KARYA ILMIAH INTERDEPENDENSI FAKTOR LINGKUNGAN

advertisement
KARYA ILMIAH
INTERDEPENDENSI FAKTOR LINGKUNGAN
ABIOTIK DAN BIOTIK DI EKSOSISTEM PERAIRAN
OLEH
Drs. DENY SUHERNAWAN YUSUP, MSc.St
NIP. 19640509199103
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2015
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji kami haturkan kepada Allah swt, atas berkah dan innayahnya
sehingga karya ilmiah ini
ini dapat direalisasikan. Karya ilmiah
dengan judul
Interdependensi Faktor Lingkungan Abiotik Dan Biotik Di Eksosistem Perairan secara
keseluruhan merupakan pemahaman dasar tentang hubungan timbal balik antara faktor biotik
dengan faktor abiotik. Sehingga dapat dijadikan sebagai pemahaman dasar hubungan timbal
balik di lingkungan perairan khususnya .
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..............................................................................................
i
DAFTAR ISI ............................................................................................................
ii
I
PENDAHULUAN..........................................................................................
1
1. Dinamika ekosistem akuatik.......................................................................
1
2. Interdependensi............................................................................
1
INTERDEPNDENSI PRODUSER – FAKTOR LINGKUNGAN
4
1. Faktor Fisika Lingkungan ..........................................................................
4
2. Faktor Kimia Lingkungan ..........................................................................
8
II.
III.
IDEPENDENSI KONSUMER TERHADAP INTERDEPNDENSI
FAKTOR ABIOTIK-PRODUSER.............................................................
IV
12
PENUTUP....................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA.
17
I. PENDAHULUAN
1.
Dinamika ekosistem akuatik
Sebagaimana ekosistem darat (terestrial), ekosistem akuatik juga menunjukkan variasi
spatial dan temporal faktor lingkungan. Khususnya faktor abiotik lingkungan, ekosistem
akuatik memiliki faktor yang lebih dinamis yaitu terkait ke dalaman dan salinitas. Faktor
kedalaman air ini terkait dengan faktor lainnya sehinggga menghasilkan varaisi faktor
lingkungan lainnya seperti intensitas cahaya, temperature, tekanan dan gas terlarut (O2 dan
CO2). Kadar garam air (salinitas) bervariasi antar tempat dan waktu akibat adanya aliran
sungai dan musim.
Sebagaimana ekosistem terestrial, dinamika variasi spatial faktor lingkungn akuatik
dapat terjadi dalam skala kcil (mikrokosmos) sampai skala luas (makrokosmos). Dinamika
variasi temporal faktor lingkungan perairan dapat mencakup dari harian (misalnya pasang
surut) sampai musiman.
Dinamika faktor lingkungan juga semakin bervariasi seiring dengan meningkatnya
kegiatan eksploitai oleh manusia utuk memenuhi kebutuhan hidup, bahkan melampaui
ambang batas kemampuan alam untuk memperbaharui kembali, mislanya peningkatan
buangan / limbah dari proses-proses ekonomi manusia. Kondisi ini akan berdampak secara
domino terhadap distribusi, struktur komunitas, proses physiologis dan produktifitas
organisme (produser, konsumer dan dekomposer).
2.
Interdependensi
Sistim yang terjadi di alam dihasilkan oleh proses interelationship yang interdependen
antar komponen lingkungan (biotik dan abiotik), misalnya antara abiotik dengan biotik atau
biotik dengan biotik. Sistim interelationsip yang interdependen membentuk suatu hubungan
yang bersifat umpan balik (feedback) positif dan negatif. Jika suatu komponen dalam kondisi
kurang baik akan mengakibatkan dampak yang kurang baik pula terhadap komponen lainnya
dan sebaliknya.
Pemahaman independensi faktor abiotik dan biotik dapat fahami dengan mempelajari
pengaruh faktor abiotik (faktor lingkungan) terhadap sistim biologis mahluk hidup. Ketika
kualitas faktor lingkungan menurun maka akan berdampak negatif terhadap proses biologis
sehingga mengakibatkan produktifitas mahluk hidup menurun dan sebaliknya ketika faktor
lingkungan dalam kondisi baik maka akan menghasilkan kondisi ideal untuk proses biologis
sehingga produktifitas akan maksimal.
Pengaruh faktor lingkungan terhadap organisme produser adalah terutama pengaruhnya
terhadap proses biologi organisme produser seperti fotosintesisi. Sebaliknya organisme
produser juga dapat mempengaruhi kondisi faktor lingkungan atau habitatnya melalui
fotosintesisi dan bioremediasi, yang akan memperbaiki kualitas fisika kimia lingkungan
akuatik.
Hubungan
saling
berpengaruh
tersebut
menggambarkan
adanya
saling
ketergantungan (interdependensi) antara faktor lingkungan dengan ekofisiologi ptoduser
ekosistem akuatik.
Pengaruh faktor abiotik terhadap organisme heterotrophik (misal konsumer dan
dekomposer) dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung.
Pengaruh langsung
faktor abiotik dapat melalui pengaruh faktor lingkungan terhadap proses fisiologis dalam
tubuh organisme heterotrophik sehingga akan mempengaruhi produktifitas organisme
konsumer/ hewan aktifitas. Sedangkan pengaruh tidak langsung melalui pengaruh faktor
lingkungan terhadap
terhadap organisme produser (yaitu melalui perbaikan faktor
lingkungan dan ekofisiologi produktifitas produser). Perbaikan kondisi lingkungan melalui
mekanisme fotosintesis dan bioremediasi. Pengaruh ekophysiologi produktifitas tanaman
akuatik melalui mekanisme penyediaan bahan pakan (mekanisme transfer energi).
Selanjutnya melalui kedua mekanisme tersebut akan berpengaruh terhadap produktifitas
hewan.
Pemahaman interdependensi antara faktor biotik dengan biotik dapat melalui transfer
energi dapat difahami melalui efek bottom up dan efek top down (Diaz-Pulido, 2008). Effek
bottom up (kontrol oleh prduser primer) menggambarkan dinamika perubahan (naik/ turun)
populasi produser terhadap tingkatan tropik berikutnya, dimana efeknya bersifat domino dan
linier terhadap tingkatan tropik berikutnya. Ketika populasi produser meningkat maka
populasi tingkat tropik berikutnya juga akan meningkat dan sebaliknya. Effek top down
(kontrol oleh konsumer/predator) menggambarkan efek perubahan (naik/turun) populasi
tingkat tropik konsumer terhadap tingkatan tropik di bawahnya. Perubahan ini menghasilkan
efek domino yang mosaik (berbeda-beda)/ tidak linier. Misalnya peningkatan populasi tropik
karnifora tingkat I akan berdampak negatif terhadap herbivora tapi posistif terhadap
karnivora tingkat II. Peneitian experimental Diaz-Pulido (2008) menggambarkan peranan
ikan herbivora terhadap kondisi terumbu karang.
Penghilangan ikan herbivora
mengakibatkan pertumbuhan alga yang maksimum sehingga menutupi koral sehingga mati.
Hal yang sama dikemukakan oleh Bowen (1997) predasi sea oter terhadap bulu babi dapat
meningkatkan produktifitas tanaman kelp .
Penjelasan di atas menggambarkan interdependensi antara faktor abiotik lingkungan
dengan faktor biotik. Serta menunjukkan adanya efek domino akibat perubahan satu
komponen lingkungan terhadap komponen lainnya.
II. INTERDEPNDENSI PRODUSER – FAKTOR LINGKUNGAN
Sebagaimana produser di darat, proses biologi tanaman akuatik sangat tergantung
terhadap faktor-faktor seperti cahaya dan temperatur. Namun, proses biologi tanaman akuatik
juga dipengaruhi oleh kandungan garam (salinitas) air.
2.1. Faktor Fisika Lingkungan
2.1. 1. Cahaya
Cahaya merupakan salah satu faktor lingkungan yang sangat penting bagi proses biologi
tanaman darat maupun tanaman akuatik (Anonim, 2013). Pengaruh cahaya terhadap tanaman
akuatik terkait dengan tiga karakter utama cahaya seperti kuantitas, kualitas dan durasi
(Anonim, 2013). Secara keseluruhan cahaya berpengaruh terhadap proses fotosintesisi
organisme produser baik di darat maupun di perairan. Energi cahaya (photon) merupakan
sumber energi untuk proses fotositesis, yang produknya sangat penting untuk pertumbuhan
tanaman dan lingkungan.
Karakter intensitas cahaya bervariasi antar musim (temporal) dan antar tempat (spatial).
Secara temporal, variasi intensitas cahaya suatu perairan di daerah tropis tidak terlalu berbeda
sebagaimana di kawasan sub tropis. Di kawasan sub tropis, intensitas cahaya akan mencapai
maksimum pada musim panas (summer) dan minimum pada musim dingin (winter).
Secara spatial, variasi intensitas penetrasi cahaya ke dalam badan air berbeda antar
kedalaman sehingga mempengaruhi terhadap distribusi vertikal organisme akuatik.
Organisme produser perairan tersebar di zona yang masih ada cahaya (photik) dan
kemelimpahannya semakin menurun ketika intensitas cahaya menurun seiring dengan
kedalaman dan tidak ditemukan lagi cahaya, zona dimana cahaya tidak mencapai kedalaman
tersebut (aphotik) (Pelinggon and Henderson, 2006). Selain itu variasi spatial cahaya juga
terkait dengan tingkat kandungan partikel terlarut yang mempengaruhi kecerahan (turbiditas )
air, misalnya kawasan estuarin. Kawasan estuarin menerima partikel terlarut dari badan
sungai sehingga memilki kecerahan yang lebih rendah dibandingnkan badan perairan lainnya
seperti (hulu dan pantai).
Secara kualitas terkait dengan warna cahaya atau panjang gelombang cahaya. Cahaya
merah dan biru memiliki pengaruh paling tinggi terhadap pertumbuhan tanaman. Sedangkan
cahaya hijau lebih banyak direfleksikan oleh tanaman sehingga hanya sedikit yang di serap.
Durasi cahaya (photoperiod) mengacu pada jumlah/panjang waktu tanaman di ekspose ke
sinar matahari. Pengertian photoperiod lebih ditekankan pada panjang periode gelap tanpa
terputus suatu tanaman. Respon tanaman (misal untuk berbunga) terhadap photoperiod
bersifat species spesifik sehingga dapat dikategorikan menjadi short day (long dark); long
day and day-neutral.
Variasi spatial dan temporal dari karakteristik utama cahaya di ekosistem perairan
mengakibatkan variasi spatial dan temporal proses fotosintesisi sehingga menghasilkan
variasi produktifitas perairan, pertumbuhan organisme produser dan kualitas lingkungan
perairan.
2.1.1.A. Cahaya dan temperature
Pengaruh cahaya terhadap proses biologi tanaman akuatik tidak hanya sebagai faktor
tunggal tetapi dapat mempengaruhi musim. Keterkaitan faktor cahaya dengan musim
mengasilkan variasi temperatur temporal perairan. Sedangkan keterkaitan cahaya dengan
kedalaman menghasilkan variasi intensitas cahaya dan temperatur. Sehingga pengaruh cahaya
terhadap produser perairan dapat secara langsung dan tidak langsung. Pengaruh langsung
cahaya terkait dengan peran cahaya sebagai sumber energi untuk fotosithesis, sedangkan
pengaruh tidak langsung berkaitan dengan pengaruh pengaruh variasi cahaya yang
mengakibatkan variasi temperatur dan intensitas cahaya di perairan.
Keterkaitan cahaya dengan suhu merupakan faktor lingkungan yang memiliki peranan
yang sangat luas dalam ekosistem. Keterkaitan ini tidak hanya terkait degan musim tetapi
juga terkait dengan faktor lain misalnya kedalaman dan pasang surut.
Variasi cahaya dan
suhu terkait musim dapat dilihat di daerah tropis maupun sub tropis (empat musim). Di zona
tropis amplitudo perubahan intensitas-durasi cahaya dan suhu bagian permukaan perairan
lebih tinggi dibandingkan bagian lebih dalam (bawah). Hal ini mengakibatkan adanya zona
termoklin (kisaran kedalaman air dimana terjadi perubahan suhu perairan secara drastis) yang
dapat menjadi penghalang (barrier) pergerakan vertical massa air dan nutrien dari badan
perairan bagian bawah ke permukaan. Sehingga mengakibatkan rendahnya pengangkatan
kembali nutrien dari dasar perairan ke badan perairan bagian permukaan dan mengakibatkan
rendahnya produkifitas primer di badan perairan bagian permukaan. Oleh karena itu, secara
umum akan mengakibatkan produktifiitas primer yang lebih rendah dibandingkan kawasan
subtropis.
Perubahan intensitas dan durasi cahaya terkait musim mengakiatkan terjadinya variasi
temporal produktifitas primer di kawaan sub tropis. Pada musim panas ketika intensitas
cahaya- durasi cahaya tinggi, produktifitas perairan subtropis relative sama seperti di
kawasan tropis. Pada musim dingin dimana intesitas-durasi cahaya lebih paling rendah maka
produktifitas perairannya menurun. Pada awal musim semi ketika intesitas cahaya dan durasi
meningkat dengan suhu relative lebih hangat, produktifita primer perairan meningkat karena
tidak adanya barier suhu. Secara keseluruhan produktifitas primer perairan sub tropis lebih
tinggi dibadingkan daerah tropis.
Keterkaitan cahaya dan temperatur terkait dengan peningkatan suhu dapat di lihat di zona
pasang surut dan perairan sungai kecil. Ketika surut atau debit air menurun suhu akan
meningkat dan suhu kembali turun ketika pasang atau debit air meningkat. Pengaruh
peningkatan suhu di zona pasang surut mempengaruhi keragaman dan produktifitas rumput
laut (Pelinggon and Henderon, 2006).
Sedangkan di zona oseanik di daerah temperate (empat musim), terjadi pengadukan air
ke permukaan dengan membawa nutrien pada awal musim semi akibat perbedaan suhu
sehingga menyediakan nutrien bagai plankton di dukung intensitas cahaya yang semakin
tinggi maka perkembangan plankton semakin cepat dan laju fotosintesis meningkat.
Sedangkan rendahnya produktifitas di kawasan kutub diakibatkan oleh cahaya.
Penelitian Hilman et al. (1995) pada seagrass jenis Halophylla ovalis mengindikasikan bahwa
temperatur sangat mempengaruhi produktifitas. Selanjutnya dikatakan bahwa suhu perairan
dibawah 15°C menghambat produktifitas dan meningkat 30% pada kisaran suhu 20 sampai
25°C dan tidak ada pertumbuhan pada suhu 10oC.
2.1.1.B. Cahaya dan kedalaman air
Penetrasi dan intensitas cahaya juga terkait dengan kedalaman air. Peningkatan
kedalaman diikuti dengan menurunnya intensitas cahaya, sehingga pada penetrasi cahaya
hanya sampai kedalaman tertentu. Variasi spatial ini linier dengan produktifitas primer
perairan.Pada bagian permukaan (euphotik zone) dimana plankton dapat ditemukan,
produktifitas zona euphotik tergolong tinggi. Keberadaan plankton dapat ditemukan sampai
dengan kedalaman tertentu yang dikenal dengan compensation depth, kedalaman dimana
hanya 1% penetrasi cahaya dan fotosintesis hanya memproduksi karbohydrat untuk
memenuhi kebutuhan organism (zero net productivity). Kedalaman zero net productivity
bervariasi antar tempat tapi sekitar 150m.
Produktifitas kawasan neritik lebih proktif dibandingkan dengan kawasan oseanik karena
adanya suplay nutrien yang konstan dan densitas penukaan air yang rendah sehingga plankton
melayang lebih lama.
Produktifitas kawasan oseanik lebih tinggi dibandingkan dengan
kawasan oseanik di wilayah tropis karena adanya zona termoklin yang stabil yang
menghambat pengadukan air bagian bawah ke permukaan.
2.1.C. Cahaya dan turbiditas
Sedimentasi dapat berasal dari material yang terbawa oleh aliran ke badan perairan terutama
partikel terlarut yang terbawa aliran sungai, sedimen terlarut akibat erosi badan sungai atau
aktifitas penggalian sepanjang sungai (misal pertambangan). Sedimen mengakibatkan
peningkatan kekeruhan air (turbiditas) turbiditas badan air atau menempel pada permukaan
thallus alga makro sehingga mengakibatkan penghambatan
penetrasi cahaya ke badan
perairan atau mengambat absorbsi energi cahaya oleh klorofil organisme produser. Akibatnya
proses physiologis terhambat seperti fotosintesis, pertukaran gas dan nutrien (Diaz-Pulido et
al. , 2008). Bahkan sedimentasi yang ekstim dapat mengakibatkan terkuburnya seagrass
sehingga berpengaruh terhadap produktiftas dan sebaran tanaman seagrass (Texas Park and
Wild Life, 1999). Selanjutnya dikatakan bahwa partikel terbawa aliran sungai yang berasal
dari kawasan pertanian mengandung nutrien inorganik yang tinggi khususnya nitrogen
sehingga dapat mengakibatkan eutrophikasi.
Pengaruh faktor lingkungan (cahaya dan kecerahan air) juga ditunjukkan oleh penelitian
Borum et al. (2004), kematian masal tanaman lamun jenis Zostera marina dikawasan Florida
Bay (USA) akibat limbah.
2.1.2. Salinitas
Salinitas adalah salah satu faktor yang menjadi pembatas antara organisme air tawar dan
air laut. Namun, beberapa organism memiliki kisasaran toleransi yang luas terhadap alinitas
(euryhalin) sehinga memilki sebaran yang lebih luas misalnya tanaman mangrove dan hewan
yang habitatnya di muara sungai.
Meskipun tanaman mangrove memiliki toleransi yang luas terhadap fluktuasi salinitas,
toleransi ini bersifat species specific. Hal ini bisa dilihat adanya zonasi tanaman mangrove,
tanaman mangrove tersebar dari kawasan yang selalu terendam sampai kawasan yang kering
ketika surut.
Variasi toleransi juga ditunjukkan oleh rumput laut. Pengaruh salinitas terhadap struktur
komunitas rumput laut (seaweed) dapat dilihat dari variasi species antara kawasan yang
dipengaruhi air tawar dan jauh dari kawasan air tawar (Pelinggon and Tito2009). Daerah
yang dipengaruhi air tawar (salinitas rendah) secara umum memiliki keragaman yang rendah
dibandinngkan di daerah yang tidak dipengaruhi salinitas rendah misalnya area terumbu
karang (reef area).
Pengaruh faktor lingkungan (limbah) juga ditunjukkan oleh penelitian Borum et al.
(2004), kematian masal tanaman lamun jenis Zostera marina dikawasan Florida Bay (USA)
akibat limbah.
2.2. Faktor Kimia Lingkungan
2.2.1. Oksigen
Oksigen adalah salah satu komponen lingkungan yang bagi organisne untuk proses
respirasi. Sumber oksigen terlarut ekosistem perairan dapat berasal dari difusi oksigen yang
terdapat di atmosfer dan aktivitas fotosintesis tumbuhan air. Produser di ekosistem perairan
adalah tanaman dan mikro alga (fitoplankton), melalui proses fotosintesis.
Tanaman air memiliki sedikit perbedaan dengan tanaman di darat berkaitan dengan hal
oksigen. Tanaman di darat ketika siang menggunakan oksigen yang diproduksi melalui
fotosintehsis untuk memenuhi kebutuhannya dan kelebihannya di difusikan ke alam dan pada
malam hari ketika tidak melakukan fotosintesis, tanaman memeroleh dari udara bebas.
Sedangkan tanaman air, oksigen hasil fotosintesis diurnal segera digunakan untuk proses
respirasi dan kelebihannya disimpan dalam jaringan (lacuna) untuk digunakan pada pagi hari
pada saat supply O2 rendah. Tanaman beradaptasi terhadap penurunan oksigen ini
diantaranya dengan penurunan laju respirasi atau melakukan respirasi dengan glikolisis
(dalam kondisi anaerob)
2.2.2. CO2
Peningkatan CO2 sampai dengan level tertentu akan menstimulate pertumbuhan tanaman
di darat, tetapi tidak demikian pengaruhnya terhadap tanaman air (misalnya kelp) kecuali
tanaman lamun (Seagrass). Peningkatan CO2 akan menyebabkan acidifikasi perairan laut
akan menurunkan aragonite sehingga dapat mengganggu organism yang tubuhnya calciferous
(seperti coral, foram).
2.2.3. Nutrien
Nutrien di ekosistem peraiaran dapat
berasal dari erbagai sumber seperti proses
decomposisi dan remineralisasi bahan organic atau organism mati.dan loading yang berasal
dari daratan terbawa aliran sungai, upwelling, fiksasi N oleh alga biru hijau dan masukan
limbah aktifitas manusia (Diaz-Puidoet et al., 2008)
Proses
dekomposisi
kondidilingkugan.
bahan
organi
berperan
penting
terhadap
perubahan
Di satu sisi proses dekomposisi berperan menyediakan nutrien bagi
produser perairan, disisi lain proses ini dapat mempengaruhi kondisi lingkunga seperti
penurunan oksigen dan meningkatkan CO2 bahkan pH air. Pross dekomposisi berlebihan
dapat mengakiatkan eutropikasi sehinga malah akan menurunkan kualitas perairan. Mc Intyre
et al. (2007) mengemukakan pengaruh ikan terhadap siklus nutrin di suatu
perairan
tawartropis karena ikan berperan melalui sekresi nitrogen dan fosfor (phosphorous), shingga
hilangnya ikan dari suatu kawasan dapat mempengaruhi siklus nutrien di perairan tersebut.
Scara keseluruhan bahwa over eksploitas yang mengakibatkan berkurangnya ikan di suatu
kawasan dapat membahayakan / merugikan fingsi ekosistem.
Meningkatnya nutint terlarut meningkatkan pertumbuhan alga makro seaweed (misal
Sargassum sp), bahkan kandungan nutrien yang berlebihan, seperti akibat masukkan akibat
aktifitas manusia mengakibatkan eutropikasi dapat mengakbtakan pertubuhan alga yang
berlebihan. (Doiaz-Pulido et al., 2008.
Pemanfaatan nutrien limbah perikanan salmon yang mencapai 56 % merupakan sumber
nutrien untuk budidaya rumput laut (Oie, 2012). Lebih lanjut disebutkan bahwa biomassa
rumput laut yang dikultur dengan sistem terpadu dengan budidaya ikan salmon lebih tinggi
dibandingkan dengan yang dikultur di daerah tanpa budidaya salmon. Hasil ini
mengindikasikan juga bahwa rumput laut dapat digunakan sebagai absorber limbah pakan
budidaya ikan (sitem ini dikenal dengan sistem budidaya terontegrasi/polylcultur atau
Integragrated Multi-Ttrophic Aquaculture / IMTA).
2.2.4. Pollusi
Berbagai penelitian telah banyak melaporkan pengaruh polusi bahan organik di badan
perairan , termasuk didalamnya herbisida dan hidrokarbon. Polusi perairan pantai dapat
diakibatkan oleh masukan bahan pencemar oleh aliran sungai (land source pollution) atau
aktifitas di laut (seperti transportasi , penambangan). Menurut Camargo dan Alonso (2006)
polusi nitrogen inorganik di ekosistem akuatik menyebabkan peningkatan jumlah produser
primer yang mengakibatkan eutropikasi dan ketika mencapai level toksik dapat
mengakibatkan tekanan terhadap sintasan, pertumbuhan dan reproduksi. Meskipun masih
sedikit bukti pengaruh lansung masih terbatas Diaz-Pulido et a.l (2008) melaporkan bahwa
pengaruh polutan tersebut terhadap physiologi rumput laut. Namun, rumput laut tidak efektif
untuk bioremediasi logam berat. Hasil penelitian Philip(2013) menyebutkan bahwa
peningkatan bahan nutrien yang mengandung bahan pencemar logam berat menekan
pertumbuhan rumput laut. Penelitian Amado et al. (1997) mengidikasikan bahwa konsentrasi
pencemaran Zn yang menyebakan tekanan pertumbuhan beberapa rumput laut adalah 20 µg
per liter and semua seaweed mati pada level 5000 µg. Selanjutnya dikatakan bahwa Padina
dan Sargassum lebih tahan terhadap pencemaran Zn dibandingkan Ulva lactuca,
Enteromorpha flexuosa dan Halimeda musciformi, sehingga dapat digunakan untuk
memonitoring dan biremediator pencemaran logam berat.
III. DEPENDENSI KONSUMER TERHADAP INTERDEPNDENSI
FAKTOR ABIOTIK-PRODUSER
Interdependensi ekophysiologi tanaman dan faktor lingkungan meningkatkan kualitas
lingkungan
lingkungan
yang
menguntungkan
bagi
organisme
konsumer
(seperti
meningkatnya produktifitas primer , siklus nutrien dan produksi bahan pakan) (Altieri et al.,
2009).
Secara intrinsik (genetik), organime (termasuk organisme produk perikanan) memiliki
potesi biotik pertumbuhan (Sahu et al., 2000). Selanjutnya disebutkan bahwa potensi biotik
pertumbuhan ini bersifat spcies specific bahkan individual, karena tiap individual memiliki
karakteristik genetik yang berbeda sehingga ketiak memiliki respon yang berbeda. Di alam,
realisasi potensi biotik (instrinnsik) pertumbuhan sangat tergantung terhadap faktor luar
(ekstrinsik) yaitu pakan dan faktor lingkungan.
Pakan merupakan sumber energi untuk pertumbuhan konsumer. Oleh karena itu untuk
memperoelh pertumbuhan maksimal, pakan harus memenuhi kebutuhan konsumer baik
jumlah maupun komposisinya. Di alam, kualitas dan komposisi dan ketersediaan pakan
sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, sehingga faktor lingkungan erpengaruh secara
tidak langsung terhadap organism konsumer.
Faktor lingkungan mempengaruhi secara langsung proses biologi organism konsumer,
seperti temperatur, oksigen, pH air, pencemaran (amoniak).
Sehingga terlihat bahwa
produktifitas organisme konsumer sangat tergantung terhadap faktor lingkungan habitat dan
ketersediaan pakan di alam
3.1. Pengaruh langsung faktor lingkungan terhadap organisme konsumer
3.1.1. Oksigen dan hewan
Menurut peneliti US EPA (1986) hewan sangat tergantung terhadap produser perairan
dalam ketersediana oksigen di air (dissolve Okxygen/ DO), untuk digunakan untuk respirasi
dan recycle limbah. Oksigen di perairan terutama berasal dari aktifitas fotosintesis produser
(fitoplankton dan alga makro). Organisme perairan sangat sensitif terhadap penurunan
oksigen terlarut (DO), dapat mengakibatkan stress dan bahkan kematian. Organisme yang
hidup dalam suatu ekosistem yang relatif tertutup (misal danau, kolam dan tambak),
kekurangan oksigen dapat menyebabkan stress sehingga mengakibatkan terhambatnya
pertumbuhan sampai kematian. Sedangkan organisme di perairan terbuka akan melakukan
“ migrasi” ke daerah yang oksigennya cukup. Menurut Mallya (2007) kebutuhan ikan sangat
bervariasi tetapi secara garis besar disebutkan bahwa kebutuhan sekitar 3 – 8 ppm dan
kebutuhan oksigen ikan bervariasi antar spesies (species specific). Di tambak, kekurangan
oksigen terlarut (di kolam budidaya) mengakibatkan stress ikan atau udang sehingga akan
mengakibatkan penurunan feeding sehngga akan berdanpak terhadap pertumbuhan. Ikan
yang hidup di laut dalam memiliki sistim pengunaan oksigen yang efisien
karena zona
tersebut tidak ada fotosintesis tanaman (kondisinya gelap).
3.2. Pengaruh tidak langsung faktor lingkungan terhadap organisme konsumer
3.2.1. Upweeling faktorligkungan (suhu dan angin)
Upwelling adalah pergerakan air bagian bawah perairan ke permukaan sehingga
menghasilkan aliran dari bawah permukaan perairan, biasangya membawa material terlarut
(seperti nutrien) yang terendapkan.
Penyertaan nutrien ke permukaan secara langsung
menyediakan nutrien bagi produser sehingga akan memacu pertumbuhan fitoplankton.
Selanjutnya pertumbuhan fitoplankton akan meningkatkan organism konsumer. Peningkatan
populasi fitoplankton juga akan meningkatkan laju photosinthesis di kawasan tersebut. Oleh
karena itu kawasan dimana terjadi upwelling dikenal dengan kawasan yang memiliki
produktifitas yang tinggi.
Upwelling dapat terjadi sebagai hasil pergerakkan air permukaan oleh angin sehingga
terjadi “ tur over” air di bagian bawah upwelling tipe ini dikenal luas di perairan kawasan
Chilli Amerika Latin sehigga dikenal sebagai salah satu penghasil ikan teri (Anchovy) dan di
wilayah Indonesia bagian timur. Upwelling juga dapat terjadi akibat peningkatan suhu
permukaan perairan (pada musim semi) akibat meningkatya intensitas dan surasi cahaya
matahari, sehingga mengakibatkan pergerakan air bagian bawah ke bagian permukaan
3.2.2. Bioremediasi
Perkembangan usaha peikanan tambak intensif berkembang dengan pesat dan mencapai
masa keemasan pada akhir tahun 1980 an. Berkembangnya usaha pertambakan, disi lain
akan mengakibatkan penumpukan limbah sepanjang pantai , seperti nitrogen (N) dan posfor
(P)
yang
berasal
dari
sisa
pakan
dan
ekskresi
organisme
konsumer.
Sehingga akan meningkatkan tekanan terhadap lingkungan pertambakan karena air tambak
dipasok air laut dari yang sudah banyak mengalami penurunan kualitas, padahal tambak
sendiri secara internal menghasilkan limbah organik yang tinggi yang dapat berakibat buruk
terhadap lingkungan tambak budidaya. Salah satu upaya meningkatkan kondisi perairan
tambak adalah dengan melakukan polykultur ikan dan rumput laut (misal bandeng dengan
Gracillaria sp).
Gracillaria dapat memanfaatkan limbah ikan bandeng sehingga
meningkatkan kualitas air (Anonym, 2013b). Meningkatnya kualitas perairan akhirnya akan
berdampak terhadap pertumbuhan udang atau bandeng.
3.2.3. Segrass dan Alga
Tim peneliti Texas Park and Wild life (1999) mengemukakan bahwa mangrove dan
kawasan padang lamun (seagrass beds) telah dikenal sebagai kawasan (selain coral reef) yang
memiliki produktifitas perikanan yang tinggi.
Beberapa alasan ekologis tingginya
produktifitas perikanan tersebut adalah mangrove dan lamun sebagai tempat mencari makan
(feeding ground), daerah asuhan (nursery groun), tempat berlindung dari predator (refuge
area). Seagrass bahkan merupakan tempat menempelnya alga (ephyphytic alga).
Seagrass
Berbagai penelitian yang melaporkan peranan ekologi dan ekonomi ekosistem padang
lamun, diantaranya sebagai penyumbang material organik yang berasal dari penguraian “
daun” nya oleh berbagai mikroorganisme yang hidup dihabitat padang lamun (Sand-Jensen,
1975; Coleman and Burkholder, 1994); sebagai tempat berlindung dan mencari makan
berbagai organisme (James and Heck Jr., 1994) dan sebagai tempat nurshery ground dan
spawning ground (Shieh, and Yang, 1997)
Pertumbuhan tanaman seagrass tidak dipengaruhi oleh nutrien di dalam air karena
tanaman lamun mampu memperoleh nutrin dari substrat (Speight and Henderson, 2010).
Selanjutnya dikatakan bahwa kepadatan, pertumbuhan dan distribusi tanaman lamun sangat
sensisitive terhadap faktor ligkungan terutana ketersediaan cahaya dan peningkatan
kekeruhan air akibat eutrophikasi.
Sehingga penurunan intensitas cahaya akan berakibat
terhadap peroduktifitas dan sintasan hidup lamun.
Karena intensitas dan durasi cahaya
menurun maka pertumbuhan, biomasa, kepadatan akan menurun, sementara level nitrat dan
fosfat meningkat akibat physiologis yang tidak seimbang dan penguraian material yang mati.
Hasil penelitian tim Texas Park and Wild life (1999) menyebutkan bahwa peranan
seagrass sangat penting untuk berbagai organisme, kepadatan hewan di kawasan padang
lamun dapat mencapai 2-25 kali lipat kawasan sekitarnya
tanpa segrass. Lebih lanjut
disebutkan bahwa kawasan padang lamun menyediakan habitat untuk berbagai hewan akuatik
seperti invertebrata dan ikan. Unswort et al. (2009) mengkelompokkan beberapa peranan
kawasan seagras dan mangrove sebagai daerah asuhan bagi larva dan anakan ikan karena
menyediakan daerah berlindung dari predator dan menyediakan makanan. Namun sedikit
ikan yang berasal dari kawasan koral reef.
Alga
Penelitian Hilman et al. (1995) menunjukkan bahwa variasi musiman (temporal) faktor
lingkungan (salinitas, temperatur air, suplay cahaya) berpengaruh sangat nyata terhadap
biomassa, produktifitas dan pertumbuhan Halophila ovalis. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa
pertumbuhan, biomassa dan produktifitas terbaik dicapai ketika musim panas
dibandingkan musim dingin karena pada musim panas, temperatur dan suplay cahaya cukup
serta salinitas yang lebih tinggi.
IV. PENUTUP
Hasil studi pustaka di atas menunjukkan bahwa:
1.
Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap organisme produser di ekosistem akuatik
2.
Organisme produser perairan dapat meningkatkan kauliatas lingkungan perairan
3.
Interdependenesi faktor lingkungan dan organisme produser memiliki pengaruh terhadap
produktifitas organisme konsumer perairan baik secara langsung maupun tidak langsung
DAFTAR PUSTAKA
Altieri AH, Trussell GC, Ewanchuk PJ, Bernatchez G, Bracken MES (2009) Konsumers
Control Diversity and Functioning of a Natural Marine Ecosystem. PLoS ONE 4(4):
e5291. doi:10.1371/journal.pone.0005291
Amado Filho GM, Karez CS, Andrade LR, Yoneshigue-Valentin Y, Pfeiffer WC. 1997
Anonym. 2013. Marine Environment And Primary Productivity. http://faculty.scf.edu /rizkf/
OCE1001/OCEnotes/chap11.htm. opene
Anonym. 2013b. Pemanfaatan Rumput Laut (Gracilaria Sp.) Sebagai Agen Biofiltrasi Bahan
Organik Di Perairan Tambak Ikan Bandeng Dan Pengaruhnya Terhadap
Produksihttp://www.sobatbumi.com/inspirasi/view/561/Pemanfaatan-Rumput-LautGracilaria-Sp.-Sebagai-Agen-Biofiltrasi-Bahan-Organik-Di-Perairan-Tambak-IkanBandeng-Dan-Pengaruhnya-Terhadap-Produksi
Borum, CM Duarte, D Krause-Jensen and TM Greve (ed). 2004. European seagrasses: an
introduction to monitoring and management.
The M&MS project.
http://www.seagrasses.org
Bowen, W.D. 1997. The Role of Marine Mammals in Akuatik Ecosystems. Marine Prog.
Ser.158 : 267-274.
Camargo, J. A. , Á. Alonso. 2006. Ecological and toxicological effects of inorganic nitrogen
pollutionin akuatik ecosystems: A global assessment. Environment International 32 :
831– 849
Coleman, V.L. and Burkholder, J.M. 1994. Community structure and productivity of
epiphytic microalgae on eelgrass (Zostera marina, L. ) under water-column nitrate
enrichment. J. Exp. Mar. Biol. 179 : 29 – 48.
Diaz-Pulido, G. and McCook, L. July 2008, ‘ Macroalgae (Seaweeds)’ in Chin. A, (ed) The
State of the Great Barrier Reef On-line, Great Barrier Reef Marine Park Authority,
Townsville.
Viewed
on
(enterdateviewed),http://www.gbrmpa.gov.au/corp_site/info_services/publications/sotr/
downloads/SORR_Macroalgae.pdf
Diaz-Pulido, G. and McCook, L. July 2008, ‘ Macroalgae (Seaweeds)’ in Chin. A, (ed) The
State of theGreat Barrier Reef On-line, Great Barrier Reef Marine Park Authority,
Townsville.
http://www.gbrmpa.gov.au/corp_site/info_services/publications/sotr/downloads/SO
RR_Macroalgae.pdf
Effects on growth and accumulation of zinc in six seaweed species. Ecotoxicol Environ Saf.
37(3):223-8
Hillman, K,; A.J. McComb 1, D.I. Walker. 1995. The distribution, biomass and primary
production of the seagrass Halophila ovalis in the Swan/CanningEstuary, Western
Australia Akuatik Botany 51 (1-54).
James, P.L. and Heck Jr., K.L. 1994. The effect of habitat complexity and light intensity on
ambush predation within a simulated sea grass habitat. J. Exp. Mar. Biol and Ecol.: 176
: 187 – 200.
Mallya, Y.J. 2007. The effect of Dissolved Okxygeb on Fish Growth in Aquaculture. Final
Report . The United Nation Unversity
McIntyre PB, Jones LE, Flecker AS and Vanni MJ..2007. Fish extinctions alter nutrien
recycling in tropical freshwaters. Proc Natl Acad Sci U S A. 104(11):4461Øie, Gunvor.2012. Seaweed cultivation as biomass for bioenergi. SINTEF Fisheries and
Aquaculture
Pelinggon and Tito. 2009. Module 7: Seaweed Production. Western Mindanao State
Unibersity.
Sahu, BB; P.K. Meher; S. Mohanty; P.V.G.K. Reddy ands. Ayyappan. 2000.. Evaluation of
the Carcass and Comercial Characteristic of Carp. The ICLARM Quarterly. 23 (2).
Sand-Jensen, K. 1975. Biomass, net production and growth dynamic in an eelgrass (Zostera
marina L) population in Vellerup Vig. Denmark. Ophelia . 14 : 185.201.
Shieh, W.Y. and Yang, J.T. 1997. Denitrification in the rhizosphere of the two sea grass ,
Thalassia hemprichii (Ehrenb.) Ascher and Halodule uninervis (Forsk.) Ascher. J. Exp.
Mar. Biol and Ecol. 218: 229-241.
Speight, M and P. Henderson. 2010. Marine Ecology: Concept and Application. Wiley –
Blackwell.
Texas Park and Wild life .1999.Seagrasss Conservation Plan for Texas. Texas Park and Wild
life, resorces Protection division.Austin. Texas
US EPA. 1986. Water Quality: Ambient Water Quality Criteria for Dissolved Oxygen
(section 4.0. Akuatik Life (Freshwater, Marine and Sediment).
Download