7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Rasa Bersalah 1. Pengertian Rasa

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Rasa Bersalah
1. Pengertian Rasa Bersalah
Rasa bersalah adalah perilaku yang tidak dapat diterima secara moral
normatif yang dilakukan oleh pelanggar yang nantinya akan menderita akibat
dari kesalahan yang dibuatnya (Smith & Ellsworth, dalam Xu, dkk., 2011).
Menurut pandangan yang digunakan oleh Weiss (dalam O’Connor, dkk.) rasa
bersalah dipandang sebagai sesuatu yang berasal dari alturisme dan kepedulian
terhadap orang. Dengan demikian rasa bersalah termasuk dalam bagian self
perceived (perasaan diri) dengan respek untuk standar orang lain, dimana
fokus perhatian adalah beberapa perilaku yang nyata. Menurut Tangney
(dalam Cohen dkk, 2010) rasa bersalah dapat dikarakteristikkan dengan
adanya kecendrungan untuk mengevaluasi perilaku diri yang negatif dan
kecendrungan untuk memperbaiki tindakan.
Berdasarkan psikologi eksistensial (Hall & Lindzey, 1993) rasa
bersalah adalah suatu eksistensial pemahaman yang berpusat pada diri
individu yang memiliki tanggung jawab atas tindakannya yang bersifat bebas
yang berarti suatu ciri fundamental dari desain atau kemampuan manusia
dalam eksistensialnya atau kemampuan menetap dan memaknai hidupnya.Jadi
dapat dismpulkan bahwa rasa bersalah bagaimana manusia memaknai
hidupnya agar tidak terjadi kesalahan.
7
8
Mordiningsih (2000) mendefinisikan rasa bersalah adalah pelanggaran
terhadap standar internal yang menghasilkan penurunan harga diri, jadi ketika
seseorang merasakan penurunan harga diri hal ini dapat disebabkan karena
orang tersebut memiliki perasaan bersalah.
Menurut Tarcy & Robins, (dalam Xu, dkk., 2011) rasa bersalah adalah
hasil kesadaran emosi dalam diri yang negative dari ketidaksesuaian antara
identitas diri dan tujuan yang kita inginkan. Kegagalan dalam memenuhi
perintah Allah namun masih terus bertahan dalam identitas diri yang telah
dijalani selama ini.
Rasa bersalah adalah perbaikan emosi yang merupakan hasil dari
refleksi diri dari peristiwa negative (Baumester, 2007). Hal ini menjelaskan
terdapat ketidaksesuaian antara perilaku diri terhadap apa yang telah dilakukan
dan muncul suatu keadaan yang tidak diinginkan. Senada dengan Xu
dkk.(2011), yang mengungkapkan bahwa rasa bersalah adalah penerimaan diri
yang tidak dikehendaki atau tidak diinginkan.Rasa bersalah juga merupakan
keadaan emosi negatif yang timbul ketika tingkah laku individu berselisih
dengan standarisasi tingkah laku seharusnya (Baumester dkk. 1994).
Rasa salah dapat menutup diri dari kebenaran, membuat individu
menipu diri sendiri, dan menyebabkan agresif secara berlebihan dalam usaha
untuk mempertahankan diri dari serangan yang dilakukan sendiri. Mungkin
mencoba menghindar dari akibat yang di timbulkan oleh rasa salah dalam diri
serta berusaha menimpa akibat perbuatan salah kepada orang lain (Coleman,
1992).
9
2. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Rasa Bersalah
Hoffman (1970) menyatakan bahwa moral seseorang bersinggungan
dengan rasa bersalah.Tetapi rasa bersalah bukanlah sebuah hal yang
diinginkan dalam kehidupan seseorang.Rasa bersalah adalah hal normal
sebagai tanggapan atas kesalahan berperilaku dan rasa bersalah ini tidak dapat
dilepaskan dari tahapan moral seseorang.
Cohen dan George (2010) berpendapat, bahwa rasa bersalah
berhubungan secara positif dan signifikan dengan religiusitas dan moral.Moral
mencakup perasaan bersalah dan perasaan menyesal yang digambarkan
sebagai ketidaknyamanan setelah melakukan pelanggaran. Sedangkan menurut
Marlene (dalam syaputra, 2011) yang mengungkapkan bahwa rasa bersalah
dapat dipengaruhi oleh religiusitas ketika melakukan hal yang dilarang Tuhan,
dimana rasa bersalah muncul dengan ketakutan akan sebuah hukuman. Orang
dengan pendidikan agama yang kuat dikondisikan untuk cepat merasa bersalah
karena takut bahwa mereka mungkin telah berdosa.
Mosher, dkk (1967) menjelaskan bahwa moral secara signifikan
berhubungan dengan rasa bersalah yang dinilai dengan menggunakan
standarisasi tahap perkembangan moral kohlberg.Olson (1996) juga
memaparkan bahwa rasa bersalah berkaitan erat dengan moral.Rasa bersalah
muncul ketika seseorang melakukan kesalahan dalam berperilaku yang
berhubungan dengan keyakinan untuk berperilaku sesuai dengan perintah
Allah.
10
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa rasa
bersalah memiliki faktor-faktor yang erat kaitannya dan tidak dapat dipisahkan
dari norma-norma yang berlaku dilingkungan sekitar menjadi sebab-akibat
dari rasa bersalah, dimana rasa bersalah memiliki keterkaitan dengan moral
dan religiuistas.
3. Sumber rasa bersalah
Sebuah paradigma munculnya rasa bersalah adalah ketika seseorang
bertindak dalam beberapa cara yang tidak konsisten dengan konsep dari
tingkah laku yang sebenarnya. Sebagai contoh, berbagai macam situasi
dimana seseorang mengingat sebagai asosiasi khusus dengan rasa bersalah,
diantaranya orang-orang yang termasuk dalam tingkah laku seperti berbohong,
mencuri, tidak menjalankan kewajiban, melalaikan orang lain, gagal
menjalankan diet atau gagal menjalankan rencana (Tangney dalam Daniel J.
O’keefe, 2002).
Rasa bersalah muncul karena seorang individu telah melakukan
tindakan yang salah atau melakukan kesalahan yang menurut dirinya dan
lingkungannya tindakan tersebut tidak sesuai dengan moral dan norma ( Xu,
dkk, 2011). Sedangkan menurut psikoanalisis (dalam O’Connor, dkk., 1997),
rasa bersalah sumber utamanya dari keinginan bawah sadar untuk menyakiti
orang lain, yang bermotifkan seperti balas dendam, iri, dengki, dan kebencian.
Pandangan ini menunjukkan bahwa orang-orang merasa bersalah karena
mereka memiliki anti sosial dan keinginannya. Sementara karya Freud,
11
sebagai salah satu tokoh psikologi analisa jarang menyebutkan rasa bersalah,
dimana rasa bersalah berhubungan
Freud (1926), anak sebagai
dengan tugas pada Oedipal. Menurut
bagian dari kompetisi dengan ayahnya atau
keinginan membahayakan ayahnya. Oedipus komplek pada laki-laki
diselesaikan dengan pengembangan rasa bersalah
dan super ego yang
diperkirakan berfungsi untuk mencegah seseorang dari tindakan yang
berlandaskan niat atau keinginan yang bersifat merusak atau buruk. Freud juga
mengungkapkan rasa bersalah sering dipandang sebagai sebuah “intrapsikis”
dan proses menyendiri (emosi yang disebabkan oleh konflik antara ego dan
superego) dimana “privasi” telah dianggap sebagai bukti alam intrapsikisnya.
Rasa bersalah didasarkan pada ketakutan seseorang untuk menyakiti orang
lain dalam mengejar kemungkinan tujuannya yang meskipun terkait dengan
beberapa tipe bersalah (O’Connor, dkk., 1997).
Menurut Cohen
dkk, (2010) menyatakan bahwa kecendrungan
merasa bersalah memiliki dua karakteristik khusus yaitu, evaluasi perilaku
negative dan memperbaiki tindakan. Evaluasi perilaku negatif, dimana
perilaku menyadari dan mengevaluasi terhadap tindakan atau perbuatan yang
menurutnya salah, seperti “aku telah melakukan kesalahan” sedangkan
memperbaiki suatu tindakan yang salah seperti “meminta maaf”.
4. Perbedaan Kategori Dalam Rasa Bersalah
Menurut Bruce Narramore (2005), Rasa bersalah ada dalam setiap
masalah psikologi yang dihadapi setiap orang. Sehingga rasa bersalah dibagi
dalam dua kategori, yaitu:
12
a. Rasa Bersalah yang Objektif
Rasa bersalah yang objektif adalah rasa bersalah yang menjadi
masalah oleh karena ada peristiwa pelanggaran hukum, baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis.Meskipun demikian, orang yang melakukan
pelanggaran itu sendiri mungkin tidak merasa bersalah. Rasa bersalah
yang objektif dibagi menjadi empat, yaitu:
1) Legal-guilt, yaitu rasa bersalah yang menjadi masalah karena
pelanggaran terhadap hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Pertumbuhan,
pencurian, dll. Sehingga menimbulkan masalah
meskipun tidak semua orang yang merasakan rasa bersalah.
2) Social-guilt, yaitu rasa bersalah yang menjadi masalah karena
pelanggaran terhadap hukum yang tidak tertulis yang berlaku dalam
masyarakat.
Misalnya:
penghinaan,
ancaman
terhadap
sesama
manusia, yang mungkin tidak ada bukti-bukti kongkrit sehingga bisa
dibawa kepengadilan, bahkan mungkin tidak ada hukum tertulis yang
menggariskan tentang hal-hal itu, tetapi muncul masalah.
3) Personal-guilt, yaitu rasa bersalah yang menjadi masalah dikarenakan
pelanggaran terhadap “consciense” atau kesadaran akan kebenaran
yang ada didalam hati orang yang bersangkutan. Misalnya: rasa
bersalah pada mahasiswa yang meninggalkan shalat padahal dia tahu
bahwa itu perbuatan dosa yang telah dilakukannya.
4) Theological-guilt,
yaitu
rasa bersalah
yang menjadi
masalah
dikarenakan pelanggaran terhadap hukum-hukum. Dalam memberikan
13
standar-standar tingkah laku manusia, jika itu dilanggar, baik dengan
pikiran maupun perbuatan, maka muncul masalah walaupun orang
yang bersangkutan tidak bersalah. Kebanyakan orang mersa gelisah
kemungkinan karena merasa bersalah, jika melakukan pelanggaranpelanggaran diatas.
b. Rasa Bersalah yang Subjektif
Rasa bersalah yang subjektif adalah rasa bersalah yang
menimbulkan perasaan bersalah dan menyesal dalam diri orang yang
bersangkutan.Bahkan, orang yang bersangkutan bisa merasakan ketakutan,
putus asa, cemas, dan terus menerus menyalahkan diri sendiri oleh karena
itu perbuatan atau pemikiran, dan dianggap melanggar prinsip-prinsip
kebenaran yang selama ini mereka yakini. Mungkin, apa yang mereka
lakukan atau pikirkan sebenarnya tidak melanggar kebenaran yang
sesungguhnya berlaku di masyarakat, namun merasa bersalah. Dalam hal
ini Narramore (1974) membagi rasa bersalah subjektif dalam tiga bagian,
yaitu:
1) A fear of Punishment (takut akan hukuman)
2) A loss in self-esteem (perasaan kehilangan harga diri)
3) A feeling of lonelisness, rejection or isolation (perasaan kesepian,
penolakan, atau pengasingan)
Rasa bersalah semacam ini tidak semacam ini tidak selamanya
buruk, karena merupakan dorongan untuk memperbaiki tingkah laku dan
menimbulkan
dorongan
serta
kebutuhan
untuk
mendapatkan
14
pengampunan.Meskipun tidak jarang guilty feeling yang semacam ini juga
menjadi hal yang merusak.Subjective guilty, bisa begitu kuat dan juga
lemah, bisa “appropriate” memang sesuai atau bersalah, dan juga
“inappropriate” dimana untuk pelanggaran yang besar seseorang tidak
merasa bersalah, untuk pelanggaran kecil (bahkan mungkin tidak sama
sekali) seseorang merasakan amat bersalah.
5. Karakteristik atau Gejala Rasa Bersalah
Menurut Narramore (1981), pada umumnya karakteristik atau gejala
rasa bersalah dapat ditinjau dari:
a. Perilaku teladan (examplary behavior). Individu berperilaku ramah dan
baik untuk menutupi perasaan yang sebenarnya terjadi pada dirinya dari
rasa bersalah.
b. Keluhan pada tubuh (somatic bodily complaints). Hal ini bersifat
emosional yang menunjukkan dirinya dalam reaksi psikologis seperti
kelelahan dan sakit kepala.
c. Perasaan Depresi (feeling of depression). Orang yang merasa bersalah
terus-menerus menyalahkan dirinya, pola reaksi ini dapat menyebabkan
perasaan depresi serius.
d. Indulgensi lanjutan (further indulgence). Hal ini melibatkan atau
mengumbar lebih dalam praktek yang salah yang merupakan hasil dari
sikap kekalahan atau hitung untuk membawa perasaan bersalah tambahan,
sehingga menimbulkan suatu bentuk hukuman diri.
15
e. Penghukuman diri (self-condemnation). Seseorang dengan terus-menerus
mengutuk atau menyalahkan dirinya karena telah melakukan sesuatu yang
salah, memalukan atau jahat, hal ini berkaitan dengan perasaan depresi.
f. Hukuman diri (self-punishment). individu menghukum dirinya sendiri
dengan menyangkal dirinya sendiri seperti kebutuhan makanan, pakaian
atau materi lainnya. Pada suku primitif hal ini dilakukan dengan
melakukan kekerasan fisik pada diri mereka sendiri, hal ini adalah upaya
untuk menebus perasaan dosa.
g. Penolakan harapan (expectation of disapproval). Individu mengantisipasi
penolakan dan kutukan dari orang-orang tentang dia dan merasa bahwa
dunia menganggap dia tidak berharga.
h. Proyeksi dan kritik yang tidak semestinya (projection and undue
criticism). Orang terus-menerus menyalahkan orang lain.
i. Permusuhan (hostility). Individu umumnya memusuhi orang lain karena
perasaan bersalah pada dirinya sendiri.
j. Kompensasi (compensation). Merupakan upaya untuk meredakan hati
nurani individu dengan melakukan perbuatan baik, bergabung dengan
organisasi yang dihormati dan melakukan amal.
B. Religiusitas
1. Pengertian Religiusitas
Menurut Driyakarya (dalam Kurniawati, 2005) religiusitas berasal dari
kata religi, bahasa latinreligio, yang akar katanya adalah religure yang artinya
adalah lig atau mengikat, sehingga dapat diartikan sebagai suatu hubungan
16
dengan Tuhan. Religion kemudian diartikan sebagai hubungan yang mengikat
antara diri manusia dengan hal-hal di luar manusia, yakni Tuhan yang mutlak,
Tuhan yang Maha Besar dan Tuhan yang Maha Esa.
Ancok dan Suroso (2001) mendefinisikan religiusitas sebagai
keberagaman yang berarti meliputi berbagai macam sisi atau dimensi yang
bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah),
tapi juga melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural.
Sumber jiwa keagamaan itu adalah rasa ketergantungan yang mutlak, adanya
ketakutan-ketakutan akan ancaman dari lingkungan alam sekitar serta
keyakinan manusia itu tentang segala keterbatasan dan kelemahannya. Rasa
ketergantungan yang mutlak ini membuat manusia mencari kekuatan sakti dari
sekitarnya yang dapat dijadikan sebagai kekuatan pelindung dalam
kehidupannya dengan suatu kekuasaan yang berada di luar dirinya yaitu
Tuhan.
Fetzer (1999) juga mendefinisikan religiusitas adalah sesuatu yang
lebih menitikberatkan pada masalah perilaku, sosial, dan merupakan sebuah
doktrin dari setiap agama atau golongan. Doktrin yang dimiliki oleh setiap
agama wajib diikuti oleh setiap pengikutnya.
Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan, dapat disimpulkan
bahwa religiusitas adalah keberagamaan individu dengan Allah Swt,
keberagaman individu dilihat dari aspek keyakinan, pengetahuan, pengalaman,
praktek dan penghayatan ketika telah mengerjakan lima dimensi tersebut maka
17
dapat dikatan religiusitas dan sebaliknya ketika salah satu dimensi belum
dikerjakan belum bias dikatan religiusitas.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Religiusitas
Menurut Thouless (dalam Kunarsih, 2007) faktor-faktor yang
mempengaruhi religiusitas ada empat yaitu :
a. Pengaruh pendidikan atau pengajaran dari berbagai tekanan sosial (faktor
sosial) yang mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan sikap
keagamaan, termasuk pendidikan dan pengajaran orang tua, tradisi-tradisi
sosial untuk menyesuaikan dengan berbagai pendapatan sikap yang
disepakati oleh lingkungan.
b. Berbagai pengalaman yang dialami oleh individu dalam membentuk sikap
keagamaan terutama pengalaman mengenai keindahan, keselarasan, dan
kebaikan dunia lain (faktor alamiah), adanya konflik moral (faktor moral)
dan pengalaman emosional keagamaan (faktor afektif).
c. Faktor-faktor yang seluruhnya atau sebagian timbul dari kebutuhankebutuhan yang tidak terpenuhi terutama kebutuhan terhadap keamanan,
cinta, kasih, harga diri, dan ancaman kematian.
d. Berbagai proses pemikiran verbal atau proses intelektual. Manusia di
ciptakan dengan memiliki berbagai macam potensi. Salah satunya adalah
potensi untuk beragama. Potensi beragama ini akan terbentuk, tergantung
bagaimana pendidikan yang di peroleh anak. Seiring dengan bertambahnya
usia, maka akan muncul berbagai macam pemikiran-pemikiran verbal.
Salah satu dari pemikiran verbal ini adalah pemikiran akan agama. Anak-
18
anak yang beranjak dewasa akan mulai menentukan sikapnya terhadap
ajaran-ajaran agama. Sikap-sikap ini yang akan mempengaruhi jiwa
keberagamaannya.
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa banyak sekali yang
dapat mempengaruhi religiusitas pada diri individu, baik dari faktor internal
maupun eksternal, yang semuanya dapat membentuk religiusitas pada diri
tiap-tiap individu.
3. Dimensi Religiusitas
Menurut Glock & Stark (dalam Ancok & Suroso, 2001) dimensidimensi religiusitas terdiri dari lima macam yaitu:
a. Dimensi keyakinan, merupakan dimensi ideologis yang memberikan
gambaran sejauh mana seseorang menerima hal-hal yang dogmatis dari
agamanya.
Dalam
keberislaman,
dimensi
keyakinan
menyangkut
keyakinan keimanan kepada Allah, para Malaikat, Rasul, kitab-kitab
Allah, surga dan neraka, serta qadha dan qadar.
b. Dimensi peribadatan atau praktek agama, merupakan dimensi ritual, yakni
sejauh
mana
seseorang
menjalankan
kewajiban-kewajiban
ritual
agamanya, misalnya shalat, puasa, zakat, membaca Al-Qur’an, do’a, zikir
dan lain-lain terutama bagi umat Islam.
c. Dimensi pengamalan atau konsekuensi, menunjuk pada seberapa tingkatan
seseorang berperilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu
bagaimana individu berelasi dengan dunianya, terutama dengan manusia
lain. Dimensi ini meliputi perilaku suka menolong, bekerjasama,
19
berderma, menegakkan keadilan dan kebenaran, berlaku jujur, memaafkan,
tidak mencuri, mematuhi norma-norma Islam dalam berperilaku seksual,
berjuang untuk hidup sukses dalam Islam, dan sebagainya.
d. Dimensi pengetahuan, menunjuk pada seberapa tingkat pengetahuan
seseorang terhadap ajaran-ajaran agamanya, terutama mengenai ajaranajaran pokok dari agamanya, sebagaimana termuat dalam kitab sucinya.
Dalam Islam dimensi ini menyangkut pengetahuan tentang isi Al-Quran,
pokok-pokok ajaran yang harus diimani dan dilaksanakan, hukum-hukum
Islam, sejarah Islam, dan sebagainya.
e. Dimensi penghayatan, menunjuk pada seberapa jauh tingkat seseorang
dalam merasakan dan mengalami perasaan-perasaan dan pengalamanpengalaman religius. Dimensi ini terwujud dalam perasaan dekat atau
akrab dengan Tuhan, perasaan do’a-do’anya sering terkabul, perasaan
tenteram bahagia, perasaan tawakkal, perasaan khusuk ketika beribadah,
dan sebagainya.
C. Kerangka Berpikir
Mahasiswa yang berada dalam institusi berbasis islami adalah seornag
yang dianggap sebagai mahasiswa yang berperilaku baik karena dalam kampus
telah diajarkan norma-norma agama yang baik dan ganjaran bagi yang telah
melanggarnya.
Dari hasil penelitian memaparkan penyebab individu tidak merasa
bersalah adanya kemungkinan karena keberhasilannya dalam mematikan rasa
bersalah atau mungkin juga disebabkan karena kurangnya pengenalan terhadap
20
kebenaran agama (religiusitas) atau nilai-nilai moral dalam masyarakat, jadi hanya
pelanggaran-pelanggaran tertentu yang menimbulkan guilty feeling (Narramore,
2005).
Menurut Maltby (2005), Rasa bersalah ditemukan terkait dengan
religiusitas yang sifatnya pribadi, religiusitas yang bersifat sosial ditemukan
terkait rasa bersalah dalam standar moral.
Ketika individu melakukan kesalahan dengan melanggar norma yang ada
pada masyarakat dan norma yang telah ditentukan dalam agama Islam, seharusnya
individu tersebut merasa bersalah karena menurut Xu, dkk. (2011) rasa bersalah
muncul karena seorang individu telah melakukan tindakan yang salah atau
melakukan kesalahan yang menurut dirinya dan lingkungannya tindakan tersebut
tidak sesuai dengan moral dan norma. Disamping itu Narramore (1981)
menyatakan bahwa rasa bersalah akan terjadi ketika individu telah mengetahui
tentang kebenaran dan kesalahan. Cohen dan George (2010) berpendapat, bahwa
rasa bersalah berhubungan positif dan signifikan dengan moral dan religiusitas.
Berdasarkan dari paparkan di atas bahwa religiusitas dan rasa bersalah
memiliki hubungan yang sangat signifikan. Namun akan kembali diteliti karena
rasa bersalah ini melihat bagaimana mahasiswa yang berada dalam institusi agama
Islam mereka dapat melanggar norma agama yang telah diajarkan kepda mereka
dan akan mengajarkannya.
21
D. Hipotesis
Berdasarkan uraian tinjauan pustaka dan kerangka berfikir di atas maka
hipotesis dari penelitian ini adalah “Terdapat hubungan positif antara religiusitas
dengan rasa bersalah pada mahasiswa.”
Download