status hematologis dan biokimia darah ayam ras petelur yang

advertisement
STATUS HEMATOLOGIS DAN BIOKIMIA DARAH AYAM RAS PETELUR
YANG DIPELIHARA PADA SISTEM PEMELIHARAAN INTENSIF DAN
FREE-RANGE PADA MUSIM KEMARAU
SKRIPSI
FAHMILLAH ISMAIL
I 111 09 002
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
STATUS HEMATOLOGIS DAN BIOKIMIA DARAH AYAM RAS PETELUR
YANG DIPELIHARA PADA SISTEM PEMELIHARAAN INTENSIF DAN
FREE-RANGE PADA MUSIM KEMARAU
SKRIPSI
Oleh:
FAHMILLAH ISMAIL
I 111 09 2002
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas
Peternakan Universitas Hasanuddin
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
ii
PERNYATAAN KEASLIAN
1.
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Fahmillah Ismail
NIM
: I 111 09 002
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa:
a. Karya skripsi yang saya tulis adalah asli
b. Apabila sebagian atas seluruhnya dari karya skripsi, terutama Bab Hasil
dan Pembahasan tidak asli atau plagiasi maka bersedia dibatalkan atau
dikenakan sanksi akademik yang berlaku.
2.
Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat dipergunakan
seperlunya.
Makassar,
Februari 2014
Fahmillah Ismail
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Penelitian
: Status Hematologis dan Biokimia Darah Ayam
Ras Petelur yang Dipelihara pada Sistem
Pemeliharaan Intensif dan Free Range pada
Musim Kemarau
Nama
: Fahmillah Ismail
No. Pokok
: I 111 09 002
Program Studi
: Produksi Ternak
Jurusan
: Produksi Ternak
Fakultas
: Peternakan
Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui oleh:
Pembimbing Utama
Prof. Dr. Ir. Hj. Sahari Banong, M.S.
NIP. 19450207 196901 2 001
Dekan Fakultas Peternakan
Prof. Dr. Ir. H. Syamsuddin Hasan, M.Sc
NIP. 19520923 197903 1 002
Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Wempie Pakiding, M. Sc.
NIP. 19640503 199003 1 002
Ketua Jurusan Produksi Ternak
Prof. Dr.Ir. H. Sudirman Baco, M.Sc,
NIP. 19641231 198903 1 025
Tanggal Lulus : 19 Mei 2014
iv
ABSTRAK
FAHMILLAH ISMAIL. I 111 09 002. Status Hematologis dan Biokimia Darah
Ayam Ras Petelur yang Dipelihara pada Sistem Pemeliharaan Intensif dan Freerange pada Musim Kemarau. Dibawah Bimbingan: Prof. Dr. Ir. Hj. Sahari
Banong, M.S dan Dr. Ir. Wempie Pakiding, M. Sc.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui status hematologis dan
biokimia darah ayam ras petelur yang dipelihara pada sistem pemeliharaan
intensif dan free-range di musim kemarau. Ayam ras petelur (Lohmann Brown)
berumur 52 minggu dipelihara dalam kandang batteray (cages) pada pemeliharaan
intensif dan kandang mobile (paddock) pada pemeliharaan free-range selama 60
hari. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3
perlakuan dan 3 kali ulangan. Pada sistem pemeliharaan free-range digolongkan
atas dua pola yaitu continuous grazing dan rotational grazing. Di akhir penelitian
dilakukan pengambilan sampel darah pada 2 ekor ayam setiap kelompok
percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem pemeliharaan yang
berbeda tidak mempengaruhi (P>0,05) nilai hematokrit, jumlah eritrosit, jumlah
leukosit, kadar kolesterol, kadar ASTL, kadar trigliserida, dan kadar urea pada
ayam ras petelur. Namun sistem pemeliharaan yang berbeda, berpengaruh sangat
nyata (P<0,01) terhadap kadar asam urat. Hasil penelitian ini menyimpulkan
bahwa perlakuan sistem pemeliharaan berbeda yakni intensif dan free-range tidak
mempengaruhi status fisiologis ayam ras petelur, kecuali pada level kadar asam
urat dalam darah.
Kata Kunci : Hematologis, Biokimia, Darah, Ayam Petelur, Intensif, Free-range
v
ABSTRACT
FAHMILLAH ISMAIL. I 111 09 002. Hematological and Biochemical Status of
Laying Hens Rared System in Intensive and Free-range in Summer. Under
Supervisor : Prof. Dr. Ir. Hj. Sahari Banong, M.S and co. Supervisor. Dr. Ir.
Wempie Pakiding, M. Sc.
The purpose of this study was to determine the status of haematological
and biochemical blood laying hens reared in intensive and free-range system in
summer. Laying hens (Lohmann Brown) 52-week-old kept in cages in intensive
care and mobile cage (paddock) on free-range system for 60 days. This research
used Completely Randomized Design with 3 group of treatment and 3 repeating.
In Free-range system consist of two pattern, it was continuous grazing and
rotational grazing. At the end of experiment were collected 2 bloods sample from
experimental groups. The result of this study showed that there were no
significant effect (P>0,05) of different housing system on the level of hematocrit,
number of erythrocyte, number of leucocyte, level of cholesterol, level of ASTL,
level of trigliserida, level of urea. But different housing system significantly to
level of uric acid. The research concluded that different housing system intensive
and free range system were not affect the physiological status of laying hens,
except on level of uric acid.
Keyword : Hematological, Biochemical, Blood, Laying Hens, Intensive, Freerange.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdullilah rabbil alamin, segala Puja dan Puji bagi Allah SWT,
sebanyak tetesan air hujan, sebanyak butiran biji-bijian, sebanyak makhluk-Nya
dilangit, dibumi dan diantara keduanya. Segala puja dan puji yang banyak dan tak
berkesudahan untuk Allah SWT, meskipun puja segala pemuji selalu kurang dari
sewajarnya.
Rasa syukur yang sangat dalam penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
segala berkat dan pertolongan-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian hingga penyusunan skripsi ini, yang merupakan salah satu persyaratan
untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Peternakan, Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Skripsi ini dapat diselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak, baik
bantuan moril maupun materil. Pada kesempatan ini dengan segala keikhlasan
dan kerendahan hati, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Syamsuddin Hasan, M.Sc selaku Dekan, beserta Jajarannya
Wakil Dekan I, II, III Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin dan
seluruh staf yang telah menerima dan membantu penulis dalam proses
akademik.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Baco, M. Sc. sebagai Ketua Jurusan
Produksi Ternak dan Bapak Dr. Muhammad Yusuf, S. Pt. sebagai Sekretaris
Jurusan, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin.
vii
3. Ibu Prof. Dr. Ir. Hj. Sahari Banong, MS. sebagai pembimbing utama dan
Bapak Dr. Ir. Wempie Pakiding, M. Sc. sebagai pembimbing anggota yang
telah bersedia meluangkan waktu dan memberikan arahan kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Serta mengajarkan banyak
hal tentang kedisiplinan.
4. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Herry Sonjaya,DEA.DES ., Bapak Prof. Dr. Ir. H.
Sudirman Baco, M. Sc., dan Bapak Prof. Dr. Ir. H. Ambo Ako, M. Sc.
sebagai pembahas yang telah memberikan masukan dalam proses perbaikan
skripsi ini.
5. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Basit Wello, M.Sc selaku penasehat akademik yang
senantiasa memberikan motivasi dan nasehat yang sangat berarti bagi penulis.
6. Ibu Prof. Dr. Ir. Hj. Sahari Banong, MS. selaku kepala laboratorium Produksi
Ternak Unggas Dan Prof. Dr. Ir. H. Herry Sonjaya,DEA.DES selaku kepala
laboratorium Fisiologi Ternak.
7. Ibu drh. Farida Nur Yuliaty, M.Si yang selalu memberikan nasehat dan
wejangan kepada penulis.
8. Bapak dan ibu dosen yang membimbing selama perkuliahan.
9. Kepada BOPTN selaku lembaga yang menyuplai dana pada penelitian tim
dosen Produksi Ternak Unggas sehingga kami dapat terlibat pada penelitian
ini.
10. Sembah sujudku kepada Ayahanda Drs. Ismail Latif, MM dan Ibunda
Farmawaty Farhum, SE. MM tercinta yang telah mengajarkan banyak hal,
viii
memberikan motivasi, dukungan, materi dan doa yang tak henti-hentinya
terucap untuk penulis.
11. Bapak Prof. Dr. Ir. Chair Rani, M.Si ., Dr. Ir. St. Aisyah Farhum, M.Si ., Ir.
Mini Farida Farhum,MT Selaku Orang tua kedua yang telah meluangkan
banyak waktu untuk memberikan pelajaran hidup kepada penulis.
12. Kepada Kakanda Muh. Rachman Hakim, S. Pt. M. P. dan Muhammad Azhar,
S.Pt di Laboratorium Ternak Unggas terima kasih sebesar-besarnya penulis
ucapkan atas bantuan, dukungan, serta motivasinya selama ini dalam
menyelesaikan skripsi.
13. Kepada Sahabat serta rekan-rekan Asisten Mikrobiologi dan Kesehatan
Ternak.
14. Kepada sahabat-sahabatku Urfiana Sara S.Pt, Bahri Syamsuryadi S.Pt,
Hamzah S.Pt, Budiman Tandiabang, M. Fadhil Haris, Randy Hidayat,
Rasmiati S.Pt,
Asma Bio Kimestri S.Pt, Lusiana Tandi B. Tiku, Ridha
Tunnisa S.Pt, Ahmad Affandi, Ahmad Mujahid, Aidil Amirullah, Rajmi
Faridah, dan terima kasih atas segala hal, segala bantuan dan kebersaman
yang kalian berikan kepada penulis selama penulis kuliah di Fakultas
Peternakan.
15. Kepada Rahmi Syamsuddin, Haikal, Rajma Fastawa, dan Trianta Tahir yang
membantu selama pengambilan data penelitian.
16. Kawan-kawan“MERPATI 09” terima kasih telah menemani penulis disaat
suka maupun duka selama menempuh pendidikan di bangku kuliah.
ix
17. Kepada Spider 03, Hamster 04, Lebah 05, Colagen 06, Bakteri 08, dan LION
10.
18. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebut satu persatu, Terima Kasih atas
bantuannya.
Melalui kesempatan ini penulis mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya mendidik, apabila dalam penyusunan skripsi ini terdapat kekurangan dan
kesalahan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca
Amin
Makassar, April 2014
Fahmillah Ismail
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL ..............................................................................
i
HALAMAN JUDUL……………………………………………………
ii
PERNYATAAN KEASLIAN ………………………………………….
iii
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................
iii
ABSTRAK ……………………………………………………………….
iv
ABSTRACT ……………………………………………………………..
v
KATA PEGANTAR ..................................................................................
iv
DAFTAR ISI ..............................................................................................
xi
DAFTAR TABEL .....................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………
xiv
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………….
xv
PENDAHULUAN ………………………………………………………..
1
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Ayam Petelur ...................................................
4
B. Sistem Pemeliharaan Intensif …………………………………
6
C. Sistem Pemeliharaan Free Range ...............................................
8
D. Profil Hematologi dan Biokimia Darah Ayam petelur………….
10
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat .............................................................................
18
xi
Materi Penelitian …………………………………………………….
18
Rancangan Penelitian ………………………………………………...
18
Prosedur Penelitian …………………………………………………
19
Manajemen Pemeliharaan Ternak …………………………………..
20
Parameter yang Diukur ……………………………………………...
21
Analisa Data …………………………………………………………
24
HASIL DAN PEMBAHASAN
Nilai Hematokrit ……………………………………………………
26
Jumlah Eritrosit……………………………………………………...
28
Jumlah Leukosit……………………………………………………..
30
Kadar Kolesterol……………………………………………………
32
Kadar Asam Urat……………………………………………………
34
Kadar ASTL………………………………………………………..
36
Kadar Trigliserida……………………………………………………
38
Kadar Urea………………………………………………………….
40
KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………………
42
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………
43
RIWAYAT HIDUP
xii
DAFTAR TABEL
No.
1.
2.
Halaman
Teks
Parameter hematologis dan biokimia darah ayam ras petelur pada
peneliti sebelumnya. .........................................................................
16
Komposisi Ransum Basal selama Penelitian ………………………
21
xiii
DAFTAR GAMBAR
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Teks
Halaman
Nilai Hematokrit ayam ras petelur yang di pelihara pada sistem
pemeliharaan intensif dan free range ............................................
Jumlah Eritrosit darah ayam ras petelur yang di pelihara pada sistem
pemeliharaan intensif dan free range ............................................
Jumlah Leukosit darah ayam ras petelur yang di pelihara pada sistem
pemeliharaan intensif dan free range ............................................
Kadar Kolesterol darah ayam ras petelur yang di pelihara pada sistem
pemeliharaan intensif dan free range ............................................
Kadar Asam Urat darah ayam ras petelur yang dipelihara pada sistem
pemeliharaan intensif dan free range ............................................
Kadar ASTL (Aspartate Aminotransferase) darah ayam ras petelur
yang di pelihara pada sistem pemeliharaan intensif dan free range..
Kadar Trigliserida darah ayam ras petelur yang dipelihara pada sistem
pemeliharaan intensif dan free range ............................................
Kadar Urea darah ayam ras petelur yang di pelihara pada sistem
pemeliharaan intensif dan free range………………………………….
26
28
31
33
35
36
38
40
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Halaman
Teks
Hasil analisis ragam terhadap nilai hematokrit ayam ras petelur yang
dipelihara pada sistem pemeliharaan berbeda. ................................
49
Hasil analisis ragam terhadap jumlah eritrosit ayam ras petelur yang
dipelihara pada sistem pemeliharaan berbeda. ................................
50
Hasil analisis ragam terhadap jumlah leukosit ayam ras petelur yang
dipelihara pada sistem pemeliharaan berbeda. ................................
51
Hasil analisis ragam terhadap kadar asam urat ayam ras petelur yang
dipelihara pada sistem pemeliharaan berbeda. ................................
52
Hasil analisis ragam terhadap kadar ASTL ayam ras petelur yang
dipelihara pada sistem pemeliharaan berbeda. ................................
54
Hasil analisis ragam terhadap kadar trigliserida ayam ras petelur yang
dipelihara pada sistem pemeliharaan berbeda. ................................
55
Hasil analisis ragam terhadap kadar urea darah ayam ras petelur yang
dipelihara pada sistem pemeliharaan berbeda. ................................
56
Hasil analisis ragam terhadap kadar kolesterol ayam ras petelur yang
dipelihara pada sistem pemeliharaan berbeda. ................................
57
Standar normal hematologi dan biokimia darah ayam ras petelur …..
58
xv
PENDAHULUAN
Perkembangan usaha peternakan di Indonesia mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun, khususnya dalam pengembangan ayam ras petelur. Selain
menjanjikan keuntungan yang besar, beternak ayam ras petelur juga memiliki
kelebihan dari segi manajemen pemeliharaan yang tidak terlalu sulit. Di Negaranegara besar seperti di Eropa mulai mengembangkan inovasi maupun teknologi
yang menunjang dalam pengembangan ayam ras petelur ini. Bahkan sudah
diberlakukan
larangan
konvensional
perkandangan
yang
didasari
oleh
kekhawatiran publik tentang kesejahteraan ayam petelur (Anonim, 1999). Sejak
itu, kandang hanya diperbolehkan sebagai sarang, tempat bertengger, dan mandi
debu, serta fasilitas yang dapat meningkatkan perilaku alami ternak (Wall dan
Tauson, 2002).
Inovasi yang berhasil dikembangkan salah satunya adalah dengan sistem
free-range. Sistem free-range adalah sistem pemeliharaan dengan mengumbar
ayam di padang pengembalaan. Sistem ini juga merupakan salah satu jawaban
dari segala ketakutan masyarakat akan makanan asal ternak yang cenderung
menggunakan antibiotika yang dapat menyebabkan residu antibiotik. Menurut Jin
et al.
(1997) residu antibiotik pada produk peternakan akan menyebabkan
berkembangnya mikroba yang resisten dalam tubuh ternak maupun tubuh manusia
yang
mengkonsumsinya.
Dengan
adanya
sistem
free-range
diharapkan
kesejahteraan bagi ayam ras petelur itu sendiri, sehingga menghasilkan produk
alami yang bebas dari residu. Sistem free-range dewasa ini telah dikembangkan
1
sebagai alternatif pola budidaya untuk menjawab besarnya permintaan konsumen
akan produk alami. Sistem ini juga dapat meningkatkan efisiensi usaha peternakan
ayam ras pada skala usaha yang lebih kecil di pedesaan oleh karena diusahakan
secara ekstensif. Dari sistem ini diharapkan mampu menghasilkan produk organik.
Lebih lanjut dikemukakan oleh Sundrum (2005) bahwa produksi ayam organik
lebih menitik beratkan pada kesehatan ternak dan welfare, lingkungan yang baik
dan kualitas produk yang sehat dan berkualitas. Welfare adalah tingkat
kesejahteraan hewan, yakni hewan diberikan kebebasan seperti kehidupan
seharusnya. Sistem pemeliharaan free-range menghasilkan ayam dengan level
welfare lebih tinggi yang menghasilkan kualitas produk yang lebih baik
(Pavlovski et al., 2009). Hal ini disebabkan ayam yang dipelihara dengan sistem
free-range akan mengekspresikan insting yang lebih alami yang mengindikasikan
derajat kesehatan ternak (Sosnowka-Czajka et al., 2007).
Sistem free-range terdiri atas 2 jenis sistem pemeliharaan yakni sistem
rotational dan continuous. Rotational grazing adalah pola merumput dimana
hewan dikandangkan dan dilakukan rotasi/perpindahan tempat merumput.
Sedangkan continuous grazing adalah pola merumput yang berkelanjutan yang
mana hewan merumput di lahan yang lebih luas (Pištěková et al, 2006).
Pada dasarnya ayam yang dipelihara secara intensif dan ekstensif
menunjukkan perbedaan dari segi fisiologis khususnya pada sirkulasi darah di
dalam tubuhnya. Perbedaan perlakuan inilah yang juga dapat mempengaruhi
produksi telur karena diindikasikan adanya perbedaan dari sistem transport darah.
Darah sangat berperan penting dalam proses pembentukan telur karena yolk dan
2
albumen mampu terbentuk karena adanya darah yang membawa komponen
penyusun darah. Oleh karena itu perbedaan perlakuan dengan sistem free-range
terutama pada musim kemarau diharapkan ayam memiliki sistem sirkulasi darah
yang lebih baik jika dibandingkan sistem intensif, sehingga akan lebih menunjang
dalam menghasilkan produk organik.
Secara umum penelitian-penelitian sebelumnya yang ada menggunakan
ayam ras petelur dan karakteristik darah sebagai parameternya cenderung hanya
pada pola intensif saja. Oleh karena itu perlu pula dilakukan penelitian lebih lanjut
mengenai karakteristik darah khususnya status hematologis dan biokimia darah
ayam ras petelur yang di pelihara secara intensif dan free-range pola continuous
dan rotational.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui status hematologis dan
biokimia darah ayam ras petelur yang dipelihara dengan sistem pemeliharaan freerange maupun intensif.
Kegunaan dari penelitian ini yaitu diharapkan dengan mengetahui
perbedaan status hematologis dan biokimia darah antara ayam ras petelur yang
dipelihara dengan sistem pemeliharaan intensif dan free-range pola rotational dan
continuous dapat menjadi acuan dalam manajemen pemeliharaan ayam ras petelur
khususnya dalam menghasilkan ayam organik.
3
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum mengenai Ayam Petelur
Ayam domestik termasuk dalam spesies Gallus gallus tetapi terkadang
ditujukan kepada Gallus domesticus.
Ayam diklasifikasikan sebagai berikut
(Scanes et al., 2004) :
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Aves
Superordo : Carinatae
Ordo
: Galliformes
Famili
: Phasianidae
Genus
: Gallus
Spesies
: Gallus gallus
Asal mula ayam petelur berasal dari ayam liar yang ditangkap dan
dipelihara karena mampu menghasilkan telur yang banyak. Tahun demi tahun
ayam hutan dari wilayah dunia diseleksi secara ketat oleh para pakar. Arah seleksi
ditujukan pada produksi yang banyak sehingga seleksi tadi mulai lebih spesifik.
Pada awal tahun 1900-an, ayam liar itu tetap pada tempatnya akrab dengan pola
kehidupan masyarakat dipedesaan. Kemudian pada tahun 1940-an, orang mulai
mengenal ayam yang saat itu dipelihara oleh penduduk Belanda, sehingga diberi
nama ayam Belanda atau ayam negeri. Pada perkembangan selanjutnya, ayam liar
ini disebut ayam lokal atau ayam kampung, sedangkan ayam Belanda disebut
ayam ras (Suprijatna, 2008).
4
Ayam yang pertama masuk dan mulai diternakkan pada periode ini
adalah ayam ras petelur White Leghorn yang kurus dan umumnya setelah habis
masa produktifnya. Pada akhir periode tahun 1990-an mulai merebak peternakan
ayam pedaging yang memang khusus untuk daging, sementara ayam petelur
dwiguna/ayam petelur cokelat mulai menjamur pula. Disinilah masyarakat mulai
sadar bahwa ayam ras mempunyai klasifikasi sebagai petelur handal dan pedaging
yang enak (Suprijatna, 2008).
Ayam petelur adalah ayam-ayam betina dewasa yang dipelihara dengan
tujuan untuk diambil telurnya. Berbagai seleksi telah dilakukan, salah satunya
diarahkan pada warna kulit telur hingga kemudian dikenal ayam petelur putih dan
ayam petelur cokelat. Persilangan dan seleksi itu dilakukan cukup lama hingga
menghasilkan ayam petelur seperti yang ada sekarang ini. Dalam setiap kali
persilangan, sifat jelek dibuang dan sifat baik dipertahankan (“terus dimurnikan”).
Inilah yang kemudian dikenal dengan ayam petelur unggul (Suprijatna, 2008).
Berdasarkan sistem pemeliharannya ayam petelur dibagi menjadi 2 yakni
sistem pemeliharaan ekstensif dan intensif. Pemeliharaan intensif adalah sistem
pemeliharaan dengan cara mengkandangkan ayam, di Indonesia khususnya
cenderung menggunakan kandang batteray bertingkat (Anonim, 2013a),
sedangkan pemeliharaan secara ekstensif adalah sistem pemeliharaan dengan cara
mengumbar ayam di padang pengembalaan. Dalam hal ini dikenal dengan istilah
free-range. Pada peternakan rakyat umumnya masih mempertahankan sistem
pemeliharaan intensif.
5
Menurut Rasyaf (2007) terdapat dua macam tipe ayam petelur, yaitu :
1.) Tipe ayam petelur ringan : ayam ini sering disebut dengan ayam petelur putih
yang mempunyai ciri-ciri badan ramping atau kecil mungil, bulunya putih bersih
dan berjengger merah. Ayam tipe ini umumnya berasal dari galur murni White
Leghorn yang mampu bertelur lebih dari 260 butir/tahun. Ayam tipe ini sensitif
terhadap cuaca panas dan keributan.
2.) Tipe ayam petelur medium : bobot badan ayam ini cukup berat, sehingga
ayam ini disebut ayam dwiguna. Ayam ini umumnya mempunyai bulu berwarna
coklat dan menghasilkan telur berwarna coklat pula. Ayam tipe ringan akan mulai
menginjak masa bertelur pada umur 15-16 minggu, sedangkan ayam tipe medium
mulai bertelur antara 22-24 minggu. Salah satu tipe ayam petelur medium adalah
strain Isa Brown. Ayam tipe ini berkarakteristik tenang, tubuh sedang, warna telur
dan bulu coklat. Strain Isa Brown mulai di kembangkan pada tahun 1972 yang
memiliki produksi telur tinggi yakni sekitar 300 ekor lebih /tahun.
B. Sistem Pemeliharaan Intensif
Sistem pemeliharaan intensif adalah sistem pemeliharaan dengan cara
mengkandangkan ayam, di Indonesia khususnya cenderung menggunakan
kandang batteray bertingkat (Anonim, 2013a). Pada peternakan rakyat, sistem
pemeliharaan secara intensif lebih populer jika dibandingkan dengan ekstensif.
Ditinjau dari segi manajemen pemeliharaan, tidak di ragukan lagi bahwasanya
pemeliharaan intensif memiliki kelebihan karena lebih mudah dalam pemberian
pakan, minum, pembersihan kotoran/feses dan pemanfaatan kembali feses hasil
kotoran tersebut untuk menjadi pupuk. Dari segi penanganan kesehatan, sistem
6
intensif juga lebih mudah karena ternak lebih mudah untuk diberi vaksin maupun
pemberian antibiotik jika dibutuhkan (Anonim, 2013a).
Namun, memiliki kelebihan bukan berarti tidak memiliki kekurangan.
Menurut Syarif (2003) sistem intensif memang menjanjikan dari segi produksi
maupun penghasilan, tetapi perlu diketahui bersama bahwa sistem intensif
membutuhkan banyak tenaga, membutuhkan takaran pakan yang sesuai,
ketersediaan air minum. Selain itu penggunaan pestisida kandang dapat merusak
organisme lain yang berada di sekitarnya seperti rumput dan dapat pula
mencemarkan lingkungan.
Negara-negara besar di Eropa telah memberlakukan larangan tentang
perkandangan konvensional atau sistem pemeliharaan intensif. Larangan ini
diberlakukan atas dasar animal welfare (Wall dan Tauson, 2002). Selain itu
pertimbangan lainnya adalah penggunaan antibiotik yang dimasukkan ke dalam
pakan dan dapat menyebabkan residu antibiotik. Hal ini akan sangat berbahaya
jika dikonsumsi dalam jangka panjang.
Sistem pemeliharaan intensif sangat kontroversial jika dibandingkan
dengan yang ada di Indonesia. Di Indonesia sistem pemeliharaan intensif sudah
merupakan hal yang lumrah. Beberapa pertimbangan lain menyatakan bahwa
sistem intensif lebih baik dikarenakan higienitasnya lebih terjamin, ayam dan
feses tidak bercampur sehingga kontaminasi akan penyakit akan lebih
terminimalisir (Syarif, 2003).
Ayam yang dipelihara pada sistem pemeliharaan intensif memiliki
keterbatasan dalam beraktivitas. Hal ini menyebabkan berbagai kondisi fisiologis
7
di dalam tubuh ayam berbeda, salah satunya yaitu kondisi hematologi khususnya
jumlah sel darah merah. Minimnya aktifitas dari ayam menyebabkan kurangnya
energi yang dibutuhkan, energi yang sedikit menyebabkan produksi sel darah
kurang sebab kebutuhan akan sel darah merah juga sedikit. Selain itu, dalam hal
produksi telur ayam yang dipelihara pada sistem pemeliharaan intensif
menghasilkan telur dengan kualitas kerabang yang tebal dan bobot telur yang
lebih berat. Hal ini dikarenakan proporsi energi yang di keluarkan oleh ayam
hanya berfokus pada bertelur dan maintenance (Suchẏ et.al, 2004) .
C. Sistem Pemeliharaan Free Range (Umbar)
Istilah back to nature sudah merebak ke seluruh sudut dunia, termasuk
dunia peternakan ayam. Dengan adanya prinsip ini diharapkan insting alamiah
ayam dapat kembali seperti awalnya, sehingga ayam tidak akan tergantung lagi
sepenuhnya pada pakan komersil yang cenderung mengandung antibiotika.
Selangkah lebih maju dari prinsip inilah sehingga muncul sistem pemeliharaan
free range untuk menciptakan ayam organik (Santoso, 2012). Sistem free-range
dewasa ini telah dikembangkan sebagai alternatif pola budidaya untuk menjawab
besarnya permintaan konsumen akan produk alami. Sistem budidaya ini juga
dapat meningkatkan efisiensi usaha peternakan ayam ras pada skala usaha yang
lebih kecil di pedesaan oleh karena diusahakan secara ekstensif. Produk
peternakan yang dihasilkan secara alami diyakini sebagai makanan yang lebih
sehat dibanding dengan produk unggas yang dihasilkan dari sistem budidaya
intensif. Secara umum ayam ras dipelihara secara intensif dengan tingkat
kepadatan yang tinggi dan sepanjang hidupnya ayam tidak memiliki kesempatan
8
untuk hidup secara alami. Diyakini pula bahwa produk dari ayam yang dipelihara
pada sistem free-range (dipelihara secara bebas di padang rumput) lebih sehat
dibanding dengan ayam yang dipelihara dalam kandang (Fanatico et al., 2006).
Pemeliharaan secara alami yaitu sistem pemeliharaan free-range
menghasilkan ayam dengan level welfare lebih tinggi menghasilkan kualitas
produk yang lebih baik (Pavlovski et al., 2009). Hal ini disebabkan ayam yang
dipelihara dengan sistem free-range akan mengekspresikan insting yang lebih
alami yang mengindikasikan derajat kesehatan ternak (Sosnowka-Czajka et al.,
2007). Lebih lanjut Castellini et al. (2002) dan Lomu et al. (2004) melaporkan
bahwa kondisi pemeliharaan yang lebih alami dan peningkatan aktifitas dari ayam
dapat menurunkan kadar lemak, kolesterol dan residu antibiotik pada daging dan
telur. Bogossavijevic-Boscovic et al. (2006) menyimpulkan bahwa sistem
pemeliharaan ayam adalah satu dari sekian banyak faktor non-genetik yang sangat
mempengaruhi kualitas dari produk ayam.
Sistem pemeliharaan free-range itu sendiri secara garis besar terdiri atas
dua jenis pemeliharaan, yaitu rotational grazing dan continuous grazing.
Rotational grazing adalah pola merumput dimana hewan dikandangkan dan
dilakukan rotasi/perpindahan tempat merumput. Sedangkan continuous grazing
adalah pola merumput yang berkelanjutan yang mana hewan merumput di lahan
yang lebih luas. Di Negara-negara berkembang khususnya Negara Eropa lebih
cenderung menggunakan free-range pola continuous, selain memiliki lahan yang
cukup luas pola continuous juga lebih efisien dalam pengawasannya. Sistem
pemeliharaan free-range juga memiliki keunggulan lebih dibanding sistem
9
pemeliharaan intensif. Khususnya dalam hal kualitas telur, sistem free-range
menghasilkan telur yang memiliki kualitas yolk dan albumin yang lebih baik.
Albumin yang dihasilkan lebih kental dibanding albumin telur yang dipelihara
pada sistem pemeliharaan intensif (Pištěková et al, 2006).
D. Profil Hematologis dan Biokimia Darah pada Ayam Ras Petelur
Hematologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang darah dan salah
satu bagian penting dalam proses diagnosa suatu penyakit serta berperan dalam
ilmu patologi klinis. Ilmu ini tidak hanya mencakup pemeriksaan susunan sel
darah, tapi juga mencakup studi mengenai jaringan yang membentuk, menyimpan
dan mensirkulasikan sel-sel darah (Anonim, 2012). Menurut Jain (1993)
pemeriksaan hematologis pada hewan berfungsi sebagai screening test untuk
menilai kesehatan secara umum, kemampuan tubuh melawan infeksi untuk
evaluasi status fisiologis hewan dan untuk membantu menegakkan diagnosa.
Dalam peternakan ayam petelur, peranan hematologi juga sangat penting dalam
menentukan kesehatan ayam. Diduga ayam yang dipelihara pada sistem
pemeliharaan yang berbeda akan memiliki karakteristik hematologis yang berbeda
pula.
Darah merupakan komponen penting yang berperan dalam proses-proses
fisiologis dalam tubuh yang mengalir melalui pembuluh darah dan sistem
kardiovaskular. Menurut Sturkie (1976), darah dapat berfungsi sebagai
penyerapan dan transport zat-zat nutrient dari saluran pencernaan ke seluruh
jaringan, mengangkut gas-gas dalam darah dari dan menuju jaringan-jaringan,
membuang hasil sisa proses metabolisme, dan mengatur keseimbangan
10
konsentrasi air pada jaringan tubuh serta darah juga berperan penting dalam
proses regulasi dan pengaturan suhu tubuh pada makhluk hidup.
Darah mentransportasikan substrat metabolik yang dibutuhkan oleh
seluruh sel di tubuh, termasuk oksigen, glukosa, asam amino, asam lemak dan
beberapa lipid. Darah juga membawa keluar beberapa produk metabolit yang
dikeluarkan oleh setiap sel seperti karbondioksida, asam laktat, buangan
bernitrogen dari metabolisme protein dan panas (Cunningham, 2002). Menurut
Colville dan Bassert (2008), fungsi darah adalah sebagai sistem transportasi,
sistem regulasi, dan sistem pertahanan.
Darah memenuhi sekitar 12% dari bobot badan dari anak ayam yang
baru menetas dan sekitar 6-8% pada ayam dewasa (Bell, 2002). Darah tersusun
atas sel darah (eritrosit, leukosit dan trombosit) yang bersirkulasi dalam cairan
yang disebut plasma darah (Meyer dan Harvey, 2004). Jika darah diberi
antikoagulan dan dilakukan sentrifugasi, maka dapat terlihat darah terdiri dari
plasma 55% dan sel 45% yang terdiri atas leukosit, eritrosit dan trombosit.
Jumlah leukosit lebih sedikit dibandingkan dengan eritrosit dan trombosit.
Jumlah sel darah merah (eritrosit) pada unggas berbeda dengan jumlah
sel darah merah pada mamalia. Daur hidup dari eritrosit pada unggas cenderung
sangat singkat dibandingkan mamalia. Rata-rata daur hidup eritrosit manusia
sekitar 50 sampai 60 hari, sedangkan pada unggas rata-rata 28 sampai 35 hari
(Sturkie, 1976). Tingkat metabolisme yang tinggi pada unggas mengakibatkan
kinerja eritrosit lebih tinggi pula, sehingga sel darah merah cepat mati dan
kembali bersiklus. Pada unggas, temperatur tubuh yang tinggi menyebabkan
11
tingkat proses metabolisme juga semakin meningkat. Hal tersebut mengakibatkan
pengangkutan darah harus lebih cepat.
Menurut Sturkie (1976), bahwa eritrosit unggas memiliki daur hidup
yang singkat namun daya tahannya cukup tinggi. Sel darah merah pada mamalia
akan mengalami hemolisa seluruhnya dengan penambahan NaCl sekitar 0,3 – 0,45
%. Sedangkan, pada eritrosit unggas, dengan penambahan NaCl 0,40 - 0,48%, sel
darah merah mulai mengalami hemolisis, dan akan hemolisis seluruhnya pada
konsentrasi NaCl 0,27 – 0,28 %.
Penyesuaian bentuk sel darah merah terhadap proses fisiologis tubuh
unggas antara lain dengan tingkat fleksibilitas sel darah untuk mampu bergerak
bebas dengan kecepatan yang tinggi dalam memenuhi kebutuhan panas tubuh dari
unggas. Eritrosit pada unggas memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan
eritrosit pada mamalia. Ukurannya bervariasi tergantung dari spesiesnya
(Gunnarson, 2012). Ukuran yang lebih besar terkait dengan jumlah molekul
globin yang mampu dibawa dalam satu sel darah merah. Meskipun ukuran sel
darah merah unggas lebih besar, namun bentuknya lebih datar, sehingga
pergerakan sel darah merah lebih cepat.
Persentase dari jumlah sel darah dapat dihitung melalui penentuan nilai
hematokrit. Nilai hematokrit merupakan persentase sel darah merah (eritrosit)
yang terdapat dalam darah makhluk hidup (Anonim, 2013b). Nilai hematokrit
atau packed cell volume adalah suatu istilah yang artinya persentase (berdasar
volume) dari darah yang terdiri atas sel darah merah (Frandson, 1996). Mary
(2009) menyatakan bahwa nilai hematokrit adalah volume semua eritrosit dalam
12
100 ml darah dan disebut dengan persentase dari volume darah itu. Biasanya nilai
itu ditentukan dengan darah vena / kapiler.
Nilai viskositas pada darah bervariasi, seperti halnya nilai hematokrit.
Plasma, tanpa sel-sel, dan partikel-partikel lainnya memiliki nilai viskositas 1,3
(air murni memiliki nilai viskositas 1). Menurut Cunningham (2002), hematokrit
mempengaruhi viskositas darah.
Semakin besar persentase sel dalam darah
(hematokrit) akan semakin besar gesekan yang terjadi antara berbagai lapisan
darah, dan gesekan ini membentuk viskositas (Guyton dan Hall, 1997). Darah
mamalia dengan nilai hematokrit normal 45 % memiliki nilai viskositas 2,4 kali
dari nilai viskositas plasma ( Berne dan Levy, 1992).
Sel darah padat dipisahkan dari plasma menggunakan sentrifuge dengan
kecepatan 3000 rpm. Sturkie (1976) melakukan sentrifugasi terhadap darah ayam,
angsa, dan kalkun pada 3215 X gravitasi selama 30 menit dalam tabung kecil dan
ditentukan nilai hematokrit, dan jumlah plasma yang terbentuk.
Selain eritrosit, trombosit, dan leukosit, terdapat pula hemoglobin.
Hemoglobin merupakan zat warna (pigmen) darah yang berupa ikatan kompleks
protein terkonjugasi, dibentuk oleh pigmen dan protein sederhana. Protein ini
adalah suatu histon yang disebut globin. Warna merah dari hemoglobin
disebabkan oleh heme, suatu ikatan metalik mengandung sebuah atom besi
(Swenson, 1993). Sintesis hemoglobin dimulai dalam proeritroblas dan kemudian
dilanjutkan sedikit dalam stadium retikulosit dalam sumsum tulang.
Komponen darah yang lain adalah plasma. Plasma darah adalah
komponen darah berbentuk cairan berwarna kuning yang menjadi medium sel-sel
13
darah, dimana sel darah ditutup, yang berbentuk butiran-butiran darah. Di
dalamnya terkandung benang-benang fibrin/fibrinogen yang berguna untuk
menutup luka yang terbuka. Plasma darah merupakan komponen terbesar dalam
darah, dimana besar volumenya 55% dari volume darah yang terdiri dari 90%
berupa air dan 10% berupa larutan protein, glukosa, faktor koagulasi, ion mineral,
hormon dan karbon dioksida, karena dinding kapiler permiabel bagi air dan
elektrolit maka plasma darah selalu ada dalam pertukaran zat dengan cairan
interstisial. Dalam waktu 1 menit sekitar 70% cairan plasma bertukaran dengan
cairan interstisial (Subekti, 2010).
Fungsi plasma darah adalah mengangkut sari makanan ke sel-sel serta
membawa sisa pembakaran dari sel ke tempat pembuangan serta menghasilkan zat
kekebalan tubuh terhadap penyakit atau zat antibodi (Subekti, 2010). Plasma
darah banyak membawa zat-zat makanan, misalnya: protein, glukosa, lemak , dan
kalsium, kemudian dialirkan ke seluruh bagian tubuh.
Kadar glukosa dalam darah relatif terkendali karena dipertahankan oleh
proses homeostatis dalam tubuh. Homeostatis adalah suatu proses yang terjadi
secara terus-menerus untuk memelihara stabilitas dan beradaptasi terhadap
kondisi lingkungan sekitarnya. Menurut Fanny (2013) homeostatis merupakan
mekanisme tubuh untuk mempertahankan keseimbangan dalam menghadapi
berbagai kondisi yang dialaminya baik lingkungan luar maupun di dalam
tubuhnya. Homeostatis fisiologis, terjadi melalui 4 cara : (1) Pengaturan diri (self
regulation). Secara otomatis, cara ini terjadi pada orang yang sehat, seperti
pengaturan fungsi organ tubuh. (2) Kompensasi. Tubuh akan cenderung bereaksi
14
terhadap ketidak normalan dalam tubuh. Contoh : pelebaran pupil untuk
meningkatkan persepsi visual pada saat tubuh mengalami ancaman. (3) Umpan
balik negatif. Cara ini merupakan penyimpangan dari keadaan normal. Contoh :
apabila tekanan darah meningkat akan meningkatkan baroseptor. (4) Umpan balik
positif. Untuk mengoreksi ketidak seimbangan fisiologis. Contoh : terjadinya
proses peningkatan denyut jantung untuk membawa darah dan oksigen yang
cukup ke sel tubuh apabila seseorang mengalami hipoksia.
Tingkat
perubahan
glycaemia
dalam
proses
pertumbuhan
dan
pematangan tergantung dari asupan nutrisi, performans produksi, serta perubahan
lingkungan (Nasreldin et al., 1988). Kolesterol berhubungan erat dengan
metabolisme asam empedu , hormon steroid, dan zat-zat lainnya (Griffin, 1992).
Umur juga berpengaruh terhadap perubahan kadar kolesterol (Suchẏ et al., 1999).
Menurut Jerabek et al.(1993) penilaian hematologi dapat meliputi jumlah
eritrosit dan nilai hematokrit darah, sedangkan biokimia darah meliputi kadar
glukosa, kolesterol, dan asam urat. Beberapa peneliti sebelumnya telah melakukan
pengujian terhadap ayam ras petelur dengan parameter seperti ini. Hasilnya dapat
dilihat pada Tabel 1.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya pada Tabel 1, maka dapat
dilihat bahwa terdapat nilai yang cukup bervariasi. Misalnya saja nilai eritrosit
darah yang memiliki kisaran antara 2,08 sampai 3.15 T/l, sedangkan pada
hematokrit kedua peneliti menggunakan satuan yang berbeda sehingga hasil yang
berbeda pula. Pada kadar ASTL 170,6 mg/dL, kolesterol 90-99mg/dL, dan asam
urat 4.86mg/dL. Pada parameter ASTL, kolestrol dan asam urat belum memiliki
15
peneliti yang membandingkan hal tersebut sehingga belum dapat dibandingkan
seperti parameter lainnya.
Tabel 1.Parameter hematologis dan biokimia darah ayam ras petelur pada
peneliti sebelumnya.
Parameter
Selama Bertelur
a
Jumlah eritrosit (T/l)
2.27 – 2.52
Jumlah eritrosit (T/l)b
2.16
c
Jumlah eritrosit (T/l)
3.15
Jumlah eritrosit (T/l)d
2.08 – 2.27
Hematokrit (l/l)b
0.26
Hematokrit (%)d
28,2 -31,1
ASTL (U/l)g
170,6
e
Kolesterol (mg/dL)
90 – 99
Asam Urat (mg/dL)f
4.86
Ket :
a = Uko dan Ataja (1996)
b = Strakova et al. (2001)
c = Tumora et al. (2004)
d = Lichovnikova et al. (2002)
e = Denli et al. (2008)
f = Favlik et al. (2007)
g = Matur et al. (2010)
Menurut Strakova et al. (2001) variasi nilai hematokrit dan eritrosit pada
darah dapat diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain strain ayam,
perkandangan, pakan dan lain-lain. Peningkatan jumlah eritrosit saat bertelur
disebabkan oleh aktivitas metabolisme dalam tubuh meningkat, sehingga
diperlukan sel darah dalam jumlah yang lebih banyak untuk mentransportasikan
O2 yang dibutuhkan untuk metabolisme tubuh. Jumlah sel darah yang meningkat
selama priode bertelur akan meningkatkan nilai hematokrit.
Selain itu adapula indikator lain yakni mengarah pada sel darah
putih/leukosit. Leukosit secara umum berkaitan dengan sistem imun dan
kekebalan tubuh. Namun keterkaitan sel darah putih masih secara umum dan perlu
dilakukan diferensiasi terlebih dahulu (Puvaldopirod dan Thaxton, 2000).
16
Kolesterol adalah metabolit yang mengandung lemak sterol (waxy
steroid) yang ditemukan pada membran sel dan disirkulasikan dalam plasma
darah. Kolesterol darah merupakan sejenis lipid yang merupakan molekul lemak.
Kolesterol merupakan zat yang berguna untuk menjalankan fungsi tubuh,
kolesterol berasal dari lemak. Selain berguna untuk proses metabolisme,
kolesterol berguna untuk membungkus jaringan saraf, melapisi selaput sel
(Anonim, 2014b).
Trigliserida merupakan sejenis lemak yang proporsinya
terbesar pada lemak dalam makanan, merupakan cadangan energi yang disimpan
di dalam jaringan adiposa dan otot. Jika tubuh membutuhkan energi, maka
trigliserida dilepaskan untuk dimetabolisme menjadi energi. Sementara kolesterol
juga merupakan senyawa semacam lemak, terdapat didalam makanan dan didalan
darah. Kolesterol dan trigliserida tidak larut di dalam darah sehingga diperlukan
kendaraan untuk mengangkutnya yaitu lipoprotein (Anonim, 2014b). Asam urat
erat kaitannya dengan urea. Asam urat dan urea merupakan sisa hasil metabolisme
protein, pada keadaan normal asam urat dikeluarkan dari tubuh melalui proses
penyaringan (filtrasi). Adapula parameter yang erat mengkondisikan kesehatan
hati yakni ASTL. ASTL erat kaitannya dengan enzim dalam hati yang berperan
penting dalam sintesis asam amino dan pembentukan asam urat (Stevens, 1996).
Tinggi rendahnya kadar ASTL dalam darah mengindikasikan kelancaran transport
protein dalam darah.
17
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November sampai dengan
Desember 2013, bertempat di Laboratorium Produksi Ternak Unggas dan
Laboratorium Fisiologi Ternak , Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin.
Materi Penelitian
Bahan utama penelitian ini adalah ayam ras petelur strain Lohman Brown
fase layer sebanyak 72 ekor. Bahan-bahan pendukung antara lain; konsentrat
layer, jagung, dedak, antikoagulan EDTA K3, larutan Hayem, wax, alkohol 70 %,
HCL 0,1 N, aquades, kertas label, kertas saring, cover glass, dan kapas.
Alat yang digunakan antara lain : tabung reaksi, mikrohematokrit,
centrifuge, mikroskop, haemocytometer (terdiri dari pipet dan kamar hitung),
Cobas c111, dan spoit.
Rancangan Penelitian
Penelitian dilakukan secara experiment dengan menggunakan Rancangan
Acak Lengkap (RAL) 3 perlakuan dan 3 ulangan (setiap ulangan terdiri atas 8
ekor ayam sebagai subulangan). Perlakuan yang diterapkan adalah tiga model
pemeliharaan yaitu:
P1 = Sistem pemeliharaan intensif
P2 = Sistem pemeliharaan free-range dengan pola rotational
P3 = Sistem pemeliharaan free-range dengan pola continuous
18
Prosedur Penelitian
1. Ternak
Dalam penelitian ini ayam yang digunakan sebanyak 72 ekor ayam ras
petelur strain Lohman Brown fase layer berumur 52 minggu. Setiap perlakuan
menggunakan 24 ekor. Pada pemeliharaan intensif, setiap kandang batteray berisi
dua ekor ayam terdiri atas 3 ulangan yang masing-masing terdiri dari 4 kandang
batteray (8 ekor ayam). Pada pemeliharaan secara rotational dan continuous,
masing-masing paddock /eco-shelter ditempatkan 8 ekor, sehingga jumlah ayam
untuk masing-masing sistem pemeliharaan adalah 24 ekor.
2. Paddock
Lahan yang digunakan adalah padang rumput alami yang ditumbuhi oleh
rumput alam dan rumput unggul dan sebagian kecil legum menjalar yang berada
disekitar lokasi perkandangan Laboratorium Ternak Unggas. Lahan di bagi atas
dua pola perlakuan yaitu rotational dan continuous grazing. Setiap perlakuan
dibagi kedalam tiga paddok ulangan yang masing-masing berukuran 4,8 x 9,6 m
(rotational) dan 7 x 7 m (continuous). Setiap paddock continuous diberi pagar
keliling untuk menghindari kemungkinan ayam berpindah ke paddok yang lain
dan sebelum paddock digunakan terlebih dahulu dilakukan pemotongan rumput
untuk mendapatkan tingkat pertumbuhan yang seragam.
3. Kandang dan Fasilitas
Kandang yang digunakan terdiri dari 3 bentuk yang terdiri dari:
(1). Kandang pada sistem pemeliharaan intensif; Kandang yang digunakan adalah
kandang batteray yang berjumlah 12 buah yang masing-masing berukuran 30
19
x 40 x 40 cm dan dilengkapi dengan tempat makan dan tempat minum.
Kandang batteray ditempatkan dalam postal permanen yang dilengkapi
dengan lampu penerang.
(2). Kandang pada sistem pemeliharaan rotational; Tiga buah kandang
semipermanen (eco-shelter) yang berukuran 2,4 x 2,4 m ditempatkan pada
masing-masing paddock. Kandang berbentuk monitor yang diberi roda dan
terbuat dari balok kayu dengan dinding kawat loket dan atap rumbia. Setiap
kandang dilengkapi dengan tempat makan dan minum serta sangkar untuk
tempat bertelur. Kandang ini merupakan kandang mobile yang akan
dipindahkan didalam paddock setiap 2 hari sekali.
(3). Kandang pada sistem pemeliharaan continuous; Kandang yang digunakan
sebanyak tiga buah yang berukuran 1 x 1 m yang terbuat dari balok kayu dan
atap rumbia serta tidak diberi dinding. Kandang ditempatkan secara
permanen pada bagian tengah setiap paddock ulangan.
Manajemen Pemeliharaan Ternak
Selama penelitian ayam diberi pakan dan air minum serta dilakukan
vaksinasi dan pengobatan (pemberian antibiotik hanya dilakukan pada ayam
dengan sistem pemeliharaan intensif). Pakan yang digunakan adalah campuran
antara jagung, dedak dan konsentrat komersil yang disusun secara isokalori dan
isoprotein sesuai dengan rekomendasi NRC. Ransum yang digunakan disusun
berdasarkan National Research Council (NRC) (Anonim, 1994). Komposisi
ransum dapat dilihat pada Tabel 2.
20
Tabel 2. Komposisi Ransum Basal selama Penelitian
Bahan Pakan
Komposisi (%)
Konsentrat Layer
33,33
Jagung Kuning
50,00
Dedak
16,67
Protein Kasar
17,6*
*
) Dihitung berdasarkan rekomendasi National Research Council (Anonim ,1994).
Jumlah pakan yang diberikan didasarkan pada every day basis (120
g/ekor/hari) yang diberikan pada pagi dan sore hari dengan jumlah yang sama.
Pemberian air minum dilakukan secara ad libitum. Pada pemeliharaan intensif dan
rotational ayam ditempatkan di dalam kandang selama penelitian, sedangkan pada
pemeliharaan secara continuous ayam berada didalam kandang/eco-shelter sesuai
dengan kebutuhannya.
Parameter yang diukur
Pada akhir penelitian (±2 bulan) dilakukan pengambilan sampel darah
sebanyak 2 ekor dari masing-masing unit perlakuan melalui vena brachialis
dengan menggunakan spoit.
Darah ditampung dalam tabung yang berisi
antikoagulan.
Parameter yang diamati adalah :
A. Hematologi
1. Nilai Hematokrit
Darah dimasukkan ke dalam mikrokapiler hematokrit sampai 4/5 bagian
pipa kapiler. Ujung mikrokapiler disumbat dengan wax. Pipa-pipa kapiler
21
dimasukkan ke dalam centrifuge kemudian di setel dengan kecepatan 25004000 rpm selama ±15 menit. Nilai hematokrit ditentukan dengan
menggunakan alat baca mikrohematokrit (Anonim, 2005).
2. Jumlah Sel Darah Merah
Darah dihisap dengan pipet eritosit sampai batas 0,5. Kemudian
dicampur dengan pelarut Rees and Ecker sampai dengan batas 101 yang
tertera pada pipet. Isi pipet dikocok dengan membuat gerakan angka 8 atau
alat pengocok, agar yang tercampur hanya larutan yang berada pada bagian
pipet yang membesar saja. Cairan dimasukkan ke kamar hitung kemudian
dilakukan penghitungan di bawah mikroskop (Anonim, 2005).
3. Jumlah Sel Darah Putih
Darah dihisap dengan pipet sampai batas 0,5. Kemudian dicampur dengan
pelarut Turk sampai dengan batas 101 yang tertera pada pipet. Isi pipet
dikocok dengan membuat gerakan angka 8 atau alat pengocok, agar yang
tercampur hanya larutan yang berada pada bagian pipet yang membesar saja.
Cairan dimasukkan ke kamar hitung kemudian dilakukan penghitungan di
bawah mikroskop (Anonim, 2005).
B. Biokimia Darah
1.Kadar Kolesterol
Kadar kolesterol diukur menggunakan alat Cobas c111. Penentuan nilai
kolesterol berdasar pada metode Enzimatik Colorimetrik. Reaksinya adalah
sebagai berikut ( Anonim, 2009 b);
22
Cholesterol Ester
Cholesterol esters + H2O
Cholesterol + O2
Cholesterol Oxy Dye
Cholesterol + RCOOH
Cholest-4-en-3-one + H2O2
Phenol Oxy Dye
2H2O2 + 4-AAP + Phenol
Quinone-imine dye + 4H2O
2. Kadar Asam Urat (Uric Acid)
Kadar asam urat diukur menggunakan alat Cobas c111. Penentuan
nilai asam urat berdasar pada metode Enzimatik Colorimetrik. Reaksinya
adalah sebagai berikut ( Anonim, 2011 b);
Uric acid + 2H2O + O2
Uricase
Allantoin + CO2+H2O2
2H2O2 + H+ + TOOSa+4-Aminophenazone
Peroxidase
Quinone-diimine dye + 4H2O
3. Kadar ASTL (Asparate aminotransferase )
Kadar ASTL diukur menggunakan alat Cobas c 111. Penentuan nilai
ASTL mengikuti rekomendasi IFCC, tapi telah di optimalisasikan pada
performans dan stabilitasnya. Reaksinya adalah sebagai berikut (Anonim,
2011 a);
L-Aspartate + 2-oxoglutarate
Aspartate
oxaloacetate + L-glutamate
23
Oxaloacetate + NADH + H+
MDH
(malate dehydrogenase)
L-malate + NAD+
4. Kadar Trigliserida
Kadar Trigliserida diukur menggunakan alat Cobas c111. Penentuan
kadar trigliserida berdasar pada metode Enzimatik Colorimetrik adalah
sebagai berikut(Anonim,2014c)
Glycerol + ATP
Glycerol -3- phosphate+ADP
Glycerol -3- phosphate + O2 glycerol-3-P
phosphate +H2O2
Oxydase
2H2O2 4 Aminophenazone + 4-chlorophenol
+ HCL
Dyhidroxyacetone +
Peroxydase
Quinone imine +H2O
5. Kadar Urea
Kadar Urea diukur menggunakan alat Cobas c111. Penentuan kadar
urea berdasar pada metode Enzimatik Colorimetrik (Anonim, 2014c).
urease
Urea + 2H2O -------------->2NH4+ + 2HCO3+ GLDH
2-Oxoglutarate + NH4+ + NADH ------------> L-Glutamate + NAD+H2O
Analisa Data
24
Data yang diperoleh dianalisis ragam berdasarkan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan menggunakan Program SPSS. Model matematik yang
digunakan adalah sebagai berikut:
Yi j = μ + αi + εij
i = 1,2,3
j = 1,2,3
keterangan:
Yij = Nilai parameter taraf ke i dan pada ulangan ke j.
μ
= Nilai tengah umum
αi
= Pengaruh perlakuan pada taraf ke i
εij
= Pengaruh galat dari satuan percobaan ke-j yang memperoleh
perlakuan ke-i
Apabila perlakuan nyata terhadap perubah yang diukur maka
dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) (Gaspersz,1991).
25
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hematologi
Nilai Hematokrit
Nilai hematokrit atau packed cell volume adalah suatu istilah yang
artinya persentase (berdasar volume) dari darah yang terdiri dari sel darah
merah (Frandson, 1996). Nilai hematokrit ayam ras petelur yang dipelihara
pada sistem pemeliharaan intensif dan free-range pola rotational dan
continuous dapat dilihat pada Gambar 1.
30
24
23.33
24
Nilai Hematokrit (%)
25
20
15
10
5
0
Intensif
Rotational
Continous
Gambar 1. Nilai Hematokrit Darah Ayam Ras Petelur Lohman Brown yang
Dipelihara pada Sistem Pemeliharaan Intensif dan Free-range
Pola Continuous dan Rotational
Hasil yang diperoleh dari perhitungan nilai hematokrit pada Gambar 1
mengindikasikan bahwa rata-rata nilai hematokrit pada tiap perlakuan
cenderung sama baik intensif, continuous, dan rotational, sehingga pada hasil
26
analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan sistem pemeliharaan tidak
memberi pengaruh yang nyata terhadap nilai hematokrit ayam ras petelur.
Nilai hematokrit yang terdapat pada Gambar 1 berkisar antara 23,3 –
24%. Nilai yang diperoleh pada penelitian ini yang menggunakan ayam ras
petelur strain Lohman brown lebih rendah dibandingkan dengan ayam ras
petelur strain Isa Brown pada umur 52-75 minggu dengan nilai antara 27,00 32,00% (Lichovnikova et al., 2002), ayam ras petelur strain Moravia umur 2550 minggu dengan nilai 26-36% (Suchẏ et al., 2004). Nilai yang bervariasi ini
kemungkinan disebabkan oleh perbedaan strain dan sistem perkandangan
/pemeliharaan.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Lichovnikova et al. (2002) dan
Suchẏ et al. (2004) menggunakan sistem pemeliharaan intensif. Ayam yang
dipelihara dengan sistem pemeliharaan intensif memiliki keterbatasan dalam
bergerak sehingga reproduksi sel darah merah cenderung lambat/sedikit
sehingga proses metabolisme dalam tubuh lebih rendah. Sel darah merah
inilah yang akan mempengaruhi nilai hematokrit.
Nilai hematokrit berkaitan erat dengan jumlah eritrosit/sel darah merah
dalam tubuh. Nilai hematokrit secara umum juga menjadi indikator penentuan
kemampuan darah dalam mengangkut oksigen (O2) yang biasa dikenal dengan
istilah Oxygen Carrying Capacity. Nilai hematokrit dalam tubuh ternak dapat
mengalami penurunan dan peningkatan yang disebabkan oleh kondisi tubuh
ayam itu sendiri atau yang biasa disebut homeostatis (Davey et. al., 2000).
27
Penurunan nilai hematokrit selama fase produksi juga disebabkan oleh
beberapa faktor lain, yakni tingkat stres oleh pengaruh nutrisi dan temperatur,
dehidrasi, maupun parasit dalam darah (Challenger et al., 2001).
Jumlah Eritrosit
Eritrosit atau sel darah merah pada unggas memiliki ukuran yang lebih
besar dan daur hidup yang lebih lama. Ukurannya bervariasi tergantung dari
spesiesnya. Ukuran yang lebih besar terkait dengan jumlah molekul globin
yang mampu dibawa dalam satu sel darah merah (Gunnarson, 2012). Jumlah
eritrosit/sel darah merah ayam ras petelur yang dipelihara pada sistem
pemeliharaan intensif dan free-range pola rotational dan continuous dapat
dilihat pada Gambar 2.
6.91
6.37
7.00
Jumlah Eritrosit (T/l)
6.00
5.00
4.37
4.00
3.00
2.00
1.00
Intensif
Rotational
Continous
Gambar 2. Jumlah Eritrosit/Sel Darah Merah Ayam Ras Petelur Lohman
Brown yang di pelihara pada sistem pemeliharaan intensif dan
free-range pola continuous dan rotational
28
Pada Gambar 2 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah eritrosit/sel darah
merah ayam ras petelur pada sistem pemeliharaan intensif dan free-range sel
darah merah lebih banyak di produksi oleh ayam yang dipelihara pada sistem
pemeliharaan free range baik continous maupun rotational. Walaupun secara
statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang nyata antara
perlakuan sistem pemeliharaan terhadap jumlah eritrosit ayam ras petelur
tersebut.
Jumlah eritrosit/sel darah merah pada Gambar 2 berkisar antara 4,37 –
6,91T/l. Pada sistem pemeliharaan free-range pola rotational menghasilkan
jumlah eritrosit sebanyak 6,91T/l dan 6,37T/l pada pola continous. Nilai yang
dihasilkan ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Straková et al. (2001) yakni jumlah eritrosit sebanyak 2,16 T/l, Uko dan Ataja
(1996) mendapatkan jumlah eritrosit sekitar 2,27-2,52 T/l, dan oleh Pavlik dan
Lichovnikova (2011) sebanyak 2,99 T/l pada strain Isa brown serta 3,15 T/l
oleh Tůmovà et al. (2004).
Perbedaan jumlah eritrosit kemungkinan disebabkan oleh adanya
perbedaan strain ayam yang digunakan dan juga mungkin disebabkan oleh
perbedaan pada sistem pemeliharannya. Penelitian yang dilakukan oleh
Straková et al. (2001), Uko dan Ataja (1996), dan Tůmovà et al. (2004)
menggunakan sistem pemeliharaan intensif dan berada pada kondisi
kelembapan cukup tinggi yakni sekitar 70-75%, sehingga hasil yang diperoleh
lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan.
29
Ayam ras petelur yang di pelihara pada sistem pemeliharaan free range
pola rotational memiliki jumlah eritrosit yang lebih tinggi dikarenakan ayam
tersebut lebih banyak bergerak dan memiliki lahan yang cukup luas untuk
beraktivitas. Aktivitas yang lebih banyak membutuhkan energi yang lebih
banyak pula, energi yang banyak akan dihasilkan jika kebutuhan nutrisi dalam
tubuh tercukupi sehingga untuk melakukan hal tersebut tubuh secara otomatis
memproduksi lebih banyak sel darah merah/eritrosit. Sel darah merah yang
meningkat menunjukkan tingkat metabolisme yang tinggi pada unggas
sehingga sel darah merah cepat mati dan kembali bersiklus (Sturkie, 1976).
Jumlah sel darah ternyata tidak berpengaruh terhadap nilai hematokrit.
Walaupun secara umum nilai hematokrit adalah persentase dari sel darah
merah. Salah satu hal yang mengakibatkan rendahnya nilai hematokrit adalah
konstannya jumlah sel darah merah pada saat volume plasma semakin
meningkat (Challenger et al., 2001).
Jumlah Leukosit
Leukosit atau yang biasa dikenal dengan sel darah putih yang beredar di
sistem peredaran tubuh manusia merupakan sel yang membentuk komponen
darah. Jumlah leukosit/sel darah putih pada ayam ras petelur yang dipelihara
pada sistem pemeliharaan intensif dan free-range pola rotational dan
continuous dapat dilihat pada Gambar 3.
30
0.000525
0.000600
Jumlah Leukosit (T/I)
0.000500
0.000500
0.000417
0.000400
0.000300
0.000200
0.000100
Intensif
Rotational
Continous
Gambar 3. Jumlah Leukosit/Sel Darah Putih Ayam Ras Petelur Lohman
Brown yang Dipelihara pada Sistem Pemeliharaan Intensif dan
Free-range Pola Continuous dan Rotational
Pada Gambar 3 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah leukosit/sel darah
putih ayam ras petelur yang dipelihara pada sistem pemeliharaan intensif dan
free range yaitu sel darah putih lebih banyak di produksi oleh ayam yang
dipelihara pada sistem pemeliharaan free range baik pola continous maupun
rotational. Walaupun secara analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan
tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah leukosit/sel darah putih pada ayam
ras petelur starin Lohman Brown.
Jumlah leukosit/sel darah putih pada Gambar 3 berkisar antara 0,000417
T/l – 0,000525 T/l, menunjukkan bahwa jumlah leukosit yang tinggi pada
ayam yang dipelihara dengan sistem free range pola rotational dan
continuous. Hal ini disebabkan oleh perbedaan pada sistem pemeliharaan
31
khususnya tingkat higienitas kandang ayam yang dipelihara pada sistem
pemeliharaan intensif sebab menggunakan kandang batteray.
Pada ayam yang dipelihara dengan sistem intensif memiliki kandang
yang bersih, terpisah antara feses dan ayam sehingga ayam hanya
menghasilkan sedikit sel darah putih. Oleh karena tubuh hanya merespon
sedikit gangguan dari benda asing (bakteri, virus dan organisme lainnya).
Sebaliknya ayam yang dipelihara dengan sistem free-range memiliki
kebebasan baik dalam hal memakan makanan maupun tempat bersarang.
Sehingga apabila tubuh merespon ada benda asing seperti bakteri maupun
virus yang masuk maka secara otomatis tubuh akan mengeluarkan lebih
banyak leukosit untuk mengantisipasi hal tersebut. Peningkatan jumlah
leukosit pada ayam yang banyak bergerak disebabkan aktivitas hormon
glukokortikoid (Hillman et al., 2000).
B. Biokimia Darah
Kadar Kolesterol
Kolesterol merupakan salah satu komponen yang penting di dalam tubuh
makhluk hidup. Pada ayam khususnya ayam ras petelur kadar kolesterol dalam
plasma darah sangat menentukan tingkat kesehatannya. Kadar kolesterol
dalam darah ayam ras petelur yang dipelihara pada sistem pemeliharaan
intensif dan free-range pola rotational dan continuous dapat dilihat pada
Gambar 4.
32
95.84
100.00
81.35
90.00
78.70
Kolesterol (mg/dL)
80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
Intensif
Rotational
Continous
Gambar 4. Kadar Kolesterol Darah pada Ayam Ras Petelur Lohman Brown
yang Dipelihara pada Sistem Pemeliharaan Intensif dan Freerange pola continuous dan rotational
Hasil yang diperoleh dari pengukuran kadar kolesterol pada Gambar 4
mengindikasikan bahwa rata-rata kolesterol lebih tinggi pada sistem
pemeliharaan intensif, dan kadar kolesterol yang lebih rendah pada sistem
pemeliharaan free-range pola rotational dan continuous. Walaupun hasil
analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata
terhadap kadar kolsterol ayam petelur fase layer.
Kadar kolesterol dalam darah ayam ras petelur pada Gambar 4 berkisar
antara 78,70 – 95,84mg/dL. Pada sistem pemeliharaan free range pola
rotational menghasilkan kadar kolesterol 81,35mg/dL dan 78,70mg/dL pada
pola continous. Pada sistem pemeliharaan intensif kadar kolesterol cenderung
tinggi. Begitupula pada penelitian yang dilakukan oleh Denli et al. (2008)
yang berkisar antara 90 - 99mg/dL. Kadar kolesterol rendah pada sistem
33
pemeliharaan free-range baik rotational maupun continuous juga terjadi pada
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Máchal (2000) yakni berkisar
antara 45,36 mg/dL sampai 74,16 mg/dL, pada tiga strain ayam yang berbeda
(BPR (Bared Plymouth Rock), dan RIR (Rode Island Rade), yang berumur 51
minggu, sementara Tůmová et al. (2004) memperoleh level kolesterol antara
43,14 – 111,24 mg/dL pada ayam strain Hisex Brown yang berumur 44
minggu.
Ayam yang dipelihara pada sistem free-range memiliki kadar kolesterol
rendah dibandingkan ayam yang dipelihara pada sistem pemeliharaan intensif
kemungkinan disebabkan oleh kondisi dari ayam tersebut yang lebih banyak
beraktifitas. Aktivitas yang lebih banyak menyebabkan semakin banyak
pembakaran lemak. Kolesterol sendiri berkaitan dengan perlemakan, sebab
kolesterol adalah salah satu jenis lemak selain trigliserida (Anonim, 2014b).
Kadar Asam Urat
Asam urat merupakan sisa hasil metabolisme protein, pada keadaan
normal, asam urat dikeluarkan dari tubuh melalui proses penyaringan (filtrasi)
darah oleh ginjal kemudian diekresikan. Kadar asam urat dalam plasma darah
ayam ras petelur yang dipelihara pada sistem pemeliharaan intensif dan freerange pola rotational dan continuous dapat dilihat pada Gambar 5.
34
5.00
4.11b
3.55ab
Asam Urat (mg/dL)
4.00
2.40a
3.00
2.00
1.00
Intensif
Rotational
Continous
Gambar 5. Kadar Asam Urat Dalam Darah Ayam Ras Petelur Lohman Brown
yang Dipelihara pada Sistem Pemeliharaan Intensif dan Freerange pola continuous dan rotational a-bmenunjukkan pengaruh
yang nyata pada sistem pemeliharaan yang berbeda (P < 0,05).
Pada Gambar 5 menunjukkan bahwa rata-rata kadar asam urat dalam
plasma darah ayam ras petelur yang dipelihara pada sistem pemeliharaan freerange khususnya pola continuous secara statistik/analisis ragam menunjukkan
nyata lebih rendah (P<0,05) dibandingkan dengan ayam pada sistem
pemeliharaan intensif, namun tidak berbeda nyata dengan pola rotational.
Kadar asam urat dalam plasma darah ayam ras petelur pada Gambar 5
berkisar antara 2,40 – 4,11mg/dL. Ayam yang dipelihara pada sistem
pemeliharaan intensif 4,11 dan sistem pemeliharaan free-range pola rotational
kadar asam urat 3,55mg/dL dan 2,40mg/dL pada pola continuous. Nilai yang
dihasilkan lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Favlik et al, (2007) yang melaporkan kadar asam urat ayam
ras petelur strain Isa Brown yang berumur 75 minggu adalah 4,86mg/dL.
35
Asam urat merupakan indikasi penggunaan asam amino. Kadar asam
urat yang tinggi di dalam darah akan menstimulasi terbentuknya endapan
kristal monosodium urat yang terkumpul di dalam sendi maupun dalam organ
ginjal.. Asam urat dalam darah merupakan indikasi aktivitas protein.
Konsentrasi asam urat dalam serum merupakan indeks dari metabolisme
protein (Stevens, 1996).
Kadar ASTL (Asparate Aminotransferase)
ASTL (Asparate Aminotransferase) merupakan enzim yang menjadi
salah satu indikator kesehatan hati. Kadar ASTL dalam plasma darah ayam
ras petelur yang dipelihara pada sistem pemeliharaan intensif dan free-range
pola rotational dan continuous dapat dilihat pada Gambar 6.
200.00
165.10
171.10
185.79
175.00
ASTL (U/l)
150.00
125.00
100.00
75.00
50.00
25.00
Intensif
Rotational
Continous
Gambar 6. Kadar ASTL Dalam Darah Ayam Ras Petelur Lohman Brown
yang Dipelihara pada Sistem Pemeliharaan Intensif dan Freerange Pola Continuous dan Rotational
36
Hasil yang diperoleh dari pengukuran kadar ASTL pada Gambar 6
mengindikasikan bahwa rata-rata kadar ASTL lebih tinggi pada ayam yang
dipelihara pada sistem pemeliharaan free range khususnya continuous dan
terendah pada sistem pemeliharaan intensif. Walaupun secara statistik/analisis
ragam menunjukkan bahwa perlakuan sistem pemeliharaan tidak memberi
pengaruh yang nyata terhadap kadar ASTL ayam ras petelur.
Kadar ASTL dalam plasma darah ayam ras petelur pada Gambar 6
berkisar antara 165,10 – 185,79U/I. Pada sistem pemeliharaan free-range pola
rotational menghasilkan kadar ASTL 171,10U/I dan 185,79U/l pada pola
continuous. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Denli et. al.,(2008)
pada ayam petelur strain Hisex Brown berumur 47 minggu memiliki kadar
ASTL 170,6 U/l, oleh Matur et al., (2010) kadar ASTL 248,3 U/l pada ayam
strain Ross 308 berumur 58 minggu.
ASTL (Asparate Aminotransferase) erat kaitannya dengan kinerja hati.
Konsentrasi ASTL juga mengindikasikan kesehatan hati ayam. Ayam yang
stres atau dalam kondisi cekaman cenderung memiliki kadar ASTL yang
rendah, hal ini disebabkan kinerja enzim-enzim hati kurang maksimal. Ernadi
dan Kermanshahi (2007) mengungkapkan bahwa enzim-enzim yang bekerja di
hati seperti aspartate amino-transfarase (ASTL) secara langsung maupun
tidak langsung mencerminkan kondisi kesehatan hati.
ASTL erat kaitannya dengan enzim dalam hati yang berperan penting
dalam sintesis asam amino dan pembentukan asam urat (Stevens, 1996).
Tinggi rendahnya kadar ASTL dalam darah mengindikasikan kelancaran
37
transport protein dalam darah. Ayam yang dipelihara pada sistem free-range
memiliki kadar ASTL lebih tinggi sehingga dapat dikatakan ayam tersebut
lebih sehat jika dibandingkan dengan sistem pemeliharaan intensif.
Kadar Trigliserida
Trigliserida erat kaitannya dengan kolesterol. Trigliserida merupakan
jenis lemak yang dapat ditemukan dalam darah dan merupakan hasil uraian
tubuh pada makanan yang mengandung lemak dan kolesterol yang telah
dikonsumsi dan masuk ke tubuh serta juga dibentuk di hati. Kadar Trigliserida
dalam darah pada ayam ras petelur yang dipelihara pada sistem pemeliharaan
free-range pola rotational dan continuous dapat dilihat pada Gambar 7.
1,000.00
883.68
851.10
850.75
Trigliserida (mg/dL)
900.00
800.00
700.00
600.00
500.00
400.00
300.00
200.00
100.00
Intensif
Rotational
Continous
Gambar 7. Kadar Trigliserida Dalam Darah Ayam Ras Petelur Lohman Brown
yang Dipelihara pada Sistem Pemeliharaan Intensif dan Freerange Pola Continuous dan Rotational
Pada Gambar 7 menunjukkan bahwa rata-rata kadar trigliserida dalam
darah ayam ras petelur pada sistem pemeliharaan intensif memiliki kadar
38
trigliserida tertinggi jika dibandingkan dengan sistem
free-range pola
rotational dan continuous. Namun hasil analisis ragam tidak menunjukkan
pengaruh yang nyata antara sistem pemeliharaan yang berbeda terhadap ayam
ras petelur.
Kadar trigliserida dalam darah ayam ras petelur pada Gambar 7 berkisar
antara 850,75 – 883,68mg/dL. Pada sistem pemeliharaan intensif kadar
trigliserida 883,68mg/dL dan sistem pemeliharaan free range pola rotational
menghasilkan kadar trigliserida 851,10mg/dL dan 850,75mg/dL pada pola
continuous. Pada sistem pemeliharaan intensif kadar trigliserida lebih tinggi.
Trigliserida erat kaitannya dengan perlemakan. Sedangkan ayam yang
dipelihara pada sistem pemeliharaan intensif memiliki aktifitas yang terbatas
sehingga lebih banyak terjadi penimbunan lemak.
Setelah mengalami proses di dalam tubuh, trigliserida ini akan diserap
usus dan masuk ke dalam plasma darah yang kemudian akan disalurkan ke
seluruh jaringan tubuh dalam bentuk klomikron. Sementara itu, trigliserida
yang berada di luar hati dan berada dalam jaringan misalnya jaringan
pembuluh darah, otot, jaringan lemak akan dihidrolisis oleh enzim lipoprotein
lipase. Asupan makanan yang mengandung kadar lemak jenuh yang tinggi
dapat meningkatkan efek trigliserida di dalam tubuh ayam (Anonim, 2014b).
Pada hasil yang diperoleh kadar trigliserida tinggi pada perlakuan
intensif, dikaitkan dengan parameter sebelumnya mengenai kolesterol juga
menemukan hasil serupa yakni kolesterol tinggi terdapat pada ayam yang
dipelihara pada sistem pemeliharaan intensif. Trigliserida erat kaitannya
39
dengan kolesterol. Jika kadar trigliserida meningkat, maka kadar kolesterol
pun akan meningkat pula (Anonim, 2014b).
Proses pencernaan lemak dari makanan selain menghasilkan kolesterol
juga menghasilkan trigliserida dan lemak bebas. semua lemak ini akan diserap
oleh tubuh melalui usus ke dalam darah. Keberadaan kolesterol dan
trigliserida dalam darah memang sangat dibutuhkan oleh tubuh (Zulfikar,
2010).
Kadar Urea
Urea adalah suatu senyawa organik yang terdiri dari unsur karbon,
hidrogen, oksigen dan nitrogen. Urea dalam darah berasal dari penguraian
protein, terutama protein yang berasal dari makanan. Kadar urea dalam darah
ayam ras petelur pada sistem pemeliharaan intensif dan free-range pola
rotational dan continuous dapat dilihat pada Gambar 8.
0.71
0.80
0.59
0.70
Urea (mg/dL)
0.60
0.44
0.50
0.40
0.30
0.20
0.10
Intensif
Rotational
Continous
Gambar 8. Kadar Urea Dalam Darah Ayam Ras Petelur Lohman Brown
yang Dipelihara pada Sistem Pemeliharaan Intensif dan Freerange pola continuous dan rotational
40
Pada Gambar 8 menunjukkan bahwa rata-rata kadar urea dalam darah
ayam ras petelur yang dipelihara pada sistem pemeliharaan intensif dan freerange kadar urea yang lebih banyak terdapat pada sistem free-range pola
rotational dan terendah terdapat pada ayam yang dipelihara pada sistem
pemeliharaan intensif. Walaupun hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
tidak terdapat pengaruh yang nyata antara perlakuan yang berbeda terhadap
kadar urea ayam ras petelur tersebut.
Kadar urea dalam darah ayam ras petelur pada Gambar 8 berkisar antara
0,44 – 0,71mg/dL. Pada sistem pemeliharaan free range pola rotational
menghasilkan kadar trigliserida 0,71mg/dL dan 0,59mg/dL pada pola
continous. Pada sistem pemeliharaan intensif kadar urea lebih rendah yakni
0,44mg/dL. Urea merupakan zat diuretik higroskopik dengan menyerap air
dari plasma darah. Menurut Ronald (2004) urea adalah sisa akhir metabolisme
protein. Berasal dari asam amino yang telah dipindah amonianya di dalam hati
dan diekskresikan tiap hari. Ditambahkan pula oleh Husada (2013) bahwa urea
berasal dari makanan yang mengandung protein. Rendah tingginya kadar urea
dalam darah mencerminkan rendahnya protein dalam makanan atau ekspansi
volume plasma darah.
41
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa sistem pemeliharaan intensif dan free-range pola rotational
dan continuous tidak berpengaruh terhadap parameter hematologi dan biokimia
darah, tetapi terdapat kecendrungan bahwa ayam ras petelur yang dipelihara
dengan sistem free-range pola rotational maupun continuous memperlihatkan
respon yang lebih baik pada semua parameter hematologi maupun biokimia darah
dibandingkan dengan ayam yang dipelihara dengan sistem pemeliharaan intensif
khususnya pada musim kemarau.
Saran
Diperlukan kajian lebih lanjut mengenai status hematologi dan biokimia
darah ayam ras petelur strain Lohman Brown yang dipelihara pada sistem
pemeliharaan intensif dan free-range yang dipelihara pada musim hujan.
42
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1994. National Research Council/Nutrient Requirements of Poultry. 9th
ed. National Academy Press, Washington, DC.
Anonim, 1999. European Comission Health and Consumer. Council directive
1999/74/EC. Brussels.
Anonim. 2005. Penuntun Praktikum Fisiologi Eksperimental. Bogor: FKH IPB.
Anonim. 2009a. Tips memelihara ayam petelur. http:// www. Peternakan. com/
tip/ayam/topic01.html. Diakses tanggal 20 Agustus 2013
Anonim. 2009b. Test Principle of cholesterol gen.2. Roche Diagnostics.
Indianapolis. USA.
Anonim. 2011a. Test Principle of Aspartate Aminotrasferase with or without
pyridoxal phosphate activation of Cobas. Roche Diagnostics. Indianapolis.
USA.
Anonim. 2011b. Test principle of uric acid ver.2 of Cobas. Roche Diagnostics.
Indianapolis. USA
Anonim. 2012. Introduction to hematology. http:// www. vetmed. wsu. edu/
ClientED /lab . asp. Diakses tanggal 20 Agustus 2013
Anonim. 2013a. Cara Beternak Sistem Intensif. http;// www. cara_ beternak.
com/search/sistem-pemeliharaan-secara-semi-intensif-ternaksapi-bali/
Anonim . 2013b. Hematocrit (Hct). http:// sidedoang.blogspot.com/ 2013/ 01/
hematocrit-hct-.html/m=1 diakses pada tanggal 20 Agustus 2013
Anonim. 2014a. Pengukuran Jumlah Eritrosit, Leukosit, dan Hemoglobin.
http:// swastika- oktavia. blogspot. com/2011/10/ pengukuran - jumlah
eritrosit-leukosit.html diakses pada tanggal 30 januari 2014
Anonim. 2014b. Trigliserida dan Kolesterol. http://www.deherba.com/apakah-itutrigliserida.html diakses pada tanggal 30 januari 2014
Anonim. 2014c. Laporan Akhir Praktikum Analisis Trigliserida. http://www.
laporanakhirpraktikum.blogspot.com/2013/06/d.html di akses tanggal 30
januari 2014
43
Bell, D.D. 2002. Anatomy of The Chicken. In: Bell, D.D and W. D. Weaver Jr.,
Editor. Commercial Chicken Meat and Egg Production. Fifth edition.
USA: Springer Science Business Media, Inc.
Berne, R. M., and M. N. Levy. 1992.
Physiology. Mosby, St. Louis,
MO.
Bogossavijevic-Boskovic, S., V.Kurcubic, M. Petrovic, and V.Radovic. 2006.
The effect of season and rearing systems on meat quality traits. Czech
Journal of Animal Science 51(8), 369-374.
Castellini, C., C. Mugnai, and A.Dal Bosco.2002. Effect of organic production
system on broiler carcass and meat quality. Meat Science 60, 219-225.
Challenger, W. O., T. D. Williams, J. K. Christians, and F. Vezina. 2001.
Follicular development and plasma yolk precursor dynamics through the
laying cycle in the European starling (Sturnus vulgaris). Physiol. Biochem.
Zool. 74, 356-365.
Colville T, and J. M. Bassert. 2008. Clinical Anatomy & Physiology for
Veterinary Technician. Missouri: Elsevier.
Cunningham, J. G. 2002. Textbook of Veterinary Physiology. USA: Saunders
Company.
Davey, C., Lill, A. and Baldwin, J. 2000. Variation during breeding in parameters
that influence blood oxygen carrying capacity in shearwaters. Aust. J.
Zool. 48, 347-356.
Denli, M., J. C. Blandon, M. E. Guynot, S. Salado, and J. F. Perez. 2008.
Efficacy of a new Ochratoxin-binding Agent (OcraTox) to counteract the
deleterious effects of achratoxin A in laying hens. Poult. Sci. 87:22662272.
Ernadi, M. and H. Kermanshahi. 2007. Effect of turmenic rhizome powder on the
activity of some blood enzyme in broiler chicken. Int. J. Poult. Sci. 6 (1):
48-51.
Fanatico A.C., P.B. Pillai, L.C. Cavitt, J.L. Emmert, J. F. Meullenet, and C.M.
Owens. 2006. Evaluation of slower-growing genotypes grown with and
without outdoor access: sensory attributes. Poultry Science 85, 337-343.
Fanny. 2013. Homeostatis. http:// fanfanfani. wordpress. com/ 2010/ 11/ 30/
homeostatis-dan-homeodinamis/ Diakses tanggal 20 Agustus 2013
44
Favlík, A., M. Pokludovà, D. Zapletal, and P. Jelínek. 2007. Effects of housing
system on biochemical of blood plasma in laying hens. Acta Vet. Brno
2007, 76:339-347
Frandson, R. D. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi Keempat. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Gaspersz, 1991 Teknik Analisis Dalam Penelitian Percobaan. Tarsito. Bandung.
Griffin, H. D. 1992. Manipulation of egg yolk cholesterol – a physiologists view.
Worlds Poult Sci J. 48:101-112.
Gunnarson, M. 2012. Avian hematology. Institute for Clinical Chemistry Swedish
Agricultural University. Swedish.
Guyton dan Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Irawati Stiawan,
penerjemah. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Textbook of Medical
Physiology.
Hillman, P.E., Scot, N.R., A. van Tienhoven, 2000. Physiological, Responses and
Adaptations to Hot and Cold Environments. Di dalam Yousef MK, editor.
Stress Physiology in Livestock. Volume 3, Pultry. Florida: CRC Pr. hal:
1-71.
Husada, Dyan. 2013. Penentuan Kadar Urea Dalam Darah. http://www.
dianwidyadianhusada.blogspot.com/2013/05/penentuan-kadar-ureadarah.html diakses tanggal 30 januari 2014
Jain, N. C. 1993.
Febiger.
Essential of Veterinary Hematology. Philadelphia: Lea and
Jerabek S., P, Suchy., J, Illek., E, Strakova ., and
Zelenka J. 1993 .
Haematological and some biochemical parameters of the blood of hens
with damaged and integral shells. Zivoc. Vyr. 38: 145-151.
Jin, L.Z., Y.W. Ho, N. Abdullah and S. Jalaludin. 1997. Probiotics in Poultry :
Modes of Action. Worlds Poultry Sci. J. 53 (4) : 351 – 368
Lichovníková M., L. Zeman, D. Klecker, M. Fialová. 2002. The effect of the long
term administration of dietary lipase on the performance of laying hens.
Czech J. Anim. Sci., 47, 141–145.
Lomu, M.A., P.C. Glatz and Y.J. Ru , 2004. Metabolizable energy of crop
contents in free-range hens. Int. J. Poultry. Science., 3: 728-732.
45
Máchal, L. 2000. The levels of plasma cholesterol and total lipids in different eggtype hens during the laying period. J. Anim. Feed Sci., 9, 687–696.
Mary. 2009. Nilai hematokrit. www. iccagagah. blogspot. com / 2009 / 05/
hematokrit.html. di akses tanggal 20 Agustus 2013.
Matur, E., E. Ergul, I. Akyazi, E. Eraslan, and Z. T. Cirakli. 2010. The effects of
Saccharomyces cerevisiae extract on the weight of some organs, liver,
and pancreatic digestive enzyme activity in breeder hen fed diets
contaminated with alfatoxins. Poult. Sci. 89:2213-2220.
Meyer, D. J, J. W. Harvey. 2004. Veterinary Laboratory Medicine: Interpretation
and Diagnosis. Third Edition. St. Louis: Saunders.
Nasreldin, R. A., A. A. Yousef, M. F. Mahmoud, and I. A. Ibrahim. 1988.
Thyroid-hormones, glucose, total lipids and total protein in blood serum
before and during laying in hisex-brown chicken. J. Anim. Physiol.
Anim. Nutr. 59:167-170.
Pavlik, A., and M. Lichovnikova. 2011. Hematological indicators of laying hens
kept in different housing systems. Proceedings. 46th Croatian and 6th
International Symposium on Agriculture. Opatija. Croatia (872-875).
Pavlovski Z., Z. Skrabic, M. Lukic, V.L. Petricevic,and S. Trenkovski, 2009.
The effect of genotype and housing system on production results of
fattening chickens. Biotechnology in Animal Husbandry 25(2-4), 221229.
Pištěková,V., M. Hovorka, V. Večerek, E. Straková, and P. Suchý. 2006. The
quality comparison of eggs laid by laying hens kept in battery cages and
in a deep litter system. University of Veterinary and Pharmaceutical
Sciences, Brno, Czech Republic. Czech J. Anim. Sci., 51, 2006 (7): 318–
325
Puvadolpirod, S. and J.P. Thaxton. 2000. Model of physiological stress in
chickens : response parameters.
Rasyaf, M. 2007. Manajemen Peternakan Ayam. Penebar Swadaya. Jakarta
Ronald, A. Sacher, 2004, Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Santoso. U. 2012. Mari Menciptakan Ayam organic. http;// uripsantoso.
Wordpress.com Diakses tanggal 20 Agustus 2013
46
Scanes, C. G, G. Brant, and M. E. Ensminger. 2004. Poultry Science. Fourth
edition. Food Products Press. An Imprint of the Haworth Press, Inc. New
York.
Sosnowka-Czajka, E., I. Skomorucha, E. Herbut, and R. Muchaka R. 2007.
Effect of management systems and flock size on the behavior of broiler
chickens. Annals of Animal Science 7(2), 329-335.
Stevens, L. 1996. Avian Biochemistry and Molecular Biology. Cambridge
University Press. United Kingdom.
Straková, E., V. Večerek, P. Suchý,and P. Křesala. 2001. Red and white bloodcell analysis in hens during the laying period. Czech J. Anim. Sci., 46,
388–392.
Sturkie, P. D. 1976. Avian Physiology Third Edition. Springer Verlag. New York.
Subekti, H. 2010. Plasma Darah. http:// sanggarsains. blogspot. com /2010 /05/
plasma-darah.html. Diakses tanggal 20 Agustus 2013.
Suchẏ, P., E. Strakovà, and A. Hrubẏ. 1999. Variations in cholesterol
concentration in the blood plasma of hens throughout the laying period.
Czech J Anim Sci. 44 : 109-111.
Suchẏ,P., E. Strakovă, B. Jarka, J. Thiemel, and V. Večerak. 2004. Different
between metabolic profiles of egg-type and meat-type hybrid hens. Czech
J. Anim. Sci. 8: 323-328.
Sundrum , A. 2005. Possibilities and limitation of protein supply in organic
poultry and pig
production . Organic Revision : Research to
support revision of the EU regulation on organic agriculture.
http://www.organic revision.org/pub/Final_Report_FC
Revision.pdf
Accessed Jan 2009.
Suprijatna, E., 2008. Ayam Buras Krosing Petelur” Penebar Swadaya. Jakarta
Swenson, M.J. 1993. Physiological Properties and Celluler and Chemical
Constituent of Blood in Dukes Physiology of Domestic Animals. 11th ed.
Comstock Publishing Associates a division of Cornell University Press
Ithaca and London.
Syarif , A . 2003. Panduan Cerdas Beternak Ayam
Pustaka. Bogor
Petelur .
Agromedia
Tůmovà, E., H. Härtlová, Z. Ledvinka,and A. Fučíková. 2004. The effect of
digitonin on all egg quality, the level of egg cholesterol, and biochemical
47
and haematological parameters in laying hens. Czech J. Anim. Sci., 49,
33–37.
Uko, O. and A. Ataja. 1996. Haematological studies of pure indigenous domestic
fowl (Gallus domesticus) and guinea fowl (Numida meleagris) in northwest Nigeria. Revue d’ Elevage et de Medicine Veterinaire des Pays
Tropicaux, 3, 257–262. USA: Pearson Education, Inc.
Wall H. and Tauson R. 2002. Egg quality in furnished cages for laying hens
effects of crack reduction measures and hybrid. Poultry. Science.
81:340 348
Zulfikar. 2010. Trigliserida. Tersedia online pada: http://www.chem-is
try.org/materi_kimia / kimia - kesehatan/ biomolekul / trigliserida/.
(diakses tanggal 30 januari 2014)
48
HEMATOLOGI
Lampiran 1. hasil analisis ragam terhadap nilai hematokrit ayam ras petelur yang
dipelihara pada sistem pemeliharaan berbeda.
Between-Subjects Factors
N
Perlakuan
C
3
I
3
R
3
Descriptive Statistics
Dependent Variable:Hematokrit
Perlakuan
Mean
Std. Deviation
N
C
2.40000E1
1.732051
3
I
2.40000E1
3.605551
3
R
2.33333E1
3.785939
3
Total
2.37778E1
2.773886
9
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Hematokrit
Type III Sum of
Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
2
.444
.044
.957
5088.444
1
5088.444
503.253
.000
.889
2
.444
.044
.957
Error
60.667
6
10.111
Total
5150.000
9
61.556
8
Corrected Model
Intercept
Perlakuan
Corrected Total
.889
a. R Squared = .014 (Adjusted R Squared = -.314)
49
Lampiran 2. hasil analisis ragam terhadap jumlah eritrosit ayam ras petelur yang
dipelihara pada sistem pemeliharaan berbeda.
Between-Subjects Factors
N
Perlakuan
C
3
I
3
R
3
Descriptive Statistics
Dependent Variable:Eritrosit
Perlakuan
Mean
Std. Deviation
N
C
6.36667
1.719254
3
I
4.37000
.345977
3
R
6.90667
2.009013
3
Total
5.88111
1.765513
9
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Eritrosit
Type III Sum of
Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
10.713
a
2
5.356
2.260
.186
Intercept
311.287
1
311.287
131.314
.000
Perlakuan
10.713
2
5.356
2.260
.186
Error
14.223
6
2.371
Total
336.223
9
24.936
8
Corrected Total
a. R Squared = .430 (Adjusted R Squared = .239)
50
Lampiran 3. hasil analisis ragam terhadap jumlah leukosit ayam ras petelur yang
dipelihara pada sistem pemeliharaan berbeda.
Between-Subjects Factors
N
PERLAKUAN
C
3
I
3
R
3
Descriptive Statistics
Dependent Variable:Leukosit
PERLAKUAN
Mean
Std. Deviation
N
C
.00050000
.000304138
3
I
.00041667
.000180854
3
R
.00052500
.000238485
3
Total
.00048056
.000218938
9
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Leukosit
Type III Sum of
Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
2
9.653E-9
.159
.856
Intercept
2.078E-6
1
2.078E-6
34.244
.001
PERLAKUAN
1.931E-8
2
9.653E-9
.159
.856
Error
3.642E-7
6
6.069E-8
Total
2.462E-6
9
Corrected Total
3.835E-7
8
Corrected Model
1.931E-8
a. R Squared = .050 (Adjusted R Squared = -.266)
51
BIOKIMIA DARAH
Lampiran 4. hasil analisis ragam terhadap kadar Asam urat ayam ras petelur yang
dipelihara pada sistem pemeliharaan berbeda.
Between-Subjects Factors
N
Perlakuan
C
3
I
3
R
3
Descriptive Statistics
Dependent Variable:Asam_urat
Perlakuan
Mean
Std. Deviation
N
C
2.40167
.685701
3
I
4.10933
.385386
3
R
3.54933
.671485
3
Total
3.35344
.914198
9
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Asam_urat
Type III Sum of
Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
2
2.273
6.376
.033
101.210
1
101.210
283.873
.000
Perlakuan
4.547
2
2.273
6.376
.033
Error
2.139
6
.357
Total
107.896
9
6.686
8
Corrected Model
Intercept
Corrected Total
4.547
a. R Squared = .680 (Adjusted R Squared = .573)
52
Post Hoc Tests
Perlakuan
Multiple Comparisons
Dependent Variable:Asam Urat
(I)
(J)
Perlakuan Perlakuan
LSD C
I
R
95% Confidence Interval
Mean Difference
(I-J)
Std. Error
Sig.
Lower Bound Upper Bound
I
-1.70767
*
.487533
.013
-2.90062
-.51472
R
-1.14767
.487533
.057
-2.34062
.04528
C
1.70767
*
.487533
.013
.51472
2.90062
R
.56000
.487533
.294
-.63295
1.75295
C
1.14767
.487533
.057
-.04528
2.34062
I
-.56000
.487533
.294
-1.75295
.63295
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .357.
*. The mean difference is significant at the .05 level.
Asam Urat
Subset
Perlakuan
a
Duncan
N
1
2
C
3
2.40167
R
3
3.54933
I
3
Sig.
3.54933
4.10933
.057
.294
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .357.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
53
Lampiran 5. hasil analisis ragam terhadap kadar ASTL ayam ras petelur yang
dipelihara pada sistem pemeliharaan berbeda.
Between-Subjects Factors
N
Perlakuan
C
3
I
3
R
3
Descriptive Statistics
Dependent Variable:ASTL
Perlakuan
Mean
Std. Deviation
N
C
1.85790E2
18.548658
3
I
1.65103E2
18.603382
3
R
1.71103E2
16.415000
3
Total
1.73999E2
18.023658
9
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:ASTL
Type III Sum of
Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
2
339.818
1.062
.403
272480.520
1
272480.520
851.865
.000
679.636
2
339.818
1.062
.403
Error
1919.182
6
319.864
Total
275079.338
9
2598.818
8
Corrected Model
Intercept
Perlakuan
Corrected Total
679.636
a. R Squared = .262 (Adjusted R Squared = .015)
54
Lampiran 5. hasil analisis ragam terhadap kadar trigliserida ayam ras petelur yang
dipelihara pada sistem pemeliharaan berbeda.
Between-Subjects Factors
N
Perlakuan
C
3
I
3
R
3
Descriptive Statistics
Dependent Variable:Trigliserida
Perlakuan
Mean
Std. Deviation
N
C
8.50747E2
237.483745
3
I
8.83683E2
151.288357
3
R
8.51102E2
179.250896
3
Total
8.61844E2
167.698253
9
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Trigliserida
Type III Sum of
Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
2
1073.236
.029
.972
6684977.447
1
6684977.447
179.998
.000
2146.472
2
1073.236
.029
.972
Error
222835.159
6
37139.193
Total
6909959.078
9
224981.631
8
Corrected Model
Intercept
Perlakuan
Corrected Total
2146.472
a. R Squared = .010 (Adjusted R Squared = -.321)
55
Lampiran 7. hasil analisis ragam terhadap kadar urea ayam ras petelur yang
dipelihara pada sistem pemeliharaan berbeda.
Between-Subjects Factors
N
Perlakuan
C
3
I
3
R
3
Descriptive Statistics
Dependent Variable:Urea
Perlakuan
Mean
Std. Deviation
N
C
.59333
.076376
3
I
.44000
.185203
3
R
.70667
.465224
3
Total
.58000
.278523
9
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Urea
Type III Sum of
Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
.107
a
2
.054
.628
.565
Intercept
3.028
1
3.028
35.401
.001
Perlakuan
.107
2
.054
.628
.565
Error
.513
6
.086
Total
3.648
9
.621
8
Corrected Total
a. R Squared = .173 (Adjusted R Squared = -.102)
56
Lampiran 8. hasil analisis ragam terhadap kadar kolesterol ayam ras petelur yang
dipelihara pada sistem pemeliharaan berbeda.
Between-Subjects Factors
N
Perlakuan
C
3
I
3
R
3
Descriptive Statistics
Dependent Variable:Kolesterol
Perlakuan
Mean
Std. Deviation
N
C
7.86973E1
4.713900
3
I
9.58447E1
11.248210
3
R
8.13543E1
14.275818
3
Total
8.52988E1
12.329561
9
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Kolesterol
Type III Sum of
Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
2
255.530
2.174
.195
65482.933
1
65482.933
557.235
.000
Perlakuan
511.060
2
255.530
2.174
.195
Error
705.084
6
117.514
Total
66699.078
9
1216.145
8
Corrected Model
Intercept
Corrected Total
511.060
a. R Squared = .420 (Adjusted R Squared = .227)
57
RIWAYAT HIDUP
Fahmillah Ismail dilahirkan pada tanggal 01 April 1991 di
Kota Palopo, Provinsi Sulawesi Selatan.
Penulis adalah anak pertama dari pasangan Ismail Latief dan
Farmawaty Farhum. Pada tahun 1997 penulis memulai
pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 440 Salekoe dan tamat
pada tahun 2003. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan
ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Parepare, tamat pada tahun 2006. Kemudian
penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 4 Parepare pada tahun 2006
dan tamat pada tahun 2009. Pada tahun yang sama pula, penulis melanjutkan
pendidikan ke Perguruan Tinggi Negeri dan lulus melalui Jalur Pembinaan Potensi
dan Bakat (JPPB) di Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas
Hasanuddin, Makassar. Selama kuliah penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan
kampus dan organisasi kedaerahan Parepare. Selain itu juga aktif menjadi asisten
Mikrobiologi dan Kesehatan Ternak.
Download