BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Indonesia topik penelitian tradisi lisan mulai banyak diminati oleh para
peneliti dalam beberapa tahun terakhir ini,
hal itu sejalan dengan maraknya
semangat di kalangan masyarakat luas untuk memperhatikan dan melestarikan
budaya-budaya berbagai suku bangsa yang lahir dalam bahasa-bahasa daerah dan
jumlahnya sangat banyak sekali. Sebagian kecil dari tradisi lisan itu menurut
Rosidi (1995:125) telah ”diselamatkan” dalam bentuk transkripsi dan dalam
bentuk rekaman video. Tetapi yang sudah diselamatkan itu tidak sebanding
dengan jumlah kekayaan tradisi lisan yang ada dan berkembang sampai saat ini di
dalam masyarakat.
Usaha penyelamatan tradisi lisan ini harus mendapat apresiasi karena di
dalamnya memiliki bentuk ekspresi kebudayaan daerah yang hadir di tengahtengah masyarakat pemiliknya, karena mengandung nilai-nilai yang patut
diteladani seperti kepercayaan, pandangan hidup, cara berpikir, dan nilai budaya
bangsa yang mempunyai hubungan erat dengan kehidupan masyarakat
pemiliknya, baik dalam hubungan dengan masa lalu, masa sekarang, maupun
masa yang akan datang.
Dalam pandangan Ahimsa-Putra (2009:16) tradisi lisan merupakan salah
satu kearifan lokal yang tersimpan dalam karya-karya lokal, baik lisan maupun
tertulis, bisa juga dikatakan sebagai cermin dari masyarakat pemiliknya, sehingga
mempelajari tradisi lisan, mulai dari mantra, pantun, peribahasa, hingga cerita
1
rakyat akan sangat membantu memahami pola pikir atau berbagai kejadian dalam
kehidupan masyarakat. Terdapat
hubungan antara tradisi
lisan dengan
kebudayaan, sebab tradisi lisan merupakan salah satu unsur kebudayaan, sehingga
tradisi lisan bagi para ahli antropologi dapat dipahami sebagai data kebudayaan
yang mengandung berbagai informasi tentang kebudayaan. Sebagai salah satu
data kebudayaan lebih lanjut Ahimsa-Putra (2003:78) menjelaskankan bahwa
tradisi lisan dapat dipandang sebagai ”pintu masuk” untuk memahami
kebudayaan itu sendiri. Maka posisi tradisi lisan dapat menjadi unsur-unsur
kebudayaan seperti sistem nilai, sistem politik, sistem kepercayaan, sistem mata
pencaharian, dan sebagainya.
Ekspresi tradisi lisan perlu diungkapkan kalau ingin mendapatkan gambaran
tentang kekayaan budaya, seperti orang Sumbawa (tau Samawa)1 mempunyai
1
Kata Tau Samawa (Tau= orang/penduduk Samawa, Samawa=Sumbawa) maksudnya: (a)
semua orang/penduduk asli/kelahiran/berasal dari/berdomisili sejak lama di Tanaq Samawa
(Daerah Sumbawa). (b) Khusus mereka yang menjadi penduduk kota Sumbawa Besar. (c) Istilah
tau Samawa kadang dimaksudkan untuk membedakan tipologi masyarakat kota dan desa yakni
mereka yang menjadi penduduk kota Sumbawa (Samawa) dan dianggap mempunyai ciri-ciri
sebagai orang kota (tau desa rea= orang kota) disebut tau Samawa. Mereka yang menjadi
penduduk desa dan dianggap mempuyai ciri-ciri sebagai orang desa disebut tau desa ode. Bahasa
Samawa: Tau= orang, desa=kampung. Ode=kecil, orang dusun. Lebih lanjut perkataan Samawa
sebagai sebuah nama seperti dimaksudkan diatas. Samawa berasal dari perkataan dalam bahasa
daerah Sumbawa sendiri, yaitu Samawa terdiri dari kata dasar mawa yang berarti beban, yang
dibawa, barang bawaan, atau oleh-oleh. Diberi awalan sa yang diikuti dengan tekanan bunyi pada
suku kata akhir kata dasar (dalam hal ini suku kata wa) yang mempunyai fungsi/arti awalan me
dan akhiran kan dalam bahasa Indonesia. Samawa berarti membebankan, memberi beban,
membawakan, memberikan untuk di bawa, mengamanatkan, mengharapkan disampaikan pada
alamatnya.
Kata dasar “mawa” adalah kata benda yang artinya seperti tersebut di atas, berbeda dengan
kata dasar “bawa” (kata kerja) yang bentuk dan artinya sama dengan kata dasar “bawa” dalam
bahasa Indonesia. Jika kata dasar “bawa” diberi awalan “sa” juga akan berubah menjadi
“samawa” (bukan “sabawa”) yang berarti membawakan. Baik kata dasar “mawa” maupun kata
dasar “bawa” yang masing-masing berarti “barang yang di bawa” dan “membawakan”, sama
berkisar pada pengertian “bawa” . kemudian mendapat awalan “sa” menjadi sa-bawa; sa-bawa
(samawa), karena perubahan fonem menjadi “sama bawa” – “sambawa” seterusnya “Sumbawa”
jadi sebutan “Sumbawa” sekarang mempunyai pengertian yang sama dengan pengertian yang
terkandung dalam nama aslinya “SAMAWA” (Masnirah,1988:40).
2
seni tradisi lisan (oral tradition) yang masih bertahan sampai sekarang yaitu
lawas2 yang dilisankan dengan berbagai macam cara pewarisannya, ada yang
dilagukan sendiri-sendiri, ada pula secara berpasangan atau beramai-ramai. Dalam
kaitan dengan penelitian ini, akan fokus pada seni tradisi lisan sakeco yang
merupakan salah satu bentuk penyampaiannya melalui unsur kelisanan yang
paling digemari oleh masyarakat Sumbawa. Seni tradisi lisan ini dimainkan oleh
dua orang dengan cara melantunkan lawas sambil memukul 2 buah alat rebana
kecil (ode) sebagai alat musik pengiring ketika penutur menyelesaikan satu alinea
cerita kemudian dilanjutkan ke bait cerita berikutnya. Lawas-lawas yang
dilantunkan dalam seni tradisi lisan sakeco berisi tentang cinta kasih muda-mudi,
nasehat agama (akherat), kepatriotan, perjuangan yang penuh heroik di masa lalu,
politik, perkawinan, dan nilai gotong royong yang berazaskan kekeluargaan.
Pertunjukan tradisi lisan sakeco sampai saat ini masih tetap bertahan dalam
masyarakat pemiliknya. Bagi orang Sumbawa (tau Samawa) seni ini digunakan
untuk memeriahkan upacara adat3 ramai mesaq4, sunatan (khitanan), tokal basai5,
2
Lawas adalah sejenis puisi traditional khas Sumbawa, umumnya terdiri dari tiga baris per bait,
setiap baris terdiri dari delapan suku kata dan biasanya dilisankan secara resmi pada upacaraupacara tertentu (Sumarsono, 1985:75).
3
Kata adat artinya wujud gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai budaya, normanorma, hukum serta aturan yang satu dengan yang lainnya berkaitan menjadi satu sistem yaitu
sistem budaya. Kalau dikaitkan dengan kata adat istiadat berarti aturan yang kuat dan terintegrasi
kuat dalam sistem budaya dari suatu kebudayaan yang menata tindakan manusia dalam kehidupan
sosial kebudayaan (Koentjaraningrat, 1984).
4
Ramai Mesaq (ramai sendirian) dulunya hanya dilakukan di rumah calon pengantin laki
dengan menggunakan pakaian adat, tanpa dihadiri oleh calon pengantin wanita dengan menanggap
seni tradisi lisan sakeco dan ratib rebana ode (syalawatan) sebagai media hiburan (Zulkarnain,
2011:201).Tradisi ramai mesaq dalam pandangan orang Sumbawa saat ini adalah pra-resepsi
perkawinan. Tradisi ini dilakukan pada malam hari setelah dilakukan kegiatan aqad nikah. Adat
ini dilakukan di rumah calon pengantin laki-laki sebagai bentuk hiburan untuk melepaskan
kepergiannya ke rumah calon pengantin wanita. Akan tetapi seni tradisi lisan sakeco dilakukan
3
peresmian lembaga, peringatan HUT (Hari Ulang Tahun) Kabupaten Sumbawa,
kampanye partai politik, dan upacara adat lainnya. Sakeco is played to celebrate
the wedding party, the moriterious but not obligatory prophet or other ritual
ceremony. Tanpa sakeco dalam acara tersebut ada
sesuatu yang hilang bagi
keluarga penyelenggara hajatan sebelum menanggap seni pertunjukan tradisi lisan
sakeco.
Data etnografi awal yang peneliti observasi pada tanggal 21 Februari 2012
dari penyelenggaraan adat ramai mesaq yang ingin dikemukakan sebagai titik
awal pada bagian latar belakang ini ada seorang mantan PNS (Pegawai Negeri
Sipil) bernama Suharno berdomisili di Desa Tengah Kecamatan Utan-Sumbawa.
Ia berasal dari Kabupaten Klaten-Jawa Tengah dengan profesinya
sekarang
sebagai petani. Dalam sebuah hajatan perkawinan anaknya yang bernama Rika
Putri Nora, Suharno tidak mau ketinggalan dalam merayakan perkawinan dengan
sangat meriah menurut ukuran orang di desa tersebut. Dalam perkawinan itu, adat
ramai mesaq tetap digelar dengan menanggap seni tradisi lisan sakeco sebagai
sajian hiburan bagi para keluarga yang datang dari kejauhan, dan menjadi daya
tarik masyarakat sekitarnya karena orang berbondong-bondong menuju halaman
rumah pak Suharno untuk menyaksikan seni ini meskipun mereka tidak diundang.
pula di rumah pengantin perempuan sebagai bentuk hiburan penyambutan kedatangan pengantin
laki-laki (nginring).
5
Tokal Basai artinya duduk bersanding dalam acara resepsi perkawinan. Dalam tradisi
Sumbawa para pengiring dalam arakan bersama seluruh warga masyarakat wajib menikmati acara
makan malam bersama pengantin. Lebih-lebih kepada para tamu undangan yang telah tiba dari
kejauhan diharuskan untuk makan malam pula. Para tamu yang datang dari luar telah disediakan
akomodasi dirumah-rumah penduduk, yang secara moral tuan rumah juga mempersiapkan segala
sesuatunya termasuk makan dan tempat tidurnya, karena para tamu akan sepanjang malam berada
dirumah pengantin sambil menikmati pertunjukkan seni tradisi lisan sakeco.
4
Apa yang dilakukan oleh Suharno ini mengundang minat peneliti untuk
melakukan penelitian dalam perspektif fungsional-struktur. Peristiwa perayaan
perkawinan secara meriah menurut ukuran desa Tengah Kecamatan Utan memacu
tanda tanya, bagaimana mungkin pak Suharno mau menyelenggarakan
perkawinan anaknya secara besar-besaran dengan menanggap seni tradisi lisan
sakeco, sementara pak Suharno bukan asli orang Sumbawa atau sebagai bagian
dari warga masyarakat desa. Apakah penyelenggaraan adat ramai mesaq bagi
anaknya merupakan upaya untuk membuktikan bahwa walaupun bukan orang asli
Sumbawa tetapi ia adalah warga desa yang memiliki hak dan kewajiban yang
sama dengan warga-warga lainnya. Hal itu semua menimbulkan daya tarik bagi
peneliti karena pak Suharno dalam perayaan perkawinan anaknya menanggap seni
tradisi lisan sakeco bukan dangdutan.
B. Rumusan Masalah
Dari paparan latar belakang di atas, penelitian ini dimaksudkan untuk
mengetahui fungsi seni pertunjukan tradisi lisan sakeco dalam masyarakat dan
para pemain sakeco (tau sakeco) yang memiliki arti penting bagi kehidupannya,
terutama menyangkut perannya sebagai pelaku seni pertunjukan tradisi lisan
sakeco. Apalagi dalam masyarakat pemiliknya menjadikan genre seni sakeco ini
sangat mengakar
dan menjadi milik masyarakat setempat. Dari hal itu
menimbulkan sejumlah pertanyaan yang layak dijawab secara ilmiah; (1) Apa
ciri-ciri seni pertunjukan tradisi lisan sakeco Sumbawa ? (2) Mengapa seni
5
pertunjukan tradisi lisan sakeco Sumbawa sampai sekarang masih tetap bertahan
dalam masyarakat ? .
C. Tujuan Penelitian
Secara umum, tujuan penelitian ini adalah: (1) untuk memahami ciri-ciri dan
fungsi seni pertunjukan tradisi lisan sakeco bagi masyarakat Sumbawa sebagai
nilai sosial budaya di kalangan masyarakat; (2) untuk memahami tentang seni
pertunjukan tradisi lisan sakeco dalam masyarakat Sumbawa sampai sekarang ini
tetap bertahan. Pemahaman ini diletakan dalam konteks masyarakat Sumbawa
yang menglobal bersama kehendak tuntutan zaman.
Secara khusus ada beberapa hal yang ingin diketahui dan dipahami melalui
penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Mengetahui tentang ciri-ciri seni tradisi
lisan sakeco Samawa sebagai genre pertunjukan yang masih bertahan dalam
masyarakat sampai saat ini dalam adat ramai mesaq, khitanan, peringatan Hari
Ulang Tahun (HUT) Kabupaten Sumbawa atau kemerdekaan RI dan lain-lainnya
masih menjadi pilihan masyarakat setempat, dan sangat banyak penonton yang
menggemarinya, padahal masih banyak jenis seni lain yang mengalami krisis
penonton; (2) Memperoleh penjelasan mengenai fungsi seni pertunjukan sakeco
bagi masyarakat Sumbawa dilihat dari fungsi budaya, sosial, politik dan ekonomi.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini mendeskripsikan seni pertunjukan tradisi lisan sakeco
Sumbawa yang diharapkan dapat memberi beberapa kegunaan, baik secara teoritis
maupun praktis. Secara teoritis penelitian ini: (a) dapat memberikan manfaat
6
sebagai informasi lanjut, menambah khazanah kepustakaan bagi pengembangan
ilmu di bidang seni tradisi lisan, dan kajian antropologi budaya yang secara
khusus bagi masyarakat Sumbawa, dan secara universal bagi masyarakat
Indonesia. Kesemua itu digunakan oleh generasi selanjutnya sebagai blue print
dalam menjawab berbagai masalah yang dihadapinya; (b) Sebagai referensi bagi
pengkaji tradisi lisan, antropologi dan sebagai perwujudan dari pandangan hidup
masyarakat pemiliknya, sehingga dapat dijadikan studi perbandingan dengan
daerah lainnya.
Adapun manfaat secara praktis diharapkan dapat berguna untuk berbagai
hal: (1) penelitian ini diharapkan bagi masyarakat pembaca betapa banyak hal
yang bisa dipelajari secara tersurat dan tersirat dari kearifan lokal seperti seni
tradisi lisan sakeco Sumbawa. Dengan memahami maksud yang terkandung
didalamnya dapat mengetahui fungsi sakeco bagi masyarakat Sumbawa; (2) bagi
masyarakat Sumbawa dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai upaya
mengangkat nilai-nilai lokal tradisi lisan Sumbawa untuk dijadikan pedoman
dalam bermasyarakat, sebagai bahan pertimbangan informasi bagi para penentu
kebijakan di Sumbawa, dalam merumuskan aneka kebijakan publik di bidang
budaya, sosial, politik dan ekonomi, terutama menyangkut eksistensi tradisi lisan;
(3) dapat menjadi pedoman bagi kelompok pertunjukan sakeco yang ingin
mengembangkan kemasan seni pertunjukannya; (4) disamping itu juga akan
bermanfaat bagi para pengelolah seni pertunjukkan sebagai salah satu model
pedoman kerja. Adapun bagi pengembangan ilmu, hasil penelitian ini akan
menambah bacaan dan wawasan yang sangat beragam dalam bidang seni
7
pertunjukan yang kelak dapat menjadi bahan kajian lebih lanjut atau dapat
memotivasi peneliti lain untuk mengadakan suatu penelitian yang lebih mendalam
terutama hal-hal yang belum dapat dijangkau dalam penelitian ini.
E. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka ini akan dipaparkan beberapa tulisan yang ada kaitannya
dengan penelitian ini. Tulisan-tulisan yang dimaksud akan dikelompokkan ke
dalam dua bagian, yaitu kelompok pertama akan dipaparkan kajian tentang tradisi
lisan, kedua akan dijelaskan studi sakeco itu sendiri.
1. Tradisi Lisan
Informasi mengenai tradisi lisan ada beberapa tulisan yang telah
melakukan penelitian di Indonesia dari disiplin ilmu yang berbeda-beda.6 Menurut
Dananjaya (1991:9-10) apa yang dilakukan merupakan sebagian kecil dari bahan
tradisi lisan Indonesia yang sangat banyak itu. Kebanyakan mereka itu adalah
orang Eropa, terutama berkebangsaan Belanda. Hasil karya dapat dibaca dalam
buku Raymond Kennedy yang berjudul Bibliography of Indonesian People and
6
Penelitian itu dengan paradigma yang berbeda misalnya dari filologi G.A.J. Hazeu (1897),
J.Kats (1923), H.Kern (1887), R.M.Ng Poerbatjaraka (1940), Tjan Tjoe Siem (1941), J. Hooykaas
(1956), dan Th.Pigeaud (1929). Dari musikologi antara lain Jaap Kunst (1959), A. Brandts Buys
(Van Zijp) (1926), Colin McPhee (1966), Suryabrata (dahulu bernama Bernard Ijzerdraad), dan
Mantle Hood (1958). Dari antropologi antara lain B.J.O Schrieke (1921 dan 1922), WH.Rassers
(1959), J.PB. de Josselin de Jong (1929), Jane Belo (1960), Gregory Bateson dan Margaret Mead
(1942), Koentjaraningrat (1961), Clifford Geertz (1964), dan James Peacock (1968), I Gusti
Ngurah Bagus (1971). Dari teologi antara lain C.Poesen (1870), J.Kreemer (1888), P.J.
Zoetmulder (1939), Roelof Goris (1937), A.C.Kruyt (1940), dan N. Adriani (1930). Dari ilmu Tari
antara lain K.E.Mershon (1971) dan Made Bandem (1972), dan dari senin rupa Walter Spies
(1939) dan (Dananjaya, 1991).
8
Cultures (1962), atau buku J. Danandjaya yang berjudul An Annotated
Bibliography of Javanese Folklore (1972).
Pada masa itu penelitian tradisi lisan Indonesia baru pada masa awal, baik
dalam hal pengumpulan data maupun analisa. Walaupun demikian kita merasa
bangga atas usaha para sarjana dimasa itu, karena mereka menerapkan teori yang
telah dikembangkan dalam dunia ilmu pengetahuan sosial dan budaya. George
Alexander Wilken (1912) telah menerapkan paradigma evolusi religi dalam
menganalisa kepercayaan rakyat Indonesia. Kesimpulannya bahwa kepercayaan
orang Jawa tentang padi mempunyai jiwa dan adat memanggur gigi adalah bekas
peninggalan yang tetap masih hidup (survival) dari zaman animisme dulu. W.H.
Rassers dan J.P.B. de Josselin de Jong (1922) telah menggunakan paradigma
struktur sosial dalam menganalisis tradisi lisan Indonesia. Hasilnya adalah ada
kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan dari legenda, upacara, dan struktur
sosial Jawa.
Khusus tentang puisi lisan H. Van der Veen (1924) mengkaji puisi tentang
kematian Toraja Selatan, WL Steinhart (1934) dan Lageman (1983) mengkaji
puisi dari cerita rakyat Nias, Dunnebier (1938) mengkaji puisi lisan di Sulawesi
Utara, Schrer (1966) mengkaji puisi lisan Dayak Ngaju, dan Fox (1971) mengkaji
puisi lisan masyarakat pulau roti. Bahkan puisi-puisi itu oleh Fox pada secara
khusus menemukan gejala paralelisme pada puisi lisan di beberapa daerah di
Indonesia.
Bahkan menurut Fox (1971) gejala paralelisme puisi lisan bini pada
masyarakat pulau Roti dibandingkan puisi lisan karya Homer di Yugoslavia
9
mempunyai struktur yang berbeda. Bini dilantunkan atau kadang-kadang dibaca
dalam bahasa ritual dan disusun dalam bentuk paralelisme. Bini dapat
mengekspresikan kisah apa saja, tetapi biasanya berhubungan dengan mitologi
masyarakat roti, misalnya asal usul api, hubungan zaman purba dengan dewadewa langit/laut dan keturunannya. Dengan tema tertentu, bini dapat juga
dilantunkan dalam upacara kematian. Tema puisi lisan bini lebih terbuka karena
mengisahkan pengalaman hidup dan kejadian sehari-hari yang dialami seorang
tokoh lantunan.
Tradisi lisan bini menggunakan kata-kata yang berpasangan yang sifatnya
dyadic, yaitu pasangan kata yang di pakai menunjukkan kesejajaran semantik
misalnya, matahari/bulan, kepala/ekor, jantan/betina, tinggi/pendek, besar/kecil,
tua/muda, dll (Fox, 1986). Pasangan-pasangan kata seperti ini sifatnya
tetap
(fixed pairs) yang telah disiapkan adat. Paralelisme seperti ini dipengaruhi oleh
konsep kosmologi dualis masyarakat Roti. Pada prinsipnya, dalam puisi bini
terdapat kesejajaran antara dua baris yang mengandung kata yang ada
pasangannya disejajarkan dengan baris lain dengan menggunakan kata pasangan
itu sehingga bentuknya menyerupai dyadic sets. Disamping itu pula Fox tidak
hanya membahas struktur bini, tetapi juga menggali fungsi bini bagi masyarakat
Roti.
Mengenai tradisi lisan rakyat lainnya yang memiliki keterkaitan dengan
pelantunan dalam proses penciptaan karya, pencipta hanya mengingat kelompok
kata dan formula sesuai dengan keinginannya secara kreatif maka tentu
menggunakan pandangan Lord (1981) yang meneliti epik Homer dengan ciri-
10
cirinya yaitu panjang (puluhan ribu baris), naratif, oral, bertema kepahlawanan,
tradisional, menggunakan repetisi dan paralelisme, berpola sama, dan
menggunakan stereotyped phrase. Karakteristik repetisi, paralelisme, dan
stereotyped phrase muncul secara dominan pada baris-baris lantunan sehingga
karya Homer disebut formulaic epic (Yektiningtyas (2008:14). Bagi Lord puisi
epik lebih bersifat narrative oral poetry, tema lantunan lebih bervariasi. Hal ini
dipengaruhi oleh pengetahuan dan perasaan seseorang pelantun ketika
melantunkan lantunannya.
Finnegan (1977) berargumentasi bahwa generalisasi formulaic style yang
ditemukan Lord masih perlu ditinjau kembali. Lord mengatakan bahwa puisi lisan
ditandai dengan formula dan formulaik serta puisi yang berformula dan formulaik
adalah lisan masih dapat diperdebatkan. Finnegan menekankan bahwa signifikansi
formula dan formulaik cenderung untuk memberikan kesempatan bagi pelantun
untuk mengekspresikan puisi lisan secara unik dan membuat lantunannya berbeda
dari lantunan yang lain. Walaupun demikian A. Teeuw (2003) menggarisbawahi
bahwa formula dan formulaik yang ditemukan Lord sangat berarti bagi dunia
folklore lisan. Hasil penelitian Lord memberikan dorongan bagi para peneliti
selanjutnya untuk meneliti puisi lisan dari daerah lain serta mengembangkan
konsep teori yang sesuai.
Hasil penelitian Parry-Lord menurut Abdullah (1988) juga mendorong para
ahli untuk mengujinya lewat berbagai penelitian terhadap karya-karya klasik
maupun cerita rakyat yang ternyata banyak memberikan kesesuaian, sehingga
mengantarkan pada kesimpulan bahwa gaya formulaik puisi lisan (oral formulaik
11
style) merupakan pangkal tolak yang membedakan puisi lisan dengan puisi tulis.
Sweeney (1973) telah meneliti puisi lisan melayu yang membuktikan bahwa tiap
kali tukang cerita membawakan ceritanya, merupakan penciptaan kembali, bukan
penghafalan. Setiap penyampaian berbagai pilihan katanya dan sering juga sekuen
(sequence)-nya, sedangkan isi ceritanya dapat dikatakan tidak berubah. Unsurunsur perulangan, kesejajaran, selipan bunyi-bunyi kosong (filler, balancing
words), dan ceritapun di rakit dari persediaan unsur-unsur bahasa dan unsur puitik
yang siap pakai (stock-in-trade) (Teeuw, 1984, Abdullah, 1988).
Untuk memperkuat hasil penelitian Sweeney di atas, khusus tentang puisi
lisan Melayu, Piah (1989) melakukan penelitian dan memberikan pandangan
tentang puisi rakyat yang memiliki ciri-ciri umum yaitu formula atau bentuknya
terikat oleh konvensi-konvensi tertentu yang seterusnya memberikan bentuk dan
struktur dalam puisinya. Misalnya puisi melayu tradisional tersusun atas barisbaris atau aturan-aturan kata yang berulang-ulang dalam kedudukan yang sejajar.
Menurut Mat Piah (1989), kesejajaran pada pantun misalnya lebih jelas
terlihat dengan adanya baris-baris yang berpasangan (symmetrical), yaitu suatu
bagian yang secara fisik mempunyai ciri yang sama dengan yang lain. Sesuai
dengan skema rima akhir (a-b-a-b), baris pertama berpasangan dengan baris
ketiga dan baris kedua dengan baris ke empat. Dengan demikian, sebuah pantun
yang baik akan mempunyai pasangan-pasangan yang sempurna, bukan saja dari
segi rima dan jumlah suku katanya, melainkan juga kata-kata yang mungkin
berpasangan. Huizinga (1990) berpendapat bahwa pantun melayu yang terdiri dari
empat baris itu (a-b-a-b) dua barisnya yang pertama dinamakan sampiran untuk
12
menyatakan suatu fakta, sedangkan dua baris terakhir yang dinamakan isinya
mengandung suatu sindiran.
Bahkan menurut Piah puisi melayu tradisional masih digunakan dalam
kegiatan kesenian rakyat yang merupakan sebagian dari budaya rakyat (folklore)
yang dipersembahkan, disampaikan, dan disebarkan dalam bentuk lisan. Hampir
semua nyayian daerah atau senandung rakyat, nyayian-nyayian yang mengiringi
tarian, ungkapan-ungkapan dalam istiadat-istiadat sosial dan keagamaan, zikir
yang dilagukan atau yang mengiringi perlakuan yang bersifat magis,
dipersembahkan dan diabadikan dalam bentuk puisi (Abror, 2009).
Hal ini
terbukti dengan hasil penelitian Soetaryo (1979) tentang Kesenian Angguk di
Desa Garongan tentang pantun yang mereka tampilkan tidak saja mengungkapkan
hal-hal yang profan, melainkan juga bersifat sakral (magis) sehingga pemain
dalam aktraksi tersebut mengalami ndadi (trance).
Banyak peneliti menaruh perhatian terhadap puisi lisan tradisonal misalnya
Yektiningtyas (2008) meneliti Helaehili dan Ehabla sebuah bentuk puisi lisan
masyarakat Sentani Papua yang ditembangkan secara spontan dengan hafalan.
Lantunan dibangun dengan formula untuk memudahkan dalam melantunkannya
yaitu kata/frasa paralel yang diciptakan sendiri atau yang telah disiapkan adat
(ready-made phrase). Dan melalui penelitiannya ditemukan bahwa lantunan
helaehili dan ehabla mempunyai fungsi sebagai; (1) media pendidikan, (2)
pencerminan angan-angan masyarakat sentani, (3) alat pengesah pranata adat dan
lembaga kebudayaan, (4) pemaksa dan pengawas norma sosial dan adat, (5)
penguat emosi keagamaan, (6) media sosialisasi masyarakat, (7) media hiburan.
13
Termasuk tradisi lisan macapat dalam ungkapan orang madura disebut
mamanca sebagai salah satu unsur seni pertunjukan yang pernah di teliti oleh
Helene Bouvier (1994). Mamanca ini termasuk puisi lisan Jawa yang dinyayikan
lalu dituturkan suatu cerita (careta) dalam tembang (tembhang), sambil
menambah penjelasan (tegghes). Acara mamanca diselenggarakan pada arisan,
upacara pembawa berkat di makam keramat (rokat bhuju), di rumah pribadi (rokat
bengko), upacara sunat (sonnat), perkawinan (panganten), pangur gigi
(mamapar), nazar untuk memiliki sejumlah sapi (niyat sape), hari raya islam dan
nujum.
Telah banyak kajian tentang macapat sebagai sastra lisan seperti I Wayan
Senen (2001) Komparasi Tembang Macapat Jawa dan Bali, Laginem, et.al.
(1996) Macapat Tradisional Dalam Bahasa Jawa, Hadisubroto (tt) Serat
Kesusatraan Djawi, Ciptowiyono (1988) Tuntunan Sekar Macapat, Darmacarita
(tt) Macapat Pancasila, Karsono H. Saputra (1992) Pengantar Sekar Macapat,
Marwoto (1992) Tuntunan Sekar Macapat, Sardjana HA (1968) Tembang
Macapat, Soewarno (1989) Macapat, Yohanes Mardimin Sekitar tembang
Macapat, Zawimah (1985) Macapatan, Soedarjanto (1989)
Macapat Dalam
Bahasa Jawa, Sri Nardiati ( tt ) Pedhotan Tembang Macapat dan Asmoro
Achmadi (1998) Nilai-Nilai Subtansial Dalam Macapat.
Peneliti-peneliti di atas menyebutkan bahwa tembang macapat ada sebelas
macam, yaitu Pucung, Dhandhanggula, pangkur, sinom, kinanthi, durma, mijil,
maskumambang, asmaradana, megatruh, dan gambuh. Semua tembang macapat
susunannya diatur oleh aturan yang ketat. Berbagai aturan dalam menyusun sekar
14
macapat selalu diikat oleh pupuh yang didalamnya terdapat podo (unit yang kecil
dari lirik/suku kata) dan setiap akhir dari lirik diatur bunyi tertentu. Sekar macapat
juga sarat dengan nilai-nilai luhur yang sangat bermanfaat bagi kehidupan
manusia baik lahir maupun batín. Berbagai nilai moral itu diharapkan dapat
membawa kearah kebaikan hidup manusia, karena ajaran itu bersumber pada
nilai-nilai luhur (kebaikan). Sekar macapat juga mengandung nilai-nilai edukatif
(etik eudemonisme) agar manusia memiliki sifat-sifat rendah hati, susila,
bijaksana, dan sopan.
Menurut Soedarsono (1994:2) macapat sebagai puisi Jawa tradisional
memiliki kaitan dengan seni suara dan merupakan bagian dari seni pertunjukan.
Banyak peneliti fokus pada kajian ini seperti Benard Arps (1922) di Banyuwangi
yang yang meneliti tentang Tembang in Two Traditions: Performance and
Interpretation of Javanese Literarure. Sebagai karya sastra Arps melihat macapat
sebagai seni resitasi yang membahas unsur-unsur yang diperlukan oleh penyanyi
(singer) misalnya mengenai tone, laras, pedhotan, dan watak tembang macapat.
Dan bahkan I Made Bandem (1985) yang berjudul Wimba Tembang Macapat Bali
mendeskripsikan sejarah tembang macapat, ciri-ciri tembang macapat, laras, dan
syarat-syarat penembang atau penyanyi macapat. Heru Djarot Santosa (2001)
dalam artikelnya yang berjudul Tradisi Macapat di Kabupaten Boyolali
mengatakan bahwa macapat mengandung dua hal yakni seni sastra dan seni
pertunjukan. Tradisi macapat berangkat dari tradisi lisan ke tradisi tulisan, dan
kembali lagi ke tradisi pelisanan. Tradisi macapat di Kabupaten Boyolali
dilaksanakan sebagai kenangan terhadap leluhur dari Kasunanan Surakarta.
15
Demikian pula ahli-ahli sastra Jawa seperti Arintaka (1981) dalam bukunya
Sekar Macapat 1 dan 2 memberi tuntunan bagaimana cara menyayikan tembang
macapat disertai notasinya untuk masing-masing metrum jenis tembang macapat.
R.Hardjowirogo yang berjudul Pathokaning Nyekaraken (1952), Yohanes Bosco
Maridja (2005) Macapat Rabu Pahingan yang tidak dapat dipisahkan dengan
peziarahan rohani (laku prihatin) yang dilakukan oleh Pastur G.P. Sindhunata, S.J
dengan beberapa umat Katholik Pakem. Sebagai seni pertunjukan resitasi kegiatan
macapat dilaksanakan setiap malam selasa kliwon berupa tirakan atau wungan
dengan menyanyikan metrum-metrum macapat. Setiap malam rabu pahing
diadakan kegiatan untuk menghormati Bunda Maria yang dikenal dengan Macapat
Rabu Pahingan. Kegiatan tersebut tetap berlangsung sampai sekarang dan
kegiatan tersebut merupakan kegiatan ritual yang tetap memperhatikan tempat,
waktu, peserta, dan kebiasaan setempat, serta benda-benda simbolis dengan
pemaknaan baru sesuai dengan ajaran gereja.
2. Sakeco
Hasil penelitian yang membahas secara khusus mengenai seni tradisi lisan
sakeco bagi masyarakat Sumbawa, sampai saat ini belum banyak yang melakukan
penelitian secara mendalam yang memuat topik ini. Hanya ada satu hasil
penelitian yang diteliti oleh Suyasa (2001) dengan judul ”Seni Balawas Dalam
Masyarakat Etnis Samawa”. Hasilnya adalah bahwa seni balawas merupakan
bentuk sastra setengah lisan yang disampaikan melalui saketa, langko, gandang,
ngumang, sakeco, badede, dan basual. Hal yang membuat orang tidak banyak dan
16
fokus melakukan penelitian tradisi lisan di Sumbawa dikarenakan; (1) posisi
Kabupaten Sumbawa di wilayah Timur Indonesia, yang jauh dari gugusan pulau
di Nusantara ini sehingga jarang sekali terdengar dalam pentas Nasional dalam
kaitan dengan seni tradisi lisan. Jangankan untuk mengenal seni tradisi lisannya,
daerah Sumbawa saja selalu diasosiasikan berada di wilayah Nusa Tenggara
Timur (NTT), padahal kabupaten Sumbawa berada pada wilayah Nusa Tenggara
Barat, (2) di Sumbawa dan Nusa Tenggara Barat (NTB) secara keseluruhan belum
ada yang fokus untuk seni tradisi lisan ini. Padahal tradisi lisan ini cukup banyak
berserakan dalam masyarakat yang membutuhkan sentuhan para peneliti untuk
melakukan research secara mendalam untuk kepentingan sebuah ilmu dan
kemasyarakatan. Dalam beberapa buku hanya sekedar menginformasikan tentang
adanya seni tradisi lisan sakeco dalam masyarakat Sumbawa tetapi bukan menjadi
fokus kajian obyek material maupun formal.
Dalam buku Manca (1984:39) yang berjudul Sumbawa Pada Masa Lalu
(Suatu Tinjauan Sejarah) menjelaskan terutama orang Belanda bernama Zolinger
yang datang ke Sumbawa sebelum ada pemerintahan Belanda, di mana pada
waktu itu Belanda sedang berusaha untuk mendaratkan bala tentaranya, sehingga
kedatangannya tidak mendapat sambutan baik dari kalangan rakyat. Dalam
pandangan Zolinger (1987) secara sentimentil mengatakan bahwa kedatangannya
baik, oleh Sultan maupun pembesar-pembesar kerajaan lainnya demikian juga
rakyat jelata menerima dengan muka tidak baik. Sehingga lantaran jengkelnya
mengatakan bahwa selama berada di Sumbawa Sultan selalu menunjukkan
pembawaan tidak sopannya, kemudian Zolinger mengolok dengan mengatakan
17
bahwa orang-orang Sumbawa bukan bangsa periang, jarang mengadakan pesta,
dan bahkan menganggap tidak terdapat alat-alat musik dan belum pernah
mendengar orang Sumbawa bernyanyi, padahal dari dulunya seni tradisi lisan
sudah cukup lama berkembang seiring dengan proses islamisiasi di Sumbawa dan
bahkan rebana, lawas yang yang menjadi pesan sakeco digunakan sebagai alat
media komunikasi dalam sebuah pertunjukan.
Tetapi hasil penelitian team Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah
(1990) dalam buku Ensiklopedi Musik dan Tari daerah Nusa Tenggara Barat
membatah tulisan dan pendapat Zolinger, ternyata orang Sumbawa (tau Samawa)
memiliki kegemaran yaitu menembangkan puisi lisan tradisional (balawas).
Tradisi ini menurut Muhammad (2011) ada semenjak manusia mengenal bahasa
Sumbawa melalui proses pembauran kebudayaan yang menghuni tanah Sumbawa.
Awalnya berperan sebagai alat ekspresi suasana batin manusia yang halus, atau
suasana batin manusia diliputi rasa haru, sendu, gundah-gulana karena musibah
atau
datangnya
marabahaya
yang
mengancam
hidupnya,
maka
untuk
menghilangkan kondisi itu dicurahkan perasaannya dalam bentuk lawas. Salah
satunya adalah lawas bernuansa ajaran islam (pamuji) yang berasal dari ungkapan
perasaan yang halus akan cinta (mahabbah) kepada Allah SWT, tempat bercermin
dan mengevaluasi diri, melihat realitas kehidupannya, kemudian diwujudkan
kedalam sikap dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Nilai-nilai inilah yang
mempengaruhi secara signifikan dalam perilaku keberagamaannya, memberi
makna dan bobot terhadap hidup dan kehidupannya. Kemudian wujud kreatifitas
18
itu dimanifestasikan dalam pola hidup sehingga melahirkan perubahan sikap
dalam bermasyarakat.
Bahkan Ardhana (1985), meneliti tentang Sastra Lisan Samawa.
mengklasifikasikan tradisi lisan Samawa menjadi jenis prosa (fable, mitos,
legenda, dongeng, cerita sejarah, kisah asmara, dan fable jenaka), dan puisi
berbahasa samawa disebut lawas yang dalam perkembangannya telah menjadi
inspirasi masyarakat dalam berkesenian, dan menggunakan lawas sebagai
medianya. Muhammad (2007) dalam Lawas) dan Muatan Keagamaannya dan
Rayes (2000) Seni dan Sastra menjadi Rohani Kita, menjelaskan bahwa lawas
merupakan puisi tradisional yang diwariskan secara turun temurun dengan cara
dilantunkan (temung). Hal ini dilakukan sebagai bentuk pengekspresian isi hati
dalam bentuk cinta, sedih, kritik, nasehat, motivasi, nilai ajaran Islam dan
sebagainya. Ada berbagai jenis tradisi lisan; (1) tradisi lisan lisan anak-anak (tau
ode), yang mengedepankan dunia anak-anak yang penuh kegembiraan, (2) tradisi
lisan muda-mudi (taruna-dadara), yang intinya berkisar sekitar perkenalan,
percintaan, berkasih-kasihan, perpisahan beriba hati, (3) tradisi lisan orang tua
(tau loka) berintikan pendidikan Islam (nasihat agama), bersifat didaktis yang
berintikan ajaran agama.
Lawas-lawas itu lahir dengan berbagai macam cara. Ada yang dilagukan
sendiri-sendiri, ada pula secara berpasangan misalnya:
Di iringi dengan rebana kecil (rebana ode) dinamakan sakeco, bila dengan
iringan rebana besar (rebana rea) dinamakan malangko. Diiringi dengan
seruling (sarune) dinamakan gandang, jika ditambah dengan koor (gero)
disebut saketa. Secara beramai-ramai pria dan wanita dengan berbalas lawas
(saling siyir) disaat musim panen padi (mengetam) agar panasnya matahari tak
terasa di sebut balawas (Manca,1984:40). Apabila melangsungkan upacara
19
perkawinan atau sunat rasul beberapa wanita menembangkan lawas sambil
membunyikan kosok kancing (sejenis maracas) dinamakan badede. Seorang
pria mengancungkan kedua tangannya di tengah sawah sambil menembangkan
lawas (seperti seorang penari) dengan suara merdu sehingga ia menjadi pusat
perhatian orang banyak dalam tradisi karapan kerbau (barapan kebo)
dinamakan ngumang. Dan ada juga tanya jawab dengan lawas, dimana
seseorang mengajukan soal lawas (menyebut sampiran dari sebuah lawas) dan
yang mengetahui segera menjawab soal tadi. Jelasnya seorang mengemukakan
sampiran lawas dan seorang lagi menjawab dengan isi lawas dinamakan
basual. (Gani, 1997: 27-30).
Dalam Buku Manca (1984) menjelaskan secara detail tentang cara
melagukan lawas tanpa iringan bersyarat pada waktu dan jenis orang yang
melagukan. Ada ulan sawai (perempuan) dan ulan salaki (laki-laki). Bila
dilakukan pada waktu pagi disebut dengan ulan siyup, pada siang hari disebut
ulan tangari, dan pada waktu malam disebut ulan petang. Membawa ulan-lan
tersebut harus sesuai dengan waktunya dan akan menjadi tertawaan orang bila
membawa ulan itu tidak sesuai dengan waktu dan jenis orang yang membawanya.
Demikian pula dapat pula membedakan dimana kita berada setelah kita
mendengarkannya. Secara beramai ramai diwaktu mengetam padi wanita dan pria
saling siyir (sambut menyambut lawas)
begitu mengesankan masing-masing
sehingga terik matahari tak terasa. Diwaktu memasang atap rumah pria sesama
pria menembangkan lawas (balawas), sedang wanita menanak nasi serta memasak
lauk-pauknya untuk suguhan bagi orang memasang atap rumah (selip santek).
Lain pula alunan gadis-gadis yang sedang beramai-ramai menumbuk padi (nujaq)
pada waktu malam hari. Dengan alunan suaranya yang merdu menyebabkan
mereka yang mendengarkannya terharu, tak lama kemudian tempat itu menjadi
ramai oleh pemuda-pemuda yang ingin melihat dan mendengarkan secara dekat
gadis-gadis yang secara santai dengan lawas (puisi lisan) itu. Di tengah-tengah
20
hutan,
para gembala sambil berkuda atau berjalan kaki mengiringi ternak
gembalanya, ataukah
kebetulan sedang melepas lelah dibawah pohon
terdengarlah suara pemuda yang belawas meramaikan dirinya yang sedang
mengembalakan hewan ternaknya. Demikian pula di tengah malam, berjejer-jejer
di tengah sawah beratapkan jerami terdengarlah suara melengking memecah
malam yang sepi untuk menahan mata dari ngantuk. Terkadang terdengar pula
saling bergantian dengan bunyi serunai yang dibuat dari batang padi.
Selain kegemaran tersebut di atas ada juga yang dinamakan badiya yaitu
menembangkan legenda rakyat yang bernama Lalu Diya dan Lala Jinis diiringi
dengan genang air. 7 Diya adalah salah satu tradisi lisan Sumbawa yang daya
rangsangnya sangat mengesankan seperti tergambar di kalangan masyarakat
Sumbawa sebagai berikut:
Pengadilan adat di Sumbawa pernah menjatuhi hukuman mati kepada 4 orang
yang terlibat dalam peristiwa pembunuhan. Pidana kerajaan pada masa itu,
berlaku hukum syariat Islam sepenuhnya. Barang siapa yang membunuh,
maka pembunuhnya dibunuh pula. Algojo kerajaan (Penggawa Teyar) sudah
bersiap-siap untuk menanti perintah pengadilan. Tetapi tentu saja perintah itu
tidak dapat dilaksanakan tanpa persetujuan dari Sultan Sumbawa. Rupanya
Sultan Sumbawa juga memikirkan, kapan tiba waktunya yang tepat untuk
suatu eksekusi. Sultan berfikir bahwa tidak terlalu mudah untuk suatu
kerajaan yang kuat seperti Sumbawa membinasakan warganya. Pada suatu
hari keempat orang yang tersangkut pidana pembunuhan itu disuruh
membersihkan halaman Istana, Begitulah tugas mereka bertahun-tahun.
Mereka ternyata mengubah kelakuannya, tingkah sebagai pembunuh kian hari
kian berkurang. Kebetulan mereka rupa-rupanya bukan penjahat sungguhan,
mereka membunuh karena suatu pembalasan dendam semata. Karena
7
Adapun yang dinamakan genang air yaitu gendang yang dibuat dari seruas bambu yang
diberi lubang pada kedua ujungnya. Di atasnya kira-kira 1 ½ jari diratakan sedikit, lalu di
tengahnya diberi lubang 4 persegi. Sepanjang tempat yang diratakan itu dicukilkan dengan pisau
berupa 4 buah snaar, masing-masing 2 pada sebelah menyebelah. Dua snaar sebelah dalam
dihubungkan dengan lidah persegi empat yang dibuat dari hati bambu. Sewaktu menembangkan
itu, sebelah tangan memukul pada ujung bambu lalu mengeluarkan suara gendang, sedangkan jari
jempol tangan yang disebelahnya mementilkan snaar berganti-ganti dengan beberapa kali pada
yang engkel lalu berpindah ke snaar yang berklep (diberi berlidah) yang mengeluarkan suara bass.
21
kelakuannya
yang baik, oleh kepercayaan Sultan (Nyaka) keempat
pembunuh itu dibolehkan tidur di bawah kolong istana. Pada suatu malam
mereka melakukan badiya dengan suara yang sangat merdu. Nyaka-nyaka
dan sarian-sarian yang menjaga istana membiarkan saja sambil mendengar
diya itu. Tiba-tiba dalam keadaan santai Sultan yang sedang duduk di tiang
kuntung yaitu satu dari sekian banyak tiang Istana asyik juga mendengarkan
diya keempat calon narapidana mati itu. Lama nian Sultan tertegun setelah
mendengarkan alunan lagu diya itu, sehingga beliau lambat sekali masuk ke
tempat peristirahatan. Permasalahan yang mencekam pikiran beliau adalah
apakah melaksanakan eksekusi hukuman mati ataukah menjaga lagu diya
yang ekspresif-melancholis itu dapat dikembangkan dalam seluruh kawasan
kerajaan beliau untuk dijadikan santapan rohani kerajaan ataukah membunuh
nyawa keempat orang itu.
Akhirnya mejelis kerajaan mengambil keputusan terhadap keempat orang
tersangkut pembunuhan itu dan karena mereka merupakan orang yang memiliki
keahlian, akhirnya kerajaan menghapus hukuman mati dan kepada mereka. Sultan
memberikan tugas untuk menembangkan diya di seluruh kerajaan Sumbawa.
Tradisi lisan sakeco dijelaskan dalam BUK Samawa bahwa seni ini sesuai
dengan latar belakang sejarahnya sudah tidak lagi merupakan pertunjukan yang
menjadi milik kelompok tertentu, tetapi sudah menjadi milik kerajaan, sehingga
sebagai seni persembahan. Jikalau ada pertunjukan yang diadakan oleh Sultan
maka seni tradisi lisan sakeco dan seni lain sering ditanggap untuk menghibur
masyarakat dan lingkungan kerajaan Sumbawa yang sudah memeluk Islam,
bahkan sakeco menjadi pertunjukan yang mempunyai peran cukup penting dalam
kehidupan kaum bangsawan kerajaan. Tetapi menurut Hamim (2011) dalam buku
Lawas Samawa Dulu dan Kini tidak ada dokumen di Sumbawa yang dapat
memberikan gambaran tentang seni sakeco sehingga sulit menelusuri awal
munculnya. Kalau ada yang mengatakan bahwa istilah Sakeco itu berasal dari
nama dua orang ahli pelantun lawas yang bernama Zakaria dengan panggilannya
22
(pendondok) Sake dan Syamsuddin dengan panggilannya Co sehingga menjadi
Sakeco perlu ditelusuri secara mendalam atau penelitian lebih lanjut dengan
paradigma tertentu.
Diperkirakan menurut Amin (2012) dalam buku Apresiasi Tradisi Lisan
Sumbawa; Lawas, Ama, Panan dan Tutir dimulai oleh pembantu-pembantu
Sultan Sumbawa yang pulang berguru dan belajar agama Islam di Aceh,
Semenanjung Melayu, dan Banjar. Mereka mengajak datang ke Sumbawa para
ulama dan pujangga penyebar agama Islam termasuk dari kota Lawe (Padang
Lawas) Sumatra Utara. Kemudian para pujangga itu membuat syair lawas dalam
masyarakat Sumbawa.
Kemunculan lawas di masa kerajaan Sumbawa, oleh seorang ulama dan
budayawan Sumbawa yaitu H.Muhammad Amin Dea Kadi telah menciptakan
lawas lawas akherat (pamuji) yang di tulis dengan huruf Arab Melayu berbahasa
Sumbawa (rabasa Samawa) sampai 190 bait saling berkait secara teratur (bariri)
tiada putus berangkai menjadi satu. Lawas-lawas pada masa itu dipakai sebagai
media pembelajaran dalam memahami agama Islam.
Hal penting lain yang terdapat di dalam tulisan ini adalah disebutkan
mengenai pertunjukan di Sumbawa memberikan informasi bahwa sakeco pada
waktu itu telah berkembang di dalam Pondopo kesultanan maupun di luar
Pondopo kesultanan dan menyebar secara luas di masyarakat, baik di kota
maupun di desa. Dalam menembangkan sakeco, pemain sakeco (tau sakeco)
berkeliling ke desa tempat orang menyelenggarakan hajatan. Informasi mengenai
tradisi lisan sakeco inilah yang mendorong Suyasa (2001) melakukan penelitian
23
dan fokuskan pada bentuk seni balawas dengan mennggunakan paradigma Lord
(1976) yang meliputi formula dan tema. Dalam proses penciptaan karya tradisi
lisan pencipta belajar mengingatkan kelompok kata atau ungkapan-ungkapan dan
pola dari pencipta yang lain. Kemudian menggunakan formula itu sesuai dengan
keinginannya secara kreatif, dengan analogi. Dalam penyusunan baris dengan
formula terjadi proses pergantian, kombinasi, pembentukan model, dan
penambahan kata atau ungkapan baru pada pola formula sesuai dengan kebutuhan.
Pencipta dapat membuat baris-baris terus menerus sesuai dengan keinginannya
dan kreativitasnya.
F. Kerangka Teori
Seni tradisi lisan sakeco di Sumbawa adalah salah satu khasanah
kebudayaan yang ada di Indonesia. Untuk memperkuat argumentasi itu Herkovits
(1956:17) mengatakan bahwa kebudayaan adalah buatan manusia dan merupakan
bagian dari lingkungannya, yaitu lingkungan alam dan lingkungan sosialnya, dan
kebudayaan itu dapat dipelajari. Bahkan Janet Wolff (1993) dalam The Social
Production of Art mengungkapkan bahwa seni tidak bisa lepas dari masyarakat
pendukungnya yang merupakan produk sosial. Pendapat Wolff sepadan dengan
pandangan Arnold Hauser (1982) dalam The Sociology of Art dengan bahasan
khusus Art as a Product of Society dan Society As The Product of Art
mengungkapkan bahwa seni sebagai produk masyarakat tidak lepas dari adanya
berbagai faktor sosial budaya, yaitu faktor alamiah dan faktor generasi, yang
24
semuanya memiliki andil bagi perkembangan seni (Wolff, 1993:26, Hauser,
1982:94, Caturwati, 2011:38).
Dalam kaitanya dengan penelitian ini, penulis menggunakan kerangka
teoritis8 ciri-ciri tradisi lisan, formula dan paradigma fungsional-struktur dalam
sebuah pertunjukan:
1. Ciri-Ciri Tradisi Lisan
Kebudayaan menurut Clark Wissler (1923) mempunyai unsur-unsur yang
disebut dengan cultur universals seperti sistem mata pencaharian hidup
(ekonomi), sistem peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi), sistem
kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan dan sistem religi. Tradisi
lisan (Folklore lisan) juga mempunyai unsur-unsur semacam itu yang disebut
dengan genre, atau dapat diterjemah menjadi bentuk (form). Menurut Brunvand
(1968) dalam Danandjaja (1991:21) dapat klasifikasikan menjadi tiga bentuk: (1)
folklore lisan (verbal folklore), (2) folklore sebagian lisan (partly verbal folklore),
dan folklore bukan lisan (non verbal folklore).
Dalam kaitannya dengan penelitian ini tentang tradisi lisan maka perlu
didefinisikan. Kata tradisi lisan adalah terjemahan dari istilah dalam bahasa
8
Sebelum “paradigma” menjadi konsep yang populer, para ilmuwan sosial-budaya telah
menggunakan beberapa konsep lain dengan makna yang kurang lebih sama, yakni: kerangka
teoritis (theoretical framework), kerangka konseptual (conceptual framework), kerangka
pemikiran (frame of thinking), orientasi teoritis (theoretical orientation), sudut pandang
(perspective), atau pendekatan (approach). Kini istilah paradigm sudah mulai banyak digunakan
oleh ilmuwan social-budaya. Meskipun demikian, istilah-istilah lama tersebut juga tetap akan
digunakan, dengan makna yang kurang-lebih sama dengan paradigma (paradigm) (Ahimsa-Putra,
2011:1)
25
Inggris “oral tradition” yang menurut Finnengan (1989:5) sesutu yang bersifat
lisan dan lisan adalah bentuk pewarisan yang khas.
“Oral” also implies something expressed in Word (as opposed to sign
language, for example, or material cultural); in this sense, stories, songs, or
proverbs are distinguished from other cultural behavior by being verbalized”
(Levinson, 1996:888).
Adapun menurut Ahimsa-Putra (2010:2) oral tradition adalah:
“Delivery esp. Oral delivery of information or instruction, transmission of
statements, beliefs, rules, customs or the like, esp. By Word of mouth, or by
practice without writing. A statement, belief or practice transmitted
(esp.orally) from generation to generation“.
Tradisi lisan adalah kesaksian verbal yang ditransmisikan dari satu
generasi ke generasi lainnya atau generasi masa depannya (Vansina, 1973:xiii,
Kuper, 2000:719). Dalam pandangan Finnegan (1977:16-17) oral tradition refers
to cultural processes and products that, though handed down over time, are not
written. Dari beberapa pandangan itu dapat dipahami bahwa tradisi lisan amat luas
cakupannya. Tradisi lisan tidak terbatas pada cerita rakyat, mite, dan legenda saja,
melainkan berupa sistem kognasi kekerabatan lengkap, hukum adat, praktik
hukum, dan pengobatan tradisional. Bahkan tradisi lisan adalah sebuah wadah
budaya lisan yang mampu menampung segala aspek warisan kolektif
(Endraswara, 2005:3).
Berangkat dari definisi itu, maka tradisi lisan sakeco dapat dimasukkan
kedalam bentuk folklore lisan (verbal folklore) yang menurut Brunvand (1968)
bentuk-bentuknya (genre) meliputi; (a) bahasa rakyat (folk speech) seperti logat,
julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan; (b) ungkapan tradisional,
seperti pribahasa, pepatah, dan pemeo; (c) pertanyaan tradisional, seperti teka teki;
26
(d) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam dan syair; (e) cerita prosa rakyat, seperti
mite, legenda, dan dongeng; dan (f) nyayian rakyat (Danandjaja,1991:21-22).
Puisi lisan rakyat (genre folklor lisan) seperti tradisi lisan sakeco dalam
bentuk lawas-lawasnya tidak berbentuk bebas (free phrase) melainkan berbentuk
terikat (fix phrase). Puisi rakyat adalah kesusastraan rakyat yang sudah tertentu
bentuknya, biasanya terdiri dari beberapa deret kalimat, ada yang berdasarkan
panjang pendek suku kata, lemah tekanan suara, atau hanya berdasarkan irama.
Menurut Lord (1981:99-102) dalam The Singer of Tales ciri-ciri puisi lisan
sebagai berikut: (1) pelantunan bersifat spontan karena dilantunkan langsung di
tempat pertunjukan tanpa catatan, (2) pelantun hanya menyiapkan plot dan tema
dari rumah, (3) lantunan di dominasi oleh repetisi dan paralelisme, (4) lantunan di
perkaya dengan stock epithet, yaitu frasa siap pakai yang telah disediakan adat,
(5) lantunan mengandung formula, yaitu kata atau frasa yang digunakan untuk
mengisi tempat kosong pada bait-bait selanjutnya yang mempunyai kesejajaran
semantik tertentu, (6) ditemukan kesatuan singer-composer-performer dalam
pertunjukan, (7) tidak ada istilah original dan varian untuk lantunan karena setiap
lantunan adalah asli (selalu diproduksi kembali).
Dalam masyarakat Sumbawa, puisi lisan rakyat yang disebut dengan lawas
masih berperan, dan mempunyai ciri pengenal utama yang dapat dirumuskan.
Menurut Dundes (1972), Dorson, Abrams (1985), Foley (1986), dan Danandjaya
(2002), Folklor lisan adalah memiliki ciri-ciri dimana setiap kegiatan budaya
masyarakat verbal yang diciptakan masyarakat lama, anonym (unknown
27
authorship), disampaikan dari mulut ke mulut, dan diturunkan dari satu generasi
ke generasi berikutnya.
Menurut Finnegan (1974:58) Tradisi lisan bercirikan: (a) verbal, berupa
kata-kata; (b) tanpa tulisan; (c) milik kolektif rakyat; (d) mengandalkan
performance; e) memiliki makna fundamental, ditransmisikan dari generasi ke
generasi. Adapun menurut Utley (1965;8) folklor itu bercirikan lisan (oral), ada
persebaran (transmission), tradisi (tradition), pelestarian (survival), dan kolektif
(comunal).
Adapun ciri khusus dari tradisi lisan adalah :
(1) Penyebarannya (transmisi) melalui mulut ke mulut, maksudnya ekspresi
budaya yang disebarkan secara lisan; (2) lahir didalam masyarakat yang masih
bercorak desa, masyarakat di luar kota, atau masyarakat yang belum mengenal
huruf; (3)menggambarkan budaya suatu masyarakat, sebab tradisi lisan itu
merupakan warisan budaya yang menggambarkan masa lampau, tetapi
menyebut pula hal-hal baru (sesuai dengan perubahan sosial). Oleh karena itu,
tradisi lisan disebut juga sebagai fosil hidup; (4) anonim, tidak diketahui
pengarangnya karena itu menjadi milik masyarakat; (5) bercorak puitis, teratur,
dan berulang-ulang. Tujuannya untuk menguat ingatan, dan untuk menjaga
keaslian sastra lisan supaya tidak cepat berubah; (6) tidak mementingkan fakta,
dan kebenaran. Tradisi lisan lebih menekankan pada aspek khayalan/fantasi
yang tidak diterima oleh masyarakat modern, tetapi tradisi lisan itu mempunyai
fungsi penting didalam masyarakatnya; (7) terdiri dari berbagai versi; (8) segi
bahasa, menggunakan gaya bahasa lisan (bahasa sehari-hari), yang
mengandung dialek, dan kadang-kadang diucapkan tidak lengkap
(Hutomo,1991:3-4).
Dananjaya (1991: 3-5) menjelaskan secara lebih luas dan panjang lebar
mengenai ciri-ciri folklor lisan:
(a) penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni
disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu contoh
yang disertai gerak isyarat, dan alat pembantu pengingat) dari satu generasi
kegenarasi berikutnya; (b) Folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam
bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar. Disebarkan diantara kolektif
tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi); (c)
Folklor ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal
ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan), biasanya
28
bukan melalui cetakan atau rekaman, sehingga oleh proses lupa diri manusia
atau proses interpolasi (interpolation),9 folklor dengan mudah dapat
mengalami perubahan. Walaupun demikian perbedaannya hanya terletak pada
bagian luarnya saja, sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap bertahan; (d)
Folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang
lagi; (e) Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola; (f) Folklor
mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif; (g)
Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai
dengan logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan
sebagian lisan; (h) Folklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif
tertentu. Hal ini sudah tentu diakibatkan karena penciptanya yang pertama
sudah tidak diketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan
merasa memilikinya; (i) Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu,
sehingga seringkali kelihatannya kasar, terlalu sopan. Hal ini dapat dimengerti
apabila mengingat bahwa folklor merupakan proyeksi emosi manusia paling
jujur manipestasinya.
Kalau dipersempit kedalam bentuk puisi lisan tradisional, menurut Piah
puisi rakyat memiliki ciri-ciri umum sebagai berikut:
(1) Diciptakan dan disebarkan secara lisan dan bersifat kolektif dan
fungsional, yaitu tanpa dicantumkan pengarangnya dan digunakan dalam
kehidupan masyarakat; (2) bentuknya terikat oleh konvensi-konvensi tertentu
yang seterusnya memberikan bentuk dan struktur dalam puisinya; (3) Sebagai
puisi yang bersifat fungsional yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari,
sebuah genre tertentu digunakan untuk satu kegiatan, misalnya pantun untuk
kegiatan seni yang berunsur hiburan dan ritual; (4) puisi tradisional
berhubungan erat dengan magis dalam maksud dan pengertian yang luas; (5)
Sebagai bahan yang berunsur magis dan ritual, puisi dianggap suci (sacred);
(6) Puisi Melayu tradisional juga dapat dikatakan mengandung unsur-unsur
musik. Hampir semua pengucapannya disampaikan dalam lagu, irama, atau
intonasi yang tipikal; (7) Bahasanya padat, mengandung unsur-unsur
perlambang, imaji, kias, dan perbandingan-perbandingan lain yang tepat
dengan maksud dan fungsinya (Piah, 1989:5-7, Abror, 2009:80).
Sebagai salah satu genre puisi lisan tradisional, menembang lawas dengan
menggunakan bahasa Sumbawa merupakan salah satu alat ekspresi kelisanan, dan
salah satu aspek budaya sehingga menjadi faktor utama yang tidak dapat
9
Yang dimaksud kata interpolasi menurut Dananjaya (1991;4) adalah penambahan atau
pengisian unsur-unsur baru pada bahan folklor. Umpamanya pada waktu memperoleh cerita rakyat
yang tidak lengkap, tidak jelas, atau terasa tidak sesuai dengan nilai budaya suku bangsa tertentu.
maka biasanya ada kecenderungan bahwa secara tidak sadar terjadi proses tambahan atau
penggantian dengan unsur-unsur cerita yang dikenal.
29
dipisahkan dalam seni ini. Dalam Seni tradisi lisan sakeco menggunakan bentuk
verbal bahasa Sumbawa dan non verbal alat musik rebana dalam hal ini berfungsi
sebagai pengikat perasaan dan solidaritas kelompok.
Teks lawas yang disampaikan menggunakan irama (temung) sebagai
penguat ekspresi dalam pertunjukkan seni tradisi lisan sakeco. Oleh karena itu
antara lawas, irama (temung) dan rebana merupakan satu kesatuan yang
dimainkan oleh tau sakeco dalam satu pertunjukkan.
Lawas dibangun
berdasarkan formula dan struktur bahasa Sumbawa sehingga bahasa dalam lawas
memiliki kekhasan tersendiri yang tidak terikat pada irama (temung),
tetapi
temung terikat oleh sakeco itu sendiri dalam artian lawas bisa dilagukan dengan
menggunakan
berbagai
jenis
irama
(temung)
sesuai
dengan
bentuk
pertunjukannya. Sementara rebana merupakan suatu bentuk penyelaras yang
digunakan tau sakeco (tukang lawas) dalam melantunkan lawas, dan pemberi
isyarat bagi pemain pada saat ia melantunkan lawasnya. Misalnya pukulan rebana
dijadikan patokan untuk memulai menyampaikan lawas, pindah temung (pilas
temung) dan mengakhiri satu satu episode cerita. Dengan membaca teks di atas
maka dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu; (1) bagian pembuka yang
dimulai dengan pujian kepada Tuhan dan pemberian salam dan maaf kepada
penonton, (2) bagian isi penyampaian lawas atau tuter (cerita) yang diambil dari
fakta-fakta sosial, sejarah, dan cerita rakyat, dan (3) penutup diakhiri dengan
humor (racik) yang di dalamnya bisa berisi teka teki (panan), pantun, dan lainlainnya.
30
2. Formula
Kata formula mempunyai arti a set form of words in which something is
defined, stated, or declared, or which is prescribed by authority or custom to be
used on some ceremonial occasion (The Oxford English Dictionary (1933:466).
Dalam Webster’s Third New International Dictionary kata formula diartikan
sebagai a set form of words for use in a ceremony or ritual, atau a formal
statement of religious doctrine or a written confession of faith (Babcock Gove,
1968:894).
Dari beberapa makna diatas maka formula bisa berarti sesuatu yang tidak
dapat dilepaskan dari bentuk teks (formula) yang dapat diartikan sebagai
susunan/bentuk tetap (Depdikbud, 1989:244) atau penggunaan suatu kaidah, dalil
atau prinsip yang diekspresikan dalam bentuk tertentu. Bila dikaitkan dengan
tradisi lisan Dananjaya (1991:3) menjelaskan bahwa folklor lisan mempunyai
bentuk berumus atau berpola, atau memiliki unsur formula yang kuat yang dapat
dibuat sesuai dengan keperluan dalam tradisi lisan.
Aspek kelisanan sakeco tentu mempunyai bentuk berumus atau berpola, atau
memiliki unsur formula yang dapat dibuat sesuai dengan keperluan dalam tradisi
lisan itu sendiri. Dalam hal ini paradigma yang digunakan untuk menganalisis
formula tradisi lisan sakeco adalah teorinya Lord (1976) dalam The Singer of
Tales berdasarkan hasil penelitiannya terhadap epos-epos Yugoslavia (Epik
Homer) oleh para pencerita yang dilantunkan dengan lisan bersandar pada
formula. Para pencerita dalam melantunkan ceritanya dengan menciptakan
kembali secara spontan dan memakai unsur bahasa (kata, kata majemuk, frasa)
31
yang tersedia baginya (stock-in-trade) yang siap pakai sebagai bentuk variasi yang
sesuai dengan tuntutan tata bahasa, matra dan irama puisi yang digunakan.
Tradisi lisan memiliki keterkaitan dengan pelantunan dalam proses
penciptaan karya, pencipta hanya mengingat kelompok kata dan formula sesuai
dengan keinginannya secara kreatif. Menurut Lord (1981) Epik Homer memiliki
ciri khas yaitu panjang (puluhan ribu baris), naratif, oral, bertema kepahlawanan,
tradisional, menggunakan repetisi dan paralelisme, berpola sama, dan
menggunakan stereotyped phrase. Karakteristik repetisi, paralelisme, dan
stereotyped phrase muncul secara dominan pada baris-baris lantunan sehingga
karya itu disebut formulaic epic (Yektiningtyas (2008:14).
Menurut Lord (1976:30) formula adalah ”....a group of words which is
regularly employed under the same metrical conditions to express a given
essential idea”. Formula juga bisa disebut dengan ”...the study of the repeated
phrases by textual analysis, by counting repetitions, classifying similar phrases
and thus extracting the technique of composition by formula .....”. Formula itu
muncul berkali-kali dan merupakan bentuk matra yang tetap berupa frasa, klausa,
dan larik-larik yang secara teratur digunakan oleh seorang pencerita. Untuk
menghasilkan pengulangan itu, ada dua cara yang ditempuh oleh pencerita, yakni:
(1) mengingat pengulangan itu dan (2) menciptakan melalui analogi dengan
pengulangan kata, frasa, klausa dan larik yang telah ada. Sedangkan menurut
Sweeney (1980:68) bahwa formula adalah larik atau setengah larik yang
digunakan lebih dari sekali dalam bentuk yang sama, sedangkan ekspresi
formulaik adalah ungkapan yang dibentuk menurut pola irama yang ada serta
32
mengandung sekurang-kurangnya satu kata yang sama, baik dalam pengulangan
maupun sinonim.
Sedangkan
ungkapan
formulaik
menurut
Lord
(1976:4)
adalah
”...expression I denote a line or half line constructed on the pattern of the
fornulas. By theme I refer to the repeated incidents and descriptive passages in
the songs”. Dijelaskan bahwa formulaik sebagai larik atau setengah larik yang
disusun sesuai dengan pola formula. Bentuk nyata dari formula adalah berupa
ungkapan formulaik, baris baris yang diciptakan secara berurutan menggunakan
pola formula sehingga menimbulkan aspek-aspek kepuitisan yang menjadi ciri
dari tradisi lisan. Pencerita dalam menyusun cerita memakai formulaik sehingga
ada proses pergantian, kombinasi, pembentukan model, dan penambahan katakata atau ungkapan baru pada pola formula, sesuai dengan kebutuhan pencerita.
Dalam formula menurut Pudentia (2000:149) ada unsur kreatifitas penutur atau
unsur kebaruan yang dibuat oleh penutur dalam mengulang apa yang diingatnya
seperti penutur memberlakukan teks sebagai materi yang dihafalkanya sebelum
berpentas. Pada tahap selanjutnya ia mampu melepaskan diri dari teks tersebut
dan mulai mengingat dialog dengan menandai adegan-adegan, khususnya adegan
cerita yang dimainkannya. Dengan demikian, pencerita dapat membangun larik
terus menerus, sesuai dengan keinginan dan kreatifitasnya. Oleh karena itu
ekspresi formulaik dapat juga membantu terbentuknya wacana ritmis yang
merupakan salah satu alat bantu untuk mengingat kembali dengan mudah, cepat,
dan tepat cerita yang disampaikan.
33
Cerita rakyat disusun dalam matra yang sangat ketat tuntutannya, yang
mutlak dipatuhi oleh sang pencerita. Dalam proses penciptaan karya tradisi lisan
pencerita belajar mengingat kelompok kata atau ungkapan-ungkapan yang lain,
kemudian ia akan menggunakan formula itu sesuai dengan keinginan secara
kreatif (Lord, 1976:37). Bahkan seorang pencerita dapat mempelajari dan
mengingatkan dari pendahulunya dan dalam pengalaman waktu ia pun akan
menghasilkan formulanya sendiri. Dalam artian ini seperangkat frasa dihasilkan
berdasarkan pengalaman, frasa ini dapat menjadi formula setelah secara teratur
dimunculkan dan beruralng kali digunakan. Semakin banyak pengalaman
seseorang pencerita, baik pengalaman menyaksikan pertunjukan maupun
pengalaman untuk mementaskan dendiri, semakin baik baginya untuk merekam
formula dalam ingatannya dan menghasilkan formula sendiri (Pudentia
(2000:149).
Dengan formula sebagai dasar, pencerita dapat menyusun baris-baris dengan
rapi dan cepat pada posisi tertentu. Dalam penyusunan baris dengan pola formula
ini terjadi proses penggantian, kombinasi, pembentukan model, dan penambahan
kata atau ungkapan baru pada pola formula sesuai dengan kebutuhan penceritaan.
Pencerita menurut Finnengan (1979:59) dapat membuat baris-baris terus menerus,
sesuai dengan keinginan dan kreativitasnya. Kaidah-kaidah ini tidak datang begitu
saja kepada pencerita, ia menempu proses tertentu sampai dapat membawakan
cerita dengan baik. Menurut Lord (1976) ada tiga tahapan proses penjadian
seorang penyair lisan; (1) tahap mendengar dan menyerap berbagai unsur
penyajian cerita, kelompok frase yang berulang yang disebut formula. (2) tahap
34
mencoba mengaplikasikan hasil serapan tadi. Ia mulai memantapkan elemen
bentuk yang paling utama, rima dan melodi, dan (3) tahap mencoba mengisi katakata ke dalam pola dasar larik (rhythmic pattern) yang dilagukan dalam melodi
yang bervariasi (Abdullah, 1988:964).
Pencerita dalam menyampaikan puisinya tidak penuh-penuh terikat dengan
formula. Teknik formula di kembangkan untuk melayaninya sebagai seniman. Ciri
khas tradisi lisan tidak ada wujud formula yang baku mantap, keberadaan tradisi
lisan penuh dengan variasi. Karena itulah tidak tertutup kemungkinan akan
muncul versi-versi di dalam tradisi lisan. Pencerita dalam proses penciptaan selain
mengingat pola formula ia juga memikirkan tema yang disusun dari adeganadegan yang telah ada dalam pikiran pencerita dan digunakan untuk menyusun
cerita itu. Menurut Lord (1976:4) tema merupakan peristiwa atau adegan yang
diulang dan bagian-bagian yang deskriptif dalam nyayian. Dalam fikiran pencerita
tema akan mengalami perkembangan, karena sifat lentur formula yang dipakai
dan juga disebabkan oleh pencerita tidak memakai formula yang sama pada setiap
penceritaan. Tema bukanlah suatu yang statis, melainkan kreasi yang hidup dan
berubah serta dapat disesuaikan dengan situasi.
3. Fungsi Pertunjukan Tradisi Lisan
Kata fungsi berasal dari kata functie dalam bahasa Belanda, dan kata
function dalam bahasa Inggris yang berarti: (1) one of a group of related
action contributing to a larger action, (2) an organization unit performing a
group of related acts and processes (Babcock Gove, 1968:920). A.R. RadcliffeBrown (1952:181) mendefinisikan kata fungsi adalah:
35
“….function is the contribution which a partial activity makes to the total
activity of which it is a part. The function of a particular social usage is the
contribution it makes to the total social life as the functioning of the total
social system….”
Dalam antropologi, fungsi mencakup pengertian yang luas sehingga
dalam ilmu tersebut ada suatu aliran yang mengkhususkan diri pada masalah
fungsi, melalui tokoh Malinowski (1939:938) berasumsi bahwa semua unsur
kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat dimana unsur itu terdapat. Dengan
kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan
bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan
dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat,
memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan.
Malinowski mengemukakan bahwa fungsi dari satu unsur kebudayaan
adalah kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan dasar atau beberapa
kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan sekunder dari pada
warga dari suatu masyarakat (Koentjaraningrat, 1980:167). Dalam
tulisannya
yang berjudul A Scientific Theory of Culture and Other Essays mejelaskan:
The system of conditions in the human organism, in the cultural setting,
and in the relation of both to the natural setting and environment, which
are sufficient for the survival of group and organism….Habits and their
motivation, the learned responses and the foundations of organisation,
must be so arranged as to allow the basic needs to be satisfied
(Malinowski, 1944:40, Baal, 1970:51).
Sedangkan konsep fungsionalisme A.R. Radcliffe-Brown dalam kajian
sosial-budaya menggunakan organisma sebagai modelnya. Masyarakat itu seperti
organisma atau kebudayaan itu seperti organisma yang diumpamakan seperti
makhluk hidup terbangun dari berbagai macam unsur yang saling berhubungan
36
secara fungsional satu dengan yang lain. Hubungan fungsional antar gejala berarti
adanya saling ketergantungan antar gejala tersebut.
Konsep fungsi yang diartikan adalah rangkaian hubungan antara unit-unit
melalui proses kehidupan yang terjadi. Menurut Radcliffe-Brown (1952: 181):
“…The function of a particular social usage is the contribution it makes to
the total social syatem. Such a view implies that a social system (the total
social structure of a society together with the totality of social usages in
which that structure appears and on which it depends for its continued
existence) has a certain kind of unity , which we may speak of as a functional
unity. We may define it as a condition in which all part of the social system
work together with a sufficient degree of harmony or internal consistency,
without producing persistent conflicts which can neither be resolved nor
regulated.
Radcliffe-Brown dalam bukunya yang berjudul The Andaman Islanders
(1922) menyarankan untuk memakai istilah fungsi sosial untuk menyatakan efek
dari suatu keyakinan, adat atau pranata, kepada integrasi sosial dalam masyarakat
“...the social function of the ceremonial customs of the Andaman Islanders is to transmit
from one generation to another the emotional dispositions on which the society (as it is
constituted ) depends for its existence (Koentjaraningrat, 1987:176).
Istilah ini pada dasarnya sama dengan pandangan Malinowski mengenai
fungsi, yaitu pengaruh dan efek suatu upacara keagamaan atau suatu dongeng
mitologi terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara berintegrasi
dari suatu sistem sosial tertentu (Koentjaraningrat, 1980:177). Timbulnya
berbagai aspek perilaku sosial terdorong untuk mempertahankan struktur sosial
masyarakat. Oleh karena itu, teori fungsionalisme Radcliffe-Brown ini disebut
teori fungsionalisme struktur.
37
Malinowski dipandang sebagai tokoh aliran fungsionalisme murni yang
lebih menekankan pada aspek individu, sedangkan Brown dikenal sebagai tokoh
fungsinalisme struktural yang lebih menekankan pada aspek sosial. Untuk itu
dalam membahas fungsi pertunjukan seni tradisi lisan sakeco dalam adat di
Sumbawa digunakan teori fungsionalisme Brown bahwa berbagai aspek perilaku
sosial bukan semata-mata berkembang untuk memuaskan kebutuhan individu,
tetapi justru timbul untuk mempertahankan struktur sosial masyarakat. Pendapat
tersebut dapat diasumsikan, bahwa setiap aktivitas yang disumbangkan oleh
individu atau unit-unit dalam masyarakat merupakan usaha untuk menjaga dan
melestarikan struktur sosial. Pertunjukan sakeco dalam adat dipandang sebagai
kegiatan kolektif yang melibatkan seluruh anggota masyarakat, masing-masing
mempunyai kepentingan menjalinkan hubungan dengan sesamanya, sehingga
kesatuan sosial dapat dipertahankan.
Demikian juga konsep Malinowski (1936:132) yang berasumsi, bahwa
semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi individu-individu apabila unsur
kebudayaan tersebut dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Kesenian sebagai
contoh dari salah satu unsur kebudayaan misalnya, terjadi karena mula-mula
manusia ingin memuaskan kebutuhan naluri akan keindahan (Koentjaraningrat,
2007:171).
Secara khusus dalam kaitan dengan tradisi lisan Bascom juga mengungkap
fungsi folklor lisan dengan memperluas pandangan Malinowski. Inti dari
penelitiannya antara lain folklor ritual memiliki fungsi untuk menenteramkan
hati (ego-reassurance) (Dorson, 1972:20-21). Secara lebih rinci Bascom
38
menjelaskan bahwa fungsi tradisi lisan adalah: (1) cermin atau proyeksi anganangan pemiliknya; (2) alat pengesah pranata dan lembaga kebudayaan, (it plays
in validating culture, in justifying its rituals and institution to those who
perform and observe them); (3) alat pendidikan, (it plays in education, as
pedagogical device); dan (4) alat penekan atau pemaksa berlakunya tata nilai
masyarakat (maintaining conformity to the accepted patterns of behavior, as
means of applying social pressure and exercising social control) (Dundes,
1965a: 279-298).
Sedangkan Dananjaya (1991:3) menjelaskan bahwa tradisi lisan
(folklore) mempunyai fungsi sebagai alat pendidikan, pelipur lara, protes sosial,
dan proyeksi keinginan terpendam. Dundes (1965:277) menjelaskan secara umum
fungsi tradisi lisan adalah sebagai: (1) mempertebal perasaan solidaritas suatu
kolektif (promoting a group ‘s feeling of solidarity); (2) membuat suatu kelompok
merasa lebih superior daripada kelompok lain (providing socially sanctional ways
for individual to act superior to other individuals); (3) sebagai wahana untuk
memperotes ketidakadilan (serving a vehicle for social protest); (4) pelarian dari
dunia nyata untuk mengubah pekerjaan yang menjemukan menjadi pekerjaan
yang menyenangkan (an enjoyable escape from reality and converting dull work
into play).
Dalam kaitan dengan seni tradisi lisan sakeco merupakan salah satu bentuk
pertunjukan rakyat, yang berarti lawas-lawas yang menjadi isi dari sajiannya tentu
mengandung fungsi-fungsi dan nilai-nilai pendidikan. Dalam mengungkapkan
seni sakeco sebagai fungsi sosial budaya tentu tidak menekankan pada penelitian
39
tekstual semata, namun secara kontektual perlu dilakukan untuk mencermati
sakeco dalam kehidupan masyarakat. Marco de Marinis (1993:12) dalam bukunya
The Semiotics of Performance menjelaskan bahwa teks dalam seni pertunjukan
berbeda dengan teks dalam linguistic. Teks dalam linguistik mempunyai satu lapis
(single layer) yaitu bahasa, maka teks seni pertunjukan mempunyai multilapis
(multi layers) yaitu semua lapis dari seni pertunjukan misalnya dicontohkan
sakeco terdiri dari orang sakeco (tau sakeco), gerak, rebana, rias, busana, tata
panggung dan lain-lain.
Analisis tekstual untuk mengungkapkan bentuk pertunjukan sakeco
menyangkut bentuk visual yang berkaitan dengan ciri-ciri seperti gerak, rebana,
rias, busana, panggung, hubungan atau jalinan antara elemen satu dengan yang
lain dan system produksi. Adapun analisis kontekstual untuk mengungkapkan
antara lain latar belakang diadakan pertunjukan sakeco, bagaimana pertunjukkan
itu berlangsung dalam masyarakat pemiliknya.
Dalam penerapannya diperlukan teori dan konsep disiplin antropologi,
folklore yang relevan untuk menganalisa pertunjukan sakeco dalam adat di
Sumbawa yang secara langsung dan tidak langsung ada kaitannya dengan
kehidupan sosial masyarakatnya, karena pertunjukan sakeco merupakan salah satu
produk budaya masyarakat tentu saja mempunyai fungsi bagi kehidupan
masyarakat. Soedarsono (2002: 122-123) mengatakan:
Setiap zaman, setiap kelompok etnis, serta setiap lingkungan masyarakat,
mempunyai berbagai bentuk seni pertunjukan yang memiliki fungsi primer dan
sekunder yang berbeda. Pembagian fungsi primer menjadi tiga berdasarkan
atas ‘siapa’ yang menjadi penikmat seni pertunjukan itu. Hal itu penting
diperhatikan, karena seni pertunjukan disebut sebagai seni pertunjukan karena
dipertunjukan bagi penikmat. Bila penikmatnya adalah keuatan-kekuatan yang
40
tak kasat mata seperti misalnya dewa atau roh nenek moyang, maka seni
pertunjukan berfungsi sebagai sarana ritual. Apabila penikmatnya adalah
pelakunya sendiri seperti tau sakeco (orang sakeco) seni pertunjukan berfungsi
sebagai sarana hiburan pribadi. Jika penikmat seni pertunjukan itu adalah
penonton yang kebanyakan harus membayar, seni pertunjukan itu berfungsi
presentasi estetis. Dengan demikian secra garis besar seni pertunjukan
memiliki tiga fungsi primer yaitu: (1) sebagai sarana ritual, (2) sebagai
ungkapan pribadi yang pada umumnya berupa hiburan pribadi, dan (3) sebagai
presentasi estetis.
Disamping fungsi primer dimana seni pertunjukan disajikan untuk
dinikmati, menurut R.M Soedarsono dalam Widyastutieningrum (2006:46) ada
juga fungsi sekunder dimana penyajian seni dimanfaatkan tidak sekedar untuk
dinikmati, tetapi juga untuk keperluan yang lain. Seni pertunjukan yang berfungsi
sekunder cukup banyak jumlahnya: sebagai legitimasi status sosial seseorang
yang menyelenggarakan, pengikat solidaritas kelompok masyarakat (integrasi
sosial), terapi sosial bagi masyarakat, sebagai media komunikasi massa, sebagai
media propaganda politik, sebagai propaganda program-program pemerintah, dan
sebagainya.
Pertunjukan sakeco dalam adat di daerah Sumbawa telah berlangsung sangat
lama, dan masih dipertahankan sampai sekarang. Kenyataan ini menunjukkan,
bahwa tradisi tersebut telah diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain
agar tetap lestari keberadaannya. Usaha ini tidak mungkin dilakukan selama
tradisi tersebut tidak berfungsi bagi masyarakat pendukungnya. Dengan demikian
dapat dikatakan, bahwa pertunjukan sakeco yang menyertai adat mempunyai
fungsi bagi kehidupan sosial masyarakat pendukungnya.
41
G. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian etnografi yang mempelajari secara
mendalam salah satu nilai-nilai budaya yang terjadi dalam masyarakat Sumbawa
yaitu tradisi lisan sakeco. Esensi dari penelitian ini adalah memahami secara
mendalam tentang ciri-ciri dan fungsi seni sakeco dalam masyarakat Sumbawa.
Agar peneliti terhindar dari bias etnosentrisme dan dapat melukiskan dalam thick
description maka perlu memperhatikan perspektif emik dan perspektif etik.
Perspektif emik adalah deskripsi kebudayaan dari sudut pandang orang yang
diteliti, sedangkan perspektif etik mendeskripsikan kebudayaan berdasarkan sudut
pandang peneliti dengan konsep-konsep antropologis (Ahimsa-Putra:1995;
Wiyata, 2002:23). Dengan demikian, melalui penelitian ini maka akan dapat
dilihat secara mendalam nilai-nilai sosial budaya masyarakat Sumbawa. Untuk
maksud kegiatan ini, peneliti telah berada di lapangan selama 12 bulan, yaitu sejak
bulan Nopember 2012 hingga Oktober 2013. Selama masa itu penulis
mengumpulkan data dengan cara menerapkan metode penelitian observasi
partisipasi (participant obeservation) secara langsung, yang dilengkapi dengan
metode wawancara mendalam.
Peneliti memfokuskan pengamatan pada kegiatan tradisi Sumbawa yang
menanggap sakeco. selama penelitian di lapangan peneliti membaginya menjadi
dua agenda yaitu: (1) dilakukan mulai pada bulan Nopember 2012. Pada bulan
ini waktu musim hujan (barat) sudah mulai masuk dan masyarakat sudah mulai
persiapan untuk kembali ke sawah sebagai petani. Maka kegiatan adat pada bulan
ini dan seterusnya dengan menanggap sakeco sudah mulai berkurang secara
42
drastis. Maka peneliti selama waktu itu kurang maksimal untuk mengobservasi
secara langsung kegiatan adat dan pementasan sakeco karena sangat jarang
pertunjukan sakeco di gelar. Yang bisa peneliti lakukan adalah wawancara secara
mendalam dan sekaligus mengobservasi pola pekerjaan sehari-hari yang dilakukan
oleh pelaku sakeco sendiri. (2) dilakukan kembali pada bulan Juni-Nopember
2013. Pada saat itu sudah mulai masuk musim kemarau (balit) dan kegiatan
masyarakat di sawah sudah sangat berkurang, dan warga masyarakat
memfokuskan diri pada agenda perkawinan anaknya (nyukat), khitanan, dan
kegiatan-kegiatan adat lainnya, yang selalu menanggap seni tradisi lisan sakeco
sebagai hiburan primadona masyarakat setempat. Dalam agenda kegiatan kedua
ini peneliti lebih fokus mengamati secara langsung tentang adat sebagai tempat
pertunjukan sakeco, gotong royong masyarakat dalam menyiapkan arena
pertunjukan dan saat pertunjukan sakeco itu sendiri di gelar.
1. Lokasi Penelitian
Meskipun objek penelitian sakeco dapat ditemukan di seluruh wilayah
kabupaten Sumbawa, karena alasan dan pertimbangan terutama masalah dana dan
waktu, maka kegiatan di lapangan hanya difokuskan pada wilayah tengah
kabupaten Sumbawa. Oleh karena itu peneliti memutuskan untuk tinggal
beberapa waktu di desa Poto Kecamatan Moyo Hilir, selama kegiatan penelitian
lapangan berlangsung. Pertimbangan memilih lokasi ini karena di canangkan
sebagai desa yang masih memegang teguh tradisi Sumbawa, dan pelaku sakeco
cukup banyak sehingga mudah diamati dan diwawancarai sewaktu-waktu.
43
Disamping hal itu ada juga faktor lokasi ini tepat berada di tengah-tengah wilayah
Kabupaten Sumbawa, yang mudah untuk dilalui yang menghubungkan mulai dari
ujung barat hingga ujung timur Sumbawa.
Pertimbangan faktor lokasi ini memiliki arti dalam hal kegiatan operasional
di lapangan. Peneliti hampir setiap minggu pergi ke desa lain untuk memburu
informasi mengenai pertunjukan sakeco dalam tradisi yang tersebar hampir di
seluruh wilayah Kabupaten Sumbawa. Untuk kepentingan ini, biasanya peneliti
harus tinggal beberapa hari di desa-desa tersebut, sehingga pelaksanaan penelitian
lapangan menjadi lebih efisien.
2. Proses Pengumpulan Data
Proses awal yang dilakukan oleh peneliti dalam pengumpulan data ini
adalah melakukan studi pustaka yang berorientasi pada data teoritis yang menjadi
acuan dalam penelitian ini. Data teoritis menurut Ahimsa-Putra (2007:8) adalah
fakta-fakta yang berhubungan dengan asumsi-asumsi, model, dan konsep-konsep
yang digunakan dalam penelitian. Data teoritis ini biasanya tidak diperoleh dari
lapangan, kecuali jika masalah penelitiannya adalah mengenai kerangka teoritis
itu sendiri. Data teoritis peneliti peroleh dari berbagai buku, jurnal, makalah,
yang berisi uraian-uraian teoritis mengenai masalah yang diteliti, atau yang berisi
tentang paradigma-paradigma yang telah digunakan oleh para ahli dalam
penelitian mengenai masalah yang sama. Oleh karena itu, data teoritis ini hanya
dapat diperoleh lewat penelitian kepustakaan.
44
Proses selanjutnya yang dilakukan oleh peneliti adalah mengumpulkan data
di lapangan yang dilakukan secara intensif selama satu tahun, sejak bulan
Nopember 2012 hingga Oktober tahun berikutnya. Itu sengaja dilakukan untuk
melihat ragam aktivitas pelaku seni (tau sakeco) dan pertunjukan sakeco selama
satu tahun. Di luar waktu satu tahun tersebut, yaitu tahun 2014-2015 peneliti juga
melakukan kunjungan 4 kali ke lapangan, guna melengkapi informasi yang masih
dipandang perlu untuk tambahan data.
Keseluruhan
proses
kegiatan
lapangan
dilakukan
sesuai
dengan
pendekatan yang menekan pada perspektif emik, menempatkan praktik sosial
sebagai fokus kajian, dengan menggunakan pengamatan terlibat (participant
observation) dan
wawancara mendalam (indepth interview) sebagai tehnik
pengumpulan data dan analisis data yang berlangsung secara simultan dalam
proses penggalian data, dan mengembangkan teori dengan mengacu pada konsep
dasar penelitian teori fungsi seni tradisi lisan. Sehubungan dengan itu, berikut ini
dijelaskan situasi kegiatan lapangan, termasuk beberapa kendala yang dihadapi.
Lokasi penelitian ini di Sumbawa, merupakan daerah asal peneliti, tetapi
sudah 23 tahun peneliti meninggalkan daerah itu dan relatif jarang berkunjung
kesana. Pada awal penelitian ini perlu belajar banyak untuk mengenal lebih dekat
dengan pelaku sakeco. Banyak di antara mereka yang benar-benar tidak peneliti
kenal, siapa namanya dan di antara mereka terdapat juga yang tidak begitu
mengenal peneliti sendiri.
Hal itu merupakan tantangan tersendiri, akhirnya peneliti memutuskan
untuk melakukan pengamatan terlibat (participant observation), yaitu melakukan
45
kegiatan observasi dengan ikut melibatkan diri dalam berbagai aktivitas setempat.
Selama kegiatan participant observation banyak memperoleh gambaran yang
lebih luas tentang kehidupan dan keadaan masyarakat, dan akan terjadi hubungan
yang akrab dengan masyarakat. Dalam pandangan Ahimsa-Putra (1998:6) dengan
pengamatan terlibat akan dapat mengetahui dengan baik individu-individu di suatu
lokasi penelitian, kehidupan pribadi mereka, pola prilaku mereka sehari-hari,
sejarah kehidupan mereka, perasaan-perasaan mereka sebagai manusia, jaringan
kekerabatan dan persahabatan yang mereka miliki, berbagai konflik dan kerjasama
yang telah mereka alami, dan berbagai informasi lainnya, yang semuanya ini akan
sangat membantu peneliti dalam memahami kehidupan dan kebudayaan
masyarakat yang ditelitinya.
Participant observation dalam penelitian ini dilakukan dengan beberapa
tahap: (1) mendeskripsikan situasi sosial budaya (broad descriptive situation)
untuk mulai mengenali, dan merasakan situasi baru di lokasi penelitian sebelum
melakukan kegiatan inti penelitian. Pengamatan sebenarnya hampir sama dengan
orientasi medan (transek) agar bisa memperoleh gambaran tentang kondisi lokasi
penelitian secara menyeluruh. Kegiatan ini diawali dengan berjalan kaki
mengelilingi desa atau wilayah disekitar tempat tinggal selama berada di
lapangan dengan memaksimalkan semua panca indera, sebab setiap hal yang ada
di sekitar wilayah penelitian adalah data. (2) Mengarah kepada fokus pada
pengamatan (focused observation) yang mengarah pada riset, yang berkaitan
dengan tradisi lisan sakeco, dimana peneliti akan turut mengalami, merasakan,
melihat tempat dan waktu cara mewariskan sakeco secara lisan pada saat latihan,
46
dan kegiatan pertunjukan sakeco dalam adat. Dengan demikian, peneliti dapat
memperoleh data-data yang menyangkut orang-orang yang terlibat didalamnya,
dan melihat secara langsung pengaruhnya yang terjadi dalam masyarakat yang
ada.
Disamping itu pula pengamatan juga dilakukan secara langsung untuk
melihat berbagai aspek kehidupan orang (tau) sakeco dan lingkungannya seperti
kondisi tempat tinggalnya, kegiatan dan tindakan tineliti dalam membangun
relasi-relasi sosial dalam aktivitas keseharian, serta berbagai peristiwa lainnya
yang memiliki relevansi dengan kajian sakeco. Peneliti dalam hal ini akan
melukiskan secara tepat seperti apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan. Sedapat
mungkin peneliti melibatkan diri dalam proses pewarisan sakeco secara lisan, hal
ini dilakukan peneliti agar dapat merasakan suasana secara mendetail.
Mengapa selama proses pengamatan peneliti terlibat secara langsung ada
beberapa alasan karena:
(1) bisa melihat secara langsung situasi tertentu; (2) kalau hanya mendengar
dari informan, informasi yang kita peroleh sudah banyak terdistorsi, dengan
melihat langsung bisa menghindari pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu;
(3) bisa memperoleh pengalaman dengan warga; (4) bisa melihat peristiwaperistiwa melalui sudut pandang emik; (5) mempermudah komparasi dalam
kognitif kita, dan (6) mempermudah saat mulai menulis etnografi (Pujiriani
dkk, 2010:39).
Hal itu peneliti lakukan agar semakin mengenal dan akrab dengan orangorang setempat, disamping untuk dapat mendengar kata-kata atau ungkapan
mereka dalam situasi yang sewajar mungkin, juga supaya dapat menyaksikan
aktivitas mereka secara lebih wajar, karena tak tampak sedang diamati. Untuk itu,
peneliti ikut terlibat dalam kegiatan mereka seperti penyiapan arena pertunjukan,
47
dan persiapan ketika mereka menggelar latihan. Membaur di tengah mereka
menonton yang cukup ramai, peneliti juga mendampingi rombongan seni sakeco
dari desa Moyo ke Kabupaten Sumbawa tempat dimana mereka ikut kontestasi.
Peneliti juga menghadiri acara/atau upacara adat atau pertemuan yang
diselenggarakan oleh ketua adat, dan biasa bergabung dengan orang-orang yang
sedang mengikuti resepsi perkawinan (tokal basai) di teras-teras rumah atau di
gardu-gardu tempat jaga malam.
Pengamatan terlibat berjalan lancar dan cepat, karena ditunjang dengan
penggunaan bahasa daerah dalam setiap percakapan dengan penduduk setempat.
Dan yang lebih penting lagi, pada diri mereka tampak ada rasa gembira
bercampur bangga karena peneliti mengunjungi aktivitas mereka sehingga sangat
memperlancar proses kegiatan lapangan.
Selama kegiatan lapangan berlangsung, peneliti dibantu oleh dua orang
co-researcher, dan keduanya warga masyarakat setempat yaitu Hatta Jamal yang
sudah berumur (60 tahun) menjadi seorang petani. Sedangkan yang satunya
adalah Hasanuddin yang berumur (50 tahun) berprofesi sebagai pegawai Negeri
Sipil dinas Pariwisata Sumbawa. Keduanya tergolong luas pergaulannya seharihari sehingga relatif kaya informasi tentang seluk beluk beserta kehidupan seharihari masyarakat Sumbawa. Mereka teman peneliti berdiskusi memperbincangkan
hasil observasi maupun wawancara yang peneliti lakukan sehari-hari. Selain itu
peneliti banyak belajar ungkapan dari Faisal (1998:88) dengan istilah tau sarua
antap sarua loto (orang setakar kacang hijau setakar beras). Istilah itu dipakai
untuk mengomentari seseorang yang dinilai banyak bohong dalam memberikan
48
informasi antara mana yang benar dan mana yang bohong. Hatta Jamal dan
Hasanuddin memiliki andil besar ikut mencermati hasil observasi maupun
wawancara yang peneliti lakukan selama kegiatan lapangan. Juga tak jarang
mereka ikut mengarahkan kemana peneliti harus berburu informasi yang
diperlukan. Mereka juga peneliti libatkan dalam proses klarifikasi dan dan
penyaringan yang perlu didalami kasusnya untuk masing-masing kategori dari
peristiwa sakeco. Sewaktu peneliti tidak berada di lapangan, terutama Hatta
Jamal secara aktif menginformasikan sebuah peristiwa atau kejadian penting via
Handphone ke peneliti, kemudian nanti dilaporkan secara mendetail ketika
peneliti berada kembali di lapangan.
Kemanapun peneliti pergi mencari data di lapangan selalu membawa alat
perekam (sony recorder) dan sebuah note book berukuran kecil yang dapat
peneliti masukkan saku baju atau celana, untuk merekam dan menulis catatancatatan penting yang relevan dengan tujuan penelitian selama kegiatan
wawancara mendalam (Indepth interview). Dananjaya (1991:195) dalam hal ini
menganjurkan untuk menggunakan wawancara yang terarah (directed) dan yang
tidak terarah (non directed). Anjuran itu peneliti gunakan dengan menggunakan
wawancara yang tidak terarah pada tahap pertama. Wawancara ini bersifat bebas,
santai dan memberi informan kesempatan yang sebesar-besarnya untuk
memberikan keterangan yang ditanyakan. Wawancara ini penting pada tahap
pertama penelitian karena dengan memberikan keterangan umum sering kali
mereka juga memberikan keterangan-keterangan yang tidak terduga yang takkan
dapat peneliti ketahui jika menanyakan dengan cara wawancara terarah. Pada
49
tahap kedua, setelah peneliti mendapatkan gambaran umum bentuk tradisi lisan
yang hendak di teliti, peneliti baru menggunakan wawancara yang terarah.
Pertanyaan yang akan diajukan sudah tersusun sebelumnya dalam bentuk suatu
daftar tertulis. Jawaban yang diharapkan sudah dibatasi dengan yang relevan saja
dan diusahakan agar informan tidak melantur kemana-mana. Penggunaan daftar
pertanyaan untuk mengumpulkan tradisi lisan, karena hasilnya nanti akan
dimasukan ke dalam naskah yang mempunyai format yang sama. Untuk
pengujian kebenaran data hasil wawancara, peneliti akan mengecek kepada
informan lain dengan daftar pertanyaan yang sama, dan melihat kenyataan
berdasarkan pengamatan peneliti sendiri.
Adapun syarat orang yang akan dijadikan informan dalam wawancara
mendalam ini adalah (a) pelaku sakeco yang sudah pernah memenuhi undangan
masyarakat untuk menembangkan tradisi lisan sakeco dalam acara adat ramai
mesaq sebelum resepsi perkawinan di laksanakan, atau tradisi lainnya, (b)
masyarakat asli Sumbawa yang paham tentang sakeco dan adat istiadat orang
(tau) Sumbawa, (c) mengetahui bahasa Sumbawa yang lengkap, (d) mengetahui
latar belakang budayanya, (e) mudah diajak bicara, (f) memahami informasi yang
dibutuhkan, (g) dengan senang hati mau memberikan informasi, (h) artikulatif
(tahu bagaimana cara menceritakan informasi), dan (i) mempunyai cukup waktu
dalam memberikan keterangan sesuai dengan apa yang menjadi kebutuhan dalam
penelitian ini.
Ada hal yang menarik dalam kegiatan wawancara yaitu peneliti diketahui
selama ini bertugas sebagai staf pengajar di IAIN Mataram, pada suatu waktu
50
peneliti dimintai sebagai pemberi nasehat perkawinan dalam acara resepsi
perkawinan di desa Motong Kecamatan Utan misalnya, sebelum acara dimulai di
depan halaman rumah terjadi wawancara santai dengan tokoh agama setempat
yang bernama H.Sirajuddin Wake, dan didapatkan data sangat berharga
berkenaan dengan pandangan hidup masyarakat Sumbawa. Ungkapan-ungkapan
itu langsung peneliti catat pada buku kecil dan direkam dengan sony recorder
yang sudah di-on-kan. Ketika peneliti sampaikan dalam ceramah nasehat
perkawinan, para hadirin ada yang tertawa karena tak mengira ungkapanungkapan lokal masuk buku catatan seorang peneliti, dan bahkan ungkapanungkapan itu peneliti jadikan tema dalam acara tersebut, sambil mengaitkan
dengan ungkapan-ungkapan lain yang telah peneliti peroleh selama di lapangan,
dan reaksi mereka terlihat sangat antusias. Itu semua karena buku kecil dan sony
recorder yang senantiasa dibawakan kemana pun peneliti pergi selama berada di
lapangan. Catatan penting dari suatu observasi dan wawancara selanjutnya
peneliti tuangkan ke dalam field note yang lebih lengkap, dan hal tersebut
dilakukan sesegera mungkin, sewaktu masih segar dalam ingatan. Selain itu, juga
membuat kategori, tempat menuliskan pokok-pokok informasi setiap peristiwa.
Sewaktu kegiatan lapangan, peneliti juga memanfaatkan sejumlah data
sekunder yang terdapat di kabupaten Sumbawa,
yang tertuang dalam buku
Sumbawa dalam angka 2012 terutama dimaksudkan untuk tujuan deskripsi, baik
tentang keadaan umum tentang kabupaten Sumbawa. Ada pelajaran berharga bagi
peneliti dalam melaksanakan kegiatan lapangan ini, yang patut dipaparkan di sini,
yaitu berkenaan dengan tuntutan penggunaan perspektif emik, tanpa membawa
51
perspektif etik. Perlu juga disebut disini bahwa selama kegiatan lapangan belum
melakukan penulisan disertasi. Yang dilakukan hanya sampai ke tingkat
menghasilkan draf awal laporan hasil penelitian. Karenanya, peneliti pernah
diundang sebagai salah satu pemateri seminar diselenggarakan oleh Pusat Bahasa
NTB tanggal 15 Oktober 2014, yang pesertanya para pemerhati budaya se-NTB,
akademisi perguruan tinggi se-NTB, dan tokoh-tokoh LSM di Mataram-Lombok.
Dalam seminar itu peneliti memanfaatkan untuk mengkomunikasikan hasil
penelitian.
Penyusunan draf laporan hasil penelitian tidak dilakukan di lokasi
penelitian, ternyata mempunyai akibat buruk pada saat memulai menyusun
disertasi. Di kota Yogyakarta tempat memiliki waktu luang yang banyak, apabila
terasa ketidaklengkapan data peneliti melakukan kunjungan lagi ke lapangan
sebanyak empat kali. Itu semua tidak akan menjadi kendala serius apabila jarak
tempat penelitian relatif berdekatan dengan tempat studi peneliti. Tetapi dalam
kasus penelitian ini, jarak Yogyakarta-Sumbawa relatif berjauhan, dan itu peneliti
rasakan sebagai suatu permasalahan yang cukup serius dan menggunakan
pembiayaan yang lumayan besar.
H. Analisis Data
Semua data hasil observasi dan wawancara sehari-hari dicatat secermat
mungkin dan dikumpulkan sehingga menjadi suatu catatan lapangan atau field
notes. Selama dalam pelaksanaan wawancara, semua pembicaraan direkam
menggunakan tape recorder. Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis data
52
ini adalah: (1) Langkah pertama ini adalah membaca secara seksama untuk dapat
menghayati dan memahami seluruh sumber data, kemudian diidentifikasi dan
diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan yang telah ditentukan, (2) Langkah
kedua peneliti akan melakukan reduksi data (data reduction), ferivikasi dan
displai data (data display). Reduksi data adalah proses penyeleksian data,
pemfokusan, dan penyederhanaan data kasar. Ferivikasi merupakan memilih data
yang sesuai dengan masalah dan menandai data, Display data merupakan proses
dalam mengorganisasi informasi yang ditemukan, (3) Langkah ketiga peneliti
merumuskan dalam bentuk deskripsi hasil penelitian dari data yang sudah
diklasifikasikan guna
menemukan fungsi sakeco dalam masyarakat Samawa
dengan menggunakan analisis:
(a) Analisis konteks (sesuai dengan faktor yang diteliti) misalnya pendeskripsikan
ini untuk melihat siapa saja yang menjadi partisipannya, topik, latar, saluran yang
digunakan, bentuk pesannya,
peristiwa yang terjadi, dan tujuan pada setiap
sakeco yang ditembangkan. (b) Analisis kategori-kategori; artinya sakeco itu
kemudian di klasifikasikan dalam kategori-kategori cara-cara, wilayah, sasaran
(pelaku-pelaku), tujuan, dan aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan
pemakainya.
Dengan
sistem
kategori-kategori
tersebut
akan
terungkap
pengklasifikasian wilayah sakeco, jenis-jenis isi sakeco, alat-alat rabana yang
dipakai, musim orang Sumbawa mengundang sakeco, upacara adat. Dengan
pengklasifikasian ini akan mengetahui nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh
pemilik kebudayaan. (c) Analisis pertunjukan sakeco, maksudnya adalah dimana
tempat terjadinya transmisi itu dan hubungan antara guru sakeco dengan kotap
53
(muridnya) dimana dalam hubungan itu tidak hanya dilandasi oleh rasa ikhlas
untuk menurunkan dan menerima ilmu sakeco, tetapi ada bentuk-bentuk lain yang
dilakukan oleh para murid terhadap gurunya sebagai ungkapan rasa syukur
terhadap ilmu yang telah diberikan. (d) Analisis fungsi sakeco, maksudnya adalah
melihat sesuatu hubungan antara sakeco dengan tujuan tertentu dalam kehidupan
si pemilik budaya. Hal ini disesuaikan dengan fungsi yang disebut langsung oleh
informan. Kemudian fungsi itu diklasifikasi sesuai sasaran isi dari sakeco. Hal ini
dimaksudkan untuk mengetahui fungsi-fungsi apa saja yang muncul apabila
sakeco tersebut ditujukan kepada sasaran yang dimaksud.
54
Download