BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ergonomi 2.1.1

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Ergonomi
2.1.1 Defenisi Ergonomi
Kata ergonomi berasal dari bahasa Yunani: ergon (kerja) dan nomos
(peraturan, hukum). Pada berbagai negara digunakan istilah yang berbeda, seperti
Arbeitswissenschaft di Jerman, Human Factors Engineering atau Personal
Research di Amerika Utara. Ergonomi adalah penerapan ilmu-ilmu biologis
tentang manusia bersama-sama dengan ilmu teknik dan teknologi untuk mencapai
penyesuaian satu sama lain secara optimal dari manusia terhadap pekerjaannya,
yang manfaat dari padanya diukur dengan efisiensi dan kesejahteraan kerja
(Suma’mur, 2009).
Ergonomi dapat didefinisikan sebagai studi tentang aspek-aspek manusia
dalam lingkungan kerjanya yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi,
engineering, manajemen dan desain/perancangan. Ergonomi berkenaan pula
dengan optimasi, efisiensi, kesehatan, keselamatan, kenyamanan manusia di
tempat kerja, di rumah, dan tempat rekreasi. Di dalam ergonomi dibutuhkan studi
tentang sistem dimana manusia, fasilitas kerja dan lingkungannya saling
berinteraksi dengan tujuan utama yaitu menyesuaikan suasana kerja dengan
manusianya. Ergonomi juga digunakan oleh berbagai macam ahli/professional
pada bidangnya misalnya: ahli anatomi, arsitektur, perancangan produk industri,
fisika, fisioterapi terapi pekerjaan, psikologi, dan teknik industri (Nurmianto,
2004).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Tarwaka (2004) ergonomi adalah ilmu, seni dan penerapan
teknologi untuk menyerasikan atau menyeimbangkan antara segala fasilitas yang
digunakan baik dalam beraktifitas maupun istirahat dengan kemampuan dan
keterbatasan manusia baik fisik maupun mental sehingga kualitas hidup secara
keseluruhan menjadi lebih baik.
Jadi, ergonomi pada hakikatnya berarti ilmu tentang kerja, yaitu
bagaimana pekerjaan dilakukan dan bagaimana bekerja lebih baik sehingga
ergonomi sangat berguna dalam desain pelayanan atau proses. Dengan demikian,
ergonomi membantu menentukan bagaimana digunakan, bagaimana memenuhi
kebutuhan , dan membuat nyaman serta efisien. Ergonomi berbicara mengenai
desain sistem terutama sistem kerja agar sesuai dengan atribut atau karakteristik
manusia (to fit the job to the man).
2.1.2
Tujuan Ergonomi
Secara umum tujuan dari penerapan ergonomi adalah :
1. Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya pencegahan
cedera dan penyakit akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan mental,
mengupayakan promosi dan kepuasan kerja.
2. Meningkatkan kesejahteraan sosial melalui peningkatan kualitas kontak sosial,
mengelola dan mengkoordinir kerja secara tepat guna dan meningkatkan
jaminan sosial baik selama kurun waktu usia produktif maupun setelah tidak
produktif.
3. Menciptakan keseimbangan rasioanal antara berbagai aspek yaitu aspek
teknis, ekonomis, antropologis dan budaya dari setiap sistem kerja yang
Universitas Sumatera Utara
dilakukan sehingga tercipta kualitas kerja dan kualitas hidup yang tinggi.
(Tarwaka, 2004).
Ergonomi bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja pada
suatu institusi atau organisasi. Hal tersebut dapat tercapai apabila adanya
kesesuaian antara pekerja dan pekerjaannya. Pendekatan ergonomi mencoba untuk
mencapai kesesuaian tersebut untuk kebaikan pekerja dan pimpinan institusi.
Untuk menghindari sikap dan posisi kerja yang kurang baik ini
pertimbangan-pertimbangan ergonomi antara lain menyarankan hal-hal seperti :
1. Mengurangi keharusan operator untuk bekerja dengan sikap dan posisi
membungkuk dengan frekuensi kegiatan yang sering atau jangka waktu lama.
2. Operator tidak seharusnya menggunakan jarak jangkauan maksimum yang
bisa dilakukan.
3. Operator tidak seharusnya duduk atau berdiri pada saat bekerja untuk waktu
yang lama dengan kepala, leher, dada atau kaki berada dalam sikap atau posisi
miring.
4. Penetapan sikap dan posisi kerja sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan
tersebut diatas pada dasarnya bertujuan memberikan kenyamanan pada
pekerja dengan memperhatikan sikap dan posisi kerja yang mereka senangi
(Nurmianto, 2004).
2.1.3
Prinsip Ergonomi
Prinsip-prinsip ergonomi yaitu :
1. Segala sesuatu harus mudah dijangkau
2. Bekerja pada ukuran ketinggian yang nyaman
3. Bekerja dalam posisi postur yang nyaman
Universitas Sumatera Utara
4. Menghindari penggunaan tenaga yang berlebihan
5. Memperkecil kelelahan
6. Mengurangi gerakan-gerakan repetitif yang berlebihan
7. Penyediaan kemudahan dalam akses dan luas ruangan
8. Meminimalisasi kontak stress
9. Buatlah kemungkinan sehingga postur bisa bergerak dan berubah dengan
mudah
10. Mengusahakan lingkungan yang nyaman (Winarsunu, 2008)
2.2
Sikap Kerja
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan sikap tubuh
dalam melakukan pekerjaan, yaitu :
1. Semua pekerjaan hendaknya dilakukan dalam sikap duduk atau sikap berdiri
secara bergantian.
2. Semua sikap tubuh yang tidak alami harus dihindarkan. Seandainya hal ini
tidak memungkinkan, hendaknya diusahakan agar beban statis diperkecil.
3. Tempat duduk harus dibuat sedemikian rupa, sehingga tidak membebani
melainkan dapat memberikan relaksasi pada otot – otot yang sedang tidak
dipakai untuk bekerja dan tidak menimbulkan penekanan pada bagian tubuh
(paha). Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya gangguan sirkulasi
darah dan juga untuk mencegah keluhan kesemutan yang dapat mengganggu
aktivitas (Anies, 2014).
Sikap tubuh dalam bekerja terdiri dari :
1. Sikap kerja duduk
Universitas Sumatera Utara
Sikap kerja duduk merupakan sikap kerja yang kaki tidak terbebani
dengan berat tubuh dan posisi stabil selama bekerja. Duduk memerlukan lebih
sedikit energi daripada berdiri karena hal itu dapat mengurangi banyaknya beban
otot statis pada kaki. Kegiatan bekerja sambil duduk harus dilakukan secara
ergonomi sehingga dapat memberikan kenyamanan dalam bekerja. Sikap duduk
yang keliru merupakan penyebab adanya masalah – masalah punggung. Hal ini
dapat terjadi karena tekanan pada bagian tulang belakang akan meningkat pada
saat duduk dibandingkan dengan saat berdiri ataupun berbaring. Jika diasumsikan
tekanan tersebut sekitar 100% ; maka cara duduk yang tegang atau kaku (erect
posture) dapat menyebabkan tekanan tersebut mencapai 140% dan cara duduk
yang dilakukan dengan membungkuk ke depan menyebabkan tekanan tersebut
sampai 190% (Nurmianto, 2004).
Sikap duduk paling baik yang tidak berpengaruh buruk terhadap sikap
badan dan tulang belakang adalah sikap duduk dengan sedikit lardosa pada
pinggang dan sedikit mungkin kifosa pada punggung (Suma’mur, 1989). Sikap
duduk yang benar yaitu sebaiknya duduk dengan punggung lurus dan bahu berada
dibelakang serta bokong menyentuh belakang kursi. Selain itu, duduklah dengan
lutut tetap setinggi atau sedikit lebih tinggi panggul (gunakan penyangga kaki)
dan sebaiknya kedua tungkai tidak saling menyilang. Jaga agar kedua kaki tidak
menggantung dan hindari duduk dengan posisi yang sama lebih dari 20-30 menit.
Selama duduk, istirahatkan siku dan lengan pada kursi, jaga bahu tetap rileks
(Hasibuan, 2011).
Keuntungan bekerja sambil duduk adalah sebagai berikut :
a. Kurangnya kelelahan pada kaki.
Universitas Sumatera Utara
b. Terhindarnya sikap – sikap yang tidak alamiah.
c. Berkurangnya pemakaian energi dalam bekerja.
d. Kurangnya tingkat keperluan sirkulasi darah.
Namun, kegiatan bekerja sambil duduk juga dapat menimbulkan kerugian/
masalah bila dilakukan secara tidak ergonomis. Kerugian tersebut antara lain :
a. Melembeknya otot – otot perut.
b. Melengkungnya punggung.
c. Tidak baik bagi organ dalam tubuh, khususnya pada organ pada sistem
pencernaan jika posisi dilakukan secara membungkuk.
2. Sikap kerja berdiri.
Selain sikap kerja duduk, sikap kerja berdiri juga banyak ditemukan di
perusahaan. Sikap kerja berdiri merupakan sikap kerja yang posisi tulang
belakang vertikal dan berat badan tertumpu secara seimbang pada dua kaki.
Bekerja dengan posisi berdiri terus menerus sangat mungkin akan terjadi
penumpukan darah dan berbagai cairan tubuh pada kaki dan hal ini akan
bertambah bila berbagai bentuk dan ukuran sepatu yang tidak sesuai. Sikap kerja
berdiri dapat menimbulkan keluhan subjektif dan juga kelelahan bila sikap kerja
ini tidak dilakukan bergantian dengan sikap kerja duduk (Hasibuan, 2011).
3. Kerja Berdiri Setengah Duduk
Berdasarkan penelitian Santoso dalam Hasibuan (2011) bahwa tenaga
kerja bubut yang telah terbiasa bekerja dengan posisi berdiri tegak diubah menjadi
posisi setengah duduk tanpa sandaran dan setengah duduk dengan sandaran,
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat kelelahan otot biomekanik antar
kelompok.
Menurut Suma’mur (1989) posisi kerja yang baik adalah bergantian antara
posisi duduk dan posisi berdiri, akan tetapi antara posisi duduk dan berdiri lebih
baik dalam posisi duduk. Hal itu dikarenakan sebagian berat tubuh di sangga oleh
tempat duduk disamping itu konsumsi energi dan kecepatan sirkulasi lebih tinggi
dibandingkan tiduran, tetapi lebih rendah dari pada berdiri. Posisi duduk juga
dapat mengontrol kekuatan kaki dalam pekerjaan, akan tetapi harus memberi
ruang yang cukup untuk kaki karena bila ruang yang tersedia sangat sempit maka
sangatlah tidak nyaman.
2.3
Sikap Tubuh Alamiah
Sikap tubuh alamiah yaitu sikap atau postur dalam proses kerja yang
sesuai dengan anatomi tubuh, sehingga tidak terjadi pergeseran atau penekanan
pada bagian penting tubuh seperti organ tubuh, syaraf, tendon, dan tulang
sehingga
keadaan
menjadi
relaks
dan
tidak
menyebabkan
keluhan
muskuloskeletal dan sistem tubuh yang lain (Merulalia, 2010).
1. Pada tangan dan pergelangan tangan
Sikap normal pada bagian tangan dan pergelangan tangan adalah berada
dalam keadaan garis lurus dengan jari tengah tidak miring ataupun mengalami
fleksi atau ekstensi.
2. Pada leher.
Sikap atau posisi normal leher, lurus dan tidak miring atau memutar ke
samping kiri atau kanan sehingga tidak terjadi penekanan pada discus tulang
cervical.
Universitas Sumatera Utara
3. Pada bahu
Sikap atau posisi normal pada bahu adalah dalam keadaan tidak
mengangkat dan siku berada dekat dengan tubuh sehingga bahu kiri dan kanan
dalam keadaanlurus dan proporsional.
4. Pada punggung
Sikap atau postur normal dari tulang belakang untuk bagian toraks adalah
kiposis dan bagian lumbal adalah lordosis serta tidak miring ke kiri atau ke kanan.
Kasus umum yang berkaitan dengan sikap kerja adalah :
1. Leher dan kepala inklinasi ke depan karena medan display terlalu rendah dan
objek terlalu kecil.
2. Sikap kerja membungkuk, karena medan kerja terlalu rendah dan objek diluar
medan jangkauan.
3. Lengan terangkat yang diiringi dengan bahu terangkat, fleksi dan abduksi pada
muskulus trapesius dan levator pada skapula seratus anterior, deltoid dan
supra spinator bisep. Ketentuan bahu terangkat dan terabduksi.
4.
Pada sikap asimetris terjadi perbedaan beban pada kedua sisi tulang belakang.
Posisi tubuh yang tidak alamiah dan cara kerja yang tidak ergonomis
dalam waktu lama dan terus menerus dapat menyebabkan berbagai gangguan
kesehatan pada pekerja antara lain :
1. Rasa sakit pada bagian-bagian tertentu sesuai jenis pekerjaan yang dilakukan
seperti pada tangan, kaki, perut, punggung, pinggang dan lain-lain.
2. Menurunnya motivasi dan kenyamanan kerja.
3. Gangguan gerakan pada bagian tubuh tertentu (kesulitan mengerakkan kaki,
tangan atau leher/kepala).
Universitas Sumatera Utara
4. Dalam waktu lama bisa terjadi perubahan bentuk tubuh (tulang miring,
bongkok).
Untuk bisa mencapai efisiensi dan produktivitas kerja yang optimal serta
memberikan rasa nyaman pada saat bekerja bisa dilakukan dengan cara :
1. Menghindarkan sikap tubuh yang tidak alamiah.
2. Mengusahakan agar beban statis sekecil mungkin.
3. Membuat dan menentukan kriteria serta ukuran baku tentang sarana kerja
(meja, kursi, dll.) yang sesuai dengan antropometri pemakainya.
4. Mengupayakan agar sebisa mungkin pekerjaan dilakukan dengan sikap duduk
atau kombinasi duduk dan berdiri (Sinurat, 2011).
2.4
Gangguan Musculoskeletal
2.4.1
Kerja Otot Statis dan Dinamis
Kerja otot dapat statis (menetap) dan dinamis (ritmis, berirama). Pada
kerja otot statis suatu otot menetap berkontraksi untuk suatu periode waktu secara
kontinu, untuk kerja otot dinamis kerutan dan pegenduran suatu otot terjadi silih
berganti. Kedaaan peredaran darah berbeda pada kerja otot statis dan dinamis.
Dalam otot yang bekerja statis, buluh-buluh darah tertekan oleh pertambahan
tekanan dalam otot dan dengan begitu peredaran darah dalam otot berkurang.
Sebaliknya, pada otot yang berkontraksi dinamis berlaku sebagai suatu pompa
bagi peredaran darah.
Otot yang berkontraksi dinamis memperoleh banyak glukosa dan oksigen,
sehingga kaya akan tenaga, dan sisa-sisa metabolismenya dibuang dengan segera.
Otot-otot yang berkontraksi statis tidak mendapatkan glukosa dan oksigen dari
Universitas Sumatera Utara
darah dan harus menggunakan cadangan yang ada. Hal ini lah yang menyebabkan
otot yang berkontraksi statis menderita rasa nyeri dan otot menjadi lelah.
Pekerjaan yang menuntut otot dalam keadaan statis sebaiknya harus
dihindari. Secara fisiologis, sudah terbukti bahwa kerja otot statis kurang efisien
dibanding kerja otot dinamis. Pada kerja otot statis, energi lebih banyak
diperlukan dibanding kerja otot dinamis (Suma’mur, 1989)
2.4.2
Keluhan Musculoskeletal
Keluhan musculoskeletal atau gangguan otot rangka adalah gangguan yang
dialami karena kerusakan pada otot, saraf, tendon, ligament, persendian, kartilago
dan diskus invertebralis. Gangguan dapat berupa kerusakan pada otot yang dapat
berupa ketegangan otot, inflamasi dan degenerasi. Sementara itu, kerusakan pada
tulang dapat berupa memar, mikrofraktur, patah atau terpelintir. (Soedirman dan
Suma’mur, 2014).
Secara garis besar keluhan kesehatan otot dapat dikelompokkan menjadi
dua, yaitu:
1. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot
menerima beban statis, namun demikian keluhan tersebut akan segera hilang
apabila pembebanan dihentikan.
2. Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap.
Walaupun pembebenan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot
masih terus berlanjut. (Tarwaka, 2004)
2.4.3
Faktor Penyebab Terjadinya Keluhan Musculoskeletal
Peter Vi (2000) dalam Tarwaka (2004) menjelaskan bahwa, terdapat
beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan otot skeletal, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
1. Peregangan Otot yang Berlebihan
Peregangan otot yang berlebihan pada umumnya sering dikeluhkan oleh
pekerja dimana aktivitas kerjanya menuntut pengerahan tenaga yang besar seperti
aktivitas mengangkat, mendorong, menarik dan menahan beban yang berat.
Peregangan otot yang berlebihan ini terjadi karena pengerahan tenaga yang
diperlukan melampaui kekuatan optimum otot. Apabila hal serupa sering
dilakukan, maka dapat mempertinggi resiko terjadinya keluhan otot, bahkan dapat
menyebabkan terjadinya cedera otot skeleletal.
2. Aktivitas Berulang
Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus - menerus
seperti pekerjaan mencangkul, membelah kayu besar, angkat – angkut dan lain –
lain. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja secara
terus – menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksasi.
3. Sikap Kerja Tidak Alamiah
Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi
bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah misalnya pergerakan tangan
terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya.
Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi tubuh, maka akan semakin
tinggi pula resiko terjadinya keluhan otot skeletal. Sikap kerja tidak alamiah ini
pada umumnya karena karakteristik tuntutan tugas, alat kerja dan stasiun kerja
tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja.
4. Faktor penyebab sekunder terjadinya keluhan muskuloskeletal, yaitu :
a. Tekanan
Universitas Sumatera Utara
Terjadinya tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak. Sebagai
contoh, pada saat tangan harus memegang alat, maka jaringan otot tangan yang
lunak akan menerima tekanan langsung dari pegangan alat, dan apabila hal ini
sering terjadi, dapat menyebabkan rasa nyeri otot yang menetap.
b. Getaran
Getaran dengan frekuensi tinggi akan menyebabkan kontraksi otot
bertambah. Kontraksi statis ini menyebabkan peredaran darah tidak lancar,
penimbunan asam laktat meningkat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot.
c. Mikroklimat
Paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan kelincahan,
kepekaan dan kekuatan pekerja sehingga gerakan pekerja menjadi lamban, sulit
bergerak yang disertai dengan menurunnya kekuatan otot. Demikian juga dengan
paparan udara yang panas. Beda suhu lingkungan dengan suhu tubuh yang
terlampau besar menyebabkan sebagian energi yang ada dalam tubuh akan
termanfaatkan oleh tubuh untuk beradaptasi dengan lingkungan tersebut. Apabila
hal ini tidak diimbangi dengan pasokan energi yang cukup, maka akan terjadi
kekurangan suplai energi ke otot. Sebagai akibatnya, peredaran darah kurang
lancar, suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolism karbohidrat terhambat
dan terjadi penimbunan asam laktat yang dapat menimbulkan rasa nyeri otot.
5. Penyebab Kombinasi
Selain faktor – faktor yang telah disebutkan di atas, beberapa ahli
menjelaskan bahwa faktor individu lain dapat menyebabkan keluhan otot skeletal .
yaitu :
a. Umur
Universitas Sumatera Utara
Pada umumnya keluhan otot skeletal mulai dirasakan pada usia kerja,
yaitu 25-65 tahun. Keluhan pertama biasanya dirasakan pada umur 35 tahun
dan tingkat keluhan akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya umur.
b. Jenis Kelamin
Beberapa hasil penelitian secara signifikan menunjukkan bahwa jenis
kelamin sangat mempengaruhi tingkat resiko keluhan otot.
Hal ini terjadi karena kemampuan otot wanita lebih rendah daripada pria.
Perbandingan antara keluhan otot pria dan wanita adalah 1:3.
c. Kebiasaan Merokok
Keluhan otot memiliki hubungan dengan lama dan tingkat kebiasaan
merokok. Semakin lama dan tinggi frekuensi merokok, maka semakin tinggi
pula tingkat keluhan otot yang dirasakan. Hal ini terkait dengan kondisi
kesegaran tubuh seseorang karena kebiasaan merokok dapat menurunkan
kapasitas paru-paru, sehingga kemampuan mengkonsumsi oksigen akan turun
dan akibatnya, tingkat kesegaran tubuh juga menurun.
d. Kesegaran Jasmani
Pada umumnya keluhan oto jarang ditemukan pada seseorang yang
dalam aktivitas kesehariannya mempunyai cukup waktu untuk istirahat.
Sebaliknya, bagi yang dalam kesehariannya melakukan pekerjaan yang
memerlukan pengerahan tenaga yang besar, di sisi lain tidak mempunyai
waktu yag cukup untuk istirahat, hamper dapat dipastikan akan terjadi keluhan
otot. Tingkat keluhan otot juga dipengaruhi oleh tingkat kesegaran tubuh.
e. Kekuatan fisik
Universitas Sumatera Utara
Hubungan antara kekuatan fisik dengan keluhan musculoskeletal
masih menjadi perdebatan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya
hubungan signifikan, namun penelitian lainnya menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan antara kekuatan fisik dengan keluhan otot skeletal.
f. Ukuran Tubuh(antropometri)
Walaupun pengaruhnya relatif kecil, berat badan, tinggi badan, dan
massa tubuh merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan
otot skeletal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa wanita dengan tubuh
yang gemuk memiliki resiko dua kali lipat dibandingkan wanita kurus.
Temuan lain juga menyatakan bahwa pada tubuh tinggi umumnya sering
menderita keluhan sakit punggung, tetapi tubuh tinggi tidak mempunyai
pengaruh terhadap keluhan pada leher, bahu dan pergelangan tangan.
2.5 Nordic Body Map
Nordic Body Map merupakan salah satu dari metode pengukuran subyektif
untuk mengukur rasa sakit otot para pekerja. Untuk mengetahui letak rasa sakit
atau ketidaknyamanan pada tubuh pekerja digunakan body map. Melalui Nordic
Body Map dapat diketahui bagian-bagian otot yang mengalami keluhan dengan
tingkat keluhan mulai dari rasa yang tidak nyaman (agak sakit) sampai rasa sangat
sakit (Hasibuan, 2011).
Nordic Body Map (NBM) digunakan untuk melihat dan menganalisis peta
tubuh sehingga dapat diestimisasi jenis dan tingkat keluhan otot skeletal yang
dirasakan oleh pekerja. Cara ini sangat sederhana namun kurang teliti karena
mengandung subjektivitas yang tinggi. Data keluhan muskuloskeletal didapat
dengan menyebar kuesioner kepada pekerja. Dari kuesioner akan ditentukan
Universitas Sumatera Utara
bagian tubuh dari pekerja yang mengalami keluhan muskuloskeletal. Tingkat
keluhan terdiri dari, tidak sakit, agak sakit, sakit, dan sangat sakit. Pertanyaan
yang diajukan dalam kuesioner menyangkut bagian tubuh secara keseluruhan
(Priyadi, 2011).
Hasil Kuesioner akan menetukan keluhan yang dirasakan pekerja pada
waktu bekerja. Nordic Body Map merupakan indikator awal, apabila terjadi
keluhan muskoloskeletal yang dirasakan oleh pekerja. Melalui kuesioner ini
peneliti dapat mengindikasikan keluhan yang dirasakan oleh pekerja. Penilaian
Nordic Body Map berdasarkan jawaban yang diberikan oleh pekerja diantaranya
tidak sakit, agak sakit, sakit, dan sangat sakit. Rasa sakit dengan nilai 1, agak sakit
dengan nilai 2, sakit dengan nilai nilai 3, dan sangat sakit dengan nilai 4. Dari
jawaban ini akan diketahui persentase dari pekerja yang mengalami keluhan
akibat kerja.
Gambar 2.1 Nordic Body Map
(Sumber : Santoso, 2004)
Universitas Sumatera Utara
Keterangan Gambar :
0 : Leher Bag. Atas
10 : Siku Kiri
1 : Leher Bag. Bawah
11 : Siku Kanan
2 : Bahu Kiri
12 : Lengan Bawah Kiri
3 : Bahu Kanan
13 : Lengan Bawah Kanan
4 : Lengan Atas Kiri
14 : Pergelangan Tangan Kiri
5 : Pinggang
15 : Pergelangan Tangan Kanan
6 : Lengan Atas Kanan
16 : Tangan Kiri
7 : Punggung
17 : Tangan Kanan
8 : Bokong
18 : Paha Kiri
9 : Pantat
19 : Paha Kanan
20 : Lutut Kiri
24 : Pergelangan Kaki Kiri
21 : Lutut Kanan
25 : Pergelangan Kaki Kanan
22 : Betis Kiri
26 : Kaki Kiri
23 : Betis Kanan
27 : Kaki Kanan
2.6 Rapid Entire Body Asessment (REBA)
Rapid Entire Body Assesment (REBA) dirancang oleh Lynn Mc Atamney
dan Sue Hignett sebagai sebuah metode penilaian dan pengamatan postur kerja
untuk menilai faktor resiko gangguan tubuh secara keseluruhan dengan cepat dan
mudah. REBA adalah alat analisis untuk memberikan pengamatan terhadap postur
kerja yang cepat dan mudah.
REBA juga merupakan alat analisis untuk kegiatan statis dan dinamis serta dapat
memberikan tingkat tindakan resiko terhadap keluhan musculoskeletal (Qutubudin
dan Quma, 2013).
Universitas Sumatera Utara
Metode REBA tepat untuk menganalisa aktivitas pekerjaan yang dominan
menggunakan tubuh bagian atas karena tubuh bagian atas dianalisa secara detail.
Data yang dikumpulkan adalah data mengenai postur tubuh, kekuatan yang
digunakan, jenis pergerakan atau aksi, pengulangan dan pegangan. Faktor postur
tubuh yang dinilai dibagi atas dua kelompok utama atau grup yaitu grup A yang
terdiri atas postur tubuh kanan dan postur tubuh kiri dari batang tubuh (trunk),
leher (neck) dan kaki (legs). Sedangkan grup B terdiri atas postur kanan dan kiri
dari lengan atas (upper arm), lengan bawah (lower arm), dan pergelangan tangan
(wrist). Pada masing-masing grup, diberikan suatu skala postur tubuh dan suatu
pernyataan tambahan. Diberikan juga faktor beban/kekuatan dan pegangan
(coupling). Skor akhir REBA dihasilkan untuk memberikan sebuah indikasi
tingkat resiko dan tingkat keutamaan dari sebuah tindakan yang harus diambil
(Bukhori, 2010).
Ada 4 tahapan proses perhitungan yang dilalui yaitu :
1. Mengumpulkan data mengenai postur pekerja tiap kegiatan menggunakan
video atau foto
2. Menentukan sudut pada postur tubuh saat bekerja pada bagian tubuh seperti:
a) badan (trunk)
b) leher (neck)
c) kaki (leg)
d) lengan bagian atas (upper arm)
e) lengan bagian bawah (lower arm)
f) pergelangan tangan (hand wrist)
3. Menentukan berat beban, pegangan (coupling) dan aktivitas kerja.
Universitas Sumatera Utara
4. Menentukan nilai REBA untuk postur yang relevan dan menghitung skor
akhir dari kegiatan tersebut (Wakhid, 2014).
Adapun tahapan pengolahan data dapat dilihat sebagai berikut (Tarwaka,
2015):
Gambar 2.2 Pergerakan Punggung
Skor pergerakan punggung dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut ini :
Tabel 2.1 Skor Pergerakan Punggung
Pergerakan
Posisi normal (tegak
0-20ºlurus)
(ke depan
<-20 atau
20-60º
maupun
belakang)
>60º
Skor
1
2
3
4
Skor Perubahan
+1 jika batang tubuh
berputar/bengkok/bungkuk
Gambar 2.3 Pergerakan Leher
Skor untuk pergerakan leher dapat dilihat pada tabel 2.2 dibawah ini
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 Skor Range Pergerakan Leher
Pergerakan
Skor
Skor Perubahan
0-20°
1
>20º - ekstensi
2
+1 jika leher
berputar/bengkok
Gambar 2.4 Pergerakan Kaki
Skor untuk pergerakan kaki dapat dilihat pada tabel 2.3 berikut :
Tabel 2.3 Skor Pergerakan Kaki
Pergerakan
Skor
Skor Perubahan
Posisi normal
1
+1 jika lutut antara 30-60º
Bertumpu pada satu kaki
lurus
2
+2 jika lutut >60º
Gambar 2.5 Pergerakan Lengan Atas
Pemberian skor terhadap pergerakan lengan atas dapat dilihat pada Tabel
2.4 berikut :
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.4 Skor Postur Tubuh Bagian Lengan Atas
Pergerakan
Skor
Skor Perubahan
20° (ke depan maupun ke
belakang)
1
+1 jika bahu naik
>20° (ke belakang) atau 20-45°
2
45-90°
3
>90°
4
+1 jika lengan berputar/bengkok
-1 miring, menyangga berat dari
lengan
Gambar 2.6 Pergerakan Lengan Bawah
Pemberian skor terhadap pergerakan lengan bagian bawah dilihat pada
Tabel 2.5 berikut:
Tabel 2.5 Skor Postur Tubuh Bagian Lengan Bawah
Pergerakan
60-100°
<60° atau >100°
Skor
1
2
Gambar 2.7. Pergerakan Pergelangan Tangan
Universitas Sumatera Utara
Pemberian skor terhadap pergerakan lengan bagian bawah dilihat pada
Tabel 2.6 berikut :
Tabel 2.6 Skor Pergerakan Pergelangan Tangan
Pergerakan
0-15º (ke atas maupun ke bawah)
>15º (ke atas maupun ke bawah)
Skor
1
2
Skor Perubahan
+1 jika pergelangan tangan
putaran menjauhi sisi tengah
Tabel 2.7 Tabel A Skor REBA
Leher
1
Punggung
Kaki
2
3
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
1
2
3
4
1
2
3
4
3
3
5
6
2
2
3
4
5
3
4
5
6
4
5
6
7
3
2
4
5
6
4
5
6
7
5
6
7
8
4
3
5
6
7
5
6
7
8
6
7
8
9
5
4
6
7
8
6
7
8
9
7
8
9
9
Beban
1
2
3
+1
< 50kg
5-10 kg
> 10 kg
Penambahan beban secara
cepat atau tiba-tiba
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.8 Tabel B Skor REBA
Lengan Bawah
Lengan Atas
Pergelangan
1
2
1
2
3
1
2
3
1
1
2
3
1
2
3
2
1
2
3
2
3
4
3
3
4
5
4
5
5
4
4
5
5
5
6
7
5
6
7
8
7
8
8
6
7
8
8
8
9
9
Coupling
0 - Good
1 - Fair
2 - Poor
3 - Unacceptable
Pegangan pas
dan tepat di
tengan,
genggaman
kuat
Pegangan tangan bisa
diterima tetapi tidak
ideal / coupling lebih
sesuai digunakan
oleh bagian lain dari
tubuh
Pegangan tangan
tidak bisa diterima
walaupun
memungkinkan
Dipaksakan
genggaman yang
tidak aman, tanpa
pegangan coupling
tidak sesuai
digunakan oleh
bagian lain dari
tubuh
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.9 Tabel C Skor REBA
Score B
Score A
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1
1
1
2
3
4
6
7
8
9
10
11
12
2
1
2
3
4
4
6
7
8
9
10
11
12
3
1
2
3
4
4
6
7
8
9
10
11
12
4
2
3
3
4
5
7
8
9
10
11
11
12
5
3
4
4
5
6
8
9
10
10
11
12
12
6
3
4
5
6
7
8
9
10
10
11
12
12
7
4
5
6
7
8
9
9
10
11
11
12
12
8
5
6
7
8
8
9
10
10
11
12
12
12
9
6
6
7
8
9
10
10
10
11
12
12
12
10
7
7
8
9
9
10
11
11
12
12
12
12
11
7
7
8
9
9
10
11
11
12
12
12
12
12
8
8
8
9
9
10
11
11
12
12
12
12
Activity Score
+ 1 = jika 1 atau lebih
bagian tubuh statis,
ditahan lebih dari 1 menit
+1 = jika pengulangan
dalam rentang waktu
singkat, diulang lebih dari
4 kali per menit (tidak
termasuk berjalan)
+1 = jika gerakan
menyebabkan perubahan
atau pergeseran postur
yang cepat dari posisi awal.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.10 Level Resiko Ergonomi
REBA Score
1
2-3
4-7
8 - 10
11 - 15
Risk Level
Diabaikan
Low
Medium
High
Very High
Action Level
0
1
2
3
4
Tindakan
Tidak Perlu
Mungkin perlu
Perlu
Perlu Segera
Sekarang juga
2.7 Kerangka Konsep
Sikap Kerja
-
Keluhan Musculoskeletal
Diabaikan
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
-
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
Gambar 2.8 Kerangka Konsep Penelitian
Variabel independen sikap kerja terdiri atas sikap kerja duduk yang dikategorikan
menjadi resiko diabaikan, resiko rendah , resiko sedang, resiko tinggi dan resiko
sangat
tinggi.
Sedangkan
variabel
dependen
keluhan
musculoskeletal
dikategorikan menjadi keluhan rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Kedua
variabel diteliti untuk melihat adanya hubungan antara variabel independen sikap
kerja dengan variabel dependen keluhan musculoskeletal.
Universitas Sumatera Utara
Download