2.2 Self-Esteem

advertisement
BAB 2
Tinjauan Pustaka
2.1 Problematic Internet Use (PIU)
2.1.1 Definisi Problematic Internet Use
Problematic Internet Use (PIU) didefinisikan sebagai penggunaan internet yang
menyebabkan sejumlah gejala tertentu seperti suasana hati dalam menggunakan internet, rasa
gagal dalam memenuhi kewajiban, rasa bersalah, dan keinginan (Morahan-Martin &
Schumacher, 2000). PIU dijelaskan sebagai bentuk perilaku dan kognitif yang diasosiasikan
dengan internet yang menghasilkan konsekuensi yang negatif dalam hal pribadi maupun
profesional seseorang (Caplan, 2002; Davis, 2001). Dari penjelasan di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa PIU adalah penggunaan internet yang berlebihan yang menyebabkan dan
disebabkan oleh dampak negatif dalam bentuk proses kognitif dan perilaku pada seseorang.
Gejala-gejala seseorang yang mengalami gejala PIU adalah pemikiran obsesif terhadap
internet, berkurangnya kontrol impuls, ketidakmampuan unutk berhenti menggunakan
internet, perasaan bahwa Internet adalah satu-satunya teman, selalu memikirkan internet
ketika offline, menunggu-nunggu waktu untuk online selanjutnya, dan menghabiskan banyak
uang untuk berinternet (Davis, 2001).
Pada awalnya PIU disebut sebagai internet addiction oleh beberapa peneliti dan
menghubungankan internet addiction dengan DSM-IV, tetapi istilah tersebut dianggap
Kurang tepat dan mendapatkan berbagai kritikan. Davis juga mengkritik istilah adiksi
tersebut karena menganggap permasalahan di internet tidak tepat disebut sebagai adiksi,
tetapi lebih tepat menggunakan istilah pathologic atu problematic (Davis, 2001). Davispun
mengganti istilah tersebut dengan pathological internet use dan akhirnya diubah menjadi
Problematic Internet Use (Davis, 2001; Davis, 2002). Davis (dalam Caplan, 2002)
memperkenalkan teori cognitive-behavior PIU. Menurut Davis (2001) kognitif atau pikiran
seseorang adalah sumber dari perilaku tidak normal. Davis (2001) dan Caplan (2002)
menyatakan bahwa PIU merupakan konsekuensi bukan causes dari kondisi piskologis
seseorang yang kurang baik.
9
10
2.1.2 Bentuk Problematic Internet Use
Davis (2001) membagi PIU menjadi 2 bentuk, yaitu:
1. Specific Problematic Internet Use
Spesific PIU yaitu adalah orang - orang yang tergantung pada fungsi internet tertentu
seperti situs porno dan judi. Seseorang dengan spesific PIU menjadi ketergantungan pada
hal yang spesifik yang ada di internet.
2. Generalized Problematic Internet Use
Generalized PIU meliputi penggunaan internet yang berlebihan secara umum dan
multideimensional. Seseorang menggunakan internet bukan untuk tujuan spesifik tertentu
tetapi hanya lebih mengarah ke menghabiskan waktu dengan misalnya melakukan
chatting, menonton film, membuka situs jejaring sosial dengan secara bersamaan. Dengan
hanya melakukan browsing segala macam hal yang berlebihan bisa dikatakan sebagai
generalized PIU. Oleh karena itu generalized PIU lebih berhubungan pada psikologis,
keadaan sosial dan masalah perilaku seseorang. Ada beberapa konsekuensi dari
generalized PIU yang diungkapkan oleh Caplan (2002) yaitu adalah pikiran obsesif atas
internet, kontrol impuls berkurang saat online, perasaan bersalah ketika online, dan
mengalami perasaan positif yang banyak terhadap diri sendiri ketika online dibandingkan
ketika offline. Oleh karena hal tersebut, penelitian ini akan lebih fokus kepada
generalized PIU dimana seseorang online situs jejaring sosial secara berlebihan.
2.1.3 Gejala Problematic Internet Use
Pada awalnya Caplan (2002) mengkategorikan PIU ke dalam 7 gejala berdasarkan
gejala kognitif yang disusun oleh Davis (2001), yaitu perubahan suasana hati, manfaat sosial
yang dirasakan ketika online, hasil negatif yang terkait dengan penggunaan internet,
penggunaan internet yang kompulsif, waktu yang berlebihan untuk online, gejala penarikan
diri ketika jau dari internet, dan kontrol sosial ketika online. Tetapi pada penelitian
selanjutnya Caplan (2010) menyempitkan lagi gejala PIU menjadi 5 gejala, yaitu: (1)
Preference for online social interaction (POSI), yaitu seseorang lebih memilih dan merasa
lebih nyaman untuk berinteraksi interpersonal secara online dibandingkan berhubungan
sosial secara tatap muka. Seseorang dengan POSI mempunyai kondisi ekstrim yaitu isolation
(Davis, 2001). (2) Mood Regulation, individu dengan kecemasan sosial lebih memilih untuk
berinteraksi secara online karena itu adalah cara untuk mengurangi kecemasan mereka atas
presentasi tentang diri sendiri dalam situasi interpersonal (Caplan 2007 dalam Caplan, 2010).
(3) Cognitive preoccupation, mengacu kepada pola pemikiran obsesif yang melibatkan
11
penggunaan internet, seperti pemikiran seseorang yang tidak bisa berhenti memikirkan
internet atau memikirkan apa yang terjadi ketika dirinya sedang offline (Caplan, 2010). (4)
Compulsive internet use, yaitu ketidakmampuan seseorang untuk mengontrol pemakaian
internet (Caplan, 2010). (5) Negative outcomes, dampak negatif kehidupan personal, sosial,
dan pekerjaan atas masalah penggunaan internet (Caplan, 2010).
2.2 Self-Esteem
2.2.1 Definisi Self-Esteem
Self-esteem secara umum di definisikan sebagai evaluasi diri yang merupakan respon
afektif terhadap self-description seseorang (Erkut, 2006). Rosenberg (1965 dalam Mruk,
2006) mendefinisikan self-esteem sebagai suatu sikap tertentu, dimana suatu pemikiran
didasari oleh persepsi atas perasaan, perasaan tentang seberapa ‘berharga’ atau bernilainya
orang tersebut. Sedangkan menurut Menurut Coopersmith (1967 dalam Martha, 2010) selfesteem atau harga diri adalah penilaian pribadi yang dilakukan individu mengenai perasaan
berharga atau berarti dalam sikap-sikap individu terhadap dirinya. Self-esteem selalu
dibicarakan dan dihubung-hubungkan dengan kesehatan mental, kesuksessan, hidup secara
efektif, dan bahkan kehidupan yang baik dari seserorang (Mruk, 2006). Aspek utama dalam
harga diri adalah dicintai dan menerima penghargaan dari orang lain (Prameswari, Aisah &
Mifbakhuddin, 2013). Harga diri akan bermakana dan berhasil jika diterima dan diakui orang
lain merasa mampu menghadapi kehidupan merasa dapat mengontrol dirinya ( Widiyatun
1999 dalam, Prameswari, Aisah & Mifbakhuddin, 2013).
2.2.2 Bentuk Self-Esteem
Terdapat 2 macam bentuk self-esteem dengan karakteristik yang berbeda. Dengan
mengetahui karakteristik dari bentuk self-esteem, peneliti bisa mengetahui bentuk self-esteem
yang seperti apa yang rentan untuk mengalami gejala PIU. Bentuk self-esteem tersebut yaitu:
(1) low self-esteem, Rosenberg dan Owen (2001 dalam Mruk, 2006) mengkarakteristikkan
bahwa low self-esteem mengandung perasaan seperti hipersensifitas, tidak stabil, mempunyai
kesadaran diri, kurang percaya diri, lebih mengkhawatirkan untuk melindungi diri dari
ancaman yang ada dibandingkan menikmati hidup, tidak suka mengambil risiko, depresi,
pesimis, kesepian, suka mengasingkan diri. (2) High Self-esteem, karakteristik dari high selfesteem adalah tangguh dalam mengalami kegagalan, emosinya stabil, tidak mudah
dipengarui, konsisten, mempunyai konsep diri yang jelas (Myers, 2007). Menurut Rosenberg
12
(dalam Mruk, 2006) individu dengan high self-esteem merasa bahwa dirinya berharga, lebih
menghormati dirinya sendiri apa adanya, dan tidak mendambakan rasa kagum dari dirinya
sendiri maupun dari orang lain.
Menurut Coopersmith (1967 dalam Nurmalasari, 2007), ada beberapa faktor yang
dapat meningkatkan dan menurunkan tingkat self-esteem seseorang, yaitu :
a. Penerimaan atau Penghargaan Terhadap Diri (Self Derogtrion), indvidu yang berharga
akan memiliki penilaian yang lebih baik atau positif terhadap dirinya, sebaliknya individu
yang merasa dirinya tidak berharga akan memiliki penilaian atau harga diri yang negatif.
b. Kepemimpinan atau Popularitas (Leadership/Popularity),penilaian atau keberatian diri
diperoleh seseorang pada saat seseorang harus berperilaku sesuai dengan tuntutan
sosialnya menandakan kemampuan untuk membedakan dirinya dengan orang lain atau
lingkungan tersebut. Dalam situasi ini seseorang akan menerima dirinya serta
membuktikan seberapa besar pengaruh dirinya atau popularitas diantara teman-teman
sebayanya.
c. Keluarga - Orang Tua (Family–Parents), keluarga atau orang tua merupakan porposi
terbesar yang mempengaruhi pembentukkan harga diri. Hal ini disebabkan orang tua dan
keluarga merupakan model pertama dalam proses imitasi, dimana anak akan memberikan
penilaian terhadap dirinya sebagaimana orang tua menilai dirinya yang berlangsung
dalam jangka waktu yang relatif cukup lama.
d. Asertivitas - Kecemasan (Assertiveness–Anxiety), seseorang cenderung terbuka dalam
menerima keyakinan (belief), nilai-nilai (values), sikap (attitude), dan aspek moral dari
seseorang maupun lingkungan tempat dimana seseorang berada jika dirinya diterima dan
dihargai. Sebaliknya seseorang cenderung mengalami kecemasan bila dirinya ditolak
(rejection) oleh lingkungannya.
2.3 Emerging Adulthood
Penelitian ini berfokus pada mahasiswa untuk dijadikan subjek penelitian. Menurut
Arnett (2004) usia mahasiswa S1 adalah 18-22 tahun. Rentang usia ini termasuk dalam
kelompok usia emerging adulthood (18-25 tahun). Tahap perkembangan emerging adulthood
atau dewasa awal dimulai dari umur 18- 25 tahun. Pada tahap perkembangan ini seseorang
telah melepaskan ketergantungannya saat masa kanak-kanak dan remaja, dan mulai memiliki
tanggung jawab yang akan dihadapi pada masa kedewasaan, biasanya seseorang di tahap
emerging adulthood akan mengeksplor berbagai kemungkinan arah kehidupan cinta,
pekerjaan, dan pandangan akan dunia (Arnett, 2000). Karakteristik terpenting dari seseorang
13
pada tahap emerging adulthood adalah berkembang untuk menjadi mandiri, menerima
tanggung jawab dan membuat keputusan (Arnett, 2000).
Emerging adulthood didasari oleh 5 hal (Patterson, 2012), yaitu: (1) Identity
Exploration atau eksplorasi identitas, emerging adulthood menggambarkan tahap
perkembangan dimana seseorang mempelajari apa itu “kehidupan yang baik”. Pada tahap ini
pemuda biasanya menanyakan ke dirinya sendiri pertanyaan identitas yang sulit seperti:
“Siapakah diriku?” “Pekerjaan apa yang aku sukai?” “Bagaiamanakah saya bisa menemukan
kepuasan dalam karir?” (Arnett 2004 dalam, Patterson 2012). (2) Instability atau
ketidakstabilan, hal tersebut lebih mengarah pada ketidakstabilan dalam hubungan, dan
dengan pekerjaan (Patterson, 2012). (3) Self-focus, pada masa ini seseorang belajar untuk
mengurus keidupan dirinya sendiri sebelum mereka mempunyai kewajiban untuk mengurus
kehidupan orang lain (Patterson, 2012). (4) Perasaan “In-Between”, emerging adulthood
berada diantara tahap perkembangan adolescent dan adulthood hal tersebut menyebabkan
terkadang mereka masih merasa seorang remaja dan di sisi lain merasa dirinya adalah
seorang dewasa (Patterson, 2012). (5) Limitless possibilities atau kemungkinan yang tak
terbatas, seseorang di tahap ini mempunyai rencana masa depannya dimana dia akan
bersekolah, tinggal dan bekerja. Mereka mempunyai rencana, tetapi rencana tersebut bisa saja
sewaktu-waktu berubah dan tidak berjalan sesuai yang mereka harapkan, tidak ada kehidupan
tertentu yang akan dihadapi oleh emerging adulthood (Patterson, 2012).
2.4 Situs Jejaring Sosial (Social Network Sites)
Situs jejaring sosial adalah suatu kumpulan sosial yang terbentuk dari simpul – simpul
(yang umumnya individu atau organisasi) yang dialin satu atau lebih tipe relasi spesifik
seperti nilai, visi, ide, keturunan dll. (Stanley dalam Fatkhurrokhman, 2011). Boyd & Ellison
(2008) mendefinisikan situs jejaring sosial sebagai situs web berbasis pelayanan yang
memungkinkan individu untuk (1) membuat profil publik atau semi-publik dalam sistem
yang terbatas, (2) menuturkan daftar pengguna yang lain dan dengan siapa mereka berbagi,
dan (3) melihat dan menjelajahi daftar mereka atas koneksi dan yang dilakukan oleh orang
lain dalam sistem tersebut. Situs jejaring sosial memungkinkan pengguna untuk saling
berkomunikasi dengan pengguna lainnya dan saling bertukar informasi. Yang membuat situs
jejaring sosial unik adalah mereka memperkenankan individu untuk bertemu orang asing,
tetapi selain itu situs jejaring sosial memungkinkan pengguna untuk bersosial secara nyata
(Boyd & Ellison, 2008).
14
Untuk dapat bersosialisasi dengan mudah biasanya situs jejaring sosial meminta
pengguna untuk melengkapi profilnya terlebih dahulu. Profil tersebut biasanya berupa nama,
umur, jenis kelamin, pekerjaan, hobi, kota tinggal, dan bahkan status hubungan, tidak lupa
pula dengan foto si pengguna. Pengguna memerlukan teman untuk bisa berbagi, mereka bisa
menambah teman sebanyak mungkin yang mereka inginkan. Kata “teman” bisa disalah
artikan, karena hubungan tersebut tidak harus berarti pertemanan yang sebenarnya di
kehidupan nyata, dan alasan seseorang berteman disitus jejaring sosial bisa dengan alasan
yang beragam (Boyd dalam Boyd & Ellison, 2008). Dalam situs jejaring sosial, pengguna
bisa mengutarakan apa yang sedang mereka lakukan atau perasaan yang sedang mereka
rasakan. Teman-teman pengguna bisa memberikan komentar atas apa yang sudah ditulis oleh
pengguna dan begitu pula sebaliknya. Selain itu fitur-fitur lain juga ditambahkan oleh
pembuat situs jejaring sosial agar proses pertukaran informasi berjalan lebih mudah dan
menyenangkan. Pengguna bisa mengunggah foto, video, berbagi tautan dan saling
memberikan komentar atas apa yang sudah dibagi. Bahkan di beberapa situs jejaring sosial
seperti Myspace dan Souncloud pengguna bisa mengupload hasil rekaman musik mereka.
Beberapa situs jejaring sosial seperti Facebookpun menambahkan fitur chatting dimana
pengguna bisa mengobrol dengan teman secara personal.
15
2.5 Kerangka Berpikir
Mahasiswa
Self - Esteem
Penggunaan Situs Jejaring
Sosial yang Berlebihan
Problematic
Internet Use (PIU)
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir
Berdasarkan bagan di atas dapat dilihat bahwa mahasiswa dengan tingkat self-esteem
tertentu (biasanya rendah) dapat menggunakan situs jejaring sosial/Social Networking Sites
(SNS) sebagai pelarian. Dari yang awalnya menggunakan SNS sebagai sarana pelarian,
penggunaannya yang berlebihan dan ada rasa ketergantungan terhadap SNS. Dari
penggunaan yang berlebihan dan rasa ketergantungan itu dapat muncul gejala Problematic
Internet Use (PIU) pada mahasiswa. Secara tidak langsung self-esteem adalah salah satu hal
yang membuat seseorang dapat mengalami gejala PIU. Davis (2001) dan Caplan (2002)
menyatakan bahwa PIU merupakan konsekuensi bukan sebab atau akibat dari kondisi
16
piskologis seseorang yang kurang baik. Self esteem yang rendah biasanya mengarahkan
seseorang untuk menemukan keberhargaan dirinya lewat SNS. Tetapi penggunaan SNS yang
berlebihan dapat menimbulkan masalah lain. Tingkat self-esteem yang rendah membuat
seseorang lebih mudah mengalami gejala PIU (Caplan 2003). Sehingga ketika orang tersebut
mengalami PIU, justru membuat seseorang terus memiliki rasa self esteem yang kurang baik
alias rendah. Ketika individu mengalami masalah psikologi dalam hal hubungan
interpersonal, self-esteem individu tersebut akan terancam (Park, Kang & Kim, 2014).
Seseorang yang mengalami PIU tentu saja hubungan interpersonalnya terganggu karena lebih
memilih berinteraksi melalui internet. Dengan adanya masalah hubungan interpersonal pada
mahasiswa melalui PIU, tingkat self-esteem mahasiswa dapat terancam untuk dapat lebih
rendah lagi. Seseorang yang mengalami gejala PIU akan memunculkan gejala seperti,
Preference for Online Social Interaction (POSI), mood regulation, cognitive preocupation,
compulsive internet use dan negative outcomes.
2.6 Asumsi Penelitian
Asumsi peneltian ini adalah seseorang dengan tingkat self-esteem yang rendah akan
mempunyai gejala PIU yang tinggi. Sedangkan jika seseorang dengan tingkat self-esteem
yang tinggi, akan lebih rendah kemungkinan unutk mengalami gejala PIU.
Download