PENERAPAN BUDIDAYA UDANG RAMAH LINGKUNGAN DAN BERKELANJUTAN MELALUI APLIKASI BAKTERI ANTAGONIS UNTUK BIOKONTROL VIBRIOSIS UDANG WINDU (Penaeus monodon Fabr.) Fakhrudin Al Rozi Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta RINGKASAN Udang windu (Penaeus monodon, Fabr.) merupakan salah satu komoditas asli Indonesia (native species) yang sangat populer dan memiliki nilai tinggi dalam perdagangan internasional. Produksi udang windu Indonesia pada perkembangannya mengalami penurunan produksi yang diantaranya disebabkan serangan bakteri udang menyala (luminescent vibriosis) oleh bakteri Vibrio. Penggunaan antibiotik dan bahan kimia tidak efektif karena bersifat resisten dan menjadi bumerang terhadap ekspor udang Indonesia. Upaya yang dapat dilakukan adalah penggunaan musuh alami hama penyakit dan patogen seperti bakteri antagonis. Lactobacillus spp. dilaporkan efektif menghambat vibriosis, Pseudomonas fluorescens dapat menghambat Vibrio anguilarum. Bacillus spp. dan Staphylococcus spp. yang berasal dari tambak mampu menekan bakteri Vibrio. Pemanfaatan bakteri antagonis sebagai agen pengendalian hayati akan semakin penting dari segi ekosistem akuakultur, karena dapat mengurangi bahkan menghilangkan penggunaan antibiotik sehingga tercipta sistem budidaya ramah lingkungan dan mempersiapkan suatu sistem akuakultur organik yang akhir-akhir ini semakin kuat sehingga penggunaan bakteri antagonis pada budidaya udang windu dapat dijadikan sebagai dasar budidaya udang organik di Indonesia. Kepedulian lingkungan, meningkatnya konsumsi ikan, dan berkembangnya pasar makanan organik telah memunculkan keinginan untuk mewujudkan akuakultur organik sehingga aplikasi bakteri antagonis dapat dijadikan sebagai dasar budidaya udang organik di Indonesia. Pemenang lomba Kompetisi Karya Tulis Mahasiswa (KKTM) bidang Lingkungan hidup Tingkat Nasional Tahun 2008 di Surabaya, 31 Oktober – 2 November 2008 I. PENDAHULUAN Udang windu (Penaeus monodon, Fabr.) merupakan primadona komoditas perikanan yang sangat populer dan memiliki nilai tinggi dalam perdagangan internasional. Usaha budidaya udang windu berkembang cepat karena selain merupakan salah satu komoditas hasil perikanan yang potensial untuk ekspor, udang windu juga berperan dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat. Adanya kecenderungan perubahan pola konsumsi dunia dari daging ke produk ikan dan udang juga semakin memperluas peluang pasar. Hal ini sesuai dengan kebijakan pembangunan perikanan yang mengupayakan peningkatan ekspor tanpa menganggu peningkatan konsumsi ikan di dalam negeri. Kegiatan budidaya udang windu secara nasional mencapai puncaknya pada tahun 1991 dan setelah itu menurun drastis karena kegagalan panen akibat penyakit dan merosotnya daya dukung lahan serta lingkungan. Pada kurung waktu 15 tahun terakhir, masalah lingkungan sering diperdebatkan sebagai biang kegagalan budidaya udang, yang disinyalir bermula dari menurunnya kualitas lingkungan air tambak. Dalam sistem budidaya udang intensif, kontribusi pakan terhadap penurunan kualitas lingkungan air tambak tidak bisa dipungkuri. Bertonton pakan sebagai bahan organik dimasukan kedalam petakan tambak dengan harapan dapat memproduksi udang secara maksimal (Anonim, 2004c). Padahal, praktek ini dapat menurunkan kualitas air tambak yang berdampak pada pertumbuhan mikroorganisme patogen dan hama, serta memberikan tekanan terhadap kondisi fisiologi udang, yang pada akhirnya menurunkan kemampuan lingkungan tambak. Semula kegagalan budidaya udang windu dijumpai pada tambak udang intensif, namun akhir-akhir ini pada tambak tradisional juga banyak mengalami kehancuran. Permasalahan utama yang dihadapi petambak udang windu adalah serangan penyakit bakteri udang menyala (luminescent vibriosis), karena udang yang terserang pada keadaan gelap tampak bercahaya. Penyebab penyakit udang menyala tersebut adalah bakteri Vibrio yang menyebabkan wabah pada awal tahun 1990 hingga sekarang (Irianto, 2003). Hal ini terjadi karena merosotnya mutu lingkungan budidaya yaitu mutu air sumber dari perairan di sekitarnya dan mutu lingkungan tambak sendiri (Atmosumarsono et al., 1995). Bakteri Vibrio melakukan serangan secara ganas dan cepat sehingga dapat menimbulkan kematian total serta menyerang udang di pembenihan maupun pembesaran. Prayitno (1994) menyebutkan bahwa dari segi ekonomi, berjangkitnya wabah penyakit vibriosis ini melemahkan roda industri udang nasional. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mendapatkan suatu metode pencegahan dan penanggulangan penyakit udang windu, antara lain penggunaan obat-obatan dan antibiotik. Penggunaan antibiotik dan bahan kimia tidak efektif lagi karena tidak memberikan hasil yang memuaskan karena pada dosis tertentu justru berdampak negatif dengan meningkatkan resistensi bakteri-bakteri patogen terhadap konsentrasi antibiotik (Tjahjadi et al., 1994). Sejumlah isolat Vibrio berpendar yang diisolasi dari tempat pembenihan udang windu di Jawa Timur ternyata resisten terhadap berbagai macam antibiotik seperti spektinomisin, amoksisilin, kloramfenikol, eritromisin, kanamisin, tetrasiklin, ampisilin, streptomisin, dan rifampisin. Sementara di lain pihak antibiotik bersifat persisten di alam dan bahkan menjadi bumerang terhadap ekspor udang Indonesia (Tompo et al., 2006). Salah satu upaya yang dapat dilakukan guna mempertahankan keberlanjutan daya dukung ekosistem tambak adalah melalui penggantian aplikasi bahan kimia dan obat-obatan melalui aplikasi musuh alami hama penyakit dan patogen. Program eksplorasi dan pengembangan musuh alami untuk pengendalian hama dan penyakit akan sangat efektif diterapkan dalam upaya pengendalian hama dan penyakit terpadu yaitu melalui aplikasi probiotik. Untuk mengembangkan probiotik yang dapat mengendalikan penyakit telah dilakukan studi mengenai mikroorganisme yang mempunyai kemampuan menekan patogen. Salah satu bentuk probiotik adalah konsorsia bakteri antagonis terhadap patogen udang yang efektif menekan populasi patogen dalam ekosistem tambak. Lactobacillus spp. dilaporkan efektif menghambat vibriosis (Jiravanichpaisal dan Chauychuwong, 1997), Pseudomonas fluorescens dapat menghambat Vibrio anguilarum (Gram et al., 1999), Bacillus spp. dan Staphylococcus spp. yang berasal dari tambak mampu menekan bakteri Vibrio (Suprapto, 2005). Pemanfaatan bakteri antagonis sebagai agen pengendalian hayati akan semakin penting dari segi ekosistem akuakultur, karena dapat mengurangi bahkan menghilangkan penggunaan antibiotik sehingga tercipta sistem budidaya ramah lingkungan sekaligus menerapkan sistem keamanan hayati untuk mengurangi risiko kontaminasi penyakit pada produksi budidaya udang. II. TELAAH PUSTAKA 2.1 Bakteri Vibrio sp. Bakteri Vibrio merupakan genus yang dominan pada lingkungan air payau dan estuaria. Umumnya bakteri Vibrio menyebabkan penyakit pada hewan perairan laut dan payau. Sejumlah spesies Vibrio yang dikenal sebagai patogen seperti V. alginolyticus, V. anguillarum, V. carchariae, V. cholerae, V. harveyii, V. ordalii dan V. vulnificus (Irianto, 2003). Menurut Egidius (1987) Vibrio sp. menyerang lebih dari 40 spesies ikan di 16 negara. Vibrio sp. mempunyai sifat gram negatif, sel tunggal berbentuk batang pendek yang bengkok (koma) atau lurus, berukuran panjang (1,4 – 5,0) µm dan lebar (0,3 – 1,3) µm, motil, dan mempunyai flagella polar (Gambar 1). Menurut Pitogo et al., (1990), karakteristik spesies Vibrio berpendar (Tabel 1). Sifat biokimia Vibrio adalah oksidase positif, fermentatif terhadap glukosa dan sensisif terhadap uji O/129 (Logan, 1994 cit. Gultom, 2003). A. Vibrio harveyii (Anonim, 2000) B. Bioluminescens (Machalek, 2004) Gambar 1. Bakteri Vibrio harveyii dan Bioluminescens Bakteri Vibrio sp. adalah jenis bakteri yang dapat hidup pada salinitas yang relatif tinggi. Menurut Rheinheiner (1985) cit. Herawati (1996), sebagian besar bakteri berpendar bersifat halofil yang tumbuh optimal pada air laut bersalinitas 20-40‰. Bakteri Vibrio berpendar termasuk bakteri anaerobic fakultatif, yaitu dapat hidup baik dengan atau tanpa oksigen. Bakteri Vibrio tumbuh pada pH 4 - 9 dan tumbuh optimal pada pH 6,5 - 8,5 atau kondisi alkali dengan pH 9,0 (Baumann et al., 1984 cit. Herawati, 1996). 2.2 Penyakit Vibriosis Udang Windu Genus Vibrio merupakan agen penyebab penyakit vibriosis yang menyerang hewan laut seperti ikan, udang, dan kerang-kerangan. Spesies Vibrio yang berpendar umumnya menyerang larva udang dan penyakitnya disebut penyakit udang berpendar. Bakteri Vibrio menyerang larva udang secara sekunder yaitu pada saat dalam keadaan stress dan lemah, oleh karena itu sering dikatakan bahwa bakteri ini termasuk jenis opportunistic patogen. Gambar vibriosis pada tahap postlarva dan koloni Vibrio sp. dapat dilihat pada Gambar 2. Pemberian pakan yang tidak terkontrol mengakibatkan akumulasi limbah organik di dasar tambak sehingga menyebabkan terbentuknya lapisan anaerob yang menghasilkan H2S (Anderson et al., 1988 cit. Muliani, 2002). Akibat akumulasi H2S tersebut maka bakteri patogen oportunistik, jamur, parasit, dan virus mudah berkembang dan memungkinkan timbulnya penyakit pada udang (Tompo et al., 1993 cit. Muliani, 2002). A. Vibriosis postlarva udang windu B. Koloni Vibrio sp. pada esophagus Gambar 2. Udang Windu yang Terserang Vibriosis (Breed et al., 1948) Ciri-ciri udang yang terserang vibriosis antara lain kondisi tubuh lemah, berenang lambat, nafsu makan hilang, badan mempunyai bercak merah-merah (red discoloration) pada pleopod dan abdominal serta pada malam hari terlihat menyala (Sunaryoto et al., 1987). Udang yang terkena vibriosis akan menunjukkan gejala nekrosis. Gambar 2 menunjukkan bagian kaki renang (pleopoda) dan kaki jalan (pereiopoda) menunjukkan melanisasi. Bagian mulut yang kehitaman adalah kolonisasi bakteri pada esophagus dan mulut. 2.3 Patogenesis Bakteri Vibrio pada Udang Windu Tingkat kematian udang windu yang diinfeksi Vibrio harveyii dengan kepadatan 103 cfu/ml berbeda berdasarkan umur. Pada stadia zoea I tingkat kematian udang sebesar 74%, stadia mysis I 73%, dan postlarva 1 (PL1) 69%, postlarva 2 (PL2) 51,5% (Prayitno dan Latchford, 1995 cit. Muliani, 2002). Jiravanichpaisal et al., (1994) cit. Muliani (2002) melaporkan bahwa mortalitas udang windu dewasa yang diinjeksi Vibrio harveyii isolat B-2 dengan kepadatan 8,20 x 105 cfu/ekor sebesar 100%, dan udang yang diinfeksi dengan Vibrio harveyii isolat B-4 dengan kepadatan 1,55 x 106 cfu/ekor sebesar 80%. A. Udang tampak normal B. Udang berpendar pada cahaya gelap Gambar 3. Bioluminescens Udang Windu Vibriosis (Breed et al., 1948) Tingkat patogenesis bakteri ditentukan oleh suatu mekanisme dalam proses pertumbuhan. Menurut Greenberg (1999) cit. Muliani (2002) suatu mekanisme yang umum untuk mengontrol kepadatan populasi bakteri gram negatif adalah dengan menghambat komunikasi antar sel. Kemampuan komunikasi satu sama lain terjadi setelah mencapai quorum sensing yang terjadi karena adanya suatu senyawa acylhomoserine lactone. Sifat virulensi Vibrio harveyii berkaitan erat dengan fenomena bioluminescense yang dikontrol oleh sistem quorum sensing. 2.4 Resistensi Bakteri Vibrio terhadap Antibiotik Penyakit udang yang disebabkan oleh bakteri Vibrio sp. masih menjadi fokus perhatian utama dalam produksi budidaya udang. Penggunaan antibiotik dalam budidaya udang adalah mahal dan merugikaqn karena dapat memunculkan strain bakteri yang tahan terhadap antibiotik serta munculnya residu antibiotik dalam kultivan (Decamp dan Moriarty, 2006 a). Antibiotik merupakan suatu senyawa kimia yang sebagian besar dihasilkan oleh mikroorganisme, karakteristiknya tidak seperti enzim, dan merupakan hasil dari metabolisme sekunder. Penggunaan antibiotik yang berlebih pada tubuh manusia dapat menyebabkan resistensi sel mikroba terhadap antibiotik yang digunakan. Resistensi sel mikroba adalah suatu sifat tidak terganggunya sel mikroba oleh antibiotik (Gan et.al., 1987 dalam Putraatmaja, 1997). Sejumlah isolat Vibrio berpendar yang diisolasi dari hatcheri udang windu di Jawa Timur ternyata resisten terhadap berbagai macam antibiotik seperti spektinomisin, amoksisilin, kloramfenikol, eritromisin, kanamisin, tetrasiklin, ampisilin, streptomisin, dan rifampisin. Sementara di lain pihak antibiotik bersifat persisten di alam dan bahkan menjadi bumerang terhadap ekspor udang Indonesia (Tompo et al., 2006). 2.5 Bakteri Antagonis Salah satu pengendalian bakteri patogen adalah mempertemukan dengan bakteri antagonisnya. Vershere et al. (2000) cit. Isnansetyo (2005) mengemukakan bahwa bakteri antagonis dalam perannya sebagai agen pengendalian hayati melalui mekanisme menghasilkan senyawa penghambat pertumbuhan patogen, kompetisi pemanfaatan senyawa tertentu atau kompetisi tempat menempel, mempertinggi respon imun inang, meningkatkan kualitas air dan adanya interaksi dengan fitoplankton. Bakteri antagonis yang digunakan sebagai agen pengendalian hayati dimasukkan dalam istilah probiotik. Menurut Gatesoupe (1999), probiotik merupakan mikrobia yang diberikan dengan berbagai cara sehingga masuk dalam saluran pencernaan dengan tujuan mempertinggi derajat kesehatan inang. Menurut Gomez-Gil et al. (2000) cit. Tepu, (2006), pengendalian hayati adalah penggunaan musuh alamiah untuk mengurangi kerusakan yang ditimbulkan oleh organisme yang berbahaya atau pengaturan populasi penyakit oleh musuh alamiahnya. Tjahjadi et al. (1994) menyatakan bahwa populasi bakteri Vibrio harveyii di lingkungan pemeliharaan udang dapat ditekan dengan cara mengintroduksikan bakteri tertentu yang diisolasi dari perairan laut di sekitar tambak atau pembenihan udang. Tetraselmis suecica dilaporkan mampu menghambat Aeromonas hydrophila, A. salmonidica, Serratia liquefaciens, Vibrio anguilarum, V. salmonisida, Yerisnia rockery (Austin et al., 1992), Lactobacillus spp. dilaporkan efektif menghambat vibriosis (Jiravanichpaisal dan Chauychuwong, 1997), Pseudomonas fluorescens dapat menghambat Vibrio anguilarum (Gram et al., 1999), Bacillus spp., dan Staphylococcus spp. yang berasal dari tambak mampu menekan bakteri Vibrio (Suprapto, 2005). Bakteri Vibrio sp. NM 10 yang diisolasi dari Leiognathus nuchalis bersifat antagonis terhadap Pasteurella piscicida karena menghasilkan protein dengan berat molekul kuang dari 5 kDA. Protein tersebut diduga bacteriocin atau senyawa serupa bacteriocin (bacteriocin like substance) (Sugita et al., 1997 cit. Isnansetyo, 2005). Bacteriocin adalah senyawa yang banyak dihasilkan oleh bakteri asam laktat (Ringo and Gatesoupe, 1998). Kamei dan Isnansetyo (2003) menemukan Pseudomonas sp. AMSN mampu menghambat pertumbuhan Vibrio alginolyticus karena menghasilkan senyawa 2,4 diacetylploroglucinol. Bacillus sp. NM 12 yang diisolasi dari intestine ikan Callionymus sp. mampu menghambat Vibrio vulnificus RIMD 2219009 dengan cara menghasilkan siderofor (Sugita et al., 1998). Siderofor merupakan protein spesifik pengikat ion Fe dengan berat molekul rendah yang mampu melarutkan Fe yang mengendap. Mekanisme tersebut merupakan mikroorganisme. kompetisi pemanfaatan senyawa tertentu oleh 2.5 Udang Windu Udang windu (Penaeus monodon) merupakan udang komoditas asli daerah tropis yang telah berkembang menjadi industri sejak awal dekade 1980-an. Nama windu dalam bahasa perdagangan adalah giant tiger prawn, black tiger prawn atau black tiger shrimp (Hadiwiyoto, 1993). Genus ini mudah sekali dibedakan dengan genus-genus dengan melihat rostrumnya yang rumus 7/3, artinya pada sisi atas tanduk terdapat 7 gigi sedang pada sisi bawah mempunyai gigi 3. Badannya bergaris tengah rata-rata 1,5-5 cm. Menurut Tricahyo (1992), udang windu termasuk keluarga Arthropoda, klas Crustacea, ordo Decapoda dan spesies Penaeus monodon Fabr. Gambar 4. Morfologi udang windu (Penaeus monodon) (Rachmatun dan Mujiman, 1989) Keterangan gambar: 1. Cangkang kepala; 2. Cucuk kepala; 3. Mata; 4. Sungut kecil (antennules); 5. Kepet kepala (sisik sungut); 6. Sungut; 7. Alat-alat pembantu rahang (maxilliped); 8. Kaki jalan (pereiopoda, 5 pasang); 9. Kaki renang (pleopoda , 5 pasang); 10. Ekor kipas (uropoda); 11. Ujung ekor (telson). Daur hidup udang Penaeus menurut Wyban dan Sweeney (1991) adalah udang betina bertelur – telur – naupli – protozoea – mysis – poslarva – juvenil – udang dewasa (gambar 5). Gambar 5. Daur hidup udang Penaeus (Wyban dan Sweeney, 1991) Stadia yang pertama adalah stadia nauplius yang terjadi setelah telur menetas. Larva masih memiliki cadangan makanan dalam tubuh berupa kuning telur (Sirajudin, 1997). Stadia zoea terdiri dari 3 substadia yang berlangsung selama 6 hari dan mengalami alih bentuk 3 kali. Stadia mysis dicirikan oleh bentuk larva yang mulai menyerupai udang dewasa. Pleopod dan telson mulai berkembang dan larva bergerak mundur (Tjahjadi, 1994). Selanjutnya stadia mysis mengalami alih bentuk menjadi postlarva. Selama 5 hari pertama stadia postlarva, udang masih bersifat planktonis, dan pada stadia postlarva-6 udang mulai merayap di dasar (Toro dan Soegiarto, 1979 cit. Tjahjadi, 1994). IV. PEMBAHASAN 4.1 Manfaat Penggunaan Bakteri Antagonis 1. Ramah Lingkungan Pengendalian dan pengobatan penyakit akibat infeksi bakteri sebagian besar bertumpu pada penggunaan antibiotik dan bahan-bahan kimia lainnya. Usaha-usaha tersebut pada kenyataannya belum memberikan hasil yang memuaskan, kadang-kadang justru menimbulkan dampak negatif antara lain meningkatkan resistensi bakteri-bakteri patogen terhadap konsentrasi antibiotik (Tjahjadi et al., 1994), karena bakteri sangat mudah mengembangkan sistem ketahanan terhadap antibiotik yang kemudian menjadi masalah utama di dunia akuakultur. Residu antibiotik dalam jaringan tubuh udang juga mengakibatkan penolakan udang di pasar dunia. Bergesernya paradigma konsumen udang menuju keamanan pangan dan kelestarian lingkungan mengharuskan pembudidaya udang untuk merevisi visi dan misinya agar budidaya tetap berlanjut. Salah satu alternatif sebagai upaya untuk menjamin kelangsungan produksi, mencegah dan menanggulangi penyakit vibriosis pada budidaya udang windu adalah melalui pendekatan pengendalian hayati. Pendekatan pengendalian hayati dilakukan melalui penggunaan probiotik dengan menggunakan aktivitas mikroorganisme yang dapat menekan atau mendegradasi substrat pengganggu bagi organisme yang dibudidayakan tanpa menimbulkan dampak buruk terhadap sistem keseimbangan ekologis mikrobia, ramah lingkungan, serta tidak meninggalkan residu (food security dan food safety). Pengendalian hayati dalam akuakultur dengan menggunakan probiotik antagonis salah satu cara penanggulangan penyakit yang perlu dikembangkan untuk menciptakan sistem akuakultur yang ramah lingkungan. Pengendalian hayati ini dapat diterapkan pada berbagai tahapan akuakultur dan pada berbagai komoditas perikanan serta terhadap berbagai patogen. 2. Mengurangi Penggunaan Antibiotik Pengendalian dan pengobatan penyakit akibat infeksi Vibrio harveyi sebagian besar bertumpu pada penggunaan antibiotik dan bahan-bahan kimia lainnya. Usaha-usaha tersebut pada kenyataannya belum memberikan hasil yang memuaskan, kadang-kadang justru menimbulkan dampak negatif antara lain meningkatkan resistensi bakteri-bakteri patogen terhadap konsentrasi antibiotik. Antibiotik pada budidaya udang digunakan untuk pengobatan serta profilaksis (pencegahan). Profilaksis dilakukan dengan pengunaan antibiotik pada dosis rendah dalam jangka panjang. Pada kenyataannya, usaha semacam ini tidak menekan penyakit, tetapi bahkan menjadi pemicu resistensi patogen terhadap antibiotik. Udang sebagai komoditas mewah perlu mendapatkan perhatian khusus dalam hal ini, karena devisa yang didapat dari udang cukup besar yaitu diperkirakan sekitar 630 juta dolar dan tertinggi dibanding pendapatan dari spesies budidaya yang lain (Dahuri, 2004). Alasan kedua adalah pasar ekspor udang sudah jelas. Akhir-akhir ini ekspor udang terhambat oleh ecolabelling, petisi anti dumping dan isu antibiotik. Sehingga harga udang jatuh pada akhir tahun 2003 (Suryadarma, 2004). Peristiwa ini cukup beralasan karena timbulnya kesadaran dari masyarakat terhadap kesehatan dan lingkungan. Selanjutnya muncul kampanye di negara maju untuk tidak makan udang tropis dengan alasan lingkungan. Menurut Isnansetyo (2005), pemanfaatan bakteri antagonis sebagai agen pengendalian hayati akan semakin penting karena dengan penggunaan bakteri antagonis dapat mengurangi dan bahkan menghilangkan penggunaan antibiotik sehingga tercipta sistem budidaya yang ramah lingkungan. 3. Aplikasi keamanan hayati dalam Industri Budidaya Udang Aplikasi keamanan hayati dimaksudkan sebagai upaya pengaturan agar tambak tidak terinfeksi/terkontaminasi penyakit serta mengupayakan agar tambak tidak menjadi sumber penularan penyakit bagi tambak lainnya (Haris, 2007). Lebih lanjut Fegan dan Clifford (2001) menambahkan bahwa aplikasi prinsip-prinsip keamanan hayati pada tambak udang telah terbukti efektif membantu mengurangi risiko kerugian karena penyakit dan dapat meningkatkan produksi. Haris (2007) menambahkan bahwa salah satu penerapan keamanan hayati pada praktik manajemen produksi budidaya adalah dengan aplikasi teknologi probiotik yang ramah lingkungan. Metode ini diyakini menjadi solusi terkini yang paling efektif mencegah risiko kerugian akibat penyakit. Konsep aplikasi keamanan hayati dalam budidaya udang diutamakan adalah pengendalian benih udang (karantina vertikal) dan lingkungan (karantina horizontal) bebas dari patogen. Sistem ini dipraktikkan dengan penebaran benih udang bebas patogen, SPF (specific pathogen free) kedalam tambak yang sumber airnya dikontrol dengan baik (Lightner, 2003). Aplikasi bakteri antagonis dapat digunakan sebagai alternatif profilaksis yang tepat terhadap penggunaan bahan kimia, termasuk antibiotik dna biosida. Bakteri antagonis dapat berkompetisi dengan bakteri patogen dalam perebutan nutrisi makanan sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen. 4.2. Pengembangan Bakteri Antagonis Menurut Peraturan Menteri Pertanian No. 411 tahun 1995, pengendalian hayati adalah setiap organisme yang meliputi spesies, subspesies, varietas, semua jenis serangga, nematoda, protozoa, cendawan (fungi), bakteri, virus, mikoplasma, serta organisme lainnya dalam semua tahap perkembangannya yang dapat dipergunakan untuk keperluan pengendalian hama dan penyakit atau organisme pengganggu, proses produksi, pengolahan hasil pertanian, dan berbagai keperluan lainnya. Tahapan pengembangan bakteri antagonis sebagai agen pengendalian hayati dapat dilakukan melalui: 1. Seleksi Bakteri Antagonis Seleksi dilakukan dengan mengisolasi calon agen pengendali hayati dari populasi alaminya, seperti kelompok mikroba saprofit atau nonpatogen, atau mutan yang tidak patogen. Pada tahap seleksi awal ini, informasi tentang keefektifan dan identitas calon agen pengendali hayati perlu dikuasai dengan baik agar pengembangannya di masa datang tidak menjadi masalah. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol telah melakukan penelitian tentang pengendalian Vibrio Harveyii secara biologis pada larva udang windu dan diperoleh dua isolat bakteri penghambat yaitu GSB-95030 dan GSB-95033 (Roza et al., 1998). Berdasarkan uji biokimia dan karakteristik biologis (lampiran 1), isolat GSB-95030 diidentifikasi sebagai Vibrio alginolyticus sedangkan isolat GSB-95033 diidentifikasi sebagai Flavobacterium meningosepticum. Suatu strain dalam satu spesies dapat dijadikan sebagai agen pengendalian hayati tetapi strain yang lain dalam spesies tersebut mungkin tidak mempunyai kemampuan sebagai pengendali hayati terhadap patogen yang sama. Selain itu suatu strain dari suatu spesies mungkin dapat bersifat patogen tetapi strain lain dari spesies tersebut dapat digunakan sebagai pengendali hayati. Sebagai contohnya Vibrio alginolyticus. Strain dari bakteri Vibrio tersebut dapat digunakan sebagai agen pengendali hayati dalam budidaya salmon (S. salam), udang windu (Penaeus monodon) dan udang vannamei (Litopneaeus vannamei), walaupun strain lain dari Vibrio alginolyticus juga diketahui sebagai patogen. 2. Uji Efektivitas Bakteri Antagonis Tahap kedua adalah menguji keefektifan agen pengendali hayati dalam kondisi terbatas dan homogen, misalnya dalam cawan petri in vitro, terhadap patogen target. Apabila suatu agen pengendali hayati menunjukkan penekanan terhadap patogen target, yang ditunjukkan dengan terbentuknya zona hambatan maka dilakukan tahap pengujian terbatas dalam kondisi terkontrol. Penelitian tentang uji sensitivitas bakteri antagonis telah dilakukan oleh Roza et al., (1999) terhadap isolat GSB-95030 dan GSB-95033. Metode yang digunakan berupa sensitivity disc agar (SDA) (Gambar 7). Isolat GSB-95030 dan GSB-95033 6 botol (15 ml) pepton broth 1 % NaCl 3 botol GSB-95030 3 botol GSB-95033 Inkubasi 24, 72 dan 144 jam Sentrifus 15 menit 3000 rpm Ambil supernatan 5 ml Kultur Vibrio harveyi kedalam petri 20 mL yang berisi media Sensitivity Disk Agar (SDA) secara merata Rendam kertas sensitivity disk selama 1 menit dalam supernatan yang telah diencerkan Letakkan kertas sensitivity disk pada tengah pelat agar (kontrol kertas sensitivity disk tanpa direndam) Inkubasi 24 jam 25 °C Amati zona hambatnya Gambar 7. Diagram alir pengujian sensitivitas bakteri penghambat terhadap pertumbuhan Vibrio harveyii Berdasarkan hasil penelitian Roza et al. (1999) diketahui bahwa kedua isolat bakteri penghambat GSB-95030 dan GSB-95033 tersebut mempunyai aktivitas dalam menekan perkembangan Vibrio Harveyii. Hal ini terlihat dengan adanya zona hambat di sekeliling kertas sensitivity disk yang bebas dari Vibrio Harveyii (Tabel 1), sedangkan dalam aplikasi pemanfaatan bakteri penghambat GSB-95030 dan GSB-95033 dalam pemeliharaan larva udang dapat menekan perkembangan Vibrio harveyii dengan skala pemeliharaan yang lebih besar. Hasil aplikasi pemanfaatan bakteri penghambat dalam pemeliharaan larva udang dapat dilihat pada (Tabel 2). Isolat-isolat bakteri penghambat GSB95030 dan GSB-95033 tersebut mampu menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio harveyii dalam air pemeliharaan larva udang windu sampai kepadatan yang jauh lebih rendah yakni 5,3 x 10 2 cfu/ml dengan sintasan 67,8% dan 9,9 x 102 cfu/ml dengan sintasan 63,5%, dibandingkan dengan kontrol 8,7 x 104 cfu/ml dengan sintasan lebih rendah 18,1%. Tabel 1. Sensitivitas V. Harveyii terhadap isolat GSB-95030 dan GSB-95033 dengan 24, 72, dan 144 jam masa inkubasi Zona (cm) yang bebas Vibrio harveyii Isolat 24 jam 72 jam 144 jam GSB-95030 0.60 0.71 0.80 GSB-95033 0.90 0.98 1.02 Kontrol 0.00 0.00 0.00 Sumber: Roza et al., 1999 Apabila pada tahap ini kemampuan agen pengendali hayati masih konsisten dalam menekan perkembangan patogen target maka perlu dilanjutkan dengan tahap uji lapang dalam skala terbatas. Pada pengujian lapang, biasanya agen pengendali hayati harus diformulasikan secara lebih baik. Dalam proses pembuatan formula, semua bahan yang digunakan harus dipastikan tidak akan menimbulkan kerusakan pada target, mikroba bukan sasaran, dan lingkungan. Bila pada tahap lanjutan ini pun calon agen pengendali hayati masih menunjukkan potensi penekanan yang stabil maka pengujian dalam skala lebih luas dapat dilaksanakan. Tabel 2. Hasil aplikasi pemanfaatan bakteri antagonis Isolat GSB-95030 GSB-95033 Kontrol Percobaan 1 Vibrio Harveyii Sintasa n larva Awal Akhir 6,7 2,9a 63,5a 6,7 2,7a 67,8a 6,7 5,0b 18,1b Percobaan 2 Vibrio Harveyii Sintasan larva Awal Akhir 6,6 3,1a 59,2a 6,6 3,0a 68,3a 6,6 4,9b 21,6b Nilai dalam kolom diikuti dengan huruf superskrip yang sama tidak berbeda nyata (P>0,05) Sumber (Roza et al., 1999) 3. Komersialisasi Tahap terakhir adalah komersialisasi agen pengendali hayati. Pada tahap ini diperlukan peran industri untuk memperbanyak agen pengendali hayati secara massal dan memformulasikannya dalam bentuk yang lebih stabil dan terstandar. Pada tahap akhir inilah data tentang analisis risiko dari suatu agen pengendali hayati harus dilengkapi untuk memperoleh izin penggunaannya. Beberapa agens hayati berpeluang dapat menyebabkan kerusakan pada lingkungan atau mempunyai hubungan yang erat dengan patogen yang menyebabkan penyakit pada manusia, hewan, dan tanaman. Kajian khusus untuk mengelaborasi peluang tersebut perlu dilakukan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan akibat penggunaan suatu agens hayati. Berdasarkan pedoman yang disusun oleh FAO (1988 dan 1997) tentang agen hayati untuk tujuan komersial, setiap pengajuan harus dilengkapi dengan informasi mengenai kejelasan identitas dari bahan aktif, karakteristik biologi, data toksisitas, dan data residu serta toksisitas bagi lingkungan. 4.3 Aplikasi Bakteri Antagonis Aplikasi pengendalian hayati ini dapat dicobakan mulai dari penyediaan pakan alami yaitu fitoplankon (S. Costatum) dan zooplankon (Brachionus dan Artemia) pada pemeliharaan larva, post larva, maupun benih. Inveksi patogen khususnya pada stadium larva dan post larva sangat tinggi karena sejak kecil udang terpapar dalam air yang banyak mengandung mikroorganisme. Aplikasi bakteri antagonis dapat diterapkan dalam pembuatan pakan obat yaitu dengan menambahkan probiotik dari bakteri antagonis. Pakan tersebut diharapkan dapat membantu menciptakan mekanisme pertahanan tubuh udang, sehingga udang tidak mudah terserang vibriosis. Suprapto (2005) menggunakan formulasi pakan obat dengan metode pembuatan sebagai berikut: Probiotik antagonis Bacillus sp. dengan kepadatan 12,5x103 sel/ml dicampurkan ke dalam pakan. Pencampuran bakteri pada pakan dilakukan dengan cara menumbuhkan bakteri selama 48 jam pada TSA pada suhu 250C dengan 1% NaCl (w/v). Sel bakteri kemudian di panen dengan sentrifugasi 10.000xg selama 15 menit. Sel dimasukkan kedalam 100 ml physiological saline (0,85% NaCl) sebanyak 2,5x105 sel/ml dan dicampur dengan jumlah yang sama dengan minyak ikan. Emulsi dicampurkan kedalam 1 kg pakan dengan cara mengaduk selama 30 menit untuk mendapatkan dosis eqivalen 25x103 sel/g pada pakan dengan jumlah kandungan minyak ikan sebanyak 10% (w/v). Penciptaan lingkungan pemeliharaan larva udang windu yang betulbetul bebas bakteri Vibrio sulit dilakukan karena bakteri tersebut dapat masuk melalui berbagai sumber, antara lain air laut, induk udang, dan makanan alami. Bakteri Vibrio harveyii tidak perlu dikendalikan sampai habis, tetapi hanya perlu dikendalikan populasinya pada batas aman, yaitu kurang dari l04 sel/ml. Inokulasi secara langsung dilakukan melalui pemberian bakteri antagonis kedalam bak pemeliharaan dengan dosis 106 cfu/ml setelah dilakukan pergantian air (Susanto et al., 2005). Aplikasi bakteri antagonis dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu jangka pendek (short duration), panjang (prolonged treatment), dan tidak terbatas (indefinite treatment). 4.4 Nilai Ekonomis Udang Hasil Budidaya Prospek pengembangan udang windu sebagai komoditas asli Indonesia mempunyai peluang bisnis yang cerah. Hal ini terbukti dengan semakin meningkatnya luas lahan budidaya tambak udang Indonesia sampai tahun 2002 mencapai 913.000 ha dengan pemanfaatannya baru mencapai 411.230 ha (45,43%). Pemerintah mentargetkan produksi udang windu budidaya tahun 20072009, masing-masing sebesar 126.228 ton; 146.615 ton; dan 162.355 ton (DKP, 2006 cit. Kordi 2007) dengan target perolehan devisa sebesar US $ 8 milyar/th. Menurut Dahuri (2004), potensi lestari perikanan tangkap dilaut bernilai rata-rata 6,4 jt ton/th, sedangkan jumlah tangkap yang diperbolehkan hanya sebesar 80%-nya saja (sekitar 5,12 jt ton/th). Untuk dapat memenuhi kebutuhan pasaran dunia, Indonesia akan mengintensifkan lahan air payau untuk budidaya udang. Saat ini ditaksir luas lahan budidaya udang Indonesia mencapai 1.000.000 ha sehingga langkah awal yang ditempuh, apabila 500.000 ha dapat diusahakan sebagai tambak udang windu organik dengan rata-rata produksi sebesar 2 ton/ha/th, maka produksi udang nasional sebesar 1.000.000 ton/th dengan nilai ekspor 1.000.000 ton/th × US $ 8 /kg = US $ 8 milyar/th dapat dicapai. V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1. Pengendalian hayati pada budidaya udang windu merupakan salah satu cara penanggulangan penyakit yang perlu dikembangkan untuk menciptakan sistem akuakulur yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, serta dapat mengurangi penggunaan antibiotik 2. Pengembangan bakteri antagonis sebagai langkah keamanan hayati dilakukan melalui tahap seleksi bakteri antagonis nonpatogen, pengujian efektivitas dan uji lapang, serta komersialisasi agen pengendali hayati. 3. Pemanfaatan bakteri antagonis sebagai agen pengendalian hayati akan semakin penting, yaitu guna mempersiapkan sistem akuakultur organik sehingga aplikasi bakteri antagonis pada budidaya udang windu dapat dijadikan sebagai dasar budidaya udang organik Indonesia. 5.2 Saran 1. Beberapa jenis bakteri antagonis telah diketahui, namun bakteri antagonis tersebut bersifat spesifik di setiap daerah. Oleh karena itu, perlu dilakukan inventarisasi potensi agar bakteri antagonis dapat dimanfaatkan optimal. 2. Perlunya kerjasama terpadu antara berbagai pihak, pemerintah, perguruan tinggi, dan pengusaha untuk memajukan budidaya udang windu Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Atmosumarsono, M. M.I. Madeali, Muliani, dan A. Tompo. 1993. Studi Kasus Penyakit Udang di Kabupaten Pinrang. di dalam: Hanafi, A., M. Atmosumarsono., S. Ismawati. Seminar Hasil Penelitian Perikanan Budidaya Pantai; Maros, 16-19 Juli. Maros. Anonim. 2000. Bioluminessence. http://lux.ibp.ru/info/history_html_652ca394.jpg. [4 Januari 2008]. Anonimous, 2004c. Draf Pedoman Umum Pengendalian Pencemaran di Kawasan Budidaya Perikanan. Subdit Pengendalian Pencemaran Laut, Direktorat Bina Pesisir Ditjen P3K Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Austin, B., E. Baudet., M. Stobie. 1992. Inhibition of Bacteria Fish Patogens by Tetraselmis suecica. J. Fish of Disease: 15: 53-61. Breed, R.S., E.G.D. Murray and A.P. Hitchens. 1948. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. 6 th ed. Baltimore: Wevereley Press. Dahuri, R. 2004. Perkembangan dan Harapan Pembangunan Perikanan Budidaya Indonesia ke Depan. dalam Simposium Perkembangan dan Inovasi Ilmu dan Teknologi Akuakultur. Agung Sudaryono et al (ed.). Semarang: Masyarakat Akuakultur Indonesia. Decamp, O. Adn D.J.W. Moriarty. 2006 a. Probiotics as Alternative to Antimicrobials: Limitations and Potential. World Aquaculture: Dec, 2006. Vol 37 (4): 60-62. Egidius, E. 1987. Vibriosis. Pathogenicity and Pathology. A Review. Aquaculture: 87: 15-28. FAO. 1988 Guidelines for the Registration of Biological Pest Control Agents. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome. 7 pp. FAO. 1997. Code of Conduct For The Import And Release of Exotic Biological Control Agents. Biocontrol News and Information 18(4): 119N-124N. Fegan, D.F. and H.C. Clifford III. 2001. Health Management for Viral Diseases in Shrimp Farms. In C.L. Browdy and D.E. Jory, editors. The New Wave, Proceedings of the Special Seassion on Sustainable Shrimp Culture. Aquaculture 2001. The World Aquaculture Society, Baton Rouge, Lousiana, USA. Gatesoupe, F.J. 1999. The Use of Probiotics in Aquaculture. Aquaculture. 180:147-185. Gram, L., J. Melchiorsen, B. Spanggard, I. Huber, T.F. Nielsen. 1999. Inhibition of Vibrio anguilarum AH 2 a Possible Probiotic Treatment of Fish. Appl. Environ. Microbiol.: 123: 31-32. Gultom, D.M. 2003. Patogenisitas Bakteri Vibrio Harveyii Pada Larva Udang Windu (Penaeus monodon Fabr.). Bogor: Institut Pertanian Bogor. Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Yogyakarta: Liberty. Haris, E. 2007. Terobosan Baru dalam Produksi Udang yang Berkelanjutan dan Aman. Makalah Presentasi Konferensi Aquaculture Indonesia. Surabaya, 5-7 Juni 2007. Masy. Akuakultur Indonesia. 7 hal. Herawati, E. 1996. Karakterisasi Fisiologi dan Genetik Vibrio Berpendar sebagai Penyebab Penyakit Udang Windu. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Holt, J.G., N.R. Krieg, P.H.A. Sneath, J.T. Stanley, and S.T. Williams. 1994. Bergey's Manual of Determinative Bacteriology. Ninth Edition_ Williams and Wilkins, Balmore, Maryland, USA. 373. Irianto, A. 2003. Probiotik University Press. Akuakultur. Yogyakarta: Gadjahmada Isnansetyo, A. 2005. Bakteri Antagonis sebagai Probiotik untuk Pengendalian Hayati pada Akuakultur. Jurnal Perikanan: Vol. VII (1): 1-10. Jiranvanichpaisal, P., P. Chauchowang. 1997. The Use of Lactobacillus sp. as the Prebiotic Bacteria In The Giant Tiger Shrimp. Phuket, Thailand. Kamei, Y. and A. Isnansetyo. 2003. Lysis of Methicilin-Resistant Staphylococcus aureus by 2,4-diacetylphloroglucinol Produced By Pseudomonas sp. AMSN Isolated From Marine Alga Int. J. Antimicrob Agents: 21: 71-74. Kordi, M.G.H. 1997. Budidaya Air Payau. Semarang: Dahara Prize. Lightner, D.V. 2003. Exclusion of Specific Pathogens for Disease Control in a Penaid Shrimp Biosecurity Program. In C.S. Lee and P.J. O’Bryen, editors. Biosecurity in Aquaculture Production Systems; Exclusion of Pathogens and Other Undesirables. The World Aquaculture Society, Baton Rouge, Lousiana, USA. Machalek, A.Z. Bugging the Bugs. http://publications.nigms.nih.gov/biobeat/05-09-20/05-09-20-01.jpg. [18 April 2008]. Muliani. 2002. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Asal Laut Sulawesi untuk Biokontrol Penyakit Vibriosis pada Udang Windu. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Prayitno, S.B. 1994. Studies of Bacteria Causing Prawn Disease in Indonesia with Special Emphasis on Luminous Bacterial Disease. Bangor: School of Ocean Science. University of North Wales. Putraatmaja, E. 1997. Analisis Residu Antibiotik Pada Udang Akibat Perlakuan Sebelum Proses Pengolahan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Rahmatun, S. dan Ahmad Mujiman. 1989. Budidaya Udang Windu. Jakarta: Penebar Swadaya. Roza, D. dan Zafran. 1998. Pengendalian Vibrio harveyi Secara Biologis pada Larva Udang Windu (Penaeus monodon): Aplikasi Bakteri Penghambat. J. Penelitian Perikanan Indonesia: 4 (2) : 24-30. Roza, D. dan F. Johnny. 1999. Pengendalian Vibrio harveyi pads Larva Kepiting Bakau (Scyila serrata Forsskal) Melalui Disinfeksi Induk Selama Fengeraman Telur. J. Penelitian Perikanan Indonesia: 5 (2) : 28-34. Suprapto, H. 2005. Studi Pendahuluan Bacillus sp. sebagai Probiotik untuk Mengurangi Jumlah Bakteri Vibrio sp. pada Hepatopangkreas dan Air Pemeliharaan. Jurnal Perikanan: Vol. VII (1): 54-59. Sugita. H. K. Shibuga. 1996. Antibacterial Capabilies of Instinal Bacteria I Fresh Water Cultured Fish. Aquaculture: 145: 195-203. Suryadarma, J. 2004. Manis Getirnya Eksportir Produk Akuatik Indonesia. di dalam: Agung Sudaryono et al (ed.). Simposium Perkembangan dan Inovasi Ilmu dan Teknologi Akuakultur; Semarang. Semarang: Masyarakat Akuakultur Indonesia. 249-251. Susanto, B., L Setyadi, D. Syahidah, M. Marzuki dan Rusdi. 2005. Penggunaan Bakteri Probiotik Sebagai Kontrol Biologi dalam Produksi Massal Benih Rajungan (Portunus pelugicus). J. Perikanan Indonesia: 11 (1): 15-23. Tangko, A.M., A. Mansyur, dan Reski. 2007. Penggunaan Probiotik pada Pakan Pembesaran Bandeng dalam Keramba Jaring Apung di Laut. J. Riset Akuakultur: 2: 33-40. Tepu, I. 2006. Seleksi Bakteri Probiotik untuk Biokontrol Vibriosis pada Larva Udang Windu Penaeus monodon Menggunakan Cara Kultur Bersama. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Tjahjadi, M.R. 1994. Bakteri Penghambat Vibrio harveyii untuk Menanggulangi Penyakit Berpendar pada Larva Udang Windu (Penaeus monodon Fabr.). Bogor: Institut Pertanian Bogor. Tompo, A., E. Susianingsih., M.E. Madeali, dan M. Atmomarsono. 2006. di dalam Murwantoko et. al. Pengaruh Vaksinasi untuk Pencegahan Penyakit pada Budidaya Udang Windu (Penaeus monodon Fabr.) di Tambak. 27 Juli. Yogyakarta: Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UGM. 244-249. Tricahyo, E. 1992. Biologi dan Kultur Udang Windu. Jakarta: Akapress. Wyban, J.A., dan Sweeney, J.N., 1991. Intensive Shrimp Production Technology. Hawai: The Oceanic Institute. Lampiran 1. Karakteristik dua isolat bakteri antagonis dibandingkan dengan Flavobacterium meningosepticum menurut Cowan (1974) dan Acuigrup (1980) serta Vibrio alginolyticus menurut Bauman et al., (1984) dan Holt et al., (1994) Karakteristik Pewarnaan Gram Gerakan pada MA Isolat GSB95030 V. algino Bauman et al. (1984) V. algino Holt et al. (1984) Isolat GSB95033 F. mening. Cowan (1874) F. mening. Acuigrup (1980) - - - - - - + + + F + + + + + + + F + + + + + + F + + + O - + Nt - Nt + O + - + + + - Nt + Nt - + + Nt - + - Nt Nt - + + Y + + Y Katalase Oksidase Uji O-F Motility H2S Indol Gas dari glukosa L arginin + + L ornitin Lysin Gelatin + Asam dari Arabinose + Glucose + + + + Lactose Sucrose + + + Xylose Nt Bercahaya Tumbuh pada SS agar Nt Nt Nt MC agar Nt Nt Nt + TCBS agar Y Y Y 0 Tumbuh( C) 30 + + + + 35 + + + + 42 + + + Pigmentasi Y + = positif - = negatif Nt = tidak diuji O = oksidatif F = fermentative Y = kuning Sumber: Roza et al., 1999 Lampiran 2. Komposisi bahan dalam setiap gram Haimix-S/g Komposisi Lactobacillus Powder Dextrose Ascorbic Acid Biodiastase Nicotinamide Lycine HCl Dibasic Dextrine Mononitrate Pan totenate Lactose Vitamin B Vitamin E Folic Acid Vitamin A Vitamin D Kandungan 4x105 cell 80 mg 3 0 mg 1 5 mg 1 0 mg 10 mg 10 mg 10 mg 2 mg 2 mg 1 mg 1 mg 1 mg 0.5 mg 2,500 lu 200 Iu Sumber : Yastar International Co. Ltd Singen cit. Tangko et al., 2007