Tari Komunal, Bab 3 (bagian 3 dari 3 bagian)

advertisement
98 | TARI KOMUNAL
membolehkan orang-orang pilihan untuk menarikan tarian khusus
yang dianggap keramat oleh masyarakat pendukungnya, atau untuk
mempertunjukkannya memang diperlukan suatu kemampuan yang
khusus pula. Indang tuo dan inang penghulu di Sumatera Barat,
debus di Banten, sere api dan bissu di Bugis, pajinang di Mandar,
bura’e di Mamasa dan Tana Toraja, serta pasere di wilayah budaya
Makassar, jipae di Papua, dan lain sebagainya.
Dasar pertimbangan atau pengakuan masyarakat terhadap
persyaratannya itu ada beberapa kemungkinan. Pertama, mungkin
berkaitan dengan tingkat kemampuan spiritual, seperti halnya
untuk tarian penyembuhan dari belian atau sikere tersebut di atas.
Kedua, mungkin karena pertimbangan kepercayaan pada keturunan
atau kasta tertentu, misalnya bangsawan dan/atau brahma; atau
mung­kin juga turunan dari suatu kelompok seniman. Ketiga,
mungkin karena untuk melakukannya dituntut suatu keterampilan
khusus yang tidak dimiliki oleh orang kebanyakan. Untuk turut
tampil alam ulu ambek di Sumatera Barat, misalnya, hanya orang
yang telah memiliki tingkat kepandaian persilatan (lahir-batin)
tertentu yang boleh tampil. Untuk melakukan tarian yang menuntut
kekebalan tubuh (terhadap api, benda-benda tajam) atau tenaga
dan peng­atur­an keseimbangan yang tinggi, tidak sembarang orang
bisa melakukannya.
3.3.4 Jumlah Penari
Gbr. 3.56: Pertunjukan akrobat Cina, di Singapura, yang memiliki
nuansa tari: bukan hanya menunjukkan kekuatan fisik, tapi juga
keseimbangan yang luar biasa.
Gbr. 3.57: Tarian ibu-ibu dalam upacara bubur suro, dari
Sumedang, Jawa Barat. Pertunjukan itu dilakukan bergantian
dengan kaum laki-laki.
PELAKU, PENONTON, DAN PENYELENGGARA | 99
Gbr. 3.58: Mengangkat satu kaki setinggi ini, sambil berdiri
tegak seimbang dan posisi bagian tubuh lainnya tetap terkontrol,
memerlukan keakhlian khusus. Posisi ini memerlukan latihan
belasan, bahkan puluhan tahun (tari Buta Cakil Solo, Jawa
Tengah, penari almarhum Maridi di USA 1974)
Gbr. 3.59: Seorang penari bissu (Bugis, Sulawesi Selatan),
menampakkan keluarbiasaannya dengan menusuk kelopak mata
dengan keris.
Gbr. 3.60: Pertunjukan akrobatis dari daerah Cirebon, Jawa Barat,
yang berkembang dari rudat. Pertunjukan itu mempertunjukkan
kemampuan luar biasa, yang dengan kakinya mampu
mengangkat sepeda motor dengan dua penumpang.
Gbr. 3.61: Sere api (“tari api”) dari Sulawesi Selatan, penarinya
mampu menginjak bara api sampai padam.
Gbr. 3.62: Tarian Sikere dari Mentawai, Sumatera Barat, hanya
ditarikan oleh para sikere (dukun) yang memiliki kemampuan
spiritual khusus.
100 | TARI KOMUNAL
Gbr. 3.63: Kapuera dari Brazil, tarian akrobatis yang berdasar pada gerakan silat.
Gbr. 3.64: Tari asyik dari Kerinci, Jambi, ditarikan oleh perempuan muda. Tarian ini melonjak menginjak-injak pecahan kaca, bara
api, berjalan di atas telur tanpa memecahkannya, dan menginjak benda tajam tanpa terluka.
PELAKU, PENONTON, DAN PENYELENGGARA | 101
Walaupun dalam pelaksanaannya tarian komunal sangat me­
ngedepankan semangat kebersamaan, namun pada berbagai wilayah
budaya tari komunal tidak selamanya harus melibatkan banyak
orang. Bertolak dari jumlah pelaku yang terlibat di dalamnya,
tarian komunal dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu:
tari tunggal (solo), tari berpasangan (duet), tari kelompok (grup)
baik kecil atau besar (antara 4-20 orang), tari massal (lebih dari 20
orang), tari kolosal yang melibatkan ratusan hingga ribuan orang
pemain.
3.3.4.1 Tari Tunggal
Di wilayah-wilayah budaya tertentu tari komunal juga ditarikan
oleh seorang penari. Konsep tari tunggal ini banyak kaitannya
dengan nilai-nilai kepercayaan seperti kekuatan dewa atau dewi
yang diyakini masyarakatnya. Dalam masyarakat agraris, sosok
Dewi Sri (Bugis: Sangiang Serri) sebagai dewi kesuburan (atau padi)
banyak ditampilkan secara tunggal mungkin kemudian disusul oleh
beberapa penampil lain. Dalam upacara kebo-keboan di Banyu­
wangi, misalnya, peran Dewi Sri adalah gadis pilihan masyarakat,
yang memakai pakaian khusus, yang kemudian memberikan benih
padi pada masyarakat petani.
Tari topeng Cirebon (Jawa Barat), tari seblang (Banyuwangi),
dan tari topeng pajegan (Bali) adalah tiga contoh tari komunal yang
dipertunjukkan oleh penari tunggal. Walaupun tarian ini mungkin
juga melibatkan beberapa pemeran lain namun yang memainkan
peranan utamanya hanyalah seorang penari. Selain itu, persepsi kita
terhadap “tari tunggal” bisa bermacam-macam. Ada yang memang
seluruh peristiwa pertunjukannya hanya dilakukan oleh penari
tunggal, ada juga yang secara bergantian ditampilkan tarian-tarian
tunggal, dengan penari yang berbeda-beda. Namun antara penari
yang satu dengan yang lainnya tidak secara bersamaan melakukan
interaksi antar peran. Penampilan tarian semalam suntuk dalam
upacara theyam dari Kerala (India Selatan), misalnya, dilakukan
seperti itu. Tiap penari merepresentasikan suatu dewa, dalam
102 | TARI KOMUNAL
waktu yang berbeda atau dalam ruang yang agak berjauhan. Dari
sembilan dewa yang ditampilkan itu, satu dengan yang lainnya
tidak berhubungan. Tidak seperti pertunjukan sandiwara, antara
peran yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan dalam
membawakan suatu adegan atau ceritera. Demikian pula tari
keurseus di Sunda yang telah disinggung di muka, atau tari pencak,
dalam peristiwa silatur­rahmi sosial, biasanya dipertunjukkan secara
tunggal dan bergantian.
3.3.4.2 Tari Berpasangan
Gbr. 3.65: Tari topeng Cirebon (sebelum memakai topeng), ditarikan oleh seorang penari, dalang
topeng dalam sebuah ritual desa.
Gbr. 3.66: Tarian pencak (dari Jawa Barat) biasa ditarikan secara tunggal dalam acara-acara
selamatan, silaturahmi komunitas, maupun dalam festival-festival kesenian (Wellington, Selandia
Baru, 1993).
PELAKU, PENONTON, DAN PENYELENGGARA | 103
Gbr. 3.68: Seorang ibu menari Cawan Batak Toba sendirian, sementara penaripenari lain “mengikuti” dari bagian belakang (pertunjukan turis Simanindo,
Samosir, Sumatera Utara, 2005).
Gbr. 3.67: Tari burung dari masyarakat Dayak,
Kalimantan Timur, yang ditarikan oleh seorang
penari. Biasa tarian ini juga ditarikan secara
kelompok.
Konsep berpasangan, erat kaitannya dengan konsep bipatri (be­
lah dua) dalam kepercayaan asli berbagai suku bangsa di Indonesia.
Nilai-nilai bipatri tersebut tercermin dalam berbagai aspek kehidup­
an seperti, laki-laki-perempuan, siang-malam, gunung-laut, tinggiren­dah, atas-bawah, dan lain sebagainya. Konsep semacam ini
hingga kini masih eksis di berbagai tradisi budaya suku bangsa di
Indonesia dan di tempat lainnya di berbagai belahan dunia. Meski
kadang-kadang nilai-nilai budaya yang berkaitan langsung dengan
masalah dualitas ini sudah bergeser, namun cerminan dari konsep
ini masih bisa dilacak dari berbagai peristiwa tari. Gerak berpasang­
an bisa terjadi sejak awal tarian, bisa pula muncul di tengah-tengah,
atau pada bagian akhir dari suatu tarian. Ada yang bisa dilakukan
sam­bil ber­pegang tangan, bahkan sambil memeluk tubuh pasang­­an.
Namun ada pula yang dilakukan tanpa harus menyentuh pasangan.
Di Indonesia kita mengenal beberapa jenis tarian komunal yang
dilakukan oleh penari laki-laki dan perempuan secara berpasangan.
Kita bisa melihat di Jawa Tengah ada tayub, di Jawa Timur ada gan­
drung (Banyuwangi), di Jawa Barat ada ketuk tilu, di Bali ada joged
104 | TARI KOMUNAL
bumbung, dan tari gandrung bisa ditemukan di Lombok, Nusa
Teng­gara Barat. Nama-nama tarian ini masih bisa ditambah lagi
dengan tari maengket di Sulawesi Utara, tari serampang dua belas,
tari payung, dan saputangan di Sumatera, dan lain sebagainya.
Dari Kalimantan kita mengenal tari mandau yang merupakan tari
ber­pasangan yang bernuansa kepahlawanan.
Di kalangan budaya Barat (Eropa) pola tarian berpasangan
seperti pavanne, allamande, dan courante, telah menjadi salah
satu tradisi terutama bagi kalangan kaum ningrat. Di Amerika, tari
lambada, tari berpasangan berasal dari Brazil yang penuh dengan
gerakan-gerakan erotis pernah menjamur di mana-mana. Tarian
ber­pasang­an dari luar negeri seperti itu yang belakangan mulai
ber­pengaruh di Indonesia di antaranya adalah salsa, waltz, samba,
dan lain sebagainya.
3.3.4.3 Tari Kelompok
Gbr. 3.69: Tarian “meronggeng” Melayu atau joged bersama berpasangan (dari Riau Kepulauan).
Gbr. 3.70: Ronggeng melayu (dari Sumatera Utara), yang menari dan menyanyi secara berpasangan, dan
bersahutan.
PELAKU, PENONTON, DAN PENYELENGGARA | 105
Gbr. 3.71: Tari gunungsari-regol dari Malang, Jawa timur,
ditarikan berpasangan (pria) antara pangeran (Gunungsari) dan
pengiring atau panakawannya (Regol).
Gbr. 3.72: Tari payung dalam pertunjukan panggung modern,
berpasangan laki-laki-perempuan.
Gbr. 3.73: Bambangan-Cakil dari Surakarta (Jawa Tengah) sebagai
suatu tarian “pasangan” menampilkan adegan perkelahian antara
ksatria kalem (bambangan) dan raksasa (Buta Cakil).
Gbr. 3.75: Adegan perkelahian (spontan/langsung atau
dikoreografikan), merupakan yang biasa dalam pertunjukan
pencak silat (dari Minangkabau, Sumatera Barat).
Gbr. 3.74: “Pengantin” sebagai simbol “pasangan” dalam suatu
arak-arakan desa, yang menjadi sumber tawa karena dua-duanya
laki-laki.
106 | TARI KOMUNAL
Gbr. 3.76: Tari saputangan dalam gamat
di Sumatera Barat. Tarian itu dilakukan
berpasangan, bisa beberapa pasang
berbarengan atau bergantian.
Gbr. 3.77: Gandrung Banyuwangi (Jawa Timur), seorang penari
perempuan (gandrung) menari dengan penari laki-laki, bergantian
dengan penari laki-laki yang “menunggu” di sampingnya (dari
pertunjukan panggung modern, sebagai tari tontonan di Jakarta).
Gbr. 3.78: Galuh-condong dari Bali, tarian berpasangan
(puteri) antara seorang puteri (Galuh), kanan dan pengiringnya
(Condong), kiri.
Kebanyakan tari komunal merupakan tari kelompok yang
terdapat di berbagai wilayah budaya di Nusantara ini. Tarian-tarian
se­perti gareng lamen (Flores), galombang, randai (Sumatera
Barat), maengket, cakalele, (Sulawesi Utara), giring-giring
(Kalimantan Tengah) merupa­kan tari kelompok. Demikian pula
tarian-tarian tontonan yang timbul relatif baru, umumnya juga di­
per­­tun­juk­kan oleh se­jumlah penari. Bermacam tari beserta gambargambarnya yang tersebar di setiap bab buku ini (juga klip-klip
videonya) banyak yang menunjukkan tari berkelompok.
3.3.4.4 Tari Massal/Kolosal
PELAKU, PENONTON, DAN PENYELENGGARA | 107
Tarian yang menyertakan lebih dari dua penari, sudah bisa di­
sebut tari berkelompok. Pada tari berkelompok, ada yang seluruh
penari­nya melakukan gerak-gerak seragam, ada pula yang saling
mengisi, “bersahutan” (seperti bercakap bergantian dalam bahasa),
ataupun yang berlawanan. Dalam adat masyarakat Toraja, terdapat
tarian sambil menyanyi yang disebut ma’badong. Tarian ini diper­
tun­jukkan pada upacara kematian, baik yang baru meninggal,
bebe­rapa hari atau bahkan tahunan setelahnya. Syair-syair yang di­
lantun­kan para penari dalam tarian itu menceritakan riwayat hidup
yang wafat, mulai dari kandungan menjelang kelahiran sampai
dengan saat kematian. Para penarinya membentuk suatu lingkaran
yang bergerak berputar melawan arah jarum-jam. Jumlah pemain­
nya tidak tentu, tergantung situasinya. Jika yang mengadakan
upacara itu suatu keluarga terpandang, banyak orang datang dan
turut main. Bahkan jika keluarga itu mampu mengundang pemain
yang ba­­­nyak, maka penarinya akan lebih banyak pula, sehingga
akan lebih besar lingkarannya, bahkan bisa juga terbentuk beberapa
lingkaran ma’badong. (Lihat gambar di bagian tari Massal).
Di kalangan suku Dayak Modang, Kalimantan Timur, ada
tarian bertopeng yang disebut hudoq. Tarian itu dilakukan
untuk upacara pe­ngusir­­an roh-roh jahat pengganggu tanaman.
Pemainnya tidak dibatasi, tapi
biasanya belasan orang anggota
masyarakat setempat. Setiap
penari (perempuan ataupun
laki-laki) menggunakan topengtopeng binatang (umumnya
representasi hama padi) yang
ber­u kur­a n besar, menutupi
seluruh kepala seperti helm.
Kostum yang me­nutupi sekujur
tubuhnya dibuat dari daundaunan (umumnya daun pisang
yang disobek-sobek sehingga
menyerupai bulu), atau ijuk.
108 | TARI KOMUNAL
Gbr. 3.80: Tari galombang (Minangkabau) yang dipertunjukkan oleh para penari di Hawaii, USA.
Gbr. 3.81: Tari belian sentiu, dari Dayak, Kalimantan
Timur, dalam suatu upacara penyembuhan.
Gbr. 3.82: Para penari hudoq dari Dayak Modang, Kalimantan
Timur, sedang melakukan upacara dipimpin pemuka adat.
Gbr. 3.83: Tari gareng lamen, dari Flores, yang dipertunjukkan
pada upacara khitanan massal.
Gbr. 3.84: Tari pakarena dari Takalar, Sulawesi Selatan, dalam
suatu upacara khitanan.
PELAKU, PENONTON, DAN PENYELENGGARA | 109
Massal di sini lebih diartikan dari sisi jumlahnya yang besar.
Dalam bahasa Inggris, kata mass, seperti dalam mass-product,
berarti “jumlah besar.” Demikian juga kata massive berarti “besar.”
Ukurannya relatif, tak ada jumlah yang pasti. Demikian juga dalam
tari, tidak ada batasan jumlah yang persis. Namun penari yang
berjumlah 20 ke atas dalam suatu panggung telah bisa sebut tari
massal. Selain kata massal, kata lain yang biasa digunakan untuk
dengan pengertian serupa, adalah “kolosal.” Karena itu, tariantarian yang telah dibicarakan se­belum­nya, ketika ditampilkan
dengan jumlah penari yang sangat banyak, dapat disebut tari massal.
Sebaliknya, tari-tari massal yang akan diurakan di bawah, jika
ditampilkan dengan jumlah penari sedikit, tidak lagi disebut tari
massal. Demikian, “tari massal” bukanlah suatu kategori tetap dari
sisi jenis tarinya, melainkan dari jumlahnya saja. Dalam konteks
budaya tradisi, tari massal biasa dipertunjukkan di lapangan, alunalun, halaman, dan sebagainya, dan sering berhubungan dengan
peristiwa yang besar pula.
Tari shaman, seudati, dan didong dari Nangroe Aceh Darusalam
adalah jenis-jenis tari komunal yang dilakukan oleh banyak orang.
Tari perang dari Papua dapat melibatkan ratusan orang, tari giringgiring di Kalimantan dibawakan oleh puluhan penari perempuan
dari berbagai tingkatan usia. Besar kecilnya kelompok pada penari
tarian-tarian di atas, tentu saja berkaitan dengan besar kecilnya
partisipasi masyarakat pendukungnya.
Di desa Morella, Ambon Utara, Maluku Selatan, terdapat ritus
tahunan puku manyapu lidi, yang diadakan pada hari ketujuh
setelah Hari Raya Idul Fitri. Berpuluh-puluh, bahkan ratusan pemu­
da membawa lidi, dan kemudian saling pukul, sehingga banyak
pul yang terluka. Namun, karena peristiwa ini berada dalam suatu
sistem adat, luka itu bisa disembuhkan secara singkat, dan “adu
kekuatan” itu tidak menyebabkan permusuhan. Bahkan, selain ter­
kandung makna lain dalam upacara tersebut, peristiwa itu mungkin
justru bisa merupakan suatu forum pelepasan ketegangan sosial.
Di Desa Moni, di lereng gunung Kelimutu, Flores, ada suatu
tarian yang dilakukan oleh ratusan orang (laki-laki-perempuan)
110 | TARI KOMUNAL
di lapangan terbuka. Para penari membentuk beberapa lapisan
lingkaran, dipimpin oleh seorang penyanyi, sekaligus pemberi abaaba atau irama, yang berdiri di tengah-tengah. Bukan saja penduduk
desa setempat yang boleh turut, tamu asing pun boleh, dengan
meng­ikuti gerakan dan iramanya, yang memang tidak terlalu sulit
untuk sekedar bisa bersama-sama. Hentakan kaki dan goyangan
tubuh menjadi gerak utama dari tariannya. Kapan saja orang yang
ingin menari bisa bergabung, masuk pada lapisan luar (atau bela­
kang) dari lingkaran tersebut.
Belakangan ini, di dalam pertunjukan publik sering terjadi par­
tisipasi spontan yang memungkinkan ratusan orang penonton dapat
ikut bergerak mengikuti pola irama gendang atau lagunya. Dalam
bajidoran di Jawa Barat, misalnya, para penonton biasa terlibat
se­cara aktif di luar panggung, berbarengan dengan para penari
yang menari di atas panggung. Tempat penonton pun mendadak
menjadi arena tari (bagi penonton). Dalam pertunjukan dangdut,
musik pop, bahkan kini pada waktu penampilan lagu-lagu selingan
dari suatu pertunjukan wayang kulit di Jawa, para penonton sering
secara spon­tan berpartisipasi dengan menari.
Tarian-tarian masyarakat Tonga di Kepulauan Pasifik Selatan
banyak yang merupakan tari massal. Pada peristiwa-peristiwa pen­
ting seperti penobatan pendeta, kepala suku, dan perayaan hari
nasional, jumlah penarinya bisa puluhan bahkan ratusan orang.
Kadangkala kelompok laki-laki dan perempuan menari bersamasama, namun sering kali mereka menari secara terpisah. Tari hula
dari Hawaii pun sering dilakukan secara massal, baik dalam upacara
penghormatan pada Dewi Gunung pemberi kesuburan tanah per­
tanian, maupun dalam perayaan-perayaan sekuler.
Tari komunal juga sering dipertunjukkan sebagai suatu atraksi
dalam berbagai peringatan kenegaraan. Pada pembukaan pesta olah
raga Asian Games di Jakarta tahun 1962, ditampilkan tari pendet
kolosal yang dimainkan oleh delapan ratus penari perempuan; pada
upacara pembukaan festival Erau Kutai Kartanegara (Kalimantan
Timur) tahun 1996 ditampilkan tari mandau dan tari datun (tradisi
Dayak) oleh ratusan orang pemain; pada pembukaan PON 2005 di
PELAKU, PENONTON, DAN PENYELENGGARA | 111
Palembang ditampilkan tari sriwijaya yang juga dibawakan oleh
ratusan penari remaja putri dengan membentuk berbagai kon­
figurasi di lapangan. Walaupun tarian-tarian tersebut telah dikemas
khusus, sehingga menjadi tari pertunjukan yang dapat menarik
perhatian penonton, namun dalam konteks itu tetap memiliki
eks­presi sosial seperti halnya tari komunal, yakni tari dimaknai
sebagai simbol (representasi) suatu komunitas wilayah administrasi
kepemerintahan (kabupaten, propinsi, atau nasional). Misalnya,
para penari pendet kolosal dalam forum internasional Asian Games,
lepas dari implikasi politiknya, tidak hanya merasa “merepresen­
tasi­kan” Bali, tapi juga sebagai representasi anak bangsa.
3.4 TEMPAT PERTUNJUKAN
Untuk terlaksananya suatu pertunjukan, tentu saja, akan di­
Gbr. 3.85: Tari api dari dari Masyarakat Dayak, di Desa Metpak, daerah Sintang, Kalimantan Barat, dalam upacara syukuran.
Gbr. 3.86: Tortor Batak Toba dalam upacara Parmalim di Hutatinggi, Sumatera Utara.
112 | TARI KOMUNAL
Gbr. 3.87: Tari dari Maluku Utara dalam
pertunjukan massal pada Festival Keraton
Nusantara di Yogyakarta 2005.
Gbr. 3.88: Puluhan penari laki-laki dari Tonga dengan beragam gerakan tangan dalam posisi tidur, sementara puluhan penari lainnya
berdiri.
perlu­kan suatu tempat, yakni ruang-pertunjukan. Ruang ini, secara
umum disebut panggung, kalangan, atau arena pentas, yakni suatu
areal (tempat) yang terbatas. Batasannya ada yang sangat jelas se­
perti misalnya pinggir atau bibir panggung, ada yang dibatasi oleh
lingkaran kerumunan penonton, dan ada pula yang tidak ada batas­
an fisik, melainkan hanya dengan batasan imajiner saja. Ketika kita
melihat suatu pertunjukan di tengah lapangan besar, umpamanya,
yang dihadiri hanya beberapa orang penonton, di situ akan ter­
bayang sebuah batasan abstrak dari suatu ruang pertunjukan, baik
dalam imaji penonton, maupun imaji pemainnya. Konsep terhadap
ada­­nya ruang imajiner ini sangat penting dalam dunia tari, baik
untuk membicarakan ruang pertunjukan dalam uraian bagian ini,
mau­pun ruang tubuh dalam Bab 4.
PELAKU, PENONTON, DAN PENYELENGGARA | 113
Selain dari konsep batasan tempat yang relatif di atas, dari sudut
pelaksanaannya tarian komunal dapat digelar dengan tiga cara ber­
beda: (1) menetap di satu tempat di mana arena pertunjukannya
tidak berpindah-pindah, (2) berpindah dari satu tempat ke tempat
lainnya, dan (3) bergerak, seperti prosesi keliling di mana “pang­
gung”-nya seolah “berjalan.”
3.4.1 Menetap
Hampir semua tarian yang telah disinggung sebelumnya
merupakan pertunjukan menetap. Artinya, baik arena (kalangan)
yang kecil maupun yang sebesar lapangan sepak bola, tetap saja di
satu tempat. Tari rejang dan baris gede di Bali adalah dua contoh
tari komunal yang memiliki cara pementasan yang menetap. Di­kata­
kan menetap karena pelaksanaan dari kedua tarian tidak per­nah
keluar dari halaman pura yang telah ditetapkan. Para penari dari
kedua tarian ini hanya bergerak mengelilingi halaman pura yang
telah ditentukan. Tari seblang dari Banyuwangi, tari salonreng
dari Makassar, dan balian dari Kalimantan juga merupakan tarian
yang memiliki cara pementasan menetap sekali pun para penarinya
bergerak berputar-putar mengelelingi sebuah altar.
3.4.2 Berpindah
Tari barong ngelawang di Bali dilakukan dengan cara ber­pin­
dah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Ngelawang adalah
bahasa Bali (dari kata lawang) yang berarti “pintu gerbang rumah.”
Dalam konteks ini, ngelawang mengandung makna “berpindah pin­
dah dari satu rumah ke rumah lainnya.” Pada hari raya Galungan
atau Kuningan, seharian para pemain barong ini keluar-masuk
ha­lam­an rumah penduduk, untuk mengadakan pertunjukan ritual
be­be­rapa menit di masing-masing tempat. Pertunjukan pakarena
iyolle, pada waktu ritual akkalombe, di Desa Onto, Bantaeng,
Sulawesi Selatan, juga dilakukan dengan berpindah-pindah, tiga
kali dalam semalam. Awal malam, mereka menari di atas tikar pada
gerbang desa yang mengarah ke gunung Bawakaraeng, pertengahan
114 | TARI KOMUNAL
malam tarian diadakan di dalam rumah pusaka, dan menjelang
fajar diadakan di tempat (tanah) yang dianggap sebagai “pusat
negeri.” Tari kuda lumping di Jawa Tengah, tari topeng Cirebon
(barangan, babakan), dan tari-tari banrangang di Makassar juga
merupakan tarian yang dilaksanakan secara berpindah-pindah,
sambil memungut sumbangan sukarela dari penontonnya, atau
dari para penanggap-seketika.
3.4.3 Bergerak
Pernahkah Anda melihat arak-arakan atau pawai, misalnya
Gbr. 3.89: Tari barong bangkal dan barong macan di Bali yang dilakukan berpindah-pindah dalam acara ngelawang.
Gbr. 3.90: Tari kuda lumping (reyog) asal Jawa Timur, ditarikan oleh anak-anak masyarakat campuran di Bontang, Kalimantan Timur.
PELAKU, PENONTON, DAN PENYELENGGARA | 115
pada waktu perayaan 17 Agustus? Kami kira, semuanya pernah
melihat itu. Andaikata tidak, pasti Anda pernah melihat, bahkan
mungkin pernah melakukannya sendiri, pertunjukan drum-band,
latihan baris berbaris, atau joging bersama-sama, yang bergerak dari
suatu tempat menuju tempat yang lain. Secara nyata, yang kita lihat
bergerak atau berjalan adalah orang-orangnya. Tapi secara imajiner
(gambaran atau imaji yang muncul dalam bayangan) ruang­an yang
terbentuk itu bukanlah hanya sebatas tubuh orang-orang­nya saja,
melainkan juga ruang “kosong” di antara orang-orang itu seperti
mendadak menjadi “berisi.” Nah,”isi” yang muncul itulah yang
dimaksud dengan “imajiner,” yakni yang tidak nyata secara fisik, tapi
“nyata” dalam bayangan. Ruang imajiner ini, juga termasuk dalam
konsep ruang pertunjukan yang telah dibicarakan di atas. Jika
suatu pertunjukan tarian berjalan seperti dalam arak-arakan, maka
ruang pertunjukannya pun turut bergerak. Banyak sekali jenis tari
komunal di negeri kita yang biasa dipertunjukkan sambil berjalan.
Tari barong dari masyarakat Osing, Banyuwangi, tari reyog
Ponorogo, (keduanya di Jawa Timur), dan tari batek baris di pura
Lingsar, Lombok Barat (Nusa Tenggara Barat), dan sejumlah tarian
untuk prosesi arak-arakan di Madura (Jawa Timur) adalah contohcontoh tarian yang biasa dilakukan sambil berkeliling. Di Bugis juga
dikenal prosesi ritual menjelang musim bersawah, yang dikenal
dengan palili atau mappalili. Rombongan prosesi ini mengelilingi
kampung, kemudian berhenti untuk melakukan ritual dan menari
pada beberapa tempat keramat serta rumah tokoh masyarakat.
Prosesi semacam ini, di Makassar selalu didahului oleh seorang
pe­nari pria yang menari membawa tombak berhias bulu hitam
yang disebut banrangang. Karena itu, tarian ini disebut pula sere
banrangang.
Di Jawa Barat banyak tarian yang dipertunjukkan seperti
ini, berokan (sejenis barong, wujud binatang), sisingaan, burak,
jangkungan (lihat gambar), umumnya diadakan dalam arak-arakan
perayaan khitanan. Mirip dengan itu, di wilayah budaya Mandar
(Sulawesi Selatan) ada acara yang mengarak orang saat melakukan
116 | TARI KOMUNAL
ritus inisiasi menaiki jenjang dewasa. Anak-anak yang menanjak
akil balik dirias bagaikan putri atau pangeran, dinaikkan ke atas
kuda yang menari-nari mengikuti irama gendang rebana pengiring­
nya. Karena itu pula upacara ini disebut sayeang pattudu (“kuda
menari”). Upacara songkolan (nyongkol) di Lombok, upacara ini
diadakan dengan arak-arakan meriah dari tempat pengantin pria
ke tempat pengantin perempuan sehari menjelang upacara per­
ni­kah­annya dengan menyertakan berbagai kesenian. Masyarakat
Tionghoa di ber­bagai tempat tiap tahun mengadakan arak-arakan
besar setiap hari besar Imlek atau Tahun Baru. Pada perayaan itu
tampil berbagai kesenian seperti barongsay dan liong.
Budaya arak-arakan ini bukan hanya terdapat di Indonesia,
me­lain­kan di seluruh pelosok dunia, yang secara umum disebut
karnaval (carnival). Di Brazilia, tari samba, juga adalah tarian
massal yang sering dimainkan pula dalam prosesi. Tarian itu penuh
dengan se­mangat sesuai dengan musik yang dinamis, mereka
menari di sepanjang perjalanannya. New Orleans Di USA, ada suatu
karnaval yang paling terkenal, paling ramai dan bersejarah panjang,
yang disebut Mardi Gras (“Selasa Gemuk”). Karnaval itu diadakan
beberapa hari, pada siang malam. Para peserta yang datang dari
berbagai tempat memakai kostum dan topeng warna warni. Walau
awalnya karnaval itu berhubungan dengan hari keagamaan Katolik,
namun kini menjadi sepenuhnya sekuler. Orang terlibat di situ
semata karena menjadi ajang sosial, di mana mereka (yang bukan
seniman) bisa tampil mengekspresikan dirinya secara berbeda atau
sebaliknya dari kebiasaan sehari-hari.
Memang, acara karnaval bukan berfungsi hanya untuk kepen­
tingan adatnya (seperti perayaan khitanan), melainkan merupakan
suatu forum di mana para partisipan bisa mengungkapkan isi hati
dalam bahasa nonverbal. Dalam karnaval, setiap orang mempunyai
kesempatan mengungkapkan komentar atau kritik sosial, dengan
bahasa kesenian yang tidak vulgar. Ogoh-ogoh, yaitu patung atau
boneka besar yang diusung dan diarak menjelang hari raya Nyepi di
Bali, misalnya, mungkin bukan hanya mengandung makna kesenian
PELAKU, PENONTON, DAN PENYELENGGARA | 117
(rupa), melainkan juga sebuah perwujudan dari persepsi masyarakat
terhadap dunia kehidupan nyata.
Gbr. 3.91: Mardi Gras, suatu karnaval yang sangat terkenal di USA.
Gbr. 3.92: Kapal-kapalan, gajah-gajahan dan lain-lain, dalam suatu acara karnaval sidekah bumi di kompleks Astana Gunung Jati,
Cirebon, Jawa Barat.
Gbr. 3.93: Anak-anak TK dan SD di Lombok, dengan kostumnya, mereka menampilkan beragam identitas “orang dewasa” dalam
pawai 17 Agustus 2005.
118 | TARI KOMUNAL
Gbr. 3.94: Anak TK-SD Jepang dalam suatu pawai hari kebesaran di Tokyo.
Gbr. 3.95: Berbagai topeng dipakai dalam arak-arakan festival tahunan di Davis, California,
USA.
Gbr. 3.96: Perayaan keagamaan di India Selatan, yang menyertakan puluhan gajah dengan
“kostum” khusus, dalam arak-arakannya.
PELAKU, PENONTON, DAN PENYELENGGARA | 119
Gbr. 3.97: Anak-anak beserta orang-tuanya
mengikuti karnaval dalam perayaan kuil besar
di Nara, Jepang.
Gbr. 3.98: Ibu-ibu dengan pakaian dan
usungan yang khas, dalam sebuah pawai
festival budaya di Padang, Sumatera Barat.
Gbr. 3.99: Atraksi kuda renggong (“kuda menari”), dalam suatu
pawai lomba pariwisata di Sumedang, Jawa Barat.
Gbr. 3.100: Pembawa lampion dalam suatu arak-arakan hari
Imlek Tionghoa, di Jakarta.
120 | TARI KOMUNAL
RANGKUMAN BAB 3
Pertunjukan tari komunal pada dasarnya adalah peristiwa
sosial yang berdasar pada kebutuhan berbagai lapisan atau
sektor kehidupan masyarakat bersangkutan. Karena itu,
peristiwa tersebut merupakan suatu forum interaksi untuk
menjalin komunikasi, atau bahkan integritas sosial itu bisa
terbangun, baik secara horizontal maupun vertikal.
Tari komunal umumnya melibatkan seluruh lapisan
masyarakat, secara bersama-sama ataupun bergantian, baik
untuk kalangan anak-anak, remaja, dewasa maupun orang
tua; baik untuk perempuan, laki-laki, maupun banci (waria);
baik kalangan bawah maupun atas.
Walaupun semangat kebersamaan merupakan ciri
utamanya, tari komunal tidak selamanya ditarikan oleh
banyak orang. Ada tari komunal yang ditarikan hanya oleh
seorang (tunggal), secara berpasangan, belasan, puluhan, dan
bahkan ratusan atau ribuan orang.
Pelaksanaannya ada yang dilakukan di tempat yang tetap,
ada yang berpindah-pindah, dan ada pula yang bergerak
(berkeliling) seperti pada arak-arakan (prosesi).
Download