model optimasi perencanaan lahan

advertisement
1
MODEL OPTIMASI DALAM PERENCANAAN LAHAN
Bahan kajian MK Perencanaan Lingkungan dan Pengembangan Wilayah
PSDAL-PDIP-PPS FPUB Jaruari 2012
Diabstraksikan Oleh:
Prof. Dr. Ir. Soemarno, M.S.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tindakan konservasi tanah, pengelolaan dan rehabilitasi lahan telah lama dirintis dan
terus dikembangkan, mencakup aspek teknis-sipil, biologi, dan sosial-ekonomi.
Namun demikian dalam penerapannya di lapangan seringkali usaha-usaha ini
mengha-dapi berbagai kendala yang serius. Tampaknya hal seperti ini terjadi karena
adanya konflik antara kepentingan pelestarian sumberdaya lahan dengan kepentingan
ekonomi penduduk setempat. Kepentingan-kepentingan ini biasanya tidak saling
menenggang, sehingga dalam upaya pengelolaan lahan diperlukan adanya prioritas
kepentingan. Konflik-konflik kepentingan ini menjadi semakin banyak dan semakin
parah sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk yang memanfaatkan
sumberdaya lahan seperti yang terjadi di DAW Sengguruh.
Pengelolaan lahan pertanian di daerah hulu sungai pada kenyataannya melibatkan banyak pihak dengan kepentingannya masing-masing. Dalam kondisi seperti ini
diperlukan pendekatan sistemik untuk mengevaluasi keadaan yang optimal dengan mengorbankan sebagian kepentingan sesuatu pihak dan memprioritaskan sebagian kepentingan
beberapa pihak lainnya. Suatu model dan metode optimalisasi pengelolaan lahan
merupakan idaman banyak pihak yang berkepentingan dengan sumberdaya lahan. Akan
tetapi model seperti ini sangat sulit dikembangkan dan biasanya akan menghadapi
berbagai hambatan dalam penerapannya di lapangan.
Dalam penelitian ini akan ditelaah model inventarisasi, evaluasi dan optimalisasi pengelolaan lahan yang akan memadukan antara kepentingan konservasi tanah dan
air (untuk mengendalikan erosi, sedimentasi, dan debit sungai) dan kepentingan produksi
pertanian untuk menjamin ketersediaan hasil komoditas dan kesempatan kerja pertanian
bagi penduduk setempat. Optimalisasi ini dilakukan untuk mendapatkan alternatif penge
lolaan lahan dan sistem usahatani yang optimal ditinjau dari segi erosi, sedimentasi, debit
sungai, pendapatan usahatani, dan tersedianya kesempatan kerja pertanian.
1.2. Permasalahan
2
Berdasarkan keterangan di atas, tampaknya pengelolaan lahan di daerah hulu
sungai menyangkut aspek-aspek sumberdaya tanah, sumberdaya air, sumberdaya manu
sia, unsur teknologi, dan perekonomian daerah sekitarnya. Dengan demikian usaha pengelolaan ini dipengaruhi oleh ketersediaan dan kesesuaian lahan, lingkungan sosialekonomi, tingkat teknologi yang dikuasai oleh penduduk setempat, dan lokasi geografis.
Benturan kepentingan dari berbagai pihak yang terlibat biasanya tercermin dalam konflikkonflik penggunaan lahan dan air. Benturan-benturan kepentingan ini pada akhirnya akan
menimbulkan berbagai masalah degradasi sumberdaya alam dan ling-kungan hidup,
seperti erosi tanah, sedimentasi, banjir, tanah longsor, dan gangguan-gangguan terhadap
kawasan hutan .
Di lokasi penelitian, berbagai masalah degradasi sumberdaya alam tersebut
tampaknya berpangkal dari pesatnya pertambahan jumlah penduduk yang meman faatkan
sumberdaya lahan. Konflik-konflik kepentingan dalam pemanfaatan sum- berdaya lahan
menjadi semakin banyak dan semakin parah. Salah satu kepentingan utama dari
pengelolaan lahan ini adalah untuk mendapatkan produk-produk pertanian, seperti
tanaman semusim, tanaman tahunan, dan ternak. Komoditas-komoditas ini dibudidayakan
oleh para petani (sebagai pengelola lahan milik) pada lahan usahanya, baik yang berupa
sawah, tegalan, pekarangan, maupun kebun campuran. Dalam proses pembudidayaan ini
petani berupaya mengintegrasikan teknologi, kapital, dan tenagakerja untuk mengeksploitir sumberdaya lahan yang dikuasainya.
Berbagai macam proses terjadi dalam sistem usahatani tersebut, yang pada
hakekatnya merupakan hasil interaksi dari berbagai komponen yang ada di dalam sistem
usahatani (Dent dan Anderson, 1971). Beberapa proses yang penting adalah (i) proses
transformasi organik yang berlangsung dalam tubuh jasad (tanaman dan ternak), (ii)
proses adaptasi tanaman dengan lingkungan ekologi di sekitarnya, (iii) proses pembu
didayaan, dimana manusia memelihara tanaman atau ternak dengan menggunakan sumberdaya dan teknologi yang dikuasainya, (iv) proses agrohidrologis seperti limpasan
permukaan, evapotranspirasi, dan resapan air tanah, (v) proses erosi dan sedimentasi, dan
(vi) proses pengalokasian penggunaan hasil yang diperoleh untuk memenuhi kebu tuhan
keluarga.
Setiap proses tersebut di atas dapat dipandang sebagai perilaku dari suatu sub
sistem yang mempunyai masukan, keluaran dan struktur yang spesifik. Dengan demi kian
ada beberapa subsistem yang dapat diidentifikasikan, yaitu (i) subsistem sumber daya
lahan , (ii) subsistem hidrologi, (iii) subsistem erosi dan sedimentasi (iv) subsistem
produksi pertanian, (v) subsistem sosial-ekonomi, dan (vi) subsistem demografi. Hingga
batas-batas tertentu perilaku dari subsistem-subsistem tersebut dapat dikendalikan oleh
petani, baik dengan jalan modifikasi struktur sistem maupun dengan pengalokasian
masukan-masukan terkendali. Tujuan pokok dari pengendalian sistem ini adalah untuk
memperoleh keluaran-keluaran sesuai dengan preferensinya. Beberapa keluaran yang
3
terpenting ialah (i) hasil-hasil ekonomis berupa produk tanaman, ternak, dan kesempatan
kerja, (ii) hasil-hasil lingkungan berupa hasil air, hasil sedimen, dan hasil polutan, dan
(iii) hasil-hasil sosial, seperti status sosial dan kesejahteraan sosial. Salah satu fenomena
alamiah yang dihadapi ialah bahwa di antara hasil-hasil tersebut mempunyai hubungan
korelasional yang positif, sehingga peningkatan hasil- hasil ekonomis akan diikuti oleh
peningkatan hasil-hasil lingkungan yang biasanya mempunyai dampak negatif. Dengan
demikian satu masalah utama dalam upaya penge lolaan lahan adalah bagaimana
menyeimbangkan hasil-hasil ekonomis dan hasil-hasil lingkungan sehingga sumberdaya
lahan dapat dimanfaatkan secara berkesinam bungan.
Permasalahan utama di atas dapat dirinci menjadi lebih spesifik sesuai dengan
masing-masing subsistem. Beberapa di antaranya adalah:
(1). Bagaimana memilih jenis tanaman dan ternak yang sesuai dengan kondisi lingkung
an setempat ,
(2). Bagaimana menyusun alternatif pola tanam yang secara potensial tidak meng
akibatkan degradasi lingkungan yang melampaui batas toleransi dan mampu mem
berikan hasil-hasil ekonomi yang sebesar-besarnya,
(3). Bagaimana mengalokasikan masukan sarana produksi ke dalam pola tanam tersebut
untuk mendapatkan hasil ekonomi yang sebesar-besarnya,
(4). Bagaimana mengalokasikan penggunaan sumberdaya lahan ke dalam tipe-tipe peng
gunaan yang ada sehingga mampu menyeimbangkan hasil-hasil ekonomi dan hasilhasil lingkungan dengan sebaik-baiknya .
II. SUMBERDAYA LAHAN DAN PENGELOLAANNYA
2.1. Konsepsi Pengelolaan Sumberdaya Lahan
Proses pembangunan nasional dan regional hingga saat ini, khususnya sektor
pertanian, telah membuktikan bahwa berbagai kendala masih dihadapi, terutama di
wilayah pertanian lahan kering yang kondisinya sangat beragam. Di seluruh Indonesia
ada sekitar 51.4 juta hektar lahan kering, dimana sekitar 70% di antaranya dikelola
dengan berbagai tipe usahatani lahan kering. Salah satu masalah utama yang dihadapi
adalah keadaan bio-fisik lahan kering yang sangat beragam dan sebagian sudah rusak
atau mempunyai potensi sangat besar untuk menjadi rusak. Dalam kondisi seperti ini
mutlak diperlukan kebijakan-kebijakan penajaman teknologi peman faatan sumberdaya
lahan kering dan kebijakan kelembagaan penunjang operasional. Lima syarat yang harus
dipenuhi dalam pengembangan teknologi pengelolaan lahan kering, adalah (i) teknis bisa
dilaksanakan sesuai dengan kondisi setempat, (ii) ekonomis menguntungkan, (iii) sosial
4
tidak bertentangan dan bahkan mampu mendorong motivasi petani, (iv) aman lingkungan,
dan (v) mendorong pertumbuhan wilayah secara berkelanjutan.
Menurut Sanders (1991), kunci untuk menyelesaikan konflik pengelolaan lahan
dan problematik degradasi sumberdaya lahan terletak pada kebijakan dan kelembagaan
yang didukung oleh pendanaan jangka panjang yang kontinyu. Kebijakan dalam konteks
ini harus mampu mempromosikan sistem pertanian yang berkelanjutan, yaitu suatu sistem
pertanian yang didukung oleh adanya insentif bagi produsen (pemilik lahan dan
tenagakerja), kredit pedesaan, kebijakan pasar/harga yang kondusif, sistem transportasi,
teknologi tepat guna yang site-spesific, serta program penelitian dan penyuluhan. Hal ini
membawa konsekwensi yang sangat berat, yaitu tersedianya kebijakan-kebijakan lokal
sesuai dengan kondisi setempat, yang sasarannya adalah sistem penggunaan lahan yang
dicirikan oleh tingkat penutupan vegetatif yang lebih baik pada permukaan lahan. Tiga
faktor penunjang yang dipersyaratkan bagi pengembangan kebijakan-kebijakan lokal ini
adalah (1) tersedianya Data-base Management System tentang sumberdaya lahan, air,
vegetasi, manusia, dan sumberdaya ekonomi lainnya, (2) mekanisme analisis kendala dan
problematik, dan (3) mekanisme perencanaan yang didukung oleh brainware, software
dan hardware yang dapat diakses oleh para perencana pembangunan di tingkat daerah.
Untuk dapat mendorong dan mendukung berkembangnya kebijakan-kebijakan lokal
tersebut, maka kebijakan nasional tentang penggunaan dan pengelolaan lahan harus
diarahkan kepada (1) perbaikan penggunaan dan pengelolaan lahan, (2) menggalang
partisipasi aktif dari para pengguna lahan (pemilik lahan, pemilik kapital, dan tenagakerja), dan (3) pengembangan kelembagaan penunjang, terutama lembaga-lembaga
perencana dan pemantau di daerah.
Khusus dalam kaitannya dengan program konservasi tanah dan rehabilitasi lahan,
Douglas (1991) mengikhtisarkan lima prinsip dasar bagi keberhasilannya pada tingkat
lapangan, yaitu (1) program ini harus merupakan bagian integral dari program pem
bangunan pertanian yang lebih luas, dan harus dimulai dengan peningkatan produksi, (2)
program ini harus bersifat bottom-up yang dirancang dengan melibatkan kepentingan
petani, (3) asistensi teknis melalui program jangka panjang, (4) suatu aktivitas konservais
dan pengelolaan lahan harus mampu menunjukkan benefit jangka pendek, dan (5)
degradasi lahan harus dapat dikendalikan sebelum melampaui batas ambangnya.
Berdasarkan pada kelima prinsip ini, maka beberapa implikasi kebijakan yang penting
adalah (1) para perencana program harus menguasai pengetahuan tentang "sistem
pertanian berkelanjutan" dan komponen-komponen penggunaan lahan yang relevan,
(2) para pelaksana program harus mampu "berkomunikasi dengan petani" dalam
rangka untuk mengakomodasikan pandangan, persepsi dan kepentingan petani; (3) para
perencana dan pelaksana program harus menyadari bahwa proses perubahan berlangsung
secara lambat dan lama, sehingga diperlukan "komitmen jangka panjang"; (4) para
perencana harus mampu mengidentifikasikan "kebutuhan petani dan alternatif
5
solusinya" yang terkait langsung dengan problem pengelolaan lahan, dan (5) para
perencana harus mengetahui "sebab-sebab terjadinya permasalahan" pengelolaan
lahan dan menelusurinya.
Integrasi antara kepentingan konservasi dengan kebutuhan petani merupakan
kunci utama keberhasilan program konservasi tanah dan pengelolaan lahan pertanian.
Empat sasaran prioritas yang harus diikuti dalam merancang program usahatani
konservasi, yaitu (1) memenuhi obligasi-oblikasi sosial-budaya dari masyarakat, (2)
menyediakan suplai pangan yang dapat diandalkan oleh petani, (3) menyediakan
tambahan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasar yang tidak dapat dihasilkan oleh
sektor pertanian, (4) mampu menciptakan ekstra "cash resources". Khusus untuk sistem
pertanian di dataran tinggi atau daerah pegunungan, tiga faktor dominan yang sangat
berpengaruh, yaitu (1) tekanan penduduk atas sumberdaya lahan, (2) praktek pengelolaan
kesuburan tanah, dan (3) strategi dan kebijakan pembangunan yang dikhususkan bagi
daerah pegunungan. Dalam kaitannya dengan strategi pengembangan sistem pertanian di
daerah pegunungan, Jodha (1990) mengemukakan enam spsesifikasi penting, yaitu (1)
aksesibilitas, (2) fragilitas, (3) marjinalitas, (4) heterogenitas dan diversitas, (5)
suitabilitas ekologis, dan (6) sejarah mekanisme adaptasi manusia.
Lahan mempunyai peranan sangat penting bagi kehidupan manusia. Segala
macam bentuk intervensi manusia secara siklis dan permanen untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, baik yang bersifat materiil maupun spirituil yang berasal dari lahan tercakup
dalam pengertian penggunaan lahan, atau land use (Sys, 1985). Dengan peranan ganda
tersebut, maka dalam upaya pengelolaannya, sering terjadi benturan di antara sektorsektor pembangunan yang memerlukan lahan. Fenomena seperti ini seringkali
mengakibatkan penggunaan lahan kurang sesuai dengan kapabi litasnya. Dalam
hubungannya dengan penggunaan lahan ini, ada tiga faktor yang mempengaruhi nilai
lahan, yaitu (i) kualitas fisik lahan, (ii) lokasi lahan terhadap pasar hasil-hasil produksi
dan pasar sarana produksinya, dan (iii) interaksi di antara keduanya. Nilai lahan semakin
besar apabila kualitas biofisiknya semakin baik dan lokasinya semakin dekat dengan
pasar. Sehubungan dengan kualitas fisik lahan, keberhasilan suatu sistem pengelolaan lahan kering (seperti misalnya usahatani konservasi) juga dibatasi oleh persyaratanpersyaratan agroekologis (terutama kesesuaian tanah dan ketersediaan air) (Sys, 1985).
Persesuaian syarat agroekologis menjadi landasan pokok dalam pengembangan komoditas
pertanian lahan kering. Penyimpangan dari persyaratan ini bukan hanya akan menimbulkan kerugian ekonomis, tetapi juga akan mengakibatkan biaya-sosial yang berupa
kemero- sotan kualitas sumberdaya lahan (Brinkman dan Smyth, 1973; Soemarno, 1992).
Di lokasi-lokasi tertentu, seperti lahan kering di bagian hulu DAS, biaya sosial tersebut
bisa bersifat internal seperti kemunculan tanah-tanah kritis dan bersifat eksternal seperti
sedimentasi di berbagai fasilitas perairan ( Soemarno, 1991c). Beberapa ciri dan proses
yang berlangsung dalam ekosistem pegunungan (highland areas) yang dapat menjadi
6
kendala atau penunjang pengembangan sistem pertanian yang berkelanjutan. Tiga ciri
ekosistem yang sangat penting adalah (1) iklim, (2) landform, dan (3) sumberdaya tanah.
Sedangkan dua proses yang terkait dengan ciri-ciri tersebut adalah proses geomorfik dan
proses-proses pedologis. Kondisi iklim dicirikan oleh ketinggian tempat lebih dari 800 m
dpl, curah hujan tahunan lebih 2000 mm, temperatur rataan 15-29oC dengan rezim suhu
tanah isothermik atau isohiperthermik. Pada kondisi seperti ini biasanya variasi rezim
lengas tanah adalah Udik dan Ustik. Kondisi ekosistem pegunungan seperti ini
mempunyai keunggulan komparatif bagi pengembangan berbagai jenis penggunaan lahan
pertanian dengan banyak pilihan sistem pertanaman (cropping systems). Potensi seperti
ini pada kenyataannya banyak mengundang investasi dari luar daerah untuk "menggarap"
lahan secara lebih intensif. Pada akhirnya hal ini akan dapat mengakibatkan munculnya
"kesenjangan" yang semakin besar antara intensitas penggunaan sumberdaya dengan
karakteristik sumberdaya. Apabila kesenjangan ini melampaui daya dukung sumberdaya,
maka laju degradasi akan dapat melampaui batas ambang toleransinya. Sedangkan strategi
petani di daerah pegunungan untuk berjuang mempertahankan kehidupannya biasanya
bertumpu pada tiga prinsip dasar yang spesifik, yaitu (1) untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya, petani mengelola sumberdaya lahannya dengan berbagai aktivitas produksi
tanaman, ternak, hortikultura dan kehutanan; (2) petani menghindari resiko kegagalan dan
bencana melalui pengembangan metode-metode indigenous dalam mengelola lahannya,
dan (3) teknologi yang mudah, low input dan small scale lebih disenangi karena
keterbatasan penguasaan pengetahuan, teknologi dan kapital.
Atas dasar hal-hal tersebut di atas maka evaluasi kesesuaian agroekologis lahan
untuk penggunaan pertanian masih dipandang sebagai bottle neck dalam kerangka
metodologi perencanaan sistem pengelolaan lahan. Beberapa metode dan prosedur
evaluasi agroekologis dapat digunakan untuk kepentingan ini ( FAO, 1976; Wood dan
Dent, 1983). Metode-metode ini masih bertumpu kepada aspek agroekologi, sedangkan
aspek sosial-ekonomi-budaya masih belum dilibatkan secara langsung. Demikian juga
sebaliknya, pendekatan agroekonomi untuk mengevaluasi usahatani lahan kering yang
lazim digunakan hingga saat ini biasanya juga belum melibatkan secsara langsung aspekaspek agroekologis. Selama ini penelitian-penelitian untuk memanipulasi lingkungan
tumbuh pada lahan kering dilakukan dengan metode eksperimental di lapangan yang
sangat tergantung pada musim, memerlukan waktu lama dan sumberdaya penunjang yang
cukup banyak.
Dalam proses produksi pertanian, masukan-masukan yang berupa material,
teknologi, menejemen dan unsur-unsur agro ekologi akan diproses untuk menghasilkan
keluaran-keluaran yang berupa hasil-hasil tanaman dan ternak. Hasil-hasil sampingan dan
limbah dari proses produksi tersebut dapat berupa hasil sedimen, hasil air, dan bahan-bahan kimia yang dapat menjadi pencemar lingkungan. Limbah ini biasanya diangkut ke
luar dari sistem produksi dan menimbulkan biaya eksternal dan efek eksternalitas
7
(Soemarno, 1990). Biasanya sistem produksi pertanian di daerah hulu sungai mempunyai efek eksternal yang cukup luas dan akan diderita oleh masyarakat di daerah bawah.
Dalam suatu daerah aliran sungai yang mempunyai bangunan pengairan seperti bendungan, waduk dan jaringan irigasi, efek eksternalitas tersebut menjadi semakin serius, karena
dapat mengancam kelestarian bangunan-bangunan tersebut. Berbagai upaya telah
dilakukan untuk mengendalikan efek eksternalitas tersebut, namun hasilnya masih belum
memadai. Hal ini disebabkan oleh karena mekanisme pasar tidak dapat bekerja untuk
mengalokasikan eksternalitas (Soemarno, 1990). Sehingga produsen pertanian di daerah
hulu tidak mau menanggung biaya eksternal yang ditimbulkannya. Disamping itu, biaya
untuk mengendalikan efek eksternalitas tersebut relatif sangat besar dibandingkan dengan
biaya produksi dan penerimaan usahatani. Dalam kondisi seperti ini di-perlukan campur
tangan kebijakan pemerintah. Davies dan Kamien (1972) mengemukakan beberapa
macam campur tangan pemerintah untuk mengendalikan efek eksternalitas, yaitu (i)
larangan, (ii) pengarahan, (iii) kegiatan percontohan, (iv) pajak atau subsidi, (v)
pengaturan (regulasi), (vi) denda atau hukuman, dan (vii) tindakan pengamanan. Efek
eksternalitas dalam batas-batas tertentu juga berhubungan dengan degradasi sumberdaya
lahan yang pengaruhnya dapat terjadi terhadap proses produksi. Pada lahan pertanian di
daerah hulu sungai efek eksternalitas tersebut biasanya berkaitan erat dengan intensitas
pengusahaan lahan yang pada kenyataanya sangat beragam (Suwardjo dan Saefuddin,
1988; Soemarno, 1991b).
Kondisi sumberdaya lahan kering yang sangat beragam dan kondisi iklim yang
berfluktuasi menjadi faktor pembatas yang menentukan tingkat efektivitas implementasi
teknologi pengelolaan yang ada (P3HTA, 1987). Khusus dalam hal konservasi tanah dan
air, kendala yang dihadapi adalah erodibilitas tanah dan erosivitas hujan yang sangat
tinggi, faktor lereng dan fisiografi (Suwardjo dan Saefudin, 1988). Dalam kondisi seperti
ini maka tindakan konservasi tanah harus dibarengi dengan intensifikasi usahatani dan
rehabilitasi lahan. Salah satu upaya intensifikasi usahatani lahan kering adalah dengan
pemilihan kultivar, pengaturan pola tanam yang melibatkan tanaman semusim dan tanaman tahunan, serta ternak dibarengi dengan penanaman rumput/tanaman hijauan pakan.
Dari hasil-hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa upaya pengelolaan
lahan kering dalam suatu sistem pertanian harus mempertimbangkan tingkat kemampuan
dan kesesuaiannya serta harus diikuti oleh tindakan konservasi tanah dan air secara memadai. Beberapa peneliti telah mencoba mengembangkan pola tanam yang sesuai untuk
lahan kering secara lokal. Tampaknya para peneliti ini menghadapi kesulitan dalam
menyusun polatanam yang tepat karena keterbatasan informasi sumberdaya lahan yang
bersifat lokal, demikian juga informasi tentang kesesuaiannya.
2.2. Konsepsi Sistem Pertanian Berkelanjutan
8
Sistem pertanian berkelanjutan sangat kompleks, dan aksi-aksi manipulatif yang
berhubungan dengan sistem ini harus melibatkan perspektif konsumen, totalitas sistem
pangan mulai dari produksi hingga konsumsi, implikasi sosial, dan peranan tenagakerja
pedesaan dalam pertanian. Dankelman dan Davidson (1988) mengemukakan beberapa
persyaratan dasar bagi sistem pertanian yang berkelanjutan, yaitu: (1). Akses yang merata
bagi seluruh petani atas lahan yang subur, fasilitas kredit, serta informasi pertanian; (2).
Pemeliharaan dan dukungan terhadap aktivitas pertanian yang dilakukan oleh petani; (3).
Pengembangan metode-metode kultivasi, pengolahan bahan pangan, dan penyimpanan
bahan pangan yang mampu menyerap tenagakerja wanita; (4). Diversifikasi spesies yang
cukup tinggi guna mempertahankan fleksibilitas pola pertanaman; (5). Konservasi tanahtanah subur dan produktif dengan jalan mendaur-ulangkan bahan organik; (6).
Penggunaan air dan bahan bakar secara tepat. Persyaratan ini masih belum disepakati
secara umum, terutama mengenai kebutuhan input bagi usaha on-farm dan off-farm.
Sifat yang rumit dari sistem pertanian yang berkelanjutan mengharuskan pengkajian
secara lebih mendalam tentang sistem usahatani. Parr (1990) mengusulkan bahwa sasaran
akhir dari petani dalam pertanian yang berkelanjutan adalah (i) memelihara dan
memperbaiki sumberdaya alam dasar, (ii) melindungi lingkungan, (iii) menjamin
profitabilitas, (iv) konservasi energi, (v) meningkatkan pproduktivitas, (vi) memperbaiki
kualitas pangan dan keamanan pangan, (vii) menciptakan infrastruktur sosial-ekonomi
yang viabel bagi usahatani dan komunitas pedesaan.
Kontribusi penting sumberdaya manusia dalam pertanian berkelanjutan tampak
dari definisi yang dikemukakan oleh CGIAR (Consultative Group on International
Agricultural Research), bahwa "sistem pertanian yang berkelanjutan melibatkan
keberhasilan pengelolaan sumberdaya bagi pertanian untuk memenuhi kebutuhan
manusia yang senantiasa berubah sambil memelihara
atau memperbaiki
sumberdaya alam dasar dan menghindari degradasi lingkungan". Berdasarkan halhal di atas, Harwood (1990) mengemukakan definisi kerja tentang pertanian yang
berkelanjutan sebagai "suatu pertanian yang dapat berevolusi secara indefinit ke
arah utilitas manusia yang semakin besar, efisiensi penggunaan sumberdaya yang
semakin baik, dan keseimbangan dengan lingkungan yang nyaman baik bagi
kehidupan manusia maupun bagi spesies lainnya". Definisi kerja ini masih sangat
umum, untuk lebih mema hami proses-proses yang terlibat didalamnya maka perlu
diterjemahkan ke dalam substansi-substansi yang sesuai dengan kondisi dan tatanan yang
berlaku di masing-masing negara. Sebagai konsepsi yang dinamis, pertanian yang
berkelanjutan melibatkan interaksi-interaksi yang kompleks faktor-faktor biologis, fisik,
dan sosial-ekonomis serta memerlukan pende katan yang komprehensif untuk
memperbaiki sistem yang ada dan mengembang kan sistem baru yang lebih berkelanjutan.
9
Beberapa pertimbangan biologis yang penting adalah: (1). Konservasi
sumberdaya genetik; (2). Hasil per unit area per unit waktu harus meningkat; (3).
Pengendalian hama jangka panjang harus dikembangkan melalui pengelolaan hama
terpadu; (4). Sistem produksi yang seimbang yang mmelibatkan tanaman dan ternak; (5).
Perbaikan metode pengendalian hama dan penyakit ternak. Beberapa faktor fisik yang
sangat penting ialah: (1). Tanah merupakan sumberdaya yang sangat penting untuk
menjamin keberlanjutan sistem pertanian; sehingga kehilangan material tanah karena erosi
dan kemunduran kesu buran tanah akibat kehilangan hara harus dikendalikan.; (2).
Sistem pertanian merupakan pengguna air; pemanfaatan secara tidak efisien cadangan air
bumi dan eksploitasi akuifer akan dapat berakibat fatal; (3). Pengelolaan tanah dan air
yang tidak memadai di lahan pertanian tadah hujan dapat memacu degradasi lahan; (4).
Penggunaan bahan agrokimia yang tidak tepat dapat mengakibatkan akumulasi bahanbahan toksik dalam air dan tanah; (5). Perubahan atmosferik akibat ulah manusia dapat
berdampak buruk terhadap sistem produksi pertanian; (6). Konsumsi energi oleh sistem
produksi pertanian dengan hasil-tinggi harus lebih dicermati. Kendala sosial-ekonomi dan
tatanan legal yang juga mempe ngaruhi stategi jangka panjang yang berkelanjutan adalah:
(1). Infrastruktur yang lemah sehingga sangat membatasi di namika transportasi dan
komunikasi; (2). Program finansial dan administratif seringkali bias ke arah daerah urban;
(3). Sistem penguasaan lahan (land tenure)
2.3. Agroteknologi Lahan Kering
Di seluruh Indonesia ada sekitar 51.4 juta hektar lahan kering, dimana sekitar
70% di antaranya dikelola dengan berbagai tipe usahatani lahan kering secara subsistensi
(Manuwoto, 1991). Salah satu masalah utama yang dihadapi adalah keadaan bio-fisik
lahan kering yang sangat beragam dan sebagian sudah rusak atau mempunyai potensi
sangat besar untuk menjadi rusak. Dalam kondisi seperti ini mutlak diperlukan penajaman
teknologi pemanfaatan sumberdaya lahan kering dan pembenahan kelembagaan
penunjangnya. Lima syarat yang harus dipenuhi dalam upaya perekayasaan dan
pengembangan teknologi pengelolaan lahan kering, adalah (i) secara teknis bisa
dilaksanakan oleh masyarakat setempat dan sesuai dengan kondisi agroekologis setempat,
(ii) secara ekonomis menguntungkan pada kondisi tatanan ekonomi wilayah pedesaan,
(iii) secara sosial tidak bertentangan dan bahkan mampu mendorong motivasi petani, (iv)
aman lingkungan, dan (v) mampu membuka peluang untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi wilayah secara berkelanjutan.
Evaluasi kesesuaian agroekologis lahan kering untuk penggunaan pertanian
masih dipandang sebagai bottle neck dalam kerangka metodologi perencanaan sistem
pengelolaan lahan kering. Beberapa metode dan prosedur evaluasi agroekologis dapat
10
digunakan untuk kepentingan ini. Metode-metode ini masih bertumpu kepada aspek
agroekologi, sedangkan aspek sosial-ekonomi-budaya masih belum dilibatkan secara
langsung. Demikian juga sebaliknya, pendekatan agroekonomi untuk mengevaluasi
usahatani lahan kering yang lazim digunakan hingga saat ini biasanya juga belum melibatkan secsara langsung aspek-aspek agroekologis. Selama ini penelitian-penelitian untuk
memanipulasi lingkungan tumbuh pada lahan kering dilakukan dengan metode eksperimental di lapangan yang sangat tergantung pada musim, memerlukan waktu lama dan
sumberdaya penunjang yang cukup banyak (P3HTA, 1987; PLKK, 1988). Kondisi lahan
kering umumnya ditandai oleh infrastruktur fisik dan sosial yang rendah dan keterbatasanketerbatasa akses lainnya. Keterisolasian penduduk dari sumber informasi mengakibatkan
mereka kurang mampu mengembangkan wilayahnya secara mandiri. Kondisi seperti ini
diperparah oleh keterbatasan kemampuan aparat pemerintah untuk menjangkau
masyarakat di lahan kering yang sebagian besar relatif miskin. Pada kondisi seperti itu,
siperlukan rancangan khusus sistem usahatani konservasi di lahan kering untuk
menciptakan produksi pertanian yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan disertai
dengan dukungan pengembangan peranan wanita pedesaan, fasilitas perkreditan, jalan dan
transportasi desa, sarana air bersih pedesaan dan sarana penunjang lainnya.
Kondisi sumberdaya lahan kering yang sangat beragam dan kondisi iklim yang
berfluk tuasi tersebut pada kenyataannya sering menjadi kendala yang menentukan tingkat
efektivitas implementasi teknologi pengelolaan yang ada. Khusus dalam hal konservasi
tanah dan air, kendala yang dihadapi adalah erodibilitas tanah dan erosivitas hujan yang
sangat tinggi, faktor lereng dan fisiografi. Dalam kondisi seperti ini maka tindakan
konservasi tanah harus dibarengi dengan intensifikasi usahatani dan rehabilitasi lahan.
Salah satu upaya intensifikasi usahatani lahan kering adalah dengan pemilihan kultivar,
pengaturan pola tanam yang melibatkan tanaman semusim dan tanaman tahunan, serta
ternak dibarengi dengan penanaman rumput/tanaman hijauan pakan. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh P3HTA tentang pola usahatani lahan kering pada musim tanam 1985/1986
memberi informasi bahwa polatanam introduksi : jagung + kacang tanah (atau kedelai) +
ubikayu, diikuti jagung + kedelai (atau kacang hijau), dan diikuti kacang tunggak lebih
efisien dalam memanfaatkan sumberdaya pertanian dan lebih produktif daripada pola
tanam tradisional. Suatu peluang yang tampaknya cukup besar di lahan kering adalah
usahatani tanaman pisang dan kelapa. Kedua jenis komoditas ini ternyata mampu
mensuplai pendapatan dan kesempatan kerja bagi petani lahan kering, baik secara
langsung maupun secara tidak langsung. Pemupukan urea, TSP dan KCl ternyata mampu
meningkatkan produktivitas kedua tanman ini secara signifikan. Penelitian-penelitian ini
sudah mulai melibatkan aspek konservasi tanah, laju erosi dan limpasan permukaan sudah
mulai diamati dan diukur di lapangan, sehingga diperlukan dana yang cukup banyak dan
harus mengikuti irama musiman.
11
Produksi pertanian yang berkelanjutan yang sekaligus memperhatikan aspek
kelestarian lingkungan alam ini akan dicapai melalui pendekatan usahatani yang
menyeluruh denagn menerapkan paket teknologi "Asta-usaha". Penerapan paket
teknologi yang terdiri atas penggunaan benih unggul, pengolahan tanah, pengairan,
perlindungan tanaman, cara bercocok tanam, pengolahan hasil, pemasaran dan konservasi
tanah ini diharapkan akan mampu menjawab tantangan yang dihadapi dalam
pengembangan wilayah. Dalam hubungan ini diperlukan berbagai petunjuk teknis yang
tepatguna. Petunjuk teknis bagi pengembangan sistem pertanian lahan kering ini terdiri
atas Usahatani konservasi dan produksi pertanian, Produksi Peternakan, Penyuluhan dan
transfer informasi, Pembinaan wanita pedesaan, pengembangan lembaga keuangan
pedesaan, Pembangunan prasarana jalan, dan Pengadaan fasilitas air bersih. Komponenkomponen teknologi ini dikemas dalam suatu program pembangunan pertanian lahan
kering untuk meningkatkan ekonomi wilayah dan sekaligus kesejahteraan masyarakat
setempat.
2.4. Teknologi Konservasi Lahan Pertanian
Permasalahan dan kendala bagi upaya konservasi tanah yang sering dijumpai di
lahan kering adalah (i) kondisi lahan yang curam sehingga pengolahan tanah akan
merangsang dan mempercepat proses erosi dan tanah longsor, (ii) rendahnya rataan
penghasilan petani lahan kering yang menyebabkan tidak mampu untuk membiayai
kegiatan konservasi tanah, (iii) masih terbatasnya kesadaran petani akan usaha konservasi
tanah sebagai akibat dari keterbatasan informasi dan pengetahuan, dan (iv) keterbatasan
sarana dan prasarana pengembangan sistem pertanian lahan kering. Lokasi prioritas bagi
kegiatan konservasi tanah harus memenuhi kriteria (i) terletak dalam Zone Erosi Kritis
dengan lahan lebih dari 75% lahan kering; (ii) sebagian besar diusahakan untuk usahatani
kecil; (iii) kemiringan lahan antara 8% hingga 45% dengan tebal solum lebih dari 30 cm,
untuk daerah yang solumnya kurang 30 cm diarahkan untuk tanaman keras tahunan; dan
(iv) respon petani cukup tinggi. Metode konservasi tanah yang sering digunakan adalah
metode sipil-teknis dan metode vegetatif. Bentuk-bentuk teknik konservasi tanah dapat
berupa teknik teras bangku, teras gulud, teras kredit, teras individu, teras kebun, saluran
diversi,
saluran pembuangan air, dan penanaman tanaman penguat teras pada
bibir/tampingan, tanaman penutup tampingan teras dan penanaman berjalur (strip
cropping).
2.4.1. Pembangunan Teras Kredit
Pada hakekatnya pembuatan teras dimaksudkan untuk memperpendek panjang
lereng dan/atau memperkecil kemiringan lereng. Teras juga dilengkapi dengan saluran
untuk menampung dan menyalurkan air yang masih mengalir di atas permukaan tanah.
12
Tujuan pembuatan teras adalah (i) mengurangi kecepatan limpasan permukaan, (ii)
memperbesar resapan air ke dalam tanah, (iii) menampung dan mengendalikan arah dan
kecepatan limpasan permukaan. Ciri-ciri penting dari bangunan teras kredit adalah (i)
sesuai untuk tanah landai hingga bergelombang dengan derajat kemiringan 3-10%; (ii)
jarak antara larikan teras 5-12 m; (iii) tanaman pada larikan teras berfungsi untuk
menahan butir-butir tanah yang terbawa erosi dari sebelah atas larikan; (iv) teras kredit ini
secara berangsur-angsur dimodifikasi menjadi teras bangku. Tahapan pembuatan teras ini
meliputi pemancangan patok menurut garis kontur dengan jarak patok dalam baris 5 m
dan jarak antar baris 5-12 m; pembuatan bangunan teras berupa guludan tanah yang
sejajar dengan garis kontur; dan penanaman tanaman penguat teras secara rapat di
sepanjang guludan. Jenis tanaman legume tahunan ditanam dengan benih.
2.4.2. Pembangunan Teras Gulud
Spesifikasi bangunan teras ini adalah sesuai pada lahan dengan kemiringan 1020%; jarak antar guludan rata-rata 10 m; saluran air pada teras berfungsi sebagai saluran
diversi untuk mengurangi limpasan permukaan ke arah lereng di bawahnya. Cara dan
tahapan pembangunannya adalah pemancangan patok menurut garis kontur dengan jarak
dalam baris 5 m dan jarak patok antar baris 10 m; pembuatan saluran teras dengan jalan
menggali tanah menurut arah larikan patok, ukurannya dalam 30 cm, lebar bawah 20 cm
dan lebar atas 50 cm; tanah hasil galian ditimbun untuk membentuk guludan, panjang
guludan dan saluran maksimum 50 m dan dipotong oleh SPA yang dibuat tegak lurus
garis kontur; penanaman tanaman penguat etras pada guludan.
Jenis tanaman penguat teras dapat berupa: kayu-kayuan yang ditanam dengan
jarak 50 cm (bibit stek) atau benih ditabur merata; rumput-rumputan yang ditanam dengan
jarak 30-50 cm.
2.4.3. Pembangunan Teras Bangku
Spesifikasi bangunan teras ini adalah sesuai pada lahan dengan kemiringan 1030%; bidang olah teras bangku hampir datar, sedikit miring ke arah bagian dalam (±
1%); di antara dua bidang teras dibatasi oleh tampingan/talud/riser; di bawah tampingan
teras dibuat selokan teras yang miring ke atrah SPA. Cara pembuatan teras ini diawali
dengan penggalian tanah menurut larikan patok pembantu; memisahkan lapisan tanah
bagian atas dan menimbun di kiri atau kanan galian; menggali tanah lapisan bawah sesuai
dengan deretan patok-patok dan menimbun tanah galian di sebelah bawah patok;
pemadatan timbunan tanah dan permukaan bidang olah dibuat miring ke arah bawah 1%;
tanah lapisan atas ditaburkan kembali secara merata pada permukaan bidang olah; pada
bibir teras dibuat guludan 20 x 20 cm, di bagian dalam teras dibuat selokan 20 cm x 10
cm; talud teras dibuat dengan kemiringan 2:1 atau 1:1 tergantung pada kondisi tanah.
Talud bagian atas ditanami gebalan rumput atau tanaman penguat teras lainnya.
13
2.4.4. Pembangunan Teras Kebun
Ciri-ciri bangunan teras ini adalah sesuai pada lahan dengan kemiringan 30-50%
yang dirancang untuk penananaman tanaman perkebunan; pembuatan teras hanya pada
jalur tanaman, sehingga ada lahan yang tidak diteras dan hanya tertutup oleh vegetasi
penutup tanah; lebar jalur teras dan jarak antara jalur teras disesuaikan dengan jenis
tanaman. Cara pembuatannya hampir sama dengan pembuatan teras bangku, pengolahan
tanah pada bidang teras hanya dilakukan pada lubang tanam. Talud teras ditanami rumput
atau cover crop. Lahan yang terletak di antara dua teras dibiarkan tidak diolah. Tatacara
pembangunannya diawali dengan membuat batas galian dengan menghubungkan patokpatok pembantu melalui pencangkulan tanah; menggali tanah di bagian bawah batas
galian yang telah terbentuk dan ditimbun ke bagian bawah hingga patok batas timbunan;
tanah urugan dipadatkan dan permukaannya dibuat miring 1% ke arah dalam; talud teras
ditanami dengan cover crop atau rumput; di bagian bawah batas galian talud dibuat
selokan teras atau saluran buntu sepanjang 2 m lebar 20 cm sedalam 10 cm.
2.4.5. Penanaman tanaman penguat teras
Tanaman penguat teras adalah jenis vegetasi yang karena sifat tumbuh dan/atau
cara tumbuhnya dapat berfungsi sebagai penguat teras. Jenis tanaman ini dapat berupa
rumput-rumputan atau pohon-pohonan. Persyaratan tanaman penguat teras adalah (i)
sistem perakar annya intensif sehingga mampu mengikat tanah, (ii) tahan pangkas, (iii)
bermanfaat dalam menyuburkan tanah dan penyedia pakan ternak. Beberapa jenis
tanaman penguat teras adalah (i) Turi (Sesbania grandiflora), (ii) Gomal (Gliricidea
maculata), (iii) Akasia merah (Acacia villosa), (iv) Opo-opo (Flemingia sp.), (v)
Rumput setaria (Setaria sphacellata), (vi) Rumput bebe (Brachiarta brizantha), (vii)
Rumput benggala (Panicum maximum), (viii) Rumput gajah (Pennisetum purpureum)
dan Desmodium sp.
III. MODEL DAN SIMULASI
3.1. Konsep Teori dan Pendekatan
Permasalahan yang dihadapi dalam upaya pengelolaan sumberdaya lahan secara
lestari ternyata sangat beragam dan rumit. Dengan demikian upaya pemecahannya
memerlukan suatu pendekatan sistemik yang bersifat komprehenseif, sibernetik, dan
efektif (Mize dan Cock, 1968). Pemodelan sistem dalam penelitian ini diarahkan
untuk mendapatkan model-model kuantitatif yang dapat digunakan untuk
menerangkan perilaku subsistem-subsistem yang dipelajari. Sebagian dari model ini
14
diambil dari pustaka- pustaka ilmiah yang telah teruji keterandalannya. Pengintegrasian model-model ini dilakukan berdasarkan sistematika logis untuk
memecahkan masalah yang dihadapi. Tiga kelompok model yang digunakan dalam
penelitian tahun ke dua ialah (i) model evaluasi sistem usahatani tanaman dan ternak,
(ii) model evaluasi erosi dan limpasan permukaan, dan (iii) model alokasi
sumberdaya lahan bersasaran ganda (Soemarno, 1991a).
Proses pengujian model dilakukan dengan menggunakan informasi dasar yang
berupa hasil pemetaan dan klasifikasi tanah, data hidrologi, data agroekologi, dan data
usahatani. Karakteristik agroekologi merupakan masukan bagi submodel evaluasi lahan.
Dengan bantuan program komputer dapat dicari jenis-jenis tanaman yang sesuai kegiatan
ini telah dilakukan pada tahun ke 1. Jenis tanaman ini digunakan sebagai dasar
menentukan pola pergiliran tanaman sepanjang tahun yang layak air berdasarkan kepada
neraca air lahan dan neraca air tanaman (Telah dilakukan pada tahun ke 1). Jenis
tanaman yang sesuai ini juga digunakan sebagai dasar untuk menentukan jenis usahatani
yang akan dianalisis dengan submodel fungsi produksi. Sebagian dari karakteristik lahan
digabungkan dengan data hidrologi menjadi masukan bagi submodel erosi. Hasil dari
submodel ini adalah dugaan erosi potensial selama setahun. Hasil dugaan erosi ini
digunakan untuk mengevaluasi alternatif pola pergiliran tanaman sepanjang tahun yang
layak air dan sesuai dengan kondisi lahan (kegiatan ini telah dimulai tahun ke 1 dan
diteruskan tahun ke 2).
Alternatif pola pergiliran tanaman yang aman ditinjau dari segi erosi merupakan
masukan bagi model fungsi produksi dan I/O usahatani. Analisis dalam kedua model ini
dilakukan dengan menggunakan data primer dari masing-masing jenis usahatani. Hasil
analisis ini adalah besarnya penerimaan , kebutuhan tenagakerja dan R/C-rasio dari setiap
usahatani, serta alokasi sarana produksi yang diperlukannya. Pemilihan pola pergiliran
tanaman dilakukan berdasarkan besarnya R/C-rasio ini.
Dari hasil analisis dan simulasi seperti yang dikemukakan di atas diharapkan
dapat diperoleh alternatif- alternatif pola pergiliran tanaman sepanjang tahun dengan
perkiraan nilai erosi, produktivitas, dan alokasi optimal sumberdaya (faktor produksi).
Hasil-hasil perhitungan ini digunakan sebagai koefisien-koefisien dalam model alokasi
sumberdaya bersasaran ganda untuk mendapatkan alokasi optimal penggunaan
sumberdaya lahan (Soemarno, 1991a).
3.2. Batasan Lokasi
Lokasi perencanaan harus dibatasi secara jelas dan operasional, misalnya adalah
Daerah Aliran Sungai Brantas Hulu, Sub DAS Lesti-Genteng atau Daerah Aliran Waduk
Sengguruh Kabupaten Malang, Propinsi Jawa Timur. Kegiatan perencanaan dilaksanakan
di lahan usaha milik penduduk (lahan desa) dan kawasan hutan sekitarnya. Lahan desa ini
dikelompokkan menjadi lahan sawah, lahan tegalan, dan lahan pekarangan. Berbagai
15
jenis tanaman sayuran dataran tinggi, palawija, dan padi diusahakan di lahan desa ini.
Secara administratif pemerintahan, DAW Sengguruh ini meliputi Kecamatan Wajak,
Poncokusumo, Dampit, Kepanjen, Turen, dan Ampelgading
3.3. Data yang Diperlukan
A. Data Sosial Ekonomi
Data sosial ekonomi dikumpulkan pada tahun ke dua ini diperlukan untuk
analisis fungsi produksi dan fungsi keuntungan dari masing-masing jenis usahatani . Data
primer dikumpulkan dengaan cara memilih secara sengaja desa contoh yang menjadi
pusat usahatani komoditas tertentu, kemudian dari setiap desa ini dipilih secara acak
petani-petani contoh.
B. Data Agroekologi dan Hidrologi
Data-data ini semuanya dikumpulkan untuk merumuskan model erosi , dan
hidrologi. Data agro-klimat serta hasil pemetaan dan survei tanah diambil dari Proyek
Kali Brantas dan Instansi-Instansi yang terkait.
3.4. Model dapat yang digunakan
Model-model yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
(1). Model Evaluasi Lahan Pertanian (ELP)
(2). Model Erosi dan Hidrologi Pertanian (EHP)
(3). Model Produksi dan Sistem Usahatani (PROTANI)
(4). Model Tenagakerja Pertanian (TKP)
(5). Model Alokasi Sumberdaya Pertanian (ASP)
Analisis dalam model evaluasi lahan menggunakan data tanah dan agroklimat
dari suatu unit lahan yang dipadukan dengan syarat tumbuh tanaman. Hasilnya adalah
jenis-jenis tanaman yang sesuai untuk satuan lahan tertentu Jenis-jenis tanaman ini
dipakai untuk menyusun alternatif pola pergiliran tanaman sepanjang tahun yang layak
air. Jenis pola tanam ini dievaluasi dengan analisis usahatani, analisis fungsi produksi dan
fungsi keuntungan.
Setiap alternatif pola tanam tersebut di atas dievaluasi nilai rataan tertimbang
faktor-C yang selanjutnya digunakan dalam model erosi Analisis dalam model erosi ini
juga memerlukan data tanah, topografi, dan data hujan di suatu satuan lahan. Hasilnya
adalah dugaan erosi (kehilangan tanah) potensial selama setahun .
3.4.1. Model Evaluasi Lahan Pertanian (ELP)
16
Dalam penelitian ini kesesuaian lahan bagi tanaman pertanian dianalisis dengan
program Evaluasi Lahan. Cara ini dikembangkan oleh Pusat Penelitian Tanah, Bogor.
Prosedur kuantifikasi untuk evaluasi kesuburan tanah mengikuti metode Catalan (1990).
3.4.2. Model Erosi dan Hidrologi Pertanian
Model erosi yang digunakan adalah model erosi yang dikembangkan oleh
Wischmeier dan Smith (1960, 1978) yang dikenal dengan istilah The Universal Soil Loss
Equation atau Persamaan Umum Kehilangan Tanah (Arsyad, 1989).
3.4.3. Model AGROTEK
Model ini tersusun atas empat model evaluasi, yaitu (i) model neraca lengas
lahan (Thornthwaite dan Mather, 1955, 1957), (ii) model evaluasi agroteknologi, (iii)
model input-output usahatani. Pada lokasi-lokasi yang mempunyai data dan informasi
klimatologis yang memadai akan digunakan metode Penman untuk menduga
evapotranspirasi potensial. Analisis neraca lengas dan I/O usahatani telah dilakukan pada
tahun pertama .
A. Model Evaluasi Agroteknologis
Model ini dikembangkan dari hasil-hasil evaluasi model erosi, model ELP, dan
model neraca lengas lahan. Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk mencari alternatif pola
pergiliran tanaman dengan teknik konservasi tanahnya yang aman erosi dan layak
ekonomis pada suatu satuan analisis lahan. Alternatif pola pergiliran tanaman yang
digunakan adalah alternatif yang tahan kekeringan berdasarkan neraca lengas lahan.
Sedang alternatif tindakan konservasi tanah meliputi terras bangku yang berkualitas
sedang dan baik. Model yang digunakan adalah:
CPmaks = TSL/RKLS
CPmaks = nilai maksimum dari faktor pengelolaan tanah dan tanaman di suatu
satuan analisis lahan; TSL = toleransi erosi; RKLS = kehilangan tanah potensial pada
suatu satuan analisis lahan tertentu. Satuan analisis yang dimaksudkan dalam bagian ini
ialah (i) satuan lereng, untuk keperluan pendugaan kehilangan tanah dengan
menggunakan model USLE, dan (ii) sa- tuan analisis lahan (selanjutnya disebut satuan
analisis), untuk analisis alternatif agroteknologi.
(a). Pemetaan satuan lereng
Pengertian lereng dalam hal ini sesuai dengan yang dimaksudkan oleh model
USLE. Dalam setiap satuan lereng diidentifikasikan beberapa karakteristik penting (i)
batas satuan lereng, (ii) panjang lereng, (iii) kemiringan lereng rataan, (iv) luas, (v) jenis
tanah, dan (vi) hujan (curah hujan bulanan, hari hujan, dan hujan maksimum dalam 24
jam).
17
(b). Satuan analisis lahan
Satuan analisis ini disusun berdasarkan tiga kriteria utama, yaitu (i) jenis tanah,
(ii) kemiringan lahan, dan (iii) tipe agroklimat (Soemarno, 1988)
(c). Rangkaian analisis agroteknologi
Agroteknologi yang dimaksudkan dalam bagian ini terdiri atas dua komponen,
yaitu pola pergiliran tanaman sepanjang tahun dan teknik konservasi terras bangku disain
baku kualitas sedang dan baik.
3.4.4. Model Produksi dan Usahatani (PROTANI)
Dalam penelitian ini digunakan fungsi produksi Cobb- Douglas (Heady dan
Dillon, 1964) yang rumusan matematikanya adalah: Yi = a Xijb. eijD.u, Yi: produksi
tanaman ke i; a: intersep, konstante; b: koefisien regresi; Xi: peubah bebas, sarana
produksi; D: peubah sandi; e: eksponensial,
3.4.5. Model Tenagakerja Pertanian (TKP)
Model ini terdiri atas tiga macam submodel, yaitu model prakiraan jumlah pendu
duk (Eriyatno dan Siswanto, 1989), model perkiraan ketersediaan tenagakerja pertanian,
dan model perhitungan kebutuhan minimal penduduk.
(1). Model prakiraan jumlah penduduk
Ada banyak Model yang dapat digunakan untuk keperluan ini.
(2). Model perkiraan ketersediaan tenaga kerja pertanian
Beberapa asumsi yang digunakan dalam perhitungan ini adalah (1) usia kerja 1560 tahun, (2) proporsi petani 50-55% dan buruh tani 30-40% dari seluruh penduduk, (3)
seorang pria dewasa setara dengan satu HKSP atau HOK, (4) seorang wanita dewasa
setara dengan 0.75 HKSP.
(3). Model perhitungan kebutuhan minimal penduduk
Perhitungan kebutuhan minimal ini dilakukan berdasarkan kriteria 480 kg beras/
EPD/tahun dengan asumsi 50% untuk kebutuhan pangan dan 50% untuk kebutuhan non
pangan. Jumlah penduduk yang digunakan dalam model ini adalah penduduk yang mata
18
pencahariannya sebagai petani dan buruhtani, termasuk peternak. Jumlah penduduk ini
berkisar antara 80-85% dari jumlah total penduduk di Sub DAS Lesti-Sengguruh.
3.4.6. Model Alokasi Sumberdaya Pertanian (ASP)
Kajian dan analisis alokasi lahan ini dilakukan pada tahun ke 2. Model alokasi
yang digunakan adalah Model Tujuan Ganda (Linear Goals Programming) (Ignizio,
1978; Nasendi dan Anwar, 1985; Soemarno, 1991c). Model ini digunakan untuk mencari
alokasi luas penggunaan lahan yang optimal di Sub DAS Sengguruh. Struktur dasar dari
model ini adalah sebagai berikut:
Peubah keputusan (Xi):
X1 = luas hutan lindung, ha; X2 = luas hutan produksi, ha; X3 = luas kebun
campuran, ha; X4 = luas kebun tebu rakyat, ha; X5 = luas tegalan dengan aneka tanaman
palawija, ha; X6 = luas sawah, ha; X7 = luas pekarangan/pemukiman, ha; X8 = luas
kebun apel, ha; X9 = luas tegalan dengan tanaman hortikultura dataran tinggi, ha.
Skenario I:
Penyusunan prioritas:
P1 :
Mencari kombinasi penggunaan lahan yang menjamin tersedianya
hutan lindung di Sub DAS seluas sekurang-kurangnya seperti sekarang.
Mencari kombinasi penggunaan lahan yang menghasilkan laju erosi tahunan
tidak me lampaui laju erosi yang masih dapat ditoleransikan.
Mencari kombinasi penggunaan lahan yang menjamin tersedianya pemukiman/
pekarangan sekurang-kurangnya 450 m2/KK dan seluas-luasnya 750 m2/KK .
P2 :
Mencari kombinasi penggunaan lahan yang mampu menghasilkan
rataan debit sungai bulan Februari dan September di pintu masuk waduk Sengguruh
mendekati debit disain (pola) menurut pengelola waduk.
P 3:
Mencari kombinasi penggunaan lahan yang mampu memberikan
penghasilan (dari usahatani) sekurang-kurangnya cukup untuk memenuhi kebutuhan
hidup layak ( 480 kg beras/EPD/th) bagi petani dan buruh tani.
Mencari kombinasi penggunaan lahan yang mampu menjamin tersedianya lahan
sawah seperti sekarang.
Mencari kombinasi penggunaan lahan dimana sebagian dari hutan konversi yang
ada sekarang dikonversi menjadi lahan pertanian.
P4 :
Mencari kombinasi penggunaan lahan yang mampu menyediakan
kesempatan kerja sekurang-kurangnya sama dengan tenagakerja petani dan sebanyakbanyaknya sama dengan tenaga kerja petani dan buruh tani .
19
Mencari kombinasi penggunaan lahan yang menjamin tersedianya luasan tertentu
kebun tebu, kebun campuran, dan tegalan .
Skenario II : Sama dengan skenario I hanya saja 50% lahan tegalan dikonversi
menjadi pekarangan.
Skenario III: Sama dengan Skenario I hanya saja produktivitas usahatani dapat
ditingkatkan menjadi seperti yang dicapai oleh BPP Ngantang dan Pujon sekarang.
Skenario IV : Sama dengan Skenario II hanya saja intensifikasi pada lahan
pertanian dapat meningkatkan produksi sebesar rata-rata 125%.
Perumusan kendala:
1. Kendala riil: luas lahan (luas sub-sub DAS), ha
Xi = L
2. Kendala sasaran:
2.1. Kendala laju erosi
ei = kehilangan tanah dari 1 ha Xi (ton/ha/th)
ET = kehilangan tanah yang masih ditoleransikan , (ton/th)
eiXi - d1+ = EKT
Tujuan: Meminimalkan d1+
2.2. Kendala debit sungai maksimal (bulan Februari)
q1 = debit akibat dari 1 ha Xi (m3/ha,det)
Q1 = Disain debit Februari yang direncanakan (m3/det)
q1i Xi - d2+ = Q1
Tujuan: Meminimalkan d2+
Penetapan prioritas untuk masing-masing tujuan:
20
Tuju
an
1.
Prior
itas
No.
1
Keterangan
Faktor
P1
2.
3.
1
1
P1
P1
4.
2
P2
5.
3
P3
6.
4
P4
Luas hutan lindung sekurang-kurang nya sama seperti
sekarang.
Dugaan laju erosi tahunan tidak melebihi batas toleransinya
Luas pekarangan sekurang-kurangnya 450 m2/KK dan seluasluasnya 750m2/KK .
Rataan debit sungai bulan Februari dan September mendekati
debit pola (disain) menurut pengelola waduk Sengguruh.
Penghasilan dari usahatani dapat me menuhi kebutuhan hidup
layak (480kg beras/EPD/th) bagi petani dan buruh tani beserta
keluarganya.
Tersedianya kesempatan kerja pertanian sekurang-kurangnya
sama dengan-tenaga kerja petani dan sebanyak-banyaknya
sama dengan tenagakerjapetani dan buruhtani .
2.3. Kendala debit minimal (bulan September)
q2i = debit yang diakibatkan oleh 1ha Xi (m3/ha,det)
q2i = disain debit September yang direncanakan (m3/det)
q2i Xi + d3- = Q2
Tujuan: Meminimalkan d3-
2.4. Kendala penerimaan usahatani dalam setahun
ki = penerimaan usahatani 1 ha Xi (ribu rupiah)
K = Target pendapatan setahun dari usahatani untuk dapat
menjamin hidup (ribu rupiah)
ki Xi + d4- = K
Tujuan: Meminimalkan d42.5. Kendala kebutuhan tenagakerja usahatani
21
li = kebutuhan tenagakerja usahatani 1 ha Xi (HOK/ha)
L = sasaran ketersediaan tenagakerja pertanian
(HOK/tahun).
li Xi + d5- = LPT
li Xi - d5+ = LPTBT
Tujuan : Meminimalkan d5+ + d52.6. Kendala luas hutan lindung
H = luas kawasan hutan lindung seperti sekarang
X1 + d 5 - = H
Tujuan: Meminimalkan
 d5-
2.7. Kendala total luas pekarangan/pemukiman
R = Target luas pekarangan, ha (450-750 m2/KK )
X7 - d 6 + + d 6 - = R
Tujuan: Meminimalkan d6+ + d6Fungsi Tujuan: Minimalkan:  Pi(wi di )
Penetapan nilai kendala:
(1). Kendala riil luas lahan: luas sub DAS yang diperoleh dari Sub Balai RLKT
Brantas, Malang
(2). Kendala laju erosi tahunan: diperoleh dari perhitungan toleransi untuk masingmasing unit lahan yang ada di sub DAS dengan menggunakan batasan Kapasitas
daya tampung sedimen Waduk Sengguruh dengan umur disain 125 tahun.
(3). Kendala debit maksimal: kendala ini diambil dari nilai disain debit rataan bulanan
di pintu masuk Waduk Sengguruh. Berdasarkan pola hujan setahun, ternyata nilai
tertinggi debit rataan ini terjadi pada bulan Februari
(4). Kendala debit minimal: kendala ini merupakan nilai di sain debit di pintu masuk
waduk Sengguruh yang terjadi pada bulan September.
22
(5). Kendala penerimaan usahatani dalam setahun: Target penerimaan usahatani
diperhitungkan berdasarkan jumlah penduduk, dengan kriteria hidup layak menurut
BPS (1993)
(6). Kendala kesempatan kerja dalam setahun:
kendala ini diperhitungkan
berdasarkan jumlah penduduk usia kerja dan faktor kesetaraan tingkat upah yang
berlaku.
(7). Kendala luas kawasan hutan lindung: target luas hutan ini ditetapkan berdasarkan
Pola RLKT Brantas, yaitu mendekati kondisi yang ada sekarang.
(8). Kendala luas pekarangan/pemukiman:
target luas pemukiman dihitung
berdasarkan jumlah keluarga di sub DAS dengan rataan antara 450 -750 m2 (data
empiris).
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. , A. Priyanto, dan L.I. Nasoetion. 1985. Konsepsi Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai. Makalah disajikan pada Lokakarya Program Studi Pengelolaan DAS
pada FPS IPB, 14 Januari 1985.
Dent, J.B. dan J.R. Anderson. 1971. Systems Analysis in Agricultural Management. John
Wiley & Sons Australasia PTY LTD,. Sydney.
Eriyatno. 1990. Permodelan Sistem. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor,
Bogor. 15 halaman.
Eriyatno. 1990a. Sistem Penunjang Keputusan. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor, Bogor. 23 hal
FAO. 1976. A Framework for Land Evaluation. FAO Soils Bulletin No. 32/I/ILRI Publ.
No. 22. FAO, Rome.
Ignizio, J.P. 1978. Goal Programming and Extensions. D.C. Health and Company,
Lexington, Mass.
Nasendi, B.D. dan A. Anwar. 1985. Program Linear dan Variasinya. PT. Gramedia,
Jakarta.
23
Soemarno. 1991. Studi Perencanaan Pengelolaan Lahan di Sub DAS Konto, Malang.
Disertasi, Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL),
Institut Pertanian Bogor.
Soemarno. 1991a. Implementasi Model Tujuan Ganda dalam Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai. Studi Kasus di Sub DAS Pinjal, Kabupaten Malang. Jurnal Universitas
Brawijaya, Vol. 3 No.2, Hal. 41-60.
Soemarno. 1991b. Studi Model Alokasi Penggunaan Lahan yang Berwawasan
Lingkungan di DAW Selorejo. Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional V. Jakarta,
3-7 September 1991.
Soemarno. 1992. Studi Model Pewilayahan Komoditi Pertanian yang Berwawasan
Lingkungan di Sub DAS Lesti, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Proyek
Penelitian yang dibiayai oleh Proyek ARM Balitbang Pertanian.
Download