DAFTAR ISI - Perpustakaan Universitas Indonesia

advertisement
BAB II
PEREMPUAN DALAM ISLAM
1. Pengertian Perempuan
Mengapa penulis menggunakan kata perempuan dalam penelitian ini?
Sudarwati D. Jupriono dalam tulisannya yang berjudul Betina, Wanita,
Perempuan: Telaah Semantik Leksikal, Semantik Historis, Pragmatik menulis
sebagai berikut; secara etimologis, kata perempuan bernilai cukup tinggi, tidak di
bawah, tetapi sejajar, bahkan lebih tinggi daripada kata lelaki. Kata perempuan
berasal dari kata empu yang berarti 'tuan', 'orang yang mahir/berkuasa', atau pun
'kepala', 'hulu', atau 'yang paling besar'; maka, kita kenal kata empu jari 'ibu jari',
empu gending 'orang yang mahir mencipta tembang'.
Kata perempuan juga berhubungan dengan kata ampu 'sokong',
'memerintah', 'penyangga', 'penjaga keselamatan', bahkan 'wali'; kata mengampu
artinya 'menahan agar tak jatuh' atau 'menyokong agar tidak runtuh'; kata
mengampukan berarti 'memerintah (negeri)'; ada lagi pengampu 'penahan,
penyangga, penyelamat', sehingga ada kata pengampu susu 'kutang' alias 'BH'.
Kata perempuan juga berakar erat dari kata empuan; kata ini mengalami
pemendekan menjadi puan yang artinya 'sapaan hormat pada perempuan', sebagai
pasangan kata tuan 'sapaan hormat pada lelaki'.15
Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia, istilah “perempuan”
didefinisikan sebagai salah satu dari dua jenis kelamin manusia, yaitu spesies
manusia berjenis kelamin betina, sedangkan satunya lagi yang merupakan lawan
jenis dari kata di atas adalah laki-laki atau pria. Penggunaan kata “perempuan”
berbeda dengan “wanita”, istilah “perempuan” dapat merujuk kepada orang yang
telah dewasa maupun yang masih anak-anak. Sedangkan kata “wanita” adalah
kata yang umum digunakan untuk menggambarkan perempuan dewasa.
Selain kata “perempuan” dan “wanita” terdapat kata lain yang sepadan
dengan kata-kata tersebut, yaitu “Ibu dan gadis”. Penggunaan kata Ibu lebih tepat
dipakai pada wanita yang sudah menikah, dan untuk perempuan yang belum
15
http://www.angelfire.com/journal/fsulimelight/betina.html
13
Perempuan dalam Al-Qur'an..., Suparno, Program Pascasarjana, 2008
menikah atau berada antara umur 16 hingga 21 tahun sering disebut dengan
“gadis” atau “anak gadis”.16
Dari pengertian di atas, penulis berasumsi bahwa penggunaan kata
“perempuan” merupakan kata yang tepat dalam penelitian ini, karena kata
“perempuan” mencakup seluruh usia, baik ibu, wanita maupun anak gadis.
2. Perempuan dalam lintasan sejarah
Sebelum mengkaji lebih jauh pandangan Islam tentang perempuan serta
berbagai permasalahan yang sering terjadi, sangat bijak jika kita menelaah
terlebih dahulu perjalanan perempuan dalam sejarah, terutama sebelum Islam.
Bagaimana posisi dan kedudukan kaum perempuan pada masa sebelum Islam?
Begitu pula bagaimana posisi dan kedudukan mereka pada masa Islam dan masa
modern?
2.1 Perempuan sebelum Islam
Sebelum agama Islam datang, perempuan sering menjadi bahan
perdebatan
dalam
berbagai
forum.
Perempuan
masih
diperselisihkan
keberadaannya. Kebanyakan Kaum filsuf meragukan, apakah perempuan
memiliki roh atau tidak? Kalau memiliki roh, termasuk jenis manusia ataukah
binatang? Jika perempuan memiliki roh dan termasuk jenis manusia, apakah
sejajar kedudukannya dengan laki-laki ataukah sama dengan budak?
Konon, dalam sistem nilai bangsa-bangsa terdahulu, kehidupan perempuan
selalu terkungkung dalam bayang-bayang nilai dan norma bangsa yang sifatnya
fanatis. Perempuan tidak lebih dari makhluk yang tercipta sebagai sosok pemuas
dan pelayan pria. Perempuan hidup hanya sebagai pelengkap dan tidak
memeroleh hak-haknya sebagai manusia. Perempuan hidup sebagai makhluk yang
terhina, lemah dan tertindas, tidak mempunyai hak dan kemerdekaan dalam
berbagai bidang kehidupan.
16
Tim Penulis, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka: 2005, Cet. Ke-3,
h. 857 dan 1268. lihat juga http://id.wikipedia.org/wiki/Perempuan
Perempuan dalam Al-Qur'an..., Suparno, Program Pascasarjana, 2008
2.1.1 Perempuan Yunani Klasik
Pada awal masa perkembangan Yunani, perempuan seperti terpenjara,
tidak kenal peradaban dan terhina. Bahkan ada yang menyebutnya bagian dari
syetan. Secara konstitusi, kemerdekaan perempuan dirampas, diperjual belikan
seperti layaknya barang dagangan, tidak diberikan hak waris dan selamanya
berada di bawah kekuasaan dan pengawasan laki-laki dalam segala urusannya.
Laki-laki diberi hak mutlak untuk memutuskan hubungan suami istri, sedangkan
perempuan tidak diberikan hak sedikitpun untuk mengajukan cerai kecuali dalam
hal-hal yang ada pengecualiannya.17
Perempuan tidak memiliki andil sama sekali dalam berbagai bidang
kehidupan publik. Perempuan selalu dikungkung dan dipingit, pada masa itu,
rumah-rumah pingit tersebar dimana-mana. Pada fase selanjutnya, kondisi
tersebut mulai berubah dan perempuan mulai berbaur dengan kaum pria. Namun
itu bukan berarti tanpa ada efek lain yang muncul kemudian, pergaulan bebas
justru menyebabkan kekuatan bangsa Yunani semakin memudar.18
2.1.2 Perempuan Romawi Kuno
Tidak berbeda dengan bangsa Yunani, pada masa-masa awal kebudayaan
Romawi, kepala keluarga berfungsi sebagai pemimpin agama keluarga, pengambil
keputusan, dan pengatur perekonomian. Hanya dia yang berhak mengambil
tindakan. Kekuasaan kepala keluarga ini mencakup semua anggota keluarga,
berlangsung hingga ia meninggal, dan sifatnya mutlak. Kekuasaan ini mencakup
kebebasan untuk memperjual-belikan, mengusir, menyiksa, bahkan membunuh.
Kekuasaan semacam ini berlangsung hingga dibentuknya konstitusi yang
menetapkan bahwa kekuasaan semacam itu sifatnya hanya untuk ta’dib (hukuman
mendidik), yaitu pada masa Georstain (565 M).19
Bangsa Romawi juga menganggap perempuan hanyalah sebagai alat yang
dipergunakan syetan untuk menggoda dan merusak hati manusia. Seminar yang
17
Fada Abdur Razzak, Bangga Menjadi Muslimah, penj. Muhammad Haris, (Jogjakarta:
Penerbit Think, 2005), h. 25
18
Muhammad Ali al-Allawi, The Great Women, Mengapa Wanita Harus Merasa Tidak
Lebih Mulia, penj. El-Hadi, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), h. 18 lihat juga Encyclopedia
Britannica (1984), vol. 19, h. 909
19
Fada Abdur Razzak, Bangga Menjadi Muslimah, Op. Cit. h. 26
Perempuan dalam Al-Qur'an..., Suparno, Program Pascasarjana, 2008
pernah dilakukan dahulu menyimpulkan bahwa perempuan adalah makhluk tak
berjiwa dan tidak akan menikmati kehidupan akhirat. Undang-undang Romawi
tidak memberikan sebagian besar hak manusia kepada perempuan. Laki-laki
memiliki kekuasaan mutlak terhadap kaum Hawa dan boleh menjualnya sebagai
budak belian.20
Selain itu, perempuan dianggap tidak mempunyai ruh, mereka mengalami
berbagai macam siksaan yang kejam. Betapa tidak, seringkali mereka harus
menahan panasnya minyak yang dituangkan ke tubuhnya yang sudah diikat pada
sebuah tiang. Bahkan terkadang mereka diikatkan pada ekor kuda lalu dibawanya
lari sekencang mungkin sampai mati.
Dari segi hukum, posisi hukum perempuan betul-betul rendah, pertama
menjadi bawahan ayahnya atau saudara laki-lakinya, untuk kemudian menjadi
bawahan suami yang memegang kendali atas istrinya. Di mata hukum, perempuan
dianggap sebagai orang-orang yang pandir.
2.1.3 Perempuan India
Kondisi perempuan India kuno tidak kalah memprihatinkan bila
dibandingkan dengan perempuan-perempuan bangsa-bangsa lain. Di India, ada
sebuah undang-undang bernama Mano yang menetapkan bahwa wanita sepanjang
hidupnya harus berada di bawah pengawasan dan kekuasaan kaum laki-laki, mulai
dari ayah, suami dan anak secara berurutan.
Menurut bangsa India, perempuan adalah sumber petaka, kehinaan dan
penyebab merosotnya eksistensi bangsa. Suatu ketika Budha bertanya kepada
salah seorang muridnya tentang bagaimana seharusnya ia memperlakukan seorang
perempuan. Sang murid menjawab, “hati-hati terhadap perempuan, pikir matangmatang sebelum engkau memperkenankan mereka bergabung dengan kelompok
keagamaan”.21
Perempuan bahkan dijauhkan dari sekedar berusaha untuk memahami
doktrin-doktrin keagamaan karena dianggap tidak memiliki cukup kemampuan.
20
21
The Encyclopedia Britannica, Vol. 28, h. 782
Muhammad Ali al-Allawi, The Great Women, Op. Cit, h. 19
Perempuan dalam Al-Qur'an..., Suparno, Program Pascasarjana, 2008
Di samping itu, mereka diibaratkan sebagai sebuah benda yang tidak boleh hidup
sepeninggal suaminya. Ia harus dibakar hidup-hidup.22
2.1.4 Perempuan Mesopotamia
Bangsa Mesopotamia mendiami daerah antara sungai Tigris dan sungai
Eufrat. Dalam pola kehidupan bangsa tersebut, perempuan harus menjalani
kehidupan yang penuh dengan tragedi. Kaum laki-laki, terutama suami, boleh
melakukan apa saja terhadap perempuan. Salah satu bentuk penindasan tersebut
adalah bahwa standar moralitas laki-laki dikategorikan berbeda dengan standar
moralitas perempuan. Seorang laki-laki yang melakukan hubungan seksual di luar
nikah, dinyatakan sebagai perbuatan yang bersumber dari dorongan hati yang
muncul tiba-tiba dan harus mendapatkan toleransi penuh dari istri. Berbeda jika
pelakunya adalah sang istri. Sanksi yang dikenakan kepadanya adalah hukuman
pancung.23
2.1.5 Perempuan Yahudi
Beberapa kalangan Yahudi menganggap kedudukan anak perempuan
seperti
pelayan. Sang ayah memeliki hak sepenuhnya atas dirinya untuk
menjualnya. Dia tidak mendapatkan hak waris apapun dari ayahnya jika dia
memiliki saudara laki-laki, kecuali jika ayahnya rela memberikannya. Orang
Yahudi juga menganggap perempuan dilaknat, karena menurut mereka, dialah
yang menyebabkan Adam melanggar perintah Allah Swt. Dalam kitab Taurat
disebutkan: “perempuan itu lebih pahit dari kematian, orang yang saleh dihadapan
Allah akan selamat dari tipu dayanya, tapi hanya satu diantara seribu yang
selamat, namun diantara seribu itu tidak ada seorang perempuan pun yang
selamat.24
Orang-orang Yahudi pada umumnya beranggapan bahwa perempuan yang
sedang mengalami haid harus dijauhkan dari rumah. Mereka enggan makan
bersama-sama denganya. Bahkan ia tidak boleh memegang bejana apapun karena
khawatir tersebarnya najis. Ada sementara orang-orang Yahudi yang manakala
22
Athiyah al-Ibrasy, Makânat al-Mar’ah fî al-Islam, (Kairo: Maktabah Misr, tth), h. 9
23
Muhammad Ali al-Allawi, The Great Women, Op. Cit, h. 20
24
Fada Abdur Razzak, Bangga Menjadi Muslimah, Op. Cit, h. 28
Perempuan dalam Al-Qur'an..., Suparno, Program Pascasarjana, 2008
anak perempuan atau istrinya sedang mengalami masa haid, maka ia mendirikan
sebuah kemah lalu didalamnya diletakkan makanan dan minuman. Dia biarkan
terus anak perempuan atau istrinya yang sedang haid itu di dalam kemah tersebut
sampai mereka suci kembali.25
2.1.6 Perempuan Nasrani
Perempuan dalam komunitas Nasrani hidup dalam kondisi yang buruk dan
memprihatinkan. Ia dinyatakan sebagai lambang keburukan dan penyebab utama
lahirnya bencana dan kejahatan. Wanita adalah perwujudan syetan dan diciptakan
hanya untuk melayani kaum pria.
Dalam bab kedua kitab Perjanjian Baru disebutkan bahwa Paulus berkata:
“Aku tidak mengizinkan perempuan untuk mencari ilmu atau beribadah dan harus
selalu berada dalam rumahnya. Karena Adam diciptakan lebih dulu dari Hawa.
Adam tidak akan membangkang perintah Tuhannya jika tidak ada wanita yang
menggodanya. Meski demikian, wanita akan selamat dari dosanya apabila ia
melahirkan anak-anak.” Perempuan adalah penyebab utama yang mengantarkan
seseorang untuk melakukan dosa. Oleh sebab itu, ia harus menebus kesalahankesalahan tersebut dengan melahirkan anak-anaknya.26
Pada tahun 586 M, orang-orang Perancis pernah menyelenggarakan
sebuah konferensi untuk membahas masalah; Apakah perempuan itu bisa
dianggap manusia atau tidak? Apakah perempuan itu punya ruh atau tidak? Kalau
ia punya ruh, maka apakah ruhnya itu ruh hewan ataukah ruh manusai? Kalau
ruhnya adalah ruh manusia, apakah ia sama dengan ruh laki-laki atau lebih
rendah? Akhirnya konferensi tersebut membuat satu kesimpulan, sesungguhnya
perempuan adalah seorang manusia. Akan tetapi, ia diciptakan untuk melayani
kaum laki-laki saja.
Pada masa kerajaan Raja Inggris Henry ke-8, parlemen Inggris
mengeluarkan sebuah keputusan yang melarang kaum perempuan membaca buku
Perjanjian Baru atau Injil, dengan alasan Perempuan itu najis. Parlemen disana
25
Haya binti Mubarak al-Barik, Ensiklopedi Wanita Muslimah, penj. Amir Hamjah,
(Jakarta: Darul Falah, 1420 H), h. 6
26
Muhammad Ali al-Allawi, The Great Women, Op. Cit, h. 21
Perempuan dalam Al-Qur'an..., Suparno, Program Pascasarjana, 2008
juga pernah mengeluarkan sebuah peraturan yang mendesak perlunya segera
dibentuk sebuah badan sosial yang khusus menangani sangsi hukuman terhadap
kaum perempuan. Salah satu wewenang badan sosial tersebut ialah membakar
perempuan hidup-hidup.
Selain itu, Undang-undang sipil Perancis pasca revolusi menetapkan,
orang-orang yang tidak perlu diperhitungkan adalah anak kecil, orang gila dan
perempuan; sampai pada tahun 1938 ketetapan tersebut barulah diganti.27
2.1.7 Perempuan Arab Jahiliyah
Dalam persepsi bangsa Arab Jahiliyah, perempuan adalah gabungan dari
segala gambaran keburukan, kesengsaraan, dan kehinaan. Oleh sebab itu, hingga
pada tingkatan tertinggi, mereka tega mengubur hidup-hidup setiap bayi
perempuan lahir. Al-Qur’an mengutuk perilaku tersebut,
☺
“Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup itu ditanya,
karena dosa apakah mereka dibunuh…” (at-Takwîr [81]: 8-9)
⌧
☺
☺
Artinya:
“Dan apabila seorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak
perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.
Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya
berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya
dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam
tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka
tetapkan itu.” (an-Nahl [16]: 58-59)
27
Haya binti Mubarak al-Barik, Ensiklopedi Wanita Muslimah, Op. Cit, h. 7
Perempuan dalam Al-Qur'an..., Suparno, Program Pascasarjana, 2008
Dalam pandangan kaum Arab Jahiliyah, perempuan adalah harta rampasan
perang yang patut dicari, baik dalam kapasitasnya sebagai perempuan atau
tawanan perang. Perempuan tidak memiliki hak kecuali sebagai alat perbudakan,
pemuas nafsu dan lambang kehinaan. Bangsa Arab sering mewarisi perempuan
seperti layaknya mewarisi harta. Apabila ada seorang laki-laki yang mati dan
meninggalkan seorang istri, maka salah seorang anak laki-lakinya yang paling
besar melemparkan bajunya kepada perempuan tersebut, jika ia mengambil baju
tersebut secara otomatis dia menjadi hak milik anak laki-laki tersebut walaupun
tanpa izin si perempuan dan ia juga tidak berhak atas warisan yang ditinggalkan
suaminya walaupun sedikit. Pada masa itu tidak ada pembatasan perceraian
sebagaimana tidak ada batasan dalam berpoligami. Hal ini diabadikan dalam QS.
An-Nisâ [4]: 19;
⌧
☺
….
⌧
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagimu mempusakai
perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu
berikan kepadanya, terkecuali jika mereka melakukan pekerjaan yang keji
lagi nyata…”
Demikian kisah perjalanan perempuan dalam lintasan sejarah. Kebanyakan
mereka digambarkan dalam keadaan terhina, lemah, tidak berguna, tidak memiliki
hak dan tanggung jawab. Bahkan yang lebih parah lagi, perempuan dianggap
tidak ada eksistensinya, ia hanya jelmaan syetan dan lambang bagi semua hal
yang buruk.
Wahidudin Khan mengatakan – dengan mengutip pendapatnya Bertrand
Russel dalam The Impact of Science on Society – alasan perlakuan buruk
terhadap perempuan di masa lalu adalah karena begitu menjamurnya takhayul.
Selain itu, mitos agama juga menjadi penyebab utama rendahnya perempuan.
Perempuan dalam Al-Qur'an..., Suparno, Program Pascasarjana, 2008
Encyclopedia Britannica menyatakan: “menurut agama Kristen, perempuan
adalah penggoda Adam dan bertanggung jawab atas turunnya manusia ke bumi.”
Dengan munculnya mitos abadi semacam ini dalam kesadaran kolektif
masyarakat, tidak terlalu mengherankan jika perempuan ditempatkan secara
inferior, baik dalam masalah agama maupun duniawi.28
2.2 Perempuan di masa Islam
Sebelum penulis mengemukakan kondisi dan kedudukan kaum perempuan
pada masa Islam. Nampaknya, penulis perlu membatasi terlebih dahulu apa yang
dimaksud dengan ‘masa Islam’. Perempuan pada masa Islam, yang akan dikaji
dalam tulisan ini adalah kondisi dan situasi perempuan pada masa awal Islam
datang (masa kenabian), masa Sahabat, masa Tabi’in dan masa Tabi’I At-Tabi’in.
Masa ini berkisar antara abad ke-5 M sampai abad ke-10 M. Pembatasan ini
dilakukan agar tidak terjadi kekeliruan dalam melihat sejarah, karena pada abad
ke-10 hingga sekarang pun masih terdapat agama Islam dan bisa dikatakan
sebagai masa Islam. Sedangkan untuk kondisi dan situasi perempuan dari abad ke10 hingga sekarang penulis masukkan dalam kategori perempuan di masa
Modern, karena suasana dan kondisi yang terjadi pada masa ini sangat jauh
berbeda dengan yang terjadi pada masa sebelumnya.
Selanjutnya, setelah membicarakan tentang posisi dan kedudukan
perempuan sebelum Islam datang dimana kaum perempuan berada dalam
kehinaan dan tidak ada rasa penghormatan sama sekali terhadap mereka
sebagaimana yang terjadi pada seluruh wilayah di dunia ini, seperti di Yunani,
Romawi, India, dan lain sebagainya, berikut akan dijelaskan tentang kedudukan
perempuan pada masa Islam.
Pada saat perempuan mengalami masa-masa suram dan menyedihkan –
ditambah dengan pendekatan tanpa nalar dan tidak masuk akal yang disuburkan
oleh takhayul, serta spekulasi dan cara berpikir irasionil, semua itu membuat
28
Maulana Wahiduddin Khan, Wanita, Antara Islam dan Barat, penj. Abdullah Ali,
(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001), h. 52
Perempuan dalam Al-Qur'an..., Suparno, Program Pascasarjana, 2008
perempuan dianggap inferior, lemah, tidak mempunyai kebebasan dan kekuasaan,
serta label buruk lainnya yang dilekatkan pada perempuan – Islam datang dengan
cahaya terang benerang membawa kebebasan yang sebenar-benarnya bagi
manusia, baik laki-laki dan perempuan. Perempuan secara khusus telah diakui
sifat kemanusiaannya. Islam sama sekali tidak menganggap kaum perempuan
sebagai suatu bakteri yang mengandung penyakit sebagaimana persefsi orangorang Yahudi dan Nasrani. Islam mengakui kebenaran azali (eternal) yang dapat
menghilangkan kehinaan dan Islam sangat berbeda sekali dengan agama-agama
lain yang cenderung aniaya kepada kaum perempuan.
Islam datang untuk melepaskan wanita dari belenggu kenistaan dan
perbudakan terhadap sesama manusia. Islam memandang perempuan sebagai
makhluk yang mulia dan terhormat, makhluk yang memiliki beberapa hak yang
telah ditetapkan dalam syari'at Allah Swt. Di dalam Islam, haram hukumnya
berbuat aniaya dan memperbudak perempuan, dan Allah Swt akan mengancam
orang yang berani melakukan perbuatan itu dengan ancaman siksa yang amat
pedih.29
Dari aspek kemanusiaan, Islam memandang sama antara laki-laki dan
perempuan, Perempuan dan laki-laki adalah jiwa yang satu dan tercipta dari benda
yang satu pula. Allah Swt berfirman dalam Q.S. An-Nisâ [4]: 1
‫ا‬
☯
⌧
⌧
Artinya:
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki29
Haya binti Mubarak al-Barik, Ensiklopedi Wanita Muslimah, Op. Cit, h. 11
Perempuan dalam Al-Qur'an..., Suparno, Program Pascasarjana, 2008

laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang
dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan Mengawasi kamu.
Selain itu terdapat sabda Nabi Muhammad Saw yang menerangkan
tentang persaudaraan perempuan dan laki-laki. Sabdanya,
‫إن اﻟﻨﺴﺂء ﺷﻘﺎﺋﻖ اﻟﺮﺟﺎل‬
"Sesungguhnya perempuan-perempuan itu adalah saudara laki-laki"
Islam telah memuliakan wanita dengan menjadikannya manusia yang
sama kedudukannya dengan laki-laki dalam setiap lini kehidupan, kecuali yang
berhubungan dengan tugas dan karir yang tidak cocok dengan fitrah dan
karakteristiknya sebagai perempuan. Dalam al-Qur'an dan hadits telah terpatri
terapi atas problematika-problematika perempuan, besar atau kecil. Hal ini terlihat
dari banyaknya ayat-ayat al-Qur'an yang berbicara tentang perempuan. Bahkan,
ada dua surah yang disebut sebagai surah perempuan, yaitu An-Nisâ dan atThalaq. Selain itu terdapat juga surah Maryam, sosok perempuan yang diabadikan
al-Qur'an.
Begitu pula dalam hadits, banyak sekali hadits-hadits yang memuat
masalah perempuan, Imam Bukhari pernah mencatat bab-bab dalam kitab
shahihnya, yang menginformasikan kegiatan-kegiatan kaum perempuan, seperti
bab keterlibatan perempuan dalam jihad, bab peperangan perempuan di lautan,
bab keterlibatan perempuan dalam merawat korban perang, dan lain sebagainya
seperti masalah-masalah krusial seputar perempuan. Selain itu, terdapat banyak
periwayat hadits berasal dari perempuan dan banyak juga perempuan andil dalam
kehidupan bermasyarakat pada masa Nabi.30
Hal yang paling besar yang diberikan Islam kepada kaum perempuan
bahwa Islam telah menghapus – untuk kali pertama – "kesalahan abadi" sebagai
penyebab utama Adam memakan buah pohon terlarang di surga. Islam
lihat Umar Ahmad Al-Rawi, Perempuan-perempuan Sekitar Nabi, (Jakarta: Akbar 30
Medika Eka Sarana, 2006)
Perempuan dalam Al-Qur'an..., Suparno, Program Pascasarjana, 2008
menganggap keduanya sama-sama bersalah karena mendengarkan bisikan syetan,
sebagaimana firmannya dalam QS. Al-Baqarah [2] : 36
☺
☺
☺
⌧
Artinya:
Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan
dari keadaan semula
Islam mengakui kelayakan perempuan untuk beragama dan beribadah.
Islam menjanjikan pahala dan batasan yang baik jika ia berbuat baik, dan azab
jika ia berbuat jahat; sama persis dengan apa yang dijanjikan kepada laki-laki.
Firman Allah dalam QS. An-Nahl [16]: 97
☯
☺
⌦
☺
Artinya:
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami
beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang
Telah mereka kerjakan.
Islam juga menyuruh umatnya untuk memuliakan kaum perempuan,
berbuat baik kepadanya, mendidik dan mengajarnya dengan baik. Rasulullah Saw
pernah bersabda,
"Barang siapa yang yang memiliki tiga saudara perempuan atau dua anak
perempuan, kemudian ia bergaul dengan mereka dengan baik dan
bertaqwa kepada Allah Swt dalam menjaga mereka, maka ia akan masuk
surga (HR. Tirmidzi)
Firman Allah Swt dalam QS. Al-Baqarah [3]: 228 dan ar-Rûm [30]: 21
Perempuan dalam Al-Qur'an..., Suparno, Program Pascasarjana, 2008
...
...
Artinya:
… dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma'ruf…..
Selain beberapa keistimewaan yang diberikan oleh Islam kepada kaum
perempuan seperti di atas, Islam juga memberikan hak-hak perempuan
sebagaimana mestinya, seperti hak waris, cerai, hak mendapatkan nafkah,
pengajaran, perlakuan baik dan lain sebagainya.
Dalam masalah hak dan kewajiban perempuan, Islampun menetapkan dan
mengaturnya dengan sangat baik sekali. Sebagai contoh hak untuk mewarisi harta
benda. Islam telah mengaturnya dalam al-Qur'an dan Sunah, bahkan J.M. Robert,
dalam bukunya "The Pelican History of the World", yang dikutip oleh Maulana
Wahidudin Khan, mengatakan:
“Kedatangannya (Islam) dalam banyak hal revolusioner. Islam
mempertahankan perempuan, misalnya, pada posisi yang inferior, tetapi
memberi mereka hak-hak legal atas harta benda yang tidak diberikan
kepada perempuan di banyak Negara Eropa sampai abad kesembilan belas.
Bahkan budakpun mempunyai hak, dan di dalam jama'ah kaum mukmin
tidak terdapat kasta maupun status warisan. Revolusi ini berakar di dalam
suatu agama yang tidak memisahkan sisi-sisi kehidupan, melainkan
mencakup semuanya.”
Pendapat senada berkenaan dengan India kuno dikemukakan oleh
pensiunan Hakim Kepala Kantor Pengadilan Delhi, Rajindar Sachar:
…Dari sudut sejarah, Islam sangat liberal dan progresif di dalam
memberikan hak kepemilikan harta kepada perempuan. Adalah fakta
bahwa tidak ada hak kepemilikan harta yang diberikan kepada perempuan
Hindu sampai tahun 1956, yaitu ketika Rancangan Undang-Undang Hindu
disahkan, padahal Islam telah menganugerahkan hak ini kepada
perempuan muslim lebih dari 1400 tahun yang lalu.31
2.3 Perempuan di masa modern
h. 53 31 Maulana Wahiduddin Khan, Wanita, Antara Islam dan Barat, Op. Cit,
Perempuan dalam Al-Qur'an..., Suparno, Program Pascasarjana, 2008
Sebagaimana yang telah dipaparkan diatas. Kondisi, situasi dan
kedudukan perempuan di masa Modern adalah perempuan pada masa abad ke-10
hingga sekarang.
Kaum perempuan yang tinggal di negara-negara Barat maupun di Timur,
pada masa sebelum abad ke-10, tidak jauh berbeda dengan masa Islam dan masih
dalam batas-batas kewajaran. Perempuan tinggal di rumah bersama keluarga,
bertingkah laku sopan, hidup sederhana dan mengenakan hijab saat keluar rumah.
Secara umum, perempuan masih dalam lingkup tanggung jawab laki-laki.
Zaman modern datang dan kehidupan Barat berubah dengan cepat.
Bahkan perubahan yang terjadi di Barat pada masa modern merambat jauh pada
kebanyakan perempuan di seluruh dunia.
Kaum perempuan di Barat mempropagandakan kesetaraan antara lakilaki dan perempuan dalam berbagai lini kehidupan. Mereka menuntut agar dapat
menjalani kehidupan sesuai dengan gaya hidup kaum laki-laki, melepas hijab,
menanggalkan rasa malu, keluar rumah dan melakukan apa saja sesuai dengan
keinginan mereka, menikah dan bercerai sesuka hati mereka serta meniti karir
dengan berbagai cara yang memungkinkan.
Mereka menginginkan hidup bebas tanpa aturan dan norma-norma yang
mengikat. Mereka menjadikan kesetaraan gender sebagai dalih kebebasan
perempuan. Akan tetapi, Hal ini ternyata kemudian menjadi dilema sendiri bagi
kaum perempuan di Barat. Kesetaraan tersebut berkembang terus tanpa ada
batasan, sehingga melanggar hak-hak asasi dan fitrah mereka sebagai perempuan.
Mereka melakukan pekerjaan apa saja dan dengan segala cara, baik dalam instansi
pemerintahan, perusahaan, pramugari, penjual surat kabar, pemain sepak bola,
penyapu jalan dan lain sebagainya yang sebenarnya dahulu semuanya itu menjadi
pekerjaan kaum laki-laki.32
Dengan giat, kaum perempuan memenuhi celah-celah yang diisi laki-laki,
perempuan merasa tidak lagi memerlukan kehadiran seorang laki-laki karena mereka
menganggap telah mampu memenuhi kebutuhan ekonominya sendiri, dari pria yang
32
Musthafa As-Shiba’I, al-Mar’ah baina al-Fiqh wa al-Qanûn¸ (Damaskus: Maktabah
Islamiyah, 1983), h. 174
Perempuan dalam Al-Qur'an..., Suparno, Program Pascasarjana, 2008
mencari nafkah dan wanita menjadi tanggungan pria dan mengurus rumah, menjadi
laki-laki dan perempuan bekerja berbarengan, bahkan sebaliknya laki-laki tinggal di
rumah dan hanya perempuan yang bekerja mencari nafkah keluarga.
Muhammad Qutb mengomentari fenomena tersebut dengan mengatakan,
“Perempuan telah mandiri secara ekonomi dengan alasan mengikuti
perkembangan perekonomian. Laki-laki tidak lagi menanggung kebutuhan
perempuan. Oleh karena itu, seorang laki-laki tidak lagi berkuasa atas
perempuan atau minimal tidak lagi mutlak. Ia tidak bisa mewajibkan
perempuan untuk melakukan suatu hal dalam keluarga. Selanjutnya, dalam
keadaan terpaksa, ia akan meninggalkan istrinya tersebut karena tidak
mampu melayaninya, ia melepaskan sepenuhnya tanggung jawab kepada
perempuan, sampai urusan seksual sekalipun. Kemudian pada fase
selanjutnya, kebebasan seksualpun akan merajalela. Perempuan mulai
keluar rumah dan berbaur dengan laki-laki untuk memperlihatkan
pesonanya dan daya tarik terhadap lawan jenis, satu persatu, batasan dan
aturan-aturan berhias dilanggar, hingga sampai pada batas yang
memalukan.”
Dengan demikian, perempuan di Barat terlepas dari semua norma-norma,
kehormatan dan rasa malu. Ia menjadi barang dagangan yang dipamerkan di
etalase-etalase, pinggir jalan, pabrik-pabrik, kantor-kantor dan lain sebagainya.
Kondisi tersebut selanjutnya berdampak pada munculnya laki-laki yang
tidak ingin menikah dan membina rumah tangga bahagia dengan seorang
perempuan. Karena mereka beranggapan bahwa mereka dapat memuaskan
kebutuhan biologis dan lainnya dimana saja yang dianggap lebih praktis dan
mudah. Terakhir, nilai-nilai dan etika keagamaan di masyarakat Barat mulai
hancur lebur, hanya sebagian kecil dari mereka yang masih mengindahkannya.
Fenomena di atas kemudian merambat pada negara-negara yang berada di
wilayah Timur dan sangat mempengaruhi kaum peempuan di negara tersebut.
Kaum perempuan di Negara ini pun mulai melirik kondisi dan kedudukan
perempuan di Barat. Mereka tidak jauh berbeda dengan perempuan di Barat,
mereka menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
Tulisan tentang sejarah perempuan pada masa pra Islam, masa Islam dan
masa modern di beberapa literature yang didapatkan oleh penulis, menurut hemat
penulis masih perlu dikaji ulang, karena kebanyakan literature yang menjelaskan
sejarah kondisi dan kedudukan perempuan masih bersifat subyektif. Mereka –
Perempuan dalam Al-Qur'an..., Suparno, Program Pascasarjana, 2008
para penulis sejarah perempuan – hanya melihat dari sisi negatif yang diderita
kaum perempuan, bagaimana kondisi perempuan di Yunani, Romawi dan lainnya
dideskripsikan sebagai kaum terhina secara keseluruhan. Apakah memang seperti
itu? Begitu juga pada masa Islam yang dianggap masa paling baik dalam
membangun kedudukan perempuan? Sebaliknya, di dunia Barat di masa Modern,
perempuan kembali berada dalam posisi terhina. Apakah memang keseluruhan
perempuan pada masa-masa tersebut dihinakan?
Penulis berasumsi, fenomena yang terjadi di dunia ini tidak seperti yang
digambarkan di atas, penulis yakin dibalik keterhinaan perempuan – di setiap
masa – pasti masih tersimpan sisi-sisi penghormatan terhadap kaum perempuan.
Sejarah perempuan tidak bisa dipandang dalam sekup yang kecil, dan dari salah
satu sisi, negatif atau positif, tapi harus meluas mencakup semua sisi.
Pada masa Yunani, Romawi, India dan lainnya tidak bisa dinafikan
terdapat penghormatan kepada kaum perempuan, tidak mungkin semua
perempuan berada pada level yang rendah, anak-anak raja dan para istri raja
waktu itu, mungkin tidak termasuk pada bagian wanita yang disebutkan dalam
sejarah perjalanan perempuan yang ada saat ini. Sebagai contoh, dalam ishah
keempat puluh dua dari sifr Ayyub disebutkan, “Tidak ada perempuan-perempuan
cantik di bumi secantik perempuan Ayyub, sang ayah memberi mereka warisan
diantara saudara-saudara mereka”.33 Hal ini menjelaskan masih adanya
penghormatan terhadap sebagian perempuan.
Dalam Islam, khususnya pada masa Nabi masih hidup, perempuan
memang terangkat derajatnya, karena sekupnya masih kecil, agama Islam belum
tersebar jauh dan berbagai kepentingan belum tersebar. Berbeda dengan
perempuan di masa sepeninggalan nabi, terutama pada masa kekuasaan dipegang
oleh para raja-raja Islam, banyak juga perempuan yang dijadikan harîm-harîm
hingga 1 raja atau pangeran mempunyai 4 istri dan 69 harîm. Mereka semua
berada dalam kungkungan istana kerajaan, tidak boleh keluar dari istana.34
Pada masa modern, perempuan terlihat kembali pada masa silam, ketika
perempuan berada dalam level yang tinggi, karena berbagai kebutuhan dan
33
34
Lihat Musthafa as-Shiba’I, Ibid, h. 19
Lihat tulisan Fatimah Mernissi dalam Beyond the Veil: Male-Female Dynamic in
Modern Moslem Society, juga Quraish Shihab dalam Wawasan al-Qur’an.
Perempuan dalam Al-Qur'an..., Suparno, Program Pascasarjana, 2008
keinginan mereka keluar rumah, bekerja dan berimbas pada terhinanya
perempuan, seperti yang dijelaskan di atas. Namun hal ini tidak mungkin
mencakup seluruh perempuan. Di sisi lain, banyak juga perempuan yang bebas
keluar rumah, bekerja, bergaul dalam masyarakat dan ternyata mereka justru
menjadi orang yang berada di garis depan, mereka mampu menjadi politisi,
saintis, bahkan presiden. Kita lihat bunda Theresa, Gloria Macapagal-Arroyo
(Presiden Philipina), Condoleezza Rice (Menlu AS), Megawati Soekarno Putri
(Presiden Indonesia) dan masih banyak lagi yang lainnya.
Namun demikian, penulis menyadari akan keterbatasan penulis dalam
mencari dan mengungkap pernyataan dan memperkuat argument di atas, hal itu
disebabkan oleh minimnya literature yang menguak hal-hal tersebut. Akan tetapi
inti dari itu semua, sejarah perempuan dari masa ke masa tidak bisa hanya dilihat
dari salah satu sisi dan ruang yang kecil.
3. Persamaan dan perbedaan perempuan dan laki-laki
Persamaan dan perbedaan laki-laki dan perempuan sangat menentukan
posisi dan kedudukan perempuan dan laki-laki itu harus berada dimana. Apakah
mereka keduanya berada dalam tempat yang sama ataukah dalam tempat yang
terpisah? Oleh karena itu berikut akan dikaji perbedaan dan persamaan antara
laki-laki dan perempuan dalam kaca mata Islam.
Menurut pandangan Islam, laki-laki dan perempuan adalah sama, karena
merupakan kelompok umat manusia yang satu dan tercipta dari jenis yang sama.
Atas dasar ini, maka laki-laki dan perempuan mempunyai lini-lini persamaan
diantara keduanya, terutama dalam soal hak dan kewajiban. Dalam al-Qur’an
banyak dijelaskan persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam hak dan
kewajiban mereka.
Pertama, Islam telah mempersamakan berbagai kewajiban yang berkaitan
dengan ibadat seperti shalat, puasa, zakat dan haji, dari segi kewajiban
melaksanakannya. Allah berfirman dalam QS. An-Nûr [24]: 56,
☺
⌧
⌧
Artinya:
Perempuan dalam Al-Qur'an..., Suparno, Program Pascasarjana, 2008
“Dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan taatlah kepada Rasul, supaya
kamu diberi rahmat”.
Kedua, Islam menganjurkan kepada setiap laki-laki dan perempuan untuk
menghiasi dirinya dengan perangai yang terpuji atau akhlak al-karimah. Dalam
QS. Al-Baqarah [2]: 153 disebutkan,
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
Ketiga, Islam mempersamakan keduanya dalam tata hukum mu’âmalat,
seperti jual beli, sewa menyewa, wakâlah, kafâlah, dan akad-akad lainnya yang
berkaitan erat dengan sesama manusia. Sebagaimana disebutkan dalam QS. AlMâidah [5]: 1,
….
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.”
Keempat, Islam menyamakan sanksi terhadap keduanya bila melanggar
hukum Allah Swt, sebagai contoh Allah Swt menyatakan dalam QS. An-Nûr [24]: 2,
☺
☺
⌧
☺
☺
⌧
Artinya:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiaptiap seorang dari keduanya seratus kali dera dan janganlah belas kasihan
kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama Allah, jika
kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat.”
Perempuan dalam Al-Qur'an..., Suparno, Program Pascasarjana, 2008
Kelima, Islam mewajibkan menuntut ilmu dan mengajarkannya kepada
umat Islam tanpa membedakan jenis laki-laki atau perempuan. Allah Swt
menyatakan dalam QS. Al-Anbiyâ [21]: 7,
☺
Artinya:
“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu
tidak mengetahui”.
Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa yang dikehendaki Allah Swt
dengan kebaikan, maka Allah memberinya pemahaman tentang agama.” (HR.
Imam Ahmad)
Di hadits lain disebutkan “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap
muslim, baik laki-laki maupun perempuan.”
Adapun mengenai perbedaan laki-laki dan perempuan, dalam ilmu
modern, minimal ada tiga perbedaan pokok antara laki-laki dan perempuan, yaitu
perbedaan di bidang biologis, fisiologis dan psikologis.
Dalam bidang biologis, nampak jelas sekali perbedaan antara laki-laki dan
perempuan, seperti perbedaan antara sperma laki-laki dan ovum perempuan,
perbedaan sel keduanya. Ilmu biologi modern telah menetapkan bahwa
perempuan berbeda dengan laki-laki dalam bentuk biologisnya, anggota-anggota
bagian luar, jaringan sel-sel tubuhnya. Kerangka tubuh perempuan dan sistem
struktur jasmaninya telah disiapkan untuk mengandung janin, melahirkan bayi,
menyusuinya dan mendidik anak dan seterusnya.
Selain itu, pada umumnya, laki-laki memiliki fisik yang lebih besar,
kulitnya kasar dan memiliki suara yang kasar pula. Pertumbuhan fisik perempuan
lebih cepat dibanding laki-laki. Namun, pertumbuhan otot laki-laki lebih cepat
dari perempuan di samping tenaganya yang lebih besar pula. Perempuan lebih
cepat dewasa bila dibandingkan dengan laki-laki, ukuran otak laki-laki rata-rata
lebih besar dari ukuran otak perempuan, detak jantunya berbeda, perempuan lebih
cepat dan laki-laki sebaliknya. Perempuan mengalami haid setiap bulannya dan ia
bisa hamil dan melahirkan.
Perempuan dalam Al-Qur'an..., Suparno, Program Pascasarjana, 2008
Di antara perbedaan fisiologisnya adalah: hati laki-laki dan darahnya lebih
banyak mengandung zat besi. Sejumlah otot laki-laki lebih kuat dibandingkan
perempuan, jantung perempuan lebih kecil dan lebih ringan rata-rata 20 gram
dibandingkan dengan jantung laki-laki. Panca indera perempuan lebih lemah
dibandingkan dengan panca indera laki-laki.
Dari segi psikologis, terlihat emosi perempuan lebih kuat dibanding lakilaki. Perasaan perempuan lebih cepat bergolak dibandingkan perasaan laki-laki.
Hati perempuan lebih halus dan lebih mudah menangis. Ini semua merupakan
anugerah dari Allah Swt, karena dengan demikian perempuan akan lebih mudah
menjadi sesuai citranya sebagai seorang pendidik anak, pengatur rumah tangga
dan sebagai Ibu yang baik.35
Perbedaan-perbedaan yang ada di atas memang dirancang oleh Allah Swt
agar tercipta kesempurnaan kedua belah pihak karena masing-masing pihak tidak
dapat berdiri sendiri dalam mencapai kesempurnaan tanpa keterlibatan yang lain.
Laki-laki dan perempuan diciptakan bukan untuk saling bertentangan, tetapi
diciptakan untuk saling integrasi dan melengkapi. Allah berfirman dalam QS. AlLail [92]:1-4,
⌧
Artinya:
“Demi malam apabila menutupi cahaya siang, dan siang apabila terang
benderang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan, sesungguhnya usaha
kamu memang berbeda-beda.”
Masalah integritas antara keduanya sama dengan integrasi siang dan
malam. Siang berbeda dengan malam. Siang terang benderang dan digunakan
untuk mencari rizki, sedangkan malam diselimuti oleh kegelapan dan digunakan
untuk waktu istirahat. Namun meskipun mereka berbeda fungsi, mereka
sebenarnya bersatu dan saling melengkapi. Seandainya Allah Swt menciptakan
35
Mansour Fakih, Membincang Feminisme; Diskursus Gender Perspektif Islam,
(Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 144
Perempuan dalam Al-Qur'an..., Suparno, Program Pascasarjana, 2008
waktu di dunia ini seluruhnya siang, niscaya manusia akan terasa payah, begitu
juga sebaliknya.
Demikian sekilas persamaan dan perbedaan antara laki-laki dan
perempuan dalam tinjauan Islam. Persamaan dan perbedaan keduanya dalam
beberapa hal yang belum dibahas di atas akan dikaji dalam tulisan berikutnya,
karena penulis menganggap hal itu penting untuk diuraikan lebih dalam, seperti
asal kejadian perempuan, apakah sama atau tidak dengan laki-laki? Bagaimana
Islam memberikan hak dan kewajiban perempuan? Bagaimana peran laki-laki dan
istri dalam rumah tangga? dan lain sebagainya.
4. Asal kejadian perempuan
Ada beberapa pertanyaan yang dapat dikemukakan disini sebelum
mengkaji lebih jauh soal asal kejadian perempuan, antara lain; Berbedakah asal
kejadian perempuan dari laki-laki? Apakah perempuan diciptakan oleh tuhan
hanya merupakan kejahatan ataukah mereka merupakan salah satu najis (kotoran)
akibat ulah syetan? Benarkah yang digoda dan diperalat oleh syetan hanya
perempuan dan benarkah perempuan yang menjadi penyebab terusirnya manusia
dari surga?
Demikian sebagian pertanyaan yang dijawab dengan pembenaran oleh
sementara pihak sehingga menimbulkan pandangan atau keyakinan yang tersebar
pada masa pra-Islam dan yang sedikit atau banyak masih berbekas dalam
pandangan beberapa masyarakat abad ke-20 ini.
Pandangan-pandangan tersebut secara tegas dibantah oleh Al-Qur’an,
antara lain melalui ayat pertama surah An-Nisâ:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari jenis yang sama dan darinya Allah menciptakan
pasangannya dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak.”
Al-Qur’an menolak pandangan-pandangan yang membedakan (laki-laki
dan perempuan) dengan menegaskan bahwa keduanya berasal dari satu jenis yang
Perempuan dalam Al-Qur'an..., Suparno, Program Pascasarjana, 2008
sama dan bahwa dari keduanya secara bersama-sama dikembangbiakkan
keturunannya baik yang laki-laki maupun yang perempuan.
Benar bahwa ada suatu hadits Nabi yang dinilai shahih (dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya) yang berbunyi:
“Saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena
mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. (Diriwayatkan oleh
Bukhari, Muslim dan Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah).
Namun, kebanyakan hadits tersebut dipahami secara keliru, bahwa
perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam, yang kemudian mengesankan
kerendahan derajat kemanusiaannya dibandingkan dengan laki-laki. Meskipun
cukup banyak juga ulama yang telah menjelaskan makna sesungguhnya dari
hadits tersebut, tapi kesan dan cap buruk bagi citra perempuan sudah “kadung”
larut dalam tiap tradisi dan peradaban manusia hingga sekarang.
Menurut Muhammad Rasyid Ridha, dalam Tafsir Al-Manâr, hal ini
disebabkan oleh bias tercantumnya kisah penciptaan perempuan dari tulang rusuk
dalam perjanjian lama, ia mengatakan, "Seandainya tidak tercantum kisah
kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab Perjanjian Lama (Kejadian II; 21) dengan
redaksi yang mengarah kepada pemahaman di atas, niscaya pendapat yang keliru
itu tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang Muslim."36
Tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam pengertian majazi
(kiasan), dalam arti bahwa hadits tersebut memperingatkan para laki-laki agar
menghadapi perempuan dengan bijaksana. Karena ada sifat, karakter, dan
kecenderungan mereka yang tidak sama dengan laki-laki, hal mana bila tidak
disadari akan dapat mengantar kaum laki-laki untuk bersikap tidak wajar. Mereka
tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan. Kalaupun
mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang
rusuk yang bengkok.
Memahami hadits di atas seperti yang telah dikemukakan di atas, justru
mengakui kepribadian perempuan yang telah menjadi kodratnya sejak lahir.
36
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manâr, (Kairo: Dar Al-Manâr, 1367 H), Jil. IV, h.
330.
Perempuan dalam Al-Qur'an..., Suparno, Program Pascasarjana, 2008
Dalam Surah Al-Isrâ ayat 70 ditegaskan bahwa:
⌧
⌧
⌧
☺
Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam. Kami angkut
mereka di daratan dan di lautan (untuk memudahkan mencari kehidupan).
Kami beri mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk-makhluk yang
Kami ciptakan.”
Kalimat anak-anak Adam mencakup laki-laki dan perempuan, demikian
pula penghormatan Tuhan yang diberikan-Nya itu, mencakup anak-anak Adam
seluruhnya, baik perempuan maupun laki-laki. Pemahaman ini dipertegas oleh
ayat 195 surah Ali Imran yang menyatakan: “Sebagian kamu adalah bagian dari
sebagian yang lain”, dalam arti bahwa "sebagian kamu (hai umat manusia yakni
laki-laki) berasal dari pertemuan ovum perempuan dan sperma laki-laki dan
sebagian yang lain (yakni perempuan) demikian juga halnya." Kedua jenis
kelamin ini sama-sama manusia. Tak ada perbedaan antara mereka dari segi asal
kejadian dan kemanusiaannya.
Dengan konsideran ini, Tuhan mempertegas bahwa:
Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang
beramal, baik laki-laki maupun perempuan (QS Ali ‘Imrân [3]: 195).
Pandangan masyarakat yang mengantar kepada perbedaan antara laki-laki
dan perempuan dikikis oleh Al-Qur’an. Karena itu, dikecamnya mereka yang
bergembira dengan kelahiran seorang anak laki-laki tetapi bersedih bila
memperoleh anak perempuan:
⌧
☺
Perempuan dalam Al-Qur'an..., Suparno, Program Pascasarjana, 2008
☺
Artinya:
Dan apabila seorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak
perempuan, hitam-merah padamlah wajahnya dan dia sangat bersedih
(marah). Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan
"buruk"-nya berita yang disampaikan kepadanya itu. (Ia berpikir) apakah
ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah
menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup). Ketahuilah! Alangkah
buruk apa yang mereka tetapkan itu (QS. An-Nahl [16]: 58-59).
Ayat ini dan semacamnya diturunkan dalam rangka usaha Al-Qur’an
untuk mengikis habis segala macam pandangan yang membedakan laki-laki
dengan perempuan, khususnya dalam bidang kemanusiaan.
Dari ayat-ayat Al-Qur’an juga ditemukan bahwa godaan dan rayuan Iblis
tidak hanya tertuju kepada perempuan (Hawa) tetapi juga kepada laki-laki. Ayatayat yang membicarakan godaan, rayuan syetan serta ketergelinciran Adam dan
Hawa dibentuk dalam kata yang menunjukkan kebersamaan keduanya tanpa
perbedaan, seperti:
Maka syetan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya ... (QS. AlA’râf [7]: 20).
Lalu keduanya digelincirkan oleh syetan dari surga itu dan keduanya
dikeluarkan dari keadaan yang mereka (nikmati) sebelumnya ... (QS. Al-Baqarah
[2]: 36).
Kalaupun ada yang berbentuk tunggal, maka itu justru menunjuk kepada
kaum laki-laki (Adam), yang bertindak sebagai pemimpin terhadap istrinya,
seperti dalam firman Allah:
Kemudian syetan membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam) dan
berkata: "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan
kerajaan yang tidak akan punah?" (QS. Thaha [20]: 120).
Demikian terlihat bahwa Al-Qur’an mendudukkan perempuan pada tempat
yang sewajarnya serta meluruskan segala pandangan yang salah dan keliru yang
berkaitan dengan kedudukan dan asal kejadiannya.
Perempuan dalam Al-Qur'an..., Suparno, Program Pascasarjana, 2008
5. Hak-hak Perempuan
Al-Qur’an berbicara banyak tentang perempuan dalam ayat-ayatnya.
Pembicaraan tersebut menyangkut berbagai sisi kehidupan. Ada ayat yang
berbicara tentang hak dan kewajiban perempuan, ada pula yang menguraikan
keistimewaan-keistimewaan tokoh-tokoh perempuan dalam sejarah agama atau
kemanusiaan.
Di bawah ini akan dibahas sebagian diantara hak-hak perempuan yang
terdapat dalam al-Qur’an.
5.1. Hak mendapatkan mahar, nafkah, waris
Salah satu keistimewaan syari’at Islam dalam memberikan perlindungan
dan penghormatan kepada kaum perempuan adalah adanya ketentuan mahar
dalam perkawinan yang harus dipenuhi pihak laki-laki sebelum rumah tangga itu
ditegakkan, sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. An-Nisâ [4]: 4,
☺
⌧
Artinya:
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang
hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang
sedap lagi baik akibatnya.”
Pemberian mahar terhadap perempuan merupakan bukti kecintaan seorang
suami pada istrinya dan juga sebagai tanda kebulatan tekad sang suami serta
pendahuluan bahwa suami akan terus menerus memberikan nafkah kepada
istrinya. Oleh karena itu, pemberian nafkah kepada istri merupakan hal yang
wajib walaupun hanya dengan sebuah cincin besi atau sebuah ayat al-Qur’an.
Setelah dilangsungkan akad nikah, suami berkewajiban memberikan
nafkah kepada istrinya, dalam QS. Al-Baqarah [2]: 233, Allah Swt berfirman,
Perempuan dalam Al-Qur'an..., Suparno, Program Pascasarjana, 2008
…
Artinya:
“…dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu
dengan cara ma'ruf….”
dan dalam QS. An-Nisâ [4]: 34,
☺
⌧
☺
Artinya:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena
Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka… “
Walaupun nafkah rumah tangga dibebankan terhadap laki-laki (suami),
tetapi Islam tidak melarang kepada istri untuk membantu suami dalam mencari
nafkah dengan ijin suaminya dan tidak mengganggu pelaksanaan kewajibannya
sebagai seorang ibu rumah tangga dan tidak mendatangkan sesuatu yang negatif
bagi diri, keluarga, masyarakat dan agamanya.37
Meskipun demikian, Islam pun membolehkan kepada seorang istri
menuntut pembatalan nikah dengan jalan khulu' jika suami tidak mau memberi
atau tidak mampu memberi nafkah, sedang istri tidak rela atau suami berbuat
kasar, berbuat serong, pemabuk dan lain sebagainya.
Khulu' adalah jalan keluar bagi istri yang tidak menyukai suaminya
dengan alasan selain yang bisa melahirkan fasakh, namun istri harus memberikan
semacam ganti rugi atas pemberian suami, agar suami bersedia rela menjatuhkan
talak kepadanya. Akibat khulu' suami tidak bisa ruju' tanpa persetujuan dan
kesediaan mantan istri.
37
Mansour Fakih, Membincang Feminisme; Op. Cit, h. 161
Perempuan dalam Al-Qur'an..., Suparno, Program Pascasarjana, 2008
Selain hak mahar dan nafkah yang didapatkan perempuan, dalam
pergaulan hidup berumah tangga, perempuan (istri) berhak mendapatkan
perlakuan yang baik dari suaminya sesuai dengan QS. An-Nisâ [4]: 19,
☺
Artinya:
"Dan bergaullah dengan mereka secara patut"
Perlakuan yang baik tersebut meliputi tingkah laku, tindakan dan sopan
santun yang menutup pintu kebaikan yang akan diberikan oleh kaum perempuan.
Dalam hal waris, perempuan dan laki-laki sama-sama mendapatkan hak
waris, sebagaimana dalam QS. An-Nisâ [4]: 7,
☺
⌧
⌧
☺
☺
⌧
Artinya:
"Bagi laki-laki ada hak dari harta peninggalan ibu-bapaknya dan
kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian pula dari harta
peninggalan ibu bapaknya dan kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak,
menurut bagian yang telah ditetapkan"
Pada masa pra Islam konsep kepemilikan atas waris berstruktur patrilineal
yang hanya mengikuti garis keturunan laki-laki. Masyarakat Arab yang sering
dilanda dengan perang antar kabilah menetapkan bahwa yang bisa mewarisi
keluarga hanyalah keluarga laki-laki yang terdekat. Setelah Islam datang, konsep
itu dirubah, tidak hanya laki-laki yang mendapatkan hak waris, perempuan pun
mendapatkan hak waris. Meskipun porsinya belum seperti yang diterima oleh
kaum laki-laki.38
Lain halnya dengan Prof. Hamka, dalam bukunya Kedudukan Perempuan
dalam Islam, ia mencontohkan hak perempuan dalam hal waris. Jika si mayit
38
Lily Zakiyah Munir, Memposisikan Kodrat; Perempuan dan Perubahan dalam
Perspektif Islam, (Bandung: Mizan, 1999), h. 104
Perempuan dalam Al-Qur'an..., Suparno, Program Pascasarjana, 2008
meninggalkan 10 orang saudara laki-laki dan satu perempuan, maka hitungannya
perempuan mendapatkan separo dari harta warisan dan separo sisanya dibagikan
kepada 10 orang saudara laki-lakinya. Jika peninggalannya Rp. 10.000,- maka
bagian anak perempuan adalah Rp. 5.000,- dan Rp. 5.000,- sisanya dibagikan
pada 10 anak laki-laki, dan masing-masing hanya mendapatkan Rp. 500,sedangkan anak perempuan mendapat Rp. 5.000,-39
Dari sini terlihat betapa Hamka berusaha mengangkat harkat perempuan
dalam perihal hak mendapatkan waris bagi perempuan.
5.2. Hak mendapat pekerjaan
Mengenai hak pekerjaan yang didapat oleh perempuan dalam mencari
kebutuhan hidup baik untuk pribadi maupun untuk kehidupan rumah tangga,
Islam sebenarnya telah menetapkan bahwa urusan mencari nafkah adalah
kewajiban laki-laki, tetapi jika perempuan berkehendak, maka diperbolehkan
bekerja dengan seijin suaminya atau ayahnya bila belum bersuami. Islam tidak
pernah melarang perempuan bekerja bila memenuhi dua syarat utama yang telah
ditetapkan dalam syari'at Islam, yaitu:
Pertama, dalam keadaan darurat, jika dia tidak bekerja, maka dia dan
keluarga tidak bisa menyambung hidup di alam ini.
Kedua, pekerjaan tersebut masih dalam batas kerangka yang telah
ditetapkan syari'at sesuai dengan kodrat perempuan, seperti, tidak menimbulkan
fitnah, ikhthilât dengan laki-laki yang bukan muhrim (ajnabî) dan lain
sebagainya.40
Kalau kita kembali menelaah keterlibatan perempuan dalam pekerjaan
pada masa awal Islam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Islam
membenarkan mereka aktif dalam berbagai aktivitas. Para perempuan boleh
bekerja dalam berbagai bidang, di dalam ataupun di luar rumahnya, baik secara
mandiri atau bersama orang lain, dengan lembaga pemerintah maupun swasta,
selama pekerjaan tersebut dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan, serta
39
Mansour Fakih, Membincang Feminisme; Op. Cit, h. 156
40
Mansour Fakih, Ibid, h. 146
Perempuan dalam Al-Qur'an..., Suparno, Program Pascasarjana, 2008
selama mereka dapat memelihara agamanya, serta dapat pula menghindari
dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.
Secara singkat, dapat dikemukakan rumusan menyangkut pekerjaan
perempuan yaitu bahwa "perempuan mempunyai hak untuk bekerja, selama
pekerjaan tersebut membutuhkannya dan atau selama mereka membutuhkan
pekerjaan tersebut dan tentunya pekerjaan tersebut harus sesuai dengan syari'at
Islam". Contoh keterlibatan perempuan dalam masalah pekerjaan pada masa awal
Islam, telah dibicarakan dalam pendahuluan Bab I.
5.3. Hak dalam belajar dan mengajar
Al-Qur’an dan hadits Nabi Saw. Telah banyak berbicara tentang
kewajiban belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan kepada laki-laki maupun
perempuan, di antaranya, "Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim
(dan Muslimah)" (HR Al-Thabarani melalui Ibnu Mas'ud), dalam Al-Qur’an
tertera pujian khusus kepada ulûl albâb, yang berzikir dan memikirkan kejadian
langit dan bumi. Zikir dan pemikiran menyangkut hal tersebut mengantarkan
manusia mengetahui rahasia-rahasia alam raya. Mereka yang dinamai ulûl
albâb tidak terbatas pada kaum laki-laki saja, melainkan juga kaum perempuan.
Hal ini terbukti dari lanjutan ayat tersebut, yang menguraikan tentang sifat-sifat
ulûl albâb, dalam QS. Ali 'Imran [3]: 195 dijelaskan:
☺
⌧
⌧
Artinya:
"Maka Tuhan mereka mengabulkan permohonan mereka dengan
berfirman, "Sesunggahnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orangorang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan.".
Sejarah membuktikan bahwa banyak wanita yang sangat menonjol
pengetahuannya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, sehingga menjadi
rujukan sekian banyak tokoh laki-laki. Istri Nabi, ‘Aisyah r.a., adalah salah
seorang yang mempunyai pengetahuan sangat dalam serta termasyhur pula
sebagai seorang kritikus, sampai-sampai ada ungkapan
terkenal
Perempuan dalam Al-Qur'an..., Suparno, Program Pascasarjana, 2008
yang
dinisbahkan oleh sementara ulama sebagai pernyataan Nabi Muhammad Saw;
Ambillah setengah pengetahuan agama kalian dari Al-Humaira, (yakni Aisyah).
Demikian juga As-Sayyidah Sakinah putri Al-Husain bin Ali bin Abi
Thalib. Kemudian, Al-Syaikhah Syuhrah yang
bergelar "Fakhr An-Nisâ,
(Kebanggaan Perempuan) adalah salah seorang guru Imam Syafi'i, tokoh mazhab
yang pandangan-pandangannya menjadi panutan banyak umat Islam di seluruh
dunia. Beberapa wanita lain mempunyai kedudukan ilmiah yang sangat terhormat,
misalnya Al-Khansa' dan Rabi'ah Al-Adawiyah.
Rasulullah Saw. tidak membatasi kewajiban belajar hanya kepada
perempuan-perempuan merdeka (yang memiliki status sosial tinggi), tetapi
juga para budak belian dan mereka yang bersatus sosial rendah. Karena itu
sejarah mencatat sekian banyak perempuan yang tadinya budak belian kemudian
mencapai tingkat pendidikan yang sangat tinggi.
Al-Muqari dalam bukunya Nafhu Ath-Thib, sebagaimana dikutip oleh Dr.
Abdul Wahid Wafi, memberitakan bahwa Ibnu Al-Mutharraf, seorang pakar
bahasa pada masanya, pernah mengajarkan
seorang perempuan liku-liku
bahasa Arab. Sehingga sang wanita pada akhirnya memiliki kemampuan yang
melebihi gurunya sendiri, khususnya dalam bidang puisi, sampai ia dikenal
dengan
nama
Al-'Arudhiyat
karena keahliannya dalam bidang ini. Harus
diakui bahwa pembidangan ilmu pada masa awal Islam belum sebanyak dan
seluas sekarang ini. Namun Islam tidak membedakan satu disiplin ilmu dengan
disiplin ilmu lainnya, sehingga seandainya mereka yang disebut namanya di
atas hidup pada masa kini, tidak mustahil mereka akan tekun pula mempelajari
disiplin-disiplin ilmu yang berkembang dewasa ini.
Meski demikian, paling tidak Azyumardi – seperti yang dikutip oleh
Ahmad Fudhalli dalam Makalah Azyumardi yang berjudul Ulama Perempuan
dan Wacana Islam: Pemberdayaan Perempuan dalam Keilmuan – telah berhasil
mencatat beberapa ulama perempuan yang menonjol dalam bidang keilmuan
selain sayyidah 'Aisyah istri Nabi. Antara lain:
1. Fatimah binti Abbas al-Baghdadiyah (1314), disebut juga dengan nama
Fatimah binti 'Ayyash. Ia menjadi syeikhah pada bidang fiqh dan ushul
Perempuan dalam Al-Qur'an..., Suparno, Program Pascasarjana, 2008
fiqh dalam sebuah Ribat yang diambil dari namanya, yaitu "Ribat alBaghdadiyyah" yang didirikan oleh putrid Sultan Az-Zahir Baybars
menjelang abad ke-13 dan dikhususkan untuk kaum perempuan pada
pengajaran fiqh dan ushul fiqh.
2. Nafisah (574/1178), seorang keturunan 'Ali, ia dikenal memiliki otoritas
dalam bidang hadits, Syafi'ipun pernah belajar dihalaqahnya di Fustat
(Mesir)
3. Fatimah binti al-Aqra', selain dikenal sebagai ulama ia juga dikenal
sebagai kaligrafer terkemuka
4. Syeikhah Syuhda (574/1178), lebih dikenal dengan nama Fakhr al-Nisa.
Dia sering mengadakan ceramah umum di Mesjid Jami' Baghdad
dihadapan banyak jamaah baik laki-laki maupun perempuan khususnya
dalam bidang agama, sastra, retorika dan puisi.
5. Zainab binti al-Syar'i, ia memperoleh ilmu dan ijazah dari para ulama pada
masanya. Kemudian ia menjadi seorang ulama dan banyak muridnya
antara lain seorang ulama dan sejarawan muslim terkenal Ibn Khallikan. 41
Dari kenyataan yang diutarakan Azyumardi di atas menunjukkan
keterlibatan perempuan dalam bidang keilmuan yang mempunyai pengaruh yang
sangat besar terhadap perkembangan masyarakat Muslim khususnya.
5.4. Hak dalam mengeluarkan pendapat dan berpolitik
Salah satu ayat yang seringkali dikemukakan oleh para pemikir Islam dalam
kaitan dengan hak-hak politik kaum perempuan adalah yang tertera dalam QS. AtTaubah [9]: 71
☺
☺
☺
☺
☺
⌧
41
Ahmad Fudhalli, Perempuan di Lembaran Suci: Kritik atas Hadits-hadits Shahih,
(Yogyakarta: Pilar Religia, 2005), h. 226
Perempuan dalam Al-Qur'an..., Suparno, Program Pascasarjana, 2008
⌧
Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian
mereka adalah awliya' bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk
mengerjakan yang ma'ruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka
itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi
Maha bijaksana.
Secara umum, ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban
melakukan kerja sama antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang
kehidupan yang dilukiskan dengan kalimat menyuruh mengerjakan yang ma'ruf
dan mencegah yang munkar.
Kata awliyâ, dalam pengertiannya, mencakup kerja sama, bantuan dan
penguasaan, sedang pengertian yang dikandung dalam kata-kata “menyuruh
mengerjakan yang ma'ruf” mencakup segala segi kebaikan atau perbaikan
kehidupan, termasuk memberi nasihat (kritik) kepada penguasa. Dengan
demikian, setiap laki-laki dan perempuan Muslimah hendaknya mampu mengikuti
perkembangan masyarakat agar masing-masing mereka mampu melihat dan
memberi saran (nasihat) dalam berbagai bidang kehidupan.
Keikutsertaan perempuan bersama dengan laki-laki dalam kandungan ayat
di atas tidak dapat disangkal, sebagaimana tidak pula dapat dipisahkan
kepentingan perempuan dari kandungan sabda Nabi Muhammad Saw.:
"Barangsiapa yang tidak memperhatikan kepentingan (urusan) kaum Muslim,
maka ia tidak termasuk golongan mereka."
Kepentingan (urusan) kaum Muslim mencakup banyak sisi yang dapat
menyempit atau meluas sesuai dengan latar belakang pendidikan seseorang,
tingkat pendidikannya. Dengan demikian, kalimat ini mencakup segala bidang
kehidupan termasuk bidang kehidupan politik.42
Di sisi lain, Al-Qur’an juga mengajak umatnya (laki-laki dan perempuan)
untuk bermusyawarah, melalui pujian Tuhan kepada mereka yang selalu
melakukannya. Dalam QS. Asy-Syura [42]: 38 disebutkan;
42
Amin Al-Khilli, Al-Mar'at Al-Muslimah fi Al-Ashr Al-Mu'ashir, (Baghdad: tp, tth), h.
13
Perempuan dalam Al-Qur'an..., Suparno, Program Pascasarjana, 2008
"Urusan mereka (selalu) diputuskan dengan musyawarah"
Ayat ini selain dijadikan pula dasar oleh banyak ulama untuk
membuktikan adanya hak berpolitik bagi setiap laki-laki dan perempuan, ayat ini
juga memberikan hak mengemukakan pendapat terhadap kaum perempuan. Syura
(musyawarah) merupakan salah satu prinsip pengelolaan bidang-bidang
kehidupan bersama menurut Al-Qur’an, termasuk kehidupan politik, dalam arti
setiap warga masyarakat dalam kehidupan bersama dituntut untuk senantiasa
mengadakan musyawarah.
Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa setiap laki-laki maupun perempuan
memiliki hak tersebut, karena tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang
dapat dipahami sebagai pelarangan keterlibatan perempuan dalam bidang
kehidupan bermasyarakat – termasuk dalam bidang politik. Bahkan sebaliknya,
sejarah Islam menunjukkan betapa kaum perempuan terlibat dalam berbagai
bidang kemasyarakatan, tanpa kecuali.
Kisah sejarah yang pertama sering dikemukakan dalam setiap pembicaraan
mengenai peran perempuan dalam politik adalah seorang perempuan yang
bernama 'Aisyah binti Abi Bakr Shidiq (istri Nabi Muhammad Saw) yang
memimpin langsung peperangan dalam perang jamal. Bahkan al-Qur'an pun
merekam kisah kesuksesan kerajaan Saba' di bawah tangan seorang perempuan,
Ratu Bulqis, sebagaimana terekam dalam QS. An-Naml [27]: 20-44.
Azyumardi Azra menulis beberapa fakta sejarah yang menunjukkan
tentang kepemimpinan kaum perempuan antara lain penguasa Mamluk dari Turki
terdapat dua pemegang mahkota kerajaan, yaitu Sultanah Radiyyah dan Sultanah
Syajarat al-Durr.
Kemudian juga terdapat enam orang ratu dari lingkungan penguasa Dinasti
Mongol yang menggantikan Dinasti ‘Abbasiyah. Selanjutnya ada tiga orang ratu
dalam entitas politik Islam di Meldives dan empat orang Sultanah dari kesultanan
Aceh, masing-masing Sultanah Taj al-'Alam Aufiyyat al-Din Syah (1641-1675),
Perempuan dalam Al-Qur'an..., Suparno, Program Pascasarjana, 2008
Sultanah Nur 'Alam Nakiyyat al-Din Syah (1675-1678), Sultanah Inayat Syah
(1679-1688) dan Sultanah Kamalat Syah (1688-1699).43
6. Telaah Pustaka
Kajian perempuan, sebagaimana disebutkan diawal, menempati porsi yang
cukup banyak dalam beberapa penelitian. Banyak para akademisi membahas
kajian perempuan ini, diantara mereka ada yang membahas perempuan sebagai
feminisme, ada juga yang membahasnya dari sisi keadilan gender dan banyak juga
yang hanya memposisikan diri untuk membela hak-hak kaum perempuan.
Literatur-literatur berupa buku-buku bacaan tentang perempuan telah
ditulis oleh beberapa cendekiawan Muslim maupun non-Muslim. M. Quraish
Sihab, seorang mufassir kontemporer pernah menulis masalah khusus perempuan
dengan judul Perempuan dari Cinta sampai Seks, dari Nikah Mut’at sampai
Nikah Sunnah, dari Bias Lama sampai Bias Baru, ia juga pernah menulis Wanita
Islam Indonesia dalam kajian Tekstual dan Kontekstual. Begitu juga Nasarudin
Umar, seorang akademisi yang konsen pada masalah-masalah perempuan dalam
bukunya Argument Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an. Tidak ketinggalan
juga, Masdar F. Mas’udi dan Budhy Munawar Rachman yang menganjurkan agar
dilakukan upaya dekonstruksi terhadap khazanah kitab kuning mengenai
perempuan seperti yang mereka tulis di berbagai jurnal dan artikel. Selain itu,
Ahmad Fudhali pernah mengkaji masalah perempuan dalam kajian hadits.
Karangan-karangan dari luar negeri juga ikut menghiasi persoalan kajian
perempuan dan telah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Ashgar
Ali Engineer dalam The Right Women in Islam yang diterjemahkan menjadi Hakhak Perempuan dalam Islam, Women in Islam karya Fatimah Mernisi juga telah
banyak diterjemahkan menjadi wanita dalam Islam, Amina Wadud Muhsin juga
memfokuskan diri pada kajian ini dalam karyanya yang diterjemahkan menjadi
Wanita dalam Al-Qur’an, selain itu Ruth Roded juga pernah menulis buku
berjudul Women in Islamic Biographical Collections from Ibn Sa’ad to Who’s
Who yang diterjemahkan dengan tema Kembang Perdaban. Dari Timur Tengah,
kita kenal sebuah karya yang sering dijadikan rujukan Tahrir al-Mar’ah fî Ashr
43
Ahmad Fudhalli, Op. Cit.
Perempuan dalam Al-Qur'an..., Suparno, Program Pascasarjana, 2008
ar-Risâlah karya Abdul Halim Abu Syuqqah, dan masih banyak karya-karya
lainnya yang tersebar di seluruh negara berkaitan dengan kajian tentang
perempuan. Di samping itu, sebuah tulisan dengan tema Perempuan dalam AlQur’an (Kritik Feminisme Muslim Terhadap Pemikiran Mufassir Klasik)
ditemukan di Perpustakaan UIN Jakarta
Dalam hal kajian perempuan dimata dua orang mufassir modern seperti
Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha, penulis belum menemukan
sebuah tulisan yang berkaitan dengan kajian tersebut. Sejauh pengetahuan penulis,
tulisan yang terkenal berkaitan dengan pemikiran Muhammad Abduh yaitu
penelitian tentang konsep Teologi Abduh dalam Risâlat at-Tauhid yang dilakukan
oleh Prof. Dr. Harun Nasution. Penulis belum menemukan tulisan khusus yang
membahas pemikiran Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha
berkenaan dengan penafsiran mereka terhadap ayat-ayat tentang perempuan.
Oleh karena itu, penulis menganggap bahwa tulisan ini patut untuk
dilakukan dan mudah-mudahan memberikan kontribusi positif dalam kajian
tentang perempuan di masa kini dan mendatang.
Perempuan dalam Al-Qur'an..., Suparno, Program Pascasarjana, 2008
Download