BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepercayaan

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kepercayaan merupakan satu dari beberapa unsur yang membentuk
budaya pada konteks tempat tertentu. Otts (1989 dalam Alam et al, 2011)
mendefinisikan budaya sebagai setiap teknologi, kepercayaan, dan pengetahuan
yang diberikan dan ditransfer kepada generasi selanjutnya. Karena pengaruh
budaya sangat besar terhadap motif dan pemilihan produk ketika berbelanja
(Chang, 2005), maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa budaya dan subbudaya merupakan faktor-faktor yang sangat penting pada penelitian mengenai
perilaku konsumen (Alam et al, 2011).
Kepercayaan terhadap agama tertentu menjadi faktor yang penting dalam
pembentukan sikap dan perilaku konsumen. Agama dapat mempengaruhi
kehidupan seseorang, pilhan yang mereka buat, dan apa yang mereka konsumsi
(Fam et al, 2004). Sebagai contoh, didalam Islam tidak diperbolehkan seorang
Muslim mengkonsumsi daging babi, minuman beralkohol dan mengambil sesuatu
dari hal yang bersifat Riba’, sedangkan dalam agama Protestan dan agama lainnya
hal tersebut tidak dilarang. Didalam agama Hindu, mengkonsumsi daging sapi
sangat dilarang, sedangkan dalam agama Islam tidak dilarang.
Jika menelusur pada penelitian-penelitian sebelumnya, hubungan antara
agama, perilaku individu dan sosial juga sudah terbukti saling terkait (lihat
Greeley, 1977; Hirschman, 1983; LaBarbera, 1987; Michell dan Al-Mossawi,
1999; McDaniel dan Burnett, 1990; Waller dan Fam, 2000; Birch et al, 2001,
dalam Fam et al, 2004). Faktor-faktor tersebut telah banyak dipertimbangkan pada
penelitian-penelitian empiris pada topik media dan iklan. Variabel yang banyak
digunakan diantaranya religiusitas (seperti Alam et al, 2011 dan Mukhtar dan
Butt, 2012) dan persepsi terhadap label Halal (seperti Lada et al, 2009; Alam dan
Sayuti, 2011; dan Salehudin dan Luthfi, 2011). Bahkan meskipun sensitif,
penelitian silang agama juga menjadi aspek yang banyak disorot akhir-akhir ini
(seperti Mathew et al, 2012; Rezai et al, 2012; Raihana dan Kauthar, 2014).
Beberapa variabel yang diteliti dan diuji dalam penelitian ini di adopsi dari
penelitian-penelitian terdahulu, yaitu: (1) religiusitas intrinsik; (2) kredibilitas
yang dipersepsikan; (3) sikap terhadap iklan TV Islami; serta dua variabel utama
yaitu (4) norma subjektif dan (5) dogmatisme. Dua variabel utama tersebut masih
belum banyak didiskusikan dalam penelitian dengan topik iklan TV Islami. Iklan
TV Islami yang dimaksud dalam penelitian ini adalah iklan TV dengan endorser
yang menggunakan atribut Islami.
Religiusitas adalah tingkatan komitmen seorang individu terhadap
agamanya (Mokhlis, 2009), sehingga dapat mempengaruhi persepsi serta perilaku
konsumen atau individu (Mutsikiwa dan Basera, 2012). Allport dan Ross (1967)
membedakan religiusitas seseorang berdasarkan faktor ekstrinsik dan intrinsiknya.
Faktor ekstrinsik yaitu terkait dengan keikutsertaan individu dalam kegiatan
keagaamaan atau berhubungan dengan sosial dan faktor intrinsik berkaitan dengan
keimanan atau keyakinan terhadap ajaran agamanya. Penelitian ini meneliti
religiusitas dilihat dari motivasi intrinsiknya. Seorang Nasrani dengan religiusitas
yang tinggi dan memiliki pandangan yang berbeda dengan nilai-nilai Islam, dapat
mempersepsikan iklan dengan atribut atau simbol Islami secara negatif.
Satu dari beberapa persepsi terhadap iklan yang muncul adalah kredibilitas
yang dipersepsikan yaitu persepsi konsumen untuk mempercayai atau tidak
mempercayai klaim yang disampaikan tentang merek (atau produk) didalam iklan
(McKenzie dan Lutz, 1989). Kredibilitas iklan adalah persepsi konsumen terhadap
kebenaran dan keyakinan terhadap Iklan. Kredibilitas yang difokuskan dalam
penelitian ini adalah kredibilitas dari sumber atau endorser nya pada media TV.
Seperti suudah diketahui oleh masyarakat bahwa nilai-nilai yang dipercaya
konsumen Nasrani berbeda dengan nilai-nilai Islam (misal penggunaan hijab bagi
wanita), maka mereka yang memiliki religiusitas Nasrani yang tingi dapat
mempersepsikan iklan TV Islami sebagai tidak kredibel. Namun demikian
persepsi tersebut dapat melemah dan dapat pula menguat bergantung pada faktor
internal dan eksternal yang mempengaruhi. Faktor intenal yaitu faktor yang
berasal dari dalam individu itu sendiri, dalam hal ini yang dimaksud adalah
dogmatisme. Faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari lingkungan
masyarakat, dalam hal ini yang dimaksud adalah norma subjektif.
Di negara dengan mayoritas penduduk Islam, atribut-atribut dan simbolsimbol yang melambangkan Islam sudah menjadi hal yang normal, seperti jilbab,
simbol masjid, dan lain sebagainya. Sedangkan atribut-atribut dan simbol-simbol
Islam tersebut dapat menjadi tidak normal di negara dengan mayoritas penduduk
non-Islam. Ketika atribut dan simbol suatu agama sudah menjadi hal yang biasa di
suatu daerah, maka kemudian hal tersebut menjadi suatu norma yang diterima
sosial. Norma sosial adalah segala sesuatu yang dianggap sebagai hal yang normal
oleh orang-orang pada suatu daerah tertentu (Paluck et al, 2010). Persepsi tekanan
sosial terhadap seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku,
dinamakan dengan norma subjektif. Tekanan dari sosial itulah yang kemudian
dapat mempengaruhi persepsi serta perilaku konsumen beragama Nasrani dalam
menilai iklan TV Islami.
Namun demikian, pengaruh tekanan sosial diatas tidak memiliki dampak
yang signifikan jika konsumen Nasrani sangat konservatif dan dogmatik. Menurut
Fiechtner and Krayer (1986), dogmatisme adalah sistem pertentangan terhadap
perubahan keyakinan yang diorganisir dalam sistem tertutup. Reisenwitz dan
Cutler (1998) menambahkan bahwa dogmatisme merefleksikan tingkat ketegasan
yang ditampakkan seseorang terkait informasi yang tidak familiar dan berlawanan
dengan keyakinan. Maka konsekuensinya adalah individu yang sangat dogmatik
sulit menerima perubahan dan sangat tertutup (Rokeach, 1960 dalam Swink,
2011). Informasi dan perubahan-perubahan pada konteks penelitian ini mengacu
pada pengaruh dari masyarakat Muslim sebagai mayoritas. Maka, dogmatisme
yang dipegang tinggi dapat mempengaruhi setiap persepsi positif konsumen
Nasrani terhadap iklan TV Islami. Sehingga pada akhirnya konsumen tersebut
memiliki sikap yang negatif terhadap iklan TV Islami.
Penelitian lintas agama juga sudah dilakukan oleh beberapa peneliti
sebelumnya, diantaranya adalah Dotson dan Hyatt (2000) serta Taylor et al
(2010). Penelitian mereka yang menggunakan metode eksperimen meneliti sikap
serta perilaku konsumen Nasrani terhadap iklan yang menampilkan simbol
Nasrani, namun hasil penelitian mereka berdua tidak berbeda. Dotson dan Hyatt
(2000) pada uji eksperimennya mendapati bahwa adanya simbol Nasrani pada
iklan tidak mempengaruhi reaksi/respon low-involved partisipan dengan
dogmatisme yang tinggi terhadap iklan tersebut (tidak mendukung teori
Elaboration Likelihood Model (ELM). Mereka bereaksi hanya terhadap
simbolnya bukan terhadap iklannya.
Sementara itu, Taylor et al (2010) meneliti bagaimana respon konsumen
Nasrani terhadap iklan yang menampilkan simbol Nasrani (salib). Mereka
melakukan 2 (dua) studi eksperimen. Studi pertama menggunakan metode
eksperimen lapangan dengan variasi responden dari segi umur, sedangkan studi
kedua dilakukan untuk generalisasi studi pertama terhadap konsumen usia muda
dengan eksperimen laboratorium. Dari kedua studi eksperimen tersebut
didapatkan hasil yang bervariasi dan tidak konsisten. Pada studi pertama, semakin
besar religiusitas evangelikal semakin baik persepi konsumen terhadap kualitas
pemasar dan konsumen memiliki niat membeli yang tinggi. Kemudian
kepercayaan, kesamaan sikap, keahlian, dan skeptisme terbukti memediasi
hubungan antara simbol Nasrani (variabel independen) dan niat untuk membeli
(variabel dependen). Pada studi kedua, tingginya religiusitas evangelikal tidak
mempengaruhi persepi terhadap kulitas pemasar dan niat untuk membeli. Hanya
kepercayaan dan kesamaan sikap yang terbukti memediasi hubungan antara
variabel independen dan dependen.
Ketidakkonsistenan pada kedua penelitian mereka penulis identifikasi
karena beberapa hal sebagai berikut:
1) Dari penelitian Dotson dan Hyatt (2000) dapat diidentifikasi bahwa
penggunaan simbol Nasrani pada iklan tidak mempengaruhi respon
konsumen terhadap iklan tetapi konsumen memperhatikan simbolnya saja.
Penulis berpendapat bahwa masalah tersebut terjadi karena penelitian
dilakukan menggunakan simbol Nasrani kepada konsumen Nasrani.
2) Dari penelitian Taylor et al (2010), hasil pada studi pertama ternyata tidak
dapat digeneralisasi ke studi kedua. Penulis berpendapat bahwa masalah
tersebut terjadi karena penelitian dilakukan dengan metode eksperimen
(dimana validitas eksternalnya lemah).
Masalah pada penelitian pertama dapat diperbaiki dengan melakukan
penelitian terkait respon konsumen Nasrani terhadap iklan dengan atribut Islami.
Penulis menduga bahwa konsumen Nasrani memiliki persepsi beragam terhadap
atribut Islami pada Iklan. Penelitian dengan metode survei dapat menutup masalah
pada penelitian kedua. Hasil pada metode survei dapat digeneralisasi kepada
konsumen dengan segmen yang sama pada satu waktu (cross-section). Inilah yang
kemudian menjadi celah dari penelitian sebelumnya yang berusaha untuk ditutup
dengan penelitian ini.
1.2
Perumusan Masalah
Secara keseluruhan, penelitian ini berangkat dari celah penelitian-
penelitian sebelumnya yang masih dapat untuk ditutup oleh penelitian yang akan
datang. Peneliti mengidentifikasi celah pertama dari sisi metodologis yang peneliti
bagi menjadi dua yaitu celah dalam pengukuran variabel dan rancangan
penelitian.
Celah metodologis dalam hal pengukuran variabel yang menjadi sorotan
peneliti terkait dengan pengukuran variabel religiusitas. Pengukuran religiusitas
yang selalu ditemukan dalam artikel-artikel ilmiah selalu dibangun berdasarkan
motivasi intrinsik (intra) dan ekstrinsik (inter). Skala pengukuran yang biasa
digunakan adalah skala Allport dan Ross (1967) dan Worthington et al (2003).
Permasalahan yang muncul dalam skala pengukuran religiusitas saat ini berkaitan
dengan kontrakdiksi antara sikap dan perilaku serta adanya bias sosial. Seperti
contoh, pada skala Allport dan Ross (1967) religiusitas dibedakan antara intrinsik
dan ekstrinsik dan pada skala Worthington et al (2003) religiusitas dibedakan
antara intra-religius dan inter-religius. Kedua skala tersebut hanya mencakup
komponen iman (kepercayaan) dan ihsan (kesempurnaan) namun meniadakan satu
komponen yang tidak kalah penting yaitu akhlak (perilaku atau perbuatan). Bisa
saja responden mengaku sebagai orang yang religius namun tidak tercermin dalam
akhlak atau perilakunya. Hal tersebut membuat celah antara sikap dan perilaku,
yaitu antara klaim dan predikat religius dengan keadaan sebenarnya.
Permasalahan selanjutnya terkait pengukuran religiusitas yaitu tingginya
bias sosial, yaitu ketika seseorang mengaku religius untuk menghindari
pengucilan sosial. Pernyataan senada juga telah disampaikan oleh Mokhlis (2009)
yang menyatakan bahwa seseorang dapat menghadiri kegiatan keagamaan
(religiusitas ekstrinsik) untuk menghindari pengucilan sosial, menyenangkan
teman, atau hanya sekedar ingin mendapat predikat religius. Kedua masalah pada
pengukuran religiusitas diatas menjadi pertimbangan peneliti untuk kemudian
mengukur religiusitas yang dikhususkan pada sisi keimanan atau kepercayaan
(intrinsik).
Dari sisi empiris, mayoritas penelitian yang meneliti hubungan religiusitas
dan kredibilitas iklan persepsian berfokus pada kredibilitas media tempat dimana
iklan ditayangkan atau ditampilkan (contoh: penelitian Golan dan Kiosis, 2010;
Golan dan Day, 2010; serta Ariyanto et al., 2007). Namun, masih sangat jarang
peneliti
yang
mengkaitkan
religiusitas
dengan
kredibilitas
iklan
yang
dipersepsikan dari sisi sumber atau endorsernya. Lebih lanjut, pada topik
penelitian iklan TV Islami masih belum banyak peneliti yang menguji peran
dogmatisme sebagai moderator dan membandingkannya pengaruhnya dengan
norma sosial (subjektif).
Dari sisi praktis, kebanyakan penelitian dalam ranah pemasaran Islami
menjadikan konsumen Muslim sebagai objek penelitian. Hal tersebut seakan
membatasi implikasi penelitian hanya kepada Muslim saja. Padahal konsumen
non-Muslim juga dapat menjadi pasar yang potensial.
Penelitian terdahulu mendapatkan temuan bahwa konsumen Non-Muslim
yang tinggal di negara mayoritas Muslim memiliki pemahaman yang baik tentang
konsep Halal (lihat Rezai et al, 2011). Selain itu, dalam Raihana dan Kauthar
(2011) didapatkan bahwa konsumen non-Muslim mempersepsikan baik produk
dengan logo Halal. Maka, tidak heran jika Mathew et al (2012) menyarankan
produsen produk Halal untuk menyasar pasar Non-Muslim juga selain menyasar
pasar Muslim.
Temuan-temuan diatas ditemukan pada penelitian yang meneliti persepsi
konsumen Non-Muslim terhadap label atau logo Halal. Namun, belum banyak
ditemukan pada penelitian dengan topik iklan Islami.
Dengan demikian, secara ringkas celah penelitian terdahulu yang coba
untuk ditutup pada penelitian ini adalah:
1)
Celah metodologis: pengukuran religiusitas pada penelitian terdahulu
masih menyisakan beberapa kekurangan terutama terkait masalah
kontradiksi antara sikap dan perilaku serta masalah bias sosial. Penelitian
terdahulu juga banyak yang menggunakan studi eksperimen. Penelitian ini
ingin memperkaya kajian literatur dengan melakukan studi berbasis survei.
2)
Celah empiris
a) Masih belum ada penelitian terdahulu yang meneliti hubungan antara
religiusitas dan kredibilitas media berdasarkan endorsernya.
b) Peran dogmatisme sebagai pemoderator dalam literatur iklan TV
Islami terkhusus kajian lintas agama belum banyak dikaji.
c) Belum banyak penelitian sebelumnya yang membandingkan pengaruh
antara dogmatisme dan norma subjektif dalam pembentukan sikap
konsumen terhadap iklan TV Islami.
3)
Celah praktis: implikasi praktis penelitian pada konteks pemasaran islami
terbatas
kepada
konsumen
beragama
Islam
saja.
Penelitian
menawarkan implikasi praktis kepada konsumen beragama Nasrani.
ini
1.3
Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan
rumusan
masalah
empiris
yang
sudah
disebutkan
sebelumnya, pertanyaan penelitian yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:
1)
Apakah terdapat hubungan yang negatif signifikan antara religiusitas
intrinsik (Nasrani) terhadap kredibilitas iklan TV yang dipersepsikan
berdasarkan endorser dengan atribut Islami?
2)
Apakah terdapat hubungan yang positif signifikan antara kredibilitas iklan
TV yang dipersepsikan berdasarkan endorser dengan atribut Islami
terhadap sikap konsumen Nasrani?
3)
Apakah kredibilitas iklan TV yang dipersepsikan berdasarkan endorser
dengan atribut Islami memediasi hubungan antara religiusitas intrinsik dan
sikap konsumen Nasrani secara parsial?
4)
Apakah dogmatisme dan norma subjektif memoderasi hubungan
religiusitas intrinsik dan kredibilitas iklan TV yang dipersepsikan
berdasarkan endorser dengan atribut Islami?
5)
Apakah dogmatisme dan norma subjektif memoderasi hubungan
kredibilitas iklan TV yang dipersepsikan berdasarkan endorser dengan
atribut Islami dan sikap konsumen Nasrani?
6)
Variabel mana antara dogmatisme dan norma subjektif yang pengaruhnya
lebih kuat sebagai pemoderator?
1.4
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menguji hubungan antara
religiusitas intrinsik dan kredibilitas iklan berdasarkan endorsernya yang belum
dikaji oleh peneliti terdahulu. Kemudian untuk membandingkan dampak pengaruh
eksternal (norma subjektif) dan internal (dogmatisme) dalam mempengaruhi sikap
konsumen beragama Nasrani pada iklan TV Islami.
1.5
Manfaat Penelitian
Penelitian ini secara keseluruhan diharapkan dapat memberikan manfaat
nyata secara praktis dan teoritis, diantaranya:
Manfaat Praktis. Penelitian ini diharapkan dapat berguna dan menjadi rujukan
serta pertimbangan bagi pemasar dan perusahaan dengan strategi Iklan TV Islami
dalam mengiklankan produknya kepada konsumen non-Muslim.
Manfaat Teoritis. Penelitian ini diiharapkan dapat memperkaya bahasan topik
tentang
pengaruh
atribut
agama
pada
respon
konsumen
dengan
mempertimbangkan dogmatisme agama sebagai variabel yang mempengaruhi
kepercayaan konsumen.
Download