Arie Sujito Sosiolog UGM

advertisement
wawasan
ama Sosiolog yang
juga dosen jurusan
sosiologi dan pascasarjana Fakultas
Ilmu Sosial Ilmu
Politik Universitas Gadjah Mada
(UGM), Arie Sujito, mulai mendapatkan tempat di hati publik.
Aktivitas dan analisis sosialnya
yang tajam atas persoalan
sosial, membuat dosen muda
yang sedang menyelesaikan S3
di UGM ini, seringkali menjadi
pilihan sebagai narasumber
dalam diskusi publik maupun
media massa. Berikut petikan
wawancara Arie Sujito dengan
wartawan Republika Rosyid
Nurul Hakim.
N
REPUBLIKA RABU, 16 FEBRUARI 2011
5
Arie Sujito Sosiolog UGM
Negara tidak Hadir
Saat Dibutuhkan
Sebagai sosiolog bagaimana Anda melihat karakter
masyarakat Indonesia?
Di Indonesia itu karakternya majemuk, dari Aceh
sampai Papua struktur sosialnya beragam. Kalau
dikelola dengan baik kita bisa menjadi demokrasi
yang besar. Kita hanya gagal mengelola. Kita sebagai
bangsa yang mejemuk mempunyai modal sosial
semen perekat, ada Pancasila dan UUD 45. Terjemahkan itu dalam kebijakan agar integrasi makin
menguat. Memberi makna Pancasila dan UUD 45
dalam bentuk kebijakan negara yang menjawab
kebutuhan warga negara.
Ini harus ketemu. Kalau penguasa gagal menerjemahkan UUD 45 dan Pancasila dalam kebijakan
konkret, lama-lama akan keropos. Sementara
masyarakat ada potensi anarkisme.
Tapi, saya berpikir potensi anarkisme itu sebagai
reaksi saja, bukan akarnya rakyat. Ekspresi itu
muncul karena terjadi penyumbatan.
Penyumbatan seperti apa?
Di masyarakat itu banyak agama, etnis, dan lainlain yang bisa hidup rukun. Kalau pemuka agama
kemudian berpolitik, awalnya bertujuan memperbaiki moralitas politik. Tapi, justru menjadi bagian
dari masalah. Itu sumbatan. Bukan kemudian
melarang tokoh agama jadi tokoh politik tapi Anda
harus yakin ini ada masalah dan harus diselesaikan.
Kedua aparat hukum, misalnya, masak yang maling pitik (ayam) hukumannya lebih banyak dari koruptor, pedagang kaki lima miskin ruang terbatas, dia
harus dihancurkan atas nama perda (peraturan daerah). Kalau perda tidak berisi perlindungan ke pedagang kaki lima, sama saja kaki lima ini bunuh diri.
Daerah mau mengembangkan industrialisasi lalu
muncul investor tapi tidak mikir lingkungannya.
Atas nama pertumbuhan dan PAD, tapi tidak memperhatikan lingkungannya. Rakyat yang kena imbasnya. Ini harus dipetakan. Jangan hanya jargonis,
turunkan presiden. Kita lacak dulu potensi penyumbatannya, lalu (susun—Red) langkah strategis bagi
grand desain.
Apa sih yang sekarang ini sedang melanda
masyarakat Indonesia?
Sebetulnya sekarang ini krisis kepercayaan yang
semakin menggumpal. Krisis ini semakin menjalar
tidak hanya ke lembaga representasi negara, tapi
juga pada sesama. Itulah mengapa kejahatan dan
kriminalitas meningkat. Orang gampang sensitif,
gampang marah.
Kefrustrasian sosial ini terjadi karena masalah
kecil tidak terselesaikan tapi menggumpal.
Misalnya, konflik kecil pedagang kaki lima yang
digusur, masalah ini menumpuk. Pedagangnya lalu
mengalah, memaklumi hukum prosedural, dan
politik pragmatis yang terjadi. Mengapa rakyat
mengalah? Karena rakyat tidak berdaya.
Oleh karena itu, harus dibenahi bangsa ini.
Bangsa ini jangan sampai gagal karena kepercayaan,
gagal karena semakin disusupi. Negara ini makin
menggerogoti diri sendiri. Ini harus diatasi.
Bagaimana Anda melihat kerusuhan yang terjadi
terkait konflik agama?
Secara sosiologi, apa yang terjadi di beberapa
tempat, baik secara seporadis atau tidak, itu adalah
akumulasi tekanan struktural yang berlapis-lapis.
Mulai dari politik, sosial, sampai ekonomi, yang
berakibat pada rentannya struktur masyarakat kita.
Nyaris institusi sosial yang menjamin ketahanan
warga mengalami kerapuhan luar biasa. Ini diperparah makin menurunnya kredibilitas lembaga
negara eksekutif, legislatif, maupun penegak hukum.
Banyaknya kasus yang muncul di permukaan yang
terbuka di media massa. Ini bertemu dengan
kerentanan struktur masyarakat yang mengalami
kelumpuhan tadi, lembaga negara yang menyusut
kredibilitasnya. Kemudian, di manipulasi kelompok
tertentu untuk kepentingan jangka pendek.
Warga negara gagal menuntut haknya lalu dimanipulasi kelompok yang memiliki kepentingan pragmatis. Akhirnya, yang muncul bukan artikulasi
kepentingan pada negera tapi pertarungan yang
sifatnya horizontal.
Saya juga mengkritik keras. Negara terlalu sibuk
dengan dirinya sendiri. Presidennya, anggota DPR,
lembaga hukum sibuk sendiri, mereka bertentangan
sendiri. DPR dan eksekutif ribut, kejaksaan dan
kepolisan ribut juga. Dengan kasus yang sifatnya
elitis, sementara problem masyarakat tidak masuk
dalam wilayah itu.
Meski eksekutif merespons dengan seruan tapi
nanti tidak ada solusi. Jika hanya membentuk
komisi, panja untuk menuntut masalah itu, hanya
sementara saja, hanya seperti balsem, yang tidak ada
hubungannya dengan masalah itu. Negara itu hadir
untuk menjawab masalah secara efektif. Eksekutif,
legislatif, yudikatif itu harus bertanggung jawab.
Kadang negara itu hadir saat tidak dibutuhkan,
tapi tidak hadir pada saat dibutuhkan. Contohnya,
saat ada konflik horizontal aparat kepolisian harus
hadir tapi kadang terlambat, sehingga kadang
muncul anggapan (adanya—Red) pembiaran.
Kadang tidak dibutuhkan hadir, ceramah
dibubarkan, ditangkap.
Apa yang harus dilakukan?
Kalau mau mengatasi kekerasan Pandeglang,
Temanggung, atau modus yang lain, perlu menggunakan kombinasi tiga pendekatan. Pertama, pendekatan hukum, harus mampu menindak tegas
pelaku kekerasan atas nama koridor hukum dan
demokrasi, negara harus bertanggung jawab dan
berada pada posisi terdepan.
Kedua, pendekatan kultural atau penyadaran.
Tokoh agama, tokoh masyarakat termasuk parpol
bertanggung jawab terhadap umatnya agar tidak
terprovokasi. Awalnya kan harmonis kok mudah terprovokasi. Kesannya pemimpinnya harmonis tapi di
bawah muncul bentrokan. Pemimpin agama ini
harus di-review ini, jangan-jangan mesin kultural
dia tidak sampai bawah. Di atas damai tapi kok di
bawah ramai.
Ketiga pendekatan kesejahteraan. Kurangi kesenjangan, atasi kemiskinan, dan isilah demokrasi
dengan kesejahteraan. Tiga pendekatan itu harus
digabung. Kalau polisi cepat mengadili pelakunya
tidak bisa berhenti di situ, seruan kultural jalan,
kesejahteraan harus jalan juga.
Faktor apa yang mendorong terjadinya kekerasan?
Transformasi masyarakat kita dari komunal ke
modernisme itu belum tuntas. Sekarang ikatan
masyarakat itu ikatan yang sempit seperti etnis atau
agama. Mengapa itu menguat? Karena transformasi
citizenship tidak berhasil. Mengapa akarnya? Karena proses perubahan kita keluar dari rel.
Contoh kita sudah punya mandat untuk membangun demokrasi sejak reformasi. Tapi, reformasi
justru ditandai dengan politik pragmatis, transaksional. Pemilu yang semestinya menjadi alat rotasi
kekuasaan yang legitimate, justru berisi praktik oligarki, manipulasi. Demokrasi seharusnya menjadi
tempat negosiasi rakyat sebagai pemegang mandat,
tapi justru dbajak elite. Itu yang membuat transformasi kewarganegaraan gagal.
Siapa yang disalahkan? Gampangnya semua
salah. Tapi bagi saya, yang salah ya yang punya
otoritas tapi tidak mampu menjalankan. Tapi,
memang mental kita harus dibenahi sifat barbarian,
komunal sempit. Tapi, itu tidak berhasil kalau citizenship tidak jalan.
Di dalam undang-undang, kita dijamin kebebasan
sebagai warga negaranya, perlindungan HAM, tapitiba tiba yang terjadi tidak ada perlindungan. Fakta
itu terus menumpuk. Ini menurut saya sinyal kuning
buat kita. Transformasi citizenship tidak jalan, maka
hidup penuh dengan ketidakpastian.
Jika terus begini tinggal dua fase lagi. Pertama,
masyarakat akan tercerabut dari fungsi
Indonesianya, dari fungsi sosialnya, dan akar sosialnya. Fase kedua, akan terjadi disintegrasi. Tapi, kita
jangan pesimistis kalau kita mampu memetakan
masalah dengan tiga pendekatan tadi. Dan kita berjalan sesuai dengan rel kita, relnya adalah pendekatan reformasi, maka akan teratasi.
Bagaimana seharusnya sikap pemerintah terhadap
hal ini?
Kata kuncinya adalah pemerintah dalam menyelesaikan konflik dan kekerasan jangan dengan pendekatan pemadam kebakaran. Tetapi, harus melalui
pendekatan yang lebih komprehensif. Kalau
pemadam kebakaran, ada konflik keras, semprot,
tangkap, selesai, itu hanya meredam akibat. Akarnya
itu terletak pada instalasi yang menyebabkan
kebakaran. Apa itu? Kesenjangan sosial, makin
menyusutnya lembaga sosial membuat kerekatan,
krisinya lembaga negara. Itu yang harus dibenahi.
Pemerintah harus menggunkan pendekatan komprehensif dalam mencari akar masalah. Masingmasing lini dicek. Kemudian, menyiapkan langkah
strategis yang melahirkan dan meyakinkan tumbuhnya kepercayaan baru antara masyarakat kepada
negara baik itu legislatif, eksekutif, atau yudikatif.
Pandangan Anda atas langkah yang sudah dilakukan
pemerintah?
SBY menyadari betul ada masalah dengan ormas.
Polisi harus menafsirkan dengan langkah hukum. Itu
hanya satu pendekatan. Tapi, ga papa. Itu positif
saja. Itu langkah pembenahan. Sinyal Presiden itu
harus direspons untuk menjalankan secara konsisten
dan terukur.
Kedua, yang menurut saya penting, pendekatan
seperti itu tidak cukup. Pemerintah harus mengevaluasi itu, pendekatan yang efektif itu apa, Ambon, Maluku, Kalimantan di berbagai tempat coba
diberi analisis lebih konkret. Negara punya sumber
daya untuk itu dan punya otoritas untuk melakukan
itu. Negara itu harus menunjukkan giginya. Jangan
selalu ragu. Mau maju kaki kanan kaki kiri merintangi. Negara harus tegas tapi akuntabel.
Jika pemerintah tetap bersikap hanya dengan satu
pendekatan, bagaimana potensi ke depan?
Kalau hanya satu sisi saja, modus seperti itu akan
terulang lagi. Oke itu ditangani dengan satu pendekatan, tapi harus diikuti skema yang lain.
Langkah kultural dan sosial juga harus ada, kebijakan juga harus ada. Kalau itu hanya langkah hukum, ke depan akan terlulang lagi. Harus dilengkapi
dengan pendekatan yang lain. ■ ed: joko sadewo
B
I
Nama
Tempat Lahir
Tanggal Lahir
O
D
A
T
A
: Arie Sujito
: Madiun
: 12 September 1972
Pendidikan:
S1 (Sarjana Sosiologi, Fisipol UGM, lulus 1997)
S2 (Master Sosiologi, Fisipol UGM, lulus 2004)
S3 (Kandidat Doktor Sosiologi di UGM)
Pekerjaan:
1. Staf Pengajar Jurusan Sosiologi, Fisipol UGM
(1999-sekarang)
2. Pengajar Pascasarjana Sosiologi, Fisipol UGM
(2005-sekarang)
3. Pengajar Pascasarjana Ilmu Kesehatan
Masyarakat UGM (2007-2009)
4. Peneliti Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM;
Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM
Kegiatan Organisasi:
1. Direktur Eksekutif, Institute for Research and
Empowerment (IRE) Yogyakarta
2. Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional (DPN)
Pergerakan Indonesia (sejak 2010-sekarang)
DOKREP
Download