laporan studi kajian pengembangan ekowisata dan jasa lingkungan

advertisement
LAPORAN
STUDI KAJIAN PENGEMBANGAN EKOWISATA DAN JASA
LINGKUNGAN DI SUBAK KERDUNG, KELURAHAN PEDUNGAN
KECAMATAN DENPASAR SELATAN, KOTA DENPASAR
Oleh
PPLH Unud, Denpasar
Pusat Penelitian Lingkungan Hidup
LPPM Universitas Udayana
Denpasar
2015
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................ ii
DAFTAR ISI ..................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. v
DAFTAR PETA ................................................................................... vii
BAB I. PENDAHULUAN .................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .......................................................................1
1.2. Permasalahan ........................................................................3
1.3. Tujuan..................................................................................3
1.4. Luaran .................................................................................3
BAB II . TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 5
2.1. Sifat Dasar Tanah ....................................................................5
2.2. Kerusakan Tanah .....................................................................5
2.3. Kerusakan Tanah untuk produksi Biomassa...............................6
2.4. Produksi Biomassa ...................................................................6
BAB III . METODOLOGI PENELITIAN .............................................. 5
3.1. Tempat dan Waktu .................................................................5
3.2. Ruang Lingkup Kegiatan..........................................................5
3.3. Bahan dan Alat .......................................................................6
3.4. Metodologi .............................................................................5
3.3. Jadwal Penelitian ....................................................................6
BAB IV . DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN .................................... 7
4.1. Iklim......................................................................................7
4.2. Penggunaan Lahan .................................................................10
4.3. Topografi ..............................................................................7
4.4. Penduduk .............................................................................7
BAB V . HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................. 7
5.1. Kondisi Lahan pertanian ..........................................................7
5.2. Potensi Kerusakan Tanah ........................................................10
5.3. Status Kerusakan tanah ..........................................................13
5.4. Produksi Biomassa ..................................................................13
BAB VI. KESIMPULAN ..................................................................... 54
6.1. Kesimpulan.............................................................................54
6.2. Saran ....................................................................................55
DAFTAR PUSTAKA
2
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kegiatan pengendalian kerusakan lingkungan yang salah satunya yaitu melakukan
konservasi dan perlindungan sumber daya alam, salah satunya adalah untuk mengendalikan
alih fungsi lahan serta kerusakan lingkungan yang terjadi akibat pembangunan fisik perkotaan.
Salah satu kegiatan inovatif yang berisi kajian serta program aksi yang ingin dikembangkan
untuk mengendalikan kerusakan lingkungan di Kota Denpasar adalah pengembangan
ekowisata dan jasa lingkungan.
Ekowisata merupakan bentuk pariwisata yang memanfaatkan potensi sumberdaya
alam, lingkungan serta keunikan alam dan budaya yang dapat menjadi salah satu sektor
unggulan daerah yang belum dikembangkan secara optimal. Di samping itu Ekowisata adalah
kegiatan wisata alam dengan memperhatikan unsur pendidikan, pemahaman dan dukungan
terhadap usaha-usaha konservasi sumber daya alam, serta peningkatan pendapatan
masyarakat lokal.
Mengembangkan
ekowisata
memerlukan
perencanaan,
pemanfaatan
dan
pengendalian ekowisata. Pelaku ekowisata adalah pemerintah, pemerintah daerah, dunia
usaha dan masyarakat. Pengembangan ekowisata
mesti memperhatikan aspek –aspek
konservasi, yaitu melindungi, mengawetkan dan memanfaatkan secara lestari sumberdaya
alam yang digunakan untuk ekowisata. Dalam kaitan dengan aspek ekonomis ekowisata
diharapkan memberikan manfaat untuk masyarakat setempat dan menjadi penggerak
pembangunan ekonomi di wilayahnya serta memastikan usaha ekowisata dapat berkelanjutan.
Dalam kaitan dengan edukasi, ekowisata mengandung unsur pendidikan untuk mengubah
persepsi seseorang
agar memiliki kepedulian tanggungjawab dan komitmen terhadap
pelestarian lingkungan dan budaya.
Ekowisata diharapkan memberikan kepuasan dan pengalaman kepada pengunjung,
serta mendorong partisipasi masyarakat
yaitu peran serta masyarakat dalam kegiatan
perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ekowisata dengan menghormati nilai-nilai sosial
budaya dan keagamaan masyarakat disekitar kawasan serta sesuai dengan kearifan lokal.
3
Perencanaan dan pengembangan ekowisata menyangkut jenis ekowisata, data dan
informasi, potensi pangsa pasar, hambatan-hambatan, lokasi, luas, batas, alokasi biaya, target
waktu pelaksanaan dan desain teknisnya. Untuk data dan informasi yang dimaksud adalah
daya tarik dan keunikan alam; kondisi ekologis / lingkungan, kondisi sosial, budaya dan
ekonomi , peruntukan kawasan, sarana dan prasarana serta sumber pendanaan.
Mengembangkan
kawasan
ekowisata
wajib
memberdayakan
masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat diselenggarakan melalui kegiatan peningkatan pendidikan dan
ketrampilan masyarakat. Untuk partisipasi masyarakat melibatkan warga masyarakat, Badan
permusyawarahan Desa, Kader PKK, Tokoh Masyarakat dan LSM. Rencana pengembangan
ekowisata di Subak Kerdung, Kelurahan Pedungan, Kecamatan Denpasar Selatan sangat perlu
mendapatkan perhatian mengingat kawasan tersebut merupakan kawasan RTHK, mempunyai
jalur jogging track, dekat dengan kawasan hutan mangrove dan keindahan alam yang berada di
kawasan urban yang perlu untuk dipertahankan untuk peningkatan ekonomi masyarakat
sekaligus pelestarian alam.
1.2. Permasalahan
Subak Kerdung terletak di
Kelurahan Pedungan, Kecamatan Denpasar Selatan Kota
Denpasar sangat perlu mendapatkan perhatian mengingat kawasan tersebut merupakan
kawasan RTHK, mempunyai jalur jogging track, dekat dengan kawasan hutan mangrove dan
keindahan alam yang berada di kawasan urban. Permasalahan pokok yang ada di Subak
Kerdung meliputi :
a. Terjadinya alih fungsi lahan dari lahan sawah menjadi lahan terbangun walaupun
wilayahnya berupa lahan sawah.
b. Adanya alih fugsi lahan akan mengganggu fungsi saluran irigasi yang ada
c. Keberadaan Subak Kerdung yang berada dikawasan perkotaan maka saluran irigasi
menjadi seperti saluran pembuangan limbah baik padat maupun cair
d. Secara umum lahan sawah tersebut dikerjakan oleh para petani penggarap.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sejarah Ekowisata
Kegiatan ekowisata yang pertama barangkali adalah kegiatan safari (berburu hewan di
alam bebas) yang dilakukan oleh para petualang dan pemburu di Afrika pada awal tahun 1900.
Dan pemerintahan Kenya mengambil kesempatan dan membuka peluang bisnis dari kegiatan
safari padang safana dan mamalia Afrika yang liar dan eksotis. Pemerintah Kenya menjual satu
ekor singa sebagai buruan seharga US$27.000 pada tahun 1970. Namun akhirnya disadari
bahwa perburuan yang tidak terkendali dapat mengakibatkan kepunahan spesies flora atau
fauna dan mengganggu keseimbangan ekosistem yang ada. Belajar dari pengalaman ini,
pemerintah Kenya akhirnya melakukan banyak perubahan di dalam pelaksanaan kegiatan
safari dan mulai menerapkan konsep-konsep ekowisata modern di dalam industri pariwisata.
Pada
akhir dekade 1970 gagasan ekowisata mulai diperbincangkan dan dianggap
sebagai suatu alternatif kegiatan wisata tradisional. Selama masa 1980-an beberapa badan
dunia, merumuskan "Ekowisata adalah perjalanan ketempat-tempat yang masih alami dan
relatif belum terganggu atau tercemari dengan tujuan untuk mempelajari, mengagumi dan
menikmati pemandangan, flora dan fauna, serta bentuk-bentuk manifestasi budaya
masyarakat yang ada, baik dari masa lampau maupun masa kini". Rumusan ini kemudian
disempurnakan oleh The International Ecotourism Society (TIES) pada awal tahun 1990,
sebagai berikut: "Ekowisata adalah kegiatan wisata alam yang bertanggung jawab dengan
menjaga keaslian dan kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk
setempat”. Ekowisata merupakan upaya untuk memaksimalkan dan sekaligus melestarikan
potensi sumber daya alam dan budaya masyarakat setempat untuk dijadikan sebagai sumber
pendapatan yang berkesinambungan.
Perkembangan ekowisata di dunia secara umum terasa cukup cepat dan mendapat
prioritas dan perhatian dari pemerintahan masing-masing negara yang melaksanakannya.
Walaupun dimulai dari Afrika, ekowisata berkembang pesat dan berevolusi secara
menakjubkan justru di Amerika Latin. Di beberapa negara Amerika Latin (terutama yang dialiri
oleh sungai Amazon), kegiatan mengunjungi objek wisata alam berkembang menjadi kegiatan
penyelamatan lingkungan hidup (konserfasi). Seiring dengan berjalannya waktu, ternyata
banyak peserta ekowisata yang tertarik dan ingin berkontribusi di dalam penyelamatan alam
5
(flora dan fauna) dari kerusakan yang semakin parah. Beberapa lembaga atau organisasi yang
bergerak dibidang lingkungan hidup menangkap peluang ini dan mulai mengadakan kegiatan
reboisasi beserta dengan masyarakat luas termasuk peserta ekowisata, hingga kepada
penggalangan dana dan penanaman pohon yang dapat diikuti melalui media internet.
Belajar dari kesalahan-kesalahan terdahulu yang menyebabkan dampak rusaknya
lingkungan, pemerintah Costa Rica memobilisasi masyarakatnya untuk berperan aktif dalam
kegiatan ekowosata. Tidak ada hotel berbintang dan bandara international yang dibangun di
dekat objek wisata alam. Yang ada adalah rumah-rumah masyarakat yang terbuka untuk
ditinggali sementara oleh para wisatawan (sekarang disebut home stay atau rumah singgah).
Masyarakatpun tidak menyediakan menu masakan international kepada para wisatawan,
mereka menyuguhkan masakan tradisional dengan standar kebersihan yang tinggi. Pemerintah
Costarica yakin bahwa peserta ekowisata bukan hanya tertarik kepada eksotisme alam dari
negaranya, tetapi juga tertarik kepada eksotisme kebudayaan dan cara hidup masyarakatnya.
Di Afrika, evolusi kegiatan ekowisata menarik untuk dicermati. Kegiatan perburuan binatang
(singa, kerbau, gajah, badak dan lain sebagainya) yang sebelumnya dianggap dapat
mengganggu kelestarian suatu spesies ternyata kalau dilakukan secara selektif justru dapat
meningkatkan populasi spesies tersebut atau spesies yang lainnya. Membunuh singa jantan
yang tua ternyata membuka peluang bagi singa jantan yang muda, sehat dan produktif untuk
meminpin kelompok tersebut dan kembali meneruskan garis keturunannya. Semenjak itulah
kegiatan perburuan singa dan beberapa spesies lainnya mulai diadakan kembali di Kenya,
tentunya dengan spesfikasi dan pengawasan yang ketat dari petugas taman nasional.
2.2. Ekowisata di Indonesia
Di Indonesia kegiatan ekowisata mulai dirasakan pada pertengahan 1980-an, dimulai
dan dilaksanakan oleh orang atau biro wisata asing, salah satu yang terkenal adalah Mountain
Travel Sobek – sebuah biro wisata petualangan tertua dan terbesar. Bebepa objek wisata
terkenal yang dijual oleh Sobek antara lain adalah pendakian gunung api aktif tertinggi di garis
khatulistiwa - Gunung Kerinci (3884 m), pendakian danau vulkanik tertinggi kedua di dunia Danau Gunung Tujuh dan kunjungan ke danau vulkanik terbesar didunia - Danau Toba.
6
Beberapa biro wisata lain maupun perorangan yang dijalankan oleh orang asing juga
melaksanakan kegiatan kunjungan dan hidup bersama suku-suku terasing di Sumatera,
Kalimantan, Jawa, Sulawesi dan Papua. Salah satu dari proyek ekowisata yang terkenal yang
dikelola pemerintah bersama dengan lembaga asing adalah ekowisata orang hutan di Tanjung
Puting, Kalimantan.
2.3. Ekowisata Berbasis Masyarakat
Kegiatan ekowisata di Indonesia diatur Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun
2009. Secara umum objek kegiatan ekowisata tidak jauh berbeda dari kegiatan wisata alam
biasa, namun memiliki nilai-nilai moral dan tanggung jawab yang tinggi terhadap objek
wisatanya.
 Wisata pemandangan:
o Objek-objek alam (pantai, air terjun, terumbu karang)
o Flora (hutan, tumbuhan langka, tumbuhan obat-obatan)
o Fauna (hewan langka dan endemik)
o Perkebunan (teh, kopi)
 Wisata petualangan:
o Kegiatan alam bebas (lintas alam, berselancar)
o Ekstrem (mendaki gunung, paralayang)
o Berburu (babi hutan)
 Wisata kebudayaan dan sejarah:
o Suku terasing (orang Rimba, orang Kanekes)
o Kerajinan tangan (batik, ukiran)
o Peninggalan bersejarah (candi, batu bertulis, benteng kolonial)
 Wisata penelitian:
o Pendataan spesies (serangga, mamalia dan seterusnya)
o Pendataan kerusakan alam (lahan gundul, pencemaran tanah)
o Konservasi (reboisasi, lokalisasi pencemaran)
 Wisata sosial, konservasi dan pendidikan:
o Pembangunan fasilitas umum di dekat objek ekowisata (pembuatan sarana
komunikasi, kesehatan)
7
o Reboisasi lahan-lahan gundul dan pengembang biakan hewan langka
o Pendidikan dan pengembangan sumber daya masyarakat di dekat objek ekowisata
(pendidikan bahasa asing, sikap)
Istilah “ekowisata” dapat diartikan sebagai perjalanan oleh seorang turis ke daerah
terpencil dengan tujuan menikmati dan mempelajari mengenai alam, sejarah dan budaya di
suatu daerah, di mana pola wisatanya membantu ekonomi masyarakat lokal dan mendukung
pelestarian alam. Para pelaku dan pakar di bidang ekowisata sepakat untuk menekankan
bahwa pola ekowisata sebaiknya meminimalkan dampak yang negatif terhadap linkungan dan
budaya setempat dan mampu meningkatk an pendapatan ekonomi bagi masyarakat setempat
dan nilai konservasi.
Pola ekowisata berbasis masyarakat adalah pola pengembangan ekowisata yang
mendukung dan memungkinkan keterlibatan penuh oleh masyarakat setempat dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan usaha ekowisata dan segala keuntungan yang
diperoleh. Ekowisata berbasis masyarakat merupakan usaha ekowisata yang menitikberatkan
peran aktif komunitas. Pola ekowisata berbasis masyarakat mengakui hak masyarakat lokal
dalam mengelola kegiatan wisata di kawasan yang mereka miliki secara adat ataupun sebagai
pengelola. Ekowisata berbasis masyarakat dapat menciptakan kesempatan kerja bagi
masyarakat setempat, dan mengurangi kemiskinan, di mana penghasilan ekowisata adalah dari
jasa-jasa wisata untuk turis: fee pemandu; ongkos transportasi; homestay ; menjual kerajinan,
dll. Ekowisata membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan dan budaya asli
setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga
antar penduduk setempat yang tumbuh akibat peningkatan kegiatan ekowisata. Masyarakat
membentuk panitia atau lembaga untuk pengelolaan kegiatan ekowisata di daerahnya, dengan
dukungan dari pemerintah dan organisasi masyarakat nilai partisipasi masyarakat dan edukasi
Prinsip local ownership (pengelolaan dan kepemilikan oleh masyarakat setempat).
8
III. METODOLOGI
3.1. Tempat dan Waktu
Lokasi kegiatan pengembangan ekowisata dan jasa lingkungan ini adalah di Subak
Kerdung, Kelurahan Pedungan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar. Pelaksanaan
kegiatan dilakukan mulai bulan April tahun 2015 s/d Oktober 2015.
3.2. Metodologi
Metode yang digunakan adalah metode survei dengan purposive random sampling,
pengambilan sampel dilapangan dilakukan baik langsung maupun berdasarkan data sekunder.
Penelitian lapangan dan wawancara, pemeriksaan dokumen (khususnya monografi atau profil
desa, atau statistik desa, atau data lainnya yang ada) serta melalui FGD. Pemberdayaan
masyarakat (community based development); Enterpreneurship model.
3.2. Ruang Lingkup Kegiatan
Ruang lingkup kegiatan yang dilakukan adalah :
-
Melakukan survey untuk kajian potensi ekowisata Subak Kerdung.
-
Melakukan pertemuan dengan petani dan aparat Desa untuk persepsi tentang
ekowisata
-
Menentukan program aksi yang dapat dilakukan baik itu sarana dan ide yang dapat
dilakukan di lokasi studi;
-
Program pembersihan saluran irigasi
-
Memberdayakan masyarakat dengan partisipasi aktif masyarakat mulai perencanaan
pemanfaatan dan pengendalian ekowisata di daerah penelitian.
9
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kondisi Fisik Subak Kerdung
Luas subak di Kecamatan Denpasar Selatan adalah 935 Ha, sedangkan luas Subak
Kerdung saat ini tinggal 215 Ha saja. Secara geografi Subak Kerdung terletak di Kelurahan
Pedungan, Kecamatan Denpasar Selatan dan secara geografi terletak antara garis bujur
115o11’23’’ dan 115o12’33’’ BT serta di antara garis lintang 8o42’34’’ LS dan 8o44’49’’ LS.
a.
Iklim
Keadaan iklim wilayah Denpasar Selatan secara umum mirip dengan keadaan umum iklim
Pulau Bali yaitu di pengaruhi oleh pengendali-pengendali iklim seperti interaksi laut-atmosfer,
aktivitas konvergensi, pertemuan masa udara dari belahan bumi utara dan selatan, tumbuhnya
pusat tekanan rendah, pengaruh kondisi lokal setempat seperti keberadaan vegetasi dan
keadaan topografi. Pengaruh pengendali-pengendali iklim tersebut menyebabkan perbedaan
pada besaran unsur-unsur iklim dari lokasi yang satu ke lokasi yang lain serta dari waktu ke
waktu.
Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena keragamannya
sangat tinggi dari segi waktu maupun tempat dan air hujan juga merupakan faktor penting
dalam siklus hidrologi. Curah hujan tahunan ke dua kecamatan tersebut pada tahun 2014
berdasarkan pos pengamatan BMKG Denpasar adalah 2.026,2 mm/tahun dengan curah hujan
tertinggi terjadi pada bulan Januari yaitu sebesar 730,5 mm/bulan dan terendah pada bulan
Juni dan Agustus yaitu sebesar 0,2 mm/bulan. Akan tetapi bila dilihat kondisi rata-rata 10
tahun terakhir maka curah hujan di wilayah Denpasar Selatan tersebut adalah sebesar 1.901
mm/tahun dengan curah hujan tertinggi pada bulan Desember yaitu 338 mm/bulan dan
terendah pada bulan Agustus yaitu sebesar 22 mm/bulan. Jumlah hari hujan selama tahun
2011 adalah 130 hari yang terbanyak terjadi pada bulan Januari yaitu 28 hari sedangkan bulan
Juni dan Agustus memiliki hari hujan selama 1 hari.
b. Penggunaan Lahan
Subak Kerdung dengan luas total sekitar 215 Ha di Tahun 2010 merupakan kawasan
pesawahan yang diapit oleh kawasan terbangun, sehingga subak ini secara perlahan
mengalami alih fugsi lahan menjadi kawasan terbangun terutama untuk permukiman. Di
10
daerah perkotaan seperti Kota Denpasar, proses alih fungsi lahan dari lahan produktif menjadi
lahan permukiman sangat cepat yang diakibatkan oleh proses urbanisasi dan meningkatnya
taraf ekonomi masyarakat perkotaan.
Berdasarkan interpretasi terhadap citra ALOS/AVNIR-2 tahun 2008 oleh Pusat Penelitian
Lingkungan Hidup (PPLH UNUD, 2009), wilayah Kecamatan Denpasar Selatan di dominasi oleh
tipe penggunaan lahan pemukiman yang mencakup lebih dari 40% dari total wilayah, Sawah
irigasi merupakan tipe penggunaan lahan terluas kedua yaitu menyisakan lahan sawah > 25%.
Tipe penggunaan lahan pemukiman di Kecamatan Denpasar Selatan adalah seluas 2.091,05 ha
atau 42,98% dari luas wilayah, adapun lahan sawah yang juga berfungsi sebagai ruang terbuka
hijau memiliki luas 1.219,27 ha. Luas sawah yang terletak di wilayah Subak Kerdung saat ini
tinggal kurang lebih 215 Ha, dari awalnya seluas 240 Ha karena terjadinya alih fungsi lahan
sawah menjadi pemukiman.
c.
Topografi
Topografi adalah bentuk wilayah dari suatu daerah, termasuk di dalamnya perbedaan
kecuraman, bentuk lereng, dan ketinggian tempat. Secara umum wilayah Subak Kerdung di
dominasi oleh wilayah dengan kelas lereng 0 – 8 %. Batuan permukaan berupa tanah yang
berkembang dari batuan gunungapi Buyan Beratan Batur Purba (Qpbb). Berdasarkan
pengamatan lapangan dan peta kelerengan lahan menunjukkan bahwa sebagian besar lokasi
Subak Kerdung diidentifikasi sebagai tipe dataran aluvial yang berasal dari lithologi batuan
sedimentary rock yang mempunyai indurasi batuan lemah dengan tipe batuan alluvium,
estuarine-marine baru. Tipe lahan ini mempunyai relief < 2 m dan lereng < 3 %, umumnya
mempunyai konfigurasi lereng datar sehingga tidak berpotensi terjadinya erosi tanah. Dilihat
dari distribusi kemiringan lahan wilayah Subak Kerdung memiliki kemiringan lahan 0 - 8 %
dikategorikan sebagai wilayah datar.
d.
Hidrologi
Wilayah Denpasar bagian selatan dimana Subak Kerdung berada merupakan wilayah
terpusatnya aliran air bawah tanah yang mengalir ke arah selatan dari daerah yang lebih tinggi
di sebelah utaranya baik wilayah Kota Denpasar maupun Kabupaten Badung. Terpusatnya
aliran air bawah tanah menuju ke laut sehingga wilayah ini mempunyai potensi air bawah
tanah yang tinggi seperti yang ditunjukkan Peta Hidrogeologi Bali (1998) bahwa wilayah ini
11
mempunyai potensi air bawah tanah yang tinggi dengan debit >10 lt/dtk. Imbuhan air bawah
tanah Kota Denpasar dari berbagai sumber penelitian menunjukkan nilai sebesar 6.141 lt/detk.
Berdasarkan DPU (1989) imbuhan air bawah tanah memasuki akifer Denpasar Selatan dan
mengalir ke arah laut sebesar 1,9 m3/dtk. Wilayah Denpasar bagian selatan yang mempunyai
luas wilayah 4.993 Ha atau 39,074 % dari seluruh luas Kota Denpasar, dari luas tersebut diatas
lahan pertanian seluas 935 Ha dan lahan terbangun seluas 4.058 Ha. Maka imbuhan air bawah
tanah adalah sebesar 2.399 lt/dtk.
Jumlah curah hujan tahun 2012 di Kecamatan Denpasar Selatan berkisar 1.0 - 466.0 mm
dan rata-rata 119,4 mm. Perhitungan imbuhan dari air hujan adalah diperhitungkan bahwa
luas wilayah merupakan daerah tangkapan hujan atau catchment area dikalikan dengan hujan
yang jatuh dikalikan dengan dengan nilai koefisien run off atau nilai resapan air masuk dalam
tanah. Dari perhitungan tersebut diperoleh nilai imbuhan air bawah tanah dari air hujan
sebesar 4.993 Ha atau 49.930.000 m2 x 119,4 mm atau 0,119 m = 5.971.642 m3/bln atau
2.303 lt/dtk.
e.
Tanah
Identifikasi umum terhadap jenis tanah yang mendominasi wilayah Subak Kerdung
menunjukkan jenis tanah yang belum begitu berkembang dan dikelompokkan ke dalam ordo
Inceptisol dari great group Hydraquept atau Aquept (Soil Survey Staff, 1992), dengan bahan
induk Alluvium dan bereaksi netral.
Tanah-tanah di lokasi studi yaitu, di Subak Kerdung Kelurahan Pedungan, Kecamatan
Denpasar Selatan, menunjukkan ukuran fraksi yang bervariasi yang umumnya berukuran cukup
halus sampai sangat halus. Ukuran fraksi tanah secara garis besar dibedakan atas fraksi pasir,
debu dan liat. Perbandingan relatif dari ketiga fraksi tersebut dikenal dengan sebutan tekstur
tanah. Dari hasil penetapan tekstur tanah di laboratorium, tanah di kawasan ini memiliki
tekstur liat berdebu, yaitu gabungan komposisi fraksi tanah halusnya lebih dominan serta
melekat.
Karakteristik fisik tanah merupakan sifat - sifat yang menggambarkan keadaan fisik
tanah yang lebih mencerminkan fungsi tanah sebagai bahan filter / penyaring. Dalam
pengkajian PP 150 tahun 2000 tentang pengendalian kerusakan tanah untuk produksi
biomassa bagian lampiran diuraikan kriteria kerusakan tanah di lahan kering, parameter parameter yang dipantau yang termasuk dalam sifat fisik tanah adalah sebagai berikut.
12
Sifat fisik tanah
 Ketebalan Solum
Ketebalan solum di semua lokasi sampling sebagian besar lebih dari 100 cm, dimana
nilai ini di luar ambang kritis yang ditetapkan yaitu < 20 cm. Ketebalan solum tanah
mencerminkan zona keleluasaan perkembangan akar, pengambilan air dan hara serta untuk
menopang batang tubuh tanaman itu sendiri. Tebal < 20 cm menjadi penghambat keleluasaan
akar kecuali untuk tanaman rerumputan. Nilai 20 cm Juga dimaknai oleh jenis tanah Litosol
(tanah tipis dibatasi oleh batuan). Ketebalan solum tanah. penting untuk diamati karena
menentukan jumlah total unsur hara maupun air yang tersedia bagi tanaman. Ketabalan solum
tanah diukur langsung di lapangan dengan menggunakan meteran.

Kebatuan Permukaan
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan yang dilakukan menunjukkan bahwa pada
semua lokasi sampel yang dipantau tidak terdapat kebatuan di permukaan. Kebatuan
menunjukkan persentasi kehadiran batu (baik ukuran kerikil 0,2 — 6,4 cm, kerakal 6,4 - 25 cm
maupun batu > 25 cm) yang muncul di permukaan tanah, Keberadaan bahan ini yang melebihi
40% sangat mengurangi keleluasaan perkembangan akar untuk menyerap air dan hara.
Kebatuan perniukaan menentukan mudah tidaknya tanah diolah.

Komposisi fraksi
Hasil pengukuran komposisi fraksi yang dilakukan pada semua lokasi sampling
menunjukkan kandungan fraksi lempung/clay. Kriteria fraksi pasir < 80% (dibawah ambang
kritis) sehingga pada lokasi ini kemampuan tanah mengikat unsur hara maupun air cukup baik.
Penyerapan dan penyedia hara terletak pada koloid tanah yang merupakan gabungan dari
koloid organik dan clay, sedangkan perbandingan fraksi tanah (pasir, debu, lempung)
menentukan tekstur tanah yang berpengaruh terhadap kemampuan tanah dalam mengikat
unsur hara maupun air dan berhubungan dengan derajat kelulusan air (permeabilitas). Makin
kecil ukuran fraksi penyusun tanah makin halus teksturnya maka makin besar kemampuannya
dalam mengikat unsur hara maupun air.

Derajat Pelulusan Air (Permeabilitas)
Parameter permeabilitas menunjukkan kemampuan tanah untuk melalukan air secara
vertikal ke bawah solum tanah sehingga tanah terhindar dari erosi permukaan. Seluruh lokasi
sampel dalam penelitian ini memiliki permeabilitas yang tergolong rendah dan
mengindikasikan telah terjadinya kerusakan tanah ringan. Namun, resiko adanya erosi
13
permukaan akibat curah hujan dan nilai permeabilitas yang rendah dapat dieliminasi karena
sebagian besar lahan tergolong tanah sawah.

Berat Isi
Berat isi tanah menunjukkan tingkat kemampatan atau kesarangan tanah, sehingga
menentukan mudah tidaknya akar masuk dan berkembang serta mendapatkan oksigen, berat
tanah diukur untuk satu satuan volume (padatan tanah dan rongga/pori). Tanah yang padat
sukar untuk ditembus akar. Hasil pengamatan dilokasi nilainya secara umum <lebih rendah
daripada 1,4 g/cm3, yaitu pada kisaran antara 0,82 -1,13 g/cm3. Namun, parameter ini telah
mengindikasikan adanya kerusakan tanah ringan di lokasi pengamatan (Denpasar Selatan).
Sifat Kimia Tanah
Sifat kimia tanah merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa yang
bersifat kimia dan terjadi di dalam maupun di permukaan tanah sehingga akan menentukan
sifat dan ciri suatu tanah. Adapun karakteristik kimia tanah yang diamati meliputi pH tanah;
kandungan bahan organik; KTK tanah; Kejenuhan Basa; kandungan P dan K total tanah.

pH
Reaksi tanah (pH tanah) adalah suatu parameter yang menunjukkan keaktifan ion H+
dalam suatu larutan, yang berkesetimbangan dengan OH- yang terdapat di dalam sistem tanah.
Jadi, intensitas keasaman dari suatu sistem dinyatakan dengan pH dan kapasitas keasaman
dinyatakan dengan takaran H+ terdisosiasi ditambah H tidak terdisosiasi di dalam sistem.
Sistem tanah yang didominasi oleh ion-ion H+ akan bersuasana asam, namun sebaliknya akan
bersuasana basa/alkalin bila didominasi oleh ion-ion OH-. Penyebab keasaman tanah adalah
ion H+ dan Al3+ yang berada dalam larutan tanah dan komplek jerapan. Bila pH sama dengan 7
menunjukkan keadaan netral. Reaksi tanah (pH) kurang dari 7 itu menunjukkan keadaan
asam, dan pH lebih dari 7 menunjukkan keadaan alkalis.
Nilai pH tanah dari masing-masing lokasi sampel di Kecamatan Denpasar Selatan
berada pada kisaran netral (6,9 – 7,0 ). Berdasarkan kisaran nilai pH tanah yang diperoleh,
maka tanah di daerah Kecamatan Denpasar Selatan tergolong baik (sesuai untuk aktivitas
pertanian). Pada pH netral sebagian besar unsur hara tanah akan tersedia untuk tanaman,
kecuali beberapa unsur mikro.
14

Bahan Organik
Tanah merupakan penyimpan karbon terbesar dalam ekosistem daratan dan
memegang peranan penting dalam siklus karbon secara global. Penyerapan karbon oleh tanah
merupakan salah satu cara yang diperlukan untuk mengurangi akumulasi karbon di dalam
atmosfir, sehingga mampu mengurangi risiko perubahan iklim. Karbon disimpan dalam tanah
dalam bentuk yang relatif stabil, baik melalui fiksasi CO2 atmosfer secara langsung maupun
tidak langsung melalui fotosintesis tanaman. Kehilangan C-organik tanah ini seringkali
dikaitkan dengan tingkat produksi yang rendah. Itulah sebabnya C-organik dipakai sebagai
salah satu indikator dalam menentukan tingkat kesuburan suatu tanah. Berdasarkan hasil
penetapan C-organik tanah pada ketiga lokasi pengamatan di Subak Kerdung diperoleh
kandungannya berturut=turut 2,03%; 2,01% dan 2,09% yang kesemuanya tergolong dalam
kriteria sedang.

KTK
Kapasitas tukar kation tanah mencerminkan kemampuan koloid
tanah dalam
menjerap dan mempertukarkan kation-kationnya di dalam tanah. Makin tinggi KTK yang
dimiliki suatu tanah makin besar pula kemampuan tanah itu untuk menjerap atau memegang
dan mempertukarkan hara yang dimilikinya. Berdasarkan pengukuran KTK tanah pada ketiga
lokasi pengamatan di Subak Kerdung berturut-turut mendapat hasil pengukuruan sebesar
26,02; 24.32; dan 32,18 me/100 gr. Yang ketiganya tergolong dalam kriteria tinggi.
Salah satu reaksi terpenting yang umum terjadi dan senantiasa berlangsung di dalam
tanah adalah reaksi pertukaran kation. Mudah tidaknya kation-kation dalam tanah digantikan
atau dipertukarkan oleh ion H+ dari akar tanaman bergantung pada kejenuhan kation tersebut
pada kompleks jerapan tanah.
Bila kejenuhannya tinggi, maka akan mudah digantikan,
sebaliknya akan sukar dipertukarkan bila kejenuhannya rendah.
Kejenuhan suatu kation
adalah perbandingan kation tersebut dengan seluruh kation terjerap baik kation asam maupun
kation basa (KTK). Kejenuhan basa (KB) merupakan perbandingan antara semua kation basa
dengan KTK tanah. Kejenuhan Basa tanah biasanya dinyatakan dalam persen. Berdasarkan
pengukuran persentase KB tanah pada ketiga lokasi pengamatan di Subak Kerdung berturutturut mendapat rata-rata hasil pengukuruan sebesar 90,22% yang tergolong dalam kriteria
tinggi. Selanjutnya berdasarkan hasil pengukuran kandungan P205 dan K20 tanah diperoleh
rata-rata kandungan total kedua unsur tersebut berturut-turut sebesar 22,47 mg/100g
tergolong sedang dan 80,02 mg/100g tergolong sangat tinggi.
15
Dari pantauan hasil pengukuran beberapa sifat kimia tanah di Subak Kerdung yang
telah dikemukakan di atas, akhirnya dapat dihitung atau diperoleh tingkat kesuburannya
berdasarkan pada pedoman evaluasi kesuburan tanah PPT (1995), bahwa tanah sawah di
Subak Kerdung tergolong memiliki tingkat kesuburan tanah yang tinggi.
4.2. Potensi Ekowisata Subak Kerdung
Potensi kowisata dalam kajian ini dilihat dari 4 (empat) aspek, yaitu atraksi/daya tarik,
aksesbilitas, sarana prasarana dan ancillaries.
1). Daya Tarik
Daya tarik ekowisata yang utama adalah alam termasuk flora dan faunanya, flora
fauna di Subak Kerdung sangat beragam. Fauna darat yang berupa fauna darat aves dan non
aves da nada juga yang merupakan satwa yang dilindungi, yaitu kokokan (Egretta spp.;
E.garzetta & E. alba), kuntul kerbau (Bubulcus ibis), Javan King Fisher (Halcyon cyanoventris).
Sedangkan fauna darat non aves yang merupakan satwa yang dilindungi adalah Landak.
Binatang piaraan yang ada di Subak Kerdung dan berada di pesawahan adalah Sapi. Fauna
akuatik yang banyak ditemukan adalah be peletimah, kakul, katak dan lainnya.
Flora utama yang dibudidayakan adalah padi dan berbagai jenis tanaman hortikultura dan uga
berbagai tanaman liar yang belum dimanfaatkan oleh masyarakat.
Kondisi fisik subak dari hasil pengukuran beberapa sifat kimia tanah seperti yang telah
dikemukakan di atas, akhirnya dapat dihitung atau diperoleh tingkat kesuburannya
berdasarkan pada pedoman evaluasi kesuburan tanah PPT (1995), bahwa tanah sawah di
Subak Kerdung tergolong memiliki tingkat kesuburan tanah yang tinggi. Kondisi hidrologi
terutama air irigasi juga tersedia sepanjang tahun.
Daya tarik budaya yang berupa aktivitas ritual keagamaan di sawah dapat pula
menunjang ekowisata menjadi daya tarik sector budaya demkian pula adanya pura subak.
2). Aksessibilitas
Subak Kerdung di Pedungan mempunyai lokasi yang strategis yang dapat diakses
dengan baik sari berbagai arah kota Denpasar. Lokasisnya adalah di Jl. Pulau Bungin masuk ke
selatan menuju Pura dalem terus kea rah pesawahan.
16
3). Sarana dan Prasarana
Sarana penting yang berkaitan dengan pengembangan ekowisata adalah adanya jalur
trekking dengan memanfaatkan pematang sawah. Disamping itu juga telah ada jalur sepeda
yang memanjang dari arah utara ke selatan sekitar 2 km, sementara ini jalur ini adalah jalur
petani untukmengangkut hasil panen.
4). Ancilaries
Hal yang penting terkait dengan ancillaries adalah keberadaan pengelola, aturan
penunjang, pemandu, kerjasama dengan travel agent, promosi dll
4.2. Persepsi dan Sikap Masyarakat
Persepsi dan sikap masyarakat diperoleh dari pertemuan dengan para petani
penggarap, pemilik , pekaseh, masyrakat maupun aparat kelurahan, pertemuan dilakukan baik
di Balai Subak Kerdung, Kantor Kelurahan Pedungan maupun di Balai di Sawah. Persepsi dan
sikap masyarakat juga diperoleh dari hasil wawancara dengan tokoh masyarakat (Lurah dan
Pekaseh Subak Kerdung). Sebelum pertemuan denganseluruh komponen petani juga diawali
dengan melakukan demplot penanaman sayuran, buah dan tanaman obat.
Secara umum masyarakat setuju saja asal tidak mengganggu kegiatan pertanian yang
telah ada, persepsi dan pendapat masyarakat secara umum dapat di kelompokkan menjadi :
 Petani setuju adanya ekowisata namun perlu kesepakatan dengan para pemilik lahan
sawah
 Perlu sosialisasi lebih lanjut tentang ekowisata
 Setuju dibentuk ekowisata dengan nama Ekowisata Kerdung Hijau
 Mengembangkan tanaman yang menarik bagi wisata namun tidak mengganggu
adanya sawah
4.3. Gerakan Membersihkan Saluran Irigasi
Kerjabakti membersihkan saluran irigasi dilakukan bersama oleh BLH Kota Denpasar,
SKPD Kota Denpasar, PPLH Universitas Udayana, Kelurahan Pedungan, Komponen masyarakat.
Kerjabakti dilakukan pada hari Minggu dan dapat mengurangi tumpukan limbah padat yang
ada dan mengganggu kelancaran saluran irigasi, disamping itu juga dilakukan sosialisasi ke
masyarakat mengenai Ekowisata Kerdung Hijau.
17
4.4. Produk Ekowisata yang Dikembangkan
Berdasarkan potensi yang ada Subak Kerdung sangat potensial dikembangkan produk
ekowisata eko-agro wisata. Produk yang bisa dikembangkan adalah pusat bibit pertanian,
trekking, cycling, ekowisata pendidikan sawah dan hutan mangrove, culinary dll.
4.5. Analisis SWOT
Sebelum merumuskan rencana lebih lanjut ke depan, perlu kiranya dilakukan analisis
SWOT dengan mempertimbangkan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman terhadap
pengembangan ekowisata kerdung hijau ke depan.
Kekuatan

Pesawahan dengan pemandangan yang indah, flora, fauna dan budaya

Berdekatan dengan wisata hutan mangrove

Adanya jalur tracking

Dukungan dari masyrakat

Dukungan pemerintah

Semangat petani dengan ekowisata kerdung hijau

Kondisi fisik yang subur dan air tersedia

Banyak terdapat sapi di pesawahan
Kelemahan

Sosialisasi belum tuntas

Pemahaman tentang ekowisata

Organisasi pengelola belum terbentuk

Data potensi belum tergali maksimal

Pengemasan produk belum ada

Data potensi penunjang perlu tersedia

Belum ada fasilitas umum
Peluang

Pengembangan berbagai produk ekowisata (bird watching, camping, trekking,
education tour, ecoagro tour, pusat bibit, wisata mangrove dll
18
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Kesimpulan
Pengembangan Ekowisata Kerdung Hijau di Subak Kerdung, Kelurahan Pedungan
merupakan impian yang didukung oleh masyarakat petani dan masyarakat setempat. Pada
saat ini adalah baru tahap rintisan inisiasi yang belum terpikirkan secara menyeluruh. Kajian
lanjutan perlu dilakukan dengan menyerap aspirasi dari masyarakat.
5.2. Rekomendasi
Pengembangan Ekowisata Kerdung Hijau di Subak Kerdung, Kelurahan Pedungan
berdasarkan kajian sementara dapat direkomendasikan :
 Sosialisasi yang lebih luas ke seluruh pemangku Subak Kerdung
 Membuat perencanaan pembentukan Ekowisata Kerdung Hijau
 Pemetaan potensi ekowisata
 Kerjasama dengan pihak pengelola hutan mangrove
 Pembentukan Tim pengelola
 Kerjasama dengan pihak desa/kelurahan lain dalam penanganan limbah cair dan padat
yang masuk ke saluran irigasi
 Pedampingan bagi petani dalam mengembangkan tanaman
19
DOKUMENTASI
Gambar 1 dan 2 . Sosialisasi di Kelurahan Pedungan
Gambar 3 dan 4 . Sosialisasi di Balai Subak Kerdung
Gambar 5 dan 6 . Demplot tanaman sayuran, buah dan tanaman obat
20
Gambar 7 dan 8 . Demplot tanaman sayuran, buah dan tanaman obat
Gambar 9 dan 10 . Saat Panen Buah dan Sayur
Gambar 11 dan 12 . Ibu Walikota datang saat panen
21
Gambar 13 dan 14 . Ibu Walikota panen sayur
Gambar 15 dan 16 . Panen Semangka
Gambar 17 dan 18 . Sosialisasi di Balai Tengah Sawah
22
Download