BAB II - Bappenas

advertisement
KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN MONETER
DAN LEMBAGA-LEMBAGA KEUANGAN
BAB II
KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN MONETER
DAN LEMBAGA-LEMBAGA KEUANGAN
A.
PENDAHULUAN
Kebijaksanaan keuangan negara, moneter dan lembagalembaga keuangan yang dilaksanakan sejak PJP I, telah mendukung
keberhasilan pembangunan di semua bidang. Di bidang keuangan
negara, pengerahan sumber-sumber penerimaan negara dan
pengalokasian belanja negara pada seluruh sektor pembangunan
dijalankan dengan bertumpu pada Trilogi Pembangunan. Dengan
berpegang pada Trilogi
Pembangunan tersebut, tabungan
pemerintah telah berhasil dihimpun sehingga sebagian pengeluaran
pembangunan sudah bersumber dari kemampuan bangsa sendiri. Di
bidang moneter dan lembaga-lembaga keuangan, pengerahan dana
tabungan masyarakat melalui lembaga-lembaga keuangan makin
digiatkan sehingga perannya sebagai sumber dana pembangunan
semakin meningkat. Di pihak lain, penyaluran dana kepada usaha -
II/3
usaha produktif semakin meningkat, dengan memperhatikan aspek
pemerataan. Sementara itu, langkah-langkah pengendalian jumlah
uang beredar secara berhati-hati terus dilanjutkan untuk menjaga
tingkat inflasi yang rendah.
Dalam kurun waktu 1990-an, khususnya memasuki PJP II,
perkembangan perekonomian dunia ditandai dengan semakin
terintegrasinya pasar keuangan global yang diikuti dengan
meningkatnya arus masuk modal ke negara-negara berkembang
terutama negara-negara emerging di Asia termasuk Indonesia.
Masuknya modal luar negeri tersebut di satu pihak telah
mempercepat pertumbuhan ekonomi, tetapi di lain pihak juga
meningkatkan risiko perekonomian nasional terhadap gejolak yang
terjadi di pasar keuangan global.
Dalam kaitannya dengan aliran modal luar negeri Garis -garis
Besar Haluan Negara (GBHN) 1993 memberikan arahan bahwa
pinjaman luar negeri merupakan dana pelengkap bagi pelaksanaan
pembangunan. Oleh karena itu dalam Repelita VI sumber
pembiayaan dari dalam negeri yang terdiri dari tabungan
Pemerintah dan tabungan masyarakat telah diupayakan untuk
ditingkatkan.
Pelaksanaan pembangunan nasional se lama Repelita VI tetap
bertumpu pada Trilogi Pembangunan yaitu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya kemakmuran yang
berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi, dan stabilitas nasional yang sehat dan
dinamis. Kebijaksanaan keuangan negara dan moneter sebagai
bagian dari kebijaksanaan pembangunan nasional dilaksanakan
sesuai dengan arahan tersebut.
II/4
Selama Repelita VI, kebijaksanaan anggaran pendapatan dan
belanja negara dijalankan berlandaskan pada asas anggaran
berimbang yang dinamis. Dengan landasan asas ini, apabila
penerimaan melebihi pengeluaran negara diupayakan untuk
membentuk dana cadangan yang dapat dimanfaatkan pada waktu
hasil penerimaan Iebih kecil dari pengeluaran, atau untuk
percepatan pembayaran (prepayment) hutang-hutang luar negeri
yang berbunga tinggi. Sementara itu, penerimaan negara
diupayakan untuk terus meningkat seiring dengan peningkatan
kemampuan
masyarakat,
sedangkan
pengeluaran
negara
diupayakan makin terkendali, terarah dan efisien. Pengeluaran rutin
diarahkan untuk semakin meningkatkan kelancaran kegiatan
pemerintah dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan kepada
masyarakat, sekaligus mendukung upaya peningkatan tabungan
pemerintah. Sedangkan pengeluaran pembangunan diprioritaskan
untuk mendorong pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas ekonomi
guna pengamanan kelangsungan pembangunan dan pemeliharaan
hasil-hasilnya.
Di bidang keuangan negara, selama tiga tahun Repelita VI
penerimaan dalam negeri meningkat rata-rata sebesar 14,8 persen,
tabungan pemerintah pun meningkat cukup besar, yaitu 13,7 persen
untuk periode yang sama. Apabila pada tahun 1993/94 tabungan
pemerintah baru mencapai Rp 15.823,2 miliar, maka pada tahun
1996/97 telah mencapai Rp 23.224,1 miliar atau merupakan 67,8
persen dari jumlah dana pembangunan.
Dalam Repelita VI, kebijaksanaan moneter diarahkan untuk
mengendalikan permintaan dalam negeri agar tumbuh dalam batasbatas yang terkendali dan aman , sesuai dengan kemampuan
II/5
produksi nasional. Langkah tersebut dilaksanakan melalui
pengendalian uang beredar seperti melalui operasi pasar terbuka
(OPT), peningkatan cadangan wajib perbankan dan himbauan
(moral suasion) kepada perbankan untuk mengendalikan ekspansi
kredit agar tercapai sinergi perkembangan perekonomian nasional
dan kinerja perbankan.
Untuk menciptakan sistem lembaga keuangan nasional yang
makin sehat dan andal, dalam Repelita VI lembaga keuangan
didorong untuk melakukan konsolidasi guna memperkuat kondisi
keuangan agar siap menghadapi globalisasi sektor keuangan.
Lembaga keuangan yang meliputi perusahaan pembiayaan, asuran si, dana pensiun, pegadaian, dan pasar modal diupayakan
berkembang lebih sehat serta searah dengan kebijakan ekonomi
makro dan keuangan.
Sebagai hasil dari kebijaksanaan moneter tersebut,
pertumbuhan uang beredar (M1) melambat, dari 23,9 persen pada
tahun 1993/94 menjadi di bawah 20 persen per tahun selama tiga
tahun Repelita VI. Di lain pihak pertumbuhan uang kuasi, yaitu
deposito berjangka dan tabungan masih cukup tinggi, sehubungan
dengan meningkatnya tingkat suku bunga simpanan, sehingga
dalam tiga tahun Repelita VI, likuiditas perekonomian (M2)
mengalami kenaikan yang cukup tinggi pula, meskipun tetap dalam
batas-batas terkendali. Upaya pengendalian moneter bersama -sama
dengan berbagai kebijaksanaan di sektor-sektor lain, telah berhasil
menahan laju kenaikan harga pada satu angka inflasi selama tiga
tahun Repelita VI.
Dalam tiga tahun Repelita VI, terlihat adanya perkembangan
yang menggembirakan pada aspek kualitas lembaga keuangan.
II/6
Jaringan operasional perbankan telah semakin luas dengan
bertambahnya jumlah kantor cabang bank dari 4.753 kantor pada
tahun 1993/94 menjadi 6.213 kantor pada tahun 1996/97. Kinerja
asuransi juga semakin meningkat seperti tercermin pada
bertambahnya premi bruto perusahaan asuransi hampir dua kali
lipat. Demikian pufa kinerja perusahaan pembiayaan dengan nilai
kegiatan usaha meningkat empat kali lipat. Nilai kapitalisasi pasar
modal juga meningkat sekitar tiga kali lipat dalam periode tiga
tahun pelaksanaan Repelita VI.
Perubahan sentimen pasar merupakan permasalahan yang
sewaktu-waktu dapat mendorong arus modal luar negeri yang
keluar-masuk dalam jumlah besar pada kurun waktu 1990-an dan
menimbulkan gejolak keuangan. Hal itulah yang terjadi yang
dampaknya dirasakan sampai saat laporan ini disusun. Dalam tahun
keempat Repelita yaitu mulai pertengahan tahun 1997, telah
terjadi gejolak keuangan pada perekonomian Indonesia yang
merupakan efek merembet dari gejolak yang sama di kawasan ini,
dimulai dengan Thailand beberapa waktu sebelumnya. Gejolak
keuangan yang telah berkembang menjadi krisis keuangan itu telah
menyebar pula ke negara-negara lain, seperti Malaysia, Filipina dan
Korea Selatan.
Dalam menghadapi tekanan kuat pada kurs rupiah sejak bulan
Juli 1997, beberapa kebijakan telah dilaksanakan antara lain
pelebaran rentang kurs intervensi dan pengetatan likuiditas
perbankan. Dengan semakin meningkatnya tekanan kepada kurs
rupiah, pada pertengahan Agustus 1997, telah diputuskan
penentuan kurs berdasar pada mekanisme pasar. Langkah
selanjutnya yang diambil adalah melaksanakan kebijaksanaan
fiskal dan moneter yang ketat, antara lain berupa penjadwalan
II/7
kembali proyek-proyek pembangunan dalam tahun 1997/98 dan
operasi pasar terbuka dengan menaikkan tingkat diskonto SBI
secara berarti serta berbagai kebijaksanaan lainnya di bidang
devisa. Namun, nilai rupiah terus merosot sehingga menurunkan
kepercayaan terhadap rupiah.
Nilai rupiah yang merosot tajam terhadap dolar Amerika
Serikat mengakibatkan kesulitan bagi sektor swasta termasuk
lembaga keuangan dalam negeri untuk mengembalikan pinjaman
luar negerinya. Masalah ini kemudian berkembang pada
menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan.
Gejolak nilai tukar rupiah telah mendorong pula meningkatnya laju
inflasi dan tingkat pengangguran.
Untuk mengatasi masalah tersebut, pada akhir Oktober 1997,
bekerjasama dengan Dana Morleter Internasional (IMF), Bank
Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB) disusun kebijaksanaan
dan program penyehatan ekonomi dan keuangan. Program ini, yang
didukung pula oleh negara-negara sahabat, antara lain meliputi
penyehatan sektor keuangan dan stabilitas moneter termasuk kurs
mata uang. Penyehatan sektor/lembaga keuangan meliputi
perbankan, lembaga pembiayaan, asuransi, dana pensiun dan
lembaga-lembaga di pasar modal.
Program reformasi dan restrukturisasi ekonomi dan keuangan
diperkuat lagi pada pertengahan Januari 1998, dengan
disepakatinya sejumlah langkah untuk perbaikan ekonomi dan
keuangan bersama IMF. Dalam rangka itu dibentuk Dewan
Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan (DPKEKU) guna
mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan program tersebut, serta
II/8
telah ditetapkan berbagai kebijaksanaannya untuk memulihkan
kembali perekonomian negara.
Secara lebih rinci perkembangan di bidang keuangan negara
dan moneter sampai dengan tahun keempat Repelita VI dilaporkan
dalam bab ini.
B.
KEUANGAN NEGARA
Laporan hasil-hasil pembangunan keuangan negara selama
Repelita VI ini diawali dengan uraian mengenai sasaran,
kebijaksanaan dan program-program kegiatan dan dilanjutkan
dengan uraian hasil-hasilnya.
1.
Sasaran, Kebijaksanaan, dan Program Repelita VI
Sebagai salah satu instrumen kebijaksanaan makro ekonomi,
kebijaksanaan keuangan negara (fiskal), bersama -sama dengan
kebijaksanaan moneter dan neraca pembayaran, dilaksanakan
sesuai dengan Trilogi Pembangunan guna menunjang pencapaian
tujuan dan sasaran-sasaran pembangunan nasional. Untuk itu
dilaksanakan kebijaksanaan anggaran berimbang yang dinamis
guna menjamin pemerataan pembangunan yang semakin meluas,
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan stabilitas ekonomi
yang dinamis.
Di dalam prinsip tersebut, anggaran belanja negara
disesuaikan dengan penerimaannya, baik yang bersumber dari
dalam negeri maupun dari luar negeri. Namun sesuai dengan pesan
GBHN 1993 untuk membangun perekonomian yang andal dan
II/9
mandiri, tabungan pemerintah sebagai sumber pembiayaan dalam
negeri terus diupayakan meningkat peranannya.
Sasaran Penerimaan dalam negeri diperkirakan meningkat
dari Rp 59.7 triliun pada tahun pertama menjadi Rp 97,3 triliu n
pada tahun terakhir Repelita VI. Bagian terbesar dari penerimaan
dalam negeri berasal dari penerimaan pajak yang diperkirakan
meningkat dari Rp 40,1 triliun pada tahun pertama menjadi Rp 75,2
triliun pada tahun terakhir Repelita VI. Disisi pengeluaran,
pengeluaran rutin dalam periode yang sama diperkirakan
meningkat dari Rp 42,4 triliun menjadi Rp 67,1 triliun. Berdasarkan
perkiraaan penerimaan dalam negeri dan pengeluaran rutin, maka
tabungan pemerintah diperkirakan meningkat dari Rp 17,4 tri liun
pada tahun pertama menjadi Rp.30,1 triliun pada akhir Repelita VI.
Adapun pengeluaran pembangunan diperkirakan meningkat dari
Rp 27,4 triliun pada tahun pertama menjadi Rp 44,5 triliun pada
tahun terakhir Repelita VI. Gambaran secara rinci dapat dilihat
pada Tabel II.
Upaya
meningkatkan
tabungan
pemerintah
tersebut
diwujudkan melalui berbagai kebijaksanaan untuk meningkatkan
pendapatan negara, baik dari penerimaan migas maupun
penerimaan di luar migas, dan mengendalikan pengeluaran rut in.
Dalam rangka memantapkan sumber pendapatan negara,
Pemerintah mengupayakan peningkatan penerimaan negara di luar
migas sehingga mengurangi peranan penerimaan migas yang sangat
dipengaruhi oleh fluktuasi harganya di pasar internasional.
Sementara itu, pengendalian pengeluaran rutin dilakukan dengan
tetap mempertimbangkan kemampuan mendukung kelancaran roda
pemerintahan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kepada
II/10
masyarakat, dan meningkatkan kemampuan pemeliharaan aset
negara agar tetap dapat berfungsi secara optimal.
Tabungan pemerintah yang diperoleh dari selisih antara
penerimaan dalam negeri dan pengeluaran rutin, dilengkapi dengan
bantuan luar negeri, dibelanjakan dalam bentuk pengeluaran
pembangunan. Pengeluaran pembangunan diutamakan untuk
membiayai kegiatan-kegiatan yang memang menjadi tugas
pemerintah untuk melaksanakannya, kegiatan pembangunan yang
belum dapat dilaksanakan oleh masyarakat, kegiatan-kegiatan yang
produktif sesuai dengan prioritas dan memberikan dampak
sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat, serta kegiatan yang
dapat mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Sebagai upaya untuk menunjang berbagai kebijaksanaan guna
mewujudkan sasaran-sasaran di bidang keuangan negara seperti
diuraikan di atas, dilaksanakan program peningkatan penerimaan
negara dan program pembinaan kekayaan negara. Program
peningkatan penerimaan negara terutama diarahkan pada upaya
pengembangan perangkat keuangan negara, dan peningkatan
koordinasi dengan instansi-instansi terkait dalam rangka penggalian
potensi penerimaan negara baik antarsektor, antarregional maupun
kerjasama dengan negara lain seperti dalam hal perpajakan dan
berbagai bentuk pendapatan negara lainnya. Sementara itu, pro gram pembinaan kekayaan negara diarahkan untuk meningkatkan
tertib administrasi anggaran negara sesuai dengan prinsip -prinsip
kerja yang efisien dan efektif dalam rangka mendayagunakan
semua aset negara secara optimal bagi kepentingan pembangunan
nasional.
II/11
Dalam kaitan dengan pelaksanaan kegiatan program
pembinaan kekayaan negara dilakukan kegiatan pemutakhiran data
keuangan negara melalui perhitungan anggaran negara (PAN),
untuk lebih mencerminkan keadaan keuangan negara pada tahun
yang bersangkutan. Dalam laporan ini, data keuangan negara
yang sudah melalui PAN adalah sampai dengan tahun anggaran
1995/96. Sementara itu, data tahun anggaran 1996/97 dan
1997/98 masih menggunakan perhitungan APBN perubahan
(APBN-P).
2.
Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Sampai Dengan
Tahun Keempat Repelita VI
Kinerja keuangan negara dalam tahun terakhir Repelita V dan
tiga tahun pertama Repelita VI menunjukkan hasil yang
menggembirakan. Penerimaan dalam negeri jauh meningkat
melampaui sasarannya. Lebih dari itu, sasaran untuk memantapkan
sumber-sumber penerimaan di luar migas juga dapat terlaksana.
Realisasi penerimaan pajak untuk masing-masing tahun selama
kurun waktu tersebut dapat melampaui sasaran, meskipun pada
tahun 1995 pajak penghasilan, yang merupakan salah satu sumber
utama penerimaan pajak, diturunkan tarifnya dari 35 persen, 25
persen dan 15 persen menjadi 30 persen, 15 persen dan 10 persen.
Demikian pula upaya meningkatkan penerimaan bukan pajak dapat
melampaui sasarannya.
Dengan terlampauinya sasaran penerimaan dalam negeri
tersebut, meskipun pengeluaran rutin juga lebih tinggi dari
sasarannya, yang antara lain didorong oleh percepatan pembayaran
hutang luar negeri yang dilaksanakan sejak tahun pertama Repelita
VI (1994/95), realisasi tabungan pemerintah juga telah melampaui
II/12
sasarannya. Tabungan pemerintah selama kurun waktu tiga tahun
Repelita VI (tahun 1994/95 - 1996/97) masing-masing tercatat
Rp 22.349,0 miliar, Rp 22.578,9 miliar, dan Rp 23.224,1 miliar,
melampaui sasaran masing-masing yang sebesar Rp 17.386,3
miliar, Rp 19.070,8 miliar dan Rp 22.195,5 miliar. Perkembangan
tabungan pemerintah tersebut telah mengamankan pelaksanaan
pengeluaran pembangunan seperti yang direncanakan.
Namun dalam tahun terakhir Kabinet Pembangunan VI atau
tahun keempat Repelita VI, dipicu oleh depresiasi Rupiah yang
besar, realisasi tabungan pemerintah hanya mencapai Rp 23.577,6
miliar dan berada di bawah sasarannya yang sebesar Rp 25.659,0.
Dalam tahun tersebut, penerimaan dalam negeri sesungguhnya
masih jauh di atas sasarannya, yaitu Rp 108.183,8 miliar
dibandingkan sasarannya yang sebesar Rp 84.239,9 miliar.
Tingginya penerimaan tersebut didorong oleh penerimaan migas
yang besar, yaitu Rp 35.357,0 miliar, lebih dari dua kali lipat dari
sasarannya yang sebesar Rp 14.851,1 miliar. Penerimaan di luar
migas, baik penerimaan pajak maupun bukan pajak, juga
melampaui sasarannya. Masing-masing penerimaan tersebut
tercatat Rp 64.066,3 miliar dan Rp 8.760,5 miliar, lebih tinggi dari
sasaran masing-masing sebesar Rp 62.964,7 miliar dan Rp 6.424,1
miliar.
Namur pengeluaran rutin juga meningkat tajam. Pembayaran
bunga dan cicilan hutang luar negeri dan subsidi BBM
membengkak menjadi Rp 28.057,4 miliar dan Rp 15.866,1 miliar
dari sebesar Rp 22.120,8 miliar dan Rp l.416,1 miliar pada tahun
sebelumnya. Hal ini yang terutama menyebabkan sasaran
pengeluaran rutin dalam tahun keemp at Repelita VI yang sebesar
II/13
Rp 58.580,9 miliar jauh terlampaui, yaitu mencapai Rp 84.606,2
miliar.
Meskipun jumlah tabungan pemerintah tidak mencapai
sasarannya, nilai pengeluaran pembangunan pada tahun tersebut
yang sejumlah Rp 46.938,3 miliar masih berada di atas sasarannya
yang sebesar Rp 39.076,6 miliar. Keadaan ini dimungkinkan oleh
nilai Rupiah dari bantuan Iuar negeri yang jauh lebih tinggi dari
sasarannya, yaitu Rp 23.817,0 miliar dibandingkan Rp 13.417,6
miliar, yang disebabkan oleh nilai depresiasi Rupiah selama
pelaksanaan pembangunan dalam tahun tersebut yang jauh lebih
besar dari perkiraan semula. Sementara itu, keterbatasan tabungan
pemerintah telah menyebabkan dilakukannya penjadwalan ulang
beberapa proyek pembangunan yang telah dianggarkan dalam
APBN 1997/98 senilai Rp 3, 278,9 miliar.
Perkembangan realisasi anggaran pendapatan dan belanja
negara dari tahun 1992/93, 1993/94, dan 1994/95 - 1997/98 dapat
dilihat pada Tabel II-1.
Dalam tahun 1997/98, telah dipersiapkan RAPBN 1998/99.
Sebagai akibat gejolak nilai tukar rupiah, penyusunan RAPBN
dihadapkan pada sulitnya menentukan asumsi-asumsi dasar seperti
nilai kurs mata uang rupiah terhadap dollar Amerika, pertumbuhan
ekonomi rill dan inflasi. Depresiasi rupiah yang besar mempunyai
pengaruh menaikkan laju inflasi dan menurunkan laju pertumbuhan
ekonomi.
Besaran-besaran tersebut mempengaruhi baik sumber-sumber
penerimaan keuangan negara maupun unsur-unsur pengeluarannya.
Di sisi penerimaan, nilai tukar rupiah terutama berpengaruh pada
II/14
penerimaan migas dan bantuan luar negeri. Adapun pertumbuhan
ekonomi riil dan inflasi menentukan nilai nominal perekonomian
(Produksi Domestik Bruto Harga Berlaku). Unsur-unsur tersebut
berpengaruh pada penerimaan pajak, yang pemungutannya
didasarkan pada nilai nominal. Di sisi pengeluaran nilai tukar
rupiah menentukan besarnya dana rupiah yang harus disediakan
untuk membayar cicilan dan bunga hutang luar negeri.
Di samping itu, nilai tukar rupiah juga sangat berpengaruh
terhadap jumlah subsidi BBM yang harus disediakan. Hal ini
disebabkan sebagian dari minyak mentah untuk dikilang dan
konsumsi BBM dalam negeri dipenuhi dari impor. Adapun laju
inflasi mempengaruhi perkiraan pengeluaran negara secara
keseluruhan.
Sejak terjadinya krisis moneter, nilai tukar mata uang rupiah
dari hari ke hari terus berubah. Dengan mempertimbangkan
perkembangan terakhir dan arah perubahan di masa depan, maka
dipergunakan kurs Rp 4.000,-/US$. Dengan asumsi nilai tukar
rupiah tersebut, laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi
diperkirakan masing-masing sebesar 9 persen dan 4 persen.
Namun, setelah Nota Keuangan 1998/99 disampaikan
Pemerintah kepada DPR pada tanggal 6 Januari 1998, nilai tukar
rupiah terhadap mata uang asing, terutama dollar Amerika, terus
menunjukkan kecenderungan melemah. Oleh karena itu, sesuai
dengan prinsip bahwa anggaran negara harus realistis, Pemerintah
pada tanggal 23 Januari 1998 mengajukan revisi RAPBN 1998/99.
Dalam revisi tersebut ditetapkan nilai tukar rupiah sebesar
Rp 5000,/US$, laju inflasi sebesar 20 persen, dan pertumbuhan
ekonomi sebesar 0 persen.
II/15
a.
Penerimaan Dalam Negeri
1)
Penerimaan minyak bumi dan gas alam
Penerimaan minyak bumi dan gas alam dalam Repelita VI
terus meningkat setelah pada tahun 1993/94 mengalami penurunan
sekitar 18,4 persen dari tahun sebelumnya yang mencapai
Rp 15.330,8 miliar. Peningkatan penerimaan minyak bumi dan gas
alam ini utamanya disebabkan membaiknya harga minyak bumi di
pasar internasional yang selalu di atas harga patokan dalam APBN.
Walaupun tingkat ketergantungan pendapatan negara dari
penerimaan migas diarahkan untuk terus menurun, sumber
penerimaan ini terus diupayakan meningkat melalui pencarian dan
pengusahaan sumber daya migas dengan menciptakan iklim
investasi yang kondusif, penyederhanaan peraturan, serta
penyediaan data dan informasi penunjang. Selain itu juga
dilakukan intensifikasi dan ekstensifikasi eksplorasi migas,
pengoptimalan pengusahaan dan produksi dengan teknologi maju
melalui pemanfaatan lebih lanjut sumur migas yang ada, eksplorasi
daerah frontier, serta peningkatan kapasitas kilang yang ada.
Dengan berbagai upaya tersebut tingkat produksi minyak mentah,
termasuk kondensat dalam Repelita VI sampai dengan tahun
keempat dapat dipertahankan sekitar 1,5 juta barel per hari.
Perkembangan penerimaan migas di samping dipengaruhi
oleh tingkat produksinya juga dipengaruhi oleh harga minyak
bumi di pasar internasional dan perubahan nilai tukar dolar
Amerika terhadap Rupiah.
II/16
Perkembangan harga rata-rata minyak mentah Indonesia
(ICP = Indonesian Crude Price) selama Repelita VI cenderung
meningkat. Pada tahun 1993 harga minyak mentah Indonesia
mencapai US$ 17,25 per barel, kemudian sedikit menurun di tahun
1994 menjadi sekitar US$ 16,0 per barel. Sepanjang tahun 1995
rata-rata harga minyak Indonesia mengalami kenaikan menjadi
sekitar US$ 17,0 per barel dan membaik terus hingga pada tahun
1996 mencapai rata-rata sekitar US$ 20,0 per barel. Dalam tahun
1997, harga ekspor minyak bumi mengalami sedikit penurunan
menjadi rata-rata sekitar US$ 19,1 per barel. Namun dengan nilai
depresiasi Rupiah yang besar terutama pada semester II tahun
1997/98 penerimaan dari sektor minyak bumi dalam tahun tersebut
mencapai Rp 25.522,4 miliar, jauh di atas penerimaan tahun
sebelumnya yang sebesar Rp 14.519,6 miliar.
Peningkatan dalam penerimaan migas juga didukung oleh
hasil kegiatan pengolahan sumber gas alam dalam bentuk LNG
(Liquefied Natural Gas) dan LPG (Liquefied Petroleum Gas)
yang
mulai
dimanfaatkan
secara
lebih
optimal
dengan
dibangunnya kilang gas Bontang tahun 1977 dan kilang gas
Arun pada tahun 1978. Perkembangan penerimaan minyak bumi
dan gas alam tahun 1992/93, 1993/94, dan 1994/95 - 1997/98
dapat dilihat pada Tabel II-2.
2)
Penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam
Penerimaan dalam negeri di luar minyak bumi dan gas
alam terdiri dari penerimaan pajak dan bukan pajak.
Penerimaan dari perpajakan diupayakan untuk terus meningkat
secara mantap dan berkesinambungan seiring dengan peningkatan
kemampuan ekonomi masyarakat, sementara penerimaan bukan
II/17
pajakjuga diupayakan untuk menjadi salah satu penunjang penting
bagi pemantapan struktur penerimaan dalam negeri.
Secara garis besar kebijaksanaan di bidang perpajakan dal am
Repelita VI adalah memperluas basis pajak dan mengintensifkan
pemungutannya dengan tetap memperhatikan asas keadilan.
Penerimaan pajak terdiri dari penerimaan pajak penghasilan, pajak
pertambahan nilai, pajak bumi dan bangunan, bea masuk, cukai
pajak ekspor dan pajak lainnya.
Dalam tiga tahun pelaksanaan Repelita VI, jumlah
penerimaan pajak untuk masing-masing tahun tersebut melampaui
sasarannya. Untuk tahun 1997/98, meskipun realisasi penerimaan
pajak yang sebesar Rp 64.066,3 miliar juga melampaui sasaran
Repelitanya sebesar Rp 62.964,7 miliar, namun masih belum
mencapai sasaran APBN-nya yang sebesar Rp 64.714,6 miliar.
Tidak tercapainya sasaran APBN tersebut terutama dikarenakan
oleh tidak tercapainya sasaran penerimaan pajak penghasilan, pajak
pertambahan nilai dan bea masuk sebagai akibat krisis moneter.
Penerimaan dari pajak penghasilan (PPh) memegang
peranan strategis dalam struktur penerimaan pajak. Upaya
penggalian PPh di samping untuk mendapatkan penerimaan p ajak
yang besar, juga dalam rangka menegakkan asas keadilan yang
tercermin dalam progresivitas tarif pajak. Peningkatan penerimaan
PPh
dilakukan
melalui
intensifikasi
pemungutan
dan
ekstensifikasi objek dan wajib pajak. Selain itu, juga dilakukan
perluasan cara pemungutan PPh secara final terhadap jenis -jenis
penghasilan tertentu, seperti hadiah undian, bunga simpanan
anggota koperasi, penjualan saham, dan lain -lainnya.
II/18
Sementara itu, dalam rangka mendorong kegiatan
perekonomian nasional yang dalam jangka menengah akan
memperbesar basis pajak, tarif PPh diturunkan. Melalui UU No. 10
Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, ditentukan tarif
yang baru yaitu 10 persen atas penghasilan kena pajak (PKP)
sampai dengan Rp 25 juta, 15 persen atas PKP di atas Rp 25 juta
sampai Rp 50 juta dan 30 persen atas PKP di atas Rp 50 juta. Tarif
sebelumnya adalah sebesar 35 persen untuk PKP di atas Rp 50 juta,
25 persen untuk PKP antara Rp 10 juta sampai dengan Rp 50 juta,
dan 15 persen untuk PKP di bawah Rp 10 juta. Selain itu, dalam
rangka ekstensifikasi perpajakan telah diterbitkan SK Menteri
Keuangan Nomor 248 Tahun 1995 yang mengatur pengenaan PPh
atas penghasilan pihak-pihak yang melakukan kerjasama dalam
bentuk perjanjian bangunan guna serah atau build, operate and
transfer (BOT).
Sedangkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27
Tahun 1996, yang merupakan perubahan atas PP No. 48 Tahun
1994, pemerintah mengenakan PPh kepada penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Disamping itu,
melalui PP No. 392 dan 393 Tahun 1996, pemerintah mengenakan
tarif pajak penghasilan sebesar 5 persen dari jumlah bruto atas
penghasilan persewaan tanah dan atau bangunan. Demikian pula
bunga deposito/tabungan atau diskonto obligasi yang dijual di
bursa efek, serta penghasilan dari usaha jasa konstruksi, jasa
konsultan, dan jasa pelayaran/penerbangan luar negeri dikenai
pajak penghasilan sesuai SK Menteri Keuangan No. 416 dan 417
Tahun 1996.
II/19
Dengan dilakukannya penyempurnaan perundangan maupun
peraturan-peraturan pelaksanaannya, penerimaan PPh selama lima
tahun terakhir mengalami peningkatan. Apabila pada tahun 1993/94
penerimaan PPh baru mencapai Rp 14.758,9 miliar, maka pada
tahun 1997/98 diperkirakan mencapai Rp 28.458,2 miliar. Dengan
demikian selama empat tahun Repelita VI, penerimaan PPh
mengalami kenaikan rata-rata sebesar 17,8 persen per tahun.
Meskipun peningkatan PPh tersebut cukup tinggi, realisasi tahun
1997/98 masih di bawah sasaran APBN-nya yang sebesar
Rp 29.II7,7 miliar. Hal ini disebabkan merosotnya keuntungan
perusahaan-perusahaan sebagai akibat krisis ekonomi.
Sementara itu, penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN)
juga menunjukkan peningkatan yang cukup pesat. Sejak
diberlakukannya UU tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah pada tahun 1985 dan
disempurnakan lagi dengan UU No. II Tahun 1994 yang mulai
berlaku tanggal 1 Januari 1995, penerimaan PPN terus mengalami
peningkatan. Upaya meningkatkan penerimaan PPN ditempuh
dengan ekstensifikasi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang belum
terdaftar, pemantauan yang lebih tertib terhadap PKP yang
potensial, pen ingkatan pemeriksaan pajak, pengenaan sanksi terha dap PKP yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya, serta
melalui percepatan proses penyelesaian restitusi PPN.
Sementara itu, dalam rangka memperluas pengenaan
PPN terhadap barang/jasa yang belum terjangkau, maka melalui
Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1996 telah ditetapkan
pengenaan PPN atas penyerahan air bersih yang disalurkan
melalui pipa. Di samping itu, melalui Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 238 Tahun 1996 telah ditetapkan bahwa perusahaan
II/20
operator telepon selular sebagai pemungut PPN atas impor dan
atau penyerahan pesawat telepon selular.
Dari rangkaian penyempurnaan perundang-undangan dan
peraturan pajak pertambahan nilai, penerimaan PPN meningkat
tajam. Apabila pada tahun 1993/94 penerimaan PPN baru
mencapai Rp 13.943,5, maka pada tahun 1997/98 diperkirakan
mencapai Rp 24.501,0 miliar. Jumlah ini hampir sama dengan
rencana dalam APBN-nya yang sebesar Rp 24.601,4 miliar. Dengan
perkembangan tersebut penerimaan PPN dalam Repelita VI
mengalami peningkatan rata-rata sebesar 15,2 persen per tahun.
Selanjutnya adalah perkembangan penerimaan pajak bumi
dan bangunan (PBB). Pengenaan PBB di samping untuk
menghimpun penerimaan negara, juga dimaksudkan untuk
meningkatkan produktivitas tanah dan bangunan. Dalam rangka
meningkatkan penerimaan PBB, secara periodik telah dilakukan
penyesuaian nilai jual objek pajak (NJOP), pengembangan sistem
tempat pembayaran (SISTEP), pengembangan sistem informasi
manajemen objek pajak (SISMIOP), serta peningkatan kegiatan
penagihan terhadap PBB yang terutang. Penyesuaian NJOP secara
periodik dimaksudkan agar dapat diperoleh informasi tentang nilai
jual objek pajak yang wajar sesuai dengan perkembangan harga
tanah dan bangunan di daerah setempat.
Dalam rangka mendorong pendayagunaan tanah dan
bangunan agar termanfaatkan secara optimal sekaligus mengurangi
beban pajak masyarakat kecil, maka menurut Undang-undang PBB
yang baru nilai jual objek pajak tidak kena pajak (NJOP -TKP)
dinaikkan dari sebelumnya Rp 7 juta menjadi Rp 8 juta tahun 1994.
II/21
Walaupun ditetapkan kenaikan NJOP-TKP yang cukup
tinggi, berkat adanya kegiatan reklasifikasi tanah pertanian di
berbagai daerah dan peningkatan sistem administrasi melalui
sistem manajemen informasi objek pajak (SISMIOP), penerimaan
PBB selama lima tahun periode Kabinet Pembangunan VI
menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Apabila pada
tahun 1993/94 penerimaan PBB baru mencapai Rp l.484,5 miliar,
maka pada tahun 1997/98 meningkat menjadi Rp 2.655,0 miliar,
melampaui sasaran APBN-nya yang sebesar Rp 2.505,0 miliar.
Dengan perkembangan tersebut penerimaan PBB mengalami
kenaikan rata-rata sebesar 15,6 persen per tahun selama empat
tahun pelaksanaan Repelita VI.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan,
yang berlaku efektif bulan April 1996, dirancang untuk
mempersiapkan dunia usaha nasional memasuki dan sekaligus
memenangkan
persaingan
perdagangan
internasional
yang
semakin kompetitif. Dengan adanya undang-undang tersebut
diharapkan
seluruh
kegiatan
yang
berhubungan
dengan
perdagangan internasional dapat berjalan sesuai dengan prinsip prinsip yang telah disepakati bersama dengan bangsa-bangsa lain
serta sekaligus mendorong peningkatan efisiensi produksi dan
kualitas produk-produk yang diperdagangkan. Dalam rangka
menunjang kelancaran arus barang di pelabuhan, dewasa ini
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menerapkan sistem kepabean
yang modern melalui electronic data inter change (EDI) yaitu
suatu sistem pertukaran data bisnis aplikasi antarinstansi secara
elektronik dengan menggunakan standar yang disepakati bersama.
Dengan sistem yang baru ini diharapkan pelayanan arus barang
akan lebih cepat dan juga mengurangi biaya bongkar muat.
II/22
Rangkaian deregulasi di bidang tarif bea masuk, termasuk
paket Juni 1994 dan Mei 1995 yang pada intinya berupa
penurunan tarif impor secara bertahap untuk baran g-barang
tertentu diarahkan untuk meletakkan landasan yang kokoh dalam
menyongsong era perdagangan internasional yang semakin bebas,
terbuka dan kompetitif. Hal ini dilakukan karena bea masuk selain
berperan sebagai salah satu sumber penerimaan negara, jug a
berperan sebagai instrumen untuk mengatur arus dan pola impor
barang dalam rangka mendorong ekspor, mengembangkan industri
dalam negeri, dan menciptakan lapangan kerja.
Sebagai akibat dari penurunan tarif, meskipun impor barang
dan jasa terus meningkat, pendapatan dari bea masuk
berfluktuasi, dengan kecenderungan menurun pada tiga tahun
terakhir. Apabila pada tahun 1994/95 penerimaan bea masuk
mencapai Rp 3.900,1 miliar, maka tahun -tahun berikutnya
cenderung menurun hingga menjadi Rp 2.989,5 miliar pada tahun
1997/98. Penerimaan pada tahun 1997/98 tersebut lebih rendah dari
APBN-nya yang sebesar Rp 3.321,7 miliar. Depresiasi yang lebih
besar dari rencana di satu sisi menghasilkan nilai rupiah dari
pendapatan bea masuk yang lebih besar, tetapi di si si lain
menurunkan nilai impor. Dampak penurunan impor lebih besar dari
pada pengaruh depresiasi, sehingga sasaran penerimaan dalam
APBN tidak tercapai
Penerimaan cukai selama empat tahun pelaksanaan
pembangunan Kabinet VI terus menunjukkan peningkatan.
Apabila pada tahun 1993/94 penerimaan cukai baru mencapai
Rp 2.625,8 miliar, maka pada tahun 1997/98 diperkirakan
meningkat menjadi Rp 4.807,2 miliar. Penerimaan pada tahun
1997/98 ini melebihi sasaran APBN-nya yang sebesar Rp 4.436,3
II/23
miliar. Dengan demikian selama empat tahun pelaksanaan Repelita
VI, penerimaan cukai meningkat rata-rata sebesar 16,3 persen per
tahun.
Sumber penerimaan cukai terbesar adalah dari cukai
tembakau yang kontribusinya mencapai sekitar 97 persen.
Besarnya penerimaan cukai tembakau tergantung pada besarnya
produksi hasil-hasil tembakau, struktur tarif cukai, dan harga jual
hasil produksi tembakau.
Sementara itu, pengenaan pajak ekspor dengan tarif yang
cukup tinggi terhadap ekspor produk kelapa sawit dalam bentuk
CPO (crude palm oil), RBPO (refined bleached deodorized palm
oil), Crude Olein dan RBD Olein (refined bleached doedorized
olein) berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 439 Tahun
1994 telah meningkatkan penerimaan pajak ekspor secara cukup
berarti. Namun dengan adanya SK Menteri Keuangan Nomor 46
Tahun 1996 tentang penurunan tarif pajak ekspor sampai nol persen
untuk komoditi ekspor seperti kulit ternak olahan, sisa aluminium
dan skrap alloy serta aneka dupa wangi dari kayu cendana
menyebabkan penerimaan pajak ekspor tahun 1996/97 turun
menjadi Rp 70,0 miliar:
Melemahnya nilai Rupiah telah mendorong meningkatnya
ekspor, terutama komoditi yang bahan baku impornya tidak ada
atau kecil. Jumlah depresiasi Rupiah yang besar juga telah
meningkatkan nilai ekspor dalam Rupiah. Kedua faktor tersebut
menyebabkan penerimaan pajak ekspor meningkat lagi menjadi
Rp 125,4 miliar.
II/24
Kinerja pajak lainnya yang terdiri atas bea meterai dan bea
lelang, sangat ditentukan oleh banyaknya transaksi ekonomi yang
memerlukan
meterai
untuk
keabsahan
hukum.
Dengan
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang
Bea Meterai, yang disertai dengan upaya -upaya pencegahan
pemalsuan meterai dan pengawasan terhadap penggunaan mesin
teraan meterai, kinerja penerimaan pajak lainnya menunjukkan
perkembangan yang menggembirakan. Dalam tahun 1993/94,
penerimaan pajak lainnya baru mencapai Rp 283,4 miliar, maka
pada tahun 1997/98 meningkat menjadi Rp 530,0 miliar. Dengan
perkembangan tersebut penerimaan pajak lainnya selama empat
tahun pelaksanaan Repelita VI mencapai kenaikan rata -rata per
tahun sebesar 16,9 persen.
Sejalan dengan arah kebijaksanaan peningkatan penerimaan
dalam negeri, terutama penerimaan di luar migas, maka
penerimaan negara bukan pajak diharapkan dapat memberikan
sumbangan yang lebih besar dalam pembiayaan pembangunan.
Untuk itu, maka penerimaan yang berasal dari departemen/
lembaga pemerintah nondepartemen terus ditingkatkan antara lain
melalui penyempurnaan pengelolaannya, baik yang menyangkut
administrasi pemungutan, penyetoran, pembukuan dan pelaporan,
maupun pertanggungjawaban penerimaan dan penggunaannya.
Upaya itu, juga disertai dengan upaya peningkatan kem ampuan
para bendaharawan penerima, penyesuaian tarif yang sudah tidak
lagi memadai, serta peningkatan pengawasan di dalam
pelaksanaannya.
Upaya peningkatan penerimaan negara bukan pajak (PNBP)
yang bersumber dari bagian pemerintah atas laba BUMN
(termasuk bank-bank pemerintah), diarahkan pada peningkatan
II/25
efisiensi dan produktivitas BUMN, melalui langkah-langkah
seperti restrukturisasi BUMN yang antara lain meliputi perubahan
status hukum, kerjasama operasi dan kontrak manaj emen,
konsolidasi, merger, pemecahan badan usaha ke arah yang lebih
mantap, penjualan saham baik melalui pasar modal maupun secara
langsung, serta pembentukan perusahaan patungan. Dengan
upaya restrukturisasi tersebut, diharapkan profesionalisme BUMN
akan semakin meningkat, diikuti pula dengan peningkatan
permodalan, pemasaran, teknologi serta perbaikan fungsi -fungsi
yang lain, sehingga BUMN dapat terus meningkatkan kinerjanya.
Dalam
perkembangannya,
realisasi
PNBP
mengalami
peningkatan yang cukup tinggi. Pada tahun 1993/94, PNBP
mencapai Rp 6.944,6 miliar atau sekitar dua kali lipat penerimaan
tahun sebelumnya yang berjumlah Rp 3.440,3 miliar, yang antara
lain dihasilkan dari laba bersih minyak (LBM) sejumlah Rp 2.320,6
miliar. Pada tahun 1997/98, PNBP mencapai Rp 8.760,5 miliar.
Dengan demikian, rata-rata peningkatan penerimaan tersebut
selama empat tahun Repelita IV (tanpa memperhitungkan LBM)
adalah 17,3 persen per tahun.
Perkembangan rincian penerimaan di luar migas tahun
anggaran 1992/93, 1993/94, dan 1994/95-1997/98 dapat dilihat
pada Tabel II-3.
b.
Pengeluaran Rutin
Kebijaksanaan anggaran belanja rutin selama Repelita VI
diarahkan untuk mendukung kelancaran penyelenggaraan roda
pemerintahan dan meningkatkan pelayanan aparatur pemerintah,
serta diselaraskan dengan upaya menghimpun tabungan
II/26
pemerintah. Sejalan dengan arah kebijaksanaan tersebut, alokasi
anggaran belanja rutin dilaksanakan dengan mempertimbangkan
penerimaan dalam negeri dan dengan memperhatikan prinsip
efisiensi dan efektivitas penggunaan dana tanpa mengurangi mutu
pelayanan yang diberikan kepada masyarakat.
Dalam tiga tahun Repelita VI anggaran belanja rutin
meningkat tetapi dengan cukup terkendali, dari Rp 40.289,9 miliar
pada tahun 1993/94 menjadi Rp 61.568,0 miliar pada tahun
1996/97. Namun pada tahun 1997/98, pengeluaran rutin meningkat
tajam mencapai Rp 84.606,2 miliar. Ini berarti kenaikan dalam satu
tahun tersebut melebihi kenaikan selama tiga tahun sebelumnya.
Peningkatan yang tinggi pada tahun keempat Repelita VI tersebut
terutama disebabkan oleh membengkaknya pengeluaran subsidi
BBM dan pembayaran cicilan dan bunga hutang luar negeri yang
dipicu oleh depresiasi rupiah. Menghadapi kondisi ini, pengelu aran
rutin di luar kedua pos tersebut diupayakan untuk lebih terkendali
agar tabungan pemerintah tidak merosot lebih jauh.
Perkembangan pengeluaran rutin secara rinci dari tahun
anggaran 1992/93, 1993/94, dan 1994/95-1997/98 dapat dilihat
pada Tabel II-4.
Dalam tahun 1997/98, pembiayaan aparatur pemerintah
meningkat hingga mencapai Rp 28.521,6 miliar, yang terdiri dari
belanja pegawai pusat dan daerah masing-masing sebesar
Rp 19.175,0 miliar dan Rp 9.346,6 miliar. Jumlah pembiayaan
aparatur pemerintah pada tahun tersebut meningkat 4,3 persen
dibandingkan tahun sebelumnya, jauh di bawah rata -rata kenaikan
selama tiga tahun sebelumnya yang sebesar 15,6 persen per tahun.
II/27
Hal ini menunjukkan
pemerintah.
upaya
untuk
mengamankan
t abungan
Peningkatan belanja pegawai sebagian besar digunakan
untuk pembayaran gaji dan pensiun yang mengalami peningkatan
sejalan
dengan
adanya
kebijaksanaan
kenaikan
gaji,
bertambahnya jumlah pegawai dan diperlukannya tambahan
anggaran untuk menampung kenaikan gaji berkala, kenaikan
pangkat/golongan dan tambahan tunjangan-tunjangan pegawai
seperti tunjangan keluarga, tunjangan jabatan struktural, serta
dikembangkannya berbagai tunjangan jabatan fungsional.
Selain untuk pembayaran gaji dan pensiun, besarnya belanja
pegawai pusat juga dipengaruhi oleh peningkatan pembiayaan
untuk tunjangan beras, uang makan dan lauk -pauk, lain-lain
belanja pegawai dalam negeri, dan belanja pegawai luar negeri.
Perkembangan belanja pegawai dari tahun 1992/93, 1993/94, dan
1994/95-1997/98 dapat diikuti dalam Tabel II-5.
Sementara itu, dalam rangka mendukung kelancaran
kegiatan
pemerintahan
yang
semakin
meluas,
serta
peningkatan efektivitas dan efisiensi penggunaan berbagai
prasarana dan sarana fisik yang telah selesai pembangunannya,
diperlukan dukungan pembiayaan operasional dan pemeliharaan
yang memadai. Pemeliharaan proyek-proyek yang telah selesai
dibangun memiliki arti yang sangat penting, karena dapat
menghindarkan terjadinya pemborosan investasi yang telah
ditanamkan. Sebagian besar dari pembiayaan operasional dan
pemeliharaan tersebut dialokasikan melalui belanja barang.
Dalam tahun anggaran 1997/98, realisasi belanja barang mencap ai
sebesar Rp 9.031,9 miliar, atau meningkat sebesar 24,7 persen
II/28
dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan ini lebih rendah
dibandingkan rata-rata kenaikan selama tiga tahun pertama Repelita
VI sebesar 33,7 persen.
Peningkatan belanja barang yang cukup besar tersebut selain
untuk menampung kebutuhan kantor, inventarisasi kantor, biaya
perjalanan dinas, serta langganan daya dan jasa, juga untuk
membiayai pemeliharaan gedung kantor, rumah dinas, kendaraan
bermotor, dan aset lainnya. Selain itu, kenaikan tersebut juga
disebabkan karena ditampungnya belanja barang swadana
dari unit-unit swadana di berbagai departemen/LPND, perkem bangan harga dalam negeri, serta perubahan nilai tukar mata uang
yang berpengaruh terhadap belanja barang luar negeri.
Belanja operasional dan pemeliharaan juga dialokasikan ke
seluruh daerah dalam bentuk belanja nonpegawai daerah terutama
diperlukan untuk biaya operasional rumah sakit umum daerah,
biaya penyelenggaraan sekolah dasar negeri, serta bia ya pengganti
sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) sekolah dasar
negeri. Selain itu, juga untuk membiayai pengembangan objek objek wisata daerah, dan pembinaan usaha pertambangan dalam
rangka mengembangkan perekonomian daerah yang bersangkutan.
Dengan demikian, kemampuan pemerintah daerah dalam
menghimpun pendapatan asli daerah diharapkan akan dapat
ditingkatkan, agar secara bertahap mampu membiayai berbagai
urusan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya, baik di dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah maupun dalam pelaksanaan
pembangunan daerah.
Dalam tiga tahun pertama Repelita VI, rata-rata kenaikan
belanja non-pegawai mencapai 15,8 persen per tahun. Namun untuk
II/29
tahun 1997/98, kenaikannya
dibanding tahun sebelumnya.
lebih
rendah
yaitu
9,5
persen
Selain dialokasikan melalui belanja barang dan belanja
nonpegawai daerah otonom, pembiayaan operasional dan
pemeliharaan juga dialokasikan ke dalam pos lain-lain pengeluaran
rutin di luar subsidi BBM. Alokasi pembiayaan tersebut
dipergunakan untuk mendukung berbagai kegiatan pemerintahan
yang bersifat umum, antara lain menampung biaya jasa pos dan
giro, biaya bebas porto, biaya penyelenggaraan Pemilu, dan
berbagai jenis pembiayaan lainnya.
Dalam tahun 1997/98, pengeluaran pos tersebut mencapai
Rp 963,9 miliar, atau turun 40,2 persen dibandingkan tahun
sebelumnya. Sedang selama tiga tahun sebelumnya, pengeluaran
tersebut meningkat rata-rata 28,5 persen per tahun.
Sementara itu, realisasi pembayaran bunga dan cicilan
hutang juga terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1993/94
pembelanjaan untuk pos ini mencapai Rp 17.163,0 miliar, kemudian
meningkat terus sehingga dalam tahun 1996/97 realisasinya
mencapai Rp 23.431,8 miliar. Sebagian besar dari peningkatan
pembayaran hutang tersebut di atas, antara lain digunakan untuk
melakukan percepatan pembayaran (prepayment) terhadap sebagian
pinjaman luar negeri yang memiliki tingkat bunga tinggi yang
sampai dengan tahun anggaran 1996/97 dibiayai antara lain dari
hasil penjualan saham pemerintah pada PT. Telkom dan PT. Timah
di bursa modal internasional. Percepatan tersebut merupakan salah
satu upaya agar kewajiban pembayaran bunga dan cicilan hutang
luar negeri di masa mendatang dapat dikurangi, sehingga pada
gilirannya akan lebih memantapkan kondisi neraca pembayaran.
II/30
Pada tahun 1997/98 pos pembayaran bunga dan pokok
cicilan hutang mengalami peningkatan tajam hingga mencapai
Rp 29.697,I miliar yang terutama disebabkan oleh melemahnya
nilai tukar Rupiah.
c.
Dana Pembangunan dan Pengeluaran Pembangunan
Dana pembangunan terdiri dari tabungan pemerintah dan
bantuan luar negeri. Dalam menghimpun dana pembangunan
tersebut diupayakan agar peran tabungan pemerintah terus
meningkat. Pada tahun 1993/94 peranan tabungan pemerintah
dalam dana pembangunan tercatat sebesar 59,5 persen, sedang pada
tahun ketiga Repelita VI meningkat menjadi 67,8 persen. Namun
pada tahun 1997/98, dengan anjloknya nilai tukar Rupiah, nilai
dana bantuan luar negeri meningkat lebih dari dua kali lipat dari
tahun sebelumnya, dari Rp 11.048,1 miliar menjadi Rp 23.817,0
miliar. Sementara itu, dalam kurun waktu yang sama, tabungan
pemerintah hanya sedikit meningkat dari Rp 23.224,1 milia r
menjadi Rp 23.577,6 miliar. Sebagai akibatnya, peranan tabungan
pemerintah dalam dana pembangunan menurun tajam menjadi 49,7
persen. Upaya-upaya pemulihan yang tengah dan akan
dilaksanakan dewasa ini diharapkan dapat memulihkan kembali
kemampuan tabungan pemerintah dalam membiayai pengeluaran
pembangunan.
Perkembangan realisasi penghimpunan dana pembangunan
tahun 1992/93, 1993/94, dan 1994/95-1997/98 dapat diikuti dalam
Tabel II-6.
II/31
Pengeluaran pembangunan selama Repelita VI, diarahkan
terutama untuk menunjang upaya peningkatan pemerataan
pembangunan dan penanggulangan kemiskinan, pengembangan
dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM),
penyediaan prasarana dan sarana dasar ke segenap pelosok tanah
air, pengembangan potensi dan peningkatan peran serta
masyarakat dan dunia usaha dalam kegiatan pembangunan, serta
mendukung upaya pelestarian sumber daya alam dan fungsi
lingkungan hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan. Arahan pengeluaran pembangunan
tersebut bersifat lintas sektoral yang penanganannya dilaksanakan
di semua bidang dan sektor, dan di seluruh daerah.
1)
Pengeluaran Pembangunan Berdasarkan Sektor
Untuk mendukung pencapaian sasaran yang digaris kan
dalam pembangunan nasional, ditinjau dari alokasi sektoral,
bagian terbesar dari anggaran belanja pembangunan dalam selama
empat tahun Repelita VI digunakan untuk membiayai lima
sektor prioritas, yaitu Sektor Transportasi, Meteorolo gi dan
Geofisika, Sektor Pembangunan Daerah dan Transmigrasi, Sektor
Pertambangan dan Energi, Sektor Pendidikan, Kebudayaan
Nasional, Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Pemuda
dan Olah Raga, serta Sektor Pengairan. Kelima sektor tersebut
selama empat tahun Repelita VI menyerap dana sebesar 66,6 persen
dari total pengeluaran pembangunan.
Di
sektor
transportasi, meteorologi, dan geofisika,
realisasi anggaran pembangunan dalam periode yang sama
merupakan penyerap dana terbesar pertama yaitu sekitar 18, 9
persen dari total dana pembangunan. Untuk tahun 1997/98
II/32
pengeluaran pos ini sebesar Rp 9.362,1 miliar atau meningkat 54,5
persen dari tahun sebelumnya. Dengan perkembangan tersebut
berarti selama empat tahun Repelita VI, pos anggar an ini
mengalami kenaikan rata-rata sebesar 10,2 persen per tahun.
Anggaran pembangunan sektor tersebut antara lain
dimanfaatkan untuk menunjang pelaksanaan program rehabilitasi
dan pemeliharaan jalan dan jembatan, program peningkatan jalan
dan penggantian jembatan, program pembangunan jalan dan
jembatan, program pengembangan fasilitas lalu lintas jalan,
program
pengembangan
perkeretaapian,
serta
program
peningkatan angkutan sungai, danau dan penyeberangan. Di
samping itu, anggaran pembangunan sektor t ersebut juga
digunakan untuk membiayai program pengembangan fasilitas
pelabuhan laut, program keselamatan pelayaran, program
pembinaan/pengembangan
armada
pelayaran,
program
pengembangan fasilitas bandar udara, program keselamatan
penerbangan, program pembinaan/pengembangan armada udara,
program pengembangan meteorologi dan geofisika, serta program
pencarian dan penyelamatan.
Sementara itu, realisasi anggaran pembangunan sektor
pembangunan daerah dan transmigrasi merupakan penyerap dana
terbesar kedua, yaitu 18,1 persen dari keseluruhan pengeluaran
pembangunan periode yang lama. Untuk tahun anggaran 1997/98,
pos ini diperkirakan sebesar Rp 6.917,6 miliar atau meningkat
sebesar 2,3 persen dari tahun sebelumnya. Apabila dibandingkan
dengan tahun 1993/94 yang sebesar Rp 4.369,9 miliar,
maka realisasi anggaran pembangunan sektor tersebut meningkat
rata-rata 12,2 persen per tahun selama empat tahun Repelita VI.
II/33
Anggaran tersebut di atas dimanfaatkan antara lain untuk
membiayai program pembangunan desa, program pembangunan
daerah tingkat II, program pembangunan daerah tingkat I,
program pembangunan desa tertinggal, program pengembangan
kawasan
khusus,
program
permukiman
dan
lingkungan
transmigrasi, serta program pengerahan dan pembinaan transmigran.
Realisasi anggaran pembangunan di sektor pertambangan
dan energi untuk kurun waktu empat tahun Repelita VI
merupakan penyerap dana terbesar ketiga, yaitu 12,8 persen dari
total pengeluaran pembangunan. Khusus untuk tahun anggaran
1997/98 pos ini realisasinya diperkirakan mencapai sebesar
Rp 6.513,6 miliar atau meningkat 66,9 persen dari tahun
sebelumnya. Apabila dibandingkan dengan tahun terakhir Repelita
VI (1993/94), pengeluaran tahun selama empat tahun Repelita VI.
mengalami peningkatan rata-rata sebesar 12,9 persen per tahun.
Anggaran tersebut dimanfaatkan antara lain untuk menunjang
pelaksanaan program pengembangan geologi dan sumber daya
mineral,
program
pembangunan
pertambangan,
program
pengembangan usaha pertambangan rakyat terpadu, program
pengembangan tenaga listrik, program pengembangan listrik
perdesaan, serta program pengembangan tenaga migas, batubara
dan energi lainnya.
Dalam
periode
yang
sama, realisasi
anggaran
pembangunan
sektor
pendidikan,
kebudayaan
nasional,
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Pemuda dan Olah
Raga merupakan penyerap dana pembangunan terbesar keempat,
yaitu 10,3 persen dari keselu ruhan alokasi pengeluaran
II/34
pembangunan. Untuk tahun 1997/98 pos ini dianggarkan sebesar
Rp 4.675,3 miliar atau naik sebesar 28,6 persen dari
tahun sebelumnya. Apabila dibandingkan dengan pengeluaran
tahun 1993/43 yang sebesar Rp 2.761,6 miliar, maka pengeluaran
pos ini tahun 1997/98 tersebut mengalami kenaikan sebesar 69,3
persen atau meningkat rata-rata sebesar 14,1 persen per tahun.
Anggaran pembangunan sektor pendidikan ini antara lain
dipergunakan untuk mendukung pelaksanaan program pembinaan
pendidikan dasar, program pembinaan pendidikan menengah,
program pembinaan pendidikan tinggi, program pembinaan
tenaga kependidikan dan kebudayaan, serta program operasi dan
perawatan fasilitas pendidikan dan kebudayaan. Selain itu,
anggaran pembangunan sektor tersebut juga dimanfaatkan untuk
menunjang pelaksanaan program pendidikan luar sekolah, program
pendidikan kedinasan, program pembinaan dan pengembangan
nilai-nilai budaya, program pembinaan kebahasaa n, kesasteraan dan
kepustakaan, program pembinaan kesenian, program pembinaan
tradisi, peninggalan sejarah dan permuseuman, program pembinaan
penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, program
pembinaan
dan
pengembangan
pemuda,
serta
program
keolahragaan.
Selanjutnya, realisasi anggaran pembangunan di sektor
pengairan dalam periode yang sama menyerap dana kelima
terbesar, yakni 6,5 persen dari keseluruhan pengeluaran
pembangunan. Untuk tahun anggaran 1997/98 sendiri mendapat
alokasi dana sebesar Rp 3.107,9 miliar atau naik 46,7 persen dari
tahun sebelumnya. Apabila dibandingkan dengan tahun 1993/94
yang sebesar Rp l.299,0 miliar, maka pengeluaran sektor ini selama
empat tahun Repelita VI naik rata-rata 24,4 persen per tahun.
II/35
Anggaran tersebut di atas, digunakan antara lain untuk
membiayai program pengembangan dan konservasi sumber daya
air, program penyediaan dan pengelolaan air baku, program
pengelolaan sungai, danau dan sumber air lainnya, program
pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi, serta program
pengembangan dan pengelolaan daerah rawa.
Di samping kelima sektor prioritas tersebut, selama
pelaksanaan Repelita VI terdapat sektor-sektor lainnya yang
memperoleh alokasi anggaran yang cukup besar, di antaranya
sektor pertahanan dan keamanan, sektor pertanian dan kehutanan,
sektor perumahan dan permukiman, sektor kesejahteraan sosial,
kesehatan, peranan wanita, anak dan remaja, serta sektor
perdagangan, pengembangan usaha nasional, keuangan dan
koperasi. Perkembangan realisasi anggaran masing-masing sektor
tahun anggaran 1992/93, 1993/94, dan 1994/95-1997/98 dapat
diikuti dalam Tabel II-8.
2)
Pengeluaran pembangunan
pembiayaannya
menurut
jenis
Selain
dapat
ditinjau
secara
sektoral,
pengeluaran
pembangunan juga dapat diuraikan menurut jenis pembiayaanya,
yaitu
pembiayaan
pembangunan
melalui
berbagai
departemen/lembaga negara, bantuan pembangunan daerah, dan
pengeluaran pembangunan lainnya. Selama empat tahun Repelita
VI, realisasi pengeluaran pembangunan rupiah (tidak termasuk
bantuan proyek) mencapai 53,7 persen dari seluruh pengeluaran
pembangunan.
II/36
Perkembangan pengeluaran pembangunan rupiah menurut
jenis pembiayaannya tahun 1992/93, 1993/94, dan 1994/95 1997/98 secara lebih rinci dapat diikuti dalam Tabel II -7.
Selama periode pelaksanaan pembangunan empat tahun
tersebut, realisasi pengeluaran pembangunan departemen/lembaga
negara (tidak termasuk bantuan proyek) mencapai Rp 34.899,4
miliar, atau merupakan 46,4 persen dari dana pembangunan rupiah.
Pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara diarahkan
untuk meningkatkan kualitas pelayanan masyarakat, menunjang
pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pengembangan
sumber daya manusia, serta mengoptimalkan dan meningkatkan
manfaat dari prasarana dan sarana dasar yang sedang dan telah
dibangun selama ini.
Sementara itu, bantuan pembangunan daerah yang tercakup
dalam berbagai program Inpres, dan program pembangunan daerah
yang dibiayai dengan dana bagi hasil penerimaan PBB diarahkan
terutama untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil hasilnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat,
menggalakkan prakarsa dan peran aktif mas yarakat dalam
pembangunan, serta meningkatkan pendayagunaan potensi daerah
secara optimal dan terpadu dalam mengisi otonomi daerah yang
nyata, dinamis, serasi dan bertanggung jawab. Dalam rangka
mempercepat upaya pemerataan pembangunan di seluruh wilayah
tanah air, terutama mengurangi jumlah penduduk miskin dan
jumlah desa/kelurahan tertinggal, sejak tahun pertama Repelita VI,
telah dilancarkan program bantuan pembangunan desa tertinggal
(Inpres Desa Tertinggal, IDT) sebagai tambahan bagi program program penanggulangan kemiskinan yang ada dan telah
dilaksanakan dalam tahun-tahun sebelumnya. Program tersebut
II/37
diarahkan untuk mengkoordinasikan berbagai program yang sudah
ada, baik yang bersifat sektoral maupun yang bersifat regional
dalam mencapai sasaran penanggulangan kemiskinan secara lebih
terpadu, khususnya di desa/kelurahan tertinggal.
Dalam rangka meningkatkan otonomi daerah secara lebih
nyata, dinamis, serasi dan bertanggung jawab, sejak tahun
anggaran 1994/95 sistem alokasi program bantuan pembangunan
daerah disempurnakan dan disederhanakan dengan mengalihkan
sebagian dana program bantuan khusus ke dalam program bantuan
umum. Program bantuan yang dialihkan tersebut di antaranya
meliputi program pemugaran perumahan perdes aan, bantuan
pemugaran pasar kecamatan, Inpres penghijauan, bantuan
rehabilitasi SD dan Madrasah lbtidaiyah, serta Inpres
peningkatan jalan Dati II, dialihkan ke dalam bantuan
pembangunan Dati II. Seperti diketahui bantuan pembangunan dan
pemugaran pasar kecamatan semula merupakan jenis pembiayaan
Inpres yang berdiri sendiri di mana pemanfaatan dananya
ditentukan oleh pusat sesuai dengan sektor masing -masing.
Sedangkan bantuan penghijauan semula bersama -sama bantuan
reboisasi juga merupakan jenis pembiayaan Inpres yang berdiri
sendiri, sejak tahun 1994/95 dipisah dengan digabungkannya jenis
pembiayaan untuk reboisasi ke dalam program lnpres Dati I. Di
samping menampung Inpres reboisasi, program Inpres Dati I juga
menampung Inpres peningkatan jalan propinsi yang semula
merupakan jenis pembiayaan Inpres tersendiri. Pengalihan
beberapa program Inpres tersebut juga dimaksudkan untuk
mengantisipasi semakin meningkatnya kegiatan pembangunan
daerah. Selain itu beberapa kegiatan pembangunan sektoral t elah
dialihkan ke dalam berbagai Inpres, sehingga makin memperluas
cakupan Inpres-lnpres tersebut. Dalam periode empat tahun
II/38
Repelita VI, realisasi anggaran berbagai program
mencapai 44,0 persen dari realisasi dana rupiah.
Inpres
Selanjutnya realisasi pengeluaran pembangunan lainnya
dalam periode yang sama mencapai sebesar Rp 7.195,5 miliar,
merupakan 9,6 persen dari total dana Rupiah yang terserap. Alokasi
anggaran pembangunan lainnya ini antara lain adalah untuk
pembiayaan subsidi pupuk, penyertaan modal pemerintah (PMP)
dan lain-lain pembangunan (LLP).
Sejalan dengan semakin membaiknya penghasilan petani
sebagai akibat dari kebijaksanaan kenaikan harga gabah, maka
dalam rangka menurunkan beban anggaran negara serta
meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan pupuk oleh
petani, secara bertahap anggaran untuk subsidi pupuk dikurangi.
Sementara itu, anggaran yang disediakan bagi program
penyertaan modal pemerintah (PMP) diberikan secara lebih
selektif kepada berbagai institusi dan badan usaha milik negara
(BUMN), dan digunakan antara lain untuk pembiayaan proyek
penyediaan perumahan rakyat (KPR-BTN), pembinaan dan
pengembangan industri strategis, serta untuk iuran keanggotaan
pemerintah Indonesia pada berbagai organisasi inte rnasional.
Pembiayaan lain-lainnya diarahkan secara lebih efisien dan
efektif untuk menampung berbagai program pemerintah yang
tidak tercakup dalam pembiayaan departemen dan pembiayaan
daerah, di antaranya untuk membiayai proyek penyediaan subsidi
benih, proyek pengadaan air bersih perkotaan, serta proyek penye hatan lingkungan permukiman. Perkembangan pengeluaran
pembangunan Rupiah menurut sektor dan subsektor tahun
II/39
1992/93, 1993/94,
Tabel II-9.
dan
1994/95-1997/98
dapat
diikuti
pada
Di samping dibiayai dengan dana rupiah, pengeluaran
pembangunan. juga dibiayai dengan dana yang berasal dari
bantuan proyek. Sesuai dengan prioritas pembangunan, anggaran
pembangunan bantuan proyek digunakan terutama untuk
penyediaan prasarana dan sarana ekonomi, pengembangan dan
penerapan teknologi, serta peningkatan kualitas sumber daya
manusia. Secara keseluruhan penyerapan bantuan proyek selama
empat tahun Repelita VI mencapai 46,3 persen dari total
pengeluaran pembangunan. Khusus untuk tahun anggaran 1997/98
jumlah realisasi pengeluaran pembangunan bantuan proyek
mencapai
sebesar Rp 23.817,0 miliar, naik 115,6 persen dari
tahun sebelumnya yang mencapai Rp II.048,1 miliar.
Perkembangan realisasi bantuan proyek menurut sektor dan
subsektor tahun 1992/93, 1993/94, dan 1994/95 -1997/98 dapat
dilihat pada Tabel II-10.
C.
MONETER DAN LEMBAGA-LEMBAGA
KEUANGAN
1.
Sasaran, Kebijaksanaan, dan Program Repelita VI
Sasaran pembangunan moneter dalam Repelita VI adalah
meningkatnya tabungan masyarakat guna memenuhi kebutuhan
pembiayaan investasi masyarakat. Sehubungan dengan itu,
kebijaksanaan moneter diarahkan untuk menunjang pemerataan
hasil-hasil pembangunan, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan
memelihara stabilitas ekonomi melalui upaya pengendalian
II/40
moneter. Untuk tercapainya tujuan pembangunan tersebut
diperlukan dana pembiayaan pembangunan yang diupayakan
semakin banyak bersumber pada kemampuan sendiri.
Sasaran tabungan masyarakat dalam Repelita VI se besar
Rp 561,2 triliun. Dengan sasaran ini maka pangsa tabungan
masyarakat terhadap tabungan dalam negeri mencapai 73,8 persen.
Untuk mencapai sasaran tabungan masyarakat tersebut,
ditempuh kebijaksanaan yang dapat meningkatkan efisiensi
lembaga keuangan dalam menghimpun dan menyalurkan dana
masyarakat. Salah satu langkah kebijaksanaan yang dilakukan
selama empat tahun pelaksanaan Repelita VI adalah melaksanakan
Program Pembinaan Lembaga Keuangan. Program ini bertujuan
untuk meningkatkan fungsi dan peranan bank ataupun lembaga
keuangan lainnya seperti lembaga pembiayaan, asuransi, dana
pensiun dan pasar modal, agar mampu menampung dan
menyalurkan aspirasi dan minat masyarakat untuk berperan aktif
dalam pembangunan. Lembaga keuangan diarahkan semakin
mampu berperan sebagai penggerak dan sarana mobilisasi dana
masyarakat yang efektif dan sebagai penyalur yang cermat.
Program Pembinaan Lembaga Keuangan ini terdiri atas Sub
Program Pembinaan Lembaga Pasar Uang dan Sub Program
Pembinaan Lembaga Pasar Modal. Sub Program Pembinaan
Lembaga Pasar Uang bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan
peranan bank ataupun lembaga keuangan lainnya seperti lembaga
pembiayaan, asuransi, dana pensiun dan pasar uang sehingga makin
mampu berperan sebagai penggerak dan sarana mobilisasi dana
masyarakat dan sebagai penyalur dana yang cermat dan efektif.
Sedangkan Sub Program Pembinaan Pasar Modal bertujuan untuk
II/41
lebih meningkatkan fungsi pasar modal agar mampu berperan
sebagai penggerak dan sarana mobilisasi dana masyarakat yang
efektif melalui pemilikan saham perusahaan yang menjual saham
dan obligasi di pasar modal (go public).
2.
Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Sampai Dengan
Tahun Keempat Repelita VI
a.
Moneter
Kebijaksanaan moneter yang diterapkan selama Repelita VI
tetap diarahkan untuk mendukung tercapainya tujuan pembangunan
nasional yang bertumpu pada Trilogi Pembangunan. Untuk
menjaga kelangsungan pembangunan dan menunjang pencapaian
tujuan tersebut, langkah-langkah pelaksanaan kebijaksanaan
moneter beserta piranti-piranti yang digunakan senantiasa
diarahkan untuk dapat memenuhi kecukupan likuiditas yang
diperlukan dengan suku bunga yang wajar guna mendukung
pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa diikuti memanasnya
ekonomi nasional. Dalam kaitan ini, kebijaksanaan pengendalian
jumlah uang beredar memegang peranan penting, di samping
kebijaksanaan-kebijaksanaan lainnya di sektor moneter seperti
kebijaksanaan suku bunga, nilai tukar, perkreditan, dan
kebijaksanaan pinjaman luar negeri.
Dalam kerangka tersebut, pertumbuhan uang beredar dalam
arti luas (M2) dan kredit perbankan dijadikan sebagai sasaran
indikatif guna mendukung sasaran di atas. Sentimen pasar sewaktu waktu dapat mendorong perubahan arus modal yang keluar-masuk
dalam jumlah besar pada kurun waktu 1990 -an dan menimbulkan
gejolak keuangan. Pengendalian ekspansi uang beredar yang
II/42
berasal dari aliran dana luar negeri dilakukan dengan mengurangi
minat investor untuk melakukan penanaman modal yang bersifat
spekulatif melalui pelebaran dan pelebaran rentang kurs intervensi.
Dalam kaitan dengan kebijaksanaan tersebut, nilai tukar rupiah
terus diupayakan agar tetap realistis dan tidak menghambat
pertumbuhan ekspor.
Pada tahun pertama Repelita VI upaya untuk mengurangi
dampak
yang
kurang
menguntungkan
akibat
semakin
meningkatnya aliran modal masuk jangka pendek dilakukan
melalui pengendalian uang beredar dengan menaikkan tingkat
diskonto SBI, pelebaran kurs jual-beli valuta asing dan
penyempurnaan ketentuan posisi devisa neto perbankan.
Dalam
tahun
kedua
Pemerintah
berupaya
untuk
meningkatkan fleksibilitas nilai tukar rupiah dengan menerapkan
batas kurs intervensi dan melakukan beberapa kali penyesuaian.
Selain itu, untuk menghadapi spekulasi valuta asing, telah
diadakan kerjasama dengan bank sentral negara -negara tetangga
melalui transaksi repo (repurchase agreement) surat-surat berharga.
Pada tahun ketiga Repelita VI langkah-langkah kebijaksanaan
moneter tersebut diperkuat dengan pemberlakuan ketentuan giro
wajib minimum (GWM) sebesar 3 persen pada bulan Februari
1996, yang kemudian dinaikkan menjadi 5 persen pada bulan April
1997. Selain itu, dilakukan pula penyempurnaan ketentuan
penerimaan pinjaman komersial luar negeri oleh bank dan badan
usaha bukan bank pada bulan Maret 1997. Di samping itu, juga
dilakukan persuasi moral agar bank memberikan kredit sesuai
rencana kerja tahunan mereka serta mentaati ketentuan mengenai
permodalan dan batas maksimum pemberian kredit.
II/43
Memasuki tahun keempat Repelita VI terjadi gejolak mata
uang di berbagai negara di kawasan Asia Tenggara dan Korea
Selatan sejak pertengahan tahun 1997 yang bermula dengan mata
uang Bath Thailand, kemudian merembet ke mata uang lain
termasuk rupiah. Rupiah bersama-sama mata uang lainnya
melemah terhadap dolar Amerika dan mata uang kuat dunia
lainnya. Bahkan dampaknya terhadap rupiah dewasa ini adalah
yang paling besar, dalam arti depresiasi rupiah terhadap dolar
Amerika jauh lebih besar daripada terhadap mata uang lainnya di
kawasan ini.
Dalam menghadapi tekanan pada kurs rupiah, telah
diupayakan langkah-langkah penyesuaian likuiditas yang beredar di
masyarakat. Kondisi likuiditas diperketat dan tingkat suku bunga
dinaikkan agar dapat menopang nilai dan daya tarik rupiah relatif
terhadap mata uang kuat dunia. Pada pertengahan Agustus 1997,
diputuskan untuk mengubah penentuan kurs kepada mekanisme
pasar. Langkah ini diambil setelah mengambil pelajaran dari
perkembangan moneter yang terjadi di kawasan Asia Tenggara.
Nilai rupiah yang terus merosot tajam terhadap dolar Amerika
Serikat menyulitkan sektor swasta untuk mengembalikan pinjaman
luar negerinya. Masalah ini kemudian berkembang menjadi
menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap r upiah dan sistem
perbankan. Gejolak nilai tukar rupiah telah mendorong pula
meningkatnya laju inflasi dan tingkat pengangguran. Kenaikan laju
inflasi terkait pula dengan timbulnya kesulitan impor, sebagai
akibat tidak dihormatinya LC dari Indonesia, sehingga beberapa
kebutuhan pokok menjadi lebih langka dan harganya meningkat.
II/44
Juga ekspor beberapa komoditi
terhambatnya impor bahan baku.
sempat
terhambat,
karena
Untuk menghadapi tekanan pada kurs rupiah yang berlanjut,
diambil langkah-langkah kebijaksanaan berupa penurunan giro
wajib minimum valuta asing, pembatasan transaksi berjangka
valuta asing (forward), dan pemberian fasilitas pembiayaan
sebelum dan sesudah pengiriman barang ekspor serta fasilitas
penjaminan devisa pada nilai tukar tertentu (swap).
Pada akhir Oktober 1997 disusun kebijaksanaan dan program
ekonomi dan keuangan yang ditujukan untuk meningkatkan
efisiensi nasional, meningkatkan daya tahan ekonomi serta
memperbaiki daya saing perekonomian. Dalam kerangka ini,
Indonesia bekerjasama dengan badan-badan internasional seperti
Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Bank
Pembangunan Asia (ADB) dengan bantuan dari negara -negara
sahabat.
Program-program di hidang ekonomi dan keuangan tersebut
antara lain meliputi penyehatan sektor keuangan dan stabilisasi
moneter termasuk kurs mata uang. Penyehatan sektor keuangan
mencakup perbankan baik swasta, pemerintah dan bank
pembangunan daerah, lembaga pembiayaan, asuransi, dan dana
pensiun, serta lembaga-lembaga di pasar modal seperti reksadana
dan perusahaan efek.
Program-program ini diperkuat lagi pada pertengahan Januari
1998 dengan serangkaian kebijaksanaan seperti yang tertuang
dalam 50 butir kesepakatan dengan Dana Moneter Internasional
(IMF). Untuk mengehdalikan dan mengawasi pelaksanaan program
II/45
reformasi dan restrukturisasi ekonomi dan keuangan tersebut
dibentuk Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan.
Guna memperbaiki dan meningkatkan kepercayaan masyarakat
terhadap rupiah dan perbankan nasional, pada bulan Januari 1998
telah dibentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Dan telah
diambil berbagai langkah lainnya untuk memulihkan kembali
kepercayaan kepada ekonomi Indonesia. Antara lain penyelesaian
hutang luar negeri swasta, jaminan pemerintah ata s deposito
masyarakat dan pinjaman perbankan, merjer bank BUMN dan
penyesuaian batas minimal modal bank swasta. Dalam rangka
menstabilkan nilai tukar rupiah, dewasa ini sedang dikaji
pembentukan Sistem Dewan Mata Uang (Currency Board System).
Dalam sistem seperti ini, nilai suatu mata uang (rupiah) terhadap
mata uang acing (dolar AS) ditentukan pada nilai tukar yang tetap:
Hal ini diharapkan dapat memberikan kepastian kepada dunia
usaha.
Sementara itu, selama empat tahun Repelita VI jumlah uang
beredar (M1) mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 19,9 persen
per tahun, dari Rp 37,9 triliun pada tahun 1993/94. menjadi Rp 78,3
triliun pada bulan Desember 1997. Pertumbuhan tertinggi terjadi
pada tahun 1993/94 yaitu sebesar 23,9 persen (Tabel II -11).
Kenaikan jumlah uang beredar tersebut terutama terjadi karena
peningkatan uang giral yaitu sebesar 23,5 persen. Dilihat dari
komposisinya, peranan uang giral terhadap Ml semakin meningkat
dari 59,5 persen pada tahun 1993/94 menjadi 63,7 persen pada
Desember 1997. Hal ini mengindikasikan semakin berkembangnya
proses giralisasi dalam masyarakat.
Uang kuasi yang terdiri dari deposito berjangka dan tabungan
dalam periode yang sama mengalami pertambuhan rata -rata 25,7
II/46
persen per tahun. Dengan pertumbuhan tersebut, likuiditas
perekonomian (M2) yang terdiri dari uang beredar (M1) dan uang
kuasi meningkat rata-rata 24,3 persen per tahun.
Pertumbuhan uang beredar yang cukup terkendali selama 4
tahun Repelita VI, merupakan cermin dari kebijaksanaan moneter
yang berhati-hati agar permintaan barang dan jasa di dalam negeri
dapat tumbuh dalam batas-batas daya dukung kapasitas produksi
nasional.
Sampai dengan tahun ketiga Repelita VI stabilitas ekonomi
semakin mantap seperti tercermin dari penurunan tingkat infl asi
dari 10,0 persen pada tahun 1992/93 menjadi satu angka inflasi per
tahun dari tahun 1993/94 Sampai dengan 1996/97 (Tabel II -12).
Namun selama 10 bulan pertama tahun 1997/98, angka inflasi telah
mencapai 16,0 persen, dipicu oleh krisis moneter seba gai akibat
melemahnya nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dan
musim kemarau panjang yang melanda berbagai daerah.
Dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan
uang beredar dalam arti luas (M2), sumber utama yang
mempengaruhinya adalah peningkatan kredit kepada sektor swasta.
Sumbangan peningkatan kredit pada tahun 1993/94 sebesar Rp 34,0
triliun meningkat menjadi Rp 94,9 triliun pada bulan Desember
1997. Sektor keuangan pemerintah dalam Repelita VI menunjukkan
pengaruh mengurang yang cukup besar, dari Rp l,9 triliun pada
tahun 1993/94, secara bertahap meningkat menjadi Rp 16,7 triliun
pada tahun 1997/98. Rincian lebih lanjut faktor -faktor yang
mempengaruhi perubahan uang beredar, dapat dilihat pada Tabel
II-13.
II/47
Berkaitan dengan pengendalian uang beredar, kebijaksanaan
suku bunga dalam Repelita VI diarahkan untuk mendorong
kegiatan masyarakat untuk menghasilkan barang dan jasa, di sisi
lain merangsang minat masyarakat untuk menabung dan mencegah
pelarian modal ke luar negeri. Suku bunga kredit modal kerja
sebesar 21,7 persen pada tahun 1992/93 diupayakan untuk menurun
menjadi di bawah 20 persen sampai dengan bulan Juli 1997.
Dengan diupayakannya pengendalian moneter yang ke tat sejak
bulan Agustus 1997, yang didahului oleh kenaikan tingkat diskonto
SBI secara berarti, tingkat suku bunga deposito berjangka dan
kredit juga meningkat (Tabel II-14).
Perkembangan
suku
bunga
mempengaruhi
upaya
penghimpunan dana masyarakat. Dana masyarakat yang dihimpun
perbankan selama empat tahun Repelita VI bertambah sebesar
Rp 213,0 triliun atau tumbuh rata -rata sebesar 25,4 persen per tahun.
Pertumbuhan dana masyarakat mencapai puncaknya pada tahun
1995/96 yaitu sebesar 28,7 persen, dimana pangsa deposito
berjangka mencapai 57,4 persen (Tabel II-15).
Dari dana masyarakat yang dihimpun tersebut, simpanan
dalam bentuk giro, baik dalam rupiah maupun valuta asing, selama
empat tahun Repelita VI (1993/94 – 1997/98) bertambah sebesar
Rp 51,4 triliun atau naik rata-rata 27,2 persen per tahun. Sementara
itu, jumlah deposito berjangka dalam rupiah yang berhasil
dihimpun perbankan dalam periode yang sama telah meningkat
sebesar Rp 76,7 triliun atau naik rata-rata 26,6 persen per tahun
(Tabel II-16). Meskipun demikian, pertumbuhannya dalam tahun
1997/98 hanya sebesar 5,4 persen. Hal ini dipengaruhi oleh
merosotnya nilai tukar rupiah yang tajam, sehingga penempatan
dana pada deposito berjangka rupiah menjadi kurang mena rik,
II/48
walaupun tingkat suku bunganya telah dinaikkan. Gejala serupa
juga terlihat pada perkembangan tabungan, dalam tabel II -17 dan
sertifikat deposito bank, dalam Tabel II -18.
Dana masyarakat dalam bentuk tabungan selama empat tahun
Repelita VI meningkat sebesar Rp 30,4 triliun atau tumbuh rata -rata
16,0 persen per tahun. Sedangkan ditinjau dari sudut jumlah
penabung, jumlah rekening tabungan meningkat sebesar 19,8 juta
buah atau naik rata-rata 10,4 persen per tahun. Meskipun demikian,
dalam tahun keempat Repelita VI, pertumbuhannya hanya
mencapai 2,5 persen, yang menunjukkan kecenderungan yang sama
seperti deposito berjangka rupiah.
Di sisi penyaluran dana, arah kebijakan perkreditan pada
Repelita VI dilandasi oleh paket Januari 1990, yaitu mendorong
pengembangan usaha kecil dan pengembangan ekspor, antara lain
melalui penyehatan sistem perkreditan yang dapat meningkatkan
efisiensi alokasi dana masyarakat ke arah kegiatan produktif,
pengurangan peranan kredit likuiditas, pembentukan suku bunga
berorientasi pasar, dana penyempurnaan kredit usaha kecil (KUK)
agar lebih terarah dengan didukung seluruh bank. Termasuk di
dalamnya adalah perlunya perbankan mengarahkan penyaluran
dananya kepada usaha kecil secara padat karya sehingga dapat
memberikan dampak positif terhadap peningkatan kesempatan
kerja.
Sejalan dengan upaya penghimpunan dana, selama empat
tahun Repelita VI kredit perbankan meningkat sebesar Rp 232,1
triliun atau naik rata-rata 25,4 persen per tahun, yang mencapai
puncaknya pada tahun 1997/98 yaitu sebesar 27,2 persen.
II/49
Menurut sektor perbankan, pemberian kredit oleh bank
swasta nasional menunjukkan pertumbuhan tertinggi, yaitu dari
Rp 68,4 triliun pada tahun 1993/94 menjadi Rp 187,5 triliun sampai
dengan bulan Desember 1997 atau tumbuh rata-rata 28,7 persen per
tahun. Selain itu, telah terjadi pergeseran pangsa penyaluran kredit
sejak tahun 1994/95, pangsa kredit bank swasta nasional telah
melampaui pangsa kredit bank-bank pemerintah (Tabel II-19).
Keadaan tersebut dimungkinkan oleh bertambahnya jumlah bank,
kantor cabang serta penghimpunan dana bank swasta nasional yang
lebih cepat akibat deregulasi perbankan.
Menurut sektor ekonomi, penyaluran kredit kepada sektor
jasa-jasa mencatat peningkatan tercepat, yait u rata-rata sebesar 34,0
persen per tahun selama empat tahun Repelita VI. Sementara itu,
sejak tahun 1995/96, telah terjadi pergeseran penyaluran kredit
dimana pangsa penyaluran kredit kepada sektor jasa -jasa
melampaui pangsa penyaluran kepada sektor produ ksi, yang terdiri
dari sektor pertanian, pertambangan dan perindustrian (Tabel II 20). Sedangkan perkembangan realisasi kredit investasi menurut
sektor ekonomi dalam periode yang sama dapat dilihat pada Tabel
II-21.
b. Lembaga-lembaga Keuangan
1. Perbankan
Jangkauan pelayanan jasa perbankan telah semakin luas
hingga ke pelosok daerah di seluruh wilayah Indonesia selama
empat tahun pelaksanaan Repelita VI. Jumlah bank sampai dengan
akhir tahun 1997 mencapai 223 bank yang terdiri dari 7 Bank
Persero, 146 Bank Swasta Nasional, 27 Bank Pembangunan
II/50
Daerah, 33 Bank Campuran, dan 10 Bank Asing. Jumlah kantor
bank juga meningkat dari 7095 kantor pada tahun 1993/94 menjadi
7143 kantor. Dari segi penyebarannya, sebagian besar kan tor bank
masih terkonsentrasi di wilayah Indonesia bagian barat, khususnya
di Pulau Jawa. Namun pertumbuhan jumlah kantor pertahunnya di
wilayah Indonesia bagian timur lebih tinggi daripada wilayah
bagian barat, yaitu 11,9 persen dibandingkan dengan 9, 3 persen.
Sementara itu, total aset perbankan meningkat dari Rp 283,3 triliun
pada tahun 1993/94 menjadi Rp 614,5 triliun pada tahun 1997.
Seluruh bank mum, tanpa terkecuali bank asing dan bank
campuran sejak bulan April 1997, harus memenuhi ketentuan
penyaluran Kredit Usaha Kecil (KUK). Agar penyaluran kredit ini
dapat berperan dalam program pengentasan kemiskinan, maka
mekanisme dan persyaratan penyalurannya senantiasa disempurna kan. Sebagai contoh upaya tersebut adalah pengembangan akses
usaha kecil memperoleh KUK, antara lain melanjutkan pelaksanaan
Proyek Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat
(PHBK) dan Proyek Kredit Mikro (PKM), serta Proyek
Pengembangan Usaha Kecil (PPUK). Hingga tahun 1997 telah
berhasil disalurkan kredit usaha kecil rat a-rata sebesar 16,8 persen
dari seluruh portfolio kredit perbankan.
Dari tahun 1993 hingga 1997 telah dikeluarkan sejumlah
kebijaksanaan untuk memperkuat sistem perbankan nasional.
Melalui paket kebijaksanaan Mei 1993 disempurnakan beberapa
ketentuan antara lain mengenai modal minimum bank, batas
maksimum pemberian kredit, plafon dan cakupan kredit usaha
kecil, serta tatacara penilaian tingkat
kesehatan bank.
Penyempurnaan ini bertujuan menerapkan asas -asas perkreditan
yang sehat, mendorong pe mbiayaan perbankan bagi usaha
II/51
menengah dan kecil, mengendalikan pertumbuhan jumlah uang
beredar, dan memantau perkembangan kredit perbankan. Selain itu
diupayakan pula peningkatan kualitas pengawas dan pemeriksa
bank melalui berbagai pendidikan dan pelatihan.
Untuk mendorong perbankan melakukan kegiatan yang
berlandaskan kepada prinsip kehati-hatian telah dikeluarkan
Pedoman Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bank dan
Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank pada tahun 1995.
Selain itu untuk meningkatkan penyediaan informasi kepada
masyarakat telah ditingkatkan peranan akuntan publik dalam
penyajian laporan keuangan bank-bank dan penyempurnaan format
laporan tersebut di dalam media massa.
Upaya penyempurnaan peraturan kredit perbankan tersebut
telah mendorong semakin menurunnya proporsi kredit macet
terhadap total kredit dari 4,0 persen atau Rp 8,7 triliun pada tahun
1994 menjadi 2,9 persen atau Rp 9,5 triliun pada tahun 1996.
Meskipun demikian potensi bertambahnya kredit macet cukup
besar karena krisis ekonomi yang sedang berlangsung. Pada akhir
tahun 1997 jumlah kredit bermasalah, yang terdiri dari kredit
macet, kredit kurang lancar dan kredit ragu -ragu, mencapai Rp 31,9
triliun atau 7,2 persen dari total kredit.
Sebagian dari kredit bermasalah tersebut merupakan kredit
di sektor properti. Rata-rata pertumbuhan kredit di sektor tersebut
dalam periode 1994 hingga 1996 mencapai 33,1 persen per tahun
yang jauh lebih cepat dibandingkan rata-rata pertumbuhan total
kredit sebesar 24,5 persen pertahun. Pertumbuhan kredit yang cepat
tersebut telah meningkatkan penawaran gedung/ruang kantor dan
perumahan. Sementara itu permintaannya turun dengan cepat pada
II/52
semester II tahun 1997 sebagai akibat dari krisis moneter dan
tingkat suku bunga yang tinggi. Kelebihan penawaran tersebut telah
mendorong peningkatan kredit bermasalah di sektor properti.
Guna mengatasi meningkatnya kredit bermasalah telah
diambil langkah-langkah yang lebih efektif, antara lain melalui
pemeriksaan khusus terhadap perkreditan dan debitur sejumlah
bank. Selain itu kepada beberapa bank yang memiliki kredit
bermasalah dalam jumlah besar telah dibentuk Satuan Tugas
Khusus Penyelesaian Kredit Bermasalah yang kegiatannya diawasi
oleh Tim Kerja Khusus Penyelesaian Kredit Bermasalah Bank
Indonesia. Pemanfaatan sarana hukum yang ada juga ditingkatkan
melalui kerjasama antar instansi yang terkait.
Untuk mengatasi berbagai kendala yang timbul dalam
pembenahan bank-bank bermasalah telah dikeluarkan Peraturan
Pemerintah No. 68 tahun 1996 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank. Adanya
peraturan ini menambah efektifitas piranti hukum yang ada apabila
likuidasi bank diperlukan.
Pendirian bank baru juga semakin diperketat. Jumlah modal
minimum pendirian bank umum devisa ditingkatkan menjadi
Rp 150 miliar pada tahun 1995. Persyaratan bagi para calon
pengurus, dewan komisaris, dan pemegang saham bank baru juga
semakin diperketat.
Meskipun berbagai langkah kebijaksanaan di atas telah
dilakukan, namun masih terdapat beberapa bank yang bermasalah.
Jumlah bank bermasalah ini semakin besar dengan adanya krisis
moneter pada pertengahan tahun 1997. Sebagian bank memiliki
II/53
pinjaman luar negeri yang jumlahnya meningkat akibat merosotnya
nilai tukar rupiah. Sebagian bank yang lain juga mengalami
kesulitan likuiditas akibat penarikan dana simpanan masyarakat.
Akibat kesulitan likuiditas, sebagian bank telah memanfaatkan
fasilitas diskonto Bank Indonesia. Kepercayaan masyarakat
terhadap perbankan swasta semakin menurun dalam tahun 1997.
Untuk membenahi dan memperbaiki sistem perbankan
nasional dilakukan restrukturisasi perbankan, antara lain melalui
likuidasi terhadap 16 bank swasta nasional. Restrukturisasi
perbankan juga diupayakan dengan mendorong pelaksanaan merjer
dan akuisisi diantara bank-bank nasional. Upaya ini telah
dilaksanakan pada bank-bank pemerintah, dari semula 7 buah bank
digabung menjadi 3 buah bank. Beberapa bank swasta juga telah
menyatakan merjer pada awal tahun 1998.
Langkah-langkah
restrukturisasi
perbankan
tersebut
ditegaskan kembali dalam Nota Kesepakatan Pemerintah Indonesia
dengan Dana Moneter Internasional pada pertengahan bulan
Januari 1998. Nota tersebut juga memuat tentang peninjauan
kembali kerangka hukum perbankan, peningkatan transparansi dan
keterbukaan di sektor perbankan, serta rencana pencabutan
berbagai larangan pembatasan atas kantor cabang bank asing.
Langkah-langkah di atas dilengkapi dengan beberapa
Keputusan
Presiden
pada
akhir
Januari
1998.
Untuk
mengembalikan secepatnya kepercayaan masyarakat terhadap mata
uang dan perbankan nasional maka dikeluarkan Keputusan Presiden
Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhada p Kewajiban
Pembayaran Bank Umum. Dalam keputusan ini ditetapkan bahwa
Pemerintah memberi jaminan akan
dipenuhinya kewajiban
II/54
pembayaran Bank Umum kepada para pemilik simpanan dan
kreditur, terkecuali pinjaman subordinasi. Selanj utnya untuk
melaksanakan jaminan Pemerintah tersebut dan upaya penyehatan
bank, maka diputuskan pembentukan Badan Penyehatan Perbankan
Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998.
2.
Asuransi
Untuk mempersiapkan industri asuransi menjadi lembaga
yang handal menjawab perubahan yang terjadi dengan cepat maka
dimulai deregulasi di bidang asuransi dengan ditetapkannya
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian. Selanjutnya undang-undang tersebut dijabarkan
melalui Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1993 tentang Usaha
Perasuransian, yang antara lain menetapkan modal minimal
perusahaan asuransi, dan tatacara investasi perusahaan asuransi.
Selain itu juga dikeluarkan deregulasi berupa penyederhanaan
prosedur perizinan dan kesempatan yang lebih luas kepada
perusahaan asing untuk membentuk usaha patungan serta mencabut
peraturan yang mengatur tarif premi asuransi. Dengan rangkaian
deregulasi ini diharapkan perusahaan asuransi nasional dapat
meningkat daya saingnya melalui langkah efisiensi dan
profesionalisme.
Melalui berbagai kebijaksanaan deregulasi di atas perusahaan
asuransi nasional tumbuh secara berarti. Sampai dengan bulan
Agustus 1997, jumlah perusahaan asuransi berkembang menjadi
171 perusahaan, yang terdiri dari 103 pe rusahaan asuransi kerugian,
58 perusahaan asuransi jiwa, 5 perusahaan reasuransi, 2
penyelenggara program asuransi social dan jamsostek, serta 3
penyelenggara program asuransi untuk pegawai negeri sipil dan
II/55
ABRI. Dibandingkan dengan tahun 1993, jumlah
meningkat sebanyak 26 perusahaan asuransi baru.
tersebut
Pertumbuhan industri asuransi yang pesat tercermin pula dari
pertambahan premi bruto asuransi. Pada tahun 1996 tercatat premi
bruto asuransi sebesar Rp 8,6 triliun yang berarti ha mpir dua kali
lipat lebih besar terhadap posisi tahun 1993. Kontribusi terbesar
dalam pengumpulan premi bruto berasal dari usaha asuransi
kerugian dan reasuransi, yaitu sekitar 42,1 persen dari total premi
bruto pada tahun 1996.
Gejolak nilai tukar rupiah mengakibatkan sebagian besar
perusahaan asuransi mengalami kesulitan akibat meningkatnya
beban operasional. Dengan kondisi demikian sulit diharapkan usaha
asuransi mampu meningkatkan modalnya pada akhir tahun 1997
sebagai batas akhir penyesuaian terhadap ketentuan dalam UU
Asuransi tahun 1992.
Untuk
mengatasi
masalah
ini
dilakukan
program
restrukturisasi usaha asuransi sebagai bagian dari program
reformasi sektor keuangan sejak Oktober 1997. Melalui program
ini usaha asuransi antara lain didorong untuk memperkuat
permodalannya melalui merjer.
3.
Lembaga Pembiayaan
Kehadiran lembaga pembiayaan semakin penting sebagai
alternatif sumber dana bagi sektor swasta disamping perbankan.
Dalam periode tahun 1993 hingga 1995 perusahaan pembiayaan
berkembang pesat dari 164 perusahaan menjadi 252 perusahaan.
Perusahaan
pembiayaan ini
mencakup sewa guna usaha,
II/56
pembiayaan anjak piutang, pembiayaan konsumen, dan pembiayaan
usaha kartu kredit.
Agar lembaga ini dapat berfungsi optimal, telah dikeluarkan
ketentuan kehati-hatian dan pengawasannya, serta pemberian
wewenang kepada Bank Indonesia untuk melakukan pengawasan
terhadap
perusahaan
pembiayaan.
Selanjutnya
dengan
mempertimbangkan jumlah perusahaan pembiayaan yang telah
memenuhi kebutuhan perekonomian, maka tidak lagi diberikan ijin
usaha baru perusahaan pembiayaan.
Rangkaian kebijaksanaan dalam tahun 1995 di atas telah
membatasi peningkatan jumlah perusahaan pembiayaan yaitu dari
254 perusahaan pada tahun 1995 menjadi 252 perusahaan pada
tahun 1996. Namun demikian kegiatan usaha pembiayaan, tetap
meningkat dari Rp 9,4 triliun pada tahun 1993 menjadi Rp 26,9
triliun pada tahun 1995, dan Rp 38 triliun pada tahun 1996.
Usaha modal ventura juga menunjukkan kenaikan. Nilai
penyertaan hingga pertengahan tahun 1997 telah mencapai Rp 51
miliar, yang berarti meningkat dari Rp 67,0 miliar pada tahun 1993.
Jumlah perusahaan modal ventura dan perusahaan pasangan usaha
juga meningkat menjadi 56 perusahaan dan 312 perusahaan pada
pertengahan tahun 1997.
Perkembangan
lembaga
pembiayaan
menjadi
kurang
menggembirakan setelah terjadi krisis moneter dalam semester II
tahun 1997. Sebagian perusahaan pembiayaan mengalami kesulitan
likuiditas akibat meningkatnya kredit macet dan berlipatnya j umlah
pembayaran hutang luar negeri. Suku bunga bank yang tinggi juga
memperburuk kinerja keuangannya. Untuk mengatasi hal ini
II/57
dilakukan upaya restrukturisasi lembaga pembiayaan, seperti
mendorong penggabungan antar lembaga pemb iayaan dan
memperbaiki struktur pendanaan lembaga pembiayaan.
4.
Dana Pensiun
Peranan dana pensiun telah meningkat sejak dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun.
Berbagai ketentuan pelaksanaannya juga telah dikeluarkan. Dana
pensiun diarahkan agar dapat memberikan manfaat bagi
peningkatan kesejahteraan pekerja ketika memasuki masa pensiun.
Selanjutnya dalam rangka pengelolaan dana yang aman dan
basil yang besar dengan resiko yang kecil telah dikeluarkan
kebijaksanaan pengaturan investasi dana pensiun pada tahun 1995.
lnvestasi dana pensiun antara lain hanya dapat ditempatkan pada
deposito berjangka, saham, obligasi, dan surat berharga pasar uang
(SBPU). Dalam upaya penyebaran resiko, maka mulai tahun 1997
dana pensiun diperbolehkan menanamkan investasi pada reksa
dana. Pada tahun 1997 juga dikeluarkan beberapa ketentuan untuk
meningkatkan kinerja dana pensiun, antara lain menyangkut
pelaporan, informasi kepada peserta, dan penggabungan dan
pemisahan Dana Pensiun Lembaga Keuangan.
Berbagai ketentuan tersebut telah meningkatkan jumlah dana
pensiun mencapai 287 perusahaan, yang terdiri dari 265 Dana
Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) dan 22 Dana Pensiun Lembaga
Keuangan (DPLK) hingga pertengahan tahun 1997. Jumlah tersebut
meningkat pesat dibandingkan 157 perusahaan pada tahun 1994.
Investasi yang disalurkan oleh Dana Pensiun juga meningkat dari
II/58
Rp 8,2 triliun pada tahun 1994 menjadi Rp 12,27 triliun pada tahun
1996.
Dana pensiun dan tabungan hari tua pegawai negeri si pil yang
dikelola oleh PT Taspen juga terus bertambah. Hingga tahun 1997
terkumpul tabungan hari tua sebesar Rp 3,4 triliun dan dana
pensiun sebesar Rp 6,7 triliun. Jumlah dana pensiun yang
terkumpul tersebut meningkat dibandingkan pencapaian ta hun
1993 yang sebesar Rp 5,9 triliun.
5.
Pegadaian
Usaha Perum Pegadaian terus didorong mengingat
peranannya sebagai penyedia alternatif pembiayaan bagi
masyarakat luas. Jumlah masyarakat yang mendapatkan pinjaman
terus meningkat. Jika pada tahun 1993 masyarakat yang terlayani
baru sekitar 2,5 juta orang, maka pada tahun 1996 telah mencapai
sekitar 5 juta nasabah yang telah mendapatkan pinjaman. Jumlah
pinjaman yang disalurkan juga bertambah besar dari Rp 650 miliar
pada tahun 1993 menjadi Rp 1,7 triliun pada tahun 1996.
Kinerja yang meningkat tersebut didukung oleh pertambahan
jumlah kantor cabang Perum Pegadaian dari 556 kantor pada tahun
1993 menjadi 614 kantor pada tahun 1996. Usaha yang dilakukan
juga semakin luas, yaitu diadakannya jasa taksiran dan penitipan
barang berharga, serta kerjasama untuk pembangunan gedung
kantor dan pertokoan dengan sistem bangun, kelola dan alih (build,
operate, and transfer) disamping pinjaman sebagai kegiatan utama.
II/59
6.
Pasar Modal
Pengembangan pasar modal diarahkan pada berjalannya
kegiatan pasar modal yang teratur, wajar dan efisien, serta
melindungi kepentingan pemodal dan masyarakat. Langkah awal
penataan organisasi dimulai pada tahun 1992 dengan ditetapkannya
Bapepam sebagai pengawas pasar modal dan pembentukan PT
Bursa Efek Jakarta (BEJ) sebagai penyelenggara bursa efek di
Jakarta.
Dalam Repelita VI hingga tahun 1997 telah banyak
dikeluarkan kebijaksanaan dalam rangka memperkuat sistem dan
infrastruktur pasar modal. Pada segi peraturan misalnya
diupayakan penyederhanaan persyaratan bagi perusahaan yang
akan go public, kewajiban penyampaian laporan, dan peningkatan
modal bagi perusahaan penjamin emisi efek nasional. Berbagai
peraturan tersebut mendapatkan landasan hukum yang kukuh
setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal.
Penyempurnaan pada segi institusi juga terus dilaksanakan.
Pada tahun 1994 Bursa Paralel Indonesia (BPI) diaktifkan. Selain
itu melalui PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) dilakukan
pemeringkatan atas efek yang bersifat hutang yang diterbitkan oleh
perusahaan publik. Otomasi perdagangan oleh BEJ telah dimulai
sejak tahun 1995 agar dapat lebih menjamin keamanan, kecepatan,
dan perlindungan bagi para pemodal.
Sebagai penjabaran dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1995 telah ditetapkan beberapa kebijaksanaan dalam dua tahun
terakhir, antara lain mengenai kegiatan perdagangkan marjin,
II/60
penyempurnaan ketentuan mengenai usaha reksadana, pe nentuan
kriteria usaha menengah untuk dapat go public, dan
penyempurnaan struktur organisasi Bapepam. Ketentuan mengenai
reksa dana juga semakin disempurnakan agar lebih berkembang.
Tarif pajak penghasilan bagi penjualan saham-saham pendiri
perusahaan publik juga diturunkan sejak tahun 1997 untuk
meningkatkan pemerataan kepemilikan saham.
Pengembangan sistem dan infrastruktur pasar modal selama
Repelita VI telah meningkatkan kinerjanya. Jumlah emiten saham
mencapai 298 perusahaan pada akhir tahun 1997, yang berarti jauh
meningkat dibandingkan 181 perusahaan pada tahun 1993.
Demikian pula dengan emiten obligasi dari 35 perusahaan pada
tahun 1993 meningkat menjadi 70 perusahaan pada tahun 1997.
Sejalan dengan meningkatnya perusahaan publik maka nilai
kapitalisasi pasar jugs bertambah besar menjadi sekitar Rp 155
triliun di Bursa Efek Jakarta dan sekitar Rp 140 triliun di Bursa
Efek Surabaya. Nilai ini jauh meningkat dibanding pada tahun
1993, yaitu masing-masing sebesar Rp 69 triliun dan Rp 54 triliun.
Perkembangan indeks harga saham gabungan berfluktuasi
selama periode 1993 hingga 1997. Banyak faktor yang menentukan
pergerakan harga saham, antara lain kondisi stabilitas nasional dan
kebijaksanaan ekonomi makro. Namun demikian nilai harga saham
cenderung meningkat selama Repelita VI sampai tahun ketiga.
Pada akhir tahun 1993, indeks harga saham gabungan (IHSG) di
Bursa Efek Jakarta (BEJ) tercatat 589 dan mencapai 725 pada
pertengahan tahun 1997. Dengan terjadinya gejolak moneter, maka
memasuki bulan Juli 1997 hingga akhir tahun 1997, nilai IHSG
terus menurun hingga mencapai 402 pada akhir Desember 1997,
II/61
tetapi sedikit meningkat menjadi di atas 500 pada awal Februari
1998.
Untuk menstabilkan kegiatan pasar modal yang sedang
melesu, maka telah dilakukan beberapa langkah kebijaksanaan,
antara lain menghapuskan pembatasan pembelian saham pemodal
asing di pasar modal dari 49 persen menjadi 100 persen. Selain itu
diwajibkan bagi BUMN menyisihkan satu persen dari laba
usahanya untuk diinvestasikan di pasar modal. Juga telah
diterbitkan 2 instrumen pasar modal yang baru yaitu efek beragun
aset dan sertifikat penitipan efek Indonesia. Kelembagaan pasar
modal juga semakin disempurnakan dengan didirikannya PT
Kustodian Sentral Efek Indonesia (PT KSEI) yang berfungsi
sebagai lembaga penyimpanan dan penyelesaian. Dengan langkah langkah ini diharapkan situasi pasar modal secara bertahap pulih
kembali.
D.
PENUTUP
Mobilisasi dana untuk investasi nasional, baik untuk investasi
pemerintah maupun masyarakat, telah berkembang dengan pesat
selama tiga tahun Repelita VI.
Di sisi pemerintah, tabungan pemerintah yang terus
meningkat dan melebihi sasaran tahunan Repelita VI telah mampu
membiayai pengeluaran pembangunan yang kebutuhannya juga
meningkat. Struktur dana pembangunan juga bertambah mantap,
dengan peranan tabungan pemerintah yang meningkat dari 59,5
persen pada tahun 1993/94 menjadi 67,8 persen pada tahun
1996/97.
II/62
Penghimpunan dana masyarakat melalui lembaga keuangan
juga meningkat dengan pesat selama tiga tahun pelaksanaan
Repelita VI. Jumlah tabungan dan deposito masyarakat di
perbankan tumbuh sebesar 25,4 persen per tahun. Jasa pelayanan
keuangan yang ditawarkan oleh berbagai lembaga keuangan juga
telah semakin berkembang. Sementara itu, nilai kapitalisasi pasar
modal telah meningkat sekitar tiga kali lipat, yang berarti semakin
banyak perusahaan yang menghimpun dana di pasar ini.
Namun demikian dana yang terhimpun belum mencukupi
kebutuhan investasi. Hal ini dipenuhi oleh arus masuk modal asing
yang besar, khususnya pinjaman oleh sektor swasta selama empat
tahun pelaksanaan Repelita VI. Pemanfaatan pinjaman ini telah
memungkinkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama tiga
tahun pelaksanaan Repelita VI di satu sisi, di sisi lain menyebabkan
perekonomian Indonesia rentan terhadap gejolak keuangan
internasional. Gejolak ini terjadi dalam tahun anggaran 1997/98
terutama pada paruh kedua yang berakibat anjloknya nilai tukar
Rupiah. Gejolak ini merupakan bagian dari gejolak mata uang
negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. Keadaan
ini memperlemah kemampuan negara dalam menghimpun
tabungan pemerintah dan menghambat pertumbuhan simpanan
masyarakat dalam rupiah.
Nilai tukar rupiah yang merosot tajam terhadap doll ar
Amerika Serikat mengakibatkan kesulitan bagi sektor swasta
mengembalikan pinjaman luar negerinya. Selanjutnya masalah ini
berkembang pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap
Rupiah dan sistem perbankan. Pihak kreditur asing juga kurang
mempercayai kemampuan sektor swasta Indonesia memenuhi
II/63
kewajiban pembayaran. Akibatnya krisis moneter menjadi makin
luas, sehingga depresiasi rupiah lebih besar dibanding mata uang
lain di kawasan ini yang juga terkena krisis tersebut. Gejolak nilai
tukar rupiah juga telah mendorong meningkatnya laju inflasi.
Untuk mencegah semakin melebarnya masalah dan
memulihkan kembali kondisi perekonomian, telah dilakukan
berbagai langkah kebijaksanaan sejak pertengahan tahun 1997/98.
Upaya tersebut mendapat bantuan dari lembaga Dana Moneter
Internasional (IMF), Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan
negara-negara sahabat. Bekerjasama dengan IMF telah dilancarkan
serangkaian program reformasi yang meliputi bidang penyehatan
sektor keuangan, konsolidasi keuangan negara, dan penyesuaian
struktural sebagai perluasan dan pendalaman dari program
deregulasi. Berbagai kebijaksanaan telah dikeluarkan dalam rangka
penyehatan sektor keuangan, antara lain penggabungan antar bank
pemerintah dan antar bank swasta, pembentukan Dewan
Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan serta Badan
Penyehatan Perbankan Nasional, penyelesaian huffing luar negeri
swasta, pemberian jaminan atas deposito masyarakat dan pinjaman
perbankan, dan penyesuaian batas minimal modal bank swasta.
Selain itu, sedang dikaji pembentukan Sistem Dewan Mata Uang
(Currency Board System).
Peran serta masyarakat dalam ikut mengatasi krisis keuangan
juga didorong melalui gerakan cinta rupiah dan penggunaan
produksi dalam negeri.
Dalam rangka konsolidasi keuangan negara seiring dengan
menurunnya kemampuan menghimpun tabungan pemerintah,
diambil langkah untuk menjadwalkan kembali pembiayaan rupiah
II/64
dalam pengeluaran pembangunan tahun 1997/98 sebesar Rp 3.287,9
miliar, atau mencapai 12,7 persen dari yang dianggarkan dalam
APBN-nya.
Selain itu, langkah penghematan juga dilakukan dengan
mengkaji lagi atau menangguhkan proyek-proyek pemerintah yang
dibiayai dengan kredit ekspor, proyek-proyek BUMN dan proyekproyek swasta yang berkaitan dengan pemeri ntah atau BUMN.
Jumlah yang ditangguhkan mencakup 81 proyek senilai Rp 49.565,4
miliar sedang 75 proyek senilai Rp 61.624,2 miliar dikaji kembali.
Keputusan tersebut ditetapkan pada tanggal 20 September 1997.
Pada tanggal 1 Nopember 1997, dari penilaian le bih lanjut,
sejumlah 8 proyek yang semula dikaji kembali dan 7 proyek yang
semula ditangguhkan, diputuskan untuk diteruskan. Namun pada
tanggal 10 Januari 1998, mengingat besarnya dana yang dibutuhkan
untuk proyek-proyek tersebut dipandang semakin mempersu lit
upaya penanggulangan gejolak moneter, maka diputuskan untuk
mengembalikan status proyek-proyek tersebut yang masih dalam
tahap pelaksanaan menjadi dikaji kembali dan ditangguhkan.
Sebagai langkah lanjutan, dalam penyusunan RAPBN
1998/99, telah direncanakan untuk memperkuat penerimaan negara
dengan menertibkan administrasi penerimaan bukan pajak dan
mengendalikan pengeluaran rutin. Langkah ini juga dimaksudkan
untuk memantapkan pengeloaaan keuangan negara yang transparan.
Selain itu, penyusunan RAPBN diupayakan pula secara realistis.
Berdasarkan prinsip ini, RAPBN 1998/99 yang disampaikan
kepada DPR pada tanggal 6 Januari 1998, direvisi pada tanggal 23
Januari 1998 agar mencerminkan perkembangan terakhir
perekonomian.
II/65
Anggaran
pembangunan
dalam
RAPBN
1998/99
direncanakan meningkat cukup tinggi, yaitu naik 26,9 persen
dibandingkan APBN tahun sebelumnya. Namun, kenaikan ini
terutama disebabkan oleh melonjaknya nilai tukar dolar terhadap
rupiah dari Rp 2.481/US$ menjadi Rp 5.000/US$, yang mengakibatkan melonjaknya nilai bantuan luar negeri. Tabungan pemerintah
jauh menurun, yaitu 33,8 persen, dibandingkan APBN tahun
sebelumnya. Dengan perkiraan tersebut, peranan bantuan luar
negeri dalam dana pembangunan tercatat cukup t inggi, yaitu 65,3
persen.
Gambaran mengenai sumber dana pembangunan untuk
RAPBN 1998/99 tersebut menunjukkan bahwa secara riil anggaran
pembangunannya cukup ketat. Meskipun anggarannya ketat,
alokasi dana Inpres yang diharapkan dapat memelihara momentum
pembangunan di daerah dan sekaligus sebagai sarana pemerataan
serta wujud dari komitmen untuk memberikan otonomi yang lebih
tinggi kepada daerah, tetap mendapat prioritas utama. Di samping
itu, untuk membantu mengatasi akibat dari krisis ekonomi,
dialokasikan dana untuk membantu pengangguran terdidik dan
tidak terdidik di perkotaan dan perdesaan dengan cara padat karya.
Berbagai langkah kebijaksanaan dan program di atas serta
program-program lain dalam tahun terakhir Repelita VI diharap kan
dapat memulihkan kembali kepercayaan masyarakat dan dunia
usaha terhadap rupiah dan dapat memperbaiki sistem keuangan
sehingga dapat benar-benar menjadi penunjang stabilitas dan upaya
pembangunan.
II/66
TABEL II
RINGKASAN RENCANA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
1993/94, 1994/95 – 1997/98
(miliar rupiah)
Akhir
Repelita V
No.
1.
Uraian
1993/94
1994/95
Repelita VI
1996/97
1995/96
1997/98
1998/99
Penerimaan Dalam Negeri
a. Penerimaan minyak dan gas alam
b. Penerimaan di luar minyak dan
gas alam
b.1. Pajak
b.2. Bukan pajak
52.769,0
15.127,6
37.641,4
59.737,1
12.851,2
46.885,9
66.747,9
13.986,1
52.761,8
74.032,5
14.288,4
59.744,1
84.239,9
14.851,1
69.388,8
97.291,2
15.210,3
82.080,9
33.848,7
3.792,7
40.074,4
6.811,5
46.632,4
6.129,4
53.800,8
5.943,3
62.964,7
6.424,1
75.185,1
6.895,8
2.
Pengeluaran Rutin
37.094,9
42.350,8
47.677,1
51.837,0
58.580,9
67.149,9
3.
Tabungan Pemerintah
15.674,1
17.386,3
19.070,8
22.195,5
25.659,0
30.141,3
4.
Dana Bantuan Luar Negeri
9.553,1
10.012,0
11.356,0
12.327,9
13.417,6
a. Bantuan Program
426,8
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
b. Bantuan Proyek
9.126,3
10.012,0
11.356,0
12.327,9
13.417,6
14.366,5
14366,5
5.
Dana Pembangunan
25.227,2
27.398,3
30.426,8
34.523,4
39.076,6
44.507,8
6.
Pengeluaran Pembangunan
25.227,2
27.398,3
30.426,8
34.523,4
39.076,6
44.507,8
II/67
TABEL II – 1
RINGKASAN REALISASI ANGGARAN PBNDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98
(miliar rupiah)
No.
Uraian
1992/93
1)
Akhir
Repelita VI
Repelita V
1993/94 1) 1994/95 1) 1995/96 1) 1996/97 2) 1997/98 2)
1. Penerimaan Dalam Negeri
48.862,6
56.113,1
66.418,0
73.013,9
84.792,1 108.183,8
2. Pengeluaran Rutin
33.605,4
40.289,9
44.069,0
50.435,0
61.568,0
84.606,2
3. Tabungan Pemerintah
15.257,2
15.823,2
22.349,0
22.578,9
21.224,1
23.577,6
4. Dana Bantuan Luar Negeri
a. Bantuan Program
11.097,9
516,5
10.752,5
-
9.837,8
-
9.008,8
-
11.048,1
-
23.817,0
-
b. Bantuan Proyek
10.581,4
10.752,5
9.837,8
9.008,8
11.048,1
23.817,0
5. Dana Pembangunan
26.355,1
26.575,7
32.186,8
31.587,7
34.272,2
47.394,6
6. Pengeluaran Pembangunan
26.906,3
28.428,1
30.691,7
28.780,7
33.454,3
46.918,3
7. Surplus + /Defisit ( )
-551,2
-1.852,4
1.495,1
2.807,0
817,9
1) Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN)
2) Angka APBN – P
II/68
456,3
GRAFIK II - 1
RINGKASAN REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN
DAN BELANJA NEGARA
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98
II/69
TABEL II — 1.A
RINGKASAN REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89 1)
(miliar rupiah)
No.
Uraian
Akhir
Repelita I
1973/74
Akhir
Repelita II
1978/79
Akhir
Repelita III
1983/84
Akhir
Repelita IV
1988/89
1. Penerimaan Dalam Negeri
149,7
975,2
4.247,0
16.366,7
23.413,8
2. Pengeluaran Rutin
149,7
699,7
2.672,7
10.215,2
20.934,9
0,0
275,5
1.574,3
6.151,5
2.478,9
57,9
(35,5)
(22,4)
142,9
(93,6)
(49,3)
437,9
(52,5)
(385,4)
2.543,1
(14,9)
(2.528,2)
10.124,3
(2.665,9)
(7.458,4)
5. Dana Pembangunan
57,9
418,4
2.012,2
8.694,6
12.603,2
6. Pengeluaran Pembangunan
57,9
406,3
1.945,8
8.557,0
12.317,2
7. Surplus + /Defisit ( )
0,0
12,1
66,4
137,6
286,0
3. Tabungan Pemerintah
4. Dana Bantuan Luar Negeri
a. Bantuan Program
b. Bantuan Proyek
1)
II/70
1968
Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN)
TABEL II - 2
PENERIMAAN DALAM NEGERI
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98
(miliar rupiah)
1) Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN)
2) Angka APBN -P
II/71
GRAFIK II - 2
PENERIMAAN DALAM NEGERI
1992/93, 1993/94, 1994/95 - 1997/98
II/72
TABEL II – 2.A
PENERIMAAN DALAM NEGERI
1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89 1)
(miliar rupiah)
1)
2)
II/73
Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN)
Termasuk LBM
TABEL II – 3
PENERIMAAN DI LUAR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98
(miliar rupiah)
1)
2)
3)
4)
5)
II/74
Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN)
Angka APBN-P
Termasuk laba bersih minyak sebesar Rp. 2.320,6 miliar
Termasuk laba bersih minyak sebesar Rp. 2.005,8 miliar
Termasuk laba bersih minyak sebesar Rp. 487,6 miliar
GRAFIK II - 3
PENERIMAAN DI LUAR MINYAK BUMI
DAN GAS ALAM
1992/93, 1993/94, 1994/95 - 1997/98
II/75
TABEL II - 3.A
PENERIMAAN DI LUAR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM
1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89 1)
(miliar rupiah)
No. Jenis Penerimaan
Akhir
Repelita III
1983/84
Akhir
Repelita IV
1988/89
1. Pajak Penghasilan
25,3
142,0
562,0
1.970,0
4.432,3
2. Pajak Pertambahan Nilai
15,2
102,8
328,1
813,8
4.367,4
3. Bea Masuk
37,3
128,9
320,9
591,8
1.376,1
4. Cukai
16,6
62,6
232,6
822,0
1.410,4
5. Pajak Ekapor
13,9
69,7
158,2
103,6
140,9
15,4
17,6
46,7
255,6
25,5
117,0
156,4
361,9
4,7
80,8
245,9
512,3
1.532,8
116,4
627,7
1.982,3
5.016,6
13.877,3
6. Pajak Lainnya
7. Pajak Bumi dan Bangunan
& Penerimaan Bukan Pajak 2)
Jumlah
1)
2)
1968
Akhir
Akhir
Repelita I Repelita II
1 973/74 1978/79
3,4
-
Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN)
Termasuk LBM
II/76
TABEL II – 4
PENGELUARAN RUTIN
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98
(miliar rupiah)
1)
2)
Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN)
Angka APBN-P
II/77
II/7
GRAFIK II - 4
PENGELUARAN RUTIN
1992/93, 1993/94, 1994/95 - 1997/98
II/78
TABEL II – 4
PENGELUARAN RUTIN
1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89 1)
(miliar rupiah)
1) Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN)
II/79
TABEL II – 5
BELANJA PEGAWAI
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98
(miliar rupiah)
Akhir
Repelita V
No.
Jenis Pengeluaran
1. Tunjangan beras
1992/93
1)
1993/94
Repelita VI
1)
1994/95
1)
1995/96 1)
1996/97 2)
1997/98 2)
916,0
890,9
833,9
973,2
733,5
1.139,3
2. Gaji pegawai/pensiun
7.595,4
9.145,2
10.181,2
11.047,9
14.507,1
15.236,4
3. Uang makan/lauk pauk
479,2
492,8
755,6
560,1
1.174,9
1.199,2
4. Lain – lain belanja
pegawai dalam negeri
315,0
417,7
368,3
369,8
748,2
792,4
5. Belanja pegawai
luar negeri
273,7
255,2
317,2
290,1
451,0
1.031,0
11.144,8
12.595,5
13.001,4
18.020,5
19.175,0
Jumlah
1)
2)
II/80
9.554,2
Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN)
Angka APBN – P
TABEL II – 5.A
BELANJA PEGAWAI
1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89 1)
(miliar rupiah)
Akhir
Repelita I
No.
Jenis Pengeluaran
1968
Akhir
Repelita II
1973/74
1978/79
Akhir
Repelita III
Akhir
Repelita IV
1983/84
1988/89
1. Tunjangan beras
36,2
44,0
132,8
346,1
569,2
2. Gaji pegawai/pensiun
25,8
151,1
734,2
1.989,8
4.209,2
3. Uang makan/lauk pauk
9,4
14,6
51,2
261,3
359,0
4,4
17,5
33,6
87,6
203,3
2,5
6,4
23,7
66
148,5
78,3
233,6
975,5
2.750,8
5.489,2
4. Lain – lain belanja
pegawai dalam negeri
5. Belanja pegawai
luar negeri
Jumlah
1)
II/81
Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN)
TABEL II – 6
PERKEMBANGAN DANA PEMBANGUNAN, TABUNGAN PEMERINTAH
DAN DANA BANTUAN LUAR NEGERI
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98
(miliar rupiah)
Akhir
Repelita V
No. Jenis Dana Pembangunan
1. Tabungan Pemerintah
Persentase 3)
2. Dana Bantuan Luar Negeri
Persentase 3)
3. Jumlah Dana Pembangunan
Persentase 3)
1) Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN)
2) Angka APBN – P
3) Terhadap Jumlah Dana Pembangunan
II/82
Repelita VI
1992/93 1)
1993/94 1)
1994/95 1)
1995/96 1)
1996/97 2)
1997/98 2)
15.257,2
15.823,2
22.349,0
22.578,9
23.224,1
23.577,6
69,4
71,5
67,8
9.837,8
9.008,8
11.048,1
30,6
28,5
32,2
32.186,8
31.587,7
34.272,2
57,9
II.097,9
42,1
26355,1
100,0
59,5
10.752,5
40,5
26.575,7
100,0
100,0
100,0
100,0
49,7
23.817,0
50,3
47.394,6
100,0
GRAFIK II - 5
PERKEMBANGAN DANA PEMBANGUNAN, TABUNGAN PEMERINTAH
DAN DANA BANTUAN LUAR NEGERI
1992/93, 1993/94, 1994/95 - 1997/98
1)
2)
3)
II/82
Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN)
Angka APBN-P
Terhadap Jumlah Dana Pembangunan
GRAFIK II – 5
PERKEMBANGAN DANA PEMBANGUNAN, TABUNGAN PEMERINTAH
DAN DANA BANTUAN LUAR NEGERI
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98
II/83
TABEL II – 6.A
PERKEMBANGAN DANA PEMBANGUNAN, TABUNGAN PEMERINTAH
DAN DANA BANTUAN LUAR NEGERI
1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89 1)
(miliar rupiah)
Akhir
Repelita I
Akhir
Repelita II
1968
1973/74
1978/79
Tabungan Pemerintah
0,0
275,5
1.574,3
Persentase 2)
0,0
65,8
78,2
70,8
19,7
57,9
142,9
437,9
2.543,1
10.124,3
100,0
34,2
21,8
29,2
80,3
57,9
418,4
2.012,2
8.694,6
12.603,2
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
No. Jenis Pengeluaran
1.
2.
Dana Bantuan Luar Negeri
Persentase 2)
3.
Jumlah Dana Pembangunan
Persentase 2)
1)
2)
II/84
Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN)
Terhadap Jumlah Dana Pembangunan
Akhir
Repelita III
Akhir
Repelita IV
1983/84
1988/89
6.151,5
2.478,9
TABEL II - 7
REALISASI PENGELUARAN PEMBANGUNAN
TIDAK TERMASUK BANTUAN PROYEK
1992/93, 1993/94, 1994/95 - 1997/98
(miliar rupiah)
1)
2)
3)
4)
5)
Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN)
Angka APBN-P
Sejak tahun 1994/95 termasuk bantuan/pemugaran perumahan Perdesaan dan pasar kecamatan
Inpres penghijauan, bantuan rehabilitasi SD dan Madrasah Ibtidaiyah, dan Inpres peningkatan jalan Dati II
Sejak tahun 1994/95, termasuk Inpres reboisasi dan Inpres peningkatan Jalan Dati I
Sejak tahun 1994/95, tidak termasuk bantuan rehabilitasi SD dan Madrasah Ibtidaiyah
II/85
TABEL II - 7.A
REALISASI PENGELUARAN PEMBANGUNAN
TIDAK TERMASUK BANTUAN PROYEK
1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89 ¹)
(miliar rupiah)
1)
2)
II/86
Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN)
Data tidak tersedia kecuali jumlah keseluruhan
TABEL II – 8
REALISASI PENGELUARAN PEMBANGUNAN MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98
(miliar rupiah)
II/87
(Lanjutan Tabel II-8)
II/88
TABEL II – 8.A
REALISASI PENGELUARAN PEMBANGUNAN MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR
1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89 1)
(miliar rupiah)
II/89
No.
10.
Sektor/Subsektor
SEKTOR KESEHATAN, KESEJAHTERAAN
SOSIAL, PERANAN WANITA, KEPENDUDUKAN dan KELUARGA BERENCANA
10.1 Sub Sektor Kesehatan
10.2 Sub Sektor Kesejahteraan Sosial dan
Peranan Wanita
10.3 Sub Sektor Kependudukan den Keluarga
Berencana
II.
12.
13.
14.
15.
SEKTOR PERUMAHAN RAKYAT dan
PEMUKIMAN
17.
18.
1968
Akhir
Repelila II
1978/79
Lanjutan Tabel II - 8.A
Akhir
Akhir
Repelira III Repelita IV
1983/84
1988/89
-
8,5
79,4
278,7
339,1
(..)
(..)
(..)
(..)
(56,8)
(5,7)
(154,3)
(42,7)
(209,3)
(18,3)
(..)
(..)
(16,9)
(81,7)
(II1,5)
..
8,5
55,6
220,9
II.1 Sub Sektor Perumahan Rakyat dan
Pemukiman
(..)
(..)
(55,6)
(220,9)
SEKTOR HUKUM
..
..
11,1
56,6
27,1
12.1 Sub Sektor Hukum
(..)
(..)
(11,1)
(56,6)
(27,1)
SEKTOR PERTAHANAN dan KEAMANAN
(..)
7,2
159,4
526,0
555,0
13.1 Sub Sektor Pertahanan dan Keamanan Nasional
(..)
(7,2)
(159,4)
(526,0)
(555,0)
SEKTOR PENERANGAN, PERS dan KOMUNIKASI SOSIAL
..
..
10,8
27,5
0,0
27,0
14.1 Sub Sektor Penerangan, Pers dan Komunikasi
Soalal
(..)
(..)
(10,8)
(27,5)
SEKTOR ILMU PENGETAHUAN
DAN TEKNOLOGI
..
22,4
42,4
302,6
720,8
(..)
(..)
(14,2)
(170,1)
(113,3)
(..)
(..)
(28,2)
(132,5)
(607,5)
54,2
316,6
151,2
(54,2)
(316,6)
(151,2)
15.1 Sub Sektor Pengembangan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi
15.2 Sub Sektor Penelitian
16.
Akhir
Repelita I
1973/74
APARATUR PEMERINTAH
..
..
16.1 Sub Sektor Aparatur Pemerintah
(..)
(..)
SEKTOR PENGEMBANGAN DUNIA USAHA
..
481,3
(481,3)
(27,0)
40,8
161,6
233,9
237,9
(40,8)
(161,6)
(233,9)
(237,9)
17.1 Sub Sektor Pengembangan Dunia Usaha
(..)
SEKTOR SUMBER ALAM dan LINGKUNGAN
HIDUP
..
..
..
193,2
225,1
(..)
(..)
(..)
(193,2)
(225,1)
57,9
450,9
2.555,6
9.899,2
12.250,7
18.1 Sub Sektor Sumber Alam dan Lingkungan
Jumlah
1) Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN)
.. = Rincian berdasarkan data PAN tidak tersedia
II/90
TABEL II - 9
REALISASI PENGELUARAN PEMBANGUNAN TIDAK TERMASUK BANTUAN PROYEK
MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR
1992/93, 1993/94, 1994/95 - 1997/98
(miliar rupiah)
No.
Sektor/Subsektor
SEKTOR INDUSTRI
1992/93 1)
Akhir
Repelita V
1993/94 1)
284,5
1995/96 1) 1996,97 2) 1997/98 2)
619,5
418,6
551,2
(209,0)
673,8
(673,8)
(223,5 )
1.351,3
(1.346,1)
(619,5)
676,8
(670,4)
(418,6)
969,4
(959,4)
(551,2)
1.482,4
(1.473,5)
(..)
630,3
(..)
(5,2)
999,9
(457,3)
(6,4)
1.115,4
(366,7)
(10,0)
1.178,4
(344,5)
(8,9)
993,3
(306,6)
(566,2)
(630,3)
(542,6)
(748,7)
(833,9)
(686,7)
SEKTOR TENAGA KERJA
4.1 Sub Sektor Tenaga Kerja
99,2
(99,2)
111,7
(111,7)
121,6
(121,6)
150,7
(150,7)
140,7
(140,7)
SEKTOR PERDAGANGAN,
PENGEMBANGAN USAHA NASIONAI,
5.1 KEUANGAN DAN KOPERASI
Sub Sektor Perdagangan Dalam Negeri 5)
5.2 Sub Sektor Perdagangun Luar Negeri 5)
5.3 Sub Sektor Pengembangan Usaha Nasional 6)
629,9
911,9
605,3
704,8
191,9
1.1 Sub Sektor Industri
SEKTOR PERTANIAN
2.1 DAN KEHUTANAN
Sub Sektor Pertanian
2.2 Sub Sektor Kehutanan
SEKTOR PENGAIRAN
3.1 Sub Sektor Pengembangan Sumber Daya Air
(284,5)
598,9
(598,9)
3.2 Sub Sektor Irigasi 4)
(..)
566,2
(..)
20,09
Repelita VI
1994/95 1)
223,5
104,8
(104,8)
1.138,8
(483,5)
(511,4)
(17,0)
(18,3)
(27,2)
(29,1)
(..)
(107,0)
(..)
(358,1)
(573,7)
(489,3)
(33,9)
(366,7)
(43,6)
(520,0)
(71,8)
(5,7)
(2,1)
(184,3)
3.678,4
(9,9)
(104,1)
3.832,6
(5,3)
(80,0)
3.975,7
5.4 Sub Sektor Koperasi
5.5 Sub Sektar Koperasi dan Pengusaha Kecil
SEKTOR TRANSPORTASI,
METEOROLOGI DAN GEOFISIKA
6.1 Sub Sektor Prasarana Jalan
6.2 Sub Sektor Transportasi Darat
(..)
(..)
(39,4)
(42,4)
3.456,5 3.470,1
(2.728,5) (2.725,7)
(320,0)
(293,4)
6.3 Sub Sektor Transportasi Laut
(161,8)
(288,9)
6.4 Sub Sektor Transportasi Udara
(246,2)
(222,1)
(3,7)
(55,1)
3.921,6
(3.191,1)
(288,9)
(3.027,5)
(262,9)
(3.048,9)
(322,2)
(3.252,7)
(307,2)
(228,6)
(198,7)
(235,9)
(204,6)
(196,8)
(176,2)
(207,4)
(195,4)
(..)
(16,2)
(13,1)
(18,2)
(15,8)
1.618,4
1.432,3
825,0
889,5
778,6
(34,3)
(34,0)
(42,8)
(30,8)
6.5 Sub Sektor Meteorologi, Geofisika,
Pencarian dan Penyelamatan
SEKTOR PERTAMBANGAN
DAN ENERG1
7.1 Sub Sektor Pertambangan
7.2 Sub Sektor Energi
8.
SEKTOR PARIWISATA, POS
8.1 DAN TELEKOMUNIKASI
Sub Sektor Pariwisata
8.2 Sub Sektor Pos dan Telekomunikasi
9.
SEKTOR PEMBANGUNAN DAERAH
9.1 DAN TRANSMIGRASI
Sub Sektor Pembangunan Daerah 7)
9.2 Sub Sektor Transmigrasi dan Pemukiman
(..)
1.619,7
(29,5)
(29,5)
(1.590,2)
(1.588,9)
(1.398,0)
(791,0)
(846,7)
(747,8)
277,5
(27,9)
267,5
(32,5)
299,9
(34,8)
68,9
(37,7)
90,0
(49,2)
75,8
(51,3)
(249,6)
(235,0)
(265,1)
(31,2)
(40,8)
(24,5)
3.738,8
(3.038,9)
4.231,4
(3.493,3)
(699,9)
(738,1)
5.222,9
(4.470,0)
(752,9)
5.747,4 6.507,3
6.465,3
(4.895,6) (5.440,5) (5.477,6)
(851,8)
(1.066,8) (987,7)
Perambah hutan
II/91
(Lanjutan Tabel II – 9)
II/92
(Lanjutan Tabel II – 9)
I)
Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN)
2) Angka APBN-P
3) Pada tahun 1993/94 adalah program produksi kehutanan, subsektor Pertanian
4) Angka pada tahun 1993/94 termasuk program perbaikan dan pemeliharaan jaringan pengairan
dan pada tahun 1994/95 dan 1995/96 masuk ke dalam subsektor Pengembangan Sumber Daya Air
5) Pada tahun 1993/94 merupakan program dalam Sub Sektor Perdagangan
6) Angka pada tahun 1993/94 termasuk Otorita Batam dan Perbankan dan pada tahun 1994/95 dan 1995/96 masuk ke dalam Sub Sektor Pembangunan Daerah dan Sub Sektor Keuangan
7) Angka pada tahun 1993/94 termasuk program penataan ruang daerah dan penataan pertanahan
dan dalam lahun 1994/95 don 1995/96 masuk ke dalam subsektor Tata Ruang
8) Angka pada tahun 1993/94 termasuk program pengembangan meteorologi dan geofisika,
dan pada tahun 1994/95 dan 1995/96 dimasukkan ke dalam Sub Sektor Meteorologi,
Geofisika, Pencarian dan Penyelamatan (SAR) den subsektor Pengembangan Sumber
Daya Air
9) Angka pada tahun 1993/94 termasuk program pembinaan pendidikan masyarakat dan program pembinaan generasi muda dan keolahragaan yang dalam tahun 1994/95 dan 1995/96 dimasukkan ke dalam Sub Sektor Pendidikan Luar Sekolah dan Kedinasan, dan Sub Sektor Pemuda dan Olah Raga
10) Angka pada tahun 1993/94 termasuk program peranan wanita dan pada tahun 1994/95 dan 1995/96 masuk kedalam Sub Sektor Peranan Wanita, Anak dan Remaja
11) Pada tahun 1993/94 adalah Sub Sektor Agama
12) Pada tahun 1993/94 adalah subsektor Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan subsektor
Penelitian
13) Pada tahun 1993/94 adalah Sub Sektor Hukum
14) Pada tahun 1993/94 adalah Sub Sektor Aparatur Pemerintah
15) Pada tahun 1993/94 adalah Sub Sektor Pertahanan dan Keamanan Nasional
II/93
TABBL II — 9.A
REALISASI PENGELUARAN PEMBANGUNAN TIDAK TERMASUK BANTUAN PROYEK
MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR
1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89 ¹)
(miliar rupiah)
II/94
(Lanjutan Tabel II-9A)
1)
2)
Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN)
.. = Rincian berdasarkan data PAN tidak tersedia
II/95
TABEL II – 10
REALISASI BANTUAN PROYEK MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98
(miliar rupiah)
II/96
(Lanjutan Tabel II – 10)
II/97
(Lanjutan Tabel II – 10)
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
10)
11)
12)
13)
14)
15)
16)
Angka Pertitungan AnggaranNegara (PAN)
Angka APBN-P
Pada tahun 1993/94 adalah program produksi kehutanan, subsektor Pertanian
Angka pada tahun 1993/94 termasuk program Perbaikan dan pemeliharaan jaringan Pengairan
Dan pada tahun 1994/95 dan 1995/96 masuk ke dalam subsektor Pengembangan Sumber Daya Air
Pada tahun 1993/94 merupakan program dalam Sub Sektor Perdagangan
Angka pada tahun 1993/94 termasuk Otorita Batam dan Perbankan dan pada tahun 1994/95 dan 1995/96 ma Suk ke dalam Sub Sektor Pembangunan Daerah dan Sub Sektor Keuangan
Angka pada tahun 1993/94 termasuk program Penataan ruang daerah dan penataan pertanahan
Dan dalam tahun 1994/95 dan 1995/96 masuk ke dalam Subsektor Tata Ruang
Angka pada tahun 1993/94 termasuk program Pengembangan Meteorology dan geofisika
Dan dalam tahun 1994/95 dan 1995/96 masuk ke dalam Subsektor Meteorology dan geofisika
Pencarian dan Penyelamatan (SAR) dan Subsektor Pengembangan Sumber Daya Air
Angka pada tahun 1993/94 termasuk program pembinaan Pendidikan masyarakat dan program pembinaan geNerasi muda dan keolahragaan yang dalam tahun 1994/95 dan 1995/96 dimasukan ke dalam Subsektor PenDidikan Luar Sekolah dan Kedinasan, dan Sub Sektor Pemuda dan Olah Raga
Angka pada tahun 1993/94 termasuk program Peranan wanita dan pada tahun 1994/95 dan 1995/96 masuk ke
Dalam Sub Sektor Peranan Wanita, Anak dan Remaja
Pada tahun 1993/94 adalah Sub Sektor Agama
Pada tahun 1993/94 adalah Sub Sektor Pengembangan dan Teknologi dan subsektor
Penelitian
Pada tahun 1993/94 adalah Sub Sektor Hukum
Pada tahun 1993/94 adalah Sub Sektor Aparatur Pemerintah
Pada tahun 1993/94 adalah Sub Sektor Pertahanan dan Keamanan Nasional
II/98
TABEL II – 10.A
REALISASI BANTUAN PROYEK MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR
1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89 1)
(miliar rupiah)
II/99
(Lanjutan Tabel II – 10.A)
1) Angka Perhitungan Anggaran Negara (PAN)
II/100
TABEL II – 11
PERKEMBANGAN JUMLAH UANG BEREDAR
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98
(miliar rupiah)
Akhir
Repelita V
No.
1.
Uraian
Repelita VI
1995/96
1996197
1997,982)
232.493
22,2
20,8
22,1
28,0
30.592
37.908
12,0
23,9
18,5
18,4
19,6
23,2
(Uang Kartal)
Pangsa (%)
(12.324)
40,3
(15.340)
40,5
(18.902)
42,1
(21.121)
39,7
(23.312)
36,7
(28.424)
36,3
(Uang Giral)
Pangsa (%)
(18.268)
59,7
(22.568)
59,5
(26.006)
57,9
(32.041)
60,3
(40.253)
63,3
110.921 136.793
179.331
231.016
31,1
28,8
Jumlah Uang Beredar (M1)
Uang Kuasi
Pertumbuhan (%) 1)
1) Rata-rata tahunan
2) Terhadap tahun sebelumnya
II/101
1994/95
181.701
Pertumbuhan (%) 2)
3.
1993/94
148.829
Likuiditas Perekonomian (M2)
Pertumbuhan (%) 1)
2.
1992/93
123.160
92.568
26,0
19,8
44.908
23,3
53.162
294.581
26,7
63.565
355.643
20,7
78.343
(49.919)
63,7
277.300
20,0
TABEL II – II.A
PERKEMBANGAN JUMLAH UANG BEREDAR
1968, 1973/74, 1978/79,1983/84,1988/89
(miliar rupiah)
No.
Uraian
1.
2.
1968
Likuiditas Perekonomian (M2)
Pertumbuhan (%)
1)
Jumlah Uang Beredar (M1)
Pertumbuhan (%) 2)
(Uang Kartal)
Pangsa (%)
(Uang Giral)
Pangsa (%)
3.
Uang Kuasi
Pertumbuhan (%) 1)
1) Rata–rata tahunan
2) Terhadap tahun sebelumnya
II/102
Akhir
Repelita I
1973/74
Akhir
Repelita II
1978/79
Akhir
Repelita III
1983/84
Akhir
Repelita IV
1988/89
124
1.203
4.155
15.758
..
57,5
28,1
30,6
44.167
22,9
114
121,2
(75)
65,8
784
47,9
(421)
53,7
2.800
32,6
(1.369)
48,9
8.055
9,2
(3.554)
44,1
15.009
18,9
(6.559)
43,7
(39)
(363)
(1.431)
(4.501)
(8.450)
34,2
46,3
51,1
55,9
56,3
10
..
419
..
1.355
26,5
7.703
41,6
29.158
30,5
TABEL II – 12
PERBANDINGAN ANTARA TINGKAT KENAIKAN HARGA
DENGAN TINGKAT PERTAMBAHAN JUMLAH UANG BEREDAR
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98
1)
2)
II/103
Terhadap tahun sebelumnya
Angka sementara sampai dengan Desember 1997
TABEL II – 12.A
PERBANDINGAN ANTARA TINGKAT KENAIKAN HARGA
DENGAN TINGKAT PERTAMBAHAN JUMLAH UANG BEREDAR ¹)
1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89
Akhir
Repelita I
No. Uraian
1.
Tingkat Kenaikan Harga (%) ²)
2.
Tingkat Pertambahan
Jumlah Uang Beredar (%) ³)
1968
1973/74
Akhir
Repelita II
Akhir
Repelita III
Akhir
Repelita IV
1978/79
1983/84
1988/89
85,1
47,4
11,8
12,6
6,6
121,2
47,9
32,6
9,2
18,9
1) Angka tahunan
2) Sampai dengan Maret 1979 berdasarkan Indeks Biaya Hidup (IBH) di Jakarta.
Untuk periode April 1979 s/d Oktober 1990 berdasarkan Indeks Harga Konsumen (IHK) gabungan 17 kota
(April 1977 – Maret 1978 = 100). Mulai April 1990 menggunakan Indeks Harga Konsumen gabungan 27 kota
(April 1988 – Maret 1989 = 100)
3) Terhadap tahun sebelumnya
II/104
TABEL II – 13
SEBAB-SEBAB PERUBAHAN JUMLAH UANG BEREDAR
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98
(miliar rupiah)
No.
Uraian
1992/93
Akhir
Repelita V
1993/94
Repelita VI
1994/95
1997/98 ¹)
1995/96
1996/97
9.102
15.227
25.754
1.
Sektor Activa Luar Negeri
2.
Sektor Pemerintah
(63)
(1.937)
(2.710)
(5.200)
(4.107)
(16.717)
3.
Sektor Kegiatan Perusahaan
- Tagihan pada Lembaga /
Perusahaan Pemerintah
- Tagihan pada Perusahaan
Swasta dan Perorangan
13.262
35.344
39.485
48.328
61.073
99.861
(53)
(1.331)
(-574)
(3.252)
(2.705)
(4.941)
(13.209)
(34.013)
(40.059)
(45.076)
(58.368)
(94.920)
4.
Aktiva Lainnya (Bersih)
(679)
(4.542)
73
(1.438)
(10.105)
(47.836)
5.
Likuiditas Perekonomian (M2)
22.362
25.669
3.2872
50.792
62.088
61.062
3.272
(1.297)
(1.975)
7.316
(3.016)
(4.300)
7.000
(3.562)
(3.438)
8.254
(2.219)
(6.035)
10.403
(2.191)
(8.212)
14.778
(5.112)
(9.666)
19.090
18.353
25.872
42.538
51.685
46.284
Jumlah Uang Beredar (M1)
- (Uang Kartal)
- (Uang Giral)
Uang Kuasi
1)
9.716
(3.196)
(3.976)
Angka sementara sampai dengan Desember 1997
II/105
TABEL II – 13.A
SEBAB-SEBAB PERUBAHAN JUMLAH UANG BEREDAR ¹)
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98
(miliar rupiah)
1)
2)
3)
4)
Angka tahunan
Termasuk penilaian kembali rekening-rekening valuta asing karena penyesuaian nilai tukar rupiah
Dari Rp 702,5 menjadi Rp 970 per dollar AS pada 30 Maret 1983, masing-masing sebesar Rp 1.962,5 miliar
Pada sector luar negeri Rp 237,3 miliar pada sector Pemerintah, Rp 294,3 miliar pada sector kegiatan
Perusahaan Rp 1.399,4 miliar dan Rp 620,1 miliar pada deposito berjangka dan tabungan (uang kuasi)
Termasuk tagihan pada swasta
Kredit Pengadaan Pangan
II/106
TABEL II - 14
PBRKEMBANGAN SUKU BUNGA 1)
1992/93, 1993/94, 1994/95 - 1997/98
(%/tahun)
No.
1.
2.
3.
4.
1)
2)
3)
4)
1992/93
Akhir
Repelita V
1993/94
Suku Bunga Deposito Berjangka ²)
3 bulan
6 bulan
12 bulan
24 bulan
15,7
16,3
17,7
19,3
11,5
11,9
13,4
15,2
Suku Bunga Kredit ³)
Kredit Modal Kerja
Kraut Imestasi
Repelita VI
1995/96
1996/97
1997/98 4)
15,9
14,6
13,9
14,5
17,3
16,9
16,7
15,4
16,5
16,4
16,4
16,0
23,9
17,0
15,9
15,5
21,7
18,3
18,0 18,4
15,2 15,3
19,3
16,4
18,9
16,4
25,4
18,9
Tingkat Diskonto SBI
7 hari
1 bulan
3 bulan
11,5
12,5
12,8
7,6 13,0
8,5 14,2
10,5 14,3
12,9
14,0
14,8
7,5
11,0
11,9
16,0
20,0
11,3
Tingkat Diskonto SBPU
7 hari
1 bulan
3 bulan
12,5
13,5
14,0
11,0 15,3
12,0 16,0
12,0 16,0
15,8
16,5
16,5
14,8
15,5
15,5
18,0
22,0
21,0
Uraian
1994/95
Suku bunga tingkat diskonto akhir periode
Rata-rata tertimbang
Rata-rata tertimbang untuk Kredit Non-Prioritas
Angka sementara sampai dengan Desember 1997
II/107
TABEL II - 14.A
PERKEMBANGAN SUKU BUNGA ¹)
1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89
(%//tahun)
Uraian
No.
Akhir
Repelita I
1973/74
1968
Akhir
Repelita II
1978/79
Akhir
Repelita III
1983/84
Akhir
Repelita IV
1988/89'
1. Suku Bunga Deposito Berjangka 2)
48,0
60,0
72,0
..
9,0
12,0
15,0
24,0
3,0
6,0
9,0
15,0
17,5
18,5
19,8
19,0
18,0
19,2
18,8
16,9
2. Suku Bunga Kredit 3)
Kredit Modal Kerja
Kredit Investasi
..
..
15,0
15,0
12,0
12,0
21,7
19,4
22,3
19,6
3. Tingkat Diskonto SBI
7 hari
1 bulan
3 bulan
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
14,6
15,0
13,8
17,1
4. Tingkat Diskonto SBPU
7 hari
1 bulan
3 bulan
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
15,8
17,6
..
3 bulan
6 bulan
12 bulan
24 bulan
1) Suku bunga tingkat diskonto akhir periode.
2) Rata-rata tertimbang
3) Rata-rata tertimbang untuk Kredit Non-Prioritas.
.
II/108
TABEL II – 15
PERKEMBANGAN DANA PERBANKAN
DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING ¹)
1992/93,1993/94, 1994/95 – 1997/98
(miliar rupiah)
1)
2)
3)
4)
5)
6)
II/109
Terdiri atas dana bank-bank umum, bank pembangunan dan bank-bank tabungan serta
Termasuk dana milik Pemerintah Pusat dan bukan penduduk
Termasuk giro valuta asing
Terdiri atas deposito berjangka rupiah dan valuta asing, serta termasuk sertifikat deposito
Terdiri atas Tabanas/Taska dan tabungan lainnya seperti Ongkos Naik Haji (ONH)
Terhadap tahun sebelumnya
Angka sementara sampai dengan Desember 1997
TABEL II – 15.A
PERKEMBANGAN DANA PERBANKAN
DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING ¹)
1969/70, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89
(miliar rupiah)
1)
2)
3)
4)
5)
II/110
Angka akhir tahun. Terdiri atas dana bank-bank umum, bank pembangunan, dan bank-bank
Tabungan serta termasuk dana milik Pemerintah Pusat dan bukan penduduk
Termasuk giro valuta asing
Terdiri atas deposito berjangka rupiah dan valuta asing, serta termasuk sertifikat deposito
Terdiri atas Tabanas/Taska dan tabungan lainnya seperti setoran Ongkos Naik Haji (ONH)
Terhadap tahun sebelumnya
TABEL II - 16
PERKEMBANGAN DEPOSITO BERJANGKA RUPIAH PERBANKAN
MENURUT JANGKA WAKTU ¹)
1992/93, 1993/94, 1994/95 - 1997/98
(miliar rupiah)
1)
2)
3)
4)
Termasuk dana milik Pemerintah Pusat dan bukan penduduk serta sertifikat
Deposito
Termasuk deposito yang sudah jatuh waktu
Terhadap tahun sebelumnya
Angka sementara sampai dengan Desember 1997
II/111
TABEL II – 16.A
PERKEMBANGAN DEPOSITO BERJANGKA RUPIAH PERBANKAN
MENURUT JANGKA WAKTU 1)
1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89
(miliar rupiah)
No. Uraian
1
11
81
1.010
3.578
2. 3 Bulan
1
22
40
632
4.723
3. 6 Bulan
1
21
II0
891
3.019
4. 12 Bulan
2
36
98
1.620
7.227
5. 24 Bulan
7
142
612
591
2.071
6. Lainnya
1
18
6
169
365
12
..
..
251
75
42,3
946
42
4,7
4.912
2.505
104,0
(%)
2)
3)
1968
Akhir
Akhir
Akhir
Repelita II Repelita III Repelita IV
1978/79
1983/84
1988/89
2
1. 1 Bulan )
Jumlah
Perubahan 3)
1)
Akhir
Repelita 1
1973/74
Angka akhir tahun. Termasuk dana milk Pemerintah Pusat dan bukan
penduduk serta sertifikat deposito
Termasuk deposito yang sudah jatuh waktu
Terhadap tahun sebelumnya
II/112
20.984
4.328
26,0
TABEL II – 17
PERKEMBANGAN TABUNGAN MASYARAKAT
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98
Akhir
Repelita V
No.
Uraian
Jumlah Tabungan
Penabung
Pertumbuhan 1)
Posisi
Pertumbuhan 1)
1)
2)
II/113
Satuan
1992/93
1993/94
1994/95
Repelita VI
1995/96
1996/97
1997/98 2)
ribu orang
(%)
38.843
12,4
40.618
4,6
44.725
10,1
49.197
10,0
54.527
10,8
60.441
10,8
miliar Rp
(%)
28.343
62,2
37.613
32,7
40.922
8,8
51.170
25,0
66.321
29,6
67.990
2,5
Terhadap tahun sebelumnya
Angka sementara sampai dengan Desember 1997
TABEL II – 17.A
PERKEMBANGAN TABUNGAN MASYARAKAT 1)
1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89
Uraian
Satuan
1968
Akhir
Repelita I
1973/74
Akhir
Repelita II
1978/79
Akhir
Repelita III
1983/84
Akhir
Repelita IV
1988/89
Jumlah
Penabung
ribu orang
..
3.030
7.607
11.637
22.666
Posisi
miliar Rp
..
40
209
638
2.485
1) Angka tahunan
II/114
TABEL II – 18
PERKEMBANGAN SERTIFIKAT DEPOSITO BANK 1)
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98
(miliar rupiah)
Uraian
1992/93
Akhir
Repelita V
1993/94
1.
Bank Pemerintah
507
468
802
3.805
3.205
2.
Bank Swasta ²)
1.375
1.494
2.717
6.749
11.113
5.894
Jumlah
1.882
1.962
3.519
10.554
14.318
6.671
No.
1) Posisi akhir Maret
2) Sebelum Maret 1985 merupakan posisi sertifikat deposito
bank asing, sedangkan sejak Maret 1985 termasuk posisi
sertifikat deposito bank umum swasta nasional
3) Angka sementara sampai dengan Desember 1997
II/115
Repelita VI
1994/95
1995/96
1996/97
1997/98 ³)
777
TABEL II – 18.A
PERKEMBANGAN SERTIFIKAT DEPOSITO BANK 1)
1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89
(miliar rupiah)
1) Angka akhir tahun. Termasuk sertifikat deposito antarbank
II/16
TABEL II – 19
PERKEMBANGAN KREDIT MENURUT SEKTOR PERBANKAN 1)
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98
(miliar rupiah)
Akhir
Repelita V
Uraian
No.
1992/93
1.
Bank Indonesia
2.
Bank Pemerintah
69.066
3.
Bank Swasta Nasional 2)
4.
Bank Asing Campuran
Jumlah
Perubahan
(%)
755
1993/94
Repelita VI
1994/95
56
73.443
81.333
95.619
110.900
45.406
68.350
94.891
121.602
166.442
9.695
15.377
19.925
25.202
28.783
124.922
157.324
196.254
242.479
306.184
8.363
32.402
38.930
46.225
63.705
23,6
26,3
25,9
24,7
1) Tidak termasuk kredit kepada Pemerintah Pusat dan bukan penduduk, pinjaman
antarbank, Rekening Dana Investasi, Kredit Kelolaan, dan Bantuan Proyek
2) Termasuk Bank Pembangunan Daerah
3) Angka sementara sampai dengan Desember 1997
Termasuk kredit yang diberikan oleh 16 bank yang telah dicabut izin usahanya
II/117
1996/97
105
7,2
154
1995/96
59
1997/1998 ³)
50
153.266
187.477
48.606
389399
83.215
27,2
TABEL II – 19.A
PERKEMBANGAN KREDIT MENURUT SEKTOR PERBANKAN 1)
1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89
(miliar rupiah)
No.
Uraian
1968
Akhir
Repelita I
Akhir
Repelita II
1973/74
1978/79
1. Bank Indonesia
61
139
1.969
2. Bank Pemerintah 2)
56
882
3.021
3. Bank Swasta Nasional 3)
8
72
387
4. Bank Asing Campuran
1
124
297
126
..
..
1.217
1.082
..
Jumlah
Perubahan 4)
(%)
5.674
1.559
39,2
Akhir
Repelita III
Akhir
Repelita IV
1983/84
1988/89
2.292
10.283
30.270
2.583
12.679
977
16.135
2.430
17,7
1) Angka akhir tahun. Kredit dalam rupiah maupun valuta asing, termasuk Kredit Investasi, KIK dan KMKP,
tetapi tidak termasuk kredit antarbank serta kredit kepada Pemerintah Pusat, bukan penduduk,
dan nilai lawan bantuan proyek
2) Sejak Mei 1989 termasuk BTN
3) Termasuk Bank Pembangunan Daerah
4) Terhadap tahun sebelumnya
II/18
1.583
1.994
46.526
11.445
32,6
TABEL II – 20
PERKEMBANGAN KREDIT MENURUT SEKTOR EKONOMI
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98
(miliar rupiah)
1)
2)
3)
1)
Tidak termasuk kredit kepada Pemerintah Pusat dan bukan penduduk, pinjaman
Antarbank, Rekening Dana Investasi, Kredit Kelolaan, dan Bantuan Proyek
Terhadap tahun sebelumnya
Angka sementara sampai dengan Desember 1997
Termasuk kredit yang diberikan oleh 16 bank yang telah dicabut izin usahanya
II/II9
TABEL II – 20.A
PERKEMBANGAN KREDIT MENURUT SEKTOR EKONOMI 1)
1968,1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89
(miliar rupiah)
No.
Uraian
1. Produksi 2)
Akhir
Repelita I
1973/74
1968
Akhir
Repelita II
1978/79
34
454
2.172
2. Perdagangan
9
426
1.153
3. Lain – lain 3)
83
337
Jumlah
Perubahan 4)
(%)
126
..
..
1.217
1.082
Akhir
Repelita III
1983/84
7.115
5.297
2349
3723
5.674
4.457
39,2
16.135
2.430
17,7
1) Angka akhir tahun. Kredit dalam rupiah maupun valuta asing, termasuk Kredit Investasi, KIK dan KMKP, tetapi
tetapi tidak termasuk kredit antarbank serta kredit kepada Pemerintah Pusat, bukan penduduk, dan nilai lawan
bantuan proyek
2) Termasuk sektor pertanian, pertambangan, dan perindustrian
3) Termasuk sektor jasa dan lain – lain
4) Terhadap tahun sebelumnya
II/120
Akhir
Repelita IV
1988/89
20.382
14.687
11.457
46.526
11.445
32,6
TABEL II - 21
PERKEMBANGAN REALISASI
KREDIT INVESTASI MENURUT SEKTOR EKONOMI 1)
1992/93, 1993/94, 1994/95 - 1997/98
(miliar rupiah)
No.
Uraian
1992/93
Akhir
Repelita V
1993/94
1994/95
7.169
8.893
10.215
10.869
12.040
14.677
18.097
20.447
23.949
25.485
35.214
215
271
540
1.322
Repelita VI
1995/96 1996/97 1997/98 3)
1.
Pertanian
2.
Perindustrian
16.489
3.
Pertambangan
436
189
4.
Perdagangan
4.185
6.951
6.535
8.798
12.787
18.232
5.
Jasa-jasa
8.404
8.822
13.349
18.125
23.691
32.515
Jumlah
Perubahan 2)
36.683
8.473
42.952
6.269
50.761
7.809
62.012
11.251
74.543
12.531
101.960
27.417
(%)
30,0
17,1
18,2
22,2
20,2
6,8
1) Kredit termasuk KIK, KMKP, dan KI tetapl tidak termasuk kredit antarbank, kepada Pemerintah Pusat,
kepada bukan penduduk, Rekening Dana Investasi, Kredit Kelolaan, dan Bantuan Proyek
2) Terhadap tahun sebelumnya
3) Angka sementara sampai dengan Desember 1997
Termasuk kredit yang diberikan oleh 16 bank yang telah dicabut izin usahanya
II/121
TABEL II – 21.A
PERKEMBANGAN REALISASI
KREDIT INVESTASI MENURUT SEKTOR EKONOMI 1)
1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89
(miliar rupiah)
No. Uraian
Akhir
Akhir
Repelita I Repelita II
1973/74
1978/79
1968
Akhir
Akhir
Repelita III Repelita IV
1983/84
1988/89
1. Pertanian
6
10
56
495
2.610
2. Perindustrian
5
61
382
2.316
4.791
3. Pertambangan
1
1
10
58
313
4. Perdagangan
..
8
33
106
536
5. Jasa – jasa
5
32
171
622
2.489
6. Lain – lain
..
7
3
12
1.071
17
..
119
22
655
126
3.609
571
11.810
2.600
..
22,7
23,8
18,8
Jumlah
Perubahan 2)
(%)
28,2
1) Angka akhir tahun. Tidak termasuk KIK, KI kepada Pemerintah Pusat, dan nilai lawan valuta asing
pinjaman investasi dalam rangka bantuan proyek
2) Terhadap tahun sebelumnya
II/122
Download