UTS SIM AMILA fik - Pelayanan Kesehatan dan Keperawatan

advertisement
SISTEM MANAJEMEN INFORMASI KEPERAWATAN
PENGGUNAAN BLADDER SCAN SEBAGAI ALAT MONITORING
GANGGUAN PERKEMIHAN dan VOLUME KANDUNG KEMIH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester
Disusun Oleh:
Amila (0906505086)
PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN MEDIKALBEDAH
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
TAHUN 2011
1
2
ABSTRAK
Bladder ultrasound merupakan teknik pengkajian pada kandung kemih yang menggunakan
teknologi berbasis gelombang ultrasound yang dilengkapi mikroprosessor untuk melihat kondisi
kandung kemih. Teknologi ini merupakan prosedur non invasif yang direkomendasikan untuk
mengurangi infeksi nasokomial selama di rumah sakit akibat pemasangan kateter. Banyak
kelebihan yang dimiliki alat ini, seperti dapat memperkirakan volume residu paska pengosongan
yang lebih cepat daripada kateterisasi, mengurangi biaya, ketidaknyamanan pasien dan
mengurangi waktu perawat. Selain itu alat ini juga mempunyai keakuratan 90 %-95%, sehingga
menjadi rekomendasi untuk pendeteksian gangguan eleminasi buang air kecil. Namun demikian
alat ini memiliki pula beberapa keterbatasan seperti dalam hal biaya yang mahal dan
ketidakakuratan dalam membaca hasil scan. Keberadaan alat ini dapat memberikan manfaat bagi
klien, perawat/petugas kesehatan, keluarga dan rumah sakit, oleh karena itu diperlukan lagi
beberapa modifikasi untuk mengurangi hal-hal yang masih menjadi keterbatasan alat ini.
Kata kunci : portable bladder ultrasound, postvoidal residual volume
3
PENGGUNAAN BLADDER SCAN SEBAGAI ALAT
MONITORING GANGGUAN PERKEMIHAN
DAN VOLUME KANDUNG KEMIH
1.1 Latar Belakang
Infeksi nasokomial atau disebut juga hospital acquired infection (HAI) adalah infeksi yang
didapatkan dan berkembang selama pasien dirawat dirumah sakit (WHO, 2003). Sumber lain
mendefinisikan infeksi nasokomial merupakan infeksi yang disebabkan oleh faktor lingkungan,
seperti yang infeksi didapatkan oleh pasien selama kunjungan rumah sakit atau atau berkembang
diantara staf rumah sakit (Wikipedia, 2011). Infeksi nasokomial tersebut didapatkan setelah
3x24 jam sejak mulai perawatan dan infeksi tersebut bukan merupakan sisa dari infeksi
sebelumnya (Heather & Hannie, 2001). Salah satu infeksi nasokomial yang sering terjadi adalah
infeksi saluran kemih/ISK .
Hasil penelitian memperkirakan sekitar 40% pasien yang dirawat di rumah sakit mengalami
infeksi saluran kemih karena kateterisasi. Kateterisasi kandung kemih merupakan prosedur
invasif yang sering dilakukan di rumah sakit dimana lebih dari 12% pasien yang ada dirumah
sakit akan terpasang kateter (Saint et al, 2009; Rahmawati, 2008). Menurut Martin et al (2006
dalam Rigby & Housami, 2009) pemasangan kateter diyakini merupakan gold standard
untuk mengukur volume urin sisa, mengeluarkan urin dari kandung kemih seseorang karena
ketidakmampuan pengeluaran urin secara spontan pada kasus – kasus tertentu seperti pasien
stroke, penyakit jantung, fraktur servikal yang menyebabkan kelemahan dan keterbatasan
aktivitas
Angka kejadian ISK akibat pemakaian kateter cukup tinggi. Setiap tahun lebih dari 1 juta
orang mengalami infeksi saluran kemih karena penggunaan kateterisasi. Dinegara maju pun
infeksi dalam rumah sakit terjadi dengan angka yang cukup tinggi. Misalnya, di AS, ada 20.000
kematian setiap tahun akibat infeksi nosokomial. ISK diperkirakan penyebab satu kematian
dalam setiap 1000 episode kateter, sehingga menambah kematian 6500 kematian di Amerika
setiap tahunnya (Tambyah & Maki, 2000 dalam Steven, 2005). Di seluruh dunia, 10 persen
pasien rawat inap di rumah sakit mengalami infeksi yang baru selama dirawat 1– 1,4 juta infeksi
setiap tahun. Selain itu infeksi saluran kemih akibat kateter menghabiskan dana sekitar $600
dan yang dihubungkan dengan bakterimia sekitar $2800 (Saint et al, 2009).
4
Dinegara – negara berkembang, termasuk Indonesia kejadian infeksi nasokomial jauh lebih
tinggi. Menurut penelitian yang dilakukan di dua kota besar di Indonesia didapatkan angka
kejadian infeksi nasokomial sekitar 35%-60%. Hal tersebut dapat disebabkan karena
kurangnya pengawasan, praktek pencegahan yang buruk, pemakaian sumber terbatas yang
tidak tepat dan rumah sakit yang penuh sesak oleh pasien (Sumaryono, 2005)
Di Indonesia, penelitian yang dilakukan di 11 rumah sakit di DKI Jakarta pada 2004
menunjukkan bahwa 9,8 persen pasien rawat inap mendapat infeksi yang baru selama dirawat.
Infeksi nasokomial sangat signifikan berhubungan erat dengan dampak yang merugikan bagi
pasien, perawat, keluarga dan rumah sakit.
Salah satu dampak yang dapat ditimbulkan akibat pemasangan kateter adalah infeksi saluran
kemih. Infeksi saluran kemih merupakan penyebab infeksi dirumah sakit yang dapat
meningkatkan kematian karena infeksi sekunder septikemia. Menurut literatur lain didapatkan
pemasangan dower kateter mempunyai dampak terhadap 80% terjadinya infeksi saluran
kemih (Heather & Hannie, 2001). Risiko infeksi saluran kemih juga diperkirakan sekitar 5%
perhari
dan sekitar 4% dari infeksi ini mengakibatkan bakterimia, bersifat tidak
menimbulkan gejala dan biasanya tidak memerlukan pengobatan (Steven, 2005; Saint et al,
2009). Selain itu penggunaan kateterisasi juga meningkatkan biaya dan lama rawat pasien,
menimbulkan injuri uretra dan hematuria (Darlene et al, 2001; Teng etal, 2005). Kateter
menimbulkan perasaan tidak nyaman dan perasan malu, stres psikologis pada pasien,
menghabiskan waktu perawat karena memerlukan waktu yang lama untuk kateterisasi (5 – 20
menit) dan persiapan untuk kateterisasi memerlukan waktu sekitar 7 - 16 menit (Steven, 2005).
Masih tingginya sumbangan tindakan invasif pada pemeriksaan urin terhadap kejadian infeksi
nasokomial dan waktu yang lama untuk mencapai tingkat akurasi yang baik, sehingga
dibutuhkan terobosan baru yang meminimalkan tindakan invasif, salah satunya adalah memakai
perangkat alat teknologi scanner dengan ultrasound.
Teknologi scanner ultrasound merupakan teknologi yang dilengkapi dengan mikroprosessor
yang dapat mendeteksi volume urin dalam kandung kemih, pendeteksian adanya retensi urin,
dan pendeteksian perlunya pemasangan kateterisasi. Perawat dapat berada di samping tempat
tidur untuk melakukan evaluasi kandung kemih dengan menggunakan teknologi terbaru yang
merupakan prosedur non invasive (Colling, 1996, Ouslander et al, 1994 dalam Newman et al,
2005). Berbagai keuntungan yang dapat diperoleh, seperti dapat memperkirakan volume residu
5
lebih cepat daripada kateterisasi, menimbulkan risiko lebih rendah terhadap infeksi mengurangi
biaya dan mengurangi ketidaknyamanan pasien (Rigby & Housami, 2009). Alat ini juga
mempunyai keakuratan 90 %-95% , sehingga dapat menjadi rekomendasi untuk pendeteksian
gangguan eleminasi buang air kecil (Newman et al, 2005). Phillip (2000 dalam Lee et al, 2006)
menyatakan penggunaan bladder ultrasound dilakukan untuk menentukan postvoidal residual
(PVR) dan ketidakmampuan untuk mengosongkan lebih dari 4 jam setelah melepaskan kateter.
Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Warner et al (2000) dengan mengukur
volume urin melalui ultrasound pada unit paska operasi dan menemukan terjadi distensi
kandung kemih (lebih dari 400 ml) sekitar 19.4%. Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik
untuk mengulas lebih dalam tentang penggunaan bladder ultrasound dan kemungkinan
penerapannya di Indonesia.
2.1 Kajian Literatur
2.1.1 Bladder Scan Ultrasound
Pengkajian bladder ultrasound adalah teknik pengkajian pada kandung kemih yang
menggunakan tehnologi yang berbasis gelombang ultrasound yang dilengkapi mikroprosessor
untuk melihat kondisi kandung kemih (Newman et al, 2005).
Instrumen portabel ini menggunakan mode V. Teknologi USG akan membuat gambar tiga
dimensi dari kandung kemih dan volume dihitung berdasarkan gambar ini. Untuk membuat tigadimensi gambar, ukuran bladder scan ultrasonic akan ditampilkan untuk membedakan kandung
kemih dari jaringan sekitarnya. Sebuah mikroprosesor dalam instrumen secara otomatis
menghitung dan menampilkan volume kandung kemih, penggunaan ultrasonik gel dapat dipakai
pada scanhead, dan memulai scan. Karena beberapa model scanner bladder tersedia, petunjuk
pemakaian dapat disesuaikan dengan perusahaan dagangnya.
Beberapa model scan kandung kemih adalah :
a. Model scan kandung kemih BVI
Model ini dikembangkan oleh diagnostic ultrasound di US. BVI 2000 pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1986 dan model terakhir adalah BVI 3000.
BVI 3000 ditingkatkan dari proses scan dua langkah menjadi satu langkah dan printer
internal yang telah diganti secara eksternal dan dihubungkan oleh alat prin. Waktu scan ini
telah berkurang dari 7 detik menjadi 3 detik dan sudut probe scan telah meningkat dari 90 –
120 derajat. Alat ini mudah untuk dioperasikan (Liu, et al, 2001, August, Wagner & Schmid,
1997). Bladder ultrasound portable BVI 3000 menggunakan arus listrik, mempunyai berat
6
dibawah 3 kg, layar digital dan merupakan prosedur non invasif. Menggunakan 12 bagian
(sector scan), gray scale 3 D image dan memiliki microprocessor yang mapu untuk
mengeprin data dan kartu sederhana. Diperlukan latihan singkat untuk mengoperasikan alat
ini untuk meningkatkan reliabilitas, keakuratan dan ketepatan dalam membaca (Good, et al,
2000, Lewis, 1995). Keakuratan model ini adalah 0 – 999 ml, ± 20% ± 20 ml
Gambar 2.1
b. Model Scan BVI 6400
Scan jenis ini merupakan scan yang dapat dipegang (The handheld bladder scan) yang
diintegrasikan dengan ultrasound diagnostik yang memberikan gambaran langsung dan
kemampuan kalibrasi, sehingga pengguna dapat melihat gambaran ultrasound, hemat dan
dapat langsung dicetak. Model ini dapat menyimpan sampai dengan 10 scan. Keakuratan
model ini adalah 0 – 999 mL, ± 15 % ± 15mL.
Gambar 2.2
Dua model baru BladderScan saat ini ada adalah Bladder Scan BVI 3000 dan Bladder Scan
genggam BVI 6400 (Angka 1 dan 2). Ketepatan spesifikasi untuk BVI 3000 adalah 0-999 mL, ±
20% ± 20 mL; spesifikasi akurasi untuk 6400 BVI adalah 0-999 mL± 15% ± 15 mL. Keduanya
portabel, noninvasif, mudah digunakan, dan dengan cepat menentukan volume kandung kemih.
7
Beberapa indikasi penggunaan bladder ultrasound adalah
a. Menilai residu pasca-void, retensi urine, atau pengosongan kandung kemih yang tidak
sempurna. Volume urin sisa setelah pengosongan merupakan hal terpenting sebagai
indikator untuk evaluasi fungsi sistem saluran kemih bagian bawah (Lewis, 1995)
b. Mencegah retensi urin setelah melepaskan kateter.
c. Membantu bladder retraining dengan menentukan kebutuhan pengosongan kandung kemih
berdasarkan volume kandung kemih
d. Menentukan volume kandung kemih pada pasien yang tidak mampu mengosongkan
kandung kemih dengan sempurna atau pada pasien yang dijadwalkan kateterisasi beberapa
kali untuk mengalirkan kandung kemih
e. Monitor pasien pasca operasi atau pada pasien yang secara fisik tidak mampu untuk
mengosongkan (contohnya setelah trauma tulang belakang).
f. Menentukan volume kandung kemih pada pasien dengan penurunan output urine
g. Membantu dalam menerapkan program berkemih dengan menentukan jumlah urin di
kandung kemih ketika mencoba untuk toilet pasien (Altschuler & Diaz, 2005).
2.1.2 Pelaksanaan bladder scan ultrasound
a. Hidupkan
mesin dan tekan tombol “ scan”, beberapa jenis grafik akan tampil untuk
memberikan deskripsi gambar tentang jumlah urine dalam kandung kemih. Perawat perlu
menunjukkan identitas pasien, dengan cara pilih “female” jika pasien tidak mempunyai
riwayat histerektomi, dan pilih “male” untuk pria atau wanita yang memiliki riwayat
histerektomi. Dengan cara ini mesin tidak akan membedakan diantara kandung kemih dan
uterus sebagai dua organ hollow (cekungan).
b. Bagian scan (head scan) harus dibersihkan dengan disinfektan.
c. Kemudian perlahan – lahan palpasi simfisis pubis pasien.
d. Gunakan gel ultrasound pada abdomen bagian tengah pasien (kira – kira 1 – 1,5 inci diatas
simfisis pubis) dan letakkan bagian scan dengan gel. Secara berurutan gel dapat dipakai
secara langsung pada scan head dan kemudian diletakkan diatas abdomen pasien diatas
kandung kemih.
e. Arahkan bagian scan kearah kandung kemih pasien
f. Perawat harus melihat gambaran pada layar scan.
g. Tombol scan harus ditekan dan tahan sampai terdengar tanda bunyi. Hasil pengukuran
volume akan tampil pada layar. Jika awalnya gambar tidak berada ditengah, scan head harus
diposisikan kembali dan prosedur diulang kembali sampai kandung kemih berada ditengah
8
grafik. Pengulangan prosedur non invasiv ini tidak membahayakan pasien. Jika ingin
mencetak hasil, “tekan print” 2 kali. Dokumentasikan seperti alasan menggunakan scan
bladder (contohnya pasien tidak mampu untuk mengosongkan kandung kemih setelah
operasi, memeriksa sisa urin setelah pengosongan kandung kemih), tulis volume urin, respon
pasien pada saat prosedur, dan laporkan dokter, jika diorderkan lanjutkan dengan
pengobatan.
Gambar 2.3 Proses pelaksanaan
a
b
e
c
d
f
g
Sumber : http://web.ebscohost.com/ehost/pdfviewer/pdfviewer?vid=-
3.1 Pembahasan
Bladder scan ultrasound merupakan suatu alat alternatif yang bisa digunakan untuk mengukur
volume urine residu paska pengosongan urine yang dapat mengurangi frekuensi kateterisasi,
sehingga mencegah insiden infeksi saluran kemih, menghemat biaya rumah sakit dan
menghemat waktu perawat/petugas. Namun demikian setiap alat tentu memiliki beberapa
keterbatasan disamping kelebihannya dibandingkan dengan metode konvensional yang lain.
Berikut hasil analisa penulis terhadap kelebihan dan kekurangan dari bladder scan ultrasound
ini.
3.1.1 Kelebihan
Teknologi ini merupakan prosedur non-invasif pengukuran volume kandung kemih melalui
mode-V kandung kemih. Sebelum adanya scan bladder untuk menilai apakah pengosongan
kandung kemih telah sempurna dilakukan dengan perkusi dan palpasi area suprapubik atau
9
melakukan kateterisasi intermitten. Menurut Newman (2003) adanya Bunyi dulness pada
kandung kemih diatas umbilikus menunjukan volume urine kurang dari 500 ml. Adanya massa
pada daerah midline sampai daerah suprapubik pada kandung kemih dengan palpasi
mengindikasikan volume urin lebih dari 500 ml. Metode ini tidak akurat dalam menentukan
volume urin (Altschuler et al, 2006).
Selain itu penggunaan bladder scan ultrasound dapat mengurangi infeksi saluran kemih
nasokomial dan waktu perawat. Hal ini merupakan strategi penghematan biaya dan dapat
mengurangi risiko trauma pada pasien. Hampir sekitar $1,7 juta setiap tahunnya dikeluarkan
untuk pengurangan infeksi nasokomial saluran perkemihan sebelum penggunaan alat ini.
Dengan penggunaan alat ini dapat menghemat biaya sekitar $45.900 setiap tahun. Waktu untuk
pelatihan menggunakan alat ini hanya sekitar 10 menit.
Selain itu bladder scan ultrasound dapat diterapkan pada ruang akut, rehabilitasi dan perawatan
jangka panjang yang dapat dilaksanakan dengan fungsi kolaboratif. Pada perawatan akut,
bladder ultrasound dapat digunakan untuk mengkaji volume kandung kemih, volume urin sisa
paska pengosongan pada pasien paska operasi yang mengalami penurunan output, pada pasien
ISK, inkontinensia urine, pembesaran prostat, striktur uretra, neurogenic bladder, dan disfungsi
salurah kemih bagian bawah lainnya, atau pada pasien dengan injuri spinal cord, stroke, diabetes
dan gangguan mental yang dapat mengurangi sensasi kandung kemih yang penuh. Pada
perawatan rehabilitasi, bladder scan dapat dipakai untuk mengkaji dan melatih kandung kemih.
Sedangkan perawatan rumah, bladder scan dapat digunakan untuk memonitor ISK,
inkontinensia urine, retensi urine dan disfungsi kandung kemih karena kondisi medis, seperti
prolaps organ pelvis (www.enotes.com/nursing-encyclopedia). Hal itu juga didukung oleh hasil
penelitian yang dilakukan oleh Lee et al (2006) yang sukses mengimplementasikan program
bladder ultrasound di unit bedah syaraf dengan gangguan urin.
Kelebihan lain dari penggunaan alat ini adalah scan terbukti cepat, mudah dan sangat akurat
untuk memeriksa PVR (Post Void Residual) . Memeriksa residu paska pengosongan urin,
biasanya sejumlah urin akan meninggalkan kandung kemih dalam waktu 10 – 15 menit setelah
pengosongan. Hal ini penting dalam mengkaji pasien yang diduga mengalami retensi urine atau
pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna. Peningkatan sisa urin setelah pengosongan
dapat menyebabkan risiko retensi urine akut, pyelonefritis, hidronefrosis atu insufisiensi ginjal
(Newman, 2003).
10
Ultrasound portabel memiliki spesifisitas 96,5% dalam mendeteksi PVR >100 mL di rawat jalan
perempuan (Goode, Locher, Bryant, Roth, & Burgio, 2000).
Bladder scan memberikan
ketepatan dalam membaca volume urin pasien sehingga mencegah pemasangan kateter dan
membantu dalam latihan berkemih. Penggunaan katerisasi intermitten memang akurat tetapi
mempunyai beberapa kerugian, seperti :
a) Kateter merupakan prosedur invasif yang dapat meningkatkan kontak bakteri kedalam
urethra danm kandung kemih, meningkatkan infeksi saluran kemih, trauma uretra dan
hematuria. (Ribby, 2006; Altschuler, 2006; Teng et al, 2005; Huang et al, 2002)
b) Menimbulkan perasaan tidak nyaman dan malu, stres psikologis, menghabiskan waktu
perawat dan meningkatkan biaya dirumah sakit (Steven, 2005)
c) Memerlukan waktu yang lama untuk kateterisasi (5 – 20 menit), sedangkan menggunakan
ultrasound hanya memerlukan waktu 2 – 3. Persiapan untuk kateterisasi memerlukan waktu
sekitar 7 - 16 menit. Pengukuran urin sisa untuk mengetahui pengosongan kandung kemih
perlu sekitar 7 – 8 kali (Moore & Edward, 1999 dalam Teng, 2005).
Studi terkait penerapan di klinik yang dilakukan oleh Teng et al (2005) terkait perbandingan
penggunaan bladder ultrasound dan kateterisasi, menggambarkan penggunaan bladder
ultrasound membutuhkan waktu 45 detik untuk mendeteksi volume urin, kedalaman kandung
kemih, dan interval waktu pelaksanaan operasi sedangkan metode kateterisasi membutuhkan
waktu 239 detik. Scan kandung kemih juga berhasil diterapkan di Unit trauma Neuro –
Orthopaedic di North Broward Medical Center. Sedangkan penerapan yang dilakukan oleh
CRISTA Senior Community Amerika serikat yang mempunyai fasilitas rawat inap dengan 176
tempat tidur menggunakan bladder ultrasound scanner BVI 3000. Laporan terhadap
penggunaan alat tersebut menggambarkan tingginya effesiensi dan penghematan waktu untuk
mendeteksi adanya inkontinensia yang terjadi pada usia lanjut. Selain kelebihan tersebut hasil
evaluasi oleh CRYSTA juga memaparkan adanya peningkatan kualitas hidup, menurunkan
kecemasan, dan meningkatkan kenyamanan. Dengan dasar tersebut CRYSTA kemudian
menerapkan kebijakan untuk menggunakan bladder ultrasound dalam mendeteksi gangguan
perkemihan pada pasien dengan demensia dan usia lanjut
3.1.2 Kekurangan
Permasalahan terbesar penggunaan alat ini adalah harganya yang mahal. Alat ini dijual dengan
harga sekitar $8.300 – $10.000. (Fredericson et al, 2000, Moore & Edwards, 1997 dalam Steven,
2005). Tetapi dipertimbangkan dengan kasus infeksi saluran kemih memerlukan tambahan biaya
11
sekitar $680 per insiden di rumah sakit dan waktu yang dihabiskan oleh perawat. Penggunaan
BVI 2500 memerlukan biaya $8.300.
Selain itu kekurangan dalan penggunaan alat ini adalah ketidakakuratan dalam membaca hasil
scan bladder. Ketidakakuratan dapat dipengaruhi oleh faktor – faktor seperti : obesitas abnormal,
penggunaan gel ultrasound yang kurang, jaringan parut, insisi, adanya benang yang
mempengaruhi transmisi dan refleksi.
Ketidaakuratan juga dapat disebabkan karena
ketidaktepatan memposisikan scan head (kandung kemih sebagian atau seluruhnya keluar dari
daerah yang dilakukan scan) menggerakkan probe saat dilakukan scan (Newman, 2003).
4.1 Kesimpulan dan Rekomendasi
4.1.1 Kesimpulan
Dari hasil pemaparan penerapan Bladder Ultrasound dapat disimpulkan :
Bladder ultrasound merupakan metode non invasif pengkajian volume kandung kemih dan
kondisi kandung kemih lainnya yang menggunakan ultrasonography untuk menentukan jumlah
retensi urine atau urin sisa paska pengosongan urin. Monitoring gangguan perkemihan dengan
bladder ultrasound memberikan banyak keuntungan, seperti efektif dalam menegakkan
diagnosis dan efisien waktu perawat untuk pengkajian, bila dibandingkan dengan kateterisasi,
menurunkan infeksi nasokomial saluran perkemihan, menurunkan lama hari perawatan,
meningkatkan kenyamanan dan kepuasan pasien. Namun demikian disamping kelebihankelebihan tersebut, hal utama yang memberatkan penggunaan bladder ultrasound adalah dari
segi pembiayaan yang relatif mahal pada aspek pengadaan dan perawatan alat akan tetapi bila
dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan akibat infeksi penggunaan kateter jauh lebih mahal
dari penggunaan bladder ultrasound.
4.1.2 Rekomendasi
Adapun rekomendasi yang penulis berikan untuk lebih menyempurnakan produk inovatif ini
adalah :
a. Penggunaan gel pada ultrasound yang cukup yang diletakkan di perut pasien sebelum
dilakukan scan, pasien harus relaks, posisi supinasi, posisikan scan head dan probe dengan
tepat (jangan dipindah/gerakkan selama scan, jika perangkat portabel dipakai untuk
mencegah ketidak akuratan dalam membaca hasil scan. Penyimpanan alat – alat perlu
diperhatikan untuk yang dapat mempengaruhi keakuratan, seperti mengecas baterai, scanner
harus dicek dan dikalibrasi secara teratur.
12
b. Pelatihan dalam menggunakan ultrasound dan bagaimana menginterpretasikan hasil untuk
meningkatkan keakuratan deteksi kandung kemih.
c. Memperluas visi rumah sakit yang meliputi meminimalkan atau menghilangkan kesalahan,
mengurangi biaya dan meningkatkan keselamatan pasien yang ditunjang oleh evaluasi
evidence base terhadap kelebihan dan kekekurangan bladder scan untuk diterapkan di klinik.
Perlu dipertimbangkan kasus infeksi saluran kemih yang memerlukan tambahan biaya sekitar
$680 per insiden di rumah sakit dan waktu yang dihabiskan oleh perawat.
4.1.3 Implikasi dalam Keperawatan
Melalui teknologi ini pengkajian fungsi kandung kemih dapat memudahkan bagi perawat dan
memberikan informasi penting untuk meningkatkan keberhasilan hasil perawatan (Newman,
2010). Perawat sebagai anggota inti tenaga kesehatan yang jumlahnya terbesar di rumah sakit
(sebesar 40 – 60%) dan dimana pelayanan keperawatan yang diberikan merupakan bagian
integral dari pelayanan kesehatan, memiliki peran kunci dalam mewujudkan keselamatan pasien.
Perawat merupakan posisi yang tepat untuk mengobservasi dan mengkaji pola miksi pasien.
Melalui penggunaan bladder scan dapat mengurangi waktu perawat dibandingkan dengan
penggunaan kateter dan pengkajian sistem perkemihan lainnya. Evaluasi umum yang sering
dilakukan oleh perawat sebelum penggunaan bladder scan adalah menggunakan pengosongan
secara terjadual, intake volume air, pemeriksaan visual dan palpasi untuk menentukan apakah
kandung kemih masih teraba penuh/keras dalam mengevaluasi volume residu atau perubahan
eliminasi.
Bladder scan ultrasound dapat diterapkan pada ruang akut, rehabilitasi dan perawatan jangka
panjang yang dapat dilaksanakan dengan fungsi kolaboratif. Pada ruang akut, perawat dan
dokter bertanggung jawab untuk memonitor urine output pada pasien paska operasi. Sedangkan
pada perawatan jangka panjang dan rehabilitasi merupakan tanggung jawab utama untuk
memonitor output urin dan/atau fungsi kandung kemih dengan staf perawat. Klinik dan manajer
perawat dapat melaksanakan protokol scan kandung kemih dan outcome dengan tujuan untuk
mengurangi biaya dan infeksi akibat penggunaan kateter .
13
DAFTAR PUSTAKA
Altschuler, V., & Diaz, L. (2006). Clinical How to Bladder Ultrasound. MEDSURG Nursing,
15(5): 317 – 318, diperoleh pada tanggal 15 Oktober 2011.
Hasan, M., Tuckman, H.P., Patrick, R.H., Kountz, D.S., & Kohn, J.L. (2010). Cost of Hospital –
acquired infection, Hospital Topics, 88 (3) : 82-89, diperoleh pada tanggal 29 September
2011.
Huang, C.L., Chen, K.K.,& Chang, L.S. (2002). A non invasive measurement of Bladder urine
volume by ultrasound scan. Journal of Taiwan Urology: 13 (4):147-149. Okt 2002, diperoleh
pada tanggal 18 September 2011.
Lee, Y.Y., Tsay, W.L., Lou, M.F., & Dai, Y.T. (2006). The effectiveness of implementing a
bladder ultrasound programme in neurosurgical units. Journal of Advanced Nursing. 57(2):
192-200. July 2006, diperoleh pada tanggal 20 September 2011.
Newman, D.K., Gaines, T., & Snare, E (2005). Innovation in bladder assesment use of
technology in extended care . Journal of Gerontological Nursing, diperoleh pada tanggal 15
Oktober 2011.
Ribby, K. (2005). Measure bladder volume without catheterization. Nursing, 35 (4): 46 – 47,
diperoleh pada tanggal 29 September 2011.
Rigby, D.,& Housami, F.A. (2009). Using bladder ultrasound to detect urinary retention in
patients. Nursing Times.net. http://www.nursingtimes.net/using-bladder-ultrasound-todetect-urinary-retention-in-patients diperoleh pada tanggal 25 September 2011.
Saint, S., Meddings, J.A., Kowalsi, C.P., & Krein, S.L. (2009). Rule changes for catheter
associated urinary tract infection. Annals of Internal Medicine, Volume 150(12): 877 – 883.
June 2009, diperoleh pada tanggal 29 September 2011.
Schott, F.D., Baer., Reaume, L. (2001). Accuracy of ultrasound estimates of urine volume.
Urologic Nursing, 21(3):193. June 2001, diperoleh pada tanggal 20 September 2011.
Stevens, E. (2005). Bladder ultrasound : Avoiding unnecessary catheterization. MEDSURG
Nursing, 14 (4) : 249 – 253, diperoleh pada tanggal 15 Oktober 2011.
Teng., C.H., Huang, Y.H., & Kuo, B.J. (2005). Application of portable ultrasound scanner in the
measurement of post – void residual urine. Journal of Nursing Research, 13 (3): 216 – 224,
diperoleh pada tanggal 15 Oktober 2011.
14
Download