Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru Kasus Lalai Pengobatan pada

advertisement
Rozi dan Ety | Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru Kasus Lalai Pengobatan pada Wanita Usia 25 Tahun di Kelurahan Karang Anyar Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru Kasus Lalai Pengobatan pada Wanita Usia 25 Tahun di Kelurahan Karang Anyar Rozi K Warganegara, Ety Apriliana Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Abstrak Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyebab utama kematian. Data terbaru yang dikeluarkan World Health Organization (WHO) pada tahun 2015 menunjukkan bahwa pada tahun 2014, terdapat ± 9,6 juta terdeteksi kasus baru TB dimana 58% dari kasus tersebut berasal dari negara‐negara di kawasan Asia Tenggara dan negara‐negara di wilayah Pasific Barat. Prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2014 adalah 254.000 penderita. Penerapan prinsip pelayanan dokter keluarga yang holistik dan paripurna berbasis evidence based medicine pada pasien dewasa muda dengan mengidentifikasi faktor risiko dan masalah klinis, serta prinsip penatalaksanaan pasien berdasarkan kerangka penyelesaian masalah pasien (problem oriented). Data primer diperoleh melalui anamnesis (autoanamnesis dan alloanamnesis), pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, dan home visit untuk menilai kondisi rumah dan keluarga. Penilaian berdasarkan diagnosis holistik awal, proses, dan akhir studi secara kuantitatif dan kualitatif. Hasil disajikan dalam format case report. Didapatkan data internal dan eksternal berupa, wanita usia produktif dengan TB paru kasus lalai pengobatan, pola berobat kuratif, pola sanitasi lingkungan dan personal higine tubuh kurang terjaga, dan hidup dalam keluarga inti. Pasien didiagnosis sebagai TB paru kasus lalai pengobatan, kemudian ditatalaksana dengan obat anti TB. Pasien dan keluarga juga diberi edukasi terkait penyakit TB, anjuran untuk melakukan pengobatan TB secara teratur, dan melaksanakan modifikasi gaya hidup. Perbaikan klinis belum dapat dilihat pada akhir masa intervensi, karena membutuhkan waktu yang lama sesuai patofisiologi penyakit dan kerjasama antara pasien, keluarga, dan provider pelayanan kesehatan. Kata Kunci: evidance based medicine, pelayanan dokter keluarga, tuberkulosis Management of Pulmonary Tuberculosis Negligent Case OnA Woman Aged 25 Years In Karang Anyar Village
Abstract Tuberculosis (TB) is one of the main causes of death. The latest data realeased by World Health Organization (WHO) (2015), shows that in 2014, there are 9.6 million new TB cases detected in which 58% of the cases come from countries in Southeast Asia and countries in Western Pacific Region. The prevalance of TB in Indonesia 2014 was 254.000 people. Application of the principles of holistic family doctor services and plenary based on evidence based medicine in young adult patients with identified risk factors and clinical problems, as well as the principle of management of the patient based on the frame work of settlement of the patient's problems (problem‐oriented). Primary data were obtained through anamnesis (autoanamnesis and alloanamnesis), physical examination, investigation, home visit to assess the condition of the home and family. Early diagnosis based on a holistic assessment, the process and the final study quantitatively and qualitatively. The results are presented in the case report format. There were internal and external data such as, women of productive age with negligent case tuberculosis, curative treatment pattern, the pattern of environmental sanitation and hygiene of the body less intact, living in annucleus family. Patients and families are also given education which related with tuberculosis, the recommendation to conduct regular TB treatment, and implement lifestyle modifications. Clinical improvement can not beseen at the end of the intervention period, because it takes along time according pathophysiology of the disease and cooperation between the patient, family, and health careproviders. Keywords: evidancebased medicine, family physician services, tuberculosis Korespondensi: Rozi Kodarusman Warganegara, S.Ked., alamat Jl. Nusa Indah Blok B no.110 Bataranila, no. HP 089501878071, email [email protected] Pendahuluan Tuberkulosis (TB) merupakan masalah penting bagi kesehatan dunia, tuberklosis menyerang paru‐paru dan merupakan salah satu penyebab utama kematian. Ada sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosae. Diperkirakan sekitar 45% kematian akibat TB di dunia terjadi pada negara‐negara yang berkembang . Hal ini juga dibuktikan dengan kematian wanita akibat tuberkulosis lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan, dan nifas.1 Data terbaru yang dikeluarkan World Health Organization (WHO) pada tahun 2015 dalam Global TB Report 2015, menunjukkan bahwa pada tahun 2014, terdapat ± 9,6 juta terdeteksi kasus baru TB dimana 58% dari kasus tersebut berasal dari negara‐negara di kawasan Asia Tenggara dan negara‐negara di J Medula Unila|Volume 5|Nomor 2|Agustus 2016|91
Rozi dan Ety | Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru Kasus Lalai Pengobatan pada Wanita Usia 25 Tahun di Kelurahan Karang Anyar wilayah Pasific Barat. Tuberkulosis di Indonesia menduduki peringkat tiga besar dunia bersama India dan China. Menurut WHO dalam Global TB Report 2015, prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2014 adalah 254.000 penderita.1 Dunia telah menempatkan TB sebagai salah satu indikator keberhasilan pencapaian Millenium Developmet Goals (MDGs), dimana untuk di Indonesia indikator keberhasilan tersebut berdasarkan Case Detection Rate (CDR) yaitu berdasarkan penemuan kasus baru, hasil CDR pada tahun 2014 yaitu 46% atau turun dari 60% dari CDR tahun 2013. Berdasarkan aturan terbaru CDR saat ini telah diganti dengan Case Notification Rate (CNR) yaitu laporan seluruh kasus penderita tuberculosis paru. Berdasrkan CNR di tingkat nasional sejak tahun 1999 kasus TB di Indonesia cenderung meningkat yaitu 135/100.000 penduduk pada tahun 2015. Provinsi Lampung pada tahun 2014 cukup baik untuk angka CNR yaitu 106/100.000 penduduk atau menempati peringkat lima nasional. Angka keberhasilan pengobatan (success rate) pada tahun 2014 sebesar 74% atau turun dari 91% dari tahun 2009, untuk Provinsi Lampung angka keberhasilan pengobatan menduduki peringkat tiga terbaik nasional yaitu 93%. Hal tersebut dipengaruhi beberapa faktor antara lain kepatuhan minum obat, pengawas minum obat (PMO), dan suplai obat yang terganggu sehingga mengakibatkan terganggunya proses pengobatan sehingga dapat mengakibatkan resistensi pengobatan.2 Penyebab utama kegagalan pengobatan tuberkulosis sejauh ini adalah akibat ketidakpatuhan penderita dalam proses pengobatan dengan berbagai alasan. Selain itu terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas kelangsungan hidup pasien TB yaitu jenis kelamin, usia, kategori pasien TB, jenis TB, hasil smear, HIV, dan berat badan pada inisiasi pengobatan pasien.3,4 Prinsip pelayanan dokter keluarga pada pasien ini adalah menatalaksana masalah kesehatan dengan memandang pasien sebagai individu yang utuh terdiri dari unsur biopsikososial, serta penerapan prinsip pencegahan penyakit promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Proses pelayanan dokter keluarga dapat lebih berkualitas bila didasarkan pada hasil penelitian ilmu kedokteran terkini (evidence based medicine).5 J Medula Unila|Volume 5|Nomor 2|Agustus 2016|92
Kasus Ny. S, wanita 25 tahun, didiagnosis menderita TB paru kasus putus obat datang ke puskesmas untuk melakukan suntik obat mingguan yang ketiga kalinya. Pasien mengaku dua tahun lalu mengalami keluhan badan kurus, batuk berdahak yang disertai demam, lalu pasien berobat ke puskesmas dan didiagnosis TB paru. Selanjutnya pasien melakukan pengobatan TB selama empat bulan namun pengobatan tersebut tidak dilanjutkan pasien karena alasan hamil anak kedua bahkan setelah anaknya lahir pasien tidak pernah datang dan melanjutkan pengobatan. Keluhan batuk dan demam tidak dirasakan sejak berhenti pengobatan tersebut, hanya saja berat badan pasien sulit naik. Sejak dua bulan lalu pasien kembali mengalami keluhan batuk berdahak, demam, dan tidak nafsu makan bahkan berat badan pasien turun sangat drastis yaitu ±10 kg. Pasien juga mengatakan bahwa sering keringat pada malam hari sejak dua bulan lalu. Pasien kembali datang ke puskesmas akibat keluhan tersebut, didiagnosis bahwa penyakit TB yang dahulu belum sembuh dan harus mengulang pengobatan. Riwayat keluarga dengan penyakit yang sama disangkal pasien. Riwayat penyakit keluarga yang lainnya seperti hipertensi, asam urat atau DM disangkal, ayah pasien meninggal karena DBD dan ibu pasien masih sehat dan tinggal diluar kota, sedangkan kakak dan adik dari ibu pasien masih hidup dan tidak ada riwayat penyakit degeneratif lainnya. Pasien memiliki kebiasaan pola makan yang kurang baik, yaitu makan hanya jika lapar namun pasien mengatakan tetap konsumsi makanan mengandung protein seperti telur dan juga rutin konsumsi sayuran meskipun sedikit. Pasien juga tidak pernah berolahraga, namun tidak mengkonsumsi rokok dan alkohol. Sehari‐hari pasien beraktifitas hanya dirumah dan sekitarnya, pasien membantu suami membuat bakso dagangan dirumah. Pasien juga rutin bersosialisasi dengan warga disekitar, seluruh aktivitas tersebut dilakukan pasien tanpa menggunakan masker atau alat pelindung diri (APD) lainnya. Pola pengobatan keluarga merupakan pola pengobatan kuratif, yaitu anggota Rozi dan Ety | Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru Kasus Lalai Pengobatan pada Wanita Usia 25 Tahun di Kelurahan Karang Anyar keluarga mencari pelayanan kesehatan jika sakit atau ada keluhan saja. Keluarga pasien juga tidak pernah mengingatkan pasien untuk mengobati kembali baik sebelum atau sesudah kembali muncul keluhan dikarenakan persepsi keluarga bahwa pengobatan yang dahulu sudah tuntas dan keluhan yang baru tidak serupa dengan penyakit terdahulu. Bentuk keluarga pada pasien ini adalah keluarga inti dengan pemenuhan fungsi keluarga dari segi ekonomi dan pendidikan yang masih kurang. Sedangkan untuk fungsi biologi, psikologi, dan sosial sudah cukup baik. Pasien dan suami adalah pasangan usia subur yang memiliki dua orang anak perempuan yang berusia enam tahun dan satu tahun yang tinggal di rumah dengan tiga kamar dengan ukuran rumah 9 m x 5 m. Rumah tembok permanen dengan keadaan kebersihan dan kerapian rumah kurang. Kamar mandi dan jamban ada diluar rumah dan masih bersama‐
sama dengan kerabat samping rumah. Air minum dan air untuk mandi‐cuci‐kakus dari sumur. Saluran air dialirkan ke got di depan rumah yang mengalir. Sinar matahari sangat minim yang dapat masuk ke rumah. Berdasarkan pemeriksaan fisik pada pasien didapatkan keadaan umum tampak sakit ringan dengan kesadaran compos mentis. Pemeriksaan tanda vital berupa tekanan darah, nadi dan respiration rate (RR) dalam batas normal namun suhu tubuh subfebris yaitu 37,8oC. Status generalis dalam batas normal kecuali pada pemeriksaan paru‐paru didapatkan fremitus vokal dan taktil yang simetris antara kanan dan kiri namun melemah serta terdapat suara nafas tambahan rhonki pada kedua lapang paru. Status gizi kurang dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) 16 (Underweight). Dari pemeriksaan laboratorium di puskesmas yaitu pemeriksaan sputum BTA sewaktu pagi sewaktu +3. Sehingga diagnosis holistik awal pada pasien ini adalah seorang pasien yang terdiagnosis tuberkulosis paru kategori dua dengan status pendidikan rendah dan pengetahuan tentang gejala dan pengobatan yang kurang. Pasien merupakan pasien masih mampu melakukan aktivitas seperti sebelum sakit. Pasien memiliki kekhawatiran penyakitnya akan bertambah berat dan dapat menular ke anggota keluarga lain dengan harapan dapat sembuh total dan tidak kembali gagal dalam pengobatan saat ini. Penatalaksanaan Non Medikamentosa: Penyuluhan terkait higiene perorangan dan lingkungan, penyuluhan cara batuk dan membuang sputum yang benar, pengobatan secara tepat dan benar, serta harus adanya PMO agar pengobatan dapat diawasi dan berjalan dengan baik dan menatalaksana pasien dengan modifikasi gaya hidup berupa penggunaan masker dalam beraktifitas sehari‐hari, konsumsi makanan yang seimbang dan penuh dengan vitamin, menjaga kebersihan, kelembapan dan pencahayaan di dalam rumah, dan latihan fisik atau olah raga teratur. Medikamentosa: Obat Anti TB (OAT) Kombinasi Dosis Tetap (KDT) dewasa. Dosis yang diberikan sesuai dengan berat badan pasien, yaitu 40 kg maka obat yang diberikan adalah 3 tablet OAT (1 tablet mengandung Rifampisin 150 mg, Isoniazid 100 mg, dan Pirazinamid 400 mg, serta etambutol 275 mg) setiap harinya selama dua bulan pertama. Streptomisin injeksi setiap minggu dengan dosis 1000 mg disertai pemberian Piradoksil (B12) 2x1 tablet. Pembahasan Diagnosis penyakit pada pasien ini berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis diperoleh data bahwa dua tahun lalu mengalami keluhan badan kurus, batuk berdahak yang disertai demam lalu berobat ke puskesmas dan didiagnosis TB paru. Selanjutnya pasien melakukan pengobatan TB selama empat bulan namun pengobatan tersebut tidak dilanjutkan pasien karena alasan hamil anak kedua. Sejak dua bulan lalu pasien kembali mengalami keluhan batuk berdahak, demam, dan tidak nafsu makan bahkan berat badan pasien turun sangat drastis yaitu ±10 kg. Pasien juga mengatakan bahwa sering keringat pada malam hari sejak awal keluhan tersebut. Sedangkan keluhan terbanyak pasien TB yaitu demam. Biasanya subfebris menyerupai demam influenza.6 Serangan demam hilang timbul sehingga pasien merasa tidak pernah merasa terbebas dari serangan demam ini. Batuk berdahak dimana sifat batuk ini dimulai dari batuk kering non‐produktif kemudian setelah timbul peradangan menjadi batuk produktif. J Medula Unila|Volume 5|Nomor 2|Agustus 2016|93
Rozi dan Ety | Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru Kasus Lalai Pengobatan pada Wanita Usia 25 Tahun di Kelurahan Karang Anyar Dapat pula dijumpai pada keadaan lanjut berupa batuk berdarah karena terdapat pembuluh darah yang pecah dan sesak napas. Sesak napas akan timbul pada penyakit yang sudah lanjut yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru‐paru. Nyeri dada yang timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Selain itu pasien juga merasa malaise dan akibat anoreksia pasien menjadi tidak nafsu makan, tubuh yang semakin kurus, meriang, keringat malam dll. Tanda dan gejala tersebut dapat juga terjadi pada penyakit TB yang disebabkan oleh kuman selain Mycobacterium tuberculosae, yang paling banyak adalah M. avium atau M. kansasii.6,7 Penurunan berat badan dan nafsu makan pada pasien dapat terjadi akibat penyakit TB itu sendiri yang mengakibatkan peningkatan metabolisme tubuh. Pasien juga pernah mendapatkan terapi obat anti TB dua tahun yang lalu. Pasien TB dapat digolongkan berdasarkan riwayat penyakitnya, yakni: kasus baru yaitu pasien yang tidak mendapat obat anti TB lebih dari satu bulan. Kasus kambuh yaitu pasien yang pernah dinyatakan sembuh dari TB tapi timbul lagi. Kasus gagal yaitu pasien yang sputumnya tetap (+) setelah mendapatkan OAT > lima bulan atau pasien yang menghentikan pengobatannya setelah mendapatkan OAT satu sampai lima bulan dan sputumnya masih (+). Kasus kronik yaitu pasien yang sputumnya tetap (+) setelah mendapatkan pengobatan ulang lengkap yang disupervisi dengan baik. Sejalan dengan WHO (2015), yang dinamakan dengan pasien TB kasus lalai adalah seseorang yang didiagnosis dengan TB paru dan menjalani pengobatan ≥ satu bulan dan tidak mengambil obat dua bulan berturut‐turut atau lebih sebelum masa pengobatan selesai.1,6,8 Dari pemeriksaan fisik didapatkan badan tampak kurus kesan penderita TB dan juga didapatkan suara nafas tambahan yaitu rhonki basah kasar dari auskultasi, dari pemeriksaan penunjang yang dilakukan berupa pemeriksaan mikroskopis sputum diperoleh hasil dengan nilai +3. Diagnosis TB ditegakkan berdasarkan keluhan klinis, kelainan fisik, kelainan radiologis, dan kelainan bakteriologis, namun bila ditemukan kuman Mycobacterium tuberculosae pada pemeriksaan sputum, diagnosis TB sudah dapat dipastikan.6 J Medula Unila|Volume 5|Nomor 2|Agustus 2016|94
Parameter untuk diagnosis TB meliputi: hasil sputum (+) dan/ atau dengan kultur bakteri. Akhir‐akhir ini WHO sudah merekomendasikan pemeriksaan cepat untuk diagnosis TB paru dengan menggunakan alat Xpert MTB/ RIF, sebuah tes molekuler untuk Mycobacterium tuberculosis (MTB) dan resisten rifampisin (RIF) dengan menggunakan sampel dari dahak dalam waktu dua jam.1,6,9,10 Maka dapat disimpulkan diagnosis pasien ini adalah TB paru kasus lalai pengobatan dengan hasil mikroskopis sputum positif dengan atau tanpa kultur (ICD‐10: A15). Tatalaksana pasien masuk dalam kategori II, dimana kategori II ditujukan kepada kasus gagal atau lalai pengobatan dengan sputum BTA (+).1,2,6,10 Penatalaksanaan yang diberikan ialah pemberian OAT‐KDT dewasa. Dosis yang diberikan sesuai dengan berat badan pasien, yaitu 50 kg maka obat yang diberikan adalah 3 tablet OAT (1 tablet mengandung Rifampisin 150 mg, Isoniazid 100 mg, dan Pirazinamid 400 mg serta Etambutol 275 mg) setiap harinya selama dua bulan pertama ditambah pemberian streptomisin injeksi 1000 gr/minggu.1,6 Selain diberikan OAT‐KDT, pasien juga diberikan vitamin B6 (piridoksin) 2x1 tablet. Ada kondisi‐kondisi tertentu yang mengakibatkan penurunan kadar B6 dalam tubuh, salah satunya adalah penggunaan OAT berupa Isoniazid. Selain itu efek samping ringan dari Isoniazid adalah kesemutan, mati dan nyeri otot, atau gangguan kesadaran serta kelainan kulit yang bervariasi, antara lain gatal‐gatal. Ini dapat dikurangi dengan pemberian Pyridoxin.11,12 Ada beberapa faktor yang mendasari kelangsungan hidup/ prognosis pasien TB yaitu jenis kelamin, usia, kategori pasien TB, jenis TB, hasil smear, HIV, dan berat badan pada inisiasi pengobatan pasien. Terjadi peningkatan angka kematian yaitu pada pasien yang berusia > 45 tahun, pasien TB kasus baru, TB paru, hasil sputum (‐), pasien TB dengan HIV, berat badan pasien ≥35 kg pada inisiasi pengobatan. Dalam hal jenis kelamin, tidak ada perbedaan antara laki‐laki dengan wanita. Pada pasien ini diketahui bahwa usia 45 tahun, pasien merupakan pasien TB paru kasus baru dan berat badan pasien ketika sakit yaitu 38 kg.4 Rozi dan Ety | Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru Kasus Lalai Pengobatan pada Wanita Usia 25 Tahun di Kelurahan Karang Anyar Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perjalanan penyakit dan pengobatan tuberkulosis paru. Dijelaskan bahwa laki‐laki lebih giat mencari kesehatan daripada wanita karena faktor kedudukan dalam rumah tangga dan sebagai pencari nafkah dalam keluarga sehingga kesehatan menjadi prioritas utama baginya. Sejalan dengan hasil penelitian tersebut, pasien ini kurang memperhatikan kesehatan dan upaya pencarian kesehatan dilakukan karena keluhan bertambah berat dan sangat mengganggu pasien.12 Kelangsungan hidup atau prognosis pasien TB juga ditentukan dari keberhasilan pengobatan. Ada beberapa sebab kegagalan pengobatan, antara lain: panduan obat tidak adekuat, dosis obat tidak cukup, minum obat tidak teratur, jangka waktu pengobatan kurang dari semestinya, terjadi resistensi obat, dan bila terjadi resistensi obat harus diwaspadai yakni bila dalam satu sampai dua bulan pengobatan tahap intensif, tidak terlihat perbaikan.4,5 Permasalahan terbesar dari pasien TB sekarang adalah akibat terjadinya resistensi obat atau multi drugs resistant (MDR) yang memberikan sumbangsih angka kematian TB cukup besar. MDR terjadi karena pasien berhenti minum obat anti‐TB yang dapat berisiko bagi diri mereka sendiri dan orang lain. MDR adalah resiko yang sangat nyata.10 Infeksi TB yang sudah MDR sangat sulit untuk diobati dan ditandai dengan angka kematian yang tinggi. Untuk menghindari dan menyukseskan program TB nasional, maka tindakan yang dilakukan pada pasien ini adalah mengajarkan panduan obat dengan baik dan berkelanjutan, pemberian dosis obat yang cukup sesuai dengan dosis yang ditentukan, meminta dan mengawasi minum obat setiap hari dan teratur, melakukan pengobatan sebagaimana jangka waktunya, melakukan evaluasi pengobatan dan sputum secara berkala guna mendeteksi secara kemungkinan terjadinya MDR.10,13 Dalam menatalaksana pasien, seorang dokter perlu memperhatikan pasien seutuhnya, tidak hanya tanda dan gejala penyakit namun juga psikologisnya. Pembinaan keluarga yang dilakukan pada kasus ini tidak hanya mengenai penyakit pasien, tetapi juga mengenai masalah‐
masalah lainnya seperti fungsi ekonomi dan pemenuhan kebutuhan keluarga, perilaku kesehatan keluarga, dan lingkungan.4 Melihat dari keadaan rumah terutama keadaan kedua kamar rumah pasien, yang gelap dan lembab walaupun sudah ada jendela namun kondisi jendela tidak dibuka dan ditutupi dengan kain sehingga patut diberikan konseling terkait dengan keadaan ruangan yang sehat sehingga menghindari keadaan yang lembab dimana kuman TB dapat bertahan lebih lama. Bakteri kuman TB yang berada di udara dapat bertahan selama satu sampai dua jam tergantung ada atau tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk, dan kelembapan udara. Dalam suasana yang lembab dan gelap, kuman dapat bertahan selama berhari‐hari bahkan berbulan‐bulan. Oleh karena itu selain konseling, juga dilakukan intervensi berupa meminta keluarga membuka jendela sehingga cahaya dan ventilasi udara menjadi lebih terang dan baik serta menjaga kebersihan rumah.6 Aktivitas pasien sehari‐hari didalam rumah dan lingkungan sekitar yang cukup sering juga perlu diperhatikan dan diberi arahan untuk penggunaan APD berupa masker. Mengingat secara patogenesis kuman TB yang dapat bertahan selama satu sampai dua jam dalam udara terbuka, maka dilakukan konseling edukasi akan pentingnya penggunaan masker baik di dalam rumah maupun diluar rumah saat beraktivitas. Meskipun pasien tidak merokok, aktifitas merokok suami pasien didalam rumah juga perlu diperhatikan yang juga dapat menjadi faktor predisposisi penyakit TB. Merokok dapat mengurangi aktivitas rambut‐rambut silia pada saluran pernapasan sehingga fungsi silia yang mengantarkan kotoran dan kuman‐
kuman dari bawah ke atas tidak berfungsi dengan baik.14 Adapun intervensi yang telah dilakukan pada kunjungan pertama yaitu mengidentifikasi faktor‐faktor yang menyebabkan masalah TB dan didapatkan bahwa pasien dan keluarga memiliki kebiasaan kurangnya pengetahuan tentang penyakit TB paru terutama gejala dan pengobatannya serta memiliki kebiasaan buruk dalam menjaga kebersihan dan kelembaban rumah. Selain itu dilakukan konseling terkait dengan penyakit TB berupa: definisi penyakit TB, cara penularannya, patogenesisnya, gejala, cara menetapkan J Medula Unila|Volume 5|Nomor 2|Agustus 2016|95
Rozi dan Ety | Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru Kasus Lalai Pengobatan pada Wanita Usia 25 Tahun di Kelurahan Karang Anyar penyakit TB, komplikasi, dan pengobatan terkait TB. Penulis juga memberikan edukasi tentang pentingnya penggunaan APD berupa masker agar tidak menyebabkan penularan kepada anggota keluarga lain. Kemudian dilakukan evaluasi satu minggu setelahnya dan didapatkan perbaikan dalam beberapa aspek yang telah dilakukan intervensi namun belum secara keseluruhan mengingat perlu waktu panjang untuk mengawasi perubahan tersebut oleh karena pengobatan tuberkulosis kategori dua juga membutuhkan waktu panjang. Adapun diagnosis holistik akhir pada pasien ini pasien tuberkulosis paru kategori dua yang sudah ada perubahan terkait pengetahuan tentang gejala dan pengobatan tuberkulosis paru. Kesadaran untuk meminum obat secara rutin meningkat. Pasien sudah memperhatikan kebersihan rumah dan mencegah kelembaban di dalam rumah. Termotivasinya keluarga untuk mengingatkan pasien minum obat secara teratur, meningkatnya kesadaran terhadap pencegahan penyakit TB. Kesimpulan Ny.S 25 tahun dengan diagnosis klinis tubekulosis paru kategori dua telah dievaluasi terkait aspek‐aspek yang mempengaruhi penyakit pasien dan telah ditatalaksana dengan tatalaksana medikamentosa dan non‐
medikamentosa. Pada pasien dan keluarga juga telah dilakukan intervensi dan juga dilakukan evaluasi dengan hasil secara keseluruhan membaik dalam beberapa aspek terkait pasien dan hal‐hal yang mempengaruhi kesehatan pasien dan keluarga pasien. Saran Perlu meningkatkan kesadaran dan tekad provider pelayanan kesehatan untuk melakukan screening, pengelolaan, dan pengontrolan penyakit TB secara holistik dan komprehensif sehingga tujuan dari pengelolaan itu sendiri dapat tercapai. Untuk pembina selanjutnya, pemantauan dan re‐evaluasi kondisi pasien, pembinaan lebih lanjut pada pasien, dan keluarga mengenai pengelolaan penyakit yang diderita pasien dan meningkatkan pengelolaan kebersihan serta kelembaban suhu rumah dan lingkungannya. J Medula Unila|Volume 5|Nomor 2|Agustus 2016|96
Untuk pelaksana pelayanan kesehatan, adanya sistem pemantauan dan pembahasan di fasilitas kesehatan secara periodik mengenai kasus yang dibina, bagi kesinambungan pelayanan dan pemantauan, serta ditingkatkannya upaya promosi kesehatan kepada masyarakat baik mengenai penyakit TB dan faktor‐faktor predisposisinya. Daftar Pustaka 1. Global tuberculosis report 2015 [Internet]. Geneva: World Health Organization; 2015 [disitasi tanggal 25 Januari 2016]. Tersedia dari: http://www.who.int/tb/publications/glob
al_report/en/. 2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Infodatin; Tuberkulosis. Jakarta: Depkes RI; 2015. 3. Isa M, Nafika, Windu. Efektifitas pengawasan pengobatan melalui program pengobatan perseorangan tuberkulosis dengan kartu berobat terhadap keteraturan berobat penderita di wilayah kotamadya banjarmasin. Journal Fakultas Kedokteran Yarsi. 2003; 11(01):39. 4. Tolosie K, Sharma MK. Application of Cox Proportional Hazards Model in Case of Tuberculosis Patients in Selected Addis Ababa Health Centres, Ethiopia. Tuberc Res Treat. 2014; 2014:1‐11. 5. Wonodirekso S. Sistem Pelayanan Dokter Keluarga Meningkatkan Kadar Kesejawatan dan Profesionalisme. Maj Kedokt Indon. 2009; 59(1):1‐2. 6. Sudoyo, Zulkifli A, Asril B. Tuberkulosis paru. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke‐5 jilid II. Jakarta: Internapublishing; 2012. 7. Latshang TD, Lo Cascio CM, Russi EW. Nontuberculous mycobacterial infection of the lung. Ther Umsch. 2011; 68(7):402‐
6. 8. Gupta KB, Gupta R, Atreja A, Verma M dan Vishvkarma S. Tuberculosis and nutrition. Lung India. 2009; 26(1):9‐16. 9. Haque G, Kumar A, Saifuddin F, Ismail S, Rizvi N, Ghazal S, Notani S. Clinical Study: Prognostic Factors in Tuberculosis Related Mortalities in Hospitalized Patients. Tuberc Res Treat. 2014; 2014:1‐
6. Rozi dan Ety | Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru Kasus Lalai Pengobatan pada Wanita Usia 25 Tahun di Kelurahan Karang Anyar 10. Catharina C, Boehme, Nabeta P, Hillemann D, Nicol MP, Shenai S, et al. Rapid molecular detection of tuberculosis and rifampin resistance. N Engl J Med. 2010; 363(11): 1005–15. 11. Standard N. The many uses for vitamin B6. Natural Medicine Journal [internet]. 2011 [disitasi tanggal 28 Januari 2016]; 3(9). Tersedia dari: http://www.naturalmedicinejournal.com
/journal/2011‐09/many‐uses‐vitamin‐b6/ 12. Krishnan l, akande t, shankar av, mcintire kn, gounder cr, gupta a, et al. Gender‐
related barriers and delays in accessing tuberculosis diagnostic and treatment services: A systematic review of qualitative studies. Tuberc Res Treat. 2014; 2014:1‐14. 13. Tanani DS, Tebaa A, Benkirane R, Bennani K, Iraqi G, Soulaymani A, et al. Pharmacovigilance and moroccan tuberculosis public program: current situation. Tuberc Res Treat. 2014; 2014:1‐
6. 14. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep klinis proses‐proses penyakit. Edisi ke‐6, volume 2. Jakarta : EGC; 2006.
J Medula Unila|Volume 5|Nomor 2|Agustus 2016|97
Download