2.1 Problematic Internet Use

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Problematic Internet Use
2.1.1 Pengertian Problematic Internet Use (PIU)
Problematic Internet Use atau PIU merupakan sindrom multi-dimensi dengan
gejala kognitif maladatif dan perilaku yang menghasilkan dampak negatif dalam sosial,
akademis, atau konsekuensi professional (Caplan, 2005). Davis (2001) mengatakan
bahwa PIU adalah perilaku penggunaan internet yang kurang terkontrol sehingga
menghasilkan dampak negatif pada individu seperti mengalami masalah pada kehidupan
psikososial, sekolah atau kehidupan kerja. Dari beberapa pengertian mengenai PIU
tersebut dapat disimpulkan bahwa PIU merupakan penggunaan internet secara
berlebihan dan tidak terkontrol yang ditandai dengan gejala kognitif maladaptif dan
perilaku yang menghasilkan dampak negatif bagi kehidupan individu. Adapun gejala
kognitif dan perilaku yang muncul dari individu yang mengalami PIU menurut Caplan
(2002) diantaranya; (1) Persepsi sosial mengenai manfaat dari online internet, (2)
Penggunaan kompulsif (kurangnya pengendalian diri seseorang dalam hal penggunaan
internet online bersamaan dengan perasaan bersalah atas ketidakmampuan diri untuk
mengontrol perilaku online), (3) Penggunaan berlebihan (penggunaan internet diatas
normal, melebihi batas waktu yang telah direncanakan, atau tidak lagi mengetahui
waktu ketika sedang online), (4) Perubahan suasana (menggunakan internet untuk
mendukung beberapa perubahan negatif yang terjadi), (5) Penarikan diri (kesulitan
untuk mengendalikan diri saat offline atau jauh dari internet), (6) Persepsi pengendalian
sosial (kontrol sosial saat berinteraksi secara online lebih besar dibandingkan saat
berinterkasi tatap muka).
2.1.2 Klasifikasi Problematic Internet Use (PIU)
Davis (2001) memperkenalkan model cognitive-behavioral dari PIU yang
berfokus pada kognisi maladaptif untuk menjelaskan PIU. Model cognitive-behavioral
dari PIU ini diklasifikasikan menjadi dua tipe, yaitu Spesific Problematic Internet Use
7
8
(SPIU) dan Generalized Problematic Internet Use (GPIU). SPIU mengacu pada kondisi
di mana seorang individu secara patologis menggunakan Internet untuk tujuan tertentu,
seperti seks online atau judi online. Sedangkan GPIU menggambarkan perilaku yang
lebih global dari penyalahgunaan internet, seperti membuang-buang waktu di chat
room, serta membuang-buang waktu untuk online tanpa tujuan tertentu. Dalam
penelitian ini, fokus penelitian yaitu pada perilaku PIU pada situs jejaring sosial
sehingga lebih mengacu pada tipe PIU yang general atau GPIU.
2.1.3 Gejala Problematic Internet Use (PIU)
Awalnya Davis (2001) membuat model cognitive-behavioral dari PIU yang
berfokus pada kognisi maladaptif yang diasosiasikan dengan PIU. Lalu model tersebut
dijabarkan lebih lanjut serta validitas dan reabilitasnya diuji secara empiris oleh Caplan
(2002) sehingga menghasilkan alat ukur GPIUS yang terdiri dari 7 sub-dimensi yaitu,
(1) perubahan suasana hati, (2) adanya manfaat sosial yang dirasakan saat online, (3)
dampak negatif dari penggunaan internet, (4) penggunaan internet secara kompulsif, (5)
waktu berlebihan yang dihabiskan untuk online, (6) gejala withdrawal ketika offline,
dan (7) adanya kontrol sosial dari online. Selanjutnya, Caplan (2010) mengeksplorasi
sub dimensi GPIUS dengan mengkonstruk GPIUS2 sehingga menghasilkan empat
dimensi untuk mengukur PIU, yaitu:
1. Preference for online social interaction (POSI).
Mengacu pada keyakinan bahwa berinteraksi melalui internet lebih aman, lebih
nyaman dan efektif, serta kurang mengancam dibandingkan interaksi tatap muka
(Caplan, 2007; Kim & Davis, 2009). Individu yang memiliki masalah psikososial
seperti kesepian, atau memiliki kemampuan bersosialisasi yang rendah akan
cenderung mengembangkan POSI karena mereka merasa lebih nyaman berinterkasi
secara online dan merasa diri mereka lebih mampu bersosialisasi ketika mereka
berinterkasi dengan orang lain secara online dibandingkan tatap muka (Caplan,
2007). Studi lain juga menunjukkan bahwa individu yang memiliki masalah
interpersonal dilaporkan memiliki tingkat POSI yang lebih tinggi. Oleh karena itu
POSI menjadi komponen penting dari GPIU untuk menjelaskan mengapa orangorang tertentu menunjukkan indikator lain dari penggunaan internet yang
9
bermasalah seperti pergi online untuk meregulasi suasana hati dan memiliki
deficient self-regulation (Caplan, 2010).
2. Mood regulation
Regulasi suasana hati atau mood regulation mengacu pada penggunaan internet
untuk mengurangi perasaan terisolasi atau gangguan emosi (Caplan, 2002; 2007,
dalam Caplan, 2010). Jadi, individu menggunakan internet karena adanya motivasi
untuk meregulasi suasana hati negatifnya. Kemudian hal ini menjadi problematic
karena Caplan (2007) melalui studinya mengatakan bahwa individu yang memiliki
kecemasan dalam sosial cenderung lebih memilih interaksi online untuk
berinterkasi dengan orang lain karena dengan begitu mereka dapat mengurangi
kecemasan mereka akan kehadiran dirinya dalam situasi interpersonal (Caplan,
2010). Oleh karena itu, motivasi penggunaan internet untuk meregulasi suasana hati
menjadi problematic karena saling berhubungan dengan POSI yang akhirnya akan
membawa konsekuensi negative seperti penarikan diri atau isolasi (Davis, 2001).
3. Deficient self-regulation
Deficient self-regulation atau kurangnya regulasi diri dikonseptualisasikan sebagai
keadaan dimana individu secara kognitif merasa asik dengan internet sehingga
selalu terobsesi untuk menggunakannya dan mengalami perilaku yang kompulsif
dalam menggunakan internet karena gagal dalam mengontrol perilakunya (Caplan,
2010; Gámez-Guadix, Orue, & Calvete, 2013). Secara spesifik, deficient selfregulation terbagi menjadi dua aspek, yaitu :
a. Cognitive preoccupation
Cognitive preoccupation mengacu pada pola pemikiran obsesif dalam
menggunakan internet, seperti adanya pemikiran bahwa seseorang tidak
dapat berhenti mengakses internet atau ketika sedang tidak mengakses
internet individu tidak dapat berhenti memikirkan apa yang terjadi pada
internet (Caplan, 2010).
b. Compulsive internet use
Compulsive internet use adalah keinginan seseorang untuk terus mengakses
internet bahkan ketika dirinya tidak sedang memiliki keperluan untuk
10
menggunakan internet. Individu mengalami kesulitan untuk mengontrol
waktu yang dihabiskan untuk berinternet, serta kesulitan untuk mengontrol
penggunaan internet (Caplan, 2010).
4. Negative outcome
Negative outcome atau dampak negatif adalah konsekuensi dari perilaku
penyalahgunaan Internet (PIU). Beberapa dampak negatif yang dialami biasanya
seperti sulit mengatur hidupnya, gangguan pada kehidupan sosialnya, serta
permasalahan lainnya (Caplan, 2010).
2.2 Self - Regulation
2.2.1 Definisi Self - Regulation
Self-regulation atau regulasi diri didefinisikan sebagai "kapasitas untuk
merencanakan, memandu, dan memonitor perilaku individu secara fleksibel dalam
menghadapi perubahan keadaan" (Brown, 1998). Carver dan Scheier (1982)
mendefinisikan self-regulation sebagai kemampuan untuk merencanakan dan mencapai
hasil adaptif yang diinginkan melalui perilaku yang diarahkan pada tujuan yang
diinginkan. Hal ini juga melibatkan penundaan terhadap kepuasan sementara. Lebih
lanjut Carey, Neal dan Collins (2004) mengacu pada konsep self-regulation dari brown
(1998) mengatakan bahwa regulasi diri mengarahkan individu untuk secara efektif
mengatur tindakan mereka dalam bergerak menuju pemenuhan kebutuhan atau tujuan
yang diinginkan (tujuan jangka panjang) sehingga memungkinkan individu untuk
menunda kepuasan instan (tujuan jangka pendek). Berdasarkan definisi-definisi tersebut
menunjukkan bahwa self-regulation atau regulasi diri sangat penting bagi individu agar
dapat secara efektif mencapai tujuan yang diinginkan (Baumeister, Heatherton, & Tice,
1994).
2.2.2
Proses Self - Regulation
Untuk mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan tersebut, Carver dan Scheier
(1982) membagi proses self-regulation yang disebut dengan self-regulatory menjadi
11
tiga komponen, yaitu (1) tujuan perilaku atau hasil yang diinginkan (standar), (2)
membandingkan diri atau keadaan saat ini dengan standar yang sudah ada (monitoring),
dan (3) melakukan perubahan pada diri atau perilaku atau keadaan saat ini jika pada
proses monitoring dirasa jauh dari standar. Selanjutnya Miller dan Brown (1991)
mengembangkan komponen proses self-regulation tersebut serta mengkonstruknya
menjadi 7 dimensi, yaitu:
1. Receiving relevant information
Menerima informasi yang relevan. Ini adalah proses awal dari regulasi diri pada
individu. Proses ini ditandai dengan menerima informasi dari berbagai sumber agar
individu dapat mengetahui karakter yang lebih khusus dari suatu masalah.
2. Evaluating the information and comparing it to norms
Pada tahap ini, individu melakukan evaluasi terhadap informasi yang didapatnya
dan membandingkannya dengan standar. Dalam proses evaluasi ini, individu
menganalisa informasi dengan membandingkan suatu masalah yang terdeteksi dari
luar diri (eksternal) dengan pendapat pribadinya (internal) yang terbentuk dari
pengalaman sebelumnya yang serupa.
3. Triggering Change
Mempersiapkan perubahan. Pada tahap ini individu menghindari hal-hal atau
pemikiran-pemikiran yang tidak sesuai dengan informasi yang didapat yang
dibandingkan dengan norma atau standar yang ada dan mulai mempertimbangkan
perubahan.
4. Searching for options
Mencari solusi alternatif. Setelah melewati tahap ketiga, individu mengalami
masalah atau pertentangan dalam diri sehingga individu mencari solusi alternative
untuk meredakan masalah atau pertentangan tersebut guna mencapai perubahan.
Jadi pada tahap ini individu terlibat dalam proses mencari alternatif untuk
memenuhi tujuan dari perubahan.
5.
Formulating a plan
Merancang rencana dengan jelas. Setelah mencari solusi alternatif, individu mulai
merancang perencanaan dengan jelas untuk meneruskan tujuan yang telah dibuat,
12
seperti waktu, aktivitas untuk pengembangan, serta aspek-aspek lainnya yang
mampu mendukung pencapaian tujuan dengan efisien dan efektif.
6.
Implementing the plan
Pelaksanaan dari rencana. Setelah merancang perencanaan dengan jelas, pada tahap
ini individu mulai melaksanakan perencanaan yang telah dibuatnya tersebut untuk
mencapai tujuan.
7.
Assessing the plan's effectiveness
Mengukur efektifitas dari rencana yang telah dibuat, Pengukuran ini dapat
membantu dalam menentukan dan menyadari apakah perencanaan yang
direalisasikan itu sesuai dengan yang diharapkan atau tidak, serta apakah hasil yang
didapat sesuai dengan yang diharapkan atau tidak.
Gambar 2.1 Skema Proses Self-Regulatory
Receiving
Ketika seorang mahasiswa ingin terhindar dari PIU, ia terlebih
dahulu mencari informasi yang relevan terkait dengan PIU.
Evaluating
Setelah ia mencari informasi yang relevan, lalu ia membandingkan
informasi yang didapatnya tersebut dengan standar dalam dirinya
mengenai PIU.
Triggering
Setelah ia melakukan evaluasi mengenai informasi yang ia dapat, ia
mulai mempersiapkan perubahan dalam dirinya dengan
mempertimbangkan hasil evaluasi tersebut. Ia mulai mempersiapkan
diri untuk mengurangi waktu untuk online, yang biasanya dua jam
dalam sehari menjadi satu jam dalam sehari.
13
Searching
Pada saat ia mempersiapkan perubahan, muncul perasaan tidak
nyaman untuk mengurangi waktu online sehingga ia melakukan
pencarian tentang solusi alternatif, misalnya pergi ke psikiater atau
psikolog.
Formulating
Setelah ia melewati tahap ke empat, ia mulai menyusun atau
merancang rencana dengan jelas untuk tidak mengalami PIU.
Implementing
Setelah menyusun rencana yang jelas, mahasiswa tersebut mulai
melaksanakannya.
Assessing
Mahasiswa tersebut mulai mengukur apakah rencana yang sudah ia
jalani hasilnya sesuai harapan atau tidak.
Dari gambar 2.1 tersebut dapat dilihat contoh skema dari proses self-regulatory
dimana proses tersebut dimulai dari receiving sampai assessing. Proses tersebut akan
terus berjalan dengan kembali lagi pada tahap receiving dan evaluating sampai individu
tersebut merasa dirinya sudah sesuai dengan norma atau standar yang ia dapatkan dari
informasi pada saat proses receiving awal.
Menurut Miler dan Brown (1991), kegagalan pada salah satu tahap dari proses
self-regulatory dapat menyebabkan goyahnya perilaku self-regulation pada individu.
Lebih lanjut Brown (1998) mengatakan bahwa kegagalan dalam proses self-regulation
dapat berkontribusi pada gangguan regulasi dari perilaku, seperti gangguan adiktif.
14
Selain dapat menghasilkan perilaku adiktif, kegagalan dari self-regulation juga dapat
menghasilkan berbagai masalah, seperti masalah emosional, prestasi akademik,
berbagai kegagalan pada kinerja tugas, perilaku kompulsif, dan sebagainya (Baumeister
&Vohs, 2007). Hal ini dikarenakan self-regulation merupakan proses yang kompleks
sehingga dapat berpengaruh pada seluruh aspek kehidupan individu (Baumeister &
Heatherton, 1996). Oleh karena itu, individu yang memiliki self-regulation yang tinggi
cenderung mampu untuk mengembangkan serta memonitoring perilaku mereka untuk
mencapai tujuan adaptif atau tujuan yang diinginkannya (tujuan jangka panjang).
Sedangkan individu yang kurang memiliki self-regulation cenderung memilih kegiatan
yang dapat memberikan kepuasan instan (tujuan jangka pendek) (Hustad, Carey, Carey,
& Maisto, 2009).
2.3 Situs Jejaring Sosial (SJS)
Situs jejaring sosial atau yang biasa disingkat dengan SJS merupakan layanan
berbasis jaringan publik yang memungkinkan penggunanya membangun profil pribadi,
membatasi koneksi dengan siapa individu berbagi, serta melihat dan merespon posting
dari pengguna lain (Boyd & Ellison, 2007). Menurut Morahan-Martin dan Schumacher
(2000), situs jejaring sosial adalah bagian internet yang paling memungkinkan untuk
menghasilkan dampak negatif bagi penggunanya karena terdapat aspek sosial yang bisa
didapat didalamnya, seperti mencari dukungan sosial, berkomunikasi dengan orang lain,
dan lain-lain. Oleh karena itu situs jejaring sosial banyak diminati oleh individu.
Sebagian besar individu yang tertarik pada situs jejaring sosial adalah individu yang
masuk dalam usia emerging adulthood (usia18-25 tahun). Hal tersebut terlihat dari hasil
riset APJII (2015) pada tahun 2014 yang menunjukkan bahwa 49% dari pengguna
internet di Indonesia adalah usia 18-25 tahun.
Didalam situs jejaring sosial terdapat beberapa aspek yang membuatnya sangat
diminati. Boyd dan Ellison (2007) menyebutkan bahwa aspek-aspek tersebut antara lain
adalah: (1) Impression management, yaitu digunakan untuk membangun identitas untuk
menguatkan jalinan pertemanan dimana pengguna dapat membangun suatu profil
tentang dirinya, (2) Networks and network structure, merupakan struktur jaringan dan
sekumpulan data yang ada pada situs jejaring sosial yang digunakan untuk
15
menggambarkan suatu interkasi, (3) Online or offline social networks, memungkinkan
situs jejaring sosial dapat menghubungkan individu ketika dalam keadaan online
maupun offline, dan (4) Privacy, terkait pengaturan privasi yang bisa dilakukan oleh
pengguna untuk mengelola hal-hal yang ingin ditampilkan pada halaman profil.
2.4 Emerging Adulthood
Emerging adulthood merupakan masa peralihan dari tahap remaja menuju tahap
dewasa (Santrock, 2015). Menurut Arnett (2000), individu yang dimaksud dengan
emerging adulthood adalah individu dengan rentang usia 18 – 25 tahun.
Menurut Susantoro (2007) mahasiswa adalah individu yang masuk dalam masa
peralihan dari tahap remaja ke tahap dewasa. Berdasarkan definisi dari mahasiswa
tersebut, maka dalam tahap perkembangannya mahasiswa masuk dalam usia emerging
adulthood.
Pada usia ini, individu ditandai dengan keinginan mencoba untuk memiliki
hubungan dengan orang lain berkaitan dengan cinta, kerja, dan pandangan dunia akan
dirinya (Arnett, 2000). Hal ini dikarenakan pada usia emerging adulthood, individu
belum sepenuhnya dewasa sehingga mereka masih dalam pembentukan identitas diri
sebagai dewasa (Papalia, Olds & Feldman, 2007). Oleh karena itu, emerging adulthood
sangat membutuhkan hubungan dengan orang lain untuk membantu mendorong
identitas diri mereka. Untuk memenuhi itu semua, individu yang masuk dalam tahap
perkembangan emerging adulthood lebih memilih untuk menjalin hubungan lewat situs
jejaring sosial agar bisa mendapat umpan balik dan penguatan hubungan (Pempek,
Yermolayeva, & Calvert, 2009).
16
2.5 Kerangka Berpikir
Rendahnya Selfregulation
Penggunaan situs jejaring
sosial yang berlebihan
pada mahasiswa
PIU
Dampak negatif seperti
masalah akademik,
pekerjaan, serta masalah
psikososial, dan lainlain.
Gambar 2.2 Kerangka berpikir
Pada Gambar 2.2 terdapat kerangka berpikir yang melatar belakangi penelitian
ini. Hal tersebut diawali dengan fenomena internet yang saat ini sudah menjadi
kebutuhan bagi sebagian besar individu. Hal ini dikarenakan akses internet yang mudah
dan terdapat berbagai keuntungan lainnya yang ditawarkan oleh internet, salah satunya
adalah kemudahan dalam berkomunikasi. Kemudahan dalam berkomunikasi tersebut
bisa didapat melalui situs jejaring sosial.
Berdasarkan data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia tahun
2014, sebanyak 87,4% dari 88,1 juta pengguna internet di Indonesia mengakses situs
jejaring sosial (APJII, Maret 2015). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Lenhart,
Purcell, Smith, dan Zickuhr (2010), mengungkapkan bahwa 72% dari seluruh
mahasiswa di Amerika aktif mengakses situs jejaring sosial. Di Indonesia sendiri
menurut hasil riset APJII pada tahun 2014, sebanyak 49% dari pengguna internet di
Indonesia berada pada rentang usia 18-25 tahun (APJII, 2015). Hal tersebut cukup
membuktikan bahwa kalangan yang lebih banyak menggunakan jejaring sosial adalah
mahasiswa. Hal ini dikarenakan pada tahap perkembangannya, yaitu emerging
adulthood, mahasiswa cenderung butuh untuk menjalin hubungan yang lebih dekat
dengan orang lain (Arnett, 2000; Santrock, 2015) sehingga untuk memenuhi kebutuhan
itu semua, mahasiswa lebih cenderung memilih menggunakan situs jejaring sosial
(Pempek, Yermolayeva, & Calvert, 2009).
17
Namun, pada kenyataannya penggunaan situs jejaring sosial mampu membawa
dampak negatif bagi penggunannya jika penggunaannya berlebihan. Perilaku
penggunaan internet yang berlebihan ini disebut dengan problematic internet use (PIU).
Lebih jelasnya Caplan (2005) mendefinisikan PIU sebagai sindrom multi-dimensi
dengan gejala kognitif maladatif dan perilaku yang menghasilkan dampak negatif dalam
sosial, akademis, atau konsekuensi professional. Definisi mengenai PIU dari Caplan
(2005) tersebut dibuat berdasarkan teori cognitive-behavioral dari Davis (2001)
mengenai PIU yang dimana Davis (2001) mengatakan bahwa PIU diakibatkan oleh
penggunaan internet yang berlebihan. Penggunaan internet secara berlebihan ini
diakibatkan oleh kurangnya self-regulation pada individu (dalam hal ini mahasiswa)
(Sebena, Orosova, & Benka, 2013) yang pada akhirnya mengakibatkan PIU sehingga
muncul dampak negatif yang dapat mengganggu kehidupan mahasiswa.
Menurut Brown (1998), self-regulation adalah kapasitas atau kemampuan
individu untuk merencanakan, memandu, dan memonitor perilakunya untuk mencapai
tujuan yang diinginkan (tujuan jangka panjang), hal ini melibatkan penundaan dari
kepuasan instan (tujuan jangka pendek). Sementara itu, self-regulation merupakan
bagian dari gejala PIU yang didefinisikan sebagai merasa asik dengan internet sehingga
selalu terobsesi untuk menggunakannya dan mengalami perilaku yang kompulsif dalam
menggunakan internet karena gagal dalam mengontrol perilakunya (Caplan, 2010).
Literatur lain juga mengatakan bahwa PIU disebabkan oleh kurangnya self-regulation
(LaRose, Kim, & Peng, 2009; Caplan, 2010). Hal ini terjadi disebabkan karena salah
satu sumber dari perilaku bermasalah dalam penggunaan internet atau PIU dikaitkan
dengan fakta bahwa internet mampu menyediakan kepuasan instan secara langsung
pada individu seperti, menjadi sarana untuk meregulasi emosi, menjadi alternatif
komunikasi bagi orang-orang dengan kharakteristik kepribadian tertentu, yang dimana
hal tersebut bisa didapat melalui situs jejaring sosial (Sebena, Orosova, & Benka, 2013).
Sehingga pengguna situs jejaring sosial dengan self-regulation yang rendah akan
cenderung untuk memilih memuaskan tujuan jangka pendeknya dibandingkan tujuan
jangka panjangnya, yaitu tergoda untuk membuka akun situs jejaring sosial yang
mereka miliki disaat mereka harus menyelesaikan aktifitas yang lain. Akibatnya jika hal
tersebut dilakukan secara terus menerus, maka penggunaan situs jejaring sosialnya
menjadi berlebihan dan pada akhirnya menyebabkan PIU. Sebaliknya, pengguna situs
18
jejaring sosial dengan self-regulation yang tinggi akan cenderung untuk memilih
memuaskan tujuan jangka panjangnya dibandingkan tujuan jangka pendeknya dengan
tetap menyelesaikan aktifitas yang menjadi tujuan jangka panjangnya dan menunda
untuk membuka akun situs jejaring sosial yang ia miliki sebelum aktifitas dari tujuan
jangka panjangnya terselesaikan. Sehingga dengan begitu para pengguna situs jejaring
sosial akan terhindar dari PIU.
Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa mahasiswa pengguna situs
jejaring sosial dengan self-regulation yang tinggi mampu merencanakan, memandu, dan
memonitoring perilaku mereka untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan serta
cenderung mampu menunda kepuasan instan dari situs jejaring sosial. Sedangkan
individu dengan self-regulation yang rendah kurang mampu dalam merencanakan,
memandu, dan memonitoring perilaku mereka untuk mencapai tujuan yang mereka
inginkan serta mereka cenderung memilih untuk memenuhi kepuasan secara instan yang
didapat melalui situs jejaring sosial sehingga mereka rentan mengalami PIU.
Singkatnya, semakin tinggi self-regulation, maka semakin rendah tingkat mahasiswa
pengguna situs jejaring sosial untuk mengalami PIU, dan semakin rendah selfregulation, maka semakin tinggi tingkat mahasiswa pengguna situs jejaring sosial untuk
mengalami PIU.
2.6 Asumsi Penelitian
Berdasarkan kerangka berpikir yang sudah peneliti buat, diduga bahwa terdapat
hubungan negatif antara self-regulation dengan problematic internet use (PIU) pada
mahasiswa pengguna situs jejaring sosial di Jakarta dengan asumsi penelitian, yaitu jika
semakin tinggi self-regulation yang dimiliki oleh mahasiswa pengguna situs jejaring
sosial, maka semakin rendah tingkat PIU yang dialami. Sebaliknya, semakin rendah
self-regulation yang dimiliki mahasiswa pengguna situs jejaring sosial, maka semakin
tinggi tingkat PIU yang dialami.
Download