bab 4 mambangun karakter melalui pembelajaran kontekstual

advertisement
BAB 4
MAMBANGUN KARAKTER MELALUI PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
A. Paradigma Baru Pendidikan
Beberapa hal yang menjadi ciri praktik pendidikan di Indonesia selama ini adalah
pembelajaran selalu berpusat pada guru. Guru menyampaikan pelajaran dengan
menggunakan metode ceramah sementara para siswa hanya mendengar dan mencatatnya
pada buku catatan. Proses pembelajaran semacam ini, dianggap berhasil apabila guru dapat
mengelola kelas sedemikian rupa sehingga para peserta didik tertib dan tenang mengikuti
pelajaran yang disampaikan guru.
Pengajaran dianggap sebagai proses penyampaian fakta-fakta kepada para peserta
didik. Mereka dianggap berhasil dalam belajar apabila mereka mampu mengingat banyak fakta
dan mampu menyampaikan kembali fakta-fakta tersebut kepada orang lain ataupun
menggunakannya untuk menjawab soal-soal dalam ujian. Guru sendiri merasa belum
mengajar kalau tidak menjelaskan materi pelajaran kepada para peserta didik. Guru yang baik
adalah guru yang menguasai bahan, selain itu selama proses belajar mengajar mampu
menyampaikan materi tanpa melihat buku pelajaran. Guru yang baik adalah guru yang selama
2 kali 45 menit dapat menguasai kelas dan berceramah dengan suara yang lantang. Materi
pelajaran yang disampaikan pun harus sesuai dengan silabus atau apa yang telah tertulis di
dalam buku paket.
Praktik pendidikan yang selama ini berlangsung di sekolah ternyata sangat jauh dari
hakikat pendidikan yang sesungguhnya, yaitu pendidikan yang menjadikan siswa sebagai
manusia yang memiliki kemampuan belajar untuk mengembangkan potensi dirinya dan
mengembangkan pengetahuan lebih lanjut untuk kepentingan dirinya sendiri. Menurut Zamroni
1
(2000) praktik pendidikan yang demikian mengisolir diri dari lingkungan sekitar dan dunia
kerja, serta tidak mampu menjadikan siswa sebagai manusia yang utuh dan berkepribadian.
Paradigma baru pendidikan lebih menekankan pada peserta didik sebagai manusia
yang memiliki potensi untuk belajar dan berkembang. Siswa harus aktif dalam pencarian dan
pengembangan pengetahuan. Kebenaran ilmu tidak terbatas pada apa yang disampaikan oleh
guru. Guru harus mengubah perannya, tidak lagi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan
dan indoktriner, tetapi menjadi fasilitator yang membimbing siswa ke arah pembentukan
pengetahuan oleh diri mereka sendiri. Melalui paradigma baru tersebut diharapkan di kelas
siswa aktif dalam belajar, aktif berdiskusi, berani menyampaikan gagasan dan menerima
gagasan dari orang lain, hingga siswa memiliki kepercayaan diri yang tinggi (Zamroni, 2000).
1. Filsafat Kontruktivis dan Pembelajaran Kontekstual
Pada bagian ini akan diuraikan beberapa pendekatan baru dalam pembelajaran yang
relevan dengan paradigma baru pendidikan sebagaimana dijelaskan di atas. Pedekatan
tersebut adalah: pendekatan konstruktivis dan pembelajaran kontekstual.
Menurut faham konstruktivis pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari
orang yang mengenal sesuatu (skemata). Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada
orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya.
Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif di mana terjadi proses asimilasi dan
akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu skema (jamak:
skemata) yang baru. Seseorang yang belajar itu berarti membentuk pengertian atau
pengetahuan secara aktif dan terus-menerus (Suparno, 1997).
Prinsip-prinsip kontruktivisme banyak digunakan dalam pembelajaran. Prinsip-prinsip
yang diambil, menurut Suparno (1997), sebagai berikut:
(1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun sosial;
2
(2) pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya dengan
keaktifan siswa sendiri untuk menalar;
(3) siswa aktif mengkonstruksi terus-menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep
menuju konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah;
(4) guru sekadar membantu penyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa
berjalan mulus.
Menurut filsafat konstruktivis berpikir yang baik adalah lebih penting daripada
mempunyai jawaban yang benar atas suatu persoalan yang dipelajari. Seseorang yang
mempunyai cara berpikir yang baik, dalam arti bahwa cara berpikirnya dapat digunakan untuk
menghadapi fenomena baru, maka dia akan dapat menemukan pemecahan dalam
menghadapi persoalan lain (Suparno, 1997).
Seringkali diungkapkan bahwa menurut paradigma baru pendidikan peran guru harus
diubah, yaitu tidak sekedar menyampaikan materi pelajaran kepada para siswanya, tetapi
harus mampu menjadi mediator dan fasilitator. Fungsi mediator dan fasilitator dapat dijabarkan
dalam beberapa tugas sebagai berikut.
a. Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab
dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian. Karena itu memberi ceramah
bukanlah tugas utama seorang guru.
b. Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan
siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan
mengkomunikasikan ide ilmiah mereka (Watt & Pope, 1989). Menyediakan sarana
yang merangsang siswa berpikir secara produktif. Menyediakan kesempatan dan
pengalaman yang paling mendukung proses belajar siswa. Guru harus menyemangati
siswa. Guru perlu menyediakan pengalaman konflik (Tobin, Tippins, & Gallard, 1994).
3
c. Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran si siswa jalan atau
tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu
berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Guru membantu
mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa. (Suparno, 1997).
Agar peran dan tugas tersebut berjalan dengan optimal, menurut Suparno (1997),
diperlukan beberapa kegiatan yang perlu dikerjakan dan juga beberapa pemikiran yang
perlu disadari oleh pengajar, antara lain:
a. Guru perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk lebih mengerti apa yang sudah
mereka ketahui dan pikirkan.
b. Tujuan dan apa yang akan dibuat di kelas sebaiknya dibicarakan bersama sehingga
siswa bisa merasa benar-benar terlibat.
c. Guru perlu mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan
siswa. Ini dapat dilakukan dengan guru berpartisipasi sebagai pelajar juga di tengah
pelajar.
d. Diperlukan keterlibatan dengan siswa yang sedang berjuang dan kepercayaan
terhadap siswa bahwa mereka dapat belajar.
e. Guru perlu mempunyai pemikiran yang fleksibel untuk dapat mengerti dan menghargai
pemikiran siswa, karena kadang siswa berpikir berdasarkan pengandaian yang tidak
diterima guru.
2. Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual berangkat dari suatu kenyakinan bahwa seseorang tertarik
untuk belajar apabila ia melihat makna dari apa yang dipelajarinya. Sementaraitu, orang akan
4
melihat makna dari apa dipelajarinya apabila ia dapat menghubungkan informasi yang diterima
dengan pengetahuan dan pengelamannya terdahulu. Sistem pembelajaran kontekstual
didasarkan pada anggapan bahwa makna memancar dari hubungan antara isi dan
konteksnya. Konteks memberi makna pada isi. Apabila para siswa semakin banyak
menghubungkan pelajaran sekolah dengan konteks yang mereka alami, maka mereka lebih
banyak memperoleh makna dari pelajaran-pelajaran tersebut. Menemukan makna dalam
pengetahuan dan keterampilan membawa pada penguasaan pengetahuan dan ketrampilan
tersebut (Johnson, 2002).
Ketika siswa menemukan makna dari pelajaran di sekolah, mereka akan memahami
dan mengingat apa yang telah mereka pelajari. Pembelajaran konteksual memungkinkan
siswa mampu menghubungkan pelajaran di sekolah dengan konteks nyata dalam kehidupan
sehari-hari sehingga mereka mengetahui makna apa yang dipelajari. Pembelajaran
kontekstual memperluas konteks pribadi mereka, sehingga dengan menyediakan pengalamanpengalaman baru bagi para siswa akan memacu otak mereka untuk membuat hubunganhubungan yang baru, dan sebagai konsekuensinya, para siswa dapat menemukan makna
yang baru (Johnson, 2002).
Sesungguhnya, poembelajaran kontekstual merupakan sistem yang holistik
(menyeluruh). Ia terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan, yang apabila dipadukan akan
menghasilkan efek yang melebihi apa yang dapat dihasilkan oleh suatu bagian secara sendiri
(tunggal). Persis seperti biola, cello, klarinet dan alat musik yang lain dalam suatu orkestra
yang mempunyai suara yang berbeda, tetapi secara bersama-sama alat-alat musik tersebut
menghasilkan musik yang kaya suara dan lebih enak dinikmati. Jadi, bagian-bagian yang
terpisah dari CTL (pembelajaran kontekstual) melibatkan proses yang berbeda, apabila
digunakan secara bersama-sama, memungkinkan siswa membuat hubungan untuk
5
menemukan makna. Setiap elemen yang berbeda dalam sistem CTL memberikan kontribusi
untuk membantu siswa memahami makna pelajaran atau tugas-tuga sekolah (Johnson, 2002).
Dari uraian di atas, CTL didefinisikan sebagai suatu proses pendidikan yang bertujuan
membantu siswa melihat makna dari pelajaran sekolah yang sedang mereka pelajari dengan
menghubungkan pelajaran tersebut dengan konteksnya dalam kehidupan sehari-hari, baik
secara pribadi, sosial, maupun budaya. Untuk mencapai tujuan itu, sistem tersebut meliputi
delapan komponen: (1) membuat hubungan yang bermakna, (2) melakukan pekerjaan yang
berarti, (3) pengaturan belajar sendiri, (4) kolaborasi, (5) berpikir kritis dan kreatif, (6)
mendewasakan individu, (7) mencapai standar yang tinggi, dan (8) menggunakan penilaian
autentik. (Johnson, 2002).
B. Konsep Dasar Pembelajaran
1. Hakikat Pembelajaran
Pembelajaran merupakan suatu rangkaian peristiwa yang kompleks dan sistematis.
Dalam aktivitas pembelajaran terjadi interaksi guru dan siswa. Guru berperan sebagai
pengajar dan siswa sebagai pelajar. Belajar dan mengajar adalah dua kegiatan yang terjadi
bersamaan, tetapi memiliki makna yang berbeda, sebagaimana yang diungkapkan Suherman
(2003) bahwa “Peristiwa mengajar selalu disertai dengan peristiwa belajar, ada guru yang
mengajar maka ada pula siswa yang belajar. Namun, ada siswa yang belajar belum tentu ada
guru yang mengajar, sebab belajar bisa dilakukan sendiri.”
Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No.20 tahun 2003
mengatakan pembelajaran adalah proses interaksi siswa dengan guru dan sumber belajar
pada suatu lingkungan belajar.” Dalam artian pembelajaran merupakan proses belajar yang
diciptakan guru dengan tujuan untuk mengembangkan kreativitas berpikir siswa sehingga
kemampuan berpikir juga meningkat. Tidak hanya itu, proses belajar diharapkan dapat
6
meningkatkan kemampuan mengkonstruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan
penguasaan yang baik terhadap materi pelajaran.
Menurut Syaiful Sagala (2003) pembelajaran mempunyai dua karakteristik yakni:
Pertama, dalam proses pembelajaran melibatkan proses mental siswa secara maksimal,
bukan hanya menuntut siswa sekedar mendengar, mencatat akan tetapi menghendaki
aktivitas siswa dalam proses berpikir. Kedua, dalam pembelajaran membangun suasana
dialogis dan proses tanya jawab terus-menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan
meningkatkan kemampuan berpikir yang dapat membantu siswa untuk memperoleh
pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri.
Jika merenungkan penciptaan alam, khususnya penciptaan manusia ternyata
membutuhkan proses, begitu pun dengan belajar. Proses dan belajar adalah dua kata yang
tidak bisa dipisahkan. Kata proses berasal dari bahasa latin “processus” yang berarti berjalan
ke depan, sedangkan belajar pengertiannya telah dibahas pada bagian sebelumnya. Menurut
Chaplin, seperti dikutip Muhibin Syah (2000 : 113), proses adalah suatu perubahan yang
menyangkut tingkah laku atau kejiwaan. Lebih lanjut Syah mengutip Reber bahwa di dalam
psikologi belajar proses berarti cara-cara atau langkah-langkah khusus yang dengannya
beberapa perubahan ditimbulkan sehingga tercapainya hasil-hasil tertentu.
Dari dua pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa proses belajar dapat
diartikan sebagai tahapan perubahan perilaku kognitif, afektif dan psikomotoris yang terjadi
dalam diri siswa menuju kearah perubahan yang positif.
Dalam proses belajar-mengajar, guru merupakan figur sentral yang sangat penting. Di
tangan para gurulah terletak kemungkinan berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan pendidikan di sekolah, serta di tangan mereka pulalah bergantungnya masa depan karier para siswa.
7
Syamsudin (2002:155) mengatakan bahwa agar para guru mampu menunaikan
tugasnya dengan sebaik-baiknya, ia terlebih dahulu memahami dengan seksama hal-hal yang
bertalian dengan proses belajar-mengajar, seperti:
a. Siswa (dengan segala karakteristiknya), yang terus berusaha mengembangkan dirinya
seoptimal mungkin melalui berbagai kegiatan (belajar) guna mencapai tujuannya
sesuai dengan tahapan perkembangnan yang dialaminya.
b. Tujuan (ialah apa yang akhirnya diharapkan tercapai setelah adanya kegiatan belajarmengajar), yang merupakan seperangkat tugas atau tuntutan atau kebutuhan yang
harus dipenuhi atau sistem nilai yang harus tampak dalam perilaku dan merupakan
karakteristik kepribadian siswa yang seharusnya diterjemahkan ke dalam berbagai
bentuk kegiatan yang berencana dan dapat dievaluasi (terukur).
c. Guru (ialah orang dewasa yang karena jabatannya secara formal), selalu
mengusahakan terciptanya situasi yang tepat (mengajar) sehingga memungkinkan
terjadinya proses pengalaman belajar pada diri siswa, dengan mengerahkan segala
sumber dan menggunakan strategi belajar mengajar yang tepat.
GURU
Mengajar
Rencana
Evaluasi
SISWA
Belajar
8
TUJUAN
Gambar 2.1 Bagan Proses Belajar-Mengajar yang Elementer
2. Ciri-ciri Perubahan Perilaku Hasil Belajar
Moh Surya (1997) mengemukakan ciri-ciri dari perubahan perilaku, yaitu :
a. Perubahan yang disadari dan disengaja (intensional).
Perubahan perilaku yang terjadi merupakan usaha sadar dan disengaja dari individu
yang bersangkutan. Begitu juga dengan hasil-hasilnya, individu yang bersangkutan
menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan, misalnya pengetahuannya
bertambah atau keterampilannya meningkat, dibandingkan sebelum dia mengikuti
suatu proses belajar. Misalnya, seorang mahasiswa yang mendalami psikologi
pendidikan. Dia menyadari bahwa dia sedang berusaha mempelajari tentang Psikologi
Pendidikan. Begitu juga, setelah belajar Psikologi Pendidikan dia menyadari bahwa
dalam dirinya telah terjadi perubahan perilaku, memperoleh sejumlah pengetahuan,
memiliki sikap dan keterampilan yang terkait dengan Psikologi Pendidikan.
b. Perubahan yang berkesinambungan (kontinyu).
Bertambahnya pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki pada dasarnya
merupakan kelanjutan dari pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh
sebelumnya. Begitu juga, pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang telah diperoleh
itu, akan menjadi dasar bagi pengembangan pengetahuan, sikap, dan keterampilan
berikutnya. Misalnya, seorang siswa yang mendalami Ilmu Menulis tentang Cara
Menulis Praktis”. Ketika dia mengikuti pelajaran “Strategi Menulis Praktis”, maka
pengetahuan, sikap dan keterampilannya tentang “Cara Menulis Praktis” akan
dilanjutkan dan dapat dimanfaatkan dalam mengikuti pelajaran “Strategi Menulis
Praktis”.
c. Perubahan yang fungsional.
9
Setiap perubahan perilaku yang terjadi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup
individu yang bersangkutan, baik untuk kepentingan masa sekarang maupun masa
mendatang. Contoh: seorang mahasiswa mendalami psikologi pendidikan, maka
pengetahuan dan keterampilannya dalam psikologi pendidikan dapat dimanfaatkan
untuk mempelajari dan mengembangkan perilaku dirinya sendiri maupun mempelajari
dan mengembangkan perilaku para peserta didiknya kelak ketika dia menjadi guru.
d. Perubahan yang bersifat positif.
Perubahan perilaku yang terjadi bersifat normatif dan menujukkan ke arah kemajuan.
Misalnya, seorang mahasiswa sebelum belajar Psikologi Pendidikan menganggap
bahwa dalam dalam Prose Belajar Mengajar tidak perlu mempertimbangkan
perbedaan-perbedaan individual atau perkembangan perilaku dan pribadi peserta
didiknya, namun setelah mengikuti kuliah Psikologi Pendidikan, dia memahami dan
berkeinginan untuk menerapkan prinsip–prinsip perbedaan individual maupun prinsipprinsip perkembangan individu jika dia kelak menjadi guru.
e. Perubahan yang bersifat aktif.
Untuk memperoleh perilaku baru, individu yang bersangkutan aktif berupaya
melakukan perubahan. Misalnya, siswa ingin memperoleh pengetahuan baru tentang
Ilmu Menulis, maka siswa tersebut aktif melakukan kegiatan jurnalistik, berdiskusi dengan teman tentang bagaimana menulis praktis di majalah dinding, dan sebagainya.
f.
Perubahan yang bersifat pemanen.
Perubahan prilaku yang diperoleh dari proses belajar cenderung menetap dan menjadi
bagian yang melekat dalam dirinya. Misalnya, siswa belajar mengoperasikan
komputer, maka penguasaan keterampilan mengoperasikan komputer tersebut akan
menetap dan melekat dalam diri siswa tersebut.
10
g. Perubahan yang bertujuan dan terarah.
Individu melakukan kegiatan belajar pasti ada tujuan yang ingin dicapai, baik tujuan
jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Misalnya, seorang siswa
belajar menulis, tujuan yang ingin dicapai dalam panjang pendek mungkin dia ingin
memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan tentang menulis yang diwujudkan
dalam bentuk pemahaman dia dalam dunia tulis-menulis. Sedangkan tujuan jangka
panjangnya yang ingin dia capai ialah menjadi sosok yang memiliki kompetensi yang
memadai tentang menulis. Berbagai aktivitas pun dilakukan dan diarahkan untuk
mencapai tujuan-tujuan tersebut.
h. Perubahan perilaku secara keseluruhan.
Perubahan perilaku belajar bukan hanya sekedar memperoleh pengetahuan semata,
tetapi termasuk memperoleh pula perubahan dalam sikap dan keterampilannya.
Misalnya, mahasiswa belajar tentang “Teori-Teori Belajar”, disamping memperoleh
informasi atau pengetahuan tentang “Teori-Teori Belajar”, dia juga memperoleh sikap
tentang pentingnya seorang guru menguasai “Teori-Teori Belajar”. Begitu juga, dia
memperoleh keterampilan dalam menerapkan “Teori-Teori Belajar”.
Menurut Gagne (Abin Syamsuddin Makmun, 2003), perubahan perilaku yang
merupakan hasil belajar dapat berbentuk :
1. Informasi verbal; yaitu penguasaan informasi dalam bentuk verbal, baik secara tertulis
maupun tulisan, misalnya pemberian nama-nama terhadap suatu benda, definisi dan
sebagainya.
2. Kecakapan intelektual; yaitu keterampilan individu dalam melakukan interaksi dengan
lingkungannya dengan menggunakan simbol-simbol, misalnya: penggunaan simbol.
Termasuk dalam keterampilan intelektual adalah kecakapan dalam membedakan,
11
memahami konsep konkrit, konsep abstrak, aturan dan hukum. Ketrampilan ini sangat
dibutuhkan dalam menghadapi pemecahan masalah.
3. Strategi kognitif; kecakapan individu untuk melakukan pengendalian dan pengelolaan
keseluruhan aktivitasnya. Dalam konteks proses pembelajaran, strategi kognitif yaitu
kemampuan mengendalikan ingatan dan cara – cara berpikir agar terjadi aktivitas
yang efektif. Kecakapan intelektual menitikberatkan pada hasil pembelajaran,
sedangkan strategi kognitif lebih menekankan pada pada proses pemikiran.
4. Sikap; yaitu hasil pembelajaran yang berupa kecakapan individu untuk memilih
macam tindakan yang akan dilakukan. Dengan kata lain, sikap adalah keadaan dalam
diri individu yang akan memberikan kecenderungan bertindak dalam menghadapi
suatu obyek atau peristiwa, di dalamnya terdapat unsur pemikiran, perasaan yang
menyertai pemikiran dan kesiapan untuk bertindak.
5. Kecakapan motorik; ialah hasil belajar yang berupa kecakapan pergerakan yang
dikontrol oleh otot dan fisik.
Sementara itu, Moh. Surya (1997) mengemukakan bahwa hasil belajar akan tampak dalam :
1. Kebiasaan; seperti: peserta didik belajar bahasa berkali-kali menghindari
kecenderungan penggunaan kata atau struktur yang keliru, sehingga akhirnya ia
terbiasa dengan penggunaan bahasa secara baik dan benar.
2. Keterampilan; seperti: menulis dan berolah raga yang meskipun sifatnya motorik,
keterampilan-keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran
yang tinggi.
3. Pengamatan; yakni proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsangan
yang masuk melalui indera-indera secara obyektif sehingga peserta didik mampu
mencapai pengertian yang benar.
12
4. Berpikir asosiatif; yakni berpikir dengan cara mengasosiasikan sesuatu dengan
lainnya dengan menggunakan daya ingat.
5. Berpikir rasional dan kritis yakni menggunakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar
pengertian dalam menjawab pertanyaan kritis seperti “bagaimana” dan “mengapa”.
6. Sikap yakni kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik
atau buruk terhadap orang atau barang tertentu sesuai dengan pengetahuan dan
keyakinan.
7. Inhibisi (menghindari hal yang mubazir).
8. Apresiasi (menghargai karya-karya bermutu.
9. Perilaku afektif yakni perilaku yang bersangkutan dengan perasaan takut, marah,
sedih, gembira, kecewa, senang, benci, was-was, dan sebagainya.
Sedangkan menurut Bloom, perubahan perilaku yang terjadi sebagai hasil belajar meliputi
perubahan dalam kawasan (domain) kognitif, afektif dan psikomotor, beserta tingkatan aspekaspeknya.
Menurut Thursan Hakim, belajar adalah suatu proses perubahan di dalam kepribadian
manusia, dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan
kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan,
pemahaman, keterampilan, daya pikir, dan kemampuan lainnya. Menurut Slameto, belajar
merupakan suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu
perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri
dalam interaksi dengan lingkungannya.
Selain itu, kreativitas guru sangat berperan dalam mengembangkan model-model
pembelajaran yang disesuaikan dengan kondisi siswa serta sarana dan prasarana yang ada.
“Demi peningkatan optimalisasi interaksi dalam pembelajaran, untuk pokok bahasan/sub
13
pokok bahasan tertentu mungkin dapat dicapai dengan pendekatan penemuan, pemecahan
masalah atau penyelidikan” (Suherman, 2003).
3. Arti Penting Belajar
Belajar merupakan istilah kunci yang paling vital dalam setiap usaha pendidikan,
sehingga tidak pernah ada pendidikan tanpa belajar. Pada era global ini, baik negara
berkembang maupun negara maju masalah pendidikan menjadi perhatian yang serius.
Sampai-sampai di negara-negara maju prioritas pendiidikan diarahkan pada permasalahan
belajar. Di sana, belajar tidak kenal SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan), baik di
negara Timur, Barat, Islam maupun non Islam. Jika pun ditemukan di sebagian Negara Eropa,
seperti Perancis, Jerman, itu merupakan kasus kecil yang kurang mendapat tempat di mata
masyarakat dan pemerintah.
Belajar itu sangat penting sekali, meskipun demikian kita harus pahami bahwa yang
namanya belajar tidak selalu berkonotasi positif, terkadang berkonotasi positif. Orang bisa
belajar membuat atom untuk membangkitkan tenaga listrik, di sisi lain orang bisa belajar
membuat atom untuk digunakan dalam kegiatan terorisme. Oleh karena itu, persoalan belajar
haruslah dikembalikan kepada orang yang memegang ilmu tersebut. Sebagaimana
diungkapkan E.L. Thorndike, seperti dikutip oleh Muhibin Syah (2000 : 95), “jika kemampuan
belajar umat manusia dikurangi setengahnya saja, maka peradaban yang ada sekarang tak
akan berguna bagi generasi mendatang. Bahkan mungkin peradaban tersebut ditelan jaman.”
Pendapat di atas apabila dikaji secara mendalam bahwa banyak orang pintar karena belajar
tetapi menggunakan kepintarannya untuk mendesak dan menghancurkan kehidupan orang
lain. Kenyataan lain karena dari hasil belajar pula tak jarang manusia membuat senjata
14
pemusnah massal dan penyelewengan ilmu-ilmu lainnya. Alhasil di samping pentingnya
belajar banyak membawa manfatnya tetapi banyak juga madharatnya.
Setelah mengetahui pengertian proses belejar sekarang apa saja fase-fase belajar itu
sendiri. Pendapat Brunner, seperti dikutip S. Nasution (2003 : 9) bahwa dalam proses belajar
dapat dibedakan menjadi tiga fase yaitu :
1. Informasi, siswa setelah belajar pasti mendapatkan informasi yang berbeda-beda,
hal ini tergantung kepada diri siswa itu sendiri. Ada yang memperoleh informasi
yang menambah pengetahuan yang dimiliki, ada yang memperhalus dan
memperdalamya, ada pula informasi yang bertentangan dengan yang telah
diperoleh sebelumnya.
2. Transpormasi, informasi itu harus dianalisis, diubah atau ditranspormasi ke dalam
bentuk yang lebih abstrak atau konseptual supaya dapat digunakan untuk hal-hal
yang lebih luas. Dalam hal ini bantuan guru sangat diperlukan.
3. Evaluasi, siswa harus bisa menilai mana pengetahuan yang harus dipahami dan
dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala lain.
C. Pendakatan, Strategi, dan Metode Pembelajaran
1. Pendekatan dalam Pengajaran
Pendekatan adalah suatu antarusaha dalam aktivitas kajian, interaksi, relasi dalam
suasana tertentu, dengan individu atau kelompok melalui penggunaan metode-metode tertentu
secara efektif. Pendekatan pembelajaran merupakan proses penyajian isi pemelajaran kepada
siswa untuk mencapai kompetensi tertentu dengan suatu metode atau beberapa metode
pilihan. Apabila dilihat dari sudut bagaimana proses pengajaran itu dikelola, maka pendekatan
bisa juga diartikan suatu jalan, cara, atau kebijaksanaan yang ditempuh oleh guru maupun
siswa untuk mencapai tujuan pengajaran. Contoh pendekatan-pendekatan dalam pembel-
15
ajaran antara lain: CBSA, kontekstual, induktif, deduktif, spiral, pemecahan masalah dan
sebagainya.
2. Strategi Pembelajaran
Strategi pempelajaran merupakan pendekatan dalam mengelola kegiatan, dengan
mengintregasikan urutan kegiatan, cara mengorganisasikan materi pelajaran dan pembelajar, peralatan dan bahan, serta waktu yang digunakan dalam proses pemelajaran, untuk
mencapai tujuan pemelajaran yang telah ditentukan secara efektif dan efisien.
Strategi pemelajaran terkandung pertanyaan bagaimanakah cara menyampaikan
isi pelajaran? Dengan demikian, komponen operasional strategi pembelajaran harus berupa
urutan kegiatan,metode, media pemelajaran, dan waktu.
Strategi akan berguna dalam mengajarkan suatu topik jika materi pelajaran tersebut
disajikan kepada siswa baik secara perorangan maupun secara berkelompok. Setelah materi
tersebut terpilih terdapat pertanyaan lain, siapakah yang mengajarkannya? Guru secara
perorangan atau berkelompok, bagaimana cara guru memotivasi siswa agar siswa
berpartisipasi?, bagaimana guru harus mengelola kelas sehingga pelajaran berjalan
sebagaimana mestinya?
3. Metode Mengajar
Metode mengajar adalah cara mengajar atau cara menyampaikan materi pelajaran
kepada siswa yang kita ajar. Macam-macam metode mengajar antara lain: ceramah,
ekspositori, tanya jawab, penemuan.
Ceramah adalah suatu cara penyampaian (memberikan) informasi secara lisan terhadap
siswa di dalam ruangan tertentu, siswa mendengarkan dan mencatat seperlunya. Metode
ceramah lebih sesuai pada bidang non eksakta karena dianggap paling praktis. Pada metode
16
ceramah pengajaran berpusat pada guru, sebab guru lebih banyak berbicara menyampaikan
materi.
Metode ekspositori memiliki kesamaan dengan metode ceramah, karena sifatnya
memberi informasi. Beda ekspositori dari ceramah adalah dominasi guru dikurangi. Dalam
metode ekspositori guru memberi informasi hanya pada waktu-waktu tertentu yang diperlukan
siswa, misalnya pada awal pengajaran atau untuk suatu topik yang baru.
4. Model Pengajaran
Istilah model pengajaran dibedakan dari istilah strategi pengajaran, metode pengajaran,
ataupun prinsip pengajaran. Model pengajaran mempunyai makna yang lebih luas daripada
suatu strategi, metode atau prosedur. Model mengajar dapat diartikan sebagai suatu rencana
atau pola yang digunakan dalam menyusun kurikulum, mengatur materi peserta didik dan
memberi petunjuk kepada pengajar di kelas dalam setting pengajaran atau setting lainnya.
Memilih suatu model mengajar, harus sesuaikan dengan realitas yang ada dan situasi kelas,
serta pandangan hidup yang akan dihasilkan dari proses kerjasama dilakukan antara guru
dan peserta didik.
Model pengajaran mempunyai empat ciri khusus yang tidak dipunyai oleh strategi atau
metode tertentu yaitu: 1) rasional teoretik yang logis yang disusun oleh penciptanya, 2) tujuan
pembelajaran yang akan dicapai, 3) tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model
tersebut dapat dilaksanakan secara berhasil, dan 4) lingkungan belajar yang diperlukan agar
tujuan pembelajaran itu dapat tercapai.
Model pengajaran meliputi pendekatan suatu model pengajaran yang luas dan
menyeluruh. Contohnya pada model pembelajaran berdasarkan masalah, kelompok-kelompok
kecil siswa bekerja sama memecahkan suatu masalah yang telah disepakati oleh siswa dan
17
guru. Ketika guru sedang menerapkan model pengajaran tersebut, seringkali siswa
menggunakan bermacam-macam keterampilan, prosedur pemecahan masalah dan berpikir
kritis. Model pengajaran berdasarkan masalah dilandasi oleh teori belajar konstruktivis; pada
model ini pembelajaran dimulai dengan
menyajikan
permasalahan
nyata
yang
penyelesaiannya membutuhkan kerja sama diantara siswa-siswa. Dalam model pengajaran ini
guru memandu siswa menguraikan rencana pemecahan masalah menjadi tahap-tahap
kegiatan; guru memberi contoh mengenai penggunaan keterampilan dan strategi yang
dibutuhkan supaya tugas-tugas tersebut dapat diselesaikan. Guru menciptakan suasana kelas
yang fleksibel dan berorientasi pada upaya penyelidikan oleh siswa.
Model-model pengajaran dapat diklasifikasikan berdasarkan: tujuan pembelajarannya,
pola urutannya, dan sifat lingkungan belajarnya. Sebagai contoh pengklasifikasian
berdasarkan tujuan, pengajaran langsung merupakan suatu model pengajaran yang baik untuk
membantu siswa mempelajari keterampilan dasar seperti tabel perkalian atau untuk topik-topik
yang banyak berkaitan dengan penggunaan alat.
Alat itu bisa berupa sintaks (pola urutan). Sintaks dari suatu model pengajaran adalah
pola yang menggambarkan urutan alur ataupun tahap-tahap keseluruhan yang pada umumnya
disertai dengan serangkaian kegiatan pembelajaran. Sintaks dari suatu model pengajaran
tertentu menunjukkan dengan jelas kegiatan-kegiatan apa yang harus dilakukan guru atau
siswa. Sintaks dari bermacam-macam model pengajaran memiliki komponen-komponen yang
sama. Contohnya, setiap model pengajaran diawali dengan upaya menarik perhatian siswa
dan memotivasi siswa agar terlibat dalam proses pembelajaran. Setiap model pengajaran
diakhiri dengan tahap menutup pelajaran yang di dalamnya meliputi kegiatan merangkum
pokok-pokok pelajaran. Kegiatan merangkum dilakukan oleh siswa dengan bimbingan guru.
18
Tiap-tiap model pengajaran membutuhkan sistem pengelolaan dan lingkungan belajar
yang sedikit berbeda. Misalnya, pada model pengajaran kooperatif memerlukan lingkungan
belajar yang fleksibel seperti tersedia meja dan kursi yang mudah dipindahkan. Pada model
pengajaran diskusi para siswa duduk dibangku yang disusun secara melingkar atau seperti
tapal kuda. Sedangkan pada model pengajaran langsung siswa duduk behadap-hadapan
dengan guru.
5. Model Pembelajaran Kontekstual
a. Ciri Umum Model Kontekstual
Contextual Teaching and Learning (CTL) dikembangkan oleh The Washington State
Concortium for Contextual Teaching and Learning, yang melibatkan 11 perguruan tinggi, 20
sekolah dan lembaga-lembaga yang bergerak dalam dunai pendidikan di Amerika Serikat.
Salah satu kegiatannya adalah melatih dan memberi kesempatan kepada guru-guru dari enam
propinsi di Indonesia untuk belajar pendekatan kontekstual di Amerika Serikat, melalui
Direktorat SLTP Depdiknas
Pendekatan Kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan
antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (US Departement of Education,
2001). Dalam konteks ini siswa perlu mengerti apa makna belajar, manfaatnya, dalam status
apa mereka dan bagaimana mencapainya. Dengan ini siswa akan menhadari bahwa apa yang
mereka pelajari berguna bagi kehidupan kelak. Pada akhirnya, akan membuat mereka
memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal yang bermanfaat untuk
hidupnya kelak dan siswa akan berusaha untuk menggapainya.
19
Tugas guru dalam pembelajaran kontekstual adalah membantu siswa dalam
mencapai tujuan belajarnya. Maksudnya, guru lebih berurusan pada strategi daripada memberi
informasi. Guru hanya mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk
menemukan suatu yang baru bagi siswa. Proses belajar-mengajar lebih diwarnai Student
centered daripada teacher centered. Menurut Depdiknas guru harus melaksanakan beberapa
hal sebagai berikut:
1)
Mengkaji konsep atau teori yang akan dipelajari oleh siswa;
2)
Memahami latar belakang dan pengalaman hidup siswa melalui proses pengkajian
secara seksama
3)
Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa yang selanjutnya
memilih dan mengkaitkan dengan konsep atau teori yang akan dibahas dalam
pembelajaran kontekstual
4)
Merancang pengajaran dengan mengkaitkan konsep atau teori yang dipelajari
dengan mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki siswa dan lingkungan hidup
mereka
5)
Melaksanakan penilaian terhadap pemahaman siswa, dimana hasilnya nanti
dijadikan bahan refeksi terhadap rencana pemebelajaran dan pelaksanaannya
Dalam pengajaran kontekstual memungkinkan terjadinya lima bentuk belajar yang penting,
yaitu mengaitkan, mengalami, menerapkan, bekerjasama, dan mentransfer. Berikut ini
penjelasan lima bentuk belajar di atas.
1. Mengaitkan adalah strategi paling hebat dan merupakan inti konstruktivisme. Guru
menggunakan strategi ini ketika mengkaitkan konsep baru dengan sesuatu yang
sudah dikenal siswa.
20
2. Mengalami merupakan inti belajar kontekstual dimana mengaitkan berarti
menghubungkan informasi baru dengan pengalaman maupun pengetahuan
sebelumnya. Belajar dapat terjadi lebih cepat ketika siswa dapat memanipulasi
peralatan dan bahan, serta melakukan bentuk-bentuk penelitian aktif.
3. Menerapkan. Siswa menerapkan suatu konsep ketika ia malakukan kegiatan
pemecahan masalah. Guru dapat memotivasi siswa dengan memberikan latihan yang
realistis dan relevan dengan keadaan.
4. Kerjasama. Siswa yang bekerja secara individu sering tidak membantu kemajuan
yang signifikan. Sebaliknya, siswa yang bekerja secara kelompok sering mengatasi
masalah yang komplek dengan sedikit bantuan. Pengalaman kerjasama tidak hanya
membantu siswa mempelajari bahan ajar, tetapi konsisten dengan dunia nyata.
5. Mentransfer. Peran guru membuat bermacam-macam pengalaman belajar dengan
fokus pada pemahaman bukan hapalan.
Menurut Blanchard, ciri-ciri kontekstual: 1) Menekankan pada pentingnya pemecahan
masalah. 2) Kegiatan belajar dilakukan dalam berbagai konteks 3) Kegiatan belajar dipantau
dan diarahkan agar siswa dapat belajar mandiri. 4) Mendorong siswa untuk belajar dengan
temannya dalam kelompok atau secara mandiri. 5) Pelajaran menekankan pada konteks
kehidupan siswa yang berbeda-beda. 6) Menggunakan penilaian otentik.
Model pembelajaran kontekstual merupakan rancangan pembelajaran yang dibangun
atas dasar asumsi bahwa knowledge is constructed by human (Zahorik, 1995). Atas dasar itu
maka dikembangkan model pembelajaran konstruktivis yang membuka peluang seluasluasnya kepada siswa untuk memberdayakan diri. Cara belajar yang terbaik adalah siswa
mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya. Karena itu kebiasaan guru “akting di
21
panggung dan siswa menonton” harus diubah menjadi “siswa aktif bekerja dan belajar di
panggung, sedangkan guru membimbingnya dari dekat.”
Beberapa perbedaan antara model pembelajaran kontekstual dengan model
pembelajaran tradisional adalah:
Model Kontekstual
Model Tradisional

Orientasi Siswa

Orientasi Isi

Aktif-Kreatif

Pasif-Reseptif

Kooperatif

Individualistik

Realistik

Teoretik

Eksploratif

Preskriptif

Kesadaran diri

Kebiasaan

Fungsional

Faktual

Kontruktivis

Behavioris

PAP

PAN
Dari perbedaan di atas tampak bahwa model pembelajaran kontekstual lebih
menekankan pada kebutuhan siswa, pemberdayaan potensi siswa, peningkatan kesadaran diri
serta penyampaian ilmu-ilmu yang fungsional bagi kehidupan dan penilaian yang mengukur
menguasaan ilmu secara tuntas. Hal itu berbeda dari model pembelajaran tradisional yang
lebih menekankan pada materi atau isi, dominansi peran guru, peningkatan pengetahuan,
penyampaian pengetahuan yang faktual, mengukur tingkah laku yang nyata dan menilai posisi
siswa pada kelompoknya. Karena itu, semangat yang dibangun dalam model pembelajaran
22
kontekstual equivalen dengan semangat yang ada dalam pembelajaran
berorientasi
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
b. Penerapan Model di Kelas
Dalam penerapan model pembelajaran kontekstual, terdapat tujuh komponen utama
yang harus dilakukan secara sungguh-sungguh. Komponen yang dimaksud adalah: (1)
konstruktivisme, (2) proses menemukan, (3) bertanya, (4) masyarakat belajar, (5) pemodelan,
(6) refleksi dan (7) penilaian. (SUMBERNYA BELUM )
1) Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan landasan filosofis yang mendasari model pembelajaran
kontekstual. Landasan berpikir konstruktivisme berbeda dari pandangan kaum objektivis yang
lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Dalam pandangan kaum konstruktivis, strategi
memperoleh lebih diutamakan dibandingkan dengan seberapa banyak siswa memperoleh dan
mengingat pengetahuan. Oleh karena itu, kewajiban guru adalah menfasilitasi belajar melalui
proses: (1) menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa; (2) memberi
kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan idenya sendiri; dan (3)
menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri.
2) Menemukan
Menemukan merupakan bagian inti dari pembelajaran kontekstual. Proses
menemukan itulah yang paling penting dalam pembelajaran. Ketika kita menemukan sesuatu
yang kita cari, daya ingat kita akan lebih melekat dibandingkan dengan orang lain yang
menemukannya. Demikian pula dalam memperoleh pengetahuan dan pengalaman belajar,
pikiran, perasaan, dan gerak motorik kita akan secara terpadu dan seimbang dalam merespon
sesuatu yang diperoleh dari ikhtiar belajar melalui proses menemukan. Hal itu berbeda dari
belajar yang hanya sekedar menyerap pengetahuan dari orang yang sudah lebih tahu, atau
23
lebih-lebih menghafal sejumlah pengetahuan yang terpilah-pilah, yang pada akhirnya akan
menggangu keseimbangan potensi diri siswa.
3) Bertanya
Bertanya merupakan salah satu pintu masuk untuk memperoleh pengetahuan. Karena
itu, bertanya dalam kegiatan pembelajaran merupakan kegiatan guru untuk mendorong,
membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Demikian pula, bertanya merupakan
bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran inkuiri, yaitu menggali informasi,
mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang
belum diketahuinya.
4) Masyarakat Belajar
Masyarakat belajar dapat terjadi apabila antara siswa dengan guru atau siswa dengan
siswa memiliki interaksi yang efektif dan komunikatif. Pengertian masyarakat belajar juga
mencerminkan adanya kultur akademik yang tinggi dimana semua sivitas madrasah atau
sekolah dapat bekerjasama dengan intensif. Proses pembelajaran di kelas, masyarakat belajar
dapat direkayasa dengan membentuk kelompok-kelompok belajar yang memungkinkan antar
siswa melakukan sharing pendapat atau pengalaman. Dalam model pembelajaran kontekstual
pengembangan masyarakat belajar dapat dilakukan dengan cara: (1) membentuk kelompok
kecil atau besar; (2) mendatangkan ahli ke kelas; (3) bekerja dengan kelas sebaya; (4) bekerja
dengan kelas di atasnya; (5) bekerja dengan masyarakat.
5. Pemodelan
Bagian penting lain dalam pembelajaran kontekstual adalah pemodelan. Dimana
pemodelan sendiri adalah pemberian contoh-contoh belajar, tindakan atau perilaku yang
ditampilkan oleh guru. Pemodelan menjadi penting karena hal tersebut memberikan tindakan
konkret yang dapat ditiru langsung oleh siswa. Dalam model pembelajaran kontekstual,
24
pemodelan tidak hanya dapat diperankan oleh guru, tetapi dapat pula dilakukan oleh siswa.
Seorang siswa dapat ditunjuk untuk memberikan contoh kepada temannya cara menghafal
kata atau membaca cepat.
6. Refleksi
Refleksi juga merupakan bagian penting dari pembelajaran kontekstual. Refleksi
adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa
sudah dilakukan pada masa lalu. Fungsi berpikir reflektif adalah untuk mengevaluasi
pengetahuan atau pengalaman yang lama dengan pengetahuan dan pengalaman yang baru.
Dalam teori kognitif, siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur
pengetahuan yang baru, sekaligus merupakan pengayaan atau revisi terhadap pengetahuan
lama.
7. Penilaian
Penilaian (assesment) dalam pembelajaran kontekstual berperan dalam memberikan
gambaran keberhasilan siswa secara keseluruhan. Karena itu, penilaian yang dimaksud tidak
sebatas pengukuran daya pikir, melainkan penilaian yang benar-benar otentik, sesuai dengan
kemampuan siswa yang sebenarnya. Prinsip penilaian ini hampir sama dengan prinsip
penilaian dalam KTSP yang menghendaki teridenfikasinya seluruh potensi diri siswa.
Konsekuensi dari penilaian yang otentik, perangkat alat penilaian harus dikembangkan secara
variatif sesuai dengan karakteristik aspek yang akan dinilai. Maka muncul cara-cara penilaian
seperti yang dilakukan dalam bentuk: proyek, karya siswa, kuis, demonstrasi, laporan, hasil
tes, karya tulis, dll yang semua itu terangkum dalam teknik penilaian portofolio.
d. Pendidikan Karakter Secara Holistik dan Kontesktual
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa masalah krisis karakter sudah bersifat
struktural, maka pendidikan karakter harus dilakukan secara holistik dan kontekstual. Secara
25
struktural artinya membangun karakter bangsa Indonesia dimulai dari keluarga, sekolah,
masyarakat dan negara. Adapun model yang dikembangkan adalah usaha untuk melakukan
pendidikan karakter secara holistik yang melibatkan aspek “knowledge, felling, loving dan
acting” (Ratna, 2005:2). Aspek kontekstual terkait dengan nilai-nilai pokok yang diperlukan
untuk membentuk kekuatan karakter bangsa mulai diinternalisasikan pada semua tataran
kehidupan masyarakat. Dengan pendekatan yang holistik dan kontestual dapat membentuk
orang-orang yang berkarakter dalam semua tataran kehidupan.
Thomas Lickona (1991) mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai sifat alami
seseorang dalam merespons situasi secara bermoral, yang dimanifestasikan dalam tindakan
nyata melalui tingkah laku yang bak, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain serta
karakter mulia lainnya. Aristoteles mengatakan bahwa karakteristik itu erat kaitannya dengan
habit atau kebiasaan yang dilakukan secara terus-menerus. Jadi konsep yang dibangun dari
model ini adalah habit of the mind, habit of the heart dan habit of the hands (Ratna, 2005:1).
6. Implementasi CTL dalam Pendidikan Karakter
Metode CTL yang berusaha mengaitkan pembelajaran dengan pengalaman nyata siswa
tampaknya patut diusung sebagai metode alternatif pendidikan karakter. CTL adalah sebuah
proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna dalam materi
akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subyek-subyek akademik
dengan konteks keadaan pribadi, sosial dan budaya dalam kehidupan keseharian mereka.
Untuk mencapai tujuan tersebut terdapat delapan komponen yang harus terpenuhi sebagai
berikut:
a. Membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna,
b. Melakukan pekerjaan yang berarti,
c. Melakukan pembelajaran yang diatur sendiri,
26
d. Melakukan kerja sama,
e. Berpikir kritis dan kreatif,
f.
Membantu individu untuk tumbuh dan berkembang,
g. Mencapai standar yang tinggi,
h. Menggunakan penilaian autentik.
Banyak cara efektif untuk mengaitkan pengajaran dan pembelajaran dengan konteks situasi
sehari-hari siswa. Setidaknya, terdapat enam metode yang dapat ditempuh, sebagai berikut:
a. Menghubungkan pembahasan konsep nilai-nilai inti etika sebagai landasan karakter
dengan keseharian siswa,
b. Memasukan materi dari bidang lain di dalam kelas,
c. Dalam mata pelajaran yang tetap terpisah terdapat topik-topik yang saling
berhubungan,
d. Mata pelajaran gabungan yang menyatukan isu-isu moral,
e. Menggabungkan sekolah dan pekerjaan,
f.
Penerapan nilai-nilai moral dipelajari di sekolah ke masyarakat. Berdasar catatan
Johnson, implementasi dari langkah keenam ini dalam Tillamook Junior High School
menunjukkan bahwa para siswa mempunyai kemampuan luar biasa untuk mencapai
standar pendidikan dan standar etika yang tinggi jika mereka paham mengapa hal itu
penting dan harus mereka lakukan.
Sejalan dengan konsep pendidikan moral, Kohlberg mengatakan bahwa pendidikan karakter
harus melibatkan manusia untuk berpikir aktif dalam menghadapi isu-isu moral dan
menetapkan suatu keputusan moral. Dalam upaya itu maka penerapan CTL dalam pendidikan
karakter menghendaki adanya pembelajaran mandiri dan kerja sama. Pada tahap ini yang
dilakukan siswa adalah siswa belajar langsung dengan mencari dan menggabungkan
27
informasi secara aktif dari masyarakat maupun ruang kelas, lalu menggunakannya untuk
alasan tertentu.
Selanjutnya siswa dirangsang untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan menarik
seputar karakter. Pertanyaan-pertanyaan ini akan membantu siswa untuk menemukan kaitan
antara pelajaran di kelas dan situasi yang mereka alami baik di sekolah, di rumah, maupun di
lingkungan masyarakat. Kemudian siswa diberi kesempatan membuat pilihan sendiri dalam
menentukan keterlibatan mereka dalam permasalahan karakter yang dipelajari. Pada akhirnya
siswa mampu membentuk kesadaran diri, yaitu kemampuan merasakan sesuatu pada saat
perasaan itu muncul.
Pendidikan karakter mensyaratkan adanya kemampuan berpikir kritis untuk
mempertimbangkan dan mengambil tindakan moral dalam bentuk perilaku positif siswa. Siswa
dilatih untuk bersikap kritis terhadap isu-isu moral yang terjadi dengan mengajukan tiga
pertanyaan berikut: (1) prinsip-prinsip apa yang dijadikan tuntunan dalam kehidupan seharihari? (2) Kewajiban apa yang timbul dari hubungan-hubungan siswa dengan yang lain? Dan
(3) Apa konsekuensi yang didapatkan dari keputusan dan tindakan yang diambil?. Pertanyaanpertanyaan ini mengajarkan siswa untuk menunjukkan tanggung jawab moral sebagai anggota
masyarakat. Selain itu berpikit kritis seperti ini juga merupakan penjernihan nilai dalam
menghadapi berbagai pandangan hidup yang berkembang di masyarakat.
Dalam menguatkan kesadaran berperilaku positif, siswa perlu dibawa ke dalam
pengalaman hidup bersama orang lain dalam situasi yang sangat berbeda dari kehidupan
sehari-harinya. Dengan pengalaman langsung seperti ini, siswa dapat mengenal lingkungan
hidup yang berbeda dalam cara berpikir, tantangan, permasalahan, termasuk tentang nilai-nilai
hidup. Membantu dan melayani anggota panti asuhan misalnya akan memberikan kesan
28
berharga dan kesadaran pentingnya karakter peduli kepada orang lain. Upaya seperti ini
disebut metode live in.
Hal terakhir yang sangat mendasar dalam metode pendidikan karakter adalah
keteladanan. Tumpuan pendidikan karakter berada pada guru sebagai character educator.
Konsistensi dalam mengajarkan pendidikan karakter tidak sekedar melalui apa yang dikatakan
melalui pembelajaran di dalam kelas, melainkan nilai itu juga tampil dalam kehidupan nyata (di
luar kelas) sang guru. Karakter guru akan sangat berpengaruh terhadap kepribadian siswa.
Bahkan bukan hanya guru, metode ini mengandaikan semua orang dewasa dalam komponen
sekolah seperti kepala sekolah, karyawan, penjaga sekolah, pengurus perpustakaan, petugas
kebersihan dan lainnya sebagai model-model karakter. Melalui metode ini diharapkan siswa
menemukan lingkungan nyata di mana nilai-nilai etika dipegang teguh dan karakter tumbuh.
Dari segi metode, pendekatan komprehensif meliputi: inkulkasi (inculcation),
keteladanan (modeling), fasilitas (facilitation) dan pengembangan keterampilan (skill building).
Pengembangan Model Pendidikan Karakter Terintegrasi Inkulkasi (penanaman) nilai memiliki
ciri-ciri sebagai berikut:
(1) Mengkomunikasikan kepercayaan disertai alasan yang mendasarinya;
(2) Memperlakukan orang lain secara adil;
(3) Menghargai pandangan orang lain;
(4) Mengemukakan keragu-raguan atau perasaan tidak percaya disertai dengan
alasan dan dengan rasa hormat;
(5) Tidak sepenuhnya mengontrol lingkungan untuk meningkatkan kemungkinan
penyampaian nilai-nilai yang dikehendaki, dan mencegah kemungkinan
penyampaian nilai-nilai yang tidak dikehendaki;
29
(6) Menciptakan pengalaman sosial dan emosional mengenai nilai-nilai yang
dikehendaki, dengan hal-hal yang tidak ekstrem;
(7) Membuat aturan, memberikan penghargaan, dan memberikan konsekuensi
disertai alasan yang logis
(8) Tetap membuka komunikasi dengan pihak yang tidak setuju; dan
(9) Memberikan kebebasan bagi adanya perilaku yang berbedabeda, apabila sampai
pada tingkat yang tidak dapat diterima, diarahkan untuk memberikan kemungkinan berubah.
Dalam hal pendidikan karakter, Ary Ginajar Agustian adalah pribadi yang sangat
peduli terhadap pembentukan karakter bangsa Indonesia, dengan landasan teoretis dan
pengembangan model yang dirancang secara matang (Suyata dan Zuchdi, 2007: 1-22).
Pendidikan karakter yang dipraktikkan Ary Ginanjar berbasis keyakinan dan nilai-nilai
menuju ke realisasi keyakinan dan nilai-nilai tersebut. Hal ini dijelaskan dalam model ini, yaitu
sinergi antara kecerdasan spiritual sebagai basis nilai utama, kecerdasan emosional sebagai
landasan mental, dan kecerdasan intelektual sebagai solusi hal-hal teknis.
Model pembelajar kontenstual berbasis karakter mengelola kecerdasan intelektual,
emosional, dan spiritual. Pendidikan karakter yang diintegrasikan dalam pembelajaran
berbagai bidang studi dapat memberikan pengalaman yang bermakna bagi peserta didik
karena mereka memahami, menginternalisasi dan mengaktualisasikannya melalui proses
pembelajaran. Dengan demikian, nilai-nilai tersebut dapat terserap secara alami lewat
kegiatan sehari-hari. Apabila nilai-nilai tersebut juga dikembangan melalui kultur sekolah,
maka kemungkinan besar pendidikan karakter lebih efektif. Pembentukan karakter harus
menjadi prioritas utama karena sudah terbukti bahwa dalam kehidupan masyarakat sangat
banyak masalah yang ditimbulkan oleh karakter yang tidak baik.
30
Salah satu tujuan belajar bahasa Indonesia ialah untuk mempelajari bidang- bidang
yang lain. Dengan kata lain, belajar bahasa hendaknya fungsional, di samping menguasai
kaidah bahasa, murid-murid harus menggunakannya untuk berbagai keperluan, termasuk
untuk mengembangkan karakter yang baik. Misalnya, agar peserta didik berperilaku jujur,
pembelajaran bahasa dapat diberi muatan nilai-nilai kejujuran.
Ada dua prinsip untuk mencapai keterpaduan dalam pembelajaran bahasa. Pertama,
keefektifan komunikasi secara luas dan kedua, situasi pembelajaran bahasa harus sesuai
dengan konteks kekinian.
Pada hakikatnyaa kegiatan yang dilakukan oleh para peserta didik, pengalaman
berkomunikasi secara aktif, dan proses berpikir yang mereka alami membuat mereka menjadi
penyimak dan pembaca yang cerdas, serta pembicara dan penulis yang kreatif. Apabila
pembelajaran bahasa tidak bermakna bagi para peserta didik dan tidak memiliki tujuan yang
jelas, maka mereka akan mengalami kegagalan dalam belajar bahasa dan juga kegagalan
dalam mengamalkan nilai-nilai yang dipadukan.
Saat ini pengembangan karakter warga masyarakat dan negara telah menjadi
perhatian para pengembang pendidikan sains di beberapa negara, seperti Amerika Serikat
dan negara-negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development
(OECD) melalui PISA (Rustaman, 2007: 24). Sains diyakini berperan penting dalam
pengembangan karakter warga masyarakat dan negara karena kemajuan produk sains yang
amat pesat, keampuhan proses sains yang dapat ditransfer pada berbagai bidang lain dan
kekentalan muatan nilai, sikap, dan moral di dalam sains (Rutherford & Ahlgren, 1990). Allan J.
MacCormack dan Robert E. Yager (Prasetyo, 1998: 146-151). Tidak mengherankan sejak
tahun 1989 telah dikembangkan lima ranah dalam taksonomi untuk pendidikan sains.
31
Adapun kelima ranah tersebut seperti berikut: Pertama, knowing and understanding
(knowledge domain). Termasuk: fakta, konsep, hukum (prinsip-prinsip), beberapa hipotesis
dan teori yang digunakan para saintis, dan masalah-masalah sains dan sosial. Kedua,
exploring and discovering (process of science domain), yakni penggunaan beberapa proses
sains untuk belajar bagaimana para saintis berpikir dan bekerja (Rezba, dkk., 1995). Ketiga,
imagining and creating (creativity domain). Terdapat beberapa kemampuan penting manusia
dalam domain ini, yaitu mengkombinasikan beberapa objek dan ide melalui cara-cara baru;
menghasilkan
alternatif
atau
menggunakan
objek
yang
tidak biasa
digunakan;
mengimajinasikan; memimpikan; dan menghasilkan ide-ide yang luar biasa. Keempat, feeling
and valuing (attitudinal domain). Ranah ini mencakup: pengembangan sikap positif terhadap
sains secara umum, sains di sekolah, para guru sains; pengembangan sikap positif terhadap
diri sendiri, misalnya ungkapan yang mencerminkan rasa percaya diri ”I can do it!”;
pengembangan kepekaan, dan penghargaan, terhadap perasaan orang lain dan pengambilan
keputusan tentang masalah-masalah sosial dan lingkungan. Kelima, using and applying
(application and connection domain). Yang termasuk ranah penerapan adalah: mengamati
contoh konsep-konsep sains dalam kehidupan sehari-hari; menerapkan konsep- konsep dan
keterampilan-keterampilan sains yang telah dipelajari untuk masalah-masalah teknologi
sehari-hari; mengambil keputusan untuk diri sendiri yang berkaitan dengan kesehatan, gizi dan
gaya hidup berdasarkan pengetahuan sains daripada berdasarkan apa yang ”didengar” dan
yang ”dikatakan” atau emosi; serta memadukan sains dengan subjek-subjek lain.
Sementara itu, pengembangan Model Pendidikan Karakter Terintegrasi Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS) adalah mata pelajaran yang mengkaji seperangkat peristiwa, fakta,
konsep dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial. Melalui mata pelajaran IPS, peserta
didik diarahkan untuk dapat menjadi warga negara Indonesia yang demokratis,
32
bertanggungjawab, serta warga dunia yang cinta damai. Selanjutnya dinyatakan bahwa IPS
pada jenjang Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah bertujuan agar peserta didik memiliki:
(1) Kemampuan mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan
lingkungannya: (2) Kemampuan berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan
masalah dan keterampilan dalam kehidupan sosial: (3) Komitmen dan kesadaran terhadap
nilai-nilai social dan kemanusiaan: (4) Kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan
berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk di tingkat lokal, nasional dan global (Permen
Diknas No, 22, 2006). Untuk meningkatkan kompetensi kewarganegaraan, peserta didik perlu
dilatih untuk membahas fenomena-fenomena sosial yang terjadi di masyarakat.
Fenomena sosial bersifat sangat kompleks, menyangkut berbagai aspek kehidupan.
Karena itu, pembahasannya memerlukan dukungan dari berbagai disiplin ilmu. Generasi muda
perlu dibantu untuk mengembangkan kemampuan dalam membuat keputusan-keputusan yang
rasional dan informatif untuk kebaikan masyarakat, sebagai warga negara dalam masyarakat
yang demokratis dan memiliki keanekaragaman budaya, dalam kehidupan dunia yang saling
tergantung.
Karena itu, pembelajaran IPS harus mengintegrasikan nilai-nilai untuk mengembangkan
karakter warga negara yang baik. Beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk
mengembangkan keterampilan menilai (valuing) dan moral reasoning antara lain
cognitivedevelopmental approach, character development, values clarification, and values
analysis (Skeel, 1995:196). Namun pendekatan yang dipandang efektif untuk pendidikan
karakter adalah pendekatan komprehensif seperti yang telah disajikan pada bagian depan.
2. Guru dan Pengembangan Karakter dalam Pembelajaran Kontekstual
Pengembangan karakter dapat dilihat sebagai komponen perkembangan moral yang
tidak mencakup konotasi keagamaan (Weinberg & Gould, 1995). Pengembangan karakter dan
33
perkembangan moral akan digunakan secara bergantian dan merujuk pada pengalaman
proses kognitif seseorang ketika mengembangkan kemampuan yang terkait dengan isu-isu
moral. Menurut Solomon dkk (1990) dalam kegiatan pembelajaran di kelas, masalah moral
yang timbul biasanya mencakup situasi di mana siswa ditantang mewujudkan adanya
keseimbangan secara bersamaan antara hak dan tanggung jawab dirinya dengan hak dan
tanggung jawab orang lain. Siswa menunjukkan perkembangan moral secara dewasa apabila
memiliki kemauan dan kemampuan perjuang mencari keseimbangan antara kebutuhan diri
dan kebutuhan lain. Pengelolaan pembelajaran menimbulkan berbagai situasi di mana siswa
harus membuat keputusan tentang kebutuhan hak dirinya dengan hak dan tanggung jawab
siswa lainnya. Kejadian ini sering timbul, maka guru harus menentukan strategi yang memadai
untuk menangani isuisu moral dan pengembangan karakter siswa melalui pembelajaran yang
diangkat dari situasi kehidupan nyata .
Kegiatan belajar dalam membangun kemampuan karakter sengan mengangkat
permasalahan yang ada dalam kehidupan keseharian jika dikelola dengan baik dan ditangani
oleh guru yang berkompeten dapat mengembangkan karakter. Jadi, peran guru di kelas dalam
mengembangkan karakter sangat strategis.
3. Peran Guru sebagai Model dalam Mengembangkan Karakter
Pentingnya mengembangkan karakter ditekankan dalam tujuan dan fungsi standar
kompetensi nasional
sebagaimana yang tertuang dalam Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan. Dua di antaranya menyatakan bahwa tujuan pendidikan di kelas, yaitu: (1)
meletakan landasan karakter moral yang kuat melalui internalisasi nilai di kelas dan (2)
mengembangkan sikap yang sportif, jujur,disiplin, bertanggungjawab, kerjasama, percaya diri
dan demokratis melalui aktivitas di kelas (Departemen Pendidikan Nasional, 2003:6).
34
Guru di kelas dapat membantu siswa memenuhi standar tersebut dengan menekankan
pentingnya karakter dan kebajikan moral. Ketika siswa sedang mempelajari dan melakukan
berbagai aktivitas olahraga, guru harus menekankan bahwa mengejek orang lain, berbuat
curang dan kekerasan merupakan perilaku yang bertentangan dengan sportivitas dan
kebajikan moral. Misalnya untuk guru olah raga dengan melakukan berbagai aktivitas
olahraga, seperti olahraga profesional, olahraga di kampus dan olahraga di sekolah, para
siswa dan anak-anak remaja terus-menerus dibombardir oleh pentingnya kemenangan.
Televisi melalui gambar visualnya mempromosikan berulang-ulang perilaku buruk
seperti gol “Tangan Tuhan” Thierry Henry saat pertandingan Pra Piala Dunia antara Prancis
melawan Irlandia. Dalam keadaan ini para penonton, termasuk anak-anak remaja dan para
siswa akan sangat mudah terpengaruh, upaya untuk mengurangi perilaku tidak sportif dan
tindakan tidak etis lainnya menimbulkan pertanyaan. Apakah masih mengherankan, apabila
kemudian siswa mentransfer keinginan kuat untuk menang melalui perilaku yang tidak dapat
diterima secara moral?
Selain dalam konteks kehidupan nyata, media massa juga melaporkan tanpa henti
perilaku dan tindakan aparat penegak hukum yang melanggar hukum seperti kasus Polisi Vs
KPK yang dikenal dengan istilah “Cicak Vs Buaya”. Masyarakat, tua-muda, anak-anak
membaca dan melihat ketidakjujuran, korupsi, berbohong, mencuri, dan kecurangan sebagai
pilihan dan cara yang telah dilakukan banyak orang untuk maju dan mendapatkan kekayaan.
Pelajaran yang tidak etis ini sering diadopsi para siswa dan anak-anak remaja yang percaya
bahwa perilaku ini menjadi cara untuk menjalani kehidupan. Realitas ini sangat bertolak
belakang dengan model pelajaran kebajikan moral dan karakter yang harus diperankan oleh
guru kepada siswa.
35
Menurut Gough (1998) tujuan akhir dari pembangunan karakter adalah setiap orang
mencapai titik di mana berbuat "baik" menjadi otomatis atau terbiasa, seperti belajar
keterampilan melalui praktik berkelanjutan, secara moral tindakan tepat menjadi alami dan
konsisten, dan seterusnya. Dalam konteks kehidupan di sekolah, para siswa sudah
sepantasnya meniru guru yang jujur, bisa dipercaya, adil, hormat dan bertanggung jawab
dalam berbagai tindakannya. Dalam sebuah penelitian terbaru mengenai pengembangan
karakter melalui pendidikan di kelas, Solomon (1997:41) menyimpulkan bahwa aktivitas di
kelas yang terorganisasi dengan baik dapat meningkatkan pertumbuhan moral yang positif.
Lebih jauh dinyatakan Solomon bahwa bukti menunjukkan, tanpa perkembangan karakter,
proses pematangan moral tidak mungkin terjadi. Para guru di kelas memiliki tanggung jawab
dan kesempatan menciptakan situasi untuk meningkatkan perkembangan karakter siswa.
Bangunan teoritis yang mendasari kajian dalam tulisan ini adalah guru dapat berperan
dan berfungsi sebagai model dalam mengajar karakter dan kebajikan moral (Kohlberg, 1981;
Lickona, 1991; Noddings, 1992). Bagian selanjutnya dalam tulisan ini akan diuraikan bahwa
integritas adalah landasan nilai yang mencakup nilai-nilai kejujuran, kepercayaan, keadilan,
rasa hormat dan tanggung jawab, serta menyediakan aplikasi yang dapat membimbing
perilaku guru ketika berperan sebagai model pengajaran karakter dan kebajikan moral.
Diharapkan melalui kajian bagian ini dapat memberikan rekomendasi bagaimana seharusnya
guru berperan sebagai model berdasarkan karakter dan kebajikan moral sehingga dapat
menumbuhkan penalaran moral siswa.
4. Membangun Dasar-dasar Integritas Guru Pendidikan di Kelas
Keteladanan hidup yang berbasis nilai adalah pemenuhan kewajiban dan kebenaran moral
dengan karakter yang konsisten. Penjelasan ini sesungguhnya terlepas dari agama, budaya,
ras, atau etnisitas. Seseorang dengan integritas perilaku yang saleh, seperti menjaga janji dan
36
menahan diri untuk tidak berbohong, menipu, dan mencuri. Ketika berada di masyarakat, guru
yang memiliki integritas dipandang sebagai model bagi suara moral para remaja untuk
mengikutinya. Sebagai contoh, bagi guru di kelas penting untuk menunjukkan integritas
dengan mengajar fair play, sportivitas, dan melayani dengan penuh keteladanan seperti
menghargai semua siswa dan memperlakukan setiap siswa dengan baik.
Model guru yang berintegritas adalah guru yang memilih untuk melakukan hal yang
benar, sekalipun tidak ada orang lain yang melihatnya. Guru yang berintegritas menunjukkan
perilaku bertanggung jawab untuk menyediakan program akademik yang berkualitas dan
pengalaman pendidikan yang positif. Orang tua dan masyarakat mengharapkan para guru
mengajarkan karakter dan kebajikan moral yang dapat membantu membentuk kepribadiam
siswa sehingga mereka menjadi anggota masyarakat yang berguna.
Integritas seorang guru yang melekat padanya tidak lepas dari pengamatan siswa.
Artinya, siswa akan mengevaluasi karakter guru didasarkan pada bagaimana cara guru
memperlakukan mereka dalam proses pembelajaran. Para siswa tahu kapan guru
berkomitmen untuk mengajar yang mencakup aspek psikomotorik, kognitif, afektif dan kapam
guru peduli, dapat dipercaya, jujur, dan hormat kepada mereka.
Kejujuran Guru dapat di tunjukkan melalui kejujuran guru dalam menyatakan yang
benar dan bertindak sesuai aturan dengan cara-cara terhormat. Sebagai contoh di antaranya,
mematuhi kurikulum ataupun peraturan daerah yang telah ditetapkan, mengelola keuangan
sekolah dengan benar; dan mengevaluasi karya siswa yang didasarkan pada penilaian yang
objektif dan terstruktur. Sikap jujur seorang guru dapat juga diwujudkan melalui menjaga
kerahasiaan catatan siswa, tidak berbohong, tidak menipu, tidak mencuri, tidak menjiplak
karya orang lain atau mengambil karya orang lain dari situs web, dan sebagainya.
37
Sebagai teladan bagi siswa, guru secara konsisten menerima kewajiban moral untuk
berperilaku jujur seperti yang telah disebutkan di atas, terlepas dari situasi apa pun.
Berperilaku jujur berfungsi sebagai prasyarat untuk dipercaya, adil, mempunyai rasa hormat,
dan bertanggung jawab.
1.
Kepercayaan
Menurut KBBI (2005) kepercayaan adalah anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yang
dipercayai atau yang diyakini itu benar; sesuatu yang bisa dipercayai; ataupun orang yang
dipercayani. Ketika seorang guru bisa dipercayai oleh siswa, maka hubungan guru dan siswa
akan semakin harmonis sehingga proses pembelajaran akan berjalan dengan baik. Jika
hubungan kepercayaan ini dapat berlangsung secara harmonis, maka ketika guru memandu
pelajaran ataupun memberikan tugas tertulis, siswa dapat melakukan aktivitas ataupun tugas
tersebut dengan sebaik-baiknya karena telah dilandasi rasa percaya terhadap sang guru. Oleh
karena itu, munculnya rasa saling percaya di antara guru dan siswa merupakan kunci
keberhasilan pendidikan.
Pada hakikatnya, kepercayaan akan menggantikan rasa cemas ataupun takut menjadi rasa
percaya diri dan terbuka dengan apapun. Ketika siswa percaya pada guru, maka segala yang
dilakukan siswa, apakah itu menyangkut kesalahan dalam belajar ataupun prestasi yang
diperoleh, akan menjadi hal yang selalu positif sehingga kesempatan untuk belajar terus
berlangsung dalam diri siswa.
Kepercayaan seorang guru akan terus terjaga jika guru tersebut tidak merendahkan siswa
ketika siswa mengalami kesulitan dalam belajar, justru guru harus menyediakan bantuan
tambahan untuk memfasilitasi belajar siswa. Selain itu, guru juga harus mendorong siswa
untuk terus mencoba apa yang telah dipelajari. Hal ini bisa dilakukan dengan menyatakan,
“Anda bisa melakukannya” atau “Anda sedang membuat kemajuan yang baik.”.
38
Menumbuhkan kepercayaan akan sangat efektif bila disampaikan saat membuka
pelajaran. Cara ini sangat berguna dalam upacara penciptaan citra kepercayaan sejak awal
sebelum proses pembelajaran terus berlangsung. Ketika siswa percaya pada guru, maka
siswa tersebut tidak akan khawatir dan menjadi malu selama di kelas karena dia telah
mengetahui bahwa apa yang dialami dan dilakukan adalah hal biasa dan bisa diselesaikan
dengan baik. Kepercayaan akan pula terpelihara ketika siswa merasa bahwa guru
mendengarkan perjuangannya yang terkait dengan hubungan interpersonal, masalah-masalah
akademis, atau masalah pribadi.
2. Keadilan
Keadilan berhubungan erat dengan kepercayaan sehingga siswa dapat dengan cepat
belajar apakah mendapat perlakukan diskriminasi atau perlakukan secara tidak adil dari guru.
Keadilan menuntut agar semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk memenuhi
standar pada tes tertulis atau keterampilan dan menerima nilai yang sesuai. Kadang-kadang
keadilan bisa berarti memperlakukan siswa berbeda karena itu merupakan hal yang tepat
untuk dilakukan. Sebagai contoh, seorang guru dapat memilih untuk memberikan persentase
penghargaan nilai perbaikan, yang didasarkan pada berapa banyak kemajuan telah dibuat
siswa dalam belajar keterampilan tertentu.
Dalam kasus ini, seorang guru memberikan kesempatan yang sama kepada siswa
untuk mendapatkan nilai yang baik dalam tes perbaikan, tapi karena individu memiliki
kemampuan yang unik dan tingkat pengalaman yang berbeda, mungkin setiap siswa
menerima nilai yang berbeda.
Guru harus menekankan pentingnya melatih pengendalian diri dan menahan diri
ketika dihadapkan pada tindakan yang dianggap tidak sesuai. Siswa yang bertindak adil dan
tidak adil akan menggertak orang lain. Jika gangguan terjadi, siswa harus diinstruksikan pada
39
prinsip keadilan, rasa hormat, dan tanggung jawab sehingga akan tahu bagaimana harus
bersikap lebih tepat terhadap orang lain.
Guru yang adil akan percaya pada kemampuan masing-masing siswa untuk belajar,
dan mendorong setiap siswa untuk mencapai prestasi yang lebih baik. Bersikap adil dapat juga
diwujudkan melalui pemberian hukuman yang sama kepada siswa ketika mereka melanggar
atauran yang telah disepakati, baik di ruang kelas maupun di ruang olahraga, laboratorium,
dan di luar ruang kelas lainnya. Adapun salah satu cara agar guru dapat menunjukkan
keadilan kepada siswa adalah dengan menunjukkan rasa hormat kepada setiap siswa sebagai
individu yang unik.
3. Hormat
Mengembangkan rasa hormat di masyarakat yang dikembangkan dalam kelas sangat
penting. Proses ini dimulai dengan cara guru menunjukkan rasa hormat terhadap siswa, tanpa
memandang suku, ras, gender, status sosial ekonomi, atau karakteristik individu, dan
kemampuan para siswa. Guru harus luwes dalam menanggapi berbagai tingkat keterampilan
dan kemampuan yang ditampilkan oleh siswa. Meskipun merupakan tantangan berat harus
mengajar siswa dengan sedikit kemampuan bawaan. Namun, sebisa mungkin guru harus
dapat meningkatkan kemampuan siswa tersebut secara optimal.
Noddings (1992) menganjurkan agar pendidikan moral didasarkan pada guru dan guru
harus menunjukkan kepedulian dan menyadari bahwa siswa adalah individu yang unik. Guru
yang peduli dan menghormati siswanya, ia akan menjadi sensitif dan penuh perhatian
terhadap perasaan siswa. Kesopanan di dalam dan di luar kelas mengharuskan guru dan
siswa menunjukkan rasa hormat dan peduli terhadap orang lain. Penghormatan akan
diperoleh dengan cara memperlakukan orang lain penuh hormat. Ketika guru memperlakukan
siswa dengan hormat, maka guru akan menerima penghargaan sebagai balasannya.
40
4. Tanggung Jawab
Guru yang menunjukkan tanggung jawab adalah guru yang secara moral
bertanggung jawab atas tindakannya dan tugas-tugas yang diembannya sebagai tenaga
pendidik. Ketika guru menciptakan dan mempertahankan lingkungan belajar yang positif dan
fokus pada penyediaan pelayanan pendidikan kepada siswa dan masyarakat, maka dapat
dikatakan bahwa guru tersebut telah bertindak secara bertanggung jawab. Guru juga
dikatakan bertindak secara bertanggung jawab apabila membantu secara optimal
mengembangkan psikomotorik, kognitif, dan kemampuan afektif siswa. Ketika guru
mengadakan persiapan dengan baik untuk setiap kelas dan memberikan umpan balik yang
cepat serta konstruktif kepada para siswa, maka guru tersebut telah membantu memfasilitasi
proses pembelajaran yang baik dan bertangung jawab.
Selain menyangkut persoalan akademis siswa, guru juga wajib bertanggung jawab
soal kepribadian dan kesehatan siswa, seperti menyangkut kebugaran fisik, gizi yang baik, dan
tidak adanya penyalahgunaan narkoba. Pendekatan pengajaran tanggung jawab melalui
pendidikan di kelas dan olahraga yang dikembangkan oleh Hellison (2003) telah terbukti
berhasil meningkatkan rasa tanggung jawab siswa. Hellison bekerja dengan remaja yang
bermasalah secara sosial. Hellison berupaya membantu remaja tersebut untuk belajar
menghormati hak-hak dan perasaan orang lain, menunjukkan disiplin diri melalui partisipasi
dan usaha membantu orang lain, dan menerapkan perilaku-perilaku tersebut dalam aspekaspek lain dalam kehidupan. Dikatakan lebih lanjut oleh Hellison bahwa guru dapat
mendorong siswa untuk mengambil tanggung jawab pribadi dan sosial yang lebih besar dalam
upayanya memperlakukan orang lain.
Setiap kali seorang siswa gagal untuk menyelesaikan tugas, guru dapat menggunakan
kesempatan untuk mengajarkan para siswa menerima tanggung jawab untuk membuat pilihan
41
yang salah dan membuat pilihan yang lebih baik di masa mendatang. Sebagai contoh, jika
siswa marah secara lisan atau secara fisik ketika dianiaya oleh orang lain, guru dapat
membantu siswa tersebut belajar menahan diri dan pengendalian diri, yang menyebabkan
lebih banyak tanggapan positif dan konstruktif. Dengan menunjukkan minat yang tulus pada
semua siswa untuk memelihara hubungan baik di antara siswa, guru bertanggung jawab untuk
mengenali para siswa secara personal. Hal ini akan mempermudah guru memahami tentang
cara terbaik membantu setiap siswa untuk tumbuh dan berkembang.
5. Mengembangkan Pengajaran Penalaran Alasan Moral
Prinsip merupakan aturan perilaku yang bersifat universal yang mengidentifikasi jenis
tindakan, niat, dan motif-motif yang dihargai (Lumpkin, Stoll, & Beller, 2003). Prinsip-prinsip ini
didasarkan pada nilai-nilai moral seperti kejujuran, kepercayaan, keadilan, rasa hormat dan
tanggung jawab. Dalam memutuskan apakah hal-hal seperti berbohong, mencuri, menipu, dan
ingkar janji merupakan tindakan yang prinsip, maka pada setiap individu bergerak melalui tiga
tahapan penalaran proses moral. Tiga tahapan penalaran moral itu, yaitu: (1) fase
pengetahuan moral, (2) fase perasaan moral; dan (3) fase bertindak secara moral.
Fase pertama adalah pengetahuan moral, yang merupakan fase kognitif belajar
tentang isu-isu moral dan bagaimana mengatasinya. Fase kedua adalah menghargai atau
perasaan moral, yang merupakan dasar dari apa yang diyakini tentang dirimya sendiri dan
orang lain. Fase ketiga adalah bertindak secara moral, yaitu bagaimana orangorang bertindak
secara nyata berdasarkan nilai dan apa yang diketahui.
Dalam mengajarkan proses penalaran moral, guru harus membantu siswa
mempelajari perbedaan antara benar dan salah. Sangat mudah bagi siswa untuk
merasionalisasikan tindakan-tindakan keliru dengan menyatakan, “Tidak ada aturan yang
42
melarang itu,” “Semua orang lain juga melakukannya,” “Apa yang saya lakukan tidak etis tidak
masalah, karena tidak ada seorang pun yang tahu,” atau “Situasi menyebabkan aku bertindak
dengan cara ini.” Sangat penting bahwa guru mendidik untuk tidak merasionalisasikan prinsip
perilaku siswa dan sebagai gantinya menggunakan proses penalaran moral ketika membuat
keputusan.
Secara substantif, selama aktivitas kelas, dan dalam interaksi face to face dengan
murid, guru harus terus-menerus menekankan pentingnya pendidikan moral. Ketika guru
mengetahui bahwa aktivitas yang dilakukan siswa salah, maka guru mempunyai kewajiban
untuk membenarkan perilaku siswa tersebut, bahkan guru wajib mengungkapkan kepada
siswa bahwa apa yang dilakukannya adalah salah. Tentu guru punya cara tersendiri dalam
menyampaikan pesan tersebut kepada siswa. Sebagai contoh, ketika guru melihat salah satu
siswa yang memperoleh nilai baik melakukan peniruan terhadap seorang temannya saat ujian,
maka guru wajib menegur siswa tersebut, jika perlu memberikan nilai jelek dengan alasan
meniru kerja teman. Cara ini bisa menjadi cara yang efektif untuk memberi efek jera pada
siswa yang melakukan peniruan terhadap kerja siswa yang lain.
Memang
sudah
menjadi pekerjaan guru
untuk
membantu
siswa
untuk
menginternalisasi nilai-nilai moral, seperti kejujuran, kepercayaan, keadilan, rasa hormat, dan
tanggung jawab. Untuk itu, guru perlu memberikan suri teladan bagaimana berperilaku yang
positif sesuai aturan dan moral yang berlaku dalam kehidupan. Sebagai contoh, ketika siswa
bertanya tentang pelajaran
tertentu, guru wajib untuk menjelaskannya sebaik-baiknya.
Demikian halnya, guru harus jujur berkata kepada siswanya tentang sesuatu yang dia sendiri
kurang memahami lebih jauh tentang pertanyaan siswa saat proses pembelajaran berlaku.
Harus diakui terkadang tindakan moral membutuhkan keberanian seseorang guru,
meskipun tindakan yang dilakukan guru tersebut tidak senangi oleh banyak orang. Guru perlu
43
memberi teladan bahwa upaya meningkatkan moralitas siswa harus dilakukan dengan serius
sekalipun hal tersebut berhadapan dengan tekanan yang luar biasa. Guru juga dapat
memberikan kesempatan bagi siswa untuk menunjukkan komitmennya untuk bertindak secara
moral, seperti tindakan siswa menolak untuk menyontek pada ujian, berbohong tentang umur
saat mengikuti seleksi tertentu, dan sejenisnya. Semua ini menunjukkan bahwa para siswa
telah belajar bahwa kegiatan tersebut tidak dibenarkan secara moral.
Stoll dan Beller (1998: 21) menekankan bahwa penalaran moral tidak menjanjikan
perubahan perilaku, tetapi penalaran moral merupakan komitmen individu dalam melakukan
pencarian jati diri (jiwa) dan refleksi pribadi atas kepercayaan, nilai, dan prinsip-prinsip yang
dianut. Tanpa proses ini, peningkatan pertumbuhan pengetahuan moral dan perubahan
perilaku ke arah yang baik tidak akan terjadi
.
44
Download