karakteristik, potensi, dan teknologi pengelolaan tanah ultisol untuk

advertisement
KARAKTERISTIK, POTENSI, DAN TEKNOLOGI
PENGELOLAAN TANAH ULTISOL UNTUK
PENGEMBANGAN PERTANIAN LAHAN
KERING DI INDONESIA
B.H. Prasetyo1) dan D.A. Suriadikarta2)
1)
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, 2)Balai Penelitian Tanah,
Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123
ABSTRAK
Tanah Ultisol mempunyai sebaran yang sangat luas, meliputi hampir 25% dari total daratan Indonesia. Penampang
tanah yang dalam dan kapasitas tukar kation yang tergolong sedang hingga tinggi menjadikan tanah ini mempunyai
peranan yang penting dalam pengembangan pertanian lahan kering di Indonesia. Hampir semua jenis tanaman
dapat tumbuh dan dikembangkan pada tanah ini, kecuali terkendala oleh iklim dan relief. Kesuburan alami tanah
Ultisol umumnya terdapat pada horizon A yang tipis dengan kandungan bahan organik yang rendah. Unsur hara
makro seperti fosfor dan kalium yang sering kahat, reaksi tanah masam hingga sangat masam, serta kejenuhan
aluminium yang tinggi merupakan sifat-sifat tanah Ultisol yang sering menghambat pertumbuhan tanaman. Selain
itu terdapat horizon argilik yang mempengaruhi sifat fisik tanah, seperti berkurangnya pori mikro dan makro serta
bertambahnya aliran permukaan yang pada akhirnya dapat mendorong terjadinya erosi tanah. Penelitian
menunjukkan bahwa pengapuran, sistem pertanaman lorong, serta pemupukan dengan pupuk organik maupun
anorganik dapat mengatasi kendala pemanfaatan tanah Ultisol. Pemanfaatan tanah Ultisol untuk pengembangan
tanaman perkebunan relatif tidak menghadapi kendala, tetapi untuk tanaman pangan umumnya terkendala oleh
sifat-sifat kimia tersebut yang dirasakan berat bagi petani untuk mengatasinya, karena kondisi ekonomi dan
pengetahuan yang umumnya lemah.
Kata kunci: Ultisol, karakteristik fisika dan kimia tanah, pengelolaan tanah, pengembangan pertanian
ABSTRACT
Characteristics, potential, and management of Ultisols for agrilcultural upland development in Indonesia
Ultisols occupied almost 25% of total Indonesian land surface. The deep profiles and moderate to high cation
exchange capacities of the soil make the soil has an important role in agricultural upland development. Almost all
kinds of crops are able to grow and develop in this soil, except limited by climate and relief. The natural chemical
fertility of Ultisols is mostly restricted on the A horizon with low organic matter content. Major plant nutrients
such as phosphorous and potassium are often deficient in Ultisols, while acid to very acid soil reaction and high
aluminum saturation were also specific properties of Ultisols that restrict plant growth. The presence of argillic
horizon in the soil influences soil physical properties such as reduction of both macro and micropores, enlargement
of surface runoff and finally supporting the soil erosion. Most of studies indicated that liming, alley cropping, and
fertilizing by organic and unorganic fertilizers could overcome some constraints in Ultisols. Utilization of Ultisols
would be no problem for estate crops, but for food crops the chemical properties were generally a constraint that
not so easy to overcome by farmer, due to the low economical condition and minimum knowledge.
Keywords: Ultisols, soil chemicophysical properties, soil management, agricultural development
U
ltisol merupakan salah satu jenis
tanah di Indonesia yang mempunyai
sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau
sekitar 25% dari total luas daratan Indonesia (Subagyo et al. 2004). Sebaran terluas terdapat di Kalimantan (21.938.000
ha), diikuti di Sumatera (9.469.000 ha),
Maluku dan Papua (8.859.000 ha), SulaJurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006
wesi (4.303.000 ha), Jawa (1.172.000 ha),
dan Nusa Tenggara (53.000 ha). Tanah ini
dapat dijumpai pada berbagai relief, mulai
dari datar hingga bergunung.
Ultisol dapat berkembang dari berbagai bahan induk, dari yang bersifat
masam hingga basa. Namun sebagian
besar bahan induk tanah ini adalah
batuan sedimen masam. Luas tanah Ultisol
berdasarkan bahan induknya disajikan
pada Tabel 1. Di antara grup Ultisol, Hapludults mempunyai sebaran terluas. Hal ini
karena persyaratan klasifikasinya hanya
didasarkan pada nilai kejenuhan basa
yaitu < 35% dan adanya horizon argilik,
tanpa ada syarat tambahan lainnya.
39
Tabel 1. Luas tanah Ultisol pada tingkat grup berdasarkan batuan
pembentuk tanah.
Jenis tanah Ultisol
pada tingkat grup
Hapludults
Kandiudults
Palehumults
Plintudults
Paleudults
Luas berdasarkan batuan pembentuk tanah (ha)
Sedimen
Metamorf
Volkan
Plutonik
Jumlah
24.703.460
3.816.600
3.138.120
1.864.000
1.420.520
185.580
2.231.520
5.020.100
4.770.480
31.891.040
8.836.700
3.138.120
1.864.000
1.420.520
Sumber: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (2000); data diolah.
Ultisol dicirikan oleh adanya akumulasi liat pada horizon bawah permukaan
sehingga mengurangi daya resap air dan
meningkatkan aliran permukaan dan erosi
tanah. Erosi merupakan salah satu kendala
fisik pada tanah Ultisol dan sangat merugikan karena dapat mengurangi kesuburan
tanah. Hal ini karena kesuburan tanah
Ultisol sering kali hanya ditentukan oleh
kandungan bahan organik pada lapisan
atas. Bila lapisan ini tererosi maka tanah
menjadi miskin bahan organik dan hara.
Tanah Ultisol mempunyai tingkat
perkembangan yang cukup lanjut, dicirikan oleh penampang tanah yang dalam,
kenaikan fraksi liat seiring dengan kedalaman tanah, reaksi tanah masam, dan
kejenuhan basa rendah. Pada umumnya
tanah ini mempunyai potensi keracunan
Al dan miskin kandungan bahan organik.
Tanah ini juga miskin kandungan hara
terutama P dan kation-kation dapat ditukar
seperti Ca, Mg, Na, dan K, kadar Al tinggi,
kapasitas tukar kation rendah, dan peka
terhadap erosi (Sri Adiningsih dan
Mulyadi 1993).
Di Indonesia, Ultisol umumnya belum
tertangani dengan baik. Dalam skala besar,
tanah ini telah dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit, karet dan hutan
tanaman industri, tetapi pada skala petani
kendala ekonomi merupakan salah satu
penyebab tidak terkelolanya tanah ini
dengan baik.
CIRI MORFOLOGI
Pada umumnya Ultisol berwarna kuning
kecoklatan hingga merah. Pada klasifikasi
lama menurut Soepraptohardjo (1961),
Ultisol diklasifikasikan sebagai Podsolik
40
Merah Kuning (PMK). Warna tanah pada
horizon argilik sangat bervariasi dengan
hue dari 10YR hingga 10R, nilai 3−6 dan
kroma 4−8 (Subagyo et al. 1986; Suharta
dan Prasetyo 1986; Rachim et al. 1997;
Suhardjo dan Prasetyo 1998; Alkusuma
2000; Isa et al. 2004; Prasetyo et al. 2005).
Warna tanah dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain bahan organik yang
menyebabkan warna gelap atau hitam,
kandungan mineral primer fraksi ringan
seperti kuarsa dan plagioklas yang memberikan warna putih keabuan, serta oksida
besi seperti goethit dan hematit yang memberikan warna kecoklatan hingga merah.
Makin coklat warna tanah umumnya
makin tinggi kandungan goethit, dan
makin merah warna tanah makin tinggi
kandungan hematit (Eswaran dan Sys
1970; Allen dan Hajek 1989; Schwertmann
dan Taylor 1989).
Tekstur tanah Ultisol bervariasi dan
dipengaruhi oleh bahan induk tanahnya.
Tanah Ultisol dari granit yang kaya akan
mineral kuarsa umumnya mempunyai
tekstur yang kasar seperti liat berpasir
(Suharta dan Prasetyo 1986), sedangkan
tanah Ultisol dari batu kapur, batuan
andesit, dan tufa cenderung mempunyai
tekstur yang halus seperti liat dan liat
halus (Subardja 1986; Subagyo et al.
1987; Isa et al. 2004; Prasetyo et al. 2005).
Ultisol umumnya mempunyai struktur
sedang hingga kuat, dengan bentuk
gumpal bersudut (Rachim et al. 1997; Isa
et al. 2004; Prasetyo et al. 2005).
Komposisi mineral pada bahan induk
tanah mempengaruhi tekstur Ultisol.
Bahan induk yang didominasi mineral
tahan lapuk kuarsa, seperti pada batuan
granit dan batu pasir, cenderung mempunyai tekstur yang kasar. Bahan induk yang
kaya akan mineral mudah lapuk seperti
batuan andesit, napal, dan batu kapur
cenderung menghasilkan tanah dengan
tekstur yang halus.
Ciri morfologi yang penting pada
Ultisol adalah adanya peningkatan fraksi
liat dalam jumlah tertentu pada horizon
seperti yang disyaratkan dalam Soil
Taxonomy (Soil Survey Staff 2003).
Horizon tanah dengan peningkatan liat
tersebut dikenal sebagai horizon argilik.
Horizon tersebut dapat dikenali dari fraksi
liat hasil analisis di laboratorium maupun
dari penampang profil tanah. Horizon
argilik umumnya kaya akan Al sehingga
peka terhadap perkembangan akar tanaman, yang menyebabkan akar tanaman
tidak dapat menembus horizon ini dan
hanya berkembang di atas horizon argilik
(Soekardi et al. 1993).
SIFAT KIMIA
Tanah Ultisol umumnya mempunyai nilai
kejenuhan basa < 35%, karena batas ini
merupakan salah satu syarat untuk
klasifikasi tanah Ultisol menurut Soil
Taxonomy. Beberapa jenis tanah Ultisol
mempunyai kapasitas tukar kation < 16
cmol/kg liat, yaitu Ultisol yang mempunyai
horizon kandik.
Reaksi tanah Ultisol pada umumnya
masam hingga sangat masam (pH 5−3,10),
kecuali tanah Ultisol dari batu gamping
yang mempunyai reaksi netral hingga agak
masam (pH 6,80−6,50). Kapasitas tukar
kation pada tanah Ultisol dari granit,
sedimen, dan tufa tergolong rendah
masing-masing berkisar antara 2,90−7,50
cmol/kg, 6,11−13,68 cmol/kg, dan 6,10−6,80
cmol/kg, sedangkan yang dari bahan
volkan andesitik dan batu gamping
tergolong tinggi (>17 cmol/kg). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa beberapa
tanah Ultisol dari bahan volkan, tufa
berkapur, dan batu gamping mempunyai
kapasitas tukar kation yang tinggi
(Prasetyo et al. 2000; Prasetyo et al. 2005;
Tabel 2)
Nilai kejenuhan Al yang tinggi
terdapat pada tanah Ultisol dari bahan
sedimen dan granit (> 60%), dan nilai yang
rendah pada tanah Ultisol dari bahan
volkan andesitik dan gamping (0%).
Ultisol dari bahan tufa mempunyai
kejenuhan Al yang rendah pada lapisan
atas (5−8%), tetapi tinggi pada lapisan
bawah (37−78%). Tampaknya kejenuhan
Al pada tanah Ultisol berhubungan erat
dengan pH tanah.
Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006
Tabel 2. Beberapa sifat kimia tanah Ultisol yang terbentuk dari berbagai bahan induk tanah.
Kedalaman
(cm)
Fraksi
liat
(%)
pH
H 2O
Jumlah
kation
(cmol (+) kg)
Kejenuhan
Al
(%)
Typic Hapludults,
sedimen1)
0−18
18−46
46−72
72−98
98−121
24
30
50
57
57
4,3
3,1
4,0
4,1
4,1
0,43
0,39
0,58
0,56
0.48
89
91
94
93
95
6,51
6,11
10,79
12,09
13,68
27,13
20,37
21,58
21,21
24,00
Typic Paleudults,
volkan andesitik 2)
0−19
19−45
45−61
61−89
89−155
79
88
87
85
74
4,7
4,9
5,1
5,0
5,3
4,04
5,39
7,91
8,64
11,20
0
0
0
0
0
26,17
24,23
27,24
25,76
24,44
33,13
27,53
31,31
30,31
33,03
Typic Paleudults,
batu gamping3)
0−16
16−29
29−49
49−74
74−117
117−161
80
80
95
93
87
90
6,5
6,6
6,5
6,7
6,8
6,7
23,30
20,80
19,20
17,30
12,60
12,60
0
0
0
0
0
0
32,30
30,60
23,90
22,90
19,40
17,50
40,38
38,25
25,16
24,62
22,30
19,44
Typic Kandiudults,
granit 4)
0−21
21−35
35−56
56−90
90−125
125−150
150−180
29
32
39
41
40
42
47
4,8
4,9
5,0
4,9
4,9
4,3
4,9
0,60
0,60
0,70
0,70
0,50
0,70
0,70
72
66
63
63
87
64
64
7,50
4,50
2,90
3,70
5,40
5,40
5,40
25,86
14,06
7,44
9,02
13,50
12,86
11,49
0−13
13−37
37−65
65−150
17
29
33
38
6,0
6,3
5,2
5,4
4,30
3,90
1,60
1,00
8
5
37
78
6,60
6,20
6,10
6,80
38,82
21,38
18,48
17,52
Jenis tanah Ultisol
Typic Paleudults,
tufa5)
Kapasitas tukar kation
Tanah
(cmol/kg)
Liat
Sumber: 1)Prasetyo dan Suharta (2000), 2)Prasetyo et al. (2005), 3)Subagyo et al. (1986), 4)Suharta dan Prasetyo (1986), 5) Subardja (1986).
Kandungan hara pada tanah Ultisol
umumnya rendah karena pencucian basa
berlangsung intensif, sedangkan kandungan bahan organik rendah karena
proses dekomposisi berjalan cepat dan
sebagian terbawa erosi. Pada tanah
Ultisol yang mempunyai horizon kandik,
kesuburan alaminya hanya bergantung
pada bahan organik di lapisan atas.
Dominasi kaolinit pada tanah ini tidak
memberi kontribusi pada kapasitas tukar
kation tanah, sehingga kapasitas tukar
kation hanya bergantung pada kandungan bahan organik dan fraksi liat. Oleh
karena itu, peningkatan produktivitas
tanah Ultisol dapat dilakukan melalui
perbaikan tanah (ameliorasi), pemupukan,
dan pemberian bahan organik.
Peningkatan fraksi liat yang membentuk horizon argilik pada tanah Ultisol
cukup merugikan karena horizon ini akan
menghalangi aliran air secara vertikal,
sebaliknya aliran horizontal meningkat
sehingga memperbesar daya erosivitas.
Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006
Pembentukan horizon argilik merupakan
proses alami yang sulit dicegah, namun
erosi yang terjadi dapat dihindari atau
dikurangi dampaknya.
Masalah Al umumnya terjadi pada
tanah Ultisol dari bahan sedimen. Bahan
sedimen merupakan hasil dari proses
pelapukan (weathering) dan pencucian
(leaching), baik pelapukan dari bahan
volkan, batuan beku, batuan metamorf
maupun campuran dari berbagai jenis
batuan sehingga mineral penyusunnya
sangat bergantung pada asal bahan yang
melapuk.
Oleh karena itu, tanah Ultisol dari
bahan sedimen sudah mengalami dua kali
pelapukan, yang pertama pada waktu
pembentukan batuan sedimen dan yang
kedua pada wak-tu pembentukan tanah.
Dengan demikian ada kemungkinan bahwa
kandungan Al pada batuan sedimen sudah
sangat tinggi. Kondisi ini akan berbeda
bila tanah Ultisol terbentuk dari bahan
volkan dan batuan beku. Pada tanah
tersebut Al hanya berasal dari pelapukan
batuan bahan induknya. Kondisi ini juga
masih dipengaruhi oleh pH. Pada bahan
induk yang bersifat basa, pelepasan Al
tidak sebanyak pada batuan masam,
karena pH tanah yang tinggi dapat
mengurangi kelarutan hidroksida Al.
Ultisol dari bahan sedimen mempunyai kesuburan alami yang lebih rendah
daripada Ultisol dari bahan volkan atau
batu kapur, karena bahan sedimen sudah
merupakan hasil perombakan bahan lain
sehingga kandungan unsur haranya pun
rendah. Ultisol dari Kalimantan Selatan
dan Kalimantan Timur yang berkembang
dari batuan sedimen batu pasir dan batu
liat mempunyai nilai kapasitas tukar kation
tanah 3−18 cmol(+)/kg, kejenuhan basa 3−
9%, kejenuhan Al 33−95%, dan pH 3,70−5
(Prasetyo dan Suharta 2000; Yatno et al.
2000; Prasetyo et al. 2001). Sementara itu
tanah Ultisol dari bahan volkan mempunyai nilai kapasitas tukar kation 13,80−
25,49 cmol(+)/kg tanah, kejenuhan basa 4−
41
35%, kandungan Al 0−16%, dan pH tanah
4,60−5,70 (Subagyo et al. 1987; Prasetyo
et al. 2005).
KOMPOSISI MINERAL
Susunan mineral primer yang dominan
pada Ultisol dengan bahan induk yang
berbeda disajikan pada Tabel 3. Kuarsa
yang dominan terdapat pada Ultisol
yang terbentuk dari tufa berkapur dan
dari batuan granit (Pedon 3, Typic
Haplohumults dan Pedon 1, Typic Kandiudults). Pada Ultisol yang berkembang
dari batuan tufa masam ( Pedon 2, Typic
Paleudults), kuarsa dan opak mendominasi susunan mineral pasir, sedangkan pada Ultisol dari bahan volkan
intermedier (Pedon 4, Typic Paleudults),
opak merupakan mineral yang dominan
pada fraksi pasir. Yatno et al. (2000)
menyatakan Ultisol dari batuan liat dan
pasir didominasi oleh mineral kuarsa.
Kandungan mineral mudah lapuk
(weatherable mineral) seperti orthoklas,
biotit, epidot, gelas volkan olivin, sanidin
amfibol, augit, dan hiperstin pada tanah
Ultisol umumnya rendah bahkan sering
tidak ada (Subardja 1986; Suharta dan
Prasetyo 1986; Prasetyo et al. 1998;
Prasetyo et al. 2005). Dengan demikian
Ultisol tergolong tanah yang miskin akan
unsur hara.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa bahan induk tanah Ultisol
menentukan komposisi mineralnya. Pada
tanah yang berbahan induk batuan
masam, mineral primer didominasi oleh
kuarsa, sedangkan pada tanah dari bahan
volkan didominasi oleh opak. Tufa masam
merupakan jenis batuan sedimen masam
dari bahan volkan sehingga komposisi
mineral primernya didominasi oleh
campuran opak dan kuarsa.
Komposisi mineral liat Ultisol didominasi oleh kaolinit (Suharta dan Prasetyo
1986; Setyawan 1997; Prasetyo et al. 2001;
Alkusuma dan Badayos 2003; Prasetyo et
al. 2005). Gambar 1 memperlihatkan
komposisi mineral liat dari Ultisol berbahan
induk batuan granit. Pada gambar tersebut
kaolinit ditunjukkan oleh puncak difraksi
7, 18A, dan 3,56A. Mineral liat lainnya
adalah vermikulit dengan puncak difraksi
14,2A dan gibsit dengan puncak difraksi
4,83A. Puncak difraksi 11A pada perlakuan
pemanasan K+ hingga 550°C menunjukkan
adanya interlayer hidroksi Al.
Ultisol merupakan tanah masam yang
telah mengalami pencucian basa-basa
yang intensif dan umumnya dijumpai
pada lingkungan dengan drainase baik.
Kondisi tersebut sangat menunjang
untuk pembentukan mineral kaolinit.
Namun, dominasi kaolinit tersebut tidak
mempunyai kontribusi yang nyata pada
sifat kimia tanah, karena kapasitas tukar
kation kaolinit sangat rendah, berkisar
1,20−12,50 cmol/kg liat (Briendly et al.
1986; Prasetyo dan Gilkes 1997). Mineral
liat lainnya yang sering dijumpai adalah
haloisit dan gibsit (Subagyo et al. 1986).
Adanya mineral smektit pada tanah
Ultisol pernah dilaporkan oleh Subagyo
et al. (1986) pada Ultisol dari batuan
gamping di daerah Tuban, Jawa Timur dan
oleh Prasetyo et al. (2000) pada Ultisol
dari bahan tufa berkapur di daerah
Pametikarata, Sumba Timur. Smektit merupakan jenis mineral 2:1 yang kehadirannya dalam tanah akan sangat menentukan
sifat fisik dan kimia tanah. Pembentukan
mineral ini memerlukan lingkungan dengan
pH netral dan terjadi akumulasi basa-basa
dan silika. Pada kedua jenis tanah Ultisol
tersebut, smektit berasal dari bahan induk
tanah (inherited) yang terbentuk melalui
proses geologi (geogenic), bukan melalui
proses pembentukan tanah (pedogenic).
Smektit pada Ultisol umumnya sedang
dalam proses pelapukan, yang dicirikan
oleh tingginya Al dapat ditukar dan nilai
kapasitas tukar kation yang rendah.
TEKNOLOGI
PENGELOLAAN ULTISOL
Tabel 3. Komposisi mineral primer yang dominan pada horizon argilik tanah
Ultisol dari beberapa bahan induk.
Jenis tanah
Kedalaman
(cm)
Kandungan minyak (%)
Opak
Zirkon
Kuarsa
Lapukan
Fragmen
21−35
35−56
56−90
90−125
125−150
8
8
7
10
9
80
81
79
75
72
10
9
9
13
13
1
1
1
2
1
Pedon 2, Typic
Paleudults dari batuan
tufa masam2)
13−37
37−65
65−150
31
32
34
9
7
10
49
47
49
1
3
5
2
Pedon 3, Typic
Haplohumults dari
batuan tufa berkapur3)
15−28
28−57
57−83
83−105
2
1
2
2
80
79
69
62
2
1
1
1
15
19
26
35
Pedon 4, Typic
Paleudults dari batuan
volkan4)
24−48
48−75
75−105
105−130
87
91
95
91
Pedon 1, Typic
Kandiudults dari
batu granit1)
1
2
3
8
5
5
Sumber: 1) Suharta dan Prasetyo (1986); 2) Subardja (1986); 3)Prasetyo et al. (1998);
4)
Prasetyo et al. (2005).
42
1
Ditinjau dari luasnya, tanah Ultisol
mempunyai potensi yang tinggi untuk
pengembangan pertanian lahan kering.
Namun demikian, pemanfaatan tanah ini
menghadapi kendala karakteristik tanah
yang dapat menghambat pertumbuhan
tanaman terutama tanaman pangan bila
tidak dikelola dengan baik. Beberapa
kendala yang umum pada tanah Ultisol
adalah kemasaman tanah tinggi, pH ratarata < 4,50, kejenuhan Al tinggi, miskin
kandungan hara makro terutama P, K, Ca,
dan Mg, dan kandungan bahan organik
rendah. Untuk mengatasi kendala tersebut
dapat diterapkan teknologi pengapuran,
pemupukan P dan K, dan pemberian bahan
organik. Penerapan teknologi tersebut
dapat meningkatkan hasil tanaman
jagung (Tabel 4).
Pengapuran
Untuk mengatasi kendala kemasaman dan
kejenuhan Al yang tinggi dapat dilakukan
Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006
0
0
3,56 A
Tabel 5. Toleransi beberapa jenis
tanaman terhadap kejenuhan aluminium.
0
7,43 A
7,18 A
0
7,18 A
0
4,83
14,2
11 A
14,2
14,1
0 − 21 cm
35 − 56 cm
90 − 125 cm
150 − 180 cm
Kejenuhan Al
(%)
Jagung
Padi
Kacang tanah
Kacang hijau
Kedelai
< 40
< 40
< 30
<5
< 20
Tebu
Kapas
< 10
<7
Sumber: Sujadi (1984).
++
Mg
Gambar 1.
Jenis tanaman
++
Mg
glycerol
K
+
K 550 oC
Difaktogram XRD dari Ultisol berbahan induk batuan granit (Suharta
dan Prasetyo 1986).
Tabel 4. Hasil jagung pada tanah Ultisol dengan pemupukan P, pengapuran,
dan pemberian bahan organik.
Jenis perlakuan
Tanpa pemupukan dan pengapuran
Pemupukan P
Pemupukan P + bahan organik
Pemupukan P + kapur
Pemupukan P + kapur + bahan organik
Hasil (t/ha)
0
2,1
2,5
3,2
3,6
Pemupukan P = 40 kg P/ha, bahan organik 4,80 t pupuk kandang/ha, dan kapur 1 x Aldd =
6,50 t/ha.
Sumber: Suriadikarta et al. (1986).
atau persentase kejenuhan Al, karena
setiap jenis tanaman khususnya tanaman
pangan mempunyai toleransi yang berbeda terhadap kejenuhan Al (Tabel 5).
Makin besar persentase kejenuhan Al
dalam tanah, makin banyak kapur yang
harus diberikan ke dalam tanah untuk
mencapai pH agak netral sampai netral.
Pengapuran tampaknya dapat
mengatasi masalah kejenuhan Al dan
kemasaman pada tanah Ultisol. Namun di
beberapa daerah seperti di Kalimantan
dan Sumatera, ketersediaan kapur relatif
terbatas, dan bila tersedia harganya belum
tentu terjangkau oleh petani. Pengapuran
sebaiknya hanya dilakukan bila pH tanah
di bawah 5 karena pada pH di atas 5,50,
respons Al rendah karena sudah mengendap menjadi Al (OH)3.
Pemupukan Fosfat dan Kalium
pengapuran. Reaksi tanah masam dengan
kejenuhan Al tinggi sudah menjadi merek
dari tanah ini. Kemasaman tanah berhubungan erat dengan kejenuhan Al,
seperti yang dilaporkan oleh Abruna et
al. (1975), % kejenuhan Al = 516,10−163,97
kemasaman tanah + 12,70 (kemasaman
tanah)2 dengan r = 0,90.
Kandungan Al yang tinggi berasal
dari pelapukan mineral mudah lapuk.
Kemasaman dan kejenuhan Al yang tinggi
dapat dinetralisir dengan pengapuran.
Pemberian kapur bertujuan untuk meningkatkan pH tanah dari sangat masam atau
masam ke pH agak netral atau netral, serta
menurunkan kadar Al. Untuk menaikkan kadar Ca dan Mg dapat diberikan
dolomit, walaupun pemberian kapur selain
meningkatkan pH tanah juga dapat
meningkatkan kadar Ca dan kejenuhan
basa.
Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006
Terdapat hubungan yang sangat
nyata antara takaran kapur dengan Al
dan kejenuhan Al (Sri Adiningsih dan
Prihatini 1986). Pengapuran efektif mereduksi kemasaman (Wade et al. 1986), dan
pemberian kapur setara dengan l x Aldd
dapat menurunkan kejenuhan Al dari
87% menjadi < 20% (Sri Adiningsih dan
Prihatini 1986). Pada tanaman kedelai,
pemberian kapur hingga kedalaman 30 cm
dapat memberikan hasil tertinggi, tetapi
residu kapur tidak mempengaruhi tinggi
tanaman jagung yang ditanam setelah
kedelai, dan hanya berpengaruh pada
bobot tongkol basah (Suriadikarta et al.
1987a; 1987b). Pemberian kapur dapat
mengatasi masalah kemasaman tanah
dan juga menjamin tanaman dapat bertahan hidup dan berproduksi bila terjadi kekeringan (Amien et al. 1990).
Takaran kapur didasarkan pada Aldd
Pemupukan fosfat merupakan salah satu
cara mengelola tanah Ultisol, karena di
samping kadar P rendah, juga terdapat
unsur-unsur yang dapat meretensi fosfat
yang ditambahkan. Kekurangan P pada
tanah Ultisol dapat disebabkan oleh
kandungan P dari bahan induk tanah yang
memang sudah rendah, atau kandungan
P sebetulnya tinggi tetapi tidak tersedia
untuk tanaman karena diserap oleh unsur
lain seperti Al dan Fe.
Ultisol pada umumnya memberikan
respons yang baik terhadap pemupukan
fosfat. Penggunaan pupuk P dari TSP lebih
efisien dibanding P alam (Hakim dan
Sediyarsa 1986), namun pengaruh takaran
P terhadap hasil tidak nyata. Pemberian P
200−250 ppm P2O5 pada tanah Ultisol dari
Lampung dan Banten dapat menghasilkan
bahan kering 3−4 kali lebih tinggi dari
perlakuan tanpa fosfat (Sediyarsa et al.
43
1986). Di samping itu pengaruh residu
pemupukan P masih terlihat walaupun
hasil tanaman lebih rendah dari pertanaman sebelumnya (Sugiyono et al.
1986). Respons tanaman jagung terhadap
pemupukan P dan N pada tanah Typic
Paleudults sangat tinggi karena status
kesuburan Typic Paleudults sangat rendah. Penelitian lanjutan menunjukkan
bahwa takaran pupuk P dan N untuk
pertanaman jagung kedua lebih kecil dari
pertanaman pertama (Soepartini dan
Sholeh 1986).
Residu pupuk P pada tanah Ultisol
memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan dan hasil kedelai
(Suriadikarta dan Widjaja-Adhi 1986),
bahkan residu P sebesar 3 x 60 kg P/ha
dapat menaikkan ketersediaan P dalam
tanah dari 3,30 menjadi 10,10 ppm P2O5.
Pupuk K dalam bentuk KCl diberikan
dengan takaran 100−130 kg KCl/ha.
Bahan Organik
Tanah Ultisol umumnya peka terhadap
erosi serta mempunyai pori aerasi dan
indeks stabilitas rendah sehingga tanah
mudah menjadi padat. Akibatnya pertumbuhan akar tanaman terhambat karena
daya tembus akar ke dalam tanah menjadi
berkurang.
Bahan organik selain dapat meningkatkan kesuburan tanah juga mempunyai peran penting dalam memperbaiki
sifat fisik tanah. Bahan organik dapat
meningkatkan agregasi tanah, memperbaiki aerasi dan perkolasi, serta membuat
struktur tanah menjadi lebih remah dan
mudah diolah. Bahan organik tanah
melalui fraksi-fraksinya mempunyai
pengaruh nyata terhadap pergerakan dan
pencucian hara. Asam fulvat berkorelasi
positif dan nyata dengan kadar dan jumlah
ion yang tercuci, sedangkan asam humat
berkorelasi negatif dengan kadar dan
jumlah ion yang tercuci (Subowo et al.
1990).
Pengelolaan bahan organik dengan
penanaman Mucuna sp. selama 3 bulan
dan pengembalian serasah + pupuk
kandang 10 t/ha pada guludan dapat
meningkatkan pori tanah, dan pori air
tersedia, serta menurunkan kepadatan
tanah (Erfandi et al. 2001). Pada Ultisol
dari Sitiung, pemberian bahan organik berupa kotoran sapi, jerami, dan Flemingia
congesta dapat meningkatkan kandungan
bahan organik dan kapasitas tukar kation
44
serta menghalangi serapan P dan Mg
dalam tanah (Nursyamsi et al. 1997).
Pengelolaan tanah dan bahan organik
berupa sisa tanaman jagung, F. congesta,
dan Mucuna sp. sebagai mulsa sangat
efektif mencegah erosi serta mengurangi
konsentrasi sedimen dan aliran permukaan
(Kurnia et al. 2000). Pemberian berbagai
jenis dan takaran pupuk kandang (sapi,
ayam, dan kambing) dapat memperbaiki
sifat fisik tanah, yaitu menurunkan bobot
isi serta meningkatkan porositas tanah
dan laju permeabilitas (Adimihardja et al.
2000).
Penambahan bahan organik dari
pupuk kandang maupun sisa-sisa tanaman
atau hasil penanaman seperti Mucuna sp.
dan F. congesta dapat memperbaiki sifat
fisik tanah seperti pori air tersedia, indeks
stabilitas agregat, dan kepadatan tanah.
Pemberian bahan organik baik dari sisasisa tanaman maupun yang sengaja
ditanam tidak menimbulkan masalah bagi
petani, tetapi pemberian pupuk kandang
dengan takaran hingga 10 t/ha akan sangat
sulit diterapkan oleh petani.
Penyediaan bahan organik dapat
pula diusahakan melalui pertanaman
lorong (alley cropping). Selain pangkasan
tanaman dapat menjadi sumber bahan
organik tanah, cara ini juga dapat
mengendalikan erosi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penanaman Flemingia
sp. dapat meningkatkan pH tanah dan
kapasitas tukar kation serta menurunkan
kejenuhan Al (Hafif et al. 1993; Irianto et
al. 1993; Suhardjo et al. 1997). Penerapan
pola tanam tumpang gilir di produksi
dengan pemberian mulsa setiap panen
pada tanah Ultisol dapat menekan erosi
pada lereng 15% hingga di bawah nilai
erosi yang dapat diabaikan (Barus et al.
1986). Pada lereng sekitar 4%, penggunaan
mulsa untuk mencegah erosi cukup baik
asalkan diikuti pengelolaan tanah yang
baik pula (Suwardjo et al. 1987).
KESIMPULAN DAN SARAN
Pada umumnya Ultisol mempunyai penampang tanah yang dalam sehingga
merupakan media yang baik bagi pertumbuhan tanaman. Kecuali Ultisol yang
mempunyai horizon kandik, semua tanah
Ultisol mempunyai kapasitas tukar kation
sedang hingga tinggi (> 16 cmol/kg)
sehingga sangat menunjang dalam pemupukan. Penampang tanah yang dalam
dengan kapasitas tukar kation sedang
hingga tinggi menjadikan tanah Ultisol
dapat dimanfaatkan untuk berbagai jenis
tanaman. Namun demikian, faktor iklim dan
relief perlu diperhatikan.
Kendala pemanfaatan tanah Ultisol
untuk pengembangan pertanian adalah
kemasaman dan kejenuhan Al yang
tinggi, kandungan hara dan bahan organik
rendah, dan tanah peka terhadap erosi.
Berbagai kendala tersebut dapat diatasi
dengan penerapan teknologi seperti
pengapuran, pemupukan, dan pengelolaan bahan organik.
Pemanfaatan tanah Ultisol untuk
pengembangan tanaman pangan lebih
banyak menghadapi kendala dibandingkan dengan untuk tanaman perkebunan. Oleh karena itu, tanah ini banyak
dimanfaatkan untuk tanaman perkebunan
kelapa sawit, karet, dan hutan tanaman
industri, terutama di Sumatera dan Kalimantan.
Masalah dalam penerapan hasil-hasil
penelitian pengelolaan tanah Ultisol oleh
petani adalah rendahnya pengetahuan
dan sumber pembiayaan mereka, terutama
untuk pengadaan pupuk P, kapur, dan
pupuk kandang. Untuk memacu penerapan hasil-hasil penelitian dapat memanfaatkan tenaga penyuluh pertanian yang
ada. Perlu dilakukan penelitian mengenai
potensi aplikasi hasil-hasil penelitian oleh
petani untuk memantau tingkat adopsi
teknologi yang dihasilkan oleh petani.
DAFTAR PUSTAKA
Abruna, F., R.W. Pearson, and R. Perez-Escolar.
1975. Lime response of corn and beans in
typical Ultisols and Oxisols of Puerto Rico.
p. 262−279. In E. Bornemisza and Alvarado
(Eds.). Soil Management in Tropical
America. Proceeding of a Seminar, North
Caroline State University, Raleigh.
Adimihardja, A., I. Juarsah, dan U. Kurnia. 2000.
Pengaruh penggunaan beberapa jenis dan
takaran pupuk kandang terhadap produktivitas tanah Ultisol terdegradasi Desa Batin,
Jambi. hlm. 303−320. Dalam Agus, F., I.
Las, A. Sofyan, Sukarman, W.J. Suryanto,
Sri Rochayati, M. Anda (Ed.). Prosiding
Seminar Nasional Reorientasi Pendayagunaan Sumberdaya Tanah, Iklim, dan Pupuk.
Lido-Bogor, 6−8 Desember 1999. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Alkusuma. 2000. Morphology, Characteristics
and Genesis of Soils on Mount Hulu-Sabuk
Volcano, Tanjung Raja, Lampung, Indonesia.
MSc Thesis, University of the Philippines,
Los Banos.
Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006
Alkusuma and R.B. Badayos. 2003. The
mineralogical characteristics of volcanic
soils from North Lampung, Sumatra,
Indonesia, Jurnal Tanah dan Iklim 21: 56−
68.
Allen, B.L. and B.F. Hajek. 1989. Mineral occurence in soil environment. p. 199−278. In
J.B. Dixon and S.B. Weed (Eds.). Mineral in
Soil Environments. 2nd ed. Soil Sci. Soc. Am.
Madison, Wisconsin, USA.
Amien, L.I., C.L.I., Evensen, and R.S. Yost.
1990. Performance of some improved
peanut cultivars on an acid soil of West
Sumatra. Pemberitaan Penelitian Tanah dan
Pupuk 9: 1−7.
Barus, A., S. Sukmana, dan U. Kurnia. 1986.
Pengaruh pola tanam tumpang gilir dan
berurutan terhadap erosi dan aliran permukaan pada tanah Podsolik Merah Kuning
di Baturaja, Sumatera Selatan. hlm. 239−256.
Dalam U. Kurnia, J. Dai, N. Suharta, I.P.G.
Widjaya-Adhi, J. Sri Adiningsih, S.
Sukmana, J. Prawirasumantri (Ed.).
Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian
Tanah, Cipayung 10−13 November 1981.
Pusat Penelitian Tanah, Bogor.
Briendly, G.W., C.C. Kao, J.L. Harison, M.
Lipsicas, and R. Raythath. 1986. Relation
between structural disorder and other
characteristics of kaolinite and dickites.
Clays and Clay Minerals 34: 239−249.
Erfandi, D., I. Juarsah, dan U. Kurnia. 2001.
Perbaikan sifat fisik tanah Ultisol Jambi,
melalui pengelolaan bahan organik dan
guludan. hlm. 171−180. Dalam A. Sofyan,
G. Irianto, F. Agus, Irawan, W.J. Suryanto,
T. Prihatini, M. Anda (Ed.). Prosiding
Seminar Nasional Reorientasi Pendayagunaan Sumberdaya Tanah, Iklim, dan Pupuk,
Cipayung, 31 Oktober−2 November 2000.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat,
Bogor.
Eswaran, H. and C. Sys. 1970. An evaluation of
the free iron in tropical andesitic soil.
Pedologie 20: 62−65.
Hafif, B., D. Santoso, J. Sri Adiningsih, dan
H. Suwardjo. 1993. Evaluasi penggunaan
beberapa cara pengelolaan tanah untuk
reklamasi dan konservasi lahan terdegradasi.
Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk
11: 7−12.
Hakim, L. dan M. Sediyarsa. 1986. Percobaan
perbandingan beberapa sumber pupuk fosfat
alam di daerah Lampung Utara. hlm. 179−
194. Dalam U. Kurnia, J. Dai, N. Suharta,
I.P.G. Widjaya-Adhi, J. Sri Adiningsih, S.
Sukmana, J. Prawirasumantri (Ed.). Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah,
Cipayung, 10−13 November 1981. Pusat
Penelitian Tanah, Bogor.
Irianto, G., A. Adimihardja, dan I. Juarsah. 1993.
Rehabilitasi tanah Tropudults tererosi
dengan sistem pertanaman lorong menggunakan tanaman pagar Flemingia congesta.
Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk
11: 13−18.
Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006
Isa, A., F.S. Zauyah, dan G. Stoops. 2004. Karakteristik mikromorfologi tanah-tanah volkanik di daerah Banten. Jurnal Tanah dan
Iklim 22: 1−14.
A.B. Siswanto, F. Agus, Irawan, A. Rachman, Ropiq (Ed.). Prosiding Kongres
Nasional VI HITI. Jakarta, 12−15 Desember
1995.
Kurnia, U., D. Erfandi, dan I. Juarsah. 2000.
Pengolahan tanah dan pengolahan bahan
organik pada Typic Haplohumults terdegradasi di Jasinga, Jawa Barat. hlm. 285−
302. Dalam F. Agus, I. Las, A. Sofyan,
Sukarman, W.J. Suryanto, Sri Rochayati,
M. Anda (Ed.). Prosiding Seminar Nasional
Reorientasi Pendayagunaan Sumberdaya
Tanah, lklim, dan Pupuk. Cipayung, 31
Oktober−2 November 2000. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Schwertmann, U. and R.M. Taylor. 1989. Iron
oxides. p. 379−438. In J.B. Dixon and S.B.
Weed (Eds.). Mineral in Soil Environments.
2nd ed. Soil Sci. Soc. Am. Madison, Wisconsin, USA.
Nursyamsi, D., J. Sri Adiningsih, Sholeh, dan
A. Adimihardja. 1997. Penggunaan bahan
organik untuk meningkatkan efisiensi pupuk
N pada Ultisol Sitiung, Sumatera Barat. hlm.
319−330. Dalam H. Subagyo, S. Sabiham,
R. Shofiyati, A.B. Siswanto, Irawan, A.
Rachman, Ropiq (Ed.). Prosiding Kongres
Nasional VI HITI. Jakarta, 12−15 Desember
1995.
Prasetyo, B.H. dan N. Suharta. 2000. Tanahtanah pada landform utama di Propinsi
Kalimantan Selatan. Potensi dan Kendalanya
untuk Pengembangan Pertanian. hlm. 419−
428. Dalam A. Sofyan, G. Irianto, F. Agus,
Irawan, W.J. Suryanto, T. Prihatini, M.
Anda (Ed.). Prosiding Seminar Nasional
Reorientasi Pendayagunaan Sumberdaya
Tanah, lklim, dan Pupuk. Cipayung, 31
Oktober−2 November 2000. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Prasetyo, B.H. and R.J. Gilkes.1997. Some
chemical and mineralogical properties of red
soils derived from volcanic-tuff in West Java.
Agrivita 18(3): 87−94.
Prasetyo, B.H., B. Kaslan, dan D. Subardja. 1998.
Karakteristik dan sebaran tanah-tanah di
daerah Pametikarata, Lewa, Sumba Timur.
Jurnal Penelitian Pertanian 17: 21−31.
Prasetyo, B.H., H. Sosiawan, and S. Ritung. 2000.
Soil of Pametikarata, East Sumba: Its
suitability and constraints for food crop
development. Indon. J. Agric. Sci. 1(1): 1−
9.
Prasetyo, B.H., N. Suharta, H. Subagyo, and Hikmatullah. 2001. Chemical and mineralogical
properties of Ultisols of Sasamba Area, East
Kalimantan. Indon. J. Agric. Sci. 2(2): 37−
47.
Prasetyo, B.H., D. Subardja, dan B. Kaslan. 2005.
Ultisols dari bahan volkan andesitic di lereng
bawah G. Ungaran. Jurnal Tanah dan Iklim
23: 1−12.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 2000.
Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia Skala 1:1.000.000. Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Rachim, D.A., Astiana, R. Sutanto, N. Suharta,
A. Hidayat, D. Subardja, dan M Arifin.
1997. Tanah merah terlapuk lanjut serta
pengelolaannya di Indonesia. hlm. 97−116.
Dalam H. Subagyo, S. Sabiham, R. Shofiyati,
Sediyarsa, M., S. Gunawan, dan J. Prawirasumantri. 1986. Kebutuhan fosfat pada tanah
Podsolik Lampung dan Banten. hlm. 155−
165. Dalam U. Kurnia, J. Dai, N. Suharta,
I.P.G. Widjaya-Adhi, J. Sri Adiningsih, S.
Sukmana, J. Prawirasumantri (Ed.). Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah,
Cipayung 10−13 November 1981. Pusat
Penelitian Tanah, Bogor.
Setyawan, D. 1997. Keragaan susunan mineral
liat beberapa tanah di Sumatera Selatan. hlm.
33−40. Dalam H. Subagyo, S. Sabiham, R.
Shofiyati, A.B. Siswanto, Irawan, A.
Rachman, Ropiq (Ed.). Prosiding Kongres
Nasional VI HITI Jakarta. 12−15 Desember
1995.
Soekardi, M., M.W. Retno, dan Hikmatullah.
1993. Inventarisasi dan karakterisasi lahan
alang-alang. hlm. 1−18. Dalam S. Sukmana,
Suwardjo, J. Sri Adiningsih, H. Subagjo, H.
Suhardjo, Y. Prawirasumantri. (Ed.).
Pemanfaatan Lahan Alang- alang untuk
Usaha Tani Berkelanjutan. Prosiding Seminar
Lahan Alang-alang, Bogor, Desember 1992.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Badan Litbang Pertanian.
Soepartini, M. and Sholeh. 1986. Effect of N
and P fertilizer on yield of maize grown on
Typic Paleudults in Lampung for two
consecutive season. Pemberitaan Penelitian
Tanah dan Pupuk 6: 19−25.
Soepraptohardjo, M. 1961. Tanah merah di
Indonesia. Contr. Gen. Agric. Res. Sta. No.
161. Bogor.
Soil Survey Staff. 2003. Keys to Soil Taxonomy.
USDA, Natural Research Conservation
Service. Ninth Edition. Washington D.C.
Sri Adiningsih, J. dan T. Prihatini. 1986. Pengaruh pengapuran dan inokulan terhadap
produksi dan pembintilan tanaman kedelai
pada tanah Podsolik di Sitiung II, Sumatera
Barat. hlm. l39−150. Dalam U. Kurnia, J.
Dai, N. Suharta, I.P.G. Widjaya-Adhi, J. Sri
Adiningsih, S. Sukmana, J. Prawirasumantri
(Ed.). Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah, Cipayung 10−13 November
1981. Pusat Penelitian Tanah, Bogor.
Sri Adiningsih, J. dan Mulyadi. 1993. Alternatif
teknik rehabilitasi dan pemanfaatan lahan
alang-alang. hlm. 29−50. Dalam S. Sukmana,
Suwardjo, J. Sri Adiningsih, H. Subagjo, H.
Suhardjo, Y. Prawirasumantri (Ed.).
Pemanfaatan lahan alang-alang untuk usaha
tani berkelanjutan. Prosiding Seminar Lahan
Alang-alang, Bogor, Desember 1992. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan
Litbang Pertanian.
45
Subagyo, H., P. Sudewo, dan B.H. Prasetyo. 1986.
Pedogenesis beberapa profil Mediteran
Merah dari batu kapur di sekitar Tuban, Jawa
Timur. hlm. 103−122. Dalam U. Kurnia, J.
Dai, N. Suharta, I.P.G. Widjaya-Adhi, J. Sri
Adiningsih, S. Sukmana, J. Prawirasumantri
(Ed.). Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah, Cipayung, 10−13 November.
1981. Pusat Penelitian Tanah, Bogor.
Subagyo, H., B.H. Prasetyo, dan N. Suharta. 1987.
Karakteristik Latosol dari bahan volkan
andesitik G. Burangrang dan sekitar
Purwakarta, Jawa Barat. hlm. 177−208.
Dalam U. Kurnia, J. Dai, N. Suharta, I.P.G.
Widjaja-Adhi, M. Soepartini, S. Sukmana,
J. Prawirasumantri (Ed.). Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah, Cipayung,
21−23 Februari 1984. Pusat Penelitian
Tanah, Bogor.
Subagyo, H., N. Suharta, dan A.B. Siswanto. 2004.
Tanah-tanah pertanian di Indonesia. hlm.
21−66. Dalam A. Adimihardja, L.I. Amien,
F. Agus, D. Djaenudin (Ed.). Sumberdaya
Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
Subardja, D. 1986. Pedogenesis beberapa profil
PMK dari batuan sedimen tufa masam di
daerah Lampung. hlm. 83−102. Dalam U.
Kurnia, J. Dai, N. Suharta, I.P.G. WidjayaAdhi, J. Sri Adiningsih, S. Sukmana, J.
Prawirasumantri (Ed.). Prosiding Pertemuan
Teknis Penelitian Tanah, Cipayung, 10−13
November. 1981. Pusat Penelitian Tanah,
Bogor.
Subowo, J. Subaga, dan M. Sudjadi. 1990.
Pengaruh bahan organik terhadap pencucian
hara tanah Ultisol Rangkasbitung, Jawa Barat.
Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk
9: 26−31.
Sugiyono, M. Soepartini, dan J. Prawirasumantri.
1986. Pengaruh pemupukan nitrogen dan
fosfat serta residu fosfat terhadap produksi
jagung pada tanah Hydric Dystrandepts Jawa
46
Barat dan Typic Paleudults Lampung. hlm.
169−178. Dalam U. Kurnia, J. Dai, N.
Suharta, I.P.G. Widjaya-Adhi, J. Sri
Adiningsih, S. Sukmana, J. Prawirasumantri
(Ed.). Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah, Cipayung, 10−13 November.
1981. Pusat Penelitian Tanah, Bogor.
pemupukan P terhadap tanaman jagung
tanah Podsolik. hlm. 375−382. Dalam U.
Kurnia, J. Dai, N. Suharta, I.P.G. WidjajaAdhi, M. Soepartini, S. Sukmana, J. Prawirasumantri (Ed.). Prosiding Pertemuan Teknis
Penelitian Tanah, Cipayung, 21−23 Februari
1984. Pusat Penelitian Tanah, Bogor.
Suhardjo, H., A. Syukur, dan Subowo. 1997.
Peranan jenis tanaman legum dalam mempelajari sifat fisik dan kimia tanah pada tanah
marginal (T. Plinthudults) Lampung Tengah.
hlm. 375−382. Dalam H. Subagyo, S.
Sabiham, R. Shofiyati, A.B. Siswanto, F.
Agus, Irawan, A. Rachman, Ropiq (Ed.).
Prosiding Kongres Nasional VI HITI.
Jakarta, 12−15 Desember 1995.
Suriadikarta, D.A., J. Sri Adiningsih, dan D.
Santoso. 1987b. Pengaruh kedalaman pengapuran dan inokulan terhadap tanaman
kedelai dan perubahan sifat kimia tanah
Podsolik. hlm. 257−270. Dalam U. Kurnia,
J. Dai, N. Suharta, I.P.G. Widjaja-Adhi, M.
Soepartini, S. Sukmana, J. Prawirasumantri
(Ed.). Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah, Cipayung, 21−23 Februari
1984. Pusat Penelitian Tanah, Bogor.
Suhardjo, H. dan B.H. Prasetyo. 1998. Sifatsifat fisiko kimia dan penyebaran tanah
Kandiudults di Propinsi Riau. Jurnal Penelitian Pertanian 17(2): 93−102.
Suharta, N. dan B.H. Prasetyo. 1986. Karakterisasi tanah-tanah berkembang dari batuan
granit di Kalimantan Barat. Pemberitaan
Penelitian Tanah dan Pupuk 6: 51−60.
Sujadi, M. 1984. Masalah kesuburan tanah
Podsolik Merah Kuning dan kemungkinan
pemecahannya. Prosiding Pertemuan Teknis
Pola Penelitian Usaha Tani Menunjang
Transmigrasi, hlm. 3−10, Pusat Penelitian
Tanah Cisarua, Bogor.
Suriadikarta, D.A. dan I.P.G. Widjaja-Adhi.
1986. Pengaruh residu pupuk fosfat, kapur
dan bahan organik terhadap kesuburan tanah
dan hasil kedelai pada Ultisol Rangkasbitung.
Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk
6: 15−18.
Suriadikarta, D.A., I.P.G. Widjaja-Adhi, dan J.
Sri Adiningsih. 1986. Respons tanaman
jagung terhadap pengapuran, pemupukan
fosfat, dan bahan organik. Pemberitaan
Penelitian Tanah dan Pupuk 5: 19−23.
Suriadikarta, D.A., D. Santoso, dan J. Sri Adiningsih. 1987a. Pengaruh residu pengapuran dan
Suwardjo, Z. Kadir, dan A. Adimihardja. 1987.
Pengaruh cara pemanfaatan sisa tanaman
terhadap kadar bahan organik pada tanah
Podsolik Merah Kuning di Lampung. hlm.
409−424. Dalam U. Kurnia, J. Dai, N.
Suharta, I.P.G. Widjaja-Adhi, M. Soepartini,
S. Sukmana, J. Prawirasumantri (Ed.).
Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian
Tanah, Cipayung, 21−23 Februari 1984.
Pusat Penelitian Tanah, Bogor.
Wade, M.K., M. Aljabri, and M. Sudjadi. 1986.
The effect of liming of soybean yield and
soil acidity parameters of three red yellow
podzolic soils of West Sumatra. Pemberitaan
Penelitian Tanah dan Pupuk 6: 1−8.
Yatno, E., M. Hikmat, N. Suharta, dan B.H.
Prasetyo. 2000. Plinthudults di Kalimantan
Selatan. Sifat morfologi, fisika, mineralogi
dan kimianya. hlm. 353−368. Dalam A.
Sofyan, G. Irianto, F. Agus, Irawan, W.J.
Suryanto, T. Prihatini, M. Anda (Ed.).
Prosiding Seminar Nasional Reorientasi
Pendayagunaan Sumberdaya Tanah, lklim,
dan Pupuk. Cipayung, 31 Oktober−2
November 2000. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006
Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006
47
Download