Alat-alat bukti yang digunakan di Mahkamah Syar`iyah Banda Aceh

advertisement
HUKUM PEMBUKTIAN PADA MAHKAMAH SYAR’IYAH
BANDA ACEH
(Wacana Pembentukkan Hukum Pembuktian Islam)
Oleh: Misran, S.Ag, M.Ag
ABSTRAK
Generally, evidences used by Mahkamah Syar’iyyah and Religion court
(peradilan agama) in Indonesia are the evidences which derive from BW and
HIR/RBg of colonial’s legacy and also from special legislation. To attain a
substantial truth, the first step taken by a judge is by looking for the formal truth,
because with this kind of truth he could attain substantial truth as the real truth.
Kata Kunci: Hukum Pembuktian, Mahkamah Syar’iyah
A. Pendahuluan
Lembaga peradilan merupakan lembaga penegakan hukum yang menjadi
tempat bagi pencari keadilan. Manakala lembaga ini tidak lagi dapat memberi
keadilan kemana lagi tempat mengadu. Lembaga peradilan berbeda dengan
lembaga fatwa (arbitrase). Keputusan yang diberikan lembaga fatwa tidak
mengikat bagi pencari penyelesaian sengketa. Sedang keputusan yang dikeluarkan
oleh lembaga peradilan bersifat memaksa dan mengikat para pihak sehingga harus
dilakukan, ditaati dan tidak boleh dibantah. Dengan demikian tidak dapat
mengajukan perkara yang sama ke pengadilan yang lain.
Di Indonesia terdapat empat jenis lembaga peradilan dengan kewenangan
yang berbeda pula, yaitu Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN), Pengadilan Agama (PA) – khusus di Aceh dewasa ini namanya dirubah
menjadi Mahkamah Syar’iyah – dan Mahkamah Militer (MAHMIL).
1
Masing-masing badan peradilan tersebut memiliki tiga tingkat, yaitu
peradilan tingkat pertama, banding dan kasasi pada Mahkamah Agung (MA).
Bagi para pihak yang tidak puas dengan putusan pengadilan tingkat pertama dapat
mengajukan banding, dan bila tidak puas juga bisa mengajukan kasasi.
Khusus Pengadilan Agama, ia diberi kewenangan memutuskan perkara di
kalangan umat Islam pada kasus-kasus perdata terbatas, yang meliputi: pertama:
perkara perkawinan, kedua: kewarisan, wasiat dan hibah, dan ketiga: perkara
wakaf dan shadaqah1. Namun setelah keluarnya Undang-undang No. 31 Tahun
2006 Tentang Amandemen dari Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama, kewenangannya bertambah satu lagi yakni bidang mu’amalah
atau ekonomi Syari’ah.2
Meskipun hukum materil dari perkara-perkara ini berdasarkan hukum
Islam, namun hukum formilnya masih menggunakan Kitab Undang-undang
Hukum Acara Perdata peradilan umum yang berlaku di Indonesia, yang notabene
adalah peninggalan Belanda (HIR/RBg/BW).
Ketentuan ini dengan tegas dimuat dalam Undang-undang No. 31 Tahun
2006 sebagaimana disebutkan di atas. Di sini memang terdapat keanehan, karena
tidak dilakukan kodifikasi hukum acara Islam, meskipun tentu saja harus
dilakukan penyesuaian dengan konteks Indonesia.
Di antara permasalahan yang urgen dalam hukum acara adalah masalah
pembuktian3. Pembuktian memegang peran penting yang sangat besar dalam
penegakan keadilan kepada masyarakat. Bagi hakim sendiri dilarang memutuskan
perkara sekiranya belum ada bukti-bukti yang meyakinkan. Bukti-bukti yang
2
meyakinkan di sini adalah bukti yang memastikan siapa sebenarnya pemilik hak
atau paling tidak membawa kepada dugaan kuat siapa sebenarnya pemilik hak.
Jadi bukti itu bukan sesuatu yang hanya mencapai tingkat syak (ragu-ragu) atau
tidak yakin.
Membahas tentang pembuktian dalam hukum acara, terdapat beberapa hal
yang menjadi perhatian, di antaranya adalah: apa saja yang menjadi alat bukti dan
apa asas kebenaran yang ingin diperoleh dari pembuktian, di samping berbagai
masalah lainnya. Hal ini saling terkait sangat erat, artinya tidak boleh diabaikan
salah satunya dengan tujuan untuk dapat memberi keadilan kepada masyarakat,
ketika terjadi sengketa, dan terhindar dari segala bentuk ketidakadilan.
Dari pengamatan sementara diketahui bahwa dalam perkara perdata di
Aceh, banyak yang melakukan banding ke tingkat Mahkamah Syar’iyah Provinsi,
bahkan sampai ke Mahkamah Agung. Fakta ini menunjukkan bahwa para pihak
tidak merasa puas dengan keputusan hakim Mahkamah Syar’iyah karena
dianggap tidak mampu memberi keadilan kepada pihak-pihak yang merasa hakhaknya tidak diberikan, terjadi. Hal seperti ini perlu pembuktian. Semua ini tidak
terlepas dari asas pembuktian yang dipakai adalah asas kebenaran formil, tidak
sampai kepada kebenaran materil.4 Maksud dari kebenaran formil adalah hakim
yang memeriksa dan mengadili perkara perdata terikat secara mutlak kepada caracara tertentu yang diatur dalam HIR/RBg/BW.
Apabila hal ini terus dipegangi secara teguh oleh Mahkamah Syar’iyah,
maka tidak mengherankan apabila lembaga peradilan ini tidak dapat memenuhi
rasa keadilan masyarakat secara optimal. Sebagai contoh, menurut Hukum Acara
3
Perdata Umum, akta otentik dikatakan sah apabila dibuat di depan pejabat umum
yang berwenang untuk itu, sebagaimana disebutkan dalam pasal 165 HIR/285
RBg/1870 BW.
Persoalan yang muncul kemudian adalah apakah tidak akan terjadi
kemungkinan lain (secara materil) yang menyebabkan akta otentik (sebagai salah
satu bukti yang kuat) itu lemah, seperti adanya kena pengaruh dalam akta jual beli
tanah yang dibuat oleh seseorang PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) atas
permintaan seorang pejabat berkuasa terkemuka yang mewilayahi PPAT tersebut
sehingga jual beli dimaksud bersifat pemaksaan. Sebagai contoh adanya kasus
kepemilikan sertifikat tanah lebih dari satu terhadap satu objek tanah. Jika hakim
terikat secara formal, bagaimana sikap hakim dalam menilai, adilkah yang
demikian?
Contoh lain ialah wasiat yang dibuat di hadapan notaris oleh seseorang
yang isinya memberikan semua hartanya kepada seseorang setelah ia wafat. Lalu
bagaimanakah status surat wasiat itu di hadapan pembuktian, padahal menurut
hukum materil Islam, wasiat dianggap sah dan dapat dilaksanakan kalau tidak
lebih dari sepertiga dari jumlah harta si pemberi wasiat5
Berdasarkan contoh-contoh di atas, cukuplah menjadi alasan bahwa
kebenaran formil dalam menilai pembuktian sudah selayaknya ditukar dengan
kebenaran materil. Pergeseran dari kebenaran formil menuju kebenaran materil
ini, sejalan pula dengan pergeseran hukum pasif menurut HIR/RBg kepada hakim
aktif menurut UU Nomor 14 Tahun 1970. Pergeseran sistem kebenaran menuju
kepada kebenaran materil ini, pernah juga ditegaskan oleh Mahkamah Agung
4
dalam Rapat Kerja di Jakarta tanggal 28-29 Mei 1981. Hal ini tentu sangat
dimungkinkan berlaku di Aceh, meskipun kenyataannya belum ada.
Meskipun asas pembuktian sudah memungkinkan untuk diterangkannya
asas kebenaran materil, namun Mahkamah Syar’iyah di Aceh masih menganut
asas kebenaran formil. Padahal dengan asas kebenaran formil, kemungkinan besar
banyak kasus-kasus tidak dapat diselesaikan secara adil yang dapat diterima
banyak pihak. Dewasa ini Aceh telah berhak merumuskan qanun hukum acara,
termasuk di dalamnya pembuktian, yang dapat diberlakukan di daerah ini. Namun
wacana pemerintah untuk itu belum ada.
B. Pembahasan
a. Pengertian dan Tujuan Pembuktian
Pembuktian secara etimologi berasal dari kata “bukti” yang berarti sesuatu yang
menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Kata “bukti” jika mendapat awalan “pe”
dan akhiran “an” maka berarti “proses”, “perbuatan”, “cara membuktikan”, secara
terminologi pembuktian berarti usaha menunjukkan benar atau salahnya si
terdakwa dalam sidang pengadilan.6
Subekti menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pembuktian adalah
meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan
dalam suatu persengketaan.7
Menurut Subhi Mahmasani, yang dimaksud dengan membuktikan suatu
perkara adalah: mengajukan alasan dan memberikan dalil sampai kepada batas
yang meyakinkan. Maksud meyakinkan di sini adalah apa yang menjadi ketetapan
atau keputusan atas dasar penelitian dan dalil-dalil itu.8
Dari beberapa defenisi di atas, dapat dipahami bahwa pembukti adalah
suatu proses yang terjadi di depan peradilan yang dilakukan oleh masing-masing
pihak untuk memberikan dalil-dalil dan berbagai alat bukti untuk meyakinkan
5
hakim atas kebenaran yang disengketakan antara penggugat dan tergugat atau
mematahkan dakwaan/gugatan.
Berdasarkan hal ini dapat pula diketahui tujuan pembuktian itu sediri,
yaitu untuk mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya, kebenaran dari
hubungan terhadap pihak-pihak yang berpekara. Dengan pembuktian dapat
diketahui siapa sebenarnya yang salah dan siapa sebenarnya yang benar. Jadi
dengan pembuktian ini dapat dijamin adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi
pihak yang berperkara secara seimbang.9
Dalam ilmu hukum, disadari bahwa pembuktian tidak dapat dipastikan
secara mutlak dan logis, melainkan pembutian yang bersifat kemasyarakatan. Jadi
kebenaran yang dicapai boleh jadi merupakan kebenaran yang relatif. Hal ini
berbeda dengan pembuktian dalam ilmu pasti yang bersifat mutlak dan logis.
Contoh kebenaran dalam ilmu pasti yang bersifat mutlak adalah: 4 x 4 = 16; 42 =
16; 24 = 16, dan lain sebagainya. Pembuktian dalam ilmu hukum diharapkan dapat
memberikan keyakinan terdapat fakta-fakta yang dikemukakan, yaitu apa yang
dikemukakan dengan fakta itu harus selaras dengan kebenaran. Keyakinan bahwa
sesuatu hal benar-benar terjadi harus dapat diciptakan dan dapat diterima oleh
pihak-pihak lainnya, karena apabila hanya dapat diciptakan tanpa diikuti dengan
diterimanya oleh pihak lain, akan tidak punya arti.10
Oleh karena melalui pembuktian dapat diperoleh gambaran tentang siapa
pihak yang benar dan yang salah, maka pembuktian harus dilakukan melalui
prosedur yang benar menurut hukum. Prosedur pembuktian biasanya dilakukan
melalui pemeriksaan alat-alat bukti yang tersedia di depan persidangan, sehingga
eksistensi alat-alat bukti menjadi urgen. Pemeriksaan alat-alat bukti secara
6
prosedural akan memberikan jaminan bahwa hakim dalam melakukan pembuktian
tidak mengada-ada, sehingga hasil putusan yang diberikan dapat dipertanggung
jawabkan secara hukum. Dengan demikian tugas pengadilan memberikan hak
kepada pemiliknya dapat diwujudkan.11
Dalam Islam, tuntutan bagi hakim dan siapa pun juga untuk memberikan
keputusan secara adil sangat tinggi. Banyak nash-nash yang memerintahkan untuk
berbuat adil. Untuk itu sebelum hakim menjatuhkan putusannya, maka hakim
perlu memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian. Oleh karena itu,
dalam Islam keberadaan pembuktian yang dapat mengantarkan hakim kepada
keyakinan akan suatu kebenaran sangat diperhatikan. Dalam hal ini para ulama
sepakat bahwa hakim tidak boleh menetapkan hukum kecuali apabila telah ada
bukti-bukti yang dapat mengungkapkan kebenaran yang sesungguhnya. 12
Dengan demikian jelaslah bahwa pembuktian memegang peranan penting
dalam pemeriksaan perkara dalam persidangan di pengadilan. Dengan adanya
pembuktian, hakim akan dapat memberikan gambaran yang jelas terhadap
peristiwa yang sedang menjadi sengketa di pengadilan.
b. Alat-alat bukti yang digunakan para Hakim Mahkamah Syar’iyah
Banda Aceh.
Pembuktian sebagaimana penjelasan sebelumnya adalah suatu proses yang
terjadi di depan pengadilan yang dilakukan oleh masing-masing pihak untuk
memberikan dalil-dalil dan berbagai alat bukti untuk meyakinkan hakim atas
kebenaran dakwaan/gugatan atau mematahkan dakwaan/gugatan.
7
Telah
dimaklumi
bahwa
sistem
pembuktian
di
Peradilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah adalah menganut sistem hukum acara perdata
menurut HIR/RBg. Sistem yang dianut pada HIR/RBg ini berdasarkan kepada
kebenaran formal. Namun karena sudah ada perubahan, maka hukum acara
perdata bukan hanya bersumber dari HIR/RBg tetapi juga dari BW, dari
kebiasaan-kebiasaan praktek penyelenggaraan peradilan, termasuk dari surat-surat
edaran dan petunjuk-petunjuk Mahkamah Agung.
Suatu persengketaan atau perkara tidak bisa diselesaikan tanpa adanya alat
bukti, artinya kalau gugatan penggugat tidak berdasarkan bukti maka perkara
tersebut akan diputuskan juga oleh hakim tetapi dengan menolak gugatan karena
tidak didukung oleh alat bukti.
Pada kasus perdata sudah pasti ada dua pihak yang berperkara yakni
penggugat dan tergugat. Dalam proses persidangan terdapat proses pembuktian.
Pada tahap ini, baik penggugat maupun tergugat diberikan kesempatan yang sama
untuk mengajukan alat bukti. Dari hasil wawancara dengan hakim Mahkamah
Syar’iyah Banda Aceh, alat bukti yang digunakan oleh para hakim dalam
menyelesaikan perkara perdata masih berpedoman kepada Het Hirziene
Inlandsche Reglement (HIR), Rechts Reglement Buitenguwesten (RBg) dan BW,
yaitu:
1. Alat bukti tertulis/surat-surat
2. Alat bukti saksi
3. Alat bukti persangkaan
4. Alat bukti pengakuan
8
5. Alat bukti sumpah
6. Alat bukti pemeriksaan di tempat
7. Alat bukti keterangan ahli
8. Pembukuan dan
9. Pengetahuan hakim.13
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas akan diuraikan satu persatu
alat bukti tersebut.
1. Alat bukti tertulis/surat-surat (HIR pasal 164)
Alat bukti surat atau tulisan ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda
bacaan yang dimaksudkan untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan
dipergunakan sebagai pembuktian. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa
tidak dianggap surat atau tulisan sebagai alat bukti jika bukan hasil pikiran
seseorang dan bukan dimaksudkan sebagai pembuktian di muka persidangan.
Bentuk dari bukti tertulis atau surat dapat juga berupa akta otentik. Yang
dimaksud dengan akta otentik sebagaimana termaktub dalam HIR pasal 165/RBg
pasal 285/ BW pasal 1868 yaitu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat
yang berwenang untuk itu, menurut ketentuan tertentu yang telah ditetapkan.
Alat bukti tertulis ini termaktub dalam HIR pasal 138, 164, 165, 167; RBg
pasal 285 s/d 305 dan BW pasal 1867 s/d 1894. Surat-surat atau tulisan adalah
produk manusia yang bersumber dari akal dan pikiran dan terkadang dituangkan
ke dalam sebuah tulisan atau surat yang dapat dijadikan sebagai alat bukti.
Disebutkan dalam HIR pasal 165/RBg pasal 285/BW pasal 1870 bahwa
akta otentik mempunyai kekuatan alat bukti yang sempurna atau mengikat, baik
9
bagi pihak-pihak maupun bagi ahli warisnya atau bagi orang-orang yang
memperoleh hak daripadanya, artinya hakim harus menganggapnya benar serta
tidak memerlukan pembuktian lain, kecuali memang dapat dibuktikan tentang
ketidakbenarannya.
Selain akta otentik ada juga akta di bawah tangan (bukan otentik), yaitu
segala tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tetapi tidak dibuat di
hadapan atau oleh pejabat yang berwenang, seperti surat jual beli tanah yang
dibuat oleh kedua belah pihak (penjual dan pembeli). Meskipun di atas kertas
yang bermaterai dan ditanda tangani oleh kepala desa surat tersebut tidak dapat
disebut sebagai akta otentik karena yang berwenang untuk membuat surat/akta
tanah adalah PPAT. Namun apabila terjadi perkara dan kedua belah pihak
mengakui surat itu benar adanya, maka kekuatannya sama dengan akta otentik.14
2. Alat bukti saksi (HIR pasal 164)
Alat bukti saksi dalam Islam adalah saksi laki-laki dan perempuan yang
menyaksikan dengan mata kepala sendiri, dengan demikian saksi yang
dimaksudkan adalah orang yang masih hidup. Dasar alat bukti saksi dalam Islam
terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 282 yang artinya:
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di
antaramu. Jika tidak ada dua orang lelaki maka boleh seorang lelaki
bersama dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu sukai, supaya
jika yang seorang lupa maka seorang lagi akan mengingatkannya, dan
janganlah saksi-saksi itu enggan memberi keterangan bila mereka
dimintai keterangannya…”
Ayat di atas adalah dalil umum tentang alat bukti saksi, yaitu saksi dari
dua kaum lelaki atau seorang lelaki bersama dua perempuan, yang semuanya
10
beragama Islam. Dengan demikian masih ada alat bukti secara khusus sesuai
dengan kasus yang terjadi. Dasar alat bukti saksi terdapat dalam HIR pasal 139
s/d 152 dan pasal 168 s/d 172, RBg pasal 165 s/d 179 dan BW pasal 1902 s/d
1912.
3. Alat bukti persangkaan (HIR pasal 164)
Alat bukti persangkaan dalam acara peradilan disebut vernoeden (bahasa
Belanda), dan dalam acara peradilan Islam disebut qarinah yang berarti
“petunjuk-petunjuk”. Dalam HIR pasal 173, RBg pasal 310 dan BW pasal 1922 ,
vernoeden atau persangkaan-persangkaan di bagi dua, yaitu persangkaan hakim
dan persangkaan undang-undang.
Persangkaan hakim adalah adalah kesimpulan hakim yang ditarik atau
sebagai hasil dari pemeriksaan sidang dan persangkaan undang-undang adalah
kesimpulan yang ditarik oleh hakim berdasarkan karena sudah demikian
ditentukan oleh dan di dalam undang-undang.
4. Alat bukti pengakuan (HIR pasal 164)
Alat bukti pengakuan dalam bahasa Belanda disebut bekentenis dalam
hukum acara peradilan Islam disebut iqrar. Dasar pengakuan sebagai alat bukti
untuk peradilan perdata umum terdapat dalam HIR pasal 174 s/d 176, RBg pasal
311 s/d 313 dan BW pasal 1923 s/d 1928. Pengakuan di depan sidang menurut
BW pasal 1925 dan 1927 adalah merupakan alat bukti yang sempurna dan
mengikat, jadi pihak lawan atau hakim tidak perlu membuktikan lain lagi
melainkan telah cukup untuk memutus dalam bidang persengketaan yang telah
diakui tersebut.
11
5. Alat bukti sumpah (HIR pasal 164)
Menurut hukum perdata umum sumpah adalah sebagai alat bukti
tambahan atau sumpah tambahan, yaitu sumpah yang diucapkan oleh salah satu
pihak atas perintah hakim karena alat bukti minimal untuk dapatnya hakim
memutus belum mencukupi, misalnya hanya ada satu saksi saja (BW pasal 1940
s/d 1941). Oleh karena sumpah tambahan ini menggantikan suatu alat bukti
lainnya maka kalau di kemudian hari dapat dibuktikan bahwa sumpah tersebut
palsu, sedang putusan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, masih bisa
dilakukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
Ketua Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh menjelaskan bahwa menurut
peradilan umum sumpah sebagai alat bukti ada dua; sumpah tambahan
(Supletoire) sebagaimana telah disebutkan tadi, dan sumpah pemutus (decissoire
eed).15 Sumpah pemutus (decissoire eed) yaitu sumpah yang diucapkan oleh salah
satu pihak atas permintaan pihak lainnya karena pihak lainnya di sini telah tidak
ada alat bukti sama sekali yang mendukung tuntutannya (Hir pasal 156, RBg pasal
183 dan BW pasal 1930 s/d 1939).
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa sumpah menurut hukum acara
peradilan umum hanya ada dua, yakni sumpah tambahan dan sumpah pemutus.
Dalam hukum acara peradilan umum tidak dikenal adanya sumpah pengingkaran
sebagaimana dalam hukum acara peradilan dalam Islam.
Dalam hukum perdata sumpah pengingkaran maksudnya adalah sumpah
seseorang untuk melindungi haknya supaya tidak jatuh kepada pihak atau ke
tangan orang lain. Dalam hukum pidana sumpah maksudnya adalah untuk
12
mengingkari suatu tuduhan yang ditujukan kepada, dengan demikian apabila
sumpah diucapkan, maka si tertuduh terlepas dari tuduhannya telah melakukan
suatu kejahatan.16
6. Alat bukti pemeriksaan di tempat (Discente) (HIR pasal 153)
Pada dasarnya persidangan pengadilan selalu dilaksanakan di gedungnya,
kecuali kalau apa yang akan diperiksa itu tidak mungkin dibawa atau dijelaskan di
depan sidang seperti terhadap beberapa kasus benda tetap. Pemeriksaan setempat
dimaksudkan sebenarnya adalah sidang pengadilan (majelis lengkap) yang
dipindahkan ke suatu tempat tertentu, yang lengkap berita acara sidangnya seperti
biasa dan masih termasuk wilayah pengadilan tersebut. Dengan demikian
pemeriksaan setempat berfungsi agar hakim dapat memberi keyakinan tentang
peristiwa sengketa.17
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pemeriksaan setempat sebagai
alat bukti bukanlah hakim hanya sekedar melihat objek bukti lalu kemudian
kembali ke majelis persidangan, namun yang dimaksud dengan alat bukti
pemeriksaan setempat ini sebenarnya adalah proses persidangan langsung di
tempat di mana alat bukti tersebut berada.
Alasan persidangan di tempat alat bukti tersebut berada karena alat bukti
tersebut tidak bisa dan tidak mungkin dibawa ke tempat persidangan yang
sesungguhnya, seperti rumah, batas tanah, tanah sawah atau kebun dan
seumpamanya.
7. Alat bukti keterangan ahli (Expertise) (HIR pasal 154)
13
Untuk mendapatkan kebenaran dan keadilan hakim dalam memutuskan
perkara perlu kepada keterangan ahli atau saksi ahli sebagai alat bukti. Saksi ahli
berbeda dengan saksi biasa, kalau saksi biasa hanya boleh menerangkan kepada
majelis hakim tentang apa yang dia lihat, didengar dan dialami tidak boleh
mengambil kesimpulan atau penilaian. Sedangkan saksi ahli dapat menilai dan
mengambil kesimpulan yang obyektif dari apa yang dia lihat dan teliti.
Apabila hakim setuju dengan pendapat ahli, maka dianggap sebagai
pendapat hakim sendiri dan dapat dijadikan dasar pemutus. Oleh karena itulah
keterangan ahli atau saksi ahli termasuk salah satu alat bukti.
8. Pembukuan ( HIR pasal 167)
Dalam HIR pasal 167, RBg pasal 296 menyatakan bahwa hakim bebas
memberikan kekuatan
pembuktian untuk
keuntungan seseorang kepada
pembukuannya yang dalam hal khusus dipandang patut. Dalam pasal ini juga
dikatakan bahwa hakim bebas untuk menerima dan memberi kekuatan bukti yang
menguntungkan bagi si pembuat pembukuan. Contoh seorang penggugat
menggugat kepada lawannya untuk melunasi hutangnya, kemudian tergugat
menyatakan bahwa hutangnya sudah lunas, lalu penggugat menunjukkan
pembukuan debit kredit terhadap tergugat di mana ada pengeluaran pinjaman.
Dalam hal ini hakim dapat menerima pembukuan itu sebagai alat bukti yang
menguntungkan penggugat.18
9. Pengetahuan Hakim (HIR pasal 178, UU-MA No. 14/1985)
HIR pasal 178 (1) mewajibkan hakim karena jabatannya waktu
bermusyawarah mencukupkan segala alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh
14
kedua belah pihak. Posisi pengetahuan hakim sebagai alat bukti dalam HIR pasal
178 (1) ini tidak menggambarkan adanya kebebasan hakim secara utuh dalam
bertindak. Pengetahuan hakim di sini adalah sebagai pelengkap saja dari alat bukti
yang sudah diajukan oleh pihak-pihak yang berperkara.19
Namun dengan adanya pasal 14 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 dan
penjelasannya sedikit tidaknya telah memberikan kebebasan kepada hakim untuk
menggunakan pengetahuannya. Bunyi pasal tersebut serta penjelasannya adalah:
“Hakim sebagai organ Pengadilan dianggap mengetahui hukum, pencari
keadilan datang kepadanya untuk memohon keadilan, andaikata ia tidak
menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk
memutus
berdasarkan
hukum
sebagai
orang
yang
bijaksana
dan
bertanggungjawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat,
bangsa dan Negara”
Dari perbandingan tersebut dapat dipahami bahwa memang peraturan yang
ada pada HIR dan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 dan penjelasannya
tersebut terjadi perbedaan yang sangat signifikan. Oleh karena itu, dengan adanya
undang-undang ini telah memberikan peluang bagi hakim menggunakan
pengetahuannya untuk menentukan putusan dalam sidang perkara perdata.
Pengetahuan hakim yang diperoleh dalam persidangan, yakni apa yang
dilihat, didengar dan disaksikan oleh hakim dalam persidangan merupakan bukti
bagi peristiwa yang disengketakan. Akan tetapi pengetahuan hakim mengenai
para pihak yang diperoleh di luar persidangan tidak dapat dijadikan bukti dalam
memutuskan perkara.
15
Alat-alat bukti di atas adalah alat bukti yang terdapat dalam hukum acara
peradilan umum yang notabene bersumber dari hukum peninggalan kolonial
Belanda, yakni HIR, RBg dan BW yang kemudian dijadikan dan diamalkan oleh
para hakim dalam memutuskan perkara perdata. Namun, menurut ketua
Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, bahwa para hakim selain berpedoman kepada
hukum acara peradilan umum tersebut para hakim juga boleh berpedoman kepada
peraturan yang diatur secara khusus.
Hal tersebut memang ada pengecualian dalam hukum acara peradilan
umum itu. Misalnya saksi keluarga dalam perselisihan rumah tangga. Disebutkan
dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1989 pasal 22 bahwa keluarga sedarah atau
semenda, buruh/karyawan dan pembantu rumah tangga dapat didengar sebagai
saksi di bawah sumpah dalam perkara tentang perselisihan keadaan menurut
hukum perdata dan tentang perjanjian pekerjaan, serta tentang perkara perceraian
karena alasan perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus.
Di samping itu, alasan perceraian dalam perkawinan tidak diatur secara
spesifik dalam RBg, tetapi diatur khusus dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama dan ketentuan ini digunakan dalam praktek persidangan
di Mahkamah Syar’iyah.20
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa meskipun pada dasarnya para
hakim dalam memutuskan perkara perdata harus menggunakan hukum acara yang
yang ada di peradilan umum, namun tidak tertutup kemungkinan adanya peraturan
lain yang mengatur secara khusus tentang sesuatu perkara, maka para hakim
dibolehkan menggunakan peraturan khusus tersebut.
16
B. Penerapan Asas Kebenaran Formil dalam Pembuktian Kasus Perdata di
Mahkamah Syar’iyah.
Peradilan Agama di Indonesia (Mahkamah Syar’iyah di Aceh) sebagaimana
telah diuraikan di atas masih tetap secara mutlak menganut asas pembuktian yang
ada pada Hukum Acara Perdata Umum, yang menganut asas kebenaran formal.
Asas pembuktian dalam hukum acara perdata dijumpai dalam Burgerlijke
Wetboek (BW) pasal 1865, RBg pasal 283 dan HIR Pasal 163. Bunyi pasal-pasal
tersebut adalah: Barangsiapa yang mempunyai satu hak atau guna membantah hak
orang lain, atau menunjuk pada suatu peristiwa, ia diwajibkan membuktikan
adanya hak itu atau adanya peristiwa tersebut.21
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa orang yang merasa haknya
dirugikan wajib menghadirkan alat bukti ketika dimintai oleh hakim di depan
persidangan. Dan begitu juga bagi orang yang membantah adanya hak orang lain
pada dirinya harus menghadirkan alat bukti untuk menyanggah hak orang lain
tersebut.
Dengan demikian pihak penggugat maupun pihak tergugat harus
menghadirkan alat bukti sebagai dalil pendukung keadilan putusan majelis hakim
dalam persidangan. Dalam kasus perdata ini, para pihak harus aktif menghadirkan
alat bukti, tidak sebagaimana kasus pidana. Dalam kasus pidana berdasarkan
hadits yang terjemahannya:
“Pembuktian dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan
kepada orang yang mengingkarinya. Namun bila dibandingkan dengan uraian
Roihan Rasyid dalam bukunya bahwa pemahaman hadits tersebut tidak bisa
dikatakan bahwa bukti itu hanya dibebankan kepada penggugat.22 Ia
menerjemahkan hadits tersebut dengan: Jika gugatan seseorang dikabulkan
17
begitu saja, niscaya akan banyaklah orang yang menggugat hak atau hartanya
terhadap orang lain tetapi (ada cara pembuktiannya) kepada yang menuntut hak
(termasuk yang membantah hak orang lain dan menunjuk suatu peristiwa
tertentu) dibebankan untuk membuktikan dan (bagi mereka yang tidak mempunyai
bukti lain) dapat mengingkarinya dengan sumpahnya.(HR. Bukhari dan Muslim
dengan sanadnya yang shahih”)23
Berdasarkan terjemahan tersebut, Roihan Rasyid berprinsip bahwa alat
bukti dalam kasus perdata bukan dibebankan kepada penggugat semata tetapi juga
kepada tergugat demi untuk mencari hakikat kebenaran masing-masing pihak
dalam berperkara di depan persidangan.
Sumpah pengingkaran dalam kasus perdata menurut hadits tersebut dapat
diterima atau dikabulkan meskipun tidak ada bukti awal untuk mendukung
sumpah tersebut, namun menurut asas HIR, RBg dan BW sumpah pengingkar
tersebut tidak dapat dikabulkan oleh hakim, jika tidak didukung oleh bukti lain,
sumpah pengingkaran tidak dianggap sebagai alat bukti.
Pada dasarnya para hakim dalam memutuskan perkara perdata yang
pertama sekali harus menganut asas kebenaran formil, dengan asas inilah dicari
kebenaran secara hakiki yakni kebenaran materil. Untuk mengetahui hakikat
kebenaran sesuatu harus beranjak dari kebenaran formil, yakni dari hal-hal yang
nampak terlebih dahulu, hal ini sesuai dengan ungkapan hadits: umirtu an ahkumu
bizzawahir wallahu yatawalla sara’ir, karena hakikat kebenaran itu sendiri akan
terwujud setelah kebenaran formil terpenuhi.24
Dari pernyataan tersebut bahwa asas kebenaran formil itu sangat penting,
karena asas tersebut sebagai jalan atau langkah awal untuk mendapatkan
18
kebenaran meteril atau kebenaran sesungguhnya dari suatu peristiwa atau
sengketa yang diajukan ke pengadilan.
Dalam azas kebenaran formil saksi harus ada dua orang, untuk mengetahui
apakah dua orang ini layak untuk menjadi saksi atau tidak, hal ini menjadi
kewenangan hakim untuk menilai dan menentukannya apakah layak sebagai saksi
dan dapat diterima kesaksiannya oleh majelis hakim di muka persidangan. Pada
kenyataan ada pihak yang menghadirkan empat orang saksi, padahal secara formil
kwantitas dua orang saksi sudah mencukupi sebagai saksi.25
Oleh karena itu peran hakim dalam menilai kadar atau keabsahan suatu alat
bukti sangat penting. Dengan demikian hakim diharapkan sangat berhati-hati dan
teliti dalam melakukan penilaian terhadap suatu alat bukti, sehingga terhindar dari
kesalahan. Memang di dalam hukum Islam sebagaimana disebutkan dalam hadits
yang maknaya apabila hakim benar dalam memutuskan suatu perkara, maka ia
dapat dua pahala, dan jika salah ia mendapat satu pahala.
Dari ungkapan hadits ini menunjukkan bahwa hakim telah berusaha sekuat
tenaga dan sangat berhati-hati, namun begitu, hakim tetap memutuskan perkara
tidak berdasarkan hakikat kebenaran sesungguhnya, atas usahanya yang keras itu
Allah memberinya satu pahala.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa hukum formil artinya mencari kebenaran
hukum metaril, jika hukum formilnya tidak benar, maka hasil atau hukum
materilnya juga tidak benar. Mempertahankan hukum materil di depan
persidangan itu termasuk hukum acara. Hukum formil tanpa hukum acara tidak
bermakna, demikian juga hukum formil tanpa materil juga tidak ada artinya, jadi
19
diibaratkan bagaikan pisau bermata dua, kedua-duanya penting. Sebagai contoh
secara formil kesaksian harus dua orang saksi, tetapi nilai kesaksian adalah
materil dan ini tidak dapat diketahui nilai kebenarannya secara hakiki sebelum
diselidiki secara teliti oleh hakim terlebih dahulu.26
Dengan demikian asas kebenaran formil tidak dapat diabaikan untuk meraih
kebenaran materil, tetapi berpijak hanya kepada kebenaran formil saja bukan
suatu jalan yang tepat untuk mencapai keadilan dalam menyelesaikan perkara
antara orang Islam. Karena belum ada hukum acara tersendiri untuk Peradilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah sebagai produk dari ahli hukum Islam Indonesia,
maka digunakan hukum acara yang ada pada peradilan umum meskipun masih
terdapat
kekurangan-kekurangannya.
Namun
kekurangan-kekurangan
itu
diminimalisir dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku khusus untuk
Peradilan Agama di Indonesia atau Mahkamah Syar’iyah di Aceh.
C. Kesimpulan dan Saran
Beberapa hal yang dapat disimpulkan dalam penelitian ini adalah bahwa
asas hukum pembuktian yang digunakan dalam hukum acara perdata Peradilan
Agama adalah asas kebenaran formil, yakni masih mengacu atau berpedoman
kepada hukum acara peradilan umum.
Alat-alat bukti yang digunakan oleh para hakim di Mahkamah Syar’iyah
Banda Aceh atau peradilan agama seluruh Indonesia mengacu atau berpedoman
kepada Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata Peradilan Umum yang
bersumber dari HIR/RBg.
20
Namun setelah mengalami perubahan juga bersumber dari BW, dari
kebiasaan-kebiasaan praktek penyelenggaraan peradilan, termasuk dari surat-surat
edaran dan petunjuk-petunjuk Mahkamah Agung. Di samping itu juga
berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku khusus, seperti
yang diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
di Indonesia.
Dengan demikian peraturan yang tidak ada di dalam HIR/RBg/BW dapat
digunakan peraturan (legeslasi hukum) yang diserap dari surat-surat edaran,
petunjuk-petunjuk Mahkamah Agung tersebut, praktek peradilan setempat jika
ada, dan dari undang-undang yang berlaku khusus tersebut.
Alat bukti yang berlaku khusus tersebut umpamanya adalah saksi keluarga
sebagai alasan perceraian dalam perkawinan, ini tidak diatur dalam RBg, tetapi
diatur khusus dalam undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama
dan ketentuan ini digunakan dalam praktek persidangan di Mahkamah Syar’iyah
kota Banda Aceh.
Alat bukti yang dipegang oleh Mahkamah Syar’iyah berpedoman kepada
hukum Acara Peradilan Umum. Alat bukti tersebut adalah alat bukti saksi, alat
bukti persangkaan, alat bukti pengakuan, alat bukti sumpah, alat bukti
pemeriksaan di tempat, alat bukti keterangan ahli, pembukuan dan pengetahuan
hakim.
Alat-alat butki tersebut digunakan di Peradilan Agama seluruh Indoneisa
(Mahkamah Syar’iyah di Aceh). Alat bukti yang terakhir, yakni pengetahuan
hakim menurut HIR tidak mempunyai kebebasan secara utuh. Pengetahuan hakim
21
tersebut adalah sebagai pelengkap dari alat bukti yang ada. Dengan adanya aturan
khusus yaitu Undang-undang No. 14 Tahun 1970, maka hakim telah mempunyai
kebebasan penuh menggunakan pengetahuannya tanpa ada alat bukti lain terlebih
dahulu. Berarti hakim di seluruh Peradilan Agama dapat menggunakan momen
Undang-undang yang berlaku khusus ini selain yang terdapat di dalam HIR
tersebut.
Asas kebenaran formil sangat penting kedudukannya untuk mencari
kebenaran materil. Itulah yang menjadi sebab atau faktor Mahkamah Syar’iyah
atau peradilan Agama di Indonesia tidak boleh mengabaikan asas kebenaran
formil tersebut. Meskipun asasnya masih bersumber dari hukum peninggalan
Belanda, namun dapat digunakan di Mahkamah Syar’iyah dengan didukung atau
dilengkapi dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku khusus. Dengan
demikian kelemahan atau aturan yang tidak ada pada HIR/RBg/BW dapat
diminimalisir.
Sebagai saran untuk perbaikan mutu Mahkamah Syar’iyah pada masa
yang akan datang, pemerintah perlu kiranya memikirkan dan menyusun hukum
acara tersendiri yang diberlakukan di Peradilan Agama Atau Mahkamah
Syar’iyah di Aceh. Dengan adanya peraturan tersendiri diharapkan akan
membawa prubahan yang positif di lembaga Peradilan Agama dan membawa rasa
keadilan dan kepuasan di kalangan para pencari keadilan, sehingga tidak ada lagi
para pihak yang berperkara melakukan banding ke tingkat peradilan yang lebih
tinggi atau bahkan melakukan kasasi ke Mahkamah Agung.
22
Kitab-kitab atau buku-buku tentang acara peradilan sedikit banyaknya
memang sudah ditulis oleh fuqaha-fuqaha’ terdahulu, bahkan ada yang sudah
diterjemahkan seperti kitabnya Muhammad Salam Madkur (terj. Hukum Acara
Peradilan Islam). Dengan adanya dokumen-dokumen ini pihak yang berwenang
untuk membuat hukum acara Islam di Indoneisa dan di Aceh khususnya dapat
menginventarisasi dan memilah-milah mana yang dianggap penting dan dapat
digunakan sebagai aturan beracara di pengadilan secara Islami (Islam Kaffah) dan
tidak lagi menggunakan aturan-aturan hukum acara peninggalan penjajah
Belanda.
End Not:
1
Lihat Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2000), hal. 29-37.
2
Lihat Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 tahun 2002 tentang
Peradilan Syari’at Islam, hal. 19. lihat juga Ahmad Qarib, ReformasiundangUndang Peradilan Agama dan Implikasinya Terhadap Kompetensi, (Makalah
disampaikan pada Konferensi Internasional di Hermes Palace tanggal, 2007.
3
Membuktikan artinya mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu
fakta/peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum
pembuktian yang berlaku. Dalam pembuktian itu, maka para pihak memberi
dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang
bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang
diajukannya. Lihat Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan
Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 135.
4
Wawancara dengan Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, tanggal 8 Juni
2008.
5
Roihan A. Rasyid, Hukum…, hal. 145.
6
Depdikbud, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hal. 151.
7
Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradya Paramita, 1995), hlm. 7.
8
Subhi Mahmasani, Falsafah al-Tasyri’ fil Islam, (Beirut: Al-Kasyaf, 1949), hal.
220.
9
Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, (Bandung: Alumni,
2004), hlm. 8.
10
Ibid., hlm. 11.
23
11
Muhammad bin Farhun al-Yakmari, Tabsirat al-Hukkam fi Usul al-Aqdiyyah
wa manahij al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003 M./1423 H.), hal.
9.
12
Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA; Perspektif Hukum Islam
dan Hukum Positif, (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005), hal. 5.
13
Wawancara dengan hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh tanggal 8
September 2008.
14
Roihan A. Rasyid, Hukum…, hal. 145.
15
Wawancara dengan ketua Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, tanggal 8
September 2008.
16
Wawancara dengan Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh Tanggal 13
September 2008.
17
Roihan A Rasyid Hukum…, hal. 195.
18
Mukti Arto, Praktek … hal. 197.
19
Wawancara dengan hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, tanggal 12
September 2008.
20
Wawancara dengan Ketua Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh tanggal 8
September 2008.
21
Mukti Arto, Praktek … hal. 142.
22
Roihan Rasyid, Hukum…, hal. 143.
23
Al-Shan’any, Subul al-Salam, (Bandung: tt.), hal. 132.
Wawancara dengan Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh tanggal 10
September 2008.
25
Wawancara dengan Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh tanggal 10
September 2008.
26
Wawancara dengan Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh tanggal 10
September 2008.
24
DAFTAR PUSTAKA
Al-Shan’any, Subul al-Salam, jilid IV,(Bandung: Dahlan, tt.
Depdikbud, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995.
Lihat Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2000.
M. Harahap, Pembuktian, Medan: Pustaka Sri, t.t.
Muhammad bin Farhun al-Yakmari, Tabsirat al-Hukkam fi Usul al-Aqdiyyah wa
manahij al-Ahkam, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003 M./1423 H.
24
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Cet. I,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2006.
Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradya Paramita, 1995.
Subhi Mahmasani, Falsafah al-Tasyri’ fil Islam, Beirut: Al-Kasyaf, 1949.
Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Bandung: Alumni,
2004.
25
Download