View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Jumlah Eritrosit
Eritrosit pada unggas berbeda dibandingkan mamalia. Ukurannya lebih
besar dengan waktu daur hidup yang lebih lama. Jumlah sel darah merah ayam
ras petelur pada tingkat produksi yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 2.
3
Jumlah Eritrosit (T/l)
2.5
2
1.5
2.00
2.66
1--20
21-40
1.94
2.00
1
2.49
0.5
0
41-60
61-80
Produksi Telur (%)
81-100
Gambar 2. Jumlah eritrosit darah ayam ras petelur Lohman Brown pada tingkat
produksi telur yang berbeda (Garis vertikal mengindikasikan ± standar
deviasi).
Gambar 3 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara
tingkat produksi telur dan jumlah eritrosit (P>0,05). Jumlah eritrosit
mengindikasikan banyaknya sel darah dalam satuan liter darah, yang berhubungan
erat dengan kapasitas pengangkutan oksigen.
Nilai rataan jumlah eritrosit pada semua tingkat produksi telur adalah 2,18
T/l. Nilai ini tidak jauh berbeda dengan laporan Strakovă et al. (2001) bahwa
selama periode bertelur, jumlah eritrosit pada ayam buras sebanyak 2,16 T/l,
sementara pada kondisi tidak bertelur jumlah eritrosit sebanyak 2,51 T/l. Namun
21
demikian, hasil ini lebih rendah dengan jumlah eritrosit pada ayam ras petelur
strain Isa Brown yang berumur 75 minggu yakni 2,99 T/l (Pavlik dan
Lichovnikova, 2011), dan 3,15 T/l pada strain Hysex Brown berumur 28 – 44
minggu (Tůmovă et al., 2004).
Proses eritropoiesis pada sumsum tulang belakang mamalia hanya terbatas
pada daerah ekstravaskular, tetapi pada unggas terjadi juga dalam lumen sumsum
tulang belakang (Sturkie, 1976). Lebih lanjut Sturkie (1976) mengungkapkan
bahwa sel eritroid yang belum matang pada unggas tidak hanya ditemukan pada
daerah sumsum tulang belakang, tapi sekitar 2-3% sel tersebut juga ditemukan
daerah periperal.
Pada unggas, terdapat substansi yang berperan dalam
eritropoiesis, disebut Erythropoiesis Releasing Factor (ESF). ESF merupakan
glikoprotein yang dibentuk di ginjal dan bekerja di sumsum tulang belakang untuk
meningkatkan produksi sel eritroid hingga berkembang menjadi eritrosit yang
matang.
Jumlah sel darah ternyata tidak berpengaruh terhadap penurunan nilai
hematokrit. Peningkatan volume plasma pada saat bertelur, tidak berdampak pada
menurunan maupun peningkatan jumlah maupun ukuran sel darah merah
(Challenger et al., 2001). Salah satu hal yang mengakibatkan rendahnya nilai
hematokrit selama bertelur adalah konstannya jumlah sel darah merah pada saat
volume plasma semakin meningkat.
Kadar estrogen dalam darah akan mengakibatkan bertambahnya volume
plasma, disamping itu estrogen yang meningkat akan menghambat proses
eritropoiesis (pembentukan sel darah merah). Pengurangan jumlah eritrosit akan
mengurangi kapasitas pengangkutan oksigen, yang berakibat pada lambatnya
22
proses pengangkutan komponen-komponen telur menuju oviduk ( Wagner et al.,
2008).
Penelitian lain menunjukkan hasil yang sebaliknya, dilaporkan oleh Suchý
et al. (2004) bahwa jumlah eritrosit meningkat seiring dengan bertambahnya umur
ayam. Indikasi bahwa semakin tua umur ayam, maka proses haematopoiesis
semakin meningkat. Hasil penelitian Suchý et al. (2004) menunjukkan rata-rata
nilai parameter haematologis meningkat setiap 5 minggu, yang diukur dari umur
25 sampai 50 minggu.
B. Nilai Hematokrit
Nilai hematokrit merupakan persentase sel darah merah yang terdapat dalam
darah. Nilai hematokrit ayam ras petelur pada tingkat produksi yang berbeda
dapat dilihat pada Gambar 3.
50
Nilai Hematokrit ( %)
45
40
35
30
25
20
15
35.25
36.00
1--20
21-40
27.00
30.40
41-60
61-80
Produksi Telur(%)
81-100
30.75
10
5
0
Gambar 3. Nilai hematokrit darah ayam ras petelur Lohman Brown pada tingkat
produksi telur yang berbeda (Garis vertikal mengindikasikan ± standar
deviasi).
23
Gambar 2 menunjukkan bahwa nilai hematokrit pada kelompok ayam
dengan tingkat produksi yang berbeda, tidak memperlihatkan perbedaan yang
nyata. Namun demikian, terdapat kecenderungan penurunan nilai hematokrit pada
tingkat produksi telur yang semakin meningkat (r=0,42;b=-0,089,;P<0,05;
Lampiran 1).
Nilai hematokrit dari keseluruhan data di atas berkisar antara 27,00 –
36,00%. Penelitian sebelumnya yang dilaporkan oleh Pavlik dan Lichovnikova
(2011) bahwa nilai hematokrit pada ayam strain Isa Brown yang berumur 52
sampai 75 minggu berkisar antara 27,00 – 32,00%. Nilai ini tidak berbeda jauh
dengan hasil penelitian Suchý et al. (2004) yang melaporkan bahwa pengukuran
nilai hematokrit yang dilakukan pada ayam petelur strain Moravia BSL dari umur
25 minggu sampai 50 minggu cenderung menunjukkan peningkatan dari 26%
menjadi 36%. Perbedaan dari segi strain ayam, dan variasi berat badan yang
tinggi dalam satu kelompok ayam merupakan penyebab hasil yang berbeda.
Pada dasarnya nilai hematokrit menggambarkan kondisi sel eritrosit dalam
darah sehingga menjadi salah satu indikator penentuan kemampuan darah dalam
mengangkut oksigen (O2) yang biasa dikenal dengan istilah Oxygen Carrying
Capacity. Pada saat bertelur, nilai hematokrit cenderung mengalami penurunan
yang merupakan dampak tubuh ayam dalam mempertahankan homeostatis. Nilai
hematokrit yang rendah pada saat bertelur diakibatkan oleh peningkatan volume
plasma darah yang disebut proses Haemodilusi.
Williams et al., (2004)
mengungkapkan pada tingkat produksi telur yang tinggi, jumlah prekursor yolk
dalam darah juga meningkat, akibatnya volume plasma meningkat untuk menjaga
agar tekanan osmotik dalam tubuh tetap stabil.
24
Pada kondisi ini, peningkatan volume plasma, tidak berpengaruh terhadap
jumlah maupun ukuran sel darah merah, akibatnya pada saat pengukuran, nilai
hematokrit cenderung lebih rendah seiring dengan produksi telur yang meningkat.
Namun, konsentrasi plasma akan kembali normal ketika folikel terakhir telah
mengalami ovulasi (Challenger et al., 2001;Vézina et al., 2003). Volume plasma
yang meningkat akan berakibat menurunnya kapasitas pengangkutan oksigen (O2)
dalam darah meskipun pada dasarnya jumlah eritrosit tidak berkurang (Wagner et
al., 2008; Williams et al., 2004).
Nilai hematokrit merupakan salah satu indeks penentuan banyaknya sel
darah merah dalam darah. Salah satu asumsi bahwa nilai hematokrit yang rendah
pada unggas yang sedang berproduksi adalah akibat tingginya kadar estrogen
dalam darah.
Hormon estrogen diketahui memiliki sifat menghambat proses
pembentukan sel darah merah (eritropoietic) (Wagner et al., 2008). Bertambahnya
jumlah folikel yang sedang berkembang selama produksi telur akan meningkatkan
kadar estrogen dalam darah, yang diiringi dengan meningkatnya jumlah
komponen-komponen penyusun kuning telur dalam darah. Estrogen dibutuhkan
untuk penyesuaian terhadap perubahan metabolisme lemak dan peningkatan
komponen-komponen kuning telur dalam darah (Challenger et al., 2001).
Penurunan nilai hematokrit selama fase produksi juga disebabkan oleh
beberapa faktor lain, yakni ; tingkat stres oleh pengaruh nutrisi dan temperatur,
dehidrasi, maupun parasit dalam darah (Challenger et al., 2001). Tingginya level
prekursor yolk (William et al., 2004), dan akibat meningkatnya konsentrasi
hormon estrogen dalam darah (Wagner et al., 2008) merupakan asumsi yang
25
lebih sesuai dalam menggambarkan penurunan nilai hematokrit pada ayam dengan
tingkat produksi telur yang lebih tinggi.
C. Kadar Glukosa
Salah satu profil biokimia darah yang berhubungan dengan proses
metabolisme energi adalah glukosa. Kadar glukosa darah ayam ras petelur pada
tingkat produksi yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 4.
400
Kadar Glukosa (mg/dL)
350
300
250
200
150
276.08
284.14
1--20
21-40
310.26
292.18
41-60
61-80
Produksi Telur (%)
81-100
297.6
100
50
0
Gambar 4. Kadar glukosa plasma darah ayam ras petelur Lohman Brown pada
tingkat produksi telur yang berbeda (Garis vertikal mengindikasikan ±
standar deviasi).
Gambar 4 menunjukkan bahwa kadar glukosa pada ayam petelur dengan
tingkat produksi telur yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>
0,05). Kadar glukosa merupakan indikasi penggunaan energi dalam tubuh ayam.
Kadar glukosa yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 276 – 311
mg/dL.
Hasil penelitian ini menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan hasil
yang diperoleh Pavlik dan Lichovnikova (2011) yang melaporkan bahwa selama
26
periode bertelur rata-rata level glukosa dalam plasma ayam strain Isa Brown
berkisar antara 224,64 – 253,44 mg/dL, yang diukur dari umur 22 sampai 75
minggu.
Favlík et al., (2007) melaporkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan
rataan kadar glukosa 252 mg/dL pada ayam petelur Isa Brown berumur 75
minggu. Suchẏ et al. (2004) yang melakukan penelitian yang sama dengan
menggunakan ayam petelur strain Moravia BSL berumur 25-50 minggu
memperoleh nilai kadar glukosa pada kisaran 234-252 mg/dL.
Kadar glukosa yang lebih tinggi dalam penelitian ini dipengaruhi oleh salah
satu faktor yaitu; umur. Pavlik dan Lichovnikova (2011) mengungkapkan bahwa
semakin tua umur ayam, maka kadar glukosa dalam darah juga meningkat. Faktor
lain yang mungkin mempengaruhi adalah metode pengambilan sampel yang
dilakukan sesaat setelah ayam makan ( ± 1 jam ). Nilai kadar glukosa merupakan
parameter biokimia yang paling rentan mengalami perubahan oleh beberapa faktor
antara lain; suhu, penyakit, dan nutrisi.
Pengambilan sampel darah dengan metode pemuasaan maupun tanpa
pemuasaan dapat mempengaruhi parameter biokimia darah, terutama glukosa.
Penelitian yang dilakukan Farhat dan Chavez (2001) menggunakan bebek Pekin
betina yang berumur 6 minggu menemukan hasil yang berbanding terbalik dengan
penelitian ini. Farhat dan Chavez (2001) melaporkan bahwa bebek Pekin betina
yang dipuasakan selama 5 hari memiliki kadar glukosa plasma yang lebih tinggi
dibandingkan bebek Pekin betina yang tidak dipuasakan.
Swennen et al. (2005) menemukan hasil berbeda pada ayam broiler berumur
21 hari dengan membandingkan konsentrasi glukosa dalam plasma ayam yang
dipuasakan 24 jam, 5 jam setelah pemberian pakan, dan 48 jam setelah pemberian
27
pakan. Swennen et al. (2005) mengungkapkan bahwa konsentrasi glukosa dalam
plasma tidak dipengaruhi oleh berbagai jenis perlakuan pembatasan pakan.
Kadar glukosa darah berperan penting dalam produksi energi dalam tubuh.
Pada ayam petelur, penggunaan energi di bagi menjadi dua kelompok, yaitu;
energi pemenuhan hidup pokok dan energi untuk produksi. Energi untuk proses
reproduksi biasanya akan terpenuhi setelah energi untuk hidup pokok,
pertumbuhan, perbanyakan lemak, dan penyimpanan karbohidrat telah terpenuhi.
Dengan kata lain, organ reproduksi memperoleh energi yang paling akhir untuk
digunakan menghasilkan telur. Organ reproduksi menggunakan 22% dari total
energi yang diperoleh ayam petelur (Vézina et al., 2003).
Proses pengangkutan prokursor yolk oleh darah membutuhkan energi yang
cukup banyak. Energi dalam hal ini diperoleh dari glukosa. Kemampuan ayam
tua dalam penyerapan glukosa berbeda dengan ayam muda. Hal ini diakibatkan
oleh pada umur tua, kinerja organ reproduksi yang menurun, sehingga
membutuhkan energi yang lebih banyak.
Asumsi lain yang menyatakan tidak ada perubahan yang signifikan
terhadap nilai kadar glukosa, baik dipengaruhi oleh umur (Suchẏ et al., 2004)
maupun tingkat produksi (Gambar 4) yang berbeda. Pada dasarnya, deposisi
glukosa pada pembentukan telur sangat sedikit dibandingkan komponen lainnya.
Stadelman dan Cotterill (1995) melaporkan bahwa kadar glukosa dalam telur
segar berkisar antara 0,3 – 1,0% , sehingga perbedaan tingkat produksi maupun
umur tidak mempengaruhi kadar glukosa dalam darah.
28
D. Kadar Kolesterol
Konsentrasi kolesterol dalam plasma darah memiliki hubungan yang erat
dengan intensitas bertelur. Kadar kolesterol darah ayam ras petelur pada tingkat
produksi yang berbeda dapat dillihat pada Gambar 5.
Kadar Kolesterol (mg/dL)
400
350
237.67 c
300
168.36 bc
250
200
106.79 ab
150
68.21 a
100
93.70 ab
50
0
1--20
21-40
41-60
61-80
Produksi Telur(%)
81-100
Gambar 5. Kadar kolesterol plasma darah ayam ras petelur Lohman Brown pada
tingkat produksi telur yang berbeda (Garis vertikal mengindikasikan ±
standar deviasi).
a-c
menunjukkan perbedaan yang nyata pada tingkat produksi berbeda
(P < 0,01).
Gambar 5 menunjukkan bahwa kadar kolesterol pada tingkat produksi telur
yang berbeda, memperlihatkan berbedaan yang nyata (P<0,01). Kadar kolesterol
pada tingkat produksi 1-20% nyata lebih tinggi dibandingkan tingkat produksi
41-60%, 61-80%, dan 81-100%, tetapi tidak berbeda dengan ayam yang memiliki
tingkat produksi 21-40%. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa kadar kolesterol
dalam darah semakin menurun seiring dengan tingkat produksi telur yang semakin
tinggi (r=0,57;b=1,376;P<0,01; Lampiran 4).
Kisaran kadar kolesterol pada penelitian ini berkisar antara 68 – 238 mg/dL.
Nilai ini lebih tinggi dibandingkan nilai yang diperoleh Suchẏ et al. (2004) yang
29
berkisar antara 56 – 105 mg/dL pada ayam petelur strain Moravia BSL. Kadar
kolesterol yang tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh Favlík et al.,
(2007) yang menggunakan ayam Isa Brown berumur 75 minggu, yakni 104,4
mg/dL. Penelitian lain yang dilakukan Máchal (2000) melaporkan level kolesterol
selama ayam bertelur berkisar antara 45,36 mg/dL sampai 74,16 mg/dL, pada tiga
strain ayam yang berbeda (BPR (Bared Plymouth Rock), dan RIR (Rode Island
Rade), yang berumur 51 minggu, sementara Tůmová et al. (2004) memperoleh
level kolesterol antara 43,14 – 111,24 mg/dL pada ayam strain Hisex Brown yang
berumur 44 minggu.
Tinggi rendahnya konsentrasi kolesterol dalam darah dipengaruhi oleh
tingkat produksi telur (Suchẏ et al., 1999). Produksi telur yang lebih tinggi akan
menghasilkan telur dengan kadar kolesterol yolk yang lebih tinggi, namun dengan
kadar kolesterol dalam plasma darah lebih rendah.
Dilaporkan pula bahwa
terdapat korelasi negatif namun tidak nyata antara kadar kolesterol yolk dengan
kolesterol dalam plasma darah (r = -0,103; Basmacioglu dan Ergul, 2006; r =0,28; Hakim, 2008).
Kolesterol disuplai ke jaringan peripheral, baik secara eksogen maupun
endogen yang di dalamnya terdapat VLDL. Ketika VLDL mencapai jaringan
peripheral dan mengeluarkan fatty acid, banyak kolesterol yang diubah dalam
bentuk ester oleh HDL (high-density lipoprotein) yang mengandung enzim LCAT
(lecithin cholesterol acyl transferase). LDL (low density lipoprotein) yang
mengandung kolesterol dalam bentuk ester ini ditangkap oleh media reseptor
endositosis menuju jaringan peripheral.
HDL berperan penting dalam
menyeimbangkan kondisi homeostatis kolesterol dan terlibat dalam proses
30
transpor kolesterol dari jaringan peripheral menuju hati. Kolesterol kembali ke
hati tidak terdegradasi atau masih dalam bentuk ester. Enzim O-acyltransferase
yang dihasilkan dalam jaringan endoplasmik dalam hati unggas berfungsi
mengkatalisasi kolesterol ini (Stevens, 1996).
Lebih lanjut Stevens (1996) mengungkapkan bahwa biosintesis kolesterol
terdapat dalam metabolisme ketone body formation.
Salah satu tahap yang
terpenting adalah proses katalisis yang dilakukan oleh reduktase HMG-CoA
(reduktase hydroxymethylglutaryl-CoA) yang merupakan tahap pertama dan
berperan dalam metabolisme biosintesis kolesterol. Pada umur 40 minggu setelah
ayam menetas, terdapat peningkatan aktivitas reduktase HMG-CoA. Konsentrasi
kolesterol dalam plasma yang tinggi akan menghambat proses reduktase HMGCoA.
31
E. Kadar ALTL (Alanine Aminotransferase) dan ASTL (Aspartate
Aminotransferase)
ALTL (Alanine Aminotransferase) dan ASTL (Aspartate Aminotrasferase)
merupakan enzim-enzim yang bekerja dan menjadi salah satu indikator kesehatan
hati.
Kadar ALTL dan ASTL ayam ras petelur pada tingkat produksi yang
berbeda dapat dilihat pada Gambar 6.
300
Kadar ASTL (U/L)
250
200
150
197.95
203.98
176.27
181.04
3.85
3.61
181.82
100
50
0
9
Kadar ALTL (U/L)
8
7
.
6
5
4
3
2
5.23
3.88
1--20
21-40
4.04
1
0
41-60
61-80
Produksi Telur (%)
81-100
Gambar 6. Kadar ASTL (Aspartate Aminotransferase) dan ALTL (Alanine
Aminotransferase) plasma darah ayam ras petelur Lohman Brown
pada tingkat produksi telur yang berbeda (Garis vertikal
mengindikasikan ± standar deviasi).
32
Gambar 6 menunjukkan aktivitas enzim-enzim dalam darah yang bekerja di
hati, yakni; kadar ASTL (Aspartate Aminotransferase) dan ALTL (Alanine
Aminotransferase). Kadar ASTL berada pada kisaran 181 – 204 U/l, dengan kadar
ALTL 3,6 – 5,3 U/l. Nilai tersebut masih dalam kisaran normal, terlihat dari tidak
adanya perbedaan yang nyata (P>0,05), baik kadar ASTL maupun ALTL. Nilai
ini tidak berbeda jauh dengan kadar ASTL 248,3 U/l dan ALTL 7,5 U/l pada
ayam indukan broiler strain Ross 308 berumur 58 minggu (Matur et al., 2010),
maupun pada hasil yang diperoleh Denli et al. (2008) bahwa ayam petelur strain
Hisex Brown yang berumur 47 minggu memiliki kadar ASTL 170,6 U/l dan
ALTL 1,1 U/l dalam plasma darah.
Konsentrasi ALTL dan ASTL yang relatif sama mengindikasikan kinerja
hati pada ayam dengan tingkat produksi yang berbeda dalam kondisi yang normal,
meskipun ada asumsi bahwa produksi telur yang rendah menandakan kinerja
enzim-enzim hati kurang maksimal, namun konsentrasi ALTL dan ASTL yang
normal mencerminkan kondisi ayam yang baik. Ernadi dan Kermanshahi (2007)
mengungkapkan bahwa enzim-enzim yang bekerja di hati seperti aspartate
amino-transfarase (ASTL), dan alanine-amino transaminase (ALTL) yang secara
langsung maupun tidak langsung mencerminkan kondisi kesehatan hati.
ALTL dan ASTL merupakan enzim-enzim dalam hati yang berperan
penting dalam sintesis asam amino dan pembentukan asam urat (Stevens, 1996).
Asam amino yang merupakan hasil perombakan protein. Dalam hati, protein akan
dibawa ke ovarium untuk perkembangan folikel melalui darah. Tinggi rendahnya
kadar ALTL dan ASTL dalam darah mengindikasikan kelancaran transpor
prekursor yolk, khususnya protein menuju ovarium.
33
F. Kadar Asam Urat
Asam urat merupakan sisa hasil metabolisme protein yang dihasilkan di
hati, ginjal, dan jaringan adiposa. Kadar asam urat dalam plasma darah ayam ras
petelur pada tingkat produksi yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 7.
Kadar Asam Urat (mg/dL)
14
12
10
8
6
4
7.03
6.60
8.26
8.63
2
6.13
0
1--20
21-40
41-60
61-80
Produksi Telur (%)
81-100
Gambar 7. Kadar asam urat plasma darah ayam ras petelur Lohman Brown pada
tingkat produksi telur yang berbeda (Garis vertikal mengindikasikan ±
standar deviasi).
Gambar 7 menunjukkan kadar asam urat dalam plasma darah pada tingkat
produksi yang berbeda tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata (P>0,05),
dengan kisaran nilai antara 6 – 9 mg/dL.
Asam urat merupakan indikasi
penggunaan asam amino, salah satunya untuk pembentukan telur. Hasil yang
diperoleh menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan penelitian Favlík et
al. (2007) yang melaporkan nilai asam urat ayam petelur Isa Brown yang berumur
75 minggu adalah 4,86 mg/dL.
Protein yang merupakan salah satu komponen utama dalam telur, sebagian
besar berasal dari hati. Asam urat dalam darah merupakan indikasi aktivitas
34
protein.
Konsentrasi asam urat dalam serum merupakan nilai indeks dari
metabolisme protein (Stevens, 1996). Penelitian yang dilakukan Mori dan George
(1978) pada angsa yang melakukan migrasi. Sebelum migrasi, konsentrasi plasma
darah angsa yang melakukan hyperphagy meningkat. Hal ini mengindikasikan
metabolisme protein yang lebih tinggi.
35
Download