SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU PADA MASA

advertisement
SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU PADA MASA MODERN
Pada abad modern (abad 20), para filsuf banyak mencurahkan perhatian kepada
beragam tema dan pokok pembicaraan. Ada yang boleh disebut “masalah-masalah pribadi”
yang sudah dibentangkan sejak permulaan filsafat di Yunani, seperti masalah-masalah yang
menyangkut dunia, manusia dan Allah. Ada juga masalah-masalah yang lebih erat
perkaitannya dengan iini filsafat lebih banyak memperhatikan persoalan-persoalan sosial dan
politik. Khususnya kejadian-kejadian sekitar fasisme dan nasional-sosialisme di Eropa
dengan segala akibatnya, membangkitkan banyak refleksi filosofis tentang akar-akar
totalitarisme dan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menciptakan suatu susunan negara
demokratis yang optimal. Minat akan masalah-masalah sosial politik itu mengakibatkan juga
kontak yang lebih intensif dengan kalangan nonfilosofis, khususnya ilmu-ilmu sosial.
Menurut Kees Bertens (1981), dari beragam tema yang ada, satu tema yang
menguasai refleksi filosofis dalam abad modern adalah pemikiran tentang bahasa. Dalam
banyak aliran dan mazhab yang berbeda-beda bahasa termasuk fokus penelitian filosofis.
Materi ini sangat penting untuk kita pelajari secara detail, agar kita mengerti dan sanggup
memanfaatkan unsur-unsur positif dan menolak apa yang tidak bermanfaat.
Definisi/karakteristik pemikiran pada Masa Modern di Inggris
1) Filsafat Inggris Modern Pada Umumnya
Pada awal abad ke-20 aliran filosofis yang dominan di Inggris adalah idealisme. Kadangkadang disebut neohegellianisme Inggris karena filsafat Hegel jelas sekali merupakan
sumber inspirasi yang utama bagi para penganut idealisme Inggris. Tetapi itu tidak berarti
bahwa filsuf-filsuf bersangkutan hanya dipengaruhi oleh Hegel saja, sebab filsafat Kant
misalnya sering kali digunakan juga dan dari filsuf-filsuf Yunani mereka nenaruh perhatian
khusus akan Plato. Sebetulnya idealisme merupakan suatu aliran yang pada pandangan
pertama tidak begitu cocok dengan tradisi dan kecondongan pemikiran Inggris. Dalam
sejarah filsafat Inggris sudah sejak Abad Pertengahan dapat dilihat suatu kecenderungan
akan hal-hal empiris dan semacam rasa segan terhadap metafisika. Karena itu sangat
mengherankan jika idealisme dapat mengalami sukses begitu besar di Inggris, karena aliran
ini adalah corak pemikiran yang jelas bersifat spekulatif dan metafisis. Namun demikian, ada
sejarawan-sejarawan yang berpendapat bahwa dalam sejarah pemikiran Inggris terdapat
beberapa unsur yang seakan-akan mempersiapkan idealisme itu. Idealisme Inggris ini dapat
dimengerti sebagai reaksi atas materialisme dan positivisme yang merajalela di Eropa pada
waktu itu dan khususnya atas filsafat John Stuart Mill yang menguasai generasi filsuf-filsuf
Inggris sebelum timbulnya idealisme.
2) Tokoh/filosof yang hidup pada masa modern di Inggris dan pemikirannya
a) George Moore dan Betrand Russel
George Erward Moore (1873-1958) lahir di Upper Norwood, dekat London. Ia belajar di
Trinity Colledge di Cambridge, mula-mula filologi klasik, kemudian karena terpengaruh
Russel, sahabatnya, ia pun belajar filsafat.
Moore mengarang buku tentang etika : Principia ethica (1903) dan dalam bentuk lebih
populer Ethics (1912). Ia tidak menolak etika normatif dan dalam buku-bukunya ia juga
membahas masalah-masalah yang menyangkut etika normatif, tetapi terutama ia
menganalisa konsep-konsep dan argumentasi-argumentasi yang dipakai dalam etika.
Sebagian besar uraian-uraian filosofis Moore terdiri dari analisa tentang pendapatpendapat tertentu. Dengan analisa dimaksudkan di sini tidak lain daripada menjelaskan suatu
pikiran, mengeksplisitasikan semua hal yang tersimpul di dalamnya, merumuskan dengan
kata lain, memecahkan suatu persoalan ke dalam detail-detail kecil. Mendengar itu barang
kali kita menarik kesimpulan bahwa usaha Moore itu sederhana sekali. Dalam arti yang
tertentu hal itu benar juga. Tetapi orang harus mengalami sendiri cara yang terperinci dan
orisinil yang ditempuh Moore dalam membahas hal-hal serba biasa, untuk dapat menilai
pemkirannnya sebagai suatu usaha filosofis yang segar dan menarik. Buat Moore, yang
paling penting ialah mengalimatkan pertanyaan- pertanyaan dengan jelas dan tepat. Banyak
persoalan dalam filsafat ternyata tidak lain daripada persoalan semu dan menghilang begitu
saja, kalau diselidiki dengan cermat apakah yang sebenarnya mau ditanyakan dengannya.
Moore membantah dengan sangat bahwa filsafat terbatas pada analisis saja. Tetapi pada
kenyataannya filsafatnya sendiri sebagian terbesar terdiri dari analisa-analisa. Dan ia
mempraktekkan metode analisa ini dengan ketelitian yang mengagumkan. Itu menampilkan
kesan bahwa filsafat tidak lain daripada penjelasan. Dengan demikian mau tidak mau Moore
1
menjadi perintis bagi suatu gerakan baru dalam pemikiran Inggris, yaitu “filsafat analitis”
(philosophical analysis, philosophy of analysis, analytical philosophy, linguistic analysis).
Mereka yang termasuk aliran ini tidak begitu mempedulikan kebenaran, melainkan
memusatkan perhatian pada makna ucapan-ucapan kita. Buat mereka pertanyaan pokok
bukannya is it true?, melainkan what is the meaning?. Sebagai obyek penyelidikannya
mereka lebih jelas memilih ucapan-ucapan dalam bahasa sehari-hari (the ordinary language),
sedangkan Moore masih memperhatikan pikiran-pikiran dan konsep-konsep. Biarpun Moore
tidak menulis banyak, pengaruhnya atas perkembangan filsafat di Inggris banyak sekali.
Russell, Betrand Russell (1872-1970) lahir dari keluarga bangsawan. Di Cambridge ia
belajar ilmu pasti dan filsafat, antara lain pada A. Whitehead. Russell adalah sahabat Moore.
Teori “atomisme logis” mendapat sambutan hangat dalam filsafat Inggris dan dapat
dianggap sebagai mata rantai dalam seluruh perkembangan pemikiran Inggris.
Anatomisme logis diuraikan Russell dalam serangkaian ceramah yang kemudian dalam
bentuk artikel dimuat dalam majalah Amerika The Monist tahun 1918 dan 1919. Akhirnya
artikel-artikel tersebut dikumpulkan dalam buku Logic and knowledge. Essays 1901-1905
(1956). Tujuan teori ini adalah menelanjangi struktur hakiki bahasa dan dunia. Tujuan ini
dicapai melalui jalan analisa. Jadi seperti halnya pada Moore, dalam filsafat Russell pun
analisa memainkan peranan penting dan karena itu ia turut mempengaruhi perkembangan
filsafat Inggris ke arah “filsafat analisa”. Tetapi Russell tidak menganalisa pendapatpendapat para filsuf sepertu dibuat Moore, menurut dia filsafat bertugas menganalisa faktafakta. Filsafat harus melukiskan jenis fakta-fakta yang ada, katanya, seperti zoologi betugas
brtugas menentukan jenis-jenis binatang! Di sini menjadi jelas bahwa melalui bahasa ia
menemukan fakta-fakta jenis mana yang ada. Menurut dia bahasa melukiskan realitas. Tetapi
yang dimaksudkannya dengan bahasa bukannya bahasa yang biasa melainkan bahasa
sempurna, sama sekali terlepas dari segala kedwiartian dan kekaburan, yaitu bahasa logis
yang dirumuskan dalam Principia mathematica.
b) Alfred Ayer dan positivisme logis
Alfred Jules Ayer (1910) belajar fiologi klasik dan filsafat di Oxford. Sesudah studinya
selesai, ia berkunjung pada universitas di Wina dan sekembalinya di Inggris diangkat
sebagai dosen di Oxford. Waktu perang dunia ke dua ia masuk tentara Inggris dan
ditugaskan terutama pada dinas intelijen militer. Seusai perang ia dingkat sebagai profesor
pada universitas London (1946-1959) dan akhirnya diundang menjadi profesor logika di
Universitas Oxford.
Pada umur 25 tahun, ia menerbitkan language, truth and logic (1936), buku filsafat yang
menarik paling banyak perhatian dalam filsafat Inggris abad ke-20. Pendirian yang
dikemukakan buku ini dengan cara agak radikal, biasanya disebut positivisme logis atau
neopositivisme.
Dalam bukunya tersebut ia merumuskan sebagai berikut: Kami mengatakan bahwa suatu
kalimat pada kenyataanya bermakna bagi seseorang tertentu, kalau, dan hanya kalau, ia
tahu observasi-observasi mana akan membuat dia dengan syarat-syarat tertentu menerima
suatu proporsi sebagai benar atau menolaknya sebagai salah. Sebaliknya, kalau apa yang
dianggap sebagai proporsi bersifat demmikian rupa sehingga menerima kebenaran atau
ketidakbenanarannya dapat dicocokkan dengan pengandaian apapun juga mengenai
pengalamannya di kemudian hari, maka bagi orang bersangkutan apa yang disebut proporsi
itu tidak lain (kecuali kalau merupakan suatu tautologi) daripada proporsi semu saja.
Barangkali kalimat yang mengungkapkan proporsi itu mempunyai makna emosional bagi
dia, tetapi pasti tidak ada makna harfiah. Maksudnya, pertama-tama harus diinsafi dengan
baik bahwa prinsip vertikal bermaksud menentukan makna suatu ucapan, bukan
kebenarannya. Suatu ucapan yang bermakna bisa benar atau salah. Orang yang mengatakan
“Kota Balikpapan terletak di pulau Jawa” atau “ Palembang adalah ibukota Republik
Indonesia” mengucapkan suatu kalimat yang tidak benar, tetapi kalimat itu bermakna, sebab
ketidakbenarannya dapat ditetapkan.
c) Ludwig Wittgenstein
Pemikiran filosofis Ludwig Wittgenstein terdapat dalam dua periode. Periode pertama:
Tractatus logico-philosophicus. Tractatus adalah sebuah buku karya Ludwig Wittgenstein,
tidak panjang, tidak lebih dari 75 halaman saja. Buku ini terdiri dari pernyataan-pernyataan
yang agak pendek. Dalam pendahuluan bukunya ini, ia menyingkatkan usahanya dengan
berkata: Maksud buku ini dapat disingkatkan dengan kata-kata berikut ini: apa yang
memang dapat dikatakan, dapat dikatakan secara jelas. Dan tentang apa yang tidak dapat
dikatakan, orang harus berdiam diri. Jadi, buku ini berbicara tentang bahasa, atau lebih
tepat lagi jika dikatakan buku ini berbicara tentang logika bahasa. Salah satu unsur yang
penting sekali dalam uraiannya adalah apa yang disebut picture theory atau “teori gambar”,
2
yang dapat dianggap sebagai teori tentang makna. Sebagaimana tersirat dalam nama ini,
Wittgenstein berpendapat bahwa bahasa menggambarkan realitas dan makna itu tidak lain
daripada penggambaran suatu keadaan faktual dalam realitas melalui bahasa.
Menurut Ludwig Wittgenstein, filsafat tidak merupakan suatu ajaran, melainkan suatu
aktivitas. Tugas filsafat ialah menjelaskan kepada orang apa yang dapat dikatakan dan apa
yang tidak dapat dikatakan.
Dalam periode kedua, Philosophical investigations adalah satu-satunya buku yang
dimaksudkan Wittgenstein untuk diterbitkan dari sekian banyak buku yang ada. Dalam
bukunya ini, ia menolak terutama tiga hal yang dulu diandaikan begitu saja dalam teori
pertama, yaitu (1) bahwa bahasa dipakai hanya untuk satu tujuan saja, yakni menetapkan
states if affairs (keadaan-keadaan faktua), (2) bahwa kalimat-kalimat mendapat maknanya
dengan satu cara saja, yakni menggambarkan satu keadaan faktual, dan (3) bahwa setiap
jenis bahasa dapat dirumuskan dalam bahasa logika yang sempurna, biarpun pada pandangan
pertama barangkali sukar untuk dilihat. Untuk menjelaskan bahwa bahasa dipakai dengan
rupa-rupa cara, dalam bukunya yang kedua ini Wittgeinstein mengintrodusir istilah language
games (permainan-pemainan bahasa). Dalam pandangan ini, filafat harus menyelidiki
permainan-permainan bahasa ynag berbeda-beda, menunjukkan aturan-aturan yang berlaku
di dalamnya, menetapkan logikanya dan sebagainya. Filsafat tidak campur tangan dalam
pembentukan suatu permainan bahasa. Filsafat hanya melukiskan berfungsinya. Dengan
menerangkan cara bahasa dipakai sering kali masalah-masalah filosofis dapat dipecahkan.
Wittgenstein sendiri membandingkan tugas filsafat dengan terapi atau pengobatan. Ia juga
membandingkan tujuan filsafat dengan menunjukkan kepada lalat jalan keluar dari botol.
Atau dengan cara lain lagi ia mengatakan bahwa filsafat tidak berbuat lain daripada
mengganti metafisis kata-kata kita dengan pemakaiannya sehari-hari.
d) Beberapa filsuf lain dari Cambridge
Charles Dunbar Broad (1887-1971): dari tahun 1933 sampai 1953 profesor di
Cambridge. Mula-mula ia menganut idealisme, kemudian ia mulai mempraktekkan filsafat
dengan cara yang mirip denagn Moore dan Russell. Ia menganalisa konsep-konsep dasariah
yang sering dipakai orang dengan cara kurang kritis.
Frank Ramsey (1903-1930): ahli ekonomi, matematika dan filsuf. Menurut kesaksian
Wittgenstein sendiri, orang muda ini mempengaruhi dia secara mendalam melalui
percakapan-percakapan bersama dalam periode kedua Wittgensteins di Cambridge.
e) Beberapa filsuf dari Oxford
Gilbert Ryle (1900-1976) belajar filologi klasik dan filsafat di Oxford dan pada tahun
1945 menjadi profesor di sana. Pada tahun 1947 ia mengganti Moore sebagai pemimpin
majalah Mind dan memegang jabatan ini sampai tahin 1971. Karyanya yang terkenal adalah
The concept of mind (1949). Tidak jarang dikatakan bahwa The concept of mind merupakan
saah satu buku terpenting di bidang filsafat Inggris dalam periode sesudah perang dunia
kedua. The concept of mind bermaksud menyelidiki konsep-konsep yang menyangkut hidup
psikis, seperti misalnya penerapan (sensation), persepsi, fantasi, pengingatan, pemikiran,
penegertian, kehendak, motif dan lain sebagainya.
Peter Frederik Strawson (1919- ) adalah filsuf Oxford lain yang patut disebut di sini.
Karyanya yang paling banyak menarik perhatian adalah Individuals. An essay in description
metaphysic (1959). Selain iu ia mengarang pula: Introduction to logical theory (1952); The
bouns of sense (1966); suatu buku tentang ajaran Kant dalam Kritik atas radio murni;
Meaning and truth (1970); kuliah umum yang diberikan Strawson ketika ia dilantik sebagai
profesor di Oxford pada tahun 1969, mengganti G. Ryle; Logico-linguistic papers (1071);
mengumpulkan 12 karangan yang diterbitkannya dalam pelbagai majalah antara tahun 1950
dan 1970.
f) Karl Popper dan rasionalisme kritis
Karl Raimund Popper lahir di Wina pada tahun 1902. Orang tuanya berkebangsaan
Yahudi, tetapi tidak lama sesudah menikah mereka berdua dibaptis dalam gereja Protestan,
seperti dibuat banyak orang Yahudi lain yang ingin berasimilasi dengan masyarakat pribumi
Austria. Ayahnya adalah sarjana hukum dan pengacara yang sangat mencintai buku-buku.
Popper telah berhasil menyodorkan suatu pemecahan bagi masalah induksi dan dengan
itu serentak juga ia mengubah seluruh pandangan tradisional tentang ilmu pengetahuan.
Menurut dia suatu ucapan atau teori tidak bersifat ilmiah karena sudah dibuktikan, melinkan
karena dapat diuji (testable). Ucapan seperti “Semua logam akan memuai kalau dipanaskan”
dapat dianggap ilmiah, kalau dapat diuji dengan percobaan-percobaan sistematis untuk
3
menyangkalnya. Seandainya kita dapat menunjukkan suatu jenis logam yang tidak memuai
setelah dipanaskan, maka ucapan itu ternyata tidak benar le; Logodan harus diganti dengan
ucapan lain yang lebih tepat. Jadi cukuplah mengemukakan satu kasus (dalam contoh kita:
satu jenis logam yang tidak memuai setelah dipanaskan) untuk menyatakan salahnya suatu
ucapan ilmiah.
Secara singkat itulah yang disebut Popper the thesis of refutability: suatu ucapan atau
hipotesa bersifat ilmiah kalau secara prinsipial terdapat kemungkinan untuk menyangkalnya
(refutability). Atau dengan perkataan lain, perlu adanya kemungkinan untuk menjalankan
kritik. Ilmuwan yang sejati tidak akan menakuti kritik. Sebaliknya, ia sangat mengharapkan
kritik, sebab hanya melalui jalan kritik ilmu pengetahuan dapat maju.
Definisi/karakteristik pemikiran pada Masa Modern di Jerman
a) Filsafat Jerman Modern Pada Umumnya
Dalam pertengahan kedua abad ke-19 di Jerman dan di negara-negara lain pula dapat
kita saksikan perhatian baru untuk sistem-sistem filosofis yang lama. Di antara aliran-aliran
itu yang paling penting di Jerman adalah Neokantisme: perhatian baru untuk filsafat
Immanuel Kant (1724-1804). Seperti biasa terjadi, di sini juga tidak gampang untuk
menentukan saat mulainya aliran ini, tetapi banyak sejarawan berpendapat bahwa dalam hal
ini buku Otto Liebmann Kant und die Eigonen (1865) (Kant dan pengikut-pengikutnya)
memainkan peranan penting.
b) Tokoh/filosof yang hidup pada masa modern di Jerman dan pemikirannya
a) Wilhelm Dilthey dan filsafat kehidupan
Willhelm Dithley adalah filsuf yang sangat mengagumi filsafat Kant, namun demikian ia
tidak dapat digolongkan dalam neokantisme. Ia lahir di Biebrich am Rhein pada tahun 1833
sebagai anak seorang pendeta protestan. Ia mulai belajar di Heidelberg dan setahun kenudian
pindah ke Berlin di mana perhatiannya semakin tertarik oleh sejarah dan filsafat. Ia mengajar
di Basel (1866), Kiel (1868) dan Breslau (1871) dan akhirnya menjadi pengganti Profesor R.
Lotze pada Universitas Berlin (1882) di mana ia mengajar sampai 1905.
Nama yang paling cocok bagi pemikiran Dithley sebagai keseluruhan adalah “filsafat
kehidupan” (Philosophie des Lebens). Dengan “kehidupan” dimaksudkannya bukan saja
kehidupan biologis (jadi kehidupan yang sama bagi manusia dan binatang), tetapi seluruh
kehidupan manusiawi yang kita alami menurut kompleksitasnya yang amat kaya. Kehidupan
itu terdiri dari banyak sekali kehidupan individual dan bersama-sama membentuk kahidupan
umat manusia sebagai realitas sosial dan historitas. Semua produk manusiawi termasuk
kehidupan itu: dari emosi-emosi, pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan sampai dengan
lembaga-lembaga sosial agama-agama, kesenian, kasusastraan, ilmu pengetahuan dan
filsafat. Tetapi kalau kehidupan dimengerti dengan cara begitu luas, bukankah harus
disimpulkan bahwa filsafat selalu sama dengan filsafat kehidupan? Tetapi bagi Dithley
“filsafat kehidupan" mempunyai arti khusus lagi. Ia berpendapat bahwa kehidupan
merupakan satu-satunya obyek bagi filsafat, karena tidak ada sesuatu di bawah atau di
seberang kehidupan.
b) Edmund Husserl dan fenomenologi
Edmund Husserl (1859-1938)lahir di kota kecilProsznitz di daerah Moravia, pada waktu
itu sebagian wilayah kekaisaran Austria-Hongaria, tetapi sejak akhir perang dunia pertama
(1918) sampai 1981 termasuk Cekoslowakia. Ia berasal dari keluarga Yahudi, golongan
menengah.
Menurut Husserl, “prinsip segala prinsip” ialah hanya intuisi langsung (dengan tidak
menggunakan perantara apa pun juga) dapat dipakai sebagai kriterium terakhir di bidang
filsafat. “Melihat” secara langsung, bukan saja melihat dalam arti pengalaman inderawi,
tetapi melihat pada umumnya sebagai kesadaran yang memberikan apa saja secara asali
adalah sumber pembenaran yang terakhir bagi semua pernyataan rasional. Hanya apa yang
secara langsung diterbitkan kepada kita dalam pengalaman dapat dianggap benar dan dapat
dianggap benar sejauh diberikan. Dari situ Husserl menyimpulkan bahwa kesadaran harus
menjadi dasar filsafat. Alasannya ialah bahwa hanya kesadaran secara langsung diberikan
kepada saya selaku subyek, seperti akan kita lihat lagi. Sudah nyata kiranya bahwa dengan
itu Husserl mendekati usaha filosofis yang dilancarkan oleh Descartes dan memang ia
sendiri menyadari affinitas itu. Tetapi belainan dengan pemikiran Descartes, maka filsafat
Husserl mengalami perkembangan terus-menerus sampai akhir hidupnya .
c) Max Scheler
4
Max Scheler (1874-1928) pada tahun 1874 dilahirkan di Munchen, ibukota daerah
Bayern (Bavaria) di Jerman Selatan, suatu daerah yang mayoritasnya katolik. Ibunya adalah
orang yahudi dan ayahnya seorang protestan.
Bukunya yang paling penting di bidang etika dan mungkin yang paling penting dari
semua buku yang ditulisnya berjudul Formalisme dalam etika dan etika-niali yang bersifat
material. Buku ini terdiri dari dua bagian yang masing-masing membicarakan tentang
masalah nilai dan masalah persona. Judul buku Scheler sudah membantu untuk mengerti
maksudnya. Ia ingin memperlihatkan bahwa moralitas perbuatan-perbuatan manusia
berdasar pada berlakunya nilai-nilai obyektif, yang tidak tergantung pada manusia.
Dalam gerakan fenomenologi, Scheler merupakan suatu nama yang penting dan cukup
lama ia dianggap tokoh nomor dua dalam gerakan sesudah Husserl. Tetapi fenomenologi
bagi dia merupakan suatu sikap, bukan suatu prosedur khusus yang diikuti oleh pemikirann
(seperti misalnya induksi, deduksi atau teknik berpikir lainnya). Dalam sikap itu kita
mengadakan suatu hubungan langsung dengan realitas berdasarkan intuisi. Hubungan
tersebut dinamakannya sebagai “pengalaman fenomenologis”
d) Nikolai Hartmann
Nikolai Hartmann lahir di Riga pada tahun 1882. Di kota asalnya ia belajar ilmu
kedokteran dan filologi klasik, tetapi karena semakin tertarik akan filsafat, ia mengubah
haluan dan mulai mempelajari filsafat di kota Marburg, pada waktu itu salah satu pusat
aliran neokantisme.
Tujuan seluruh usaha filosofis Hartmann ialah menciptakan suatu ontologi baru, suatu
ajaran tentan Ada. Ia yakin bahwa Ada merupakan suatu wilayah yang patut dijadikan obyek
penelitian kritis dan ilmiah. Dalam usaha ini ia selalu mencari kontak dengan tradisi filsafat
yang amat luas itu, baik jaman purba maupun jaman modern.
Dari jaman purba tidak ada tokoh yang lebih dekat dengan pemikirannya daipada
Aristoteles. Tetapi filsafat Hartmann tidak membatasi diri pada tradisi; ia tidak bermaksud
menghidupkan kembali salah satu aliran dari masa lampau. Filsafatnya tidak merupakan
suatu neoaristotelisme umpamanya.dengan menimba dari suatu tradisi filosofis yang amat
kaya, ia ingin membukajalan-jalan baru bagi ontologi sekarang ini. Dalam pada itu tidak
mengasingkan diri terhadap perkembangan pengetahuan orang modern, sebab dalam karyakaryanya diperlihatkannya pengetahuan yang mendalam tentang ilmu pengetahuan modern.
e) Martin Heidegger.
Dalam pemikiran Heidegger terdapat dua periode. Oleh karenanya beberapa komentator
(antara lain Richardson) membedakan Heidegger I dan Heidegger II. Periode pertama
meliputi Ada dan Waktu. Antara lain pemikiran Heidegger dalam Ada dan waktu sering
salah ditafsirkan sebagai eksistensialisme. Kalau begitu, filsafatnya dimengerti sebagai suatu
ajaran tentang manusia dan dalam hal ini manusia dipandang sebagai “eksistensi” menurut
arti istilah ini dipakai sejak Kierkegaard.
Dalam periode kedua, tidak jarang dikatakan bahwa dalam filsafat Heidegger
terkandunglah suatu Kehre (pembalikan) dan sendiri pun menggunakan kata itu. Seperti
sering terjadi pada Heidegger, kata “pembalikan” juga mempunyai lebih dari satu arti saja.
Salah satu arti ialah usaha yang direncanakan dalam karyanya Ada dan waktu, yaitu dalam
seksi ketiga bagian pertama di mana tema “Ada dan waktu” dibalikkan menjadi “Waktu dan
ada”.
f) Lingkungan Wina
Pada Universitas Wina sudah sejak tahun 1895 diberikan mata kuliah “filsafat ilmu
pengetahuan induktif” mata kuliah ini dipercayakan kepada seorang ahli fisika yang secara
khusus memperhatikan metode- metode dan pendasaran ilmunya, Ernst Mach (1838-1916).
Dengan demikian Universitas Wina mendapat suatu tradisi empiritis yang menyoroti ilmu
pengetahuan. Sejak tahun 1922 Moritz Schlick (1882-1936) memegang mata kuliah tersebut.
Schlick adalah seorang filsuf dan ahli fisika yang telah mempersiapkan disertasinya di
bawah bimbingan Max Planck. Ia mulai mengumpulkan suatu kelompok sarjana-sarjana
brilyan yang memiliki pelbagai keahlian ilmiah. Setiap minggu mereka berkumpul untuk
menndiskusikan masalah-masalah filosofis yang menyangkut ilmu pengetahuan.
Lingkungan Wina terutama memperhatikan dua masalah: di satu pihak analisa
pengetahuan dan di lain pihak pendasaran teoritis matematika dan ilmu pengetahuan alam,
lalu juga psikologi dan sosiologi. Menurut pendapat mereka tidak dapat dikatakan bahwa
filsafat mempunyai suatu wilayah tersendiri yang terletak di samping wilayah-wilayah lain
yang menjadi obyek bagi ilmu pengetahuan. Filsafat tidak menyoroti poblem-problem yang
berbeda dari proble-problem ilmu pengetahuan. Tugas filafat ialah menjalankan analisa logis
terhadap pengetahuan ilmiah. Maka dari itu tidak dapat diharapkan bahwa filsafat akan
memecahkan masalah-masalah, tetapi hanyalah menganalisa masalah-masalah dan dengan
5
itu menjelaskannya. Dengan demikian mereka berusaha memperlihatkan bahwa banyak
problem yang tradisional dibicarakan dalam filsafat sebetulnya tidak lain daripada problem
semu saja: diberi kesan seakan-akan hal itu merupakan problem, padahal penjelasan analitis
menyatakan kepalsuannya. Dan ada problem-problem lain yang karena penjelasan yang
sama dinyatakan termasuk kompetensi ilmu pengetahuan.
KEPUSTAKAAN
Bertens, Kees.1981.Filsafat Barat Dalam Abad XX.Jakarta:Gramedia Pustaka
_______
Santi Ika Rahayu
(Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu dengan dosen Afid Burhanuddin,
M.Pd.)
6
Download