa pahit memiliki sifat basa dan nilai pH-nya di atas
30
7, yaitu 9,2 (Sutrisno, 1987). Nilai pH yang didapatkan pada sosis yang mengalami
perlakuan ini lebih cenderung pada pH asam, karena kadar penambahan rosela yang
lebih banyak (1%) dibandingkan dengan kadar penambahan angkak (0,75%). Liana
(2010) menambahkan, kombinasi antara dua bahan tersebut merupakan salah satu
penyebab berpengaruhnya pH dalam hasil penelitian sosis frankfurter ini, karena
pH keduanya saling menutupi.
Nilai Daya Serap Air (DSA) Sosis Frankfurter
Nilai rataan DSA sosis dan perubahannya selama penelitian dapat dilihat
pada Tabel 7. Muchtadi dan Sugiono (1992) menyatakan bahwa daya serap air
(DSA) menunjukan kemampuan daging untuk mengikat air bebas. Sifat ini sangat
penting dalam pembuatan produk emulsi daging, seperti sosis dan bakso. Produk
sosis dan bakso diperlukan DSA yang tinggi.
Tabel 7. Nilai Rataan DSA Sosis Frankfurter selama Periode Penyimpanan
Periode Penyimpanan
Perlakuan
Rosela-Angkak (%)
a
Nitrit (%)
7,083±2,89c
H0
6,667±1,91
H10
11,667±2,31b
10,333±1,61d
H20
-*
13,750±2,17e
Keterangan : Superscript yang berbeda pada perlakuan jenis pengawet dan periode penyimpanan yang
berbeda menunjukkan pengaruh nyata terhadap DSA sosis (P<0,05). -*) tidak dapat
dianalisis.
Nilai rataan DSA sosis dengan campuran rosela dan angkak pada hari ke-0
penyimpanan lebih rendah (P<0,05) dibandingkan nilai DSA sosis dengan nitrit.
Nilai DSA sosis dipengaruhi oleh pH sosis itu sendiri (Abadi, 2004). Nilai pH sosis
hari ke-0 dengan penambahan rosela dan angkak memiliki rataan sebesar 4,873±0,02
yang berada di bawah pH isoelektrik protein daging yaitu 5,4-5,5. Pada saat pH lebih
rendah dari titik isoelektrik protein daging akan terjadi kelebihan muatan positif yang
mengakibatkan penolakan miofilamen dan akan memberi ruang yang lebih banyak
bagi molekul-molekul air. Sosis dengan campuran nitrit memiliki nilai pH yang lebih
tinggi daripada sosis dengan campuran rosela-angkak. Nilai pH yang dimiliki sosis
dengan campuran nitrit berada di atas pH titik isoelektrik protein daging. Pada pH
yang lebih tinggi dari pH isolektrik protein daging, sejumlah muatan positif
31
dibebaskan dan terdapat surplus muatan negatif yang mengakibatkan penolakan dari
miofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul air (Soeparno, 2005).
Hasil analisis DSA sosis hari ke-10 menunjukkan terjadinya kenaikan
(P<0,05) pada kedua jenis sosis. Nilai DSA sosis dengan penambahan rosela-angkak
mengalami kenaikan menjadi 11,667±2,31%, sedangkan nilai DSA sosis dengan
nitrit menjadi 10,333±1,61%. Hal ini disebabkan oleh kandungan air yang terdapat di
dalam kedua jenis sosis tersebut telah berkurang yang ditunjukkan dengan
mengeringnya kedua jenis sampel sosis tersebut. Mengeringnya sampel sosis
disebabkan oleh rendahnya RH pada kondisi refrigerasi sehingga air yang terdapat di
dalam sosis menguap ke lingkungan sekitar. Penyebab lain ialah terjadinya
retrogradasi pati. Retrogradasi pati terjadi pada pati yang terdispersi dalam air yang
telah mengalami gelatinisasi. Proses retrogradasi menyebabkan air keluar dari
jaringan polimer pasta pati (Manulang, 1990). Dapat dilihat pula sosis dengan nitrit
pada hari penyimpanan ke-10 memiliki nilai DSA yang lebih rendah (P<0,05)
dibandingkan dengan sosis dengan penambahan rosela-angkak. Kenaikan nilai DSA
sosis dengan nitrit pada hari penyimpanan ke-10 lebih rendah dibanding sosis dengan
penambahan rosela-angkak (selisih 3,25 untuk sosis nitrit dan 5 untuk sosis dengan
campuran rosela-angkak). Artinya sosis dengan rosela-angkak lebih kering atau
kehilangan lebih banyak air selama penyimpanan.
Analisis DSA sosis frankfurter pada hari ke-20 menunjukkan bahwa sosis
dengan penambahan rosela dan angkak tidak dapat diperoleh hasilnya karena sampel
sudah kering sehingga terdapat bagian yang mengambang pada tabung eppendorf
yang digunakan untuk menganalisis DSA sosis. Lebih jelasnya dapat dilihat pada
Gambar 5. Hasil analisis DSA sosis dengan penambahan nitrit hari ke-20 mengalami
kenaikan (P<0,05) dibandingkan sosis hari ke-0 dan ke-10. Peningkatan nilai DSA
ini juga disertai dengan meningkatnya nilai pH sosis pada periode penyimpanan ke20. Nilai pH sosis frankfurter serta perubahannya selama penyimpanan dapat dilihat
pada Tabel 6.
Menurut Soeparno (2005), pada pH yang lebih tinggi dari pH isolektrik
protein daging, sejumlah muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus muatan
negatif yang mengakibatkan penolakan dari miofilamen dan memberi lebih banyak
ruang untuk molekul air. Sampel sosis yang sangat kering juga menyebabkan
32
meningkatnya daya serap sosis. Keringnya sampel disebabkan oleh retrogradasi pati
dan rendahnya kelembaban di dalam refrigerator. Peningkatan nilai pH sosis itu
sendiri yakni menjadi 6,403±0,15 (Tabel 6).
a
b
Gambar 5. Gambar Analisis DSA Sosis Frankfurters pada Hari ke-20
Keterangan:
a. Sampel yang berwarna terang ialah sosis dengan penambahan nitrit dan sampel yang
berwarna kemerahan ialah sosis dengan penambahan rosela 1% dan angkak 0,75%
b. Bagian sampel yang mengambang dapat terlihat berada diatas permukaan air di dalam
tabung eppendorf
Nilai Kekenyalan Sosis Frankfurter
Kekenyalan adalah sifat fisik produk dalam hal daya tahan untuk tidak pecah
akibat gaya tekan. Sifat kenyal atau elastis merupakan sifat reologi pada produk
pangan plastis yang bersifat deformasi (Indriyani, 2007). Nilai rataan kekenyalan
sosis dan perubahannya selama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Nilai Rataan Kekenyalan Sosis Frankfurter selama Periode Penyimpanan
Periode penyimpanan
Perlakuan
Rosela-Angkak (%)
a
Nitrit (%)
38,606±4,54b
H0
29,871±6,54
H10
-*
15,530±5,09c
H20
-*
-*
Keterangan: Superscript yang berbeda pada perlakuan jenis pengawet dan periode penyimpanan yang
berbeda menunjukkan pengaruh nyata terhadap kekenyalan sosis (P<0,05). -*) tidak
dapat dianalisis.
Lama simpan dan jenis pengawet berpengaruh nyata terhadap kekenyalan
sosis. Nilai kekenyalan sosis frankfurter dengan campuran rosela dan angkak pada
periode penyimpanan hari ke-0 menunjukkan nilai yang lebih rendah (P<0,05)
daripada nilai kekenyalan sosis dengan penambahan nitrit. Tingkat kekenyalan
33
menunjukkan tekstur yang berhubungan dengan struktur otot daging dan jumlah air
dalam sosis serta dipengaruhi oleh bahan-bahan yang ditambahkan pada proses
pembuatan sosis. Pada sosis dengan penambahan rosela dan angkak, sosis lebih
lembek dibandingkan sosis dengan penambahan nitrit.
Kekenyalan pada produk emulsi dapat dipengaruhi oleh air yang ditambahkan
pada saat rehidrasi. Jika ditinjau dari jumlah bahan-bahan yang digunakan untuk
membuat kedua jenis sosis ini, maka tidak akan ditemukan adanya perbedaan
terutama pada jumlah STPP, es dan tepung tapioka yang merupakan bahan penentu
dari tingkat kekenyalan sosis itu sendiri kecuali pada penambahan kombinasi rosellaangkak dan nitrit. Pada sosis dengan penambahan rosela dan angkak dilakukan
pengenceran terhadap bubuk rosela dan angkak terlebih dahulu sebelum ditambahkan
ke dalam adonan sosis. Penambahan air pada proses pengenceran bubuk rosela dan
angkak ini yang dapat mengakibatkan sosis dengan penambahan rosela dan angkak
ini menjadi lebih lembek daripada sosis dengan penambahan nitrit. Penambahan air
yang terlalu banyak akan menghasilkan sosis yang terlalu lembek (Indriyani, 2007).
Analisa nilai kekenyalan sosis dengan campuran rosela dan angkak untuk
periode hari ke-10 tidak dapat dilakukan lagi. Mesin Instron tipe 5542 yang
digunakan untuk mengukur kekenyalan sosis tidak dapat mengukur kekenyalan sosis
lagi. Hal ini dikarenakan sosis dengan penambahan rosela dan angkak sudah terlalu
keras untuk dianalisa tingkat kekenyalannya dengan alat Instron tipe 5542 tersebut
sehingga diputuskan analisa terhadap kekenyalan sosis rosela-angkak pada penelitian
ini tidak dilanjutkan lagi. Analisa kekenyalan sosis dengan penambahan nitrit masih
dapat dilaksanakan. Hasil yang didapat dari analisa kekenyalannya ialah
nilai
kekenyalan sosis menurun menjadi 15,530 % (P<0,05) dibandingkan dengan analisa
hari ke-0. Ini juga disebabkan oleh mengerasnya sampel sosis karena penyimpanan
dingin di referigerator.
Pendinginan dilakukan dengan tujuan untuk menghambat terjadinya proses
kerusakan yang menyebabkan terjadinya kemunduran mutu pada bahan pangan.
Akan tetapi, produk pangan pasti mengalami penyimpangan dari mutu awalnya atau
yang biasa disebut dengan deteriorasi. Deteriorasi terjadi segera setelah produk
pangan diproduksi. Reaksi deteriorasi dimulai dengan persentuhan produk dengan
udara, oksigen, uap air, cahaya atau akibat perubahan suhu. Reaksi ini juga dapat
34
diawali oleh hentakan mekanis seperti vibrasi dan kompresi (Arpah, 2001). Tingkat
deteriorasi produk dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan, sedangkan laju
deteriorasi dipengaruhi oleh kondisi lingkungan penyimpanan.
Reaksi deteriorasi pada produk pangan dapat disebabkan oleh faktor intrinsik
maupun ekstrinsik yang selanjutnya akan memicu reaksi di dalam produk berupa
reaksi kimia, reaksi enzimatis atau lainnya seperti proses fisika dalam bentuk
penyerapan uap air atau gas dari sekeliling. Ini akan menyebabkan perubahanperubahan terhadap produk yang meliputi: perubahan tekstur, flavor, warna,
penampilan fisik, nilai gizi dan lain-lain (Arpah, 2001). Pengaruh beberapa faktor
terhadap reaksi deteriorasi pada produk pangan disajikan pada Tabel 5.
Mengerasnya sosis seiring meningkatnya lama penyimpanan sosis pada
penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh salah satu reaksi kimiawi dari pati yang
terdapat dalam sosis frankfurter. Reaksi yang diduga terjadi pada sosis frankfurter ini
ialah retrogradasi pati. Retrogradasi pati terjadi pada pati yang terdispersi dalam air
yang telah mengalami gelatinisasi. Saat pati dipanaskan dan terdispersi dengan air,
struktur kristal molekul amilosa dan amilopektin hancur dan terhidrasi menjadi solusi
yang kental atau menjadi pasta. Molekul-molekul amilosa akan terus terdispersi
apabila pasta pati tetap dalam keadaan panas. Dalam kondisi panas, pasta masih
memiliki kemampuan untuk mengalir yang fleksibel. Bila pasta kemudian
mendingin, energi kinetik tidak lagi cukup tinggi untuk melawan kecenderungan
molekul-molekul amilosa untuk bersatu kembali. Molekul-molekul amilosa berikatan
kembali satu sama lain dan berikatan dengan cabang amilopektin pada pinggirpinggir luar granula. Dengan demikian mereka menggabungkan butir-butir pati yang
membengkak itu menjadi semacam jaring-jaring membentuk mikrokristal dan
mengendap. Pada suhu -8oC - +8oC, reaksi ini dapat terjadi lebih cepat. Dalam
penelitian ini, sosis frankfurter yang telah disimpan di lemari pendingin di atas
sepuluh hari dengan suhu 4 oC menjadi keras dan ukurannya pun menjadi lebih kecil
dari ukurannya pada saat hari pertama atau hari dimana sosis frankfurter tersebut
dibuat. Hal ini dapat terjadi karena air keluar dari sosis frankfurter tersebut. Proses
retrogradasi menyebabkan air keluar dari jaringan polimer pasta pati tersebut. Pada
pati yang dipanaskan dan telah dingin kembali, sebagian airnya masih berada di
bagian luar granula yang membengkak. Sebagian air pada pasta yang telah dimasak
35
berada dalam rongga-rongga jaringan yang terbentuk dari butir pati dan endapan
amilosa. Bila gel disimpan selama beberapa hari, air dapat keluar dari bahan.
Keluarnya atau merembesnya cairan dari suatu gel pati disebut dengan sineresis
(Manulang, 1990).
Uji Organoleptik Sosis Frankfurter
Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji mutu hedonik terhadap sampel
sosis yang terdiri dari sosis yang berumur nol, sepuluh, dan dua puluh hari
penyimpanan. Uji mutu hedonik dalam penelitian ini menggunakan 30 orang
panelis semi terlatih. Parameter yang dinilai adalah warna, bau, lendir,
kekenyalan, dan tekstur. Hasil uji mutu hedonik sosis frankfurter dapat dilihat
pada Tabel 9 untuk nilai rataannya.
Tabel 9. Nilai Rataan Uji Mutu Hedonik Sosis Frankfurters dengan Perlakuan
Pemberian Nitrit dan Kombinasi Rosella dan Angkak pada Periode
Penyimpanan yang Berbeda
H0
Parameter
Perlakuan
H10
RoselaNitrit
angkak
a
4±0,7
2,9±0,7b
3,9±0,7a
Roselaangkak
3,3±0,7b
H20
Warna
3,8±0,6a
Roselaangkak
2,4±0,8b
Bau
4,1±0,7
3,8±0,9
4±0,7
3,8±0,9
3,7±0,7a
3,1±1,1b
Lendir
3,8±0,8
3,6±0,8
3,9±0,8a
3,4±0,8b
3,9±0,6a
3±1,2b
Kekenyalan
3,3±0,9
3,5±0,9
3,1±1,1
3,3±0,9
3±1,1
2,7±0,9
Tekstur
3,7±0,8
3,3±0,9
3,7±0,9
3,2±0,9
3,7±0,9a
3,1±0,9b
Nitrit
Nitrit
Keterangan: Skor nilai mutu dimulai dari nilai 1 (sangat gelap/sangat tengik/sangat
berlendir/sangat tidak kenyal/sangat kasar), 2 (gelap/tengik/berlendir/tidak
kenyal/kasar), 3 (agak gelap/agak tengik/agak berlendir/agak kenyal/agak halus), 4
(pucat/tidak tengik/tidak berlendir/kenyal/halus) sampai nilai 5 (sangat pucat/sangat
tidak tengik/sangat tidak berlendir/sangat kenyal/sangat halus).
Penilaian Organoleptik Sosis Frankfurter Sebelum Simpan
Hasil penilaian uji mutu hedonik sosis frankfurter berdasarkan penilaian tiga
puluh orang panelis menunjukkan angka rataan 3,8 (agak pucat) untuk sosis nitrit dan
2,4 (gelap) untuk sosis kombinasi rosela-angkak. Secara visual, kedua jenis
kombinasi sosis tersebut masing-masing dapat dilihat pada tampilan Gambar 6.
36
Gambar 6 menunjukkan perbedaan warna yang dimiliki oleh masing-masing
jenis sosis. Hal ini disebabkan oleh perbedaan bahan pengawet tambahan yang
digunakan dalam proses pembuatannya. Gambar 6.a memliki warna merah yang jauh
lebih gelap dibandingkan sosis pada gambar 6.b yang berwarna merah terang. Sosis
pada gambar 6.a ditambahkan bubuk rosela dan angkak, sedangkan sosis pada
gambar 6.b menggunakan nitrit. Warna gelap sosis kombinasi rosela-angkak
disebabkan oleh penggunaan bahan tambahan yang digunakan untuk sosis itu sendiri
yaitu rosela yang alaminya berwarna merah dan angkak yang berwarna merah gelap
cenderung ke ungu. Hal ini serupa dengan penelitian Bloukas et al. (1998) dimana
sosis frankfurter dengan bahan pewarna alami memiliki warna adonan yang lebih
gelap dibandingkan dengan warna adonan sosis frankfurter yang menggunakan nitrit.
a
b
Gambar 6. Sosis Frankfurter
Keterangan: 6.a=Sosis Frankfurter dengan penambahan kombinasi 1% rosela : 0,75% angkak;
6.b=Sosis Frankfurter dengan penambahan nitrit.
Parameter berikutnya yaitu bau tengik yang terdapat pada sosis. Hasil uji
organoleptik menunjukkan angka rataan 4,1 (tidak tengik) untuk sosis nitrit dan 3,8
(tidak tengik) untuk sosis kombinasi rosela-angkak. Hal ini dikarenakan sosis belum
mengalami penyimpanan sehingga kerusakan pun masih sangat kecil. Parameterparameter lain yang diujikan yaitu lendir, kekenyalan dan tekstur sosis. Uji
organoleptik untuk lendir pada sosis menunjukkan angka rataan 3,8 (tidak berlendir)
untuk sosis nitrit dan 3,6 (tidak berlendir) untuk sosis kombinasi rosela-angkak. Ini
dikarenakan sosis belum mengalami deteriorasi yang berarti segera setelah
pemasakan. Uji berikutnya yaitu uji kekenyalan sosis. Angka rataan menunjukkan
37
3,3 (agak kenyal) untuk sosis nitrit dan 3,5 (kenyal) untuk sosis kombinasi roselaangkak yang berarti sosis nitrit agak kenyal dan sosis kombinasi rosela-angkak lebih
kenyal dibandingkan dengan sosis nitrit. Parameter terakhir yang termasuk dalam uji
mutu hedonik untuk sosis frankfurter ini ialah tekstur sosis. Angka rataan
menunjukkan 3,7 (agak halus) untuk sosis nitrit dan 3,3 (halus) untuk sosis
kombinasi rosela-angkak. Ini berarti sosis nitrit memiliki tekstur yang sedikit lebih
kasar jika dibandingkan dengan sosis kombinasi rosela-angkak. Hal ini disebabkan
oleh sosis nitrit memiliki kandungan air yang sedikit lebih rendah dibandingkan sosis
kombinasi
rosela-angkak.
Pada
prosesnya,
sosis
kombinasi
rosela-angkak
menggunakan sedikit air untuk mengencerkan bubuk rosela dan bubuk angkak
sebelum dicampurkan dengan adonan sosis sehingga kandungan air menjadi sedikit
lebih banyak jika dibandingkan dengan sosis nitrit. Pada sosis nitrit, bubuk nitrit
dimasukkan langsung dan tidak diencerkan terlebih dahulu sehingga tidak terjadi
penambahan air pada adonan. Hal ini pula yang menyebabkan sosis nitrit agak lebih
keras dibanding sosis kombinasi rosela-angkak.
Penilaian Organoleptik Sosis Frankfurter Hari Penyimpanan ke-10
Hasil uji mutu hedonik sosis frankfurter dengan penambahan nitrit dan
kombinasi rosela-angkak pada hari penyimpanan ke-10 menunjukkan bahwa tidak
terjadi perubahan berarti pada semua parameter yang diujikan. Angka rataan hasil uji
organoleptik untuk warna sosis menunjuk pada angka 4 (agak pucat) untuk sosis
nitrit dan 2,9 (gelap) untuk sosis kombinasi rosela-angkak. Uji berikutnya yaitu bau
kedua jenis sosis. Hasil uji nilai mutu hedonik menunjukkan angka rataan yang tidak
jauh berbeda pula dengan hari penyimpanan sebelumnya yaitu 4 (tidak tengik) untuk
sosis nitrit dan 3,8 (tidak tengik) untuk sosis kombinasi rosela-angkak.
Uji yang dilakukan selanjutnya yaitu terhadap lendir, kekenyalan dan tekstur
sosis frankfurter. Uji mutu hedonik terhadap lendir yang terdapat pada sosis
menunjukkan angka rataan 3,9 (tidak berlendir) untuk sosis nitrit dan 3,4 (agak
berlendir) untuk sosis kombinasi rosela-angkak. Lendir pada makanan dapat
disebabkan oleh keberadaan mikroorganisme pada makanan tersebut, khususnya
pada permukaannya saja. Hal ini didukung hasil uji mikrobiologi yang juga
dilakukan pada penelitian ini yang menunjukkan masih terdapatnya mikroorganisme
pada sosis dengan penambahan kombinasi bubuk rosela-angkak pada hari
38
penyimpanan di atas 10 hari. Sedangkan untuk sosis dengan penambahan nitrit tidak
ditemukan lagi koloni mikroorganisme yang dapat dihitung (lihat pada Tabel 11).
Parameter berikutnya yang diuji yaitu kekenyalan sosis. Hasil uji hari ke-10
menunjukkan angka rataan 3,1 (agak berlendir) untuk sosis nitrit dan 3,3 (agak
berlendir) untuk sosis kombinasi rosela-angkak. Terjadi sedikit perubahan pada
penilaian panelis terhadap kedua jenis sosis ini. Angka rataan yang ditunjukkan oleh
kedua jenis sosis yang diujikan menunjukan sedikit penurunan nilai. Pada hari ke-0,
sosis nitrit memiliki angka rataan 3,3 dan sosis kombinasi rosela-angkak memiliki
angka rataan 3,5. Hal ini diduga karena sosis yang telah disimpan dalam refrigerator
pada suhu ± 4 oC telah mengalami penurunan nilai kadar air dan terjadinya reaksi
retrogradasi pati seperti yang telah dijelaskan dalam hasil uji fisik terhadap
kekenyalan sosis. Nilai rataan kekenyalan sosis dan perubahannya selama
penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 8.
Parameter terakhir yang diuji dalam uji mutu hedonik sosis frankfurter ini
yaitu tekstur sosis. Sama halnya dengan kebanyakan hasil uji parameter-parameter
lainnya, uji organoleptik untuk tekstur sosis tidak mengalami perubahan berarti.
Angka rataan untuk sosis nitrit menunjukkan angka 3,7 (halus), sedangkan angka
rataan hasil uji organoleptik terhadap sosis kombinasi rosela-angkak menunjukkan
angka 3,2 (agak halus).
Penilaian Organoleptik Sosis Frankfurter Hari Penyimpanan ke-20
Pengujian mutu hedonik terhadap warna sosis frankfurter menunjukkan
angka rataan 3,9 (pucat) dan 3,3 (agak gelap). Untuk uji terhadap bau sosis, hasil uji
mutu hedoniknya menunjukkan angka rataan 3,7 (tidak tengik) untuk sosis dengan
penambahan nitrit dan 3,1 (agak tengik) untuk sosis dengan penambahan kombinasi
bubuk rosela-angkak. Hasil rataan ini menunjukkan bahwa terdapat sedikit
perubahan bau pada sosis rosela-angkak yang telah disimpan selama 20 hari tersebut.
Pada sosis dengan penambahan kombinasi bubuk rosela-angkak nitrit yang berumur
10 hari, angka rataan hasil ujinya adalah 3,8 (tidak tengik). Hal ini berarti mulai
tercium bau tengik dari sosis yang disimpan selama 20 hari tersebut. Menurut
penelitian Dewanti (2009), semakin panjang masa simpan bahan makanan dalam
refrigerator, maka semakin menurun daya terima sensori (bau dan penampilan
umum) bahan makanan dengan atau tanpa perlakuan apapun. Penyimpangan dari
39
mutu awalnya atau yang biasa disebut dengan deteriorasi terjadi segera setelah
produk pangan diproduksi. Reaksi deteriorasi dimulai dengan persentuhan produk
dengan udara, oksigen, uap air, cahaya atau akibat perubahan suhu. Reaksi ini juga
dapat diawali oleh hentakan mekanis seperti vibrasi dan kompresi (Arpah, 2001).
Tingkat deteriorasi produk dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan, sedangkan laju
deteriorasi dipengaruhi oleh kondisi lingkungan penyimpanan.
Uji berikutnya yaitu lendir yang terdapat pada sosis. Pada sosis dengan
penambahan nitrit, angka rataan uji mutu hedoniknya menunjukkan angka 3,9 (tidak
berlendir), sama dengan nilai pada uji hari ke-10. Sedangkan hasil uji untuk lendir
pada sosis dengan kombinasi bubuk rosela-angkak menunjukkan angka rataan 3
(agak berlendir). Untuk uji kekenyalan, hasil uji mutu hedonik angka 3 (agak
kenyal), sedangkan sosis dengan penambahan rosela-angkak menunjukkan hasil
rataan sebesar 2,7 (agak kenyal). Uji terakhir yaitu uji terhadap teksturnya. Hasil uji
untuk tekstur ini menunjukkan angka rataan yang sama dengan uji hari ke 10 yaitu
3,7 (halus), sedangkan untuk sosis dengan penambahan kombinasi bubuk roselaangkak ialah 3,1 (agak halus).
Kualitas Mikrobiologis Daging
Daging sebagai bahan baku dalam pembuatan sosis daging sapi memiliki
pengaruh yang besar dalam menentukan kualitas dari produk sosis itu sendiri.
Besarnya pengaruh dari daging sebagai bahan baku pembuatan sosis itu sendiri ialah
kemampuannya mengikat air dan mengemulsi lemak. Wilson et al. (1981)
menjelaskan bahwa daging digunakan sebagai bahan baku pada pembuatan sosis
karena memiliki daya ikat terhadap air dan memiliki daya mengemulsi lemak. Sifat
inilah yang membuat daging perlu diwaspadai kualitasnya, khususnya dalam hal ini
ialah kualitas mikrobiologinya demi menjamin keamanan dari produk sosis itu
sendiri. Uji mikrobiologi pun dilakukan dalam penelitian ini untuk mengetahui
populasi bakteri pada daging mentah sebelum daging itu diolah, yaitu uji Total Plate
Count (TPC) dan E. Coli pada daging tersebut. Kualitas mikrobiologi daging sapi
dapat dilihat pada Tabel 10.
Data yang ditunjukkan pada Tabel 10 menunjukkan bahwa cemaran yang
terjadi pada daging mentah segar jauh di atas standar yang diberikan oleh SNI NO
40
01-6366-2000 yaitu 1 x 104 cfu/g atau 4 log cfu/g untuk total mikroba dan 5 x 101
cfu/g atau 1,699 log cfu/g untuk E. Coli.
Tabel 10. Hasil Analisis Mikrobiologi pada Daging Segar
Peubah
Jumlah (log cfu/gram)
TPC
E.coli
6,720
2,462
Penelitian Syudhli (2010), menyatakan bahwa populasi total mikroba yang
tinggi kemungkinan disebabkan oleh adanya bakteri asam laktat alami pada daging
dan bakteri pencemar lain yang mengkontaminasi daging selama proses pemotongan
ternak di RPH, distribusi dan penjualan di pasar. Tingginya populasi E. coli yang
terdapat pada daging menunjukkan bahwa tingkat sanitasi selama proses pemotongan
di RPH, distribusi dan penjualan sangat rendah. Menurut Salle (1961), E. coli
merupakan flora normal yang hidup dalam saluran pencernaan manusia dan hewan
dan sel bakteri ini terdapat pada feses dan air yang terkontaminasi oleh feses.
Escherischia coli telah dipergunakan sebagai acuan tingkat cemaran pada pangan
seperti yang dinyatakan oleh Gamman dan Sherington (1990) bahwa E. coli
digunakan sebagai organisme indikator, karena jika terdapat dalam jumlah yang
banyak menunjukkan bahwa pangan atau air telah mengalami pencemaran.
Bakteri asam laktat (BAL) merupakan mikroflora normal yang berada dalam
daging yang dapat disebabkan oleh kontaminasi selama pengolahan. Bakteri asam
laktat dapat memfermentasi karbohidrat menjadi asam laktat sehingga dapat
menyebabkan turunnya pH daging. Turunnya pH daging dapat membantu menekan
pertumbuhan bakteri patogen pembusuk yang ada (Fardiaz, 1992). Bakteri asam
laktat termasuk bakteri gram positif, tidak berspora, selnya berbentuk batang atau
bulat, baik tunggal, berpasangan maupun berantai dan kadang berbentuk tetrad
(Banwart, 1983). Kebanyakan nilai bakteri dapat berkembang biak pada pH optimum
yaitu pH netral (pH 7,0). Nilai pH daging segar pada saat pemotongan biasanya
berkisar antara 5,3-6,5. Beberapa tipe mikroorganisme dapat memulai pertumbuhan
pada kisaran pH tersebut, tapi telah ditunjukkan bahwa daging pada pH 6,5 akan
lebih
cepat
membusuk
dibandingkan
daging
pada
keadaan
pH
5,3
(Price dan Schweigert, 1971).
41
Kualitas Mikrobiologis Sosis Frankfurter Selama Masa Penyimpanan
Sosis adalah produk makanan yang diperoleh dari campuran daging halus
dengan tepung atau pati dengan atau tanpa penambahan bumbu-bumbu dan bahan
tambahan makanan lain yang diizinkan dan dimasukan ke dalam selongsong sosis
(Dewan Standarisasi Nasional, 1995). Berdasarkan definisi tersebut juga maka sosis
merupakan salah satu pangan yang dapat dengan mudah mengalami kerusakan baik
mikrobiologis maupun fisik. Kerusakan sosis secara mikrobiologis disebabkan oleh
mikroorganisme yang merusak daging yang dapat berasal dari infeksi dan ternak
hidup serta kontaminasi daging postmortem (Soeparno, 2005). Mikroorganisme yang
berasal dari para pekerja RPH, antara lain adalah Salmonella, Shigella, E. coli,
Bacillus proteus, Staphylococcus albus dan Staphylococcus aureus, Clostridium
walchii, Bacillus cereus dan Streptococcus dari feses (Lawrie, 2003). Clostridium
botulinum yang berasal dari tanah juga dapat mengkontaminasi daging atau karkas
(Soeparno, 2005).
Jenis bahan pengawet yang pada umumnya digunakan pada berbagai jenis
pangan olahan yang berbahan dasar daging ialah nitrit. Fungsi utama nitrit dalam
pembuatan sosis adalah untuk memperbaiki warna daging. Perbaikan warna daging
untuk sosis masak dianjurkan penggunaannya sebanyak 3-50 ppm (Ockerman, 1983).
Nitrit bila berikatan dengan amino dan amida dapat membentuk turunan nitrosamin
(Husni et al., 2007). Menurut Soeparno (2005), nitrosamin merupakan senyawa
kimia yang bersifat karsinogenik. Nitrosamin dapat terbentuk di dalam bahan-bahan
makanan tertentu seperti daging cured yang mengandung nitrit, bila nitrit
membentuk grup nitroso (-N=O) yang secara kimiawi terikat pada atom nitrogen
amonia pada senyawa organik tertentu, misalnya amonia-amonia sekunder (-NR2H).
Pembentukan nitrosamin dalam produk daging proses dapat dicegah jika nitrit tidak
ditambahkan di dalam campuran produk. Berdasarkan hal inilah mengapa perlu
dicari bahan pengawet dan pewarna lain yang sifatnya jauh lebih aman dan alami
sehingga meningkatkan keamanan pangan yang akan dikonsumsi.
Penggunaan kombinasi bubuk rosela dan angkak diharapkan dapat
menggantikan nitrit yang selama ini digunakan sebagai bahan pengawet pada
sebagian besar bahan pangan olahan yang berbahan dasar daging. Angkak kerap kali
digunakan sebagai bahan pewarna makanan seperti anggur, keju, kedelai, sayuran,
42
pasta ikan dan kecap ikan. Menurut Wong dan Koehler (1981), angkak dapat pula
digunakan untuk mengawetkan daging karena mempunyai sifat antibakteri dan
komponen aktif yang bertanggung jawab atas penghambatan bakteri ini adalah
monaskidin. Jenie dan Kuswanto (1994) telah membuktikan pada penelitiannya
bahwa pigmen angkak dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen, yaitu B.
Cereus dan bakteri perusak Pseudomonas sp. Selanjutnya sifat antimikroba dari
pigmen angkak ini diterapkan oleh Justiawan (1997) dengan kesimpulan
konsentrasi pigmen angkak 7,5 g cukup efektif dalam menghambat pertumbuhan
sel bakteri B. stearothermophilus bahkan konsentrasi 40 ppm nitrit yang
dimodifikasi dengan 5,0 g angkak lebih baik penghambatannya daripada
konsentrasi 125 ppm nitrit. Penambahan angkak sebesar 0,75% pada penelitian ini
mengacu
pada
hasil
penelitian
Justiawan
(1997)
tersebut.
Mekanisme
penghambatan bakteri oleh monaskidin menurut Justiawan (1997), pada
prinsipnya sama dengan mekanisme penghambatan oleh antimikroba lainnya,
yaitu
menghambat
sintesa
komponen
penyusun
dinding
sel,
sehingga
menyebabkan dinding sel tersebut mudah mengalami lisis dikarenakan telah
terbentuk suatu struktur tanpa dinding sel yang disebut protoplast.
Sama halnya dengan angkak, rosela dapat memberikan warna merah pada
sosis serta memiliki substrat antimikroba pada pigmennya yang dapat membantu
menggantikan tugas nitrtit dalam mengawetkan pangan olahan yang berbahan dasar
daging. Menurut Maryani dan Kristiana (2005), pemanfaatan tanaman rosela
berkaitan dengan fungsinya sebagai antimikroba telah dibuktikan melalui penelitian
bahwa kandungan senyawa kimia rosela dapat mematikan bakteri Mycobacterium
tuberculosis yaitu bakteri penyebab penyakit TBC. Kandungan senyawa kimia
tersebut antara lain campuran asam sitrat dan asam malat, anthocianin
(Hydroxyflavone) dan hibiscin, asam askorbat, flavonol glucoside hibiscritin,
flavonoid gossypetine, hibiscetine dan sabdaretine, delphinidine 3-monoglucoside,
cyanidin 3-monoglucoside,serta delphinidine (Wianti et al., 2008). Antosianin
merupakan pigmen alami yang memberi warna merah pada kelopak bunga rosella
dan mempunyai sifat antioksidan yang kuat. Kandungan asam askorbat dan
betakarotin merupakan sumber antioksidan yang sangat efektif dalam menangkal
berbagai radikal bebas. Kelopak kering bunga rosella menghasilkan 1,5 % (b/b)
43
pigmen antosianin (Gradinaru et al., 2003). Antosianin sangat stabil pada pH rendah
(2-4) dan berwarna merah, pada pH 4-6 antosianin berwarna ungu, pada pH 7-8
berwarna biru, dan kemudian berwarna kuning pada pH>8 (Branen et al., 2002).
Jumlah Total Plate Count (TPC) pada Sosis Frankfurter Selama Penyimpanan
Kualitas mikrobiologi dari sosis frankfurter pada penelitian ini dapat dilihat
dari jumlah total mikroba (TPC) yang terkandung di dalamnya. Hasil analisis total
populasi mikroba dari sosis serta perubahannya selama penyimpanan dapat dilihat
pada Tabel 11.
Tabel 11. Perubahan Jumlah TPC pada Sosis selama Penyimpanan
Perlakuan
Lama simpan
H0
H10
H20
--------------------Log (cfu/g)-----------------Rosela-angkak
5,28±0,24a
1,51±2,61b
2,20±3,82c
Nitrit
5,36±0,41a
<1
<1
Keterangan: Superscript yang berbeda pada kolom periode penyimpanan yang berbeda menunjukkan
pengaruh nyata terhadap TPC (P <0,05).
Nitrit dan kombinasi bubuk rosela-angkak, tidak berpengaruh nyata (P>0,05)
terhadap total populasi mikroba (TPC) yang terdapat di dalam sosis frankfurter
tersebut. Lama simpan merupakan faktor yang berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap
total populasi mikroba yang terdapat dalam sosis. Interaksi antara lama simpan
dengan jenis pengawet tidak berpengaruh nyata terhadap total populasi mikroba
dalam sosis.
Hasil analisis Total Plate Count sosis frankfurter mencerminkan jumlah total
populasi mikroba yang terdapat di dalam sosis. Tabel 11 menunjukkan perubahan
rataan dari populasi total mikroba dalam sosis frankfurter yang terjadi selama proses
penyimpanan sosis selama 20 hari pada suhu refrigerator yaitu 4oC ±1oC. Hasil
analisis TPC untuk sosis frankfurter pada hari penyimpanan ke 0 menunjukkan
angka rataan 5,277 log cfu/g untuk sosis dengan penambahan kombinasi bubuk
angkak-rosela dan 5,360 log cfu/g untuk sosis dengan penambahan nitrit. Meskipun
angka total mikroba pada sosis dengan penambahan bubuk angkak-rosela masih di
atas batas cemaran maksimum yang telah di tetapkan oleh BSN dalam SNI NO 016366-2000 yaitu 1x104 koloni/g, namun angka TPC yang telah didapat menunjukkan
44
bahwa kombinasi dari bubuk angkak dan rosella memiliki kinerja daya hambat
terhadap pertumbuhan mikroba yang hampir sama dengan nitrit dan bahkan sedikit
lebih baik dari nitrit yang memiliki angka TPC sebesar 5,360 log cfu/g. Hasil
penelitian Syudhly (2010) dengan topik utama yang sama dengan penelitian ini juga
menunjukkan hal yang hampir serupa. Dalam penelitian Syudhly (2010), angka hasil
analisis TPC menunjukan angka 5,57 log cfu/g untuk sosis dengan penambahan nitrit
dan 5,24 log cfu/g untuk rataan sosis rosela-angkak. Hal ini didukung oleh hasil
analisis ragam yang menunjukkan bahwa jenis bahan pengawet tidak berpengaruh
nyata (P>0,05) terhadap total populasi mikroba (TPC) yang terdapat pada sosis
selama periode penyimpanan.
Penyebab nilai TPC kedua jenis sosis frankfurters ini lebih tinggi dari batas
cemaran maksimum yang telah ditetapkan dalam SNI NO 01-6366-2000 ialah
jumlah awal total mikroba yang terdapat pada daging segar yang digunakan. Hasil
analisis TPC yang dilakukan pada daging menunjukkan angka 6,720 log cfu/g.
Berkurangnya jumlah total populasi mikroba yang terdapat pada sosis dapat
dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya adalah proses pemasakan pada suhu yang
cukup tinggi untuk membunuh sebagian besar mikroba yang masih terdapat pada
sosis, bumbu dan bahan-bahan yang juga memiliki kemampuan untuk menghambat
pertumbuhan mikroba pada makanan, serta bahan pengawet dan pewarna baik yang
alami maupun yang kimiawi yang memang berfungsi dan diharapkan untuk
menghambat pertumbuhan dari mikroba yang terdapat dalam makanan. Sifat fisik
yang juga dapat mempengaruhi total populasi mikroba pada sosis ialah pH-nya. Nilai
pH dari kedua jenis sosis pada hari penyimpanan ke-0 ialah sebesar 4,873±0,02
untuk sosis dengan penambahan kombinasi bubuk angkak-rosela dan 5,833±0,06
untuk sosis dengan penambahan nitrit. Berdasarkan data tersebut maka bisa
dikatakan bahwa penurunan populasi total mikroba pada sosis disebabkan karena pH
yang dimiliki kedua jenis sosis, baik sosis dengan penambahan kombinasi bubuk
angkak-rosela maupun sosis
dengan penambahan nitrit, cukup rendah untuk
menunjang daya hidup dari mikroba pada umumnya. Nilai pH medium sangat
mempengaruhi jenis mikroba yang dapat tumbuh. Mikroorganisme umumnya dapat
tumbuh pada kisaran pH 3-6. Kebanyakan bakteri memiliki pH optimum yaitu pH
untuk pertumbuhan maksimum sekitar 6,5-7,5 (Fardiaz, 1992). Nilai pH sosis dengan
45
penambahan nitrit lebih tinggi daripada pH yang dimiliki oleh sosis dengan
penambahan kombinasi bubuk angkak-rosela, yaitu 5,833. Hal ini disebabkan oleh
total populasi mikroba pada sosis dengan penambahan nitrit lebih tinggi jika
dibandingkan dengan total populasi mikroba pada sosis dengan penambahan
kombinasi bubuk angkak-rosela.
Hasil analisa Total Plate Count (TPC) kedua jenis sosis untuk hari
penyimpanan ke-10 menunjukkan penurunan total populasi mikroba pada kedua jenis
sosis tersebut. Angka rataan untuk sosis dengan penambahan kombinasi bubuk
rosela-angkak ialah sebesar 1,510 log cfu/g dan hasil analisa TPC untuk sosis dengan
penambahan nitrit tidak menunjukkan adanya populasi mikroba yang dapat dihitung
(Tabel 11). Penurunan total populasi mikroba pada sosis ini dapat disebabkan oleh
mengering atau mengerasnya sosis yang disimpan selama penelitian. Hal ini
mengakibatkan semakin rendahnya kadar air di dalam sosis. Semua mikroorganisme
memiliki kebutuhan air yang tinggi untuk mendukung pertumbuhan dan aktivitasnya
(Marriott, 1989). RH optimal bagi bakteri adalah 92% atau lebih, sedangkan RH di
dalam refrigerator bisa sangat rendah saat sedang dalam kondisi tertutup (dapat
mencapai 10%), lebih rendah dari yang dibutuhkan oleh mikroba untuk tumbuh.
Semakin lama penyimpanan maka sosis atau sampel ini akan semakin mengering.
Apabila kadar air semakin rendah maka lingkungan akan semakin tidak kondusif
bagi mikroba untuk tumbuh atau melakukan aktivitasnya. Mengeringnya sosis
frankfurter dalam penelitian ini juga mungkin disebabkan oleh terjadinya proses
retrogradasi pati seperti yang dijelaskan dalam subbab mengenai kekenyalan sosis
selama proses penyimpanan di dalam skripsi ini.
Hasil analisis hari penyimpanan ke-20 menunjukkan terjadinya sedikit
peningkatan pada total populasi sosis dengan penambahan kombinasi bubuk roselaangkak. Angka rataan hasil analisis TPC untuk sosis dengan penambahan kombinasi
bubuk rosela dan angkak menjadi 2,203 log cfu/g. Sebelumnya pada analisis TPC
untuk hari ke 10, angka rataannya ialah sebesar 1,510 log cfu/g. Hal yang hampir
serupa juga didapati pada penelitian Rojsuntornkitti et al. (2010). Total populasi
mikroba pada sosis babi fermentasi dengan penambahan angkak pada hari ke 18
mengalami penurunan, sedangkan pada hari 24 mengalami kenaikan populasi,
bahkan melebihi jumlah populasi di hari pertama penelitian. Meningkatnya jumlah
46
rataan total populasi mikroba pada sosis dengan penambahan kombinasi bubuk
rosela-angkak ini mungkin disebabkan oleh terjadinya ketidakstabilan suhu saat
penyimpanan. Saat refrigerator dibuka, suhu di dalamnya akan mengalami kenaikan.
Meskipun suhu yang naik kemungkinan tidak terlalu besar dari suhu penyimpanan,
tetapi tidak tertutup kemungkinan bahwa mikroba mendapat kesempatan untuk
menyembuhkan diri. Penyimpanan dingin dapat mempunyai pengaruh nyata pada
kerusakan sel mikroba. Jika sel yang rusak atau luka mendapat kesempatan untuk
menyembuhkan diri, maka pertumbuhan yang cepat akan terjadi jika lingkungan
sekitar memungkinkan (Buckle et al., 1987). Winarno et al. (1980), menambahkan
penggunaan suhu rendah dalam pengawetan tidak dapat menyebabkan kematian
bakteri secara sempurna, sehingga jika bahan pangan beku dikeluarkan dari
penyimpanan dan dibiarkan sehingga mencair, maka keadaan ini masih
memungkinkan terjadinya pertumbuhan bakteri pembusuk yang berjalan dengan
cepat. Kemungkinan berikutnya yang menyebabkan meningkatnya angka rataan total
populasi mikroba pada sosis ialah terjadinya kontaminasi saat proses analisis
mikroba berlangsung oleh peneliti serta alat-alat yang digunakan dalam proses
analisis. Kemungkinan lain ialah pada saat dilakukan analisis TPC, kondisi mikroba
yang terdapat pada sosis sedang dalam fase logaritma dimana sel-sel bakteri sedang
membelah dengan cepat (Fardiaz, 1992). Tidak dapat terhitungnya angka total populasi mikroba pada sosis dengan
penambahan nitrit pada hari penyimpanan di atas 10 hari mungkin masih
menunjukkan kalau zat nitrit masih memiliki kemampuan menghambat mikroba
yang lebih baik daripada pigmen angkak dan rosela khususnya dalam jangka waktu
penyimpanan yang lebih lama. Menurut Wong dan Koehler (1981), masalah utama
dalam penggunaan zat pewarna alami adalah stabilitas pigmennya. Pewarna alami
sangat sensitif terhadap suhu, cahaya, keasaman, udara dan perubahan aktivitas air.
Pigmen angak yang diproduksi oleh Monascus sp ini sedikit larut dalam air dan
kurang begitu stabil teradap pengaruh-pengaruh fisika dan kimia. Hasil penelitian
Sutrisno (1987) menunjukkan bahwa pigmen angkak yang dimodifikasi dengan
menggunakan asam amino asetat, asam p-amino benzoat dan asam glutamat lebih
stabil terhadap pengaruh fisik dan kimia serta kelarutan yang lebih baik dalam air.
Berdasarkan kesimpulan dalam penelitian tersebut, pigmen angkak paling stabil pada
47
pH 9,2, tetapi pemanasan pada suhu 100oC selama satu jam tidak mengakibatkan
kerusakan yang nyata terhadap pigmen angkak. Nitrit memang telah terbukti dapat
mengawetkan dengan baik dan banyak digunakan dalam pembuatan produk-produk
olahan yang berbahan dasar daging namun nitrit dapat membentuk nitrosamin.
Nitrosamin merupakan senyawa kimia kimia yang bersifat karsinogenik. Nitrosamin
dapat terbentuk di dalam daging cured yang menggunakan nitrit, bila nitrit
membentuk grup nitroso (-N=O) yang secara kimiawi terikat pada atom nitrogen
amonia pada senyawa organik tertentu, mislanya amonia-amonia sekunder (-NR2H)
(Soeparno, 2005). Oleh karena efek negatif nitrit tersebut, maka perlu dicari bahan
pengawet pengganti yang sifatnya lebih alami dan lebih aman bagi kesehatan
manusia.
Jumlah Escherischia coli pada Sosis Frankfurter Selama Penyimpanan
Bakteri E. coli merupakan indikator dari kontaminasi kotoran terhadap bahan
pangan. E. coli merupakan bakteri Gram negatif, tumbuh optimal pada suhu 37 oC,
tetapi dapat tumbuh optimal pada suhu 10-40 oC (Fraizer dan Westhoff, 1998).
Selain itu, E. coli digunakan sebagai organisme indikator karena jika terdapat dalam
jumlah yang banyak menunjukkan bahwa pangan atau air telah mengalami
pencemaran. Hasil analisis bakteri E. Coli pada sosis serta perubahannya selama
penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Perubahan Jumlah E. coli pada Sosis selama Penyimpanan
Perlakuan
Lama simpan
H0
H10
H20
--------------------Log (cfu/g)-----------------Rosela-angkak
2,28±2,04a
1,66±1,44b
<1
Nitrit
2,73±0,19a
1,92±1,66b
<1
Keterangan: Superscript yang berbeda pada kolom periode penyimpanan yang berbeda menunjukkan
lama simpan berpengaruh nyata terhadap total E. coli (P<0,05).
Jenis pengawet yang diujikan dalam penelitian ini tidak berpengaruh nyata
(P>0,05) terhadap total populasi E. coli yang terdapat dalam sosis frankfurter
tersebut. Akan tetapi, lama simpan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap total
populasi E. coli yang terdapat pada sosis. Interaksi antara lama simpan dengan jenis
bahan pengawet tidak berpengaruh nyata terhadap total populasi E. coli yang
48
terdapat pada sosis. Hasil uji lanjut menyatakan bahwa lama simpan berpengaruh
sangat nyata (P<0,01) terhadap total populasi E. coli dalam sosis frankfurter tersebut
selama periode penyimpanan.
Berdasarkan data yang ditampilkan pada Tabel 12, dapat dikatakan populasi
E. coli yang terdapat dalam sosis frankfurter mengalami penurunan dalam setiap
analisa pada periode penyimpanan yaitu setiap 10 hari. Angka rataan yang
ditunjukkan hasil analisa populasi E. coli untuk hari penyimpanan ke-0 ialah sebesar
2,280 log cfu/g untuk sosis dengan penambahan kombinasi bubuk rosela-angkak dan
untuk sosis dengan penambahan nitrit ialah sebesar 2,727 log cfu/g. Perbedaan
jumlah populasi E. coli antara sosis frankfurter dengan penambahan kombinasi
bubuk rosella-angkak dan sosis frankfurter dengan penambahan nitrit menunjukkan
bahwa kombinasi bubuk rosela-angkak bekerja lebih baik dalam menekan jumlah
bakteri E. coli yang terdapat dalam sosis. Membandingkan dengan jumlah populasi
awal bakteri E. coli yang terdapat pada daging segar yaitu 2,462 log cfu/g, maka
dapat dikatakan bahwa penggunaan kombinasi bubuk rosela-angkak maupun nitrit
tidak berpengaruh besar terhadap jumlah populasi bakteri E. coli yang terdapat dalam
sosis frankfurter tersebut. Hal ini disebabkan karena bakteri E. coli merupakan
bakteri Gram negatif. Menurut Branen dan Davidson (1993), bakteri Gram negatif
memiliki dinding sel yang kompleks atau berlapis dan terdiri atas 3 lapisan yaitu
lapisan luar berupa lipoprotein, lapisan tengah lipopolisakarida dan lapisan dalam
berupa peptidoglikan. Bakteri Gram negatif memiliki sistem seleksi terhadap zat-zat
asing yaitu pada lapisan lipopolisakarida. Lapisan lipopolisakarida yang juga disebut
endotoksin, merupakan bagian penting dari membran luar dan dapat digunakan untuk
mengidentifikasi bakteri Gram negatif. Pernyataan tersebut mendasari bahwa pada
zat antimikroba yang ada di dalam pigmen angkak (monaskidin) dan rosela sebagai
perlakuan yang diberikan pada sosis Frankfurter, belum cukup efektif dalam
menghambat pertumbuhan bakteri Gram negatif (Syudhly, 2010).
Hasil rataan analisis total populasi E. coli pada periode penyimpanan hari ke
10 menunjukkan terjadinya penurunan jumlah populasi E. coli yang terdapat dalam
sosis. Hasil analisis menunjukkan angka 1,657 log cfu/g untuk sosis dengan
penambahan kombinasi bubuk rosela-angkak dan 1,920 log cfu/g untuk sosis dengan
penambahan nitrit. Penurunan total populasi E. coli ini dapat disebabkan oleh
49
beberapa hal, diantaranya ialah meningkatnya populasi bakteri asam laktat (BAL)
selama periode penyimpanan yang terdapat dalam sosis. Menurut Ouwehand (1998),
bakteri asam laktat menghasilkan beberapa senyawa antimikroba berupa asam-asam
organik berupa asetat, asam laktat dan karbondioksida. Selain itu juga dihasilkan
hidrogen peroksida dan senyawa diasetil serta senyawa-senyawa reuterin dan
2-pirolidon-5asam karboksilat, sehingga efektif dalam menghambat bakteri. Kondisi
lingkungan di sekitar bakteri yang kurang kondusif juga dapat menjadi penyebab
menurunnya total populasi E. coli dalam sosis. Mengeringnya sosis yang disertai
naiknya nilai DSA pada sosis, menyebabkan berkurangnya kadar air yang terdapat di
dalamnya, sedangkan kebutuhan mikroba akan air sangat penting untuk mendukung
pertumbuhan dan aktivitas mikroba tersebut (Marriott, 1989). RH di dalam kulkas
yang rendah juga mendukung berkurangnya aktivitas dan perkembangan mikroba
karena mikroba membutuhkan RH optimum sebesar 92% untuk menunjang
aktivitasnya. Hal-hal tersebut pula yang mungkin menjadi penyebab tidak
terdapatnya lagi koloni E. coli yang dapat dihitung sebagai populasi E. coli yang
terdapat di dalam sosis frankfurter, baik dengan penambahan kombinasi bubuk
rosela-angkak maupun pada sosis dengan penambahan nitrit, pada periode
penyimpanan hari ke 20. Kombinasi bubuk rosella-angkak dapat dikatakan sudah
dapat menekan pertumbuhan bakteri E. coli dengan cukup baik apabila disimpulkan
berdasarkan SNI NO 01-6366-2000, karena hasil analisa menunjukkan bahwa
populasi E. coli yang terdapat dalam sosis frankfurters tersebut tidak melebihi batas
cemaran maksimum yang telah ditentukan oleh Dewan Standarisasi Nasional (DSN).
Jumlah Total Bakteri Asam Laktat (BAL) pada Sosis Frankfurter
Menurut Ouwehand (1998), bakteri asam laktat menghasilkan beberapa
senyawa antimikroba berupa asam-asam organik berupa asetat, asam laktat dan
karbondioksida. Selain itu juga dihasilkan hidrogen peroksida dan senyawa diasetil
serta senyawa-senyawa reuterin dan 2-pirolidon-5asam karboksilat, sehingga efektif
dalam menghambat bakteri. Bakteri asam laktat dapat memfermentasi karbohidrat
menjadi asam laktat sehingga dapat menyebabkan turunnya pH daging. Turunnya pH
daging dapat membantu menekan pertumbuhan bakteri patogen pembusuk yang ada
(Fardiaz, 1992). Hasil analisis bakteri asam laktat (BAL) serta perubahannya selama
penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 13.
50
Tabel 13. Perubahan Jumlah BAL pada Sosis selama Penyimpanan.
Perlakuan
Lama simpan
H0
H10
H20
--------------------Log (cfu/g)-----------------Rosela-angkak
4,60
4,93
<1
Nitrit
4,98
5,10
<1
Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa bakteri asam laktat pada kedua
jenis sosis frankfurter, baik dengan penambahan kombinasi bubuk rosela-angkak
maupun dengan penambahan nitrit, mengalami kenaikkan total populasinya pada hari
penyimpanan ke-10, lalu menghilang pada hari penyimpanan ke-20. Angka hasil
analisis bakteri asam laktat untuk hari penyimpanan ke-0 ialah sebesar 4,602 log
cfu/g untuk sosis dengan penambahan kombinasi bubuk rosela-angkak dan 4,978 log
cfu/g untuk sosis dengan penambahan nitrit.
Bakteri asam laktat merupakan bakteri Gram positif yang dinding selnya
memiliki kandungan lipid lebih sedikit (1%-4%) dan struktur sel yang lebih
sederhana daripada bakteri Gram negatif sehingga memudahkan senyawa angkak dan
rosela melisis sel dari bakteri tersebut (Syudhly, 2010). Hal ini mendukung bukti
bahwa kombinasi bubuk rosela dan angkak memiliki kemampuan menghambat
aktivitas mikroba sedikit lebih baik dari pada nitrit karena berdasarkan hasil-hasil
analisa yang didapat untuk analisa TPC, E. Coli dan BAL memperlihatkan angka
total populasi yang lebih rendah dibandingkan dengan total populasi mikroba pada
sosis dengan penambahan nitrit.
Angka total populasi bakteri asam laktat untuk hari penyimpanan ke 10
menunjuk angka 4,929 log cfu/g untuk sosis dengan penambahan kombinasi bubuk
rosela-angkak dan 5,097 log cfu/g untuk sosis dengan penambahan nitrit. Naiknya
angka total populasi bakteri asam laktat pada sosis dengan umur simpan 10 hari
tersebut dapat disebabkan karena bakteri asam laktat dapat bertahan hidup pada
kisaran pH 3,2 dan pH 9,6 serta beberapa jenis bakteri asam laktat dapat tumbuh
pada suhu 5oC (Jay, 1996). Menurut Buckle et al. (1987), jika sel yang rusak atau
luka mendapat kesempatan menyembuhkan diri, maka pertumbuhan yang cepat akan
terjadi jika lingkungan sekitar memungkinkan. Berdasarkan pernyataan tersebut,
maka tidak tertutup kemungkinan bahwa bakteri asam laktat yang terdapat dalam
51
sosis tersebut dapat memperbaiki dirinya dan masih dapat melanjutkan aktivitasnya
serta berkembang biak di dalam refrigerator selama penyimpanan. Tidak dapat
terhitungnya populasi bakteri asam laktat, baik pada sosis dengan penambahan
kombinasi bubuk rosela-angkak maupun sosis dengan penambahan nitrit, pada hari
penyimpanan ke-20 dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan yang sudah sangat
tidak kondusif bagi bakteri untuk tumbuh, seperti ketersediaan nutrisi dan air.
52
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penggunaan kombinasi rosela-angkak (1%:0,75%) berpengaruh nyata
terhadap sifat fisik yang diamati. Nilai pH, DSA dan kekenyalannya lebih rendah
dibandingkan sosis dengan penambahan nitrit (0,0125%). Sosis frankfurter
mengalami perubahan kualitas fisik pada hari penyimpanan ke-20. Penggunaan
kombinasi rosela-angkak (1%:0,75%) tidak berpengaruh nyata terhadap sifat
mikrobiologis yang diamati, yaitu TPC, total E. coli dan total Bakteri Asam Laktat.
Terjadi perubahan TPC, total E. coli dan total Bakteri Asam Laktat selama masa
penyimpanan sosis selama 20 hari. Kombinasi rosela-angkak (1%:0,75%) dapat
digunakan untuk menggantikan nitrit (0,0125%) pada produk sosis.
Saran
Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh penambahan zat
tambahan alami antara rosela dan angkak dengan dosis yang berbeda terhadap
perubahan sifat-sifat mikrobiologis dan fisik-kimia pada sosis frankfurter yang
terjadi selama masa penyimpanan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Tuhan kami Yesus Kristus
yang telah melimpahkan rahmat dan berkat-Nya yang begitu besar sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Selama penelitian dan penulisan skripsi ini, tidak sedikit bantuan, bimbingan,
serta perhatian yang diberikan oleh berbagai pihak kepada penulis. Pada kesempatan
ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua
tercinta, saudara, dan keluarga besar di Jawa Barat atas doa, dukungan, pengorbanan
dan kasih sayang yang tiada henti.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Irma Isnafia Arief , S.Pt.
M.Si sebagai pembimbing utama dan Ibu Ir. Hj. Komariah M. selaku dosen
pembimbing anggota, yang penuh tanggung jawab dan sabar untuk meluangkan
waktu membimbing, mengarahkan dan mengoreksi penulisan proposal hingga skripsi
ini, serta kepada Bapak Dr. Jakaria, S.Pt. M. Si. sebagai pembimbing akademik.
Terima kasih kepada Ibu Tuti Suryati, S. Pt., M. Si., Ibu Ir. Lilis Khotijah, MS. dan
Bapak Dr. Rudy Afnan, S. Pt., M. Sc.Agr., selaku dosen penguji ujian sarjana atas
saran dan kritikan membangun untuk penulisan skripsi ini.
Terima kasih pula kepada sahabat dan teman-teman, Ratna Budi Wulandari,
Nurrul Hikmah, Arfan Afandy, Yuliana serta terutama kepada teman-teman satu tim
penelitian maupun PKMP, Amalia M. T. S. dan Dwi Noviliana, serta Muhammad
Sarwar Khan dan Yuni Wijayanti serta teman-teman seperjuangan IPTP 43 lainnya
atas kebersamaan, bantuan, dorongan, dan perhatiannya. Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri,
M.Agr.Sc dan civitas akademika FAPET IPB atas dorongan dan kerjasamanya.
Akhirnya kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan
dan kerjasamanya. Semoga segala dukungan, bantuan, saran dan nasehat yang telah
diberikan mendapatkan imbalan dari Allah Bapa kami di surga.
Bogor, Februari 2012
Penulis
54
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, A. 2004. Sifat fisik dan organoleptik sosis daging sapi dengan kombinasi
minyak jagung dan wortel (Daucus Carota L.) yang berbeda. Skripsi.
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Aberle, E. D., Forrest J. C, Gerrard D. E. & E. W. Mills. 2001. Principle of Meat
Science. 4th Ed. Kendall/Hunt Pub. Company, Colorado.
Amanda & Prima. 2008. Khasiat Teh Rosella. http://Amandaprima.Blogsome/2008/
10/02/ khasiat – teh – rosella/. [25 Februari 2010].
AOAC. 1995. Official Method of Analysis. Association of Analytical Chemist,
Washington D.C.Arpah. 2001. Buku & Monograf Penentuan Kadaluarsa
Produk Pangan. Program Studi Ilmu Pangan. Program Pasca Sarjana IPB,
Bogor.
APHA (American Public Health Association). 1992. Standard Method for the
Examination of Dairy Products. 16th Edition. Porth City Press, Washington
DC.
Arpah. 2001. Buku dan Monograf Penentuan Kadaluarsa Produk Pangan. Program
Studi Ilmu Pangan. Program Pasca Sarjana IPB, Bogor.
Bacteriological
Analytical
Manual.
2001.
Aerobic
count.http:/Cfsan.Fdagov/abam/bam.Html. [21 Desember 2009].
plate
Banwart, G. J. 1983. Basic Food Microbiology. AVI Publishing Company, Inc.,
Westport Connecticut.
Bloukas, J. G., I. S. Arvanitoyannis & A. A. Siopi. 1998. Effects of natural
colourants and nitrite on colour attributes of frankfurters. Meat Sci. 52: 257265.
Bouton, P.E., A.L. Ford, P.V. Harris & D. Ratcliff. 1978. Effect Low Voltage
Stimulation on Muscle. J. Food Sci. 43, 1392. Institute of Food
Technologiest, Chicago.
Branen, A. L & P. M. Davidson. 1993. Antimicrobial in Foods 2nd Ed. Marcel
Dekker Inc. New York.
Branen, A. L., P. M. Davidson., S. Salminen & J. H. Thorngate. 2002. Food
Additives 2nd Ed. Marcel Dekker Inc., New York.
Bridle, P. & C. F. Timberlake. 1996. Anthocyanins as natural food colours-selected
aspects. Food Chem. 58(1-2): 103-109.
Buckle, K. A., R.A. Edward, G. H. Fleet & M. Wotton. 1987. Ilmu Pangan. UI-Press,
Jakarta.
De Freitas, Z., J. G. Sebranek, D. G. Olson & J. M. Carr. 1997. Freeze or thaw
stability of cooked pork sausage as affected by salt, phosphate, pH and
caragenan. J. Food Sci. 62 : 551.
Desroisier, W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. UI-Press, Jakarta.
Dewan Standarisasi Nasional (DSN). 1995. SNI 01-3020-1995. Sosis. Standar
Nasional Indonesia, Jakarta.
Dewan Standarisasi Nasional (DSN). 2000. SNI 01-6366-2000. Batas maksimum
cemaran mikroba dan batas maksimum residu dalam bahan makanan asal
hewan. Standar Nasional Indonesia, Jakarta.
Dewanti, R. P. K. 2009. Karakteristik fisik, kimia dan organoleptik sosis sapi dengan
perendaman dalam substrata antimikroba Lactobacillus sp. (1AS) pada
penyimpanan suhu dingin. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Effie. 1980. Pembuatan sosis ikan cucut (Centroscymus coelolepsi). Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Ellinger, R.H. 1972. Phosphates in Food Processing. CRC Handbook of Food
Additives. 2nd Ed. CRC Press Inc., Boca Raton, Florida.
Fabre, C.E., A.L. Santerre, M.O. Loret, R. Baberian, A. Oareileux, G. Goma
& P.J. Blanc. 1993. Production and food application of the red
pigments of Monascus rubber. J. Food Sci. 58: 1099-1102.
Fardiaz, D., N. Andarwulan, H. W. Hariantono, & N.L. Puspita. 1992. Teknik
Analisis Sifat Kimia dan Fungsional Komponen Pangan. Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan. PT. Gramedia Utama, Jakarta.
Fardiaz, S., D. B. Fauzi & F. Zakaria. 1996. Toksisitas dan Imunogenisitas
pigmen angkak yang diperoleh dari kapang Monascus Purpureus pada
substrat limbah cair tapioka. Buletin Indutsri Pangan. 7(2) : 63-68.
Fraizer, W.C. 1967. Food Microbiology. McGraw-Hill Book Co., New York.
Frazier, W. C. & Westhoff D. C. 1998. Food Microbiology 4th ed. Mc Graw Hill
Publ Co. Ltd., New York.
Gadiyaram, K. M. & G. Kannan. 2004. Comparison of textural properties of low-fat
chevon, beef, pork, and mixed-meat sausage. J. Ani. Sci. 34 (1) : 212-214.
Gaman, P. M. & Sherington. 1990. The science of food : An Introduction to Food
Science, Nutrition and Microbiology. Third Edition. Pergamon Press, New
York.
Girard, J. P. 1992. Technology of Meat and Meat product. Ellis Horwood Ltd.,
Chichester.
Gradinaru, G., C. G. Biliaderis, S. Kallithraka, P. Kefalas, & C. G. Viguera. 2003.
Thermal stability of Hibiscus sabdariffa L. anthocyanins in solution and solid
state: effects of copigmentation and glass transition. J. Food Sci. 83: 432-436.
Heldman, D.R. & R.P. Singh. 1988. Rekayasa Proses Pangan. Terjemahan. M. A. W.
Kusumah, S. Hardjo & P. Haryadi. LSI-IPB, Bogor.
Henrickson, R. L. 1978. Meat, Poultry and Seafood Technology. Prentice Hall Inc.,
New Jersey.
56
Husni, E., A. Samah & R. Ariati. 2007. Analisa zat pengawet dan protein dalam
makanan siap saji sosis. J. Sains dan Tek. Far. 12(2): 108-111.
Indriyani, B. 2007. Karakteristik sosis sapi dengan menggunakan bahan dasar
tepung daging sapi. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Jay, J. M. 2000. Modern Food Microbiology. 6th Ed. Aspen Publisher., Inc.
Maryland.
Jenie, B.S.L. & Kuswanto. 1994. Pengaruh pigmen angkak merah terhadap
pertumbuhan beberapa mikroba patogen dan perusak makanan.
Pertemuan Ilmiah Tahunan. Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia,
Bogor.
Justiawan, R. M. 1997. Pemanfaatan pigmen angkak untuk subtitusi nitrit
dalam pembuatan sosis daging sapi dan pengaruhnya terhadap Bacillus
stearothermophillus. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Kasim, E., N. Suharna & N. Nurhidayat. 2005. Kandungan pigmen dan lovastatin
pada angkak beras merah kultivar bah butong dan BP 1804 IF 9 yang
difermentasi dengan Monascus purpureus Jmba. Biodiversitas 7(1): 7-9.
Kramlich, W. E. 1973. Sausage Products. Di dalam Price and B. S. Sceiveger (ed).
The Science and Meat Product. W.H. Freeman and Co., Westport,
Connecticut.
Labuza, T. P. 1982. Shelf Life Dating of Foods. J. Food Tech. 22 : 267-270.
Lawrie, R. A. 2003. Ilmu Daging. Terjemahan Aminuddin Parakkasi. Universitas
Indonesia Press, Jakarta.
Liana, D. N. 2010. Kualitas fisik, kimia dan organoleptik sosis frankfurters dengan
penggunaan bubuk rosella dan angkak sebagai bahan tambahan alami
pengganti nitrit. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Manulang, M. 1990. Karbohidrat Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor.
Marco, A., J. L. Navarro & M. Flores. 2006. The influences of nitrite and nitrate on
microbial, chemical and sensory parameters of slow dry fermented sausage.
Meat Sci. 73: 660-673.
Maria, E. K & S. Ramli. 2008. Pemanfaatan hasil tanaman hias rosela sebagai bahan
minuman.
http://lemlit.unila.ae.id/file/arsip
2009/SATEK
2008/versi
PDF/bidang 8/VIII-13.pdf. [25 Februari 2010].
Marriott, N. G. 1989. Principles of Food Sanitation. Van Nostran Reinhold, New
York.
Maryani, H & Kristiana. 2005. Khasiat dan Manfaat Rosela. http://www.rosellatea.blogspot.com. [10 Juni 2010].
Moedjiharto, T. J. 2003. Evaluasi fisikokimia sosis tempe-dumbo. J. Tek. dan Ind.
Pangan. 16 (2) : 164-168.
57
Muchtadi D. 1987. Aspek Biokimia dan Gizi Dalam Keamanan Pangan. PAU-IPB,
Bogor.
Muchtadi, T. R. & Sugiono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat
Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Ockerman, H. W. 1983. Chemistry of Meat Tissue. 10 th Ed. Department of
Animal Science The Ohio State University and The Ohio Agricultural
Research and Development Center, Ohio.
Ouwehand, A. C. 1998. The health effect milk production with viable and
non-viable bacteria. J. of Int. Dairy. 8: 749-776
Palo, M.A., L.V. Adeve & L.M. Maceda. 1960. A Study On Anka and Its
Production. Philipine J. Sci. 89 : 1-22.
Pattanagul, P., R. Pinthong, A. Phianmongkhol & N. Leksawasdi. 2007. Review of
angkak production (Monascus purpureus). Chiang Mai J. Sci. 34(3) : 319328.
Pearson, A. M. & F. W. Tauber. 1985. Processed Meats 2nd Ed. Kluwer Academic
Publisher, Dordrecht.
Price, J.F & B. S. Schweigert. 1971. The Science of Meat and Meat Products.
Second Edition. A Series of Books in Agricultural Animal Science. W.
H. Freeman and Company., San Fransisco.
Ramaswamy, H. & M. Marcotte. 2006. Food Processing: Prinsciples and
Appliations. Taylor and Francis Group, Boca Raton.
Ray, B. 2004. Fundamental Food Microbiology, 3rd Edit. CRC Press, London.
Retno, E., Diana P., Fungki S. R., Endang N. & Tri R. 1999. Ekstraksi Zat Warna
Kelopak Bunga Rosela (Hibiscussabdariffa Linn.) Sebagai Alternatif
Pewarna AlamiBahan Pangan. http://www.scribd.com/paulina_margaretha/d/
60223614-Ekstraksi-Zat-Warna-Kelopak-Bunga-Rosela. [25 Februari 2010].
Rojsuntornkitti, K., N. Jittrepotch, T. Kongbangkerd, & K. Kraboun. 2010.
Substitution of nitrite by chinese red broken rice powder in Thai traditional
fermented pork sausage (Nham). Thailand. Int. Food Res. J. 17: 153-16.
Rust, R. E. 1977. Sausage and Processed Meat Manufacturing. AMI center for
Continuing Education, Iowa.
Salle, AJ. 1961. Fundamental Principles of Bacteriology Fifth ed., McGraw Hill
Book Co., Inc., New York.
Shehata H. A., H. J. Buckenhuskes & M.S. El-Zoghbi. 1998. Colour
optimization of Egyption sausage by natural colourants. J.
Fleischwirtchaft Int. (3). P : 40-44.
Soekarto, S.T. 1990. Dasar-dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan. Institut
Pertanian Bogor Press, Bogor.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
58
Steel, R. G. D. & J. H. Torrie. 1997. Prinsip dan Prosedur Statistik. Terjemahan. B.
Sumantri. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Steinkraus K. H. 1983. Handbook of Indigenous Fermented Foods. Marcel Dekker
Inc., New York.
Sutrisno, A.D. 1987. Pembuatan dan peningkatan kualitas zat warna merah
alami yang dihasilkan oleh Monascus purpureus sp. Di dalam: Risalah
Seminar Bahan Tambahan Kimiawi, Fardiaz, S., Dewanti, R. dan
Budiyanto, S. Jakarta, Indonesia. Oktober 3-4. 1986.
Syarief, R. & H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Bahan Pangan. Penerbit
Arcan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Syarief, R., S. Santausa & B. Isyana. 1989. Buku dan Manograf Teknologi
Pengemasan Pangan. Laboratorium Rekayasa Proses Pangan, PAU IPB,
Bogor.
Syudhly, A. M. S. 2010. Sifat mikrobiologi sosis frankfurters dengan penggunaan
angkak dan rosela sebagai bahan tambahan alami substitusi nitrit. Skripsi.
Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Tauber, F. 1977. Sausage. Di dalam: Element of food Technology. Desroisier, N.
W. (ed). The AVI Publishing Co, Westport Connecticut.
USDA. 2000. Journal Of Science. Food Safety and Inspection Service, Washington
D.C.
Varnam, A. N. & J. P. Sutherland. 1995. Meat and Meat Products: Technology,
Chemistry and Microbiology. Chapman and Hall, London.
Wianti. A, Y. N. Sari & I. A. Harahap. 2008. Si bunga merah anti- TBC.
http://radioppidunia.com/PKM ROSELLA.new.pdf. [25 Februari 2010].
Wilson, N. R. P. 1981. Meat and Meat Products: factors affecting quality control.
Applied Science, London.
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit Gramedia, Jakarta.
Winarno, F. G., S. Fardiaz dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan.
Penerbit PT Gramedia, Jakarta.
Wong, H. C. & P. E. Koehler. 1981. Mutant of Monascus pigment
production. J. Food Sci. 46: 956-957.
59
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Analisis Ragam Nilai pH Sosis Frankfurter
SK
Perlakuan
Periode
Interaksi
Galat
Total
Db
1
2
2
12
17
JK
3,654
1,172
0,011
0,110
4.948
KT
3,654
0.586
0,006
0,009
F
397,35
63,77
0,61
P
0,00*
0,00*
0,562
Keterangan : * = berpengaruh sangat nyata (P <0,01)
Lampiran 2. Hasil Analisis Ragam Daya Serap Air (DSA) Sosis Frankfurter
SK
Perlakuan
Periode
Interaksi
Galat
Total
Db
1
2
2
12
17
JK
82,347
68,063
204,174
49,167
403,750
KT
82,347
34,031
102,087
4,097
Fhit
20,10
8,31
24,92
P
0,0007*
0,0054*
0,0001*
Keterangan : * = berpengaruh nyata (P<0,05)
Lampiran 3. Hasil Analisis Ragam Kekenyalan Sosis Frankfurter
SK
Perlakuan
Periode
Interaksi
Galat
Total
Db
1
1
1
8
11
JK
441,59
2102,64
34,63
178,55
1,111
KT
441,59
2102,64
34,63
22,32
F
19,79
94,21
1,55
P
0,0021*
0,00*
0,2481
Keterangan: * = berpengaruh nyata (P <0,05)
Lampiran 4. Hasil Uji Kruskal-Wallis Parameter Warna Sosis Frankfurter H0
Perlakuan
N
Median
Ave Rank
Z
Nitrit
30
4,000
42.9
5.48
1% Rosella:0,75% Angkak
30
2,000
18.1
-5.48
DF = 1
P = 0.000
Overall
60
H = 33.28
Lampiran 5. Hasil Uji Kruskal-Wallis Parameter Bau Sosis Frankfurter H10
Perlakuan
N
Median
Ave Rank
Z
Nitrit
30
4,000
31.9
0.60
1% Rosella:0,75% Angkak
30
4,000
29.1
-0.60
DF = 1
P = 0.508
Overall 60
H = 0.44
61
Lampiran 6. Hasil Uji Kruskal-Wallis Parameter Lendir Sosis Frankfurter H20
Perlakuan
N
Median
Ave Rank
Z
Nitrit
30
4,000
37.2
2.99
1% Rosella:0,75% Angkak
30
3,000
23.8
-2.99
Overall
60
H = 10.31
DF = 1
P = 0.001
Lampiran 7. Hasil Uji Kruskal-Wallis Parameter Kekenyalan Sosis Frankfurter H0
Perlakuan
N
Median
Ave Rank
Z
Nitrit
30
3,000
28.1
-1.04
1% Rosella:0,75% Angkak
30
4,000
32.9
1.04
DF = 1
P = 0.267
Overall
60
H = 1.23
Lampiran 8. Hasil Uji Kruskal-Wallis Parameter Tekstur Sosis Frankfurter H10
Perlakuan
N
Median
Ave Rank
Z
Nitrit
30
4,000
34.4
1.71
1% Rosella:0,75% Angkak
30
3,000
26.6
-1.71
Overall
60
H = 3.22
DF = 1
P = 0.073
Lampiran 9. Jumlah Total Mikroba Sosis Frankfurter pada Tiap Taraf Perlakuan
(H0)
Perlakuan (cfu/g)
Ulangan
1% Rosella:0,75% Angkak
Nitrit
1
1,12x105
1,58x105
2
3,45x105
1,13x105
3
1,76x105
6,9x105
Rataan
1,89x105
2,29x105
---------------------- log cfu/g ----------------------
1
5,05
5,20
2
5,53
5,05
3
5,23
5,83
Rataan
5,28 ± 0,24
5,36 ± 0,41
62
Lampiran 10. Jumlah Total Mikroba Sosis Frankfurter pada Tiap Taraf Perlakuan
(H10)
Perlakuan (cfu/g)
Ulangan
1% Rosella:0,75% Angkak
Nitrit
1
-
-
2
-
-
3
3,4x104
-
Rataan
3,2x101
-
---------------------- log cfu/g ---------------------1
<1
<1
2
<1
<1
3
4.53
<1
Rataan
1,51 ± 2,62
<1
Lampiran 11. Jumlah Total Mikroba Sosis Frankfurter pada Tiap Taraf Perlakuan
(H20)
Perlakuan (cfu/g)
Ulangan
1% Rosella:0,75% Angkak
Nitrit
1
-
-
2
-
-
3
4,05x105
-
Rataan
1,59x102
-
---------------------- log cfu/g ----------------------
1
<1
<1
2
<1
<1
3
6,61
<1
Rataan
2,203 ± 3,82
<1
63
Lampiran 12. Analisis Ragam Penambahan Jenis Bahan Tambahan terhadap Jumlah
Total Mikroba (log cfu/g) pada Sosis Frankfurter.
Sumber Keragaman
Derajat
Bebas
1
2
2
12
17
Perlakuan
Kelompok
Interaksi
Galat
Total
Jumlah
Kuadrat
0,143
1,769
0,077
1,887
2,88
Kuadrat
Tengah
0,143
0,884
0,038
0,073
F
P
1,94 0,189
11,96 0,001
0,53 0,604
Lampiran 13. Jumlah Total Escherischia coli Sosis Frankfurter pada Tiap Taraf
Perlakuan (H0).
Perlakuan (cfu/g)
Ulangan
1% Rosella:0,75% Angkak
Nitrit
1
-
4,05x102
2
7,7x102
8,9x102
3
8,9x102
4,2x102
Rataan
1,91x102
5,32x102
---------------------- log cfu/g ----------------------
1
<1
2.61
2
2.89
2.95
3
3.95
2.62
Rataan
2,28 ± 2,04
2,73 ± 0,19
64
Lampiran 14. Jumlah Total Escherischia coli Sosis Frankfurter pada Tiap Taraf
Perlakuan (H10).
Perlakuan (cfu/g)
Ulangan
1% Rosella:0,75% Angkak
Nitrit
1
-
7,35x102
2
3,6x102
-
3
2,6x102
7,9x102
Rataan
4,53x10
8,32x10
---------------------- log cfu/g ---------------------1
<1
2.87
2
2.56
<1
3
2.41
2.89
Rataan
1,66 ± 1,43
1,92 ± 1,66
Lampiran 15. Analisis Ragam Penambahan Jenis Bahan Tambahan terhadap Jumlah
Total Escherischia coli (log cfu/g) pada Sosis Frankfurter.
Sumber Keragaman
Perlakuan
Kelompok
Interaksi
Galat
Total
Derajat
Bebas
1
2
2
12
17
Jumlah
Kuadrat
0,143
1,769
0,077
1,887
2,88
Kuadrat
Tengah
0,143
0,884
0,038
0,073
F
P
1,94 0,189
11,96 0,001
0,53 0,604
Lampiran 16. Proses Pembuatan Sosis
65
Lampiran 17. Pengukuran Sifat Fisik Sosis
66
Lampiran 18. Analisa Mikrobiologi Sosis
67
Download