proposal - WordPress.com

advertisement
PROPOSAL PENELITIAN
RELASI SOSIAL BEKAS WARGA BINAAN LEMBAGA
PEMASYARAKATAN (BWBLP) DI DESA NAMANG
KECAMATAN NAMANG KABUPATEN
BANGKA TENGAH
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara hukum telah mengatur setiap perbuatan
dan tingkah laku serta kekuasaan setiap orang harus dijalankan atas
dasar hukum yang adil dan baik. Hukum yang dibuat tersebut harus ada
untuk kenyamanan dan penataan negara yang lebih baik. Tidak hanya
negara yang mengatur hukum dalam kehidupan setiap orang, dalam
proses kehidupan manusia sebagai anggota masyarakatpun, seseorang
tidak dapat bertingkah laku semena-mena sesuai dengan keinginan
mereka. Seseorang harus bertingkah laku yang sesuai dengan nilai dan
norma yang berlaku di masyarakat itu sendiri. Lingkungan masyarakat
memiliki aturan, nilai, dan norma yang berlaku, yang mana
memberikan batasan bagi tingkah laku setiap orang yang hidup dan
bertempat tinggal di suatu lingkungan masyarakat.
Kondisi masyarakat modern saat ini yang sarat dengan berbagai
keinginan dan kebutuhan yang sangat kompleks memunculkan aspirasiaspirasi materil tinggi, dan sering disertai dengan ambisi-ambisi sosial
yang tidak sehat. Dambaan untuk pemenuhan materil yang melimpahlimpah, misalnya untuk memiliki harta kekayaan dan barang-barang
mewah, tanpa mempunyai kemampuan untuk mencapainya dengan
jalan yang wajar, mendorong seseorang untuk melakukan tindak
kriminal. Kondisi yang seperti ini menjadi permasalahan kriminalitas di
Indonesia yang tidak hanya terjadi pada salah satu kalangan tertentu,
1
namun pada kenyataannya semua kalangan memiliki potensi untuk
melakukan tindak kriminal itu sendiri.
Permasalahan kriminalitas di Indonesia tersebar di berbagai
daerah, tidak hanya kota-kota besar atau kota-kota kecil, bahkan setiap
lapisan daerah memiliki potensi untuk terjadi tindak kejahatan.
Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Bangka Belitung pun tidak luput
dari adanya permasalahan tindak kriminal. Tentu saja dengan berbagai
tingkat keparahan permasalahan kriminalitas yang berbeda-beda.
Berbagai
tindak
kriminalitas
yang
terjadi
seperti
pencurian,
perampokan, penipuan, perjudian, pencabulan, bahkan pembunuhan
dan berbagai tindak kejahatan lainnya merupakan permasalahan
kriminalitas yang sering terjadi. Tindak kriminalitas tersebut terjadi di
berbagai daerah di Indonesia dan Kabupaten Bangka Tengah tidak luput
atas terjadinya tindak kriminalitas tersebut.
Terkadang dengan cepatnya perubahan, ketidakstabilan, dan
kurangnya relasi sosial serta kurangnya atau tidak adanya kemampuan
seseorang dalam menyesuaikan diri dengan masyarakat dan lingkungan
sekitar, dapat menjadi penyebab seseorang menjadi sakit secara sosial.
Kondisi seperti ini dapat menjadi salah satu penyebab seseorang
melakukan tindak kriminal. Hal ini dapat dilihat dengan keberadaaan
pemberitaan mengenai kriminalitas yang terjadi di Indonesia, fenomena
tindak kriminal ini terjadi setiap hari. Tindak kriminal yang terjadi
tersebut tentu sangat mempengaruhi kenyamanan dalam menjalani
kehidupan sehari-hari terutama bagi masyarakat sekitar yang secara
langsung terkena dampak dari tindak kriminal tersebut.
Jumlah tindak kriminal di Indonesia sepanjang tahun 2012
sampai November 2012 mencapai 361.500 dengan resiko penduduk
yang mengalami kejahatan 136 orang. Jadi, setiap satu menit dan 36
detik terjadi satu kriminalitas/ kejahatan, hal ini diumumkan dalam
acara refleksi akhir tahun penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia.
Jumlah tindak kriminal ini cukup banyak dan tentu sangat
2
mengkhawatirkan karena kondisi lingkungan menjadi sangat tidak
aman dengan tindak kriminal yang tinggi.
Jumlah kasus kejahatan pada tahun 2011 untuk wilayah
Kabupaten Bangka Tengah tercatatat kasus kriminalitas yang terjadi
berdasarkan data di Polres Kabupaten Bangka Tengah mencapai 234
kasus. Angka tersebut menunjukkan kenaikan dibandingkan pada tahun
2010 yaitu berjumlah sekitar 205 kasus. Jumlah kenaikan kriminalitas
pada tahun 2010-2011 tersebut mencapai sekitar 14 persen. Kasus
kriminalitas yang paling menonjol yang terjadi pada tahun 2011 adalah
pencurian motor dengan pemberatan, dimana kasus pencurian motor ini
terjadi sebanyak enam hingga delapan kasus per bulannya. Angka
kriminalitas yang terjadi dalam rentang waktu 2010-2011 menunjukkan
adanya kenaikan jumlah kriminalitas, bukan tidak mungkin setiap
tahunnya angka ini terus bertambah, sehingga tindakan yang cepat
diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Setiap pelaku tindak kriminal yang tertangkap akan menjalani
proses hukum yang berlaku sesuai dengan tindak kriminal yang telah
dilakukan. Selama proses hukum tersebut berjalan, para pelaku tindak
kriminal
ini
dibina
di
Lembaga
Pemasyarakatan.
Lembaga
Pemasyarakatan yang disingkat LP menjadi tempat untuk melakukan
pembinaan terhadap Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan dan anak
didik pemasyarakatan di Indonesia. Melalui Lembaga Pemasyarakat ini
diharapkan adanya efek jera kepada pelaku kriminal, sehingga tidak
akan mengulangi kembali kejahatan yang terdahulu.
Selain itu memunculkan efek jera, Lembaga Pemasyarakatan
memberikan suatu pembinaan, yang mana melalui pembinaan tersebut
seseorang diharapkan memiliki kemampuan dan keterampilan di bidang
tertentu yang dapat meningkatkan mutu kehidupannya kelak setelah
keluar dari Lembaga Pemasyarakatan. Selain itu juga, dengan adanya
pembinaan tersebut dapat memberikan kontribusi dalam perbaikan
hidupnya supaya dapat hidup lebih layak. Melalui Lembaga
3
Pemasyarakatan
diharapkan
para
Warga
Binaan
Lembaga
Pemasyarakatan dapat mempersiapkan diri untuk hidup kembali secara
wajar di tengah-tengah kehidupan masyarakat tanpa menimbulkan
kesenjangan antara masyarakat dengan Bekas Warga Binaan Lembaga
Pemasyarakatan (BWBLP).
Setelah menjalani masa hukuman dan pembinaan di Lembaga
Pemasyarakatan (LP), seorang Bekas Warga Binaan Lembaga
Pemasyarakatan (BWBLP) akan kembali ke daerah atau lingkungan
masyarakat dimana ia bertempat tinggal sebelumnya. Momen bebas
dari Lembaga Pemasyarakatan seharusnya menjadi momen yang sangat
besar
dan
membahagiakan
bagi
Warga
Binaan
Lembaga
Pemasyarakatan. Namun ternyata mereka harus menghadapi tantangan
yang lebih besar lagi. Kesiapan Bekas Warga Binaan Lembaga
Pemasyarakatan (BWBLP) untuk melakukan relasi sosial kembali
dengan keluarga dan masyarakat menjadi sangat penting bagi seorang
BWBLP. Kadang kala hubungan yang terjalin antara BWBLP dengan
keluarga dan masyarakat menjadi tidak seharmonis sebelum BWBLP
tersebut masuk ke Lembaga Pemasyarakatan. Seseorang yang baru
keluar dari Lembaga Pemasyarakatan harus menghadapi tantangan dan
berbagai masalah lain terutama hukuman secara sosial yang dilakukan
oleh masyarakat.
Kehadiran Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan
(BWBLP) ke tengah-tengah kehidupan masyarakat tentu memunculkan
berbagai macam tanggapan yang berbeda-beda. Di dalam masyarakat
hukuman secara sosial kental terasa terhadap BWBLP. Hal tersebut
dapat ditunjukkan dengan berbagai sikap yang ditampilkan oleh
masyarakat. sebagian besar orang di dalam masyarakat terkesan
bersikap acuh tak acuh atas kehadiran BWBLP yang telah selesai
menjalani masa tahanan untuk menjadi bagian dari masyarakat. Selain
itu, terkadang masih adanya stigma atau cap bahwa seakan-akan
seseorang yang keluar dari Lembaga Pemasyarakatan oleh masyarakat
4
dianggap sebagai orang yang akan selalu melakukan tindak kriminal.
Masyarakat memandang dan mencap bahwa BWBLP sebagai orang
yang akan selalu berkepribadian kriminalis, sekalipun telah masuk ke
Lembaga Pemasyarakatan bukan tidak mungkin BWBLP tidak
mengulangi tindak kriminal yang dulu.
Kurang kepedulian masyarakat mengenai keberadaan Bekas
Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) dapat dilihat dari
bagaimana cara mereka berinteraksi antara satu sama lain. Kesulitan
masyarakat untuk menerima kehadiran BWBLP dengan cara melakukan
pengucilan terhadap BWBLP. Hal tersebut merupakan bagian dari
hukuman secara sosial yang dilakukan oleh masyarakat. Apabila hal
seperti ini terus berlanjut, dengan adanya perlakuan yang tidak adil
yang dilakukan oleh masyarakat, akibat yang paling buruk adalah
mereka dapat kembali mengulangi tindak kriminal yang dilakukan dulu.
Kondisi masyarakat yang berubah terus menerus senantiasa dan
beriringan dengan kejahatan tersebut. Tingkah laku yang menjurus pada
kejahatan sangat erat kaitannya dengan kehidupan sosial serta
berhubungan langsung dengan lingkungan, pekerjaan, dan lainnya.
Masalah yang dialami oleh BWBLP dapat berupa kesulitan untuk
memperbaiki relasi sosial dengan keluarga dan masyarakat. Kesulitan
ini diperoleh dari adanya stigam atau cap buruk yang terlanjur ada pada
diri BWBLP. Status sebagai BWBLP telah menjadi cap/stigma yang
melekat pada dirinya yang pada akhirnya berdampak juga masalah
sulitnya seorang BWBLP mencari pekerjaan. Cap atau stigma tersebut
menjadi penyebab mereka sulit memperoleh kepercayaan dari penyedia
layanan lahan kerja dan aturan khusu yang diberlakukan sehingga
membuat BWBLP kesulitan untuk mengakses pekerjaan.
Dalam kehidupan sehari-hari, berelasi sosial merupakan salah
satu hal yang sangat penting dalam terciptanya kesehatan jiwa/ mental
seseorang. Banyak orang yang tidak dapat mencapai kebahagiaan
karena ketidakmampuan dalam menciptakan relasi sosial yang baik
5
dengan sesama, baik dengan keluarga dan masyarakat pada umumnya.
Kondisi masyarakat yang masih sulit percaya dan masih adanya
prasangka negatif terhadap BWBLP sangat mempengaruhi bagaimana
relasi sosial yang terjadi antara keluarga, masyarakat dan BWBLP.
Kondisi tidak percaya dan prasangka buruk yang ditampilkan
oleh
masyarakat
tentu
sangat
berpengaruh
kepada
BWBLP.
Lingkungan yang tidak kondusif dan kurangnya dukungan oleh warga
masyarakat tentu dapat menjadi penyebab seorang BWBLP merasa
tidak diterima oleh masyarakat. hal seperti ini tentu dapat berdampak
pada hal terburuk yaitu seorang BWBLP kembali melakukan tindak
kriminal yang sebelumnya ia lakukan.
Terlepas dari bagaimana perlakuan serta sikap yang ditampilkan
oleh masyarakat terhadap BWBLP. Faktor peranan BWBLP itu sendiri
menjadi sangat penting dalam menjadikan dirinya dapat diterima
kembali oleh masyarakat. seorang BWBLP harus memiliki sikap
optimis dan percaya diri yang kuat agar mereka dapat kembali menjadi
bagian dari masyarakat. dengan memiliki sikap optimis dan percya diri,
diharapkan BWBLP dapat memiliki harapan yang kuat terhdap segala
sesuatu di dalam kehidupannya meskipun ia sedang dalam kondisi
memiliki masalah. Selain memiliki sikap optimis dan percaya diri,
seorang BWBLP harus dapat menunjukkan itikad baik untuk berubah,
sehingga masyarakat dapat kembali mempercayai diri BWBLP, dan
tentu dapat memperbaiki relasi sosial antara BWBLP dengan
masyarakat.
Dalam relasi sosial BWBLP, seorang pekerja sosial diharapkan
dapat membantu berkontribusi dalam membantu memecahkan masalah
yang dialami oleh BWBLP. Kondisi masyarakat yang sulit menerima
BWBLP sehingga menyebabkan relasi sosial yang terjalin diantara
keduanya renggang, tentu memerlukan pemecahan masalah. Salah satu
cara yang dapat dilakukan adalah dengan mempersiapkan kondisi
lingkungan masyarakat agar kondusif, agar masyarakat dapat mendukung
6
dan menerima BWBLP. Selain itu, pekerja sosial juga dapat membantu
BWBLP dengan memotivasinya agar terus berusaha melakukan hal-hal
baik untuk kembali memperoleh kepercayaan dan dukungan dari
masyarakat.
Berdasarkan permasalahan tersebut maka peneliti tertarik untuk
mengkaji lebih lanjut dan ingin meneliti lebih mendalam lagi tentang
“relasi sosial BWBLP di Desa Namang Kecamatan Namang Kabupaten
Bangka Tengah, karena untuk memudahkan pengumpulan data dan ada
banyak referensi yang dapat dimanfaatkan untuk penelitian ini. Lokasi
penelitian yang dekat dengan daerah asal peneliti sehingga akan lebih
mudah untuk melakukan penelitian.
Melalui penelitian ini, peneliti berharap dapat membantu
menemukan dan memecahkan masalah yang berkaitan dengan relasi
sosial Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP).
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah ini adalah : “Bagaimana relasi sosial Bekas
Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP)”? Selanjutnya
perumusan masalah ini akan dirinci pada sub-sub masalah sebagai
berikut :
1.
Bagaimana karakteristik responden?
2.
Bagaimana interaksi sikap responden dengan masyarakat?
3.
Bagaimana interaksi emosi responden dengan masyarakat?
4.
Bagaimana komunikasi responden dengan masyarakat?
5.
Bagaimana masalah yang dihadapi responden?
6.
Bagaimana harapan responden terhadap masalah?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran secara
empiris tentang :
1. karakteristik responden
2. interaksi sikap responden dengan masyarakat
3. interaksi emosi responden dengan masyarakat
7
4. komunikasi responden dengan masyarakat
5. masalah yang dihadapi responden
6. harapan responden terhadap masalah
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dicapai dalam penelitian ini yaitu :
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan
kontribusi terhadap ilmu pengetahuan dalam praktek pekerjaan sosial
khususnya mengenai Relasi Sosial Bekas Warga Binaan Lembaga
Pemasyarakatan (BWBLP).
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran terhadap pemecahan masalah yang berkaitan
dengan Relasi Sosial Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan
(BWBLP). Disamping itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi
dasar pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam menyusun
kebijakan bagi Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan
(BWBLP).
II. KAJIAN KONSEPTUAL
A. Penelitian Terdahulu
1. Relasi Sosial Anak Asuh Di PSAA Putra Bala Keselamatan
Maranatha Bandung Karya Ilmiah Ini oleh Ria Rezeki Angraeni
(KIA DIV STKS tahun 2010).
Penelitian ini menggambarkan program peningkatan relasi
sosial anak asuh melalui bimbingan sosial dan kegiatan rekreatif
berdasarkan hasil penelitian relasi sosial anak asuh PSAA Putra Bala
Keselamatan Maranatha Bandung, yang ditinjau dari aspek interaksi
sosial anak asuh dengan teman di panti, teman di sekolah, dan
pengasuh, perilaku serta peran sosial yang ditampilan oleh anak asuh
dan lingkungan sosialnya, serta kontak (frekuensi dan intensitas)
8
hubungan sosial anak asuh dengan teman di panti, teman di sekolah,
dan pengasuh.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif
dengan
pendekatan
kuantitatif,
yang
bertujuan
menggambarkan relasi sosial anak asuh di PSAA Putra Bala
Keselamatan Maranatha Bandung. Penelitian ini merupakan
penelitian populasi (sensus), yang menjadi reponden dalam penelitia
ini adalah anak asuh yang berusia 13<18 tahun sebanyak 31 orang.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah angket dan
observasi. Teknik pengumpulan data secara penelitian pupulasi
(sensus) subjek yang diteliti adalah anak asuh di PSAA Putra Bala
Keselamatan Bandung.
Hasil dari penelitian yang telah dilakukan adalah relasi sosial
anak asuh dengan lingkungan sosialnya (teman panti, teman di
sekolah, dan pengasuh) tidak terjalin dengan baik. Adanya
permasalahan interaksi seperti responden yang mengatakan bahwa
ada teman yang di sekolah yang menjauhi atau tidak mau berteman
dengan responden, hal ini menyebabkan responden tidak percaya diri.
Responden jarang berkomunikasi dengan pengasuhnya serta jarang
melakukan kegiatan bersama.
2. Penyesuaian diri Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan
(BWBLP) dengan masyarakat di Kecamatan Bantaeng Kabupaten
Bantaeng Provinsi Sulawesi Selatan Karya Ilmiah ini oleh Andi
Widyastuti (KIA DIV STKS tahun 2014)
Karya ilmiah ini meneliti tentang Penyesuaian diri Bekas
Warga
Binaan
Lembaga
Pemasyarakatan
(BWBLP)
dengan
masyarakat di Kecamatan bantaeng Kabupaten Bantaeng Provinsi
Sulawesi
Selatan.
Penelitian
dilakukan
untuk
mendapatkan
gambaran karakteristik responden, kesanggupan BWBLP dalam
berelasi yang sehat dengan masyarakat, kesanggupan bereaksi secara
efektif
dan
harmnis
terhadap
kenyataan,
menghargai
dan
9
menajalankan hukum yang berlaku tertulis dan tidak tertulis,
memberikan empati dalam masyarakat, masalah-masalah, dan
mengetahui harapan responden dalam penyesuaian diri.
Subyek penelitian ini adalah BWBLP Kecamatan Bantaeng
Kabupaten Bantaeng Provinsi Sulawesi Selatan. Metode penelitian
yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan
kuantitatif yaitu untuk menggambarkan atau melukiskan secara
sistematis fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antara fenomena
yang diteliti. Teknik penarikan sampel yang digunakan adalah sensus,
jumlah responden pada penelitian ini sebanyak 28 responden. Data
hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel dan dinarasikan dengan
kata-kata sehingga lebih mudah untuk diinterpretasikan. Teknik
pengumpulan data menggunakan angket, dan studi dokumentasi.
Masalah yang dialami oleh responden yaitu stigma dan
penerimaan
masyarakat,
kurang
percaya
diri
dan
sulitnya
mendapatkan pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Program yang ditawarkan untuk memecahkan masalah ini yaitu
program pemberdayaan BWBLP. Tujuan program ini yaitu
responden diharapkan dapat memperoleh tambahan pemasukan,
sehingga ia mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, dan mampu
memiliki waktu untuk bersosialisasi dengan masyarakat.
Hasil penelitian ini yaitu BWBLP meyakini dengan agama
yang dianut dengan ikut beribadah dengan masyarakat dapat
dijadikan dasar untuk menjadi lebih baik. Bekas Warga Binaan
Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) sadar bahwa stigma yang ada
pada dirinya tidak dapat hilang begitu saja. Kurangnya dorongan dari
masyarakat mengakibatkan responden menjadi lebih pesismis dan
sulit mendapatkan pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhan
BWBLP yang mneningkatkan resiko BWBLP kembali bertindak
jahat. BWBLP berharap dapat memenuhi kebutuhan dengan
memiliki pekerjaan.
10
3. Penerimaan keluarga terhadap Bekas Warga Binaan Lembaga
Pemasyarakatan (BWBLP) di Kelurahan Muara Tebo Kabupaten
Tebo Provinsi Jambi Karya Ilmiah ini oleh Mashuri (KIA DIV
STKS tahun 2009).
Karya ilmiah ini memuat gambaran hasil penelitian tentang
Penerimaan keluarga terhadap Bekas Warga Binaan Lembaga
Pemasyarakatan (BWBLP) di Kelurahan Muara Tebo Kabupaten
Tebo Provinsi Jambi. Tujuan penelitian ini untuk memperoleh
gambaran mengenai penerimaan keluarga terhadap Penerimaan
keluarga terhadap Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan
(BWBLP), meliputi bagaimana karakteristik sumber data, bagaimana
perhatian keluarga terhadap Bekas Warga Binaan Lembaga
Pemasyarakatan (BWBLP), bagaimana perlakuan keluarga terhadap
Bekas
Warga
Binaan
Lembaga
Pemasyarakatan
(BWBLP),
bagaimana kesempatan yang diberikan keluarga terhadap Bekas
Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP), bagaimana
kesempatan yang diberikan keluarga kepada Bekas Warga Binaan
Lembaga
Pemasyarakatan
(BWBLP)
untuk
mengembangkan
potensinya, dan bagaimana harapan-harapan sumber data.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif
untuk menggambarkan secara faktual tentang objek penelitian.
sumber data penelitian berasal dari keluarga Bekas Warga Binaan
Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP), seperti orangtua, saudara, dan
lingkungan sosial sumber data. Pengumpulan data dilakukan dengan
cara melakukan wawancara mendalam, observasi, dan studi
dokumentasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiga masalah pokok
yang menonjol pada sumber data, yaitu sikap sumber data yang
tidak memiliki kemampuan menyampaikan hal-hal yang sebenarnya
kepada BWBLP, kurangnya pemahaman dan pengetahuan keluarga
terhadap BWBLP sehingga muncul sikap keluarga yaitu sifat kehati-
11
hatian, kecemasan, serta ketakutan yang berlebihan, dan sumber
data enggan atau menyangkal bahwa salah satu anggota keluarganya
adalah BWBLP sehingga penanganan terhadap BWBLP menjadi
lambat. Tidak terjalin komunikasi yang baik antara BWBLP dengan
sumber data, sehingga menyebabkan penolakan. Kurangnya
pemahaman keluarga tentang masalah dan cara penanganan BWBLP.
Sumber data menyangkal bahwa salah satu keluarganya dalah
BWBLP, sehingga penanganan menjadi lambat.
4. Penerimaan keluarga terhadap Bekas Warga Binaan Lembaga
Pemasyarakatan (BWBLP) di Kota Pangkalpinang Provinsi Bangka
Belitung Karya Ilmiah ini oleh Bambang Tri Setiadi (KIA DIV
STKS tahun 2014).
Penerimaan keluarga merupakan bagaimana berhubungan,
pemberian perhatian, penghargaan, dan kepercayaan keluarga
terhadap Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji tentang penerimaan
keluarga terhadap Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan
(BWBLP) yang mencakup : karakteristik informan, hubungan
terhadap informan, perhatian terhadap informan, penghargaan
terhadap informan, kepercaaan terhadap informan, haapan-harapan
informan terhadap keluarga dengan permasalahannya.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif kualitatif. Sumber data yang digunakan pada penelitian ini
adalah sumber data primer dan sumber data sekunder. Teknik untuk
menentukan sumber data pada penelitian ini digunakan teknik
purposive. Teknik yang digunakan untuk pengumpulan data pada
penelitian ini adalah wawancara mendalam, observasi partisipatif,
dan studi dokumnetasi. Selanjutnya hasil penelitian ini menggunakan
teknik kualitatif.
Penerimaan keluarga terhadap Bekas Warga Binaan Lembaga
Pemasyarakatan (BWBLP) di Kecamatan Gerunggang kurang
12
mendapatkan penerimaan yang baik. Dari segi informan, ada
informan yang mendapatkan penerimaan yang kurang baik.
Penerimaan yang kurang baik dari keluarga disebabkan karena
perilaku BWBLP belum menunjukkan perubahan sikap yang baik
setelah kembali ke lingkungan keluarga maupun masyarakat.
Program untuk mengatasi masalah ini yaitu sosialisasi tentang
pentingnya peran dan fungsi keluarga bagi BWBLP. Hubungan
dengan kelurga kurang baik setelah keluar dari Lembaga
Pemasyarakatan (LP). Kurang kasih sayang, perhatian, penghargaan
dari keluarga. BWBLP kurang percaya diri dan kurang mendapatkan
kepercayaan dari keluarga.
5. Penerimaan Masyarakat terhadap Bekas Warga Binaan Lembaga
Pemasyarakatan (BWBLP) di desa Nagrag Kecamatan Cangkuang
Kabupaten Bandung Karya Ilmiah ini oleh Rangga Warsita Soekarno
(KIA DIV STKS tahun 2014).
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh penjelasan secara
mendalam tentang penerimaan masyarakat terhadap Bekas Warga
Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) di desa Nagrag
Kecamatan Cangkuang Kabupaten Bandung. Sub problematik dari
fokus penelitian tersebut yaitu bagaimana karakteristik masyarakat,
bagaimana masyarakat berhubungan dengan Bekas Warga Binaan
Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP), bagaimana penghargaan yang
diberikan masyarakat terhadap Bekas Warga Binaan Lembaga
Pemasyarakatan (BWBLP), dan bagaimana kepercayaan masyarakat
terhadap Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) .
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif
melalui pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah wawancara mendalam, obervasi, dan studi
dokumentasi. Penentuan informan dengan menggunakan purposive
sampling berjumlah lima orang yang berasal dari tokoh masyarakat,
masyarakat, dan berkas warga binaan.
13
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerimaan masyarakat
di Desa Nagrag terhadap BWBLP belum cukup baik. Masyarakat
ada yang bersedia menerima karena sudah berubah, ada yang
menganggapnya biasa-biasa saja, dan ada yang kurang menerima
BWBLP. Kepercayaan masyarakat hanya diberikan kepada BWBLP
yang telah berubah dan tidak mengulangi perbuatan yang salah.
Sebagian besar masyarakat kurang memberikan apresiasi kepada
BWBLP yang berperilaku baik. Warga kurang mempercayai
BWBLP. Warga kurang menerima BWBLP, kurang melakukan
komunikasi, kurang memberikan pengahargaan dan kepercayaan
kepada BWBLP.
Berdasarkan kelima penelitian terdahulu yang telah penulis
uraikan satu persatu maka perbedaan penelitian yang akan penulis
lakukan dengan penelitian terdahulu adalah relasi sosial Bekas
Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP), meliputi aspek
interaksi
sikap
responden,
interaksi
emosi
responden,
dan
komunikasi responden dengan masyarakat yang ada di Desa Namang
Kecamatan Namang. Peneliti secara spesifik mengambil lokasi di
Desa Namang Kecamatan Namang Kabupaten Bangka Tengah.
Peneliti menggunakan metode kuantitatif dengan menggunakan
penelitian survei.
B. Tinjauan Kepustakaan yang Relevan
1. Tinjauan tentang Relasi Sosial
Relasi sosial adalah faktor yang paling menentukan struktur
suatu masyarakat. Sebuah relasi sosial didasari komunikasi yang
merupakan dasar dari eksistensi masyarakat. Sehingga dapat
dikatakan bahwa relasi sosial merupakan dasar kerangka berpikir
yang tepat untuk mengamati dinamika perkembangan suatu
masyarakat.
Berbagai disiplin ilmu memiliki teori tentang relasi sosial.
Pembahasan tentang relasi sosial atau hubungan antar manusia tidak
14
terlepas dari pembahasan tentang komunikasi, interaksi sosial, proses
sosial, dan nilai-nilai sosial. Faktor-faktor tersebut membentuk
kesatuan dan saling mempangaruhi di dalam sistem hubungan.
pembahasan selanjutnya mengenai pengertian relasi sosial, aspekaspek relasi sosial, tahap perkembangan relasi, dan berbagai hal yang
berkenaan dengan relasi sosial.
a. Pengertian Relasi Sosial
Manusia pada dasarnya tidak dapat hidup sendiri, manusia
senantiasa
berhubungan
dengan
manusia
lainnya
dengan
lingkungan dimana manusia itu berada. Manusia saling bergantung
dengan manusia lainnya sehingga manusia yang satu dengan yang
lainnya saling membutuhkan.
Relasi terbentuk karena adanya aspek-aspek interaksi sikap
dan emosi, pengaruh dari sikap dan emosi ini akan tetap bertahan
meskipun proses komunikasi telah berakhir. Adanya interaksi sikap
dan emosi inilah yang dimaksud bahwa dalam komunikasi antar
pribadi (interpersonal communication) terbentuk relasi (Achlis,
1998: 9-10). Alo Liliweri (2005:125) berpendapat bahwa jika kita
berbicara tentang hubungan antar etnik, kita tidak dapat mengelak
dari konsep interaksi sosial, karena interaksi sosial merupakan
awal dari relasi sosial dan komunikasi antar manusia. Hal ini
berarti relasi terjadi karena adanya interaksi sikap dan emosi yang
akan memberikan kepuasan dan merupakan sumber utama
kebahagiaan seseorang.
Hidup bermasyarakat atau berkelompok dalam kehidupan
sehari-hari senantiasa akan terdapat relasi antar individu, antar
kelompok, maupun antar bangsa. Sejak lahir sampai akhir hayatnya
sebagian besar kehidupan manusia terlibat dalam proses relasi
sosial, seperti yang dikemukakan oleh Achlis, yaitu :
“Setiap orang pada saat dalam kehidupannya membentuk
relasi dengan banyak orang dalam berbagai kontek situasi.
15
Relasi-relasi ini membentuk pengaruh yang berbeda-beda
dalam dirinya. Ketika baru lahir lahir mula-mula orang
membentuk relasi dengan ibu atau pengaruh yang selalu
merawat atau memenuhi kebutuhannya, kemudian orang
lain dalam keluarga. Selanjutnya setelah agak besar mulai
berhubungan dengan orang lain di luar keluarga, seperti
teman sebaya, teman kerja, pacar, istri, suami,dan kemudian
dengan anak-anaknya.” (Achlis,1998)
Menurut Felis Biestek yang dikutip oleh Achlis (1998)
menjelaskan bahwa “Relasi semacam darah dan daging, atmosfir,
jembatan, atau seperti meja terbuka. Inti relasi adalah saling
pertukaran emosional secara kooperati (mutual), suatu interaksi
sikap yang dinamik, suatu medium dan koneksi antara orang, suatu
pertemuan atau hubungan profesional, atau suatu proses kerjasama
(mutual). Dari semua sifat yang menggambarkan relasi sosial
tersebut kiranya interaksi dan sifat dinamik merupakan hakekat
yang paling umum mengenai relasi.
Menurut Hellen Northern dalam bukunya Social Work With
Groups (1969:17), mengemukakan tentang relasi sosial sebagai
berikut :
Social relationship a term for the dynamic interlay of forces
in which contact between persons results in a modification of the
attitude and behavior of the participants communication both
verbal and nonverbal is basic to interaction.
Relasi sosial adalah suatu istilah untuk mempengaruhi yang
dinamis yang berlaku akibat adanya hubungan antara individu
sebagai hasil dari perubahan sikap dan tingkah laku dari partisipan.
Adanya komunikasi baik verbal maupun nonverbal, merupakan
dasar dari setiap relasi.
16
Definisi yang diungkapkan Hellen Northern, Dapat
dikatakan bahwa relasi sosial merupakan, proses interaksional
antara individu, keluarga, dan masyarakat. Dalam relasi sosial yang
dibentuk oleh individu dengan orang lain sering kali memberikan
kepuasan sehingga tujuan-tujuan, kebutuhan-kebutuhan akan
mudah terpenuhi. Keberhasilan individu di dalam melakukan relasi
sosial sangat tergantung pada bagaimana seseorang menggunakan
komunikasi pribadi secara efektif, dengan demikian proses
komunikasi antar pribadi merupakan dasar terbentuknya suatu
relasi sosial.
Berdasarkan dari beberapa definisi relasi sosial menurut
para ahli di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa relasi sosial
merupakan proses interaksional (hubungan sosial) antara dua orang
atau lebih diatur oleh norma-norma sosial, adanya interaksi sikap
dan emosi dan bagaimana seseorang menggunakan komunikasi
secara
efektif
agar
tujuan-tujuan,
kebutuhan-kebutuhannya
terpenuhi.
b. Aspek-Aspek Relasi Sosial
Achlis (1998:10) dalam relasi pekerjaan sosial menyatakan
bahwa dalam komunikasi antara orang-orang tidak hanya terjadi
penyampaian dan penerimaan pesan-pesan, melainkan juga terjadi
interaksi sikap dan emosi antara mereka. Pengaruh sikap dan emosi
ini bahkan tetap ada, meskipun proses komunikasi telah berhenti.
Aspek relasi sosial yaitu:
1) Interaksi Sikap
Interaksi merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis
yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan,
antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang
perorangan dengan kelompok manusia.
17
Sikap adalah keadaan diri dalam manusia yang menggerakkan
untuk bertindak atau berbuat dalam kegiatan sosial dengan
perasaan tertentu di dalam menanggapi obyek, situasi, atau
kondisi di lingkungan sekitarnya.
2) Interaksi Emosi
Interaksi merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis
yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan,
antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang
perorangan dengan kelompok manusia.
Emosi adalah suatu perasaan (afek) yang mendorong individu
untuk merespon atau bertingkah laku terhadap stimulus, baik
yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya.
Aspek lain dari relasi sosial yang diperoleh dari Glossaries
1 Pekerjaan Sosial (2004) yaitu komunikasi. Komunikasi
merupakan pertukaran informasi antara dua orang atau lebih.
Dalam
proses
pertukaran
ini
terjadi
kegiatan-kegiatan
memberi/ mengirim, menerima, dan menanggapi
(sebagai
umpan balik) pesan-pesan orang-orang yang berinteraksi.
Sikap dan emosi pengirim maupun penerima pesan sungguh
amat penting. Sebab sikap dan emosi tersebut dapat
memperngaruhi seluruh proses komunikasi (Achlis : 2011).
c. Tahap-Tahap Perkembangan Relasi (Achlis: 2011)
1) Initiating atau mengawali, relasi dimulai saat kontak awal
dengan orang lain, ada isyarat-isyarat untuk membentuk
percakapan, mencari kata pembuka.
2) Eksperimenting atau coba-coba, menjajaki lebih jauh orang
yang diajak berkomunikasi. Sering menggunakan small talk
sebagai berikut :
a) Menyediakan proses bermanfaat untuk mengungkapkan
topik-topik yang menarik bagi kedua belah pihak dan
membuka percakapan yang lebih mendalam.
18
b) Dasar untuk persahabatan di masa mendatang dan masa
kini.
c) Menyediakan prosedur aman untuk mendukung siapa kita
dan bagaimana orang lain.
d) Memungkinkan kita memelihara perasaan.
3) Intensifying atau pendalaman, kedua belah pihak menjadi
sahabat karib , mulai berbagi hal yang sama, lebih terbuka,
baik
dalam
Mengembangkan
memprediksi
nama
perilaku
panggilan
masing-masing.
masing-masing,
menempelkan postur dan penampilan yang sama, dalam
perasaan membentuk : “we filling”
4) Interfrating atau memadu, dua orang dikenal sebagai pasangan,
sinkronisasi interpersonal meningkat, diajukan dengan pakaian,
nyanyian yang sama dan lain-lain.
5) Bonding atau mengikat, interaksi menunjukkan adanya
komitmen diantara kedua belah pihak dan terjadi dalam suati
kontrak formal. Relasi menjadi melembaga dan formal
misalnya perkawinan atau perjanjian bisnis.
6) Differentiating atau membedakan diri “we feeling” berubah
menjadi “I orientation” mereka minta dibedakan terutama bila
ada masalah atau ketika berbuat salah maka proses pemisahan
telah dimulai.
7) Circum scribing atau membentengi, menutup diri, komunikasi
menurun baik kualitas maupun kuantitas, membatasi bidang
pembicaraan yang terbuka demi keamanan. Topik tidak
dibahas secara bebas dengan kedalaman yang sebenarnya.
Relasi
ditandai
dengan
kurangnya
energi,
penyusutan
kepentingan, dan kecelahan perasaan padanya.
8) Stagnanting atau stagnasi, mereka tidak merasa perlu lagi
berhubungan karena interaksi yang dihasilkan. Mereka
menganggap lebih baik tidak bicara, komunikasi terhenti sama
19
sekali. Batas hubungan tinggal bayangan dan tidak ada
perasaan berhubungan lagi.
9) Avoiding atau menghindar, menghindari kontak satu sama lain,
hubungan face to face
atau voice to voice sangat tidak
menyenangkan satu pihak atau keduanya. Menimbulkan kesan
yang dominan dan tanda-tanda perpisahan semakin jelas.
10) Termination
atau pemutusan hubungan, terminasi terjadi
apabila kedua belah pihak seutju cepat atau lama, berkahir
dengan baik atau pahit.
d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Relasi Sosial
Slamet Santoso (1992) dalam bukunya Dinamika Kelompok
mengemukakan
tentang
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
terbentuknya relasi sosial, yaitu :
1) Situasi sosial, akan memberikan bentuk tingkah laku terhadap
individu yang berada pada lingkungan yang bersangkutan.
2) Norma
kelompok,
sangat
besar
pengaruhnya
terhadap
terjadinya proses interaksi sosial terhadap individu.
3) Kepentingan
pribadi,
masing-masing
individu
memiliki
kepentingan sendiri yang tentunya akan berpengaruh terhadap
proses hubungan sosial.
4) Kedudukan, artinya setiap individu berhubungan sesuai dengan
kedudukan dan kondisinya yang bersifat sementara.
5) Penafsiran situasi sosial, artinya setiap situasi mengandung arti
bagi individu dalam melihat dan menafsirkan situasi tersebut
(Hal:16).
e. Unsur-Unsur Relasi Sosial
Robert Weiss (Scars dkk, 1985) mengemukakan rumusan
mengenai enam dasar ketentuan hubungan sosial, yaitu hal-hal
penting yang diberikan sebagai hubungan bagi individu. Keenam
unsur ini merupakan motif seseorang untuk menjalin relasi sosial,
diantaranya :
20
1) Kasih sayang
Rasa aman dan ketenangan yang diberikan oleh hubungan
yang sangat erta adalah wujud kasih sayang.
2) Integrasi Sosial
Integrasi sosial merupakan perasaan berbagai minat dan sikap
yang sering diberikanoleh hubungan dengan teman, rekan kerja,
atau teman seregu. Hubungan ini memungkinkan adanya
persahabatan
dan
memberikan
rasa
memiliki
terhadap
kelompok.
3) Harga diri
Harga diri ini diperoleh jika orang mendukung perasaan kita
bahwa kita adalah orang yang berharga dan berkemampuan.
4) Rasa persatuan yang dapat dipercaya
Rasa persatuan yang dapat dipercaya melibatkan pengertian
bahwa orang akan membantu kita saat kita membutuhkan.
5) Bimbingan
Unsur ini biasanya didapat dari hubungan yang profesional
seperti dokter, konselor, guru, teman, dan orang-orang yang
nasihat dan informasinya kita harapkan.
6) Kesempatan untuk mengasuh
Terjadi jika kita bertanggungjawab terhadap kesejahteraan
orang lain. mengasuh orang lain memberikan perasaan bahwa
kita dibutuhkan dan penting.
Keenam faktor yang diharapkan seseorang dari relasi sosial
itu dapat dipahami sebagai beberapa bentuk dari ganjaran
dalam teori pertukaran. Hal ini mengingatkan kita bahwa teori
pertukaran dalam relasi sosial begitu penting. Manfaat sebuah
hubungan terhadap seseorang adalah motif bagi orang tersebut
untuk memulai hubungan.
21
f. Bentuk-Bentuk Relasi Sosial
Pada hakekatnya relasi sosial mempunyai bentuk, yaitu
bentuk hubungan antar pribadi (interpersonal relationship) seperti
yang dinyatakan oleh Soerjono Soekanto (1990) bahwa bentukbentuk relasi sosial tersebut adalah sebagai berikut :
1) Relasi alamiah, yaitu bentuk relasi yang terjalin antara suami
dan istri, orang tua dengan anak dan sebagainya.
2) Bentuk relasi profesional, yaitu akan adanya kesadaran akan
tujuan tumbuh dari pengetahuan mengenai apa yang harus
dilaksanakan untuk mencapai tujuan itu.
3) Bentuk-bentuk hubungan lain seperti hubungan antara teman
dengan teman , hubungan antara penjual dan pembeli dan
sebagainya. (Hal:492)
Bentuk hubungan pribadi atau relasi-relasi dengan orang
lain ini sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan
manusia dalam kehidupan, karena hal lain sering kali memberikan
kepuasan dan merupakan sumber utama kebahagiaan seseorang.
Kesamaan umum dari relasi antar pribadi adalah relasi tersebut
merupakan proses yang dinamik, kontinyu, komulatif dan timbal
balik, tetapi juga memiliki ciri-ciri kekhasannya masing-masing.
Menurut Achlis (1998: 11-12) bahwa bentuk-bentuk relasi antar
pribadi satu sama lainnya dapat dibedakan dengan melihat :
1) Tujuannya
Tujuan ini biasanya ditentukan menurut hakekat dan
kualitasnya, berbeda misalnya tujuan hubungan antara anak
asuh di panti akan berbeda dengan hubungan antara pekerja
sosial dengan kelayakan tentang hakekat dan kualitas kedua
bentuk relasi tersebut.
22
2) Kesamaan
Posisi antara kedua belah pihak yang mengadakan relasi
terdapat hubungan timbal balik biasanya dalam berelasi antara
teman dengan teman terdapat kesamaan posisi masing-masing
tetapi tidaklah demikian halnya di dalam relasi antara
pembimbing dengan klien.
3) Komponen Emosional
Di dalam relasi, akan berbeda komponen emosional antara
pembimbing dengan klien daripada relasi antara penjual
dengan pembeli.
4) Relasi Profesional
Di dalam relasi profesional seperti halnya relasi antara
pekerja sosial dengan klien, antara dokter dengan pasien.
Sedangkan relasi non profesional seperti teman dengan teman.
g. Peranan Relasi
Menurut Epi Supiadi dalam Komunikasi dan Relasi Sosial
dalam Pekerjaan Sosial (2005:57), relasi berupaya memenuhi tiga
macam kebutuhan :
1) Need for Inclussion (Kebutuhan untuk Terlibat)
Mencakup membentuk dan memelihara perasaan mutual
interest dengan orang lain. Saling mementingkan bisa
bersama-sama dengan orang lain. Saling mementingkan
bersama-sama dengan orang lain atau diterima oleh orang lain.
jika kebutuhan ini terpenuhi kita akan merasa berguna,
sebaliknya jika tidak terpenuhi makan akan merasa sendirian
atau kesepian.
2) Need for Control (kebutuhan akan Pengendalian)
Mencakup kemampuan untuk mewujudkan dan memelihara
tingkat kepuasan kontrol dan kekuatan didalam relasi dengan
orang-orang. Jika kebutuhan ini terpenuhi maka kita dipandang
23
mampu membuat keputusan atau mempengaruhi orang atau
masa depan sendiri.
3) Need for Affection (Kebutuhan akan Kasih Sayang)
Mencakup memberi dan menerima cinta, kasih sayang, dan
atau mengalami relasi yang erat dan dekat.
2. Tinjauan tentang Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan
(BWBLP)
a. Pengertian Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan
(BWBLP)
Menurut Peraturan Menteri Sosial RI No. 8 tahun 2012,
Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) adalah
seseorang yang telah selesai menjalani masa pidananya sesuai
dengan keputusan pengadilan dan mengalami hambatan untuk
menyesuaikan kembali dalam kehidupan masyarakat, sehingga
mendapat
kesulitan
untuk
mendaptakan
pekerjaan
atau
melaksanakan kehidupannya secara normal.
Kriteria :
1) Seseorang (laki-laki/perempuan) berusia diatas 18 (delapan
belas) tahun;
2) Telah selesai dan keluar dari lembaga pemasyarakatan karena
masalah pidana;
3) Kurang diterima/dijauhi atau diabaikan oleh keluarga dan
masyarakat;
4) Sulit mendapatkan pekerjaan yang tetap; dan berperan
sebagai kepala keluarga/ pencari nafkah utama keluarga yang
tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya.
b. Permasalahan Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan
(BWBLP)
Menurut standar Pelayanan Minimal dan Rehabilitasi Sosial
Bekas Warga Binaan Pemasyarakatan (BWBP) yang dikeluarkan
24
oleh Departemen Sosial Republik Indonesia (2007), permasalahan
yang sering dialami oleh BWBP adalah :
1) Masalah Internal
Masalah internal adalah masalah yang muncul dari dalam
diri BWBP antara lain :
a) Adanya perbedaan suasana kehidupan mereka di LAPAS
dengan kehidupan di masyarakat, sehingga mereka
mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri.
b) Pengaruh kehidupan di dalam LAPAS membentuk
kepribadian tertentu yang menyulitkan mereka untuk
menyesuaikan diri dengan kehidupan di luar LAPAS,
sehingga memerlukan upaya edukatif untuk pemulihan.
c) Minimnya pendidikan dan keterampilan yang menyulitkan
mereka untuk mendapatkan kesempatan kerja.
d) Sebagian BWBP cenderung kurang memiliki motivasi
untuk mengembangkan kemampuan berusaha.
2) Masalah Eksternal
Masalah eksternal adalah masalah yang muncul dari
lingkungan sosial BWBP, antara lain :
a) Bekas Warga Binaan Pemasyarakatan (BWBP) yang baru
kembali ke masyarakat seringkali mengalami tekanan
psikologis masyarakat karena masih ada penilaian negatif
(stigmatisasi) terhadap mereka, dan tidak percaya, seolaholah mereka dianggap sama dengan masa lalunya.
b) Perilaku negatif di masa lalu yang tidak mudah terlupakan
dari ingatan keluarga sehingga ada sebagian
keluarga
tidak mudah menerima kembali BWBP ditengah-tengah
keluarga.
25
c. Faktor
Permasalahan
Bekas
Warga
Binaan
Lembaga
Pemasyarakatan (BWBLP)
Sebagai anggota keluarga dan masyarakat, Bekas Warga
Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) memiliki hak dan
kewajiban yang sama dalam melakukan aktivitas maupun
berhubungan dengan keluarga dan masyarakat di lingkungannya.
Namun, pada kenyataannya, hal ini tidak berjalan sesuai dengan
keinginannya,
karena
keluarga
dan
masyarakat
masih
menganggap bahwa mereka adalah orang yang masih berperilaku
tidak baik. Berdasarkan konsep Pola Operasional Penanggulangan
Masalah Bekas Hukuman, Departemen Sosial Republik Indonesia
(1982) menyatakan permasalahan yang sering dialami oleh Bekas
Warga
Binaan
Lembaga
Pemasyarakatan
(BWBLP)
atau
hukuman narapidana adalah :
1) Faktor Sosial Psikologis
a) Adanya rasa rendah diri dari Bekas Warga Binaan
Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) atau hukuman
karena hilangnya status sosial mereka sebagai anggota
keluarga atau masyarakat.
b) Hilangnya mata pencaharian.
c) Terputusnya hubungan dengan keluarga bahkan dengan
lingkungan masyarakat.
d) Rasa keterasingan dari bekas hukuman.
e) Perasaan berdosa dari bekas hukuman itu sendiri
2) Faktor Lembaga
Adanya peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan dari
lembaga-lembaga atau instansi-instansi yang seolah-olah
menutup kemungkinan bagi Bekas Warga Binaan Lembaga
Pemasyarakatan (BWBLP) untuk memperoleh pekerjaan
misalnya dalam satu persyaratan masuk bekerja tercantum
belum pernah tersangkut perkara hukum.
26
3) Faktor Sosial Budaya di Kalangan Masyarakat
a) Adanya anggapan dari sebagian besar masyarakat yang
seakan-akan sudah membudaya yaitu Bekas Warga Binaan
Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) adalah orang-orang
yang pribadinya tidak dapat diubah lagi menjadi manusia
yang baik.
b) Adanya gaya hidup yang berlebihan dari segolongan
masyarakat hal ini akan merangsang seseorang untuk juga
dapat memperolehnya entah dengan jalan apa saja tanpa
perhitungan sehingga terjadi pelanggaran norma-norma
hukum.
Segala kekurangan yang mereka miliki, membuat mereka
semakin tidak percaca diri untuk berada di lingkungan dan
keterbatasannya berhubungan dengan masyarakat. Sehingga
membuat mereka kurang mendapat informasi yang dibutuhkan
dalam upaya pengembangan diri.
3. Relevansi Praktek Pekerjaan Sosial dengan Permasalahan Bekas
Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP)
a. Pengertian Pekerjaan Sosial Koreksional
Pekerjaan sosial adalah suatu bidang keahlian yang
mempunyai tanggung jawab untuk memperbaiki dan atau
mengembangkan interaksi diantara orang dengan lingkungan
sosial
sehingga
menyelesaikan
orang
ini
tugas-tugas
memiliki
kehidupan
kemampuan
mereka,
untuk
mengatasi
kesulitan-kesulitan, serta mewujudkan aspirasi-aspirasi dan nilainilai mereka.
Pekerja sosial koreksional mencangkup sistem peradilan
kriminal (the criminal justice system). Ada tiga komponen utama
dalam sistem tersebut,
yaitu :
penegakan
hukum
(law
enforcement), pengadilan (the court), dan koreksi (correction).
27
Pekerjaan sosial koreksional merupakan suatu profesi kepada
manusia (individu, kelompok, dan masyarakat). Pekerja sosial
koreksional tidak hanya pada setting koreksional saja, melainkan
juga pada sistem peradilan pidana. Pekerja sosial koreksional
dalam
memberikan
pelayanan
profesinya
dilandasi
oleh
pengetahuan-pengetahuan dan keterampilan-keterampilan ilmiah
mengenai human relation (relasi antar manusia). Adapun
pekerjaan sosial menurut Charles Zastrow dalam Dwi Heru
Sukoco (1998:7) adalah kegiatan profesional untuk membantu
individu-individu, kelompok-kelompok, dan masyarakat
guna
meningkatkan atau memperbaiki kemampuan mereka dalam
berfungsi sosial serta menciptakan kondisi masyarakat yang
memungkinkan mereka mencapai tujuan. Sedangkan pengertian
pekerjaan sosial menurut Soetarso (2011:4) :
b. Tujuan Pekerjaan Sosial
Tujuan pekerjaaan sosial yang dikemukakan oleh Soetarso
(2011:4-5) adalah sebagai berikut :
1) Meningkatkan kemampuan orang untuk menghadapi tugastugas kehidupan dan kemampuan untuk memecahkan masalahmasalah yang dihadapinya.
2) Mengkaitkan orang dengan sistem yang dapat menyediakan
sumber-sumber,
pelayanan-pelayanan
dan
kesempatan-
kesempatan yang dibutuhkannya.
3) Meningkatkan kemampuan pelaksanaan sistem tersebut secara
efektif dan berkeprikemanusiaan.
4) Memberikan sumbangan bagi perubahan, perbaikan, dan
perkembangan kebijakan serta perundang-undangan sosial.
Tujuan-tujuan tersebut menjelaskan bahwa pekerja sosial
dalam melaksanakan prakteknya memberikan pertolongan
kepada individu, kelompok, dan masyarakat agar mempunyai
kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya.
28
Selain itu, pekerja sosial juga menghubungkan dengan sistem
sumber yang dapat memberikan pelayanan sosial serta
berusaha mengadakan perubahan dan pengadaan kebijakan
berkaitan dengan masalah yang ada.
c. Fungsi Pekerjaan Sosial
Fungsi pekerjaan sosial dalam upaya mencapai tujuannya
untuk memecahkan masalah relasi sosial Bekas Warga Binaan
Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) ini perlu memperhatikan
beberapa
fungsi
pekerjaan
sosial.
Soetarso
(2011:5)
mengemukakan fungsi-fungsi pekerjaan sosial sebagai berikut :
1) Membantu
orang
atau
keluarga
meningkatkan
dan
menggunakan secara efektif kemampuan-kemampuan yang
dimiliki untuk melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan
memecahkan masalahnya.
2) Menciptakan jalur-jalur hubungan diantara orang-orang
dengan sistem-sistem sumber.
3) Mempermudah
interaksi,
mengubah,
dan
menciptakan
hubungan-hubungan baru diantara orang-orang di lingkungan
sistem-sistem sumber.
4) Memberikan sumbangan bagi perubahan, perbaikan, dan
perkembangan kebijaksanaan dan perundang-undangan sosial.
5) Memeratakan sumber-sumber material.
6) Bertindak sebagai pelaksana kontrol sosial.
Sesuai dengan fungsi-fungsi pekerjaan sosial diatas, maka
pekerja sosial dalam memberikan pertolongannya pada Bekas
Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) agar dapat
diterima
masyarakat
dimanfaatkan
untuk
dengan
membentu
sumber-sumber
mereka
dalam
yang
bisa
mengatasi
permasalahannya. Selain itu, pekerja sosial juga bertindak sebagai
pelaksana kontrol sosial terhadap pelaksanaan pelayanan untuk
29
melihat apakah pelayanan yang diberikan telah dapat memenuhi
kebutuhan.
Kaitannya dengan permasalahan Bekas Warga Binaan
Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) yaitu pekerja sosial dengan
peranan dan keterampilannya dapat membantu mengembalikan
keberfungsian
sosial
Bekas
Warga
Binaan
Lembaga
Pemasyarakatan (BWBLP) agar bisa berelasi dengan lingkungan
dan masyarakat tanpa ada perasaan rendah diri. Adapun fungsi
utama pekerja sosial menurut Loenora Serafica-de Guzman dalam
Dwi Heru Sukoco (1998:54) yaitu sebagai berikut :
1) Fungsi Restoratif
Fungsi restoratif ini mencakup kegiatan penyembuhan
(treatment) dan rehabilitasi, khususnya terhadap kemampuan
klien dalam berelasi secara positif dan memadai dengan
lingkungan sosialnya. Kegiatan penyembuhan mencakup
kegiatan identifikasi, pengontrolan, dan penghapusan faktorfaktor yang ada di dalam proses relasi, khususnya
yang
disebabkan oleh kegagalan atau ketidakmampuan berrelasi
sosial. Sedangkan kegiatan rehabilitasi mencakup upaya
merekontruksi dan mengorganisasi pola-pola relasi yang
telah rusak dan pecah atau membangun kembali pola-pola
relasi yang baru.
2) Fungsi Preventif (Pencegahan)
Fungsi pencegahan dalam konteks pekerjaan sosial berupa
kegiatan untuk menemukan secara awal, mengontrol, dan
menghapuskan kondisi-kondisi yang menyebabkan orang
tidak mampu berfungsi sosial.
3) Fungsi Pengembangan
Fungsi pengembangan dalam pekerjaan sosial difokuskan
dalam
kepada
pengembangan
keberfungsian
sosial
30
orang/klien secara optimal sehingga dapat terealisasi potensipotensinya
dan
pengembangan
meningkat
ini
juga
pula
kemampuan.
berkaitan
dengan
Fungsi
kegiatan
membangun kembali self realization dan self actualization
serta cara-cara yang efektif untuk mengatasi berbagai macam
tantangan, kesulitan, dan tekanan hidup.
Fungsi-fungsi tersebut bertujuan untuk menciptakan kembali
keberfungsian sosial individu yang berkaitan dengan Bekas Warga
Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) dapat kembali
berelasi, mengembangkan potensi yang dimiliki secara optimal,
dan dapat mengatasi berbagai macam tantangan atau kesulitan
dalam lingkungan sosialnya.
d. Peranan Pekerjaan Sosial
Peranan yang utama dalam pekerjaan sosial koreksianal
adalah membantu Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan untuk
tidak membalas dendam atau menghukum. Pekerja sosial
menggunakan pengetahuan dan keterampilan dalam kegiatan
koreksi, rehabilitasi individu, agar klien kembali menjadi bagian
dari masyarakat. Peran pekerja sosial dalam membantu Warga
Binaan Lembaga Pemasyarakatan mengubah pola tingkah laku
agar konstruktif adalah :
1) Bekerja dengan individu untuk membantu mereka berubah
melalui pemahaman yang baik mengenai diri, kekuatan, dan
sumber-sumber dalam diri sendiri.
2) Modifikasi lingkungan menjadi iklim sosial yang sehat,
dimana ia tinggal dan hidup.
Berkaitan dengan individu dan lingkungan, pekerja sosial
selalu menjaga kedekatan dengan unit keluarga. Peranan pekerja
sosial pada sistem pemasyarakatan antara lain sebagai berikut :
31
1) Konselor
Membantu
Warga
Binaan
Lembaga
Pemasyarakatan
menyadari kesalahan yang diperbuat, menghilangkan perasaanperasaan yang menekan kehidupan Warga Binaan Lembaga
Pemasyarakatan serta memberikan keyakinan dan bimbingan
bagi penyesuaian diri Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan
dan memberikan alternatif pemecahan masalah bagi klien.
2) Motivator
Memberikan dukungan dan menumbuhkan semangat Warga
Binaan Lembaga Pemasyarakatan dalam rangka dalam rangka
memecahkan masalah dan hambatan yang dihadapi dalam
mengikuti kegiatan pembinaan yang diselenggarakan.
3) Ekspert
Memberikan
informasi
dan
masukan-masukan
yang
dibutuhkan oleh Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan serta
langkah-langkah yang harus ditempuh dalam memecahkan
masalah.
4) Terapis
Pekerja sosial mampu memberikan langkah-langkah terapi
bagi perubahan kepribadian dan perilaku Warga Binaan
Lembaga Pemasyarakatan selama berada di lingkunan
Lembaga Pemasyarakatan (LP).
5) Broker
Pekerja
sosial
permasalahan
yang
koreksional
dihadapi
berusaha
Warga
mengkaitkan
Binaan
Lembaga
Pemasyarakatan dengan sistem sumber yang dibutuhkan dalam
hal ini bertugas menghubungkan klien dengan lembaga atau
pihak lain yang diperlukan klien, guna mengatasi masalah serta
mencapai keberfungsian sosial.
32
6) Advokat
Peranan advokasi bagi klien yang masih bermasalah dengan
hukum dan peradilan (Pembelaan)
7) Mediator
Menjadi perantara (mediasi) dengan berbagai unit didalam
Lembaga Pemasyarakatan (LP).
e. Sistem Sumber Pekerjaan sosial
Sistem sumber diklasifikassikan ke dalam tiga bagian
menurut Allen Pincus dan Anne Minahan (dalam Dwi Heru
Sukoco, 1991:38-39) yaitu sistem sumber informal, formal, dan
kemasyarakatan.
1) Sistem Sumber Informal
Secara sederhana adalah sistem sumber yang dapat diakses
oleh masyarakat berdasarkan kedekatan, persaudaraan, dan
ketetanggaan.
Sumber
ini
biasanya
mengalir
dengan
sendirinya secara alamiah.
2) Sistem Sumber Formal
Sistem sumber formal adalah simtem sumber yang dapat
diakses oleh anggota keluarga dalam suatu perkumpulan atau
organisasi atau oleh masyarakat umum yang telah memenuhi
persyaratan yang ditentukan oleh organisasi tersebut.
3) Sistem Sumber Kemasyarakatan
Sistem sumber kemasyarakatan adalah sistem sumber yang
dapat diakses oleh masyarakat secara umum, siapa saja dapat
memanfaatkan sumber tersebut. Sumber kemasyarakatan
yang dapat diakses untuk meningkatkan, mengembangkan
atau memecahkan masalah. Sistem sumber kemasyarakatan
seperti rumah sakit, program-program latihan kerja, dan
pelayanan-pelayanan sosial.
33
III. METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Metode penelitian yang akan digunakan untuk meneliti relasi
Sosial Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) di
Desa Namang Kecamatan Namang Kabupaten Bangka Tengah
adalah metode kuantitatif dengan menggunakan penelitian survei.
Penelitian kuantitatif menurut Sugiyono (2005:8) yaitu
metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme,
digunakan
untuk
meneliti
pada
populasi/
sampel
tertentu,
pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data
bersifat kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis
yang telah ditentukan. Penelitian kuantitatif memberikan gambaran
mengenai
relasi
sosial
Bekas
Warga
Binaan
Lembaga
Pemasyarakatan (BWBLP) di Desa Namang Kecamatan Namang
Kabupaten Bangka Tengah.
Penelitian survei menurut Moh. Nazir (2013:56) yaitu
penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari
gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara
faktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi, atau politik dari suatu
kelompok maupun suatu daerah. Penelitian survei akan memberikan
gambaran mengenai topik yang diangkat, yaitu relasi sosial Bekas
Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) di Desa Namang
Kecamatan Namang Kabupaten Bangka Tengah.
B. Sumber Data
1. Sumber Data Primer
Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari
responden yaitu Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan
(BWBLP) yang bertempat tinggal di Desa Namang Kecamatan
Namang Kabupaten Bangka Tengah.
34
2. Sumber Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung
melalui studi dokumentasi. Data tersebut berkaitan dengan relasi
sosial Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP)
dan berdasarkan hasil penelitian orang lain yang berkaitan dengan
relasi sosial Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan
(BWBLP).
C. Definisi Operasional
Dalam upaya untuk menghindari penafsiran yang salah dan
membatasi ruang lingkup konsep yang akan digunakan dalam
penelitian ini, maka dirumuskan definisi operasional sebagai berikut:
1. Relasi sosial adalah hubungan yang saling mempengaruhi yang
terjadi antara Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan
(BWBLP) dengan masyarakat melalui komunikasi, interaksi sikap,
dan emosi dalam melakukan peran sosialnya di Desa Namang
Kecamatan Namang Kabupaten Bangka Tengah.
2. Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) di
dalam penelitian ini adalah laki-laki atau perempuan yang berusia
18-45 tahun yang menjadi responden utama dalam penelitian ini
dan telah selesai menjalankan masa hukumannya di Lembaga
Pemasyarakatan (LP) dan telah kembali ke keluarganya dan
berdomisili di desa Namang Kecamatan Namang Kabupaten
Bangka Tengah.
3. Desa Namang Kecamatan Namang Kabupaten Bangka Tengah
merupakan desa yang nantinya akan menjadi lokasi penelitian
relasi sosial Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan
(BWBLP).
D. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini yaitu Bekas Warga Binaan
Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) di Desa Namang Kecamatan
35
Namang Kabupaten Bangka Tengah yang berusia 18-45 tahun
dengan jumlah 32 jiwa. Populasi menurut Sugiyono (2010:80)
yaitu wilayah generalis terdiri dari objek atau subjek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan
oleh
peneliti
untuk
dipelajari
dan
kemudian
ditarik
kesimpulannya.
2. Sampel
Sehubungan dengan jumlah responden yang sedikit, maka
peneliti menjadikan semua populasi yang berjumlah 32 jiwa
dijadikan sampel dalam penelitian. Oleh karena itu peneliti
menggunakan sensus. Sampel adalah bagian dari jumlah dan
karakteristik
yang
dimiliki
oleh
populasi
tersebut
(Sugiyono,2010:81). Irawan Soehartono (1995:57) mengatakan
bahwa apabila kita menggunakan penelitian seluruh populasi,
berarti kita menggunakan sensus.
E. Uji Validitas
Untuk mengetahui ketepatan data ini diperlukan uji validitas.
Validitas alat ukur adalah suatu ukuran yang memungkinkan untuk
mengukur karakter yang akan diukur. Moh. Nazir (1988) mengatakan
bahwa validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat
keabsahan instrumen atau alat ukur peneilitain. Suatu instrumen
dikatakan valid jika mapu mengukur apa yang ingin dicapai dan
dapat memungkinkan data variable yang diteliti secara tepat. Uji
validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas muka
(face validity) yaitu sebelum instrumen digunakan terlebih dahulu
dikonsultasikan dengan dosen pembimbing sebagai orang yang ahli
dalam penelitian, sehingga instrumen tersebut dikatakan valid. Moh
Nazir (1988:179) mengemukakan validitas muka berhubungan
dengan penilaian para ahli tentang alat ukur yang digunakan.
36
F. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
diantara lain:
1. Angket (kuesioner)
Peneliti menggunakan teknik pengumpulan data angket
(kuesioner) sebagai alat untuk memperoleh data dari responden.
Dalam hal ini peneliti akan memberikan seperangkat pertanyaan
tertulis kepada responden untuk dijawab, jawaban pertanyaan
tersebut dapat dipilih langsung oleh responden. Pertanyaan yang
dibuat terkait dengan Relasi Sosial Bekas Warga Binaan
Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP).
2. Observasi
Teknik obseravasi yaitu teknik pengumpulan data dengan
melakukan pengamatan secara langsung ke lapangan dengan
menggunakan pedoman observasi sebagai dasar untuk melihat
relasi sosial Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan
(BWBLP) dengan keluarga dan masyarakat. Hal-hal yang akan
diobservasi diantaranya interaksi sikap dan emosi Bekas Warga
Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) saat berkumpul
dengan keluarga, teman sebayanya, maupun dengan masyarakat,
peran sosial yang ditampilkan oleh Bekas Warga Binaan
Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) di dalam lingkungannya,
serta komunikasi Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan
(BWBLP) dengan lingkungannya.
3. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi yaitu teknik pengumpulan data dengan
cara mempelajari dan mencatat data-data yang terdapat di Polsek
Kecamatan Namang. Studi dokumentasi yang dilakukan oleh
penulis dengan mempelajari beberapa tulisan, literatur, laporan
file, arsip yang berkaitan dengan geografis, demografi lokasi
37
penelitian, dan data-data lainnya yang dirasa perlu dan
berhubungan dengan permAsalahan penelitian.
G. Teknik Analisa Data
Teknik analisa data yag digunakan dalam proses analisis data
adalah teknik analisis kuantitatif. Menurut Moh. Nazir (2005:358)
bahwa analisis kuantitatif adalah mengelompokkan, membuat suatu
urutan, memanipulasi, serta menyingkatkkan data sehingga mudah
dibaca. Analisis kuantitatif yaitu menganalisis data secara rinci yaitu
dalam bentuk angka atau prosentase dari jawaban responden atas
pertanyaan penelitian untuk mendapatkan deskripsi tentang masalah
penelitian.
Selain
menggunakan
teknik
analisis
analisis
kualitatif.
kuantitatif,
Analisis
peneliti
kualitatif
juga
yaitu
menganalisis data yang diungkapan dalam bentuk narasi dengan cara
mengaitkan data hasil penelitian dengan
teori atau konsep yang
relevan dalam penelitian ini.
38
DAFTAR PUSTAKA
Abdulsyani, 1987. Sosiologi Kriminalitas. Bandung : Penerbit Remaja Karya
Achlis. 1983. Relasi Pekerjaan Sosial. Bandung : Kopma STKS
_____. 1998. Relasi Pekerjaan Sosial. Bandung : Koperasi Mahasiswa STKS
Moh. Nazir. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia :Jakarta
________. 2005. Metode Penelitian. Ghalia indonesia :Jakarta
________. 2013. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia :Bogor
Riucek, Joseph S & Warren Roland L. 1989. Introduction to Social Work.
Precticehall International Inc: New Jersey
Santoso, Slamet. 1992. Dinamika Kelompok. Bandung: Rosda Karya
Soehartono, Irawan. 1995.Metode Penelitian Sosial. Bandung : Remaja Rosada
Karya
Soetarso. 2011. Praktek Pekerjaan Sosial. STKS press : Bandung
Sukoco, Dwi Heru. 1991. Profesi Pekerjaan Sosial dan Proses Pertolongannya.
Kopma STKS : Bandung
______________. 1995. Profesi Pekerjaan Sosial dan Profesi Pertolongannya.
Bandung : Kopma STKS
______________. 1998. Profesi Pekerjaan Sosial dan Proses Pertolongannya.
Kopma STKS : Bandung
Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung :
Alfabeta
39
_______. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung :
Alfabeta
Supiadi, Epi. 2005. Komunikasi dan Relasi Pertolongan dalam Pekerjaan Sosial.
Bandung : Kopma STKS
Sumber Lain
Angraeni, Ria Rezeki. 2010. Relasi Sosial Anak Asuh Di PSAA Putra Bala
Keselamatan Maranatha Bandung. KIA DIV STKS
Widyastuti, Andi. 2014. Penyesuaian Diri Bekas Warga Binaan Lembaga
Pemasyarakatan (BWBLP) dengan Masyarakat di Kecamatan Bantaeng
Kabupaten Bantaeng Provinsi Sulawesi Selatan. KIA DIV STKS
Mashuri. 2009. Penerimaan Keluarga terhadap Bekas Warga Binaan Lembaga
Pemasyarakatan (BWBLP) di Kelurahan Muara Tebo Kabupaten Tebo
Provinsi Jambi. KIA DIV STKS
Setiadi, Bambang Tri. 2014. Penerimaan Keluarga terhadap Bekas Warga
Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) di Kota Pangkalpinang
Provinsi Bangka Belitung. KIA DIV STKS
Soekarno, Rangga Warsita. 2014. Penerimaan Masyarakat terhadap Bekas
Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) di desa Nagrag
Kecamatan Cangkuang Kabupaten Bandung. KIA DIV STKS
Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 08 Tahun 2012 tentang pedoman Pendataan
dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan
Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial.
Pola Operasional Penanggulangan Masalah Bekas Hukuman , Departeman Sosial
Republik Indonesia tahun 1982
40
Download