gangguan stres pascatrauma dan gangguan stres akut

advertisement
GANGGUAN STRES PASCATRAUMA DAN GANGGUAN
STRES AKUT
Gangguan stres pascatrauma (posttraumatic stress disorder- PTSD) adalah suatu sindrom
yang timbul setelah seseorang melihat terlibat di dalam, atau mendengar stresor traumatik
yang ekstrem. Seseorang bereaksi terhadap pengalaman tersebut dengan rasa takut dan tidak
berdaya, secara menetap menghidupkan kembali peristiwa tersebut, dan mencoba
menghindari mengingat hal itu. Untuk menegakkan diagnosis, gejala harus memengaruhi area
penting kehidupan secara signifikan, seperti keluarga dan pekerjaan. Edisi keempat revisi
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-IV-TR) mendefinisikan
gangguan yang serupa dengan PTSD sebagai gangguan stres akut, yang terjadi lebih dini dari
PTSD (dalam 4 minggu setelah peristiwa) dan membaik dalam 2 hari hingga 4 minggu. Jika
gejala bertahan setelah waktu tersebut, diagnosis PTSD diperlukan.
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi seumur hidup PTSD diperkirakan sekitar 8 persen populasi umum walaupun
tambahan 5 hingga 15 persen dapat mengalami bentuk subklinis gangguan ini. Di antara
kelompok risiko tinggi yang anggotanya mengalami peristiwa traumatik, angka prevalensi
seumur hidupnya berkisar 5 hingga 75 persen. Sekitar 30 persen veteran Vietnam mengalami
PTSD dan tambahan 25 persen mengalami bentuk subklinis gangguan tersebut. Prevalensi
seumur hidup pada perempuan berkisar sekitar 10 hingga 12 persen dan 5 hingga 6 persen
pada laki-laki. Walaupun PTSD dapat timbul pada usia berapapun, gangguan ini paling
prevalen pada dewasa muda karena mereka cenderung lebih terpajan dengan situasi
penginduksi. Anak juga dapat mengalami gangguan ini. Laki-laki dan perempuan memiliki
perbedaan tipe trauma yang memajankan mereka dan kecenderungan untuk mengalami
PTSD. Prevalensi seumur hidup secara bermakna lebih tinggi pada perempuan dan proporsi
perempuan yang terus mengalami gangguan ini lebih tinggi. Berdasarkan sejarah, trauma
laki-laki biasanya berupa pengalaman berperang dan trauma perempuan paling lazim adalah
kekerasan atau perkosaan. Gangguan ini lebih cenderung terjadi pada orang lajang, bercerai,
janda, menarik diri secara sosial, atau tingkat sosioekonomi yang rendah. Meskipun
demikian, faktor risiko paling penting gangguan ini adalah keparahan, durasi dan kedekatan
pajanan seseorang dengan trauma yang sebenarnya. Tampaknya terdapat pola familial untuk
gangguan ini dan kerabat biologis derajat pertama orang dengan riwayat depresi memiliki
peningkatan risiko untuk timbulnya PTSD setelah peristiwa traumatik.
KOMORBIDITAS
Angka komorbiditas tinggi pada pasien dengan PTSD, dengan sekitar dua pertiga memiliki
sedikitnya dua gangguan lain. Keadaan komorbid yang lazim mencakup gangguan depresif,
gangguan terkait zat, gangguan ansietas lain, dan gangguan bipolar. Gangguan komorbid
membuat orang menjadi lebih rentan untuk mengalami PTSD.
ETIOLOGI
Stresor
Stresor yang menyebabkan stres akut dan PTSD cukup hebat untuk memengaruhi hampir
setiap orang. Stresor dapat timbul dari pengalaman perang, penyiksaan, bencana alam,
penyerangan, perkosaan, dan kecelakaan serius (contohnya di dalam mobil dan gedung
terbakar). Meskipun demikian, tidak setiap orang mengalami gangguan ini setelah peristiwa
traumatik. Stresornya sendiri tidak cukup menimbulkan gangguan ini. Klinisi harus
mempertimbangkan faktor psikososial dan biologis yang sebelumnya ada dan peristiwa yang
terjadi sebelum dan setelah trauma. Contohnya, seorang anggota suatu kelompok yang
bertahan hidup pada bencana kadang-kadang dapat menangani trauma karena anggota yang
lainnya juga mengalami pengalaman yang sama. Arti subjektif suatu stresor pada seseorang
juga penting. Contohnya, orang yang selamat dari bencana dapat mengalami rasa bersalah
(survivor guilt) yang dapat menjadi predisposisi atau memperberat PTSD.
Faktor Risiko
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahkan ketika menghadapi trauma yang hebat,
sebagian besar orang tidak mengalami gejala PTSD. National Comobidity Study menemukan
bahwa 60 persen laki-laki dan 50 persen perempuan mengalami sejumlah trauma yang
signifikan, tetapi prevalensi PTSD yang dilaporkan hanya 6,7 persen. Demikian juga,
peristiwa yang mungkin tampak biasa atau kurang dianggap sebagai bencana besar bagi
sebagian besar orang dapat menimbulkan PTSD pada sejumlah orang lainnya.
Faktor Psikodinamik
Model psikoanalitik gangguan ini menghipotesiskan bahwa trauma mengaktifkan kembali
konflik psikologis yang sebelumnya tenang, tetapi tidak terselesaikan. Penghidupan kembali
trauma masa kanan-kanak menimbulkan regresi dan penggunaan mekanisme defens represi,
penyangkalan, reaction formation, dan undoing. Menurut Freud, pemecahan kesadaran terjadi
pada pasien yang melaporkan riwayat trauma seksual masa kanak-kanak. Konflik yang
sebelumnya telah ada secara simbolis dibangkitkan kembali oleh peristiwa traumatik yang
baru. Ego menghidupkan kembali dan dengan demikian mencoba menguasai dan mengurangi
ansietas. Orang yang menderita aleksitimia, yaitu ketidak mampuan mengidentifikasi atau
memverbalisasikan keadaan perasaan, tidak mampu menenangkan dirinya ketika berada
dalam stres.
Faktor Perilaku-Kognitif
Model kognitif PTSD membuat postulat bahwa orang yang mengalaminya tidak mampu
memroses atau merasionalkan trauma yang mencetuskan gangguan ini. Mereka terus
mengalami stres dan berupaya menghindari mengalami hal itu dengan teknik penghindaran.
Konsisten dengan kemampuan parsial mereka menghadapi peristiwa tersebut secara kognitif,
orang tersebut mengalami periode bergantian antara memahami dan memblok peristiwa.
Upaya otak untuk memroses jumlah informasi yang banyak yang dicetuskan trauma dianggap
menimbulkan periode bergantian antara memahami dan memblok peristiwa.
Model perilaku PTSD menekankan adanya dua fase di dalam perkembangannya.
Pertama, trauma (stimulus yang tidak dipelajari), yang menimbulkan respons takut,
dipasangkan, melalui pembelajaran klasik, dengan stimulus yang dipelajari (pengingat fisik
atau mental terhadap trauma, seperti penglihatan, bau, atau suara). Kedua, melalui
pembelajaran instrumental, stimulus yang dipelajari mencetuskan respons takut yang bebas
dari stimulus asal yang tidak dipelajari, dan orang mengembangkan pola penghindaran
terhadap stimulus yang dipelajari maupun stimulus yang tidak dipelajari.
Sejumlah orang juga menerima keuntungan sekunder dari dunia luar, umumnya
berupa kompensasi keuangan, meningkatnya perhatian atau simpati, pemuasan akan
kebutuhan ketergantungan. Keuntungan ini menyokong gangguan dan menetapnya gangguan.
Faktor Biologis
Teori biologis PTSD berkembang dari studi praklinis para model stres hewan dan dari ukuran
variabel biologis dalam populasi klinis dengan gangguan tersebut. Banyak sistem
neurotransmiter yang terlibat dalam kedua rangkaian data. Model praklinis ketidakberdayaan
yang dipelajari, pembangkitan, dan sensitisasi pada hewan telah menghasilkan teori mengenai
reseptor norepinefrin, dopamin, opioid endogen, dan benzodiazepin, serta aksis hipotalamushipofisis-adrenal (HPA). Di dalam populasi klinis, data menyokong hipotesis bahwa sistem
noradrenergik dan opiat endogen, seperti aksis HPA, hiperaktif pada sedikitnya sejumlah
pasien dengan PTSD.
Sistem Noradrenergik. Para tentara dengan gejala mirip PTSD menunjukkan kegugupan,
peningkatan tekanan darah dan denyut jantung, palpitasi, berkeringat, rona merah di wajah,
dan tremor—yaitu gejala yang berkaitan dengan obat adrenergik. Sejumlah studi menemukan
peningkatan konsentrasi epinefrin urin 24 jam pada veteran dengan PTSD dan meningkatnya
konsentrasi katekolamin urin pada anak perempuan yang mengalami penyiksaan seksual.
Lebih jauh lagi, reseptor β-adrenergik limfosit dan α2 trombosit mengalami downregulation
pada PTSD, kemungkinan sebagai respons terhadap konsentrasi katekolamin yang meningkat
kronis. Sekitar 30 hingga 40 persen pasien PTSD melaporkan kilas balik setelah pemberian
yohimbin (Yocon). Temuan ini adalah bukti kuat perubahan fungsi sistem noradrenergik pada
PTSD.
Sistem Opioid. Abnormalitas sistem opioid dikesankan dengan adanya penurunan
konsentrasi β-endorfin plasma pada PTSD. Veteran perang dengan PTSD menunjukkan
respons analgesik yang reversibel dengan nalokson untuk stimulus yang berkaitan dengan
perang sehingga meningkatkan kemungkinan hiperregulasi sistem opioid yang serupa dengan
hiperregulais pada aksis HPA.
Faktor Pelepas Kortikotropin dan Aksis Hipotalamus Hipofisis-Adrenal. Beberapa faktor
mengacu pada disfungsi aksis HPA. Sejumlah studi menunjukkan konsentrasi kortisol bebas
yang rendah di dalam plasma dan urin pada PTSD. Terdapat peningkatan reseptor
glukokortikoid pada limfosit dan tantangan dengan faktor pelepas kortikotropin (CRF)
eksogen menunjukkan respons hormon adrenokortikotropin (ACTH) yang tumpul. Lebih
lagi, supresi kortisol melalui tantangan dengan dosis rendah deksametason (Decadron)
meningkat pada PTSD. Hal ini menunjukkan hiperregulasi aksis HPA pada PTSD.
Sejumlah studi juga telah menemukan terjadinya hipersupresi kortisol pada pasien
yang terpajan trauma dan mengalami PTSD dibandingkan pasien yang terpajan trauma tetapi
tidak mengalami PTSD, sehingga mungkin hipersupresi ini secara spesifik berkaitan dengan
PTSD bukan hanya dengan trauma. Secara keseluruhan, hiperregulasi aksis HPA berbeda
dengan aktivitas neuroendokrin yang biasanya terlihat selama stres dan pada gangguan lain
seperti depresi.
Baru-baru ini, peran hipokampus mendapatkan peningkatan perhatian walaupun
masalah ini tetap kontroversial. Studi hewan menunjukkan bahwa stres terkait dengan
perubahan struktural hipokampus dan studi pada veteran perang dengan PTSD menunjukkan
volume rerata yang lebih rendah di regio hipokampus otak. Lebih lagi, peneliti mengajukan
bahwa hipokampus bukanlah satu-satunya area otak yang menunjukkan adanya perubahan
struktural pada PTSD karena studi mengenai depresi menunjukkan efek serupa di amigdala
dan korteks prafrontal.
DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis DSM-IV-TR untuk PTSD merinci bahwa gejala mengalami, menghindari,
dan terus terjaga telah ada lebih dari 1 bulan. Untuk pasien yang gejalanya ada, tetapi kurang
dari 1 bulan, diagnosis yang sesuai adalah gangguan stres akut. Kriteria diagnostik DSM-IVTR PTSD memungkinkan klinisi merinci apakah gangguan tersebut akut (jika gejala kurang
dari 3 bulan) atau kronis (jika gejala telah ada selama 3 bulan atau lebih). DSM-IV-TR juga
memungkinkan klinisi merinci bahwa gangguan tersebut dengan awitan yang tertunda jika
awitan gejala 6 bulan atau lebih setelah peristiwa yang memberikan stres.
GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis utama PTSD adalah mengalami kembali suatu peristiwa yang menyakitkan,
suatu pola menghindari dan mematikan emosi, serta keadaan terus terjaga yang cukup
konstan. Gangguan ini dapat tidak timbul sampai berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun
setelah peristiwa tersebut. Pemeriksaan status mental sering mengungkapkan rasa bersalah,
penolakan, dan cemoohan. Pasien juga dapat menggambarkan keadaan disodiatif dan
serangan panik, serta ilusi dan halusinasi dapat timbul. Uji kognitif dapat menunjukkan
bahwa pasien memiliki hendaya memori dan perhatian. Gejala terkait dapat mencakup agresi,
kekerasan, kendali impuls yang buruk, depresi, dan gangguan terkait zat. Pasien memiliki
peningkatan skor Sc, D, F, dan Ps pada Minnesota Multiphasic Personality Inventory, dan
temuan uji Roscharch sering mencakup hal-hal yang agresif dan kasar.
Gangguan Stres Pascatrauma pada Anak dan Remaja
PTSD terdapat pada anak dan remaja, tetapi sebagian besar studi gangguan ini telah berpusat
pada orang dewasa. DSM-IV-TR hanya mengemukakan sedikit mengenai PTSD pada anak
yang masih kecil, kecuali dengan menggambarkan gejala seperti mimpi berulang mengenai
peristiwa tersebut, mimpi buruk tentang monster, serta timbulnya gejala fisik seperti sakit
perut dan sakit kepala.
Tingginya angka PTSD belum didokumentasikan pada anak yang terpajan peristiwa
yang mengancam jiwa seperti peperangan dan trauma terkait perang lain, penculikan,
penyakit berat atau terbakar, transplantasi sumsum tulang, dan sejumlah bencana alam buatan
dan manusia. Studi pada korban yang masih muda atau saksi penyerangan kriminal,
kekerasan rumah tangga, dan kekerasan masyarakat mengungkapkan morbiditas psikiatri
yang tinggi setelah pajanan terhadap kekerasan tersebut. Seperti yang mungkin diperkirakan,
prevalensi PTSD lebih tinggi pada anak daripada orang dewasa yang terpajan stresor yang
sama. Pada situasi tertentu, hingga 90 persen anak akan mengalami gangguan tersebut.
Umumnya, PTSD diremehkan pada anak dan remaja.
Faktor risiko anak mencakup faktor demografik (cth., usia, jenis kelamin, status
sosioekonomi), peristiwa hidup lain (positif dan negatif), kognisi sosial dan budaya,
komorbiditas psikiatri, strategi koping yang diturunkan. Faktor keluarga (cth., psikopatologi
dan fungsi orang tua, status perkawinan, dan edukasi) memerankan peran kunci dalam
menentukan gejala pada anak. respons orang tua terhadap peristiwa traumatik terutama
memengaruhi anak yang masih kecil yang belum benar-benar mengerti sifat trauma atau
bahaya yang terkandung.
Stresor. Stresor pada anak dapat mendadak, berupa trauma peristiwa tunggal yang mendadak
atau trauma kronis atau terus menerus seperti penyiksaan fisik atau seksual. Anak juga
menderita akibat pajanan “tidak langsung”—yaitu, kematian atau cedera orang yang dicintai
yang tidak disaksikan, seperti pada situasi bencana, perang, atau kekerasan masyarakat.
Menghidupkan dan Mengalami Kembali Peristiwa. Anak seperti orang dewasa,
mengalami kembali peristiwa traumatik dalam bentuk pikiran atau ingatan, kilas balik, dan
mimpi yang mengganggu serta menimbulkan distres. Mimpi buruk pada anak secara khusus
dapat terkait dengan tema trauma atau dapat menjadi umum sebagai rasa takut lainnya. Kilas
balik terjadi pada anak dan sesama korban remaja maupun dewasa. “Sandiwara traumatik”,
suatu bentuk khusus mengalami kembali yang terlihat pada anak yang masih kecil, terdiri atas
memerankan berulang trauma atau tema yang terkait trauma di dalam permainan. Anak yang
lebih tua dapat menggabungkan aspek trauma ke dalam hidup mereka di dalam suatu proses
yang disebut menghidupkan kembali (reenactment). Tindakan khayalan mengenai intervensi
atau balas dendam lazim ada; remaja harus dipertimbangkan memiliki peningkatan risiko
untuk bertindak impulsif akibat kemarahan dan khayalan balas dendam. Perilaku terkait pada
anak dan remaja korban trauma mencakup memainkan peran seksual, penggunaan zat, dan
kenakalan remaja. Anak sering menarik diri dan menunjukkan kurangnya minat pada
aktivitas yang sebelumnya menyenangkan. Perilaku regresif seperti enuresis atau takut tidur
sendiri juga dapat terjadi.
Sindrom Perang Teluk
Pada Perang Teluk Persia melawan Irak, yang dimulai tahun 1990 dan berakhir pada tahun
1991, sekitar 700.000 tentara Amerika bertugas di kekuatan koalisi. Walaupun angka
morbiditas dan mortalitas minimal jika dibandingkan dengan perang sebelumnya, saat
mereka kembali, lebih dari 100.000 veteran melaporkan sejumlah besar masalah kesehatan,
termasuk iritabilitas, rasa lelah kronis, nafas pendek, nyeri sendi dan otot, sakit kepala
migrain, gangguan pencernaan, ruam kulit, rambut rontok, sering lupa, dan sulit
berkonsentrasi. Jika digabungkan, gejala-gejala ini disebut sindrom Perang Teluk, tetapi tidak
ada agen pemerintah yang mengidentifikasi penyebab gejala ini. Banyak veteran yakin bahwa
gangguan mereka disebabkan oleh pajanan terhadap agen biologis dan kimia seperti asap dari
sumur minyak yang terbakar dan kandungan tanah atau mustard dan gas saraf lainnya.
Departemen Pertahanan Amerika Serikat memahami bahwa hingga 20.000 pasukan yang
bertugas di area perang mungkin terpajan senjata kimia, tetapi menyangkal bahwa mereka
yang mengeluhjkan sindrom ini menderita akibat pengaruh pajanan kimia. Bukti terbaik
menunjukkan bahwa keadaan ini adalah suatu gangguan yang pada sejumlah kasus dapat
dicetuskan oleh pajanan terhadap toksin yang tidak diketahui. Satu studi pada hilangnya
ingatan menemukan adanya perubahan struktural lobus parietal kanan pada 18 orang laki-laki
dengan sindrom Perang Teluk dengan menggunakan magnetic resonance spectroscopy
(MRS). Kelainan otak tersebut diketahui berhubungan dengan gejala klinis tertentu. Data
baru menunjukkan bahwa kerusakan ganglia basalis dan disfungsi neurotransmiter
selanjutnya pada veteran Perang teluk dapat memberikan dasar neurologis sindrom ini.
Penyebabnya juga telah dikaitkan dengan stres psikologis akibat berada di daerah perang.
Sejumlah studi telah menemukan angka keluhan fisik dan penderitaan psikologis yang
lebih tinggi pada veteran yang telah ditugaskan di daerah teluk Persia dibandingkan dengan
mereka yang bertugas di Jerman atau Amerika selama perang ini, bahkan setelah
mengendalikan efek demografik. Meskipun demikian, hal ini juga dapat disebabkan oleh
toksin di daerah tersebut dan bukan hanya karena stres. PTSD (dan gejala terkait) adalah
keadaan yang terdokumentasi dengan baik yang terjadi di masa perang. PTSD pertama kali
diidentifikasi setelah perang Sipil dan telah dicatat di setiap perang setelah itu, walaupun
dengan nama berbeda. Namun, banyak studi pada veteran Perang Teluk menemukan angka
PTSD yang lebih rendah daripada mereka yang ditemukan di antara veteran dari perang
sebelumnya, yang dapat memberikan dukungan terhadap sindrom terpisah. Meskipun
demikian, serupa dengan sejumlah pasien ternyata memiliki gangguan mood dan ansietas
yang dapat diobati tetapi tidak didiagnosis karena gejala mereka terutama somatik.
Penyiksaan
Siksaan fisik yang psikologis yang disengaja terhadap seseorang oleh yang lain dapat
memiliki efek yang merusak emosi yang serupa dengan dan mungkin lebih buruk daripada
efek yang terlihat akibat perang dan beberapa jenis trauma lain. Seperti yang didefinisikan
Perserikatan Bangsa Bangsa, penyiksaan adalah setiap pencederaan secara sengaja berupa
sakit mental yang berat atau penderitaan, biasanya melalui perlakuan atau hukuman yang
kejam, tanpa perikemanusiaan, atau mempermalukan. Definisi yang luas ini mencakup
berbagai bentuk kekerasan interpersonal, dari penyiksaan rumah tangga yang berlangsung
lama hingga pembunuhan suatu golongan atau bangsa dalamskala luas. Menurut Amnesty
International, penyiksaan lazim terjadi dan tersebar luas di sebagian besar dari 150 negara di
seluruh dunia tempat pelanggaran terhadap hak asasi manusia didokumentasikan. Gambaran
terkini memperkirakan bahwa di antara 5 dan 35 persen dari 14 juta pengungsi dunia
sedikitnya memiliki satu pengalaman penyiksaan; angka ini tidak memperhitungkan akibat
kericuhan politik, regional, dan agama terkini di Eropa Timur, Yugoslavia lama, dan Timur
Tengah.
Penyiksaan berbeda dengan sebagian besar jenis trauma lain karena penyiksaan
dilakukan oleh manusia dan secara sengaja. Seseorang yang bekerja untuk dirinya atau untuk
otoritas yang lebih tinggi dapat menyiksa orang lain untuk menghukum, meminta ganti rugi,
atau memperoleh imformasi dari korban. Metodenya dapat fisik, sontohnya dalam bentuk
pemukulan, membakar kulit, kejut listrik, atau membuat asfiksia; maupun psikologis, melalui
ancaman, dipermalukan, atau dipaksa melihat orang lain, seringnya orang yang dicintai,
disiksa. Satu metode penyiksaan yang khas dan dapat menggabungkan aspek fisik dan
psikologis adalah pencucian otak. Walaupun banyak bentuk penyiksaan dapat meninggalkan
luka fisik yang sulit hilang yang dapat menjadi pengingat trauma, tampaknya tujuan
sebenarnya adalah efek psikologis—penyiksa mencetuskan rasa takut, tidak berdaya, dan
akhirnya, kelemahan fisik dan jiwa pada korban. Angka prevalensi PTSD yang dilaporkan di
antara orang yang selamat dari penyiksaan adalah sekitar 36 persen, jauh lebih tinggi
daripada rerata prevalensi seumur hidup, dan peneliti setuju bahwa keparahan dan durasi
PTSD dapat lebih besar ketika stresornya berasal dari manusia. Sejumlah studi juga
mengungkapkan komorbiditas penting bersamaan dengan depresi dan gangguan ansietas pada
korban penyiksaan. Keluhan psikologis yang lazim lainnya mencakup somatisasi, gejala
obsesif kompulsif, kemarahan-permusuhan, gfobia, gagasan paranoid, dan episode psikotik.
Metode terapi untuk orang yang selamat dari penyiksaan sama dengan metode terapi
untuk gejala dan gangguan pascatrauma lain tetapi klinisi harus sangat sensitif terhadap
rangkaian peristiwa hidup penuh tekanan yang dialami korban penyiksaan. Banyak orang
selamat yang datang untuk terapi merupakan pengungsi dan menghadapi stresor pascatrauma
baru di luar efek penyiksaan, seperti perpisahan dari keluarga, kesulitan mencari pekerjaan,
kesulitan memperoleh pelayanan kesehatan, hambatan bahasa, kesepian, kemiskinan, dan
diskriminasi ras. Keyakinan religius, esukasi politik dan komitmen, dukungan sosial yang
kuat, serta kesiapan mental terhadap kemungkinan penyiksaan tampak berperan sebagai
faktor pelindung timbulnya PTSD dan akibat psikologis lain setelah penyiksaan. Lebih lagi,
faktor religius dan budaya yang memengaruhi gaya adaptasi juga dapat memengaruhi respons
terapi pada orang yang selamat dari penyiksaan.
Pencucian Otak
Pencucian otak pertama kali dilakukan oleh Komunis Cina terhadap tawanan Amerika Serikat
selama Perang Korea, berupa pembentukan syok budaya yang disengaja. Suatu keadaan
isolasi, pengasingan, dan intimidasi dikembangkan untuk mengekspresikan tujuan menyerang
kekuatan ego dan menjadikan orang yang dicuci otaknya rentan terhadap peletakan gagasan
dan perilaku asing yang biasanya akan mereka tolak. Pencucian otak bertumpu pada
pemaksaan fisik dan jiwa. Semua orang rentan terhadap pencucian otak jika mereka terpajan
hal tersebut dalam waktu cukup lama, jika mereka sendiri dan tanpa dukungan, dan jika
mereka tanpa harapan dapat melarikan diri dari situasi tersebut. Permanen atau tidaknya
pengaruh psikologis bergantung pada kekuatan sifat individu dan sistem perawatan jiwa,
dalam bentuk pembebasan dari pencucian otak, biasanya diperlukan untuk membantu orang
yang telah dicuci otaknya untuk menyesuaikan kembali setelah pengalaman pencucian otak
dengan lingkungannya yang biasa. Terapi dukungan ditawarkan dengan penekanan pada
edukasi kembali, pemulihan kekuatan ego yang ada sebelum trauma, dan pengurangan rasa
bersalah dan depresi yang merupakan sisa pengalaman menakutkan dan hilangnya
kepercayaan serta kebingungan identitas akibat trauma tersebut.
Terorisme
Aktivitas teroris pada tanggal 11 September 2001, saat dihancurkan dan dirusaknya World
Trade Center di kota New York dan Pentagon di Washington DC, mengakibatkan lebih dari
3.500 jiwa meninggal dan cedara, membuat trauma suatu negara yang banyak warganya
memerlukan intervensi terapeutik. Sebuah survei pada lebih dari 500 orang dewasa Amerika
yang dilakukan kurang dari 1 bulan setelah peristiwa untuk mengkaji reaksi mereka serta
reaksi anak mereka terhadap serangan teroris menemukan hal berikut ini:
Empatpuluh lima persen orang dewasa melaporkan satu atau lebih gejala stres yang mendasar, seperti
pengingatan kembali peristiwa yang membuat penderitaan tersebut, insomnia, mimpi buruk, rasa takut, dan
iritabilitas, disamping gejala lain. Sembilanpuluh persen dari mereka yang diwawancarai melaporkan derajat
gejala ringan. Kerentanan terhadap gejala ditemukan pada perempuan, bukan kulit putih, memiliki penyakit
psikologis sebelumnya, dan dekat dengan tempat bencana. Sebagian besar orang dewasa berespons terhadap
serangan dengan membicarakan perasaan mereka dengan orang lain, mendatangi tempat pelayanan religius, dan
mendonasikan hadiah amal. Lebih dari 80 persen orang tua melaporkan bahwa anak mereka memiliki satu atau
lebih gejala. Satu temuan yang menarik adalah tingkat stres berkaitan dengan seberapa jauh mereka menonton
televisi mengenai bencana tersebut.
Pada survei yang lebih belakangan pada penduduk Manhattan yang dilakukan 5
hingga 8 minggu setelah jatuhnya World Trade Center dipublikasikan di New England
Journal of MedicineI pada tahun 2002, survei ini menemukan bahwa 9,8 persen—atau sekitar
90.000 orang—memiliki PTSD atau depresi klinis. Sebanyak 3,7 persen lainnya—atau
perkisaan 340.000 orang—memenuhi kriteria diagnostik kedua diagnosis tersebut. Angka
yang lebih tinggi untuk kedua gangguan ditemukan pada orang yang tinggal dekat dengan
tempat kejadian, menderita peristiwa penuh tekanan lainnya selama 12 bulan sebelumnya,
atau memiliki pengalaman panik hebat selama atau segera setelah serangan. Angka kedua
gangguan lebih tinggi pada responden Hispanik dibandingkan responden kulit putih, hitam,
atau Asia, dan lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Di antara orang-orang
dengan tingkat penghasilan lebih tinggi, insiden ini lebih rendah untuk gangguan tersebut.
Akhirnya, satu studi yang dilakukan pada lebih dari 8.000 anak berusia 10 hingga 13
tahun yang tinggal di New York saat serangan teroris menemukan bahwa 11 persen dari
mereka memiliki gejala yang sesuai dengan diagnosis PTSD 9 bulan setelah peristiwa.
Limabelas persen lainnya memiliki gejala agorafobia (cth., takut naik alat transportasi
umum). serupa dengan demografi pada dewasa yang dijelaskan di atas, siswa Hispanik dan
anak perempuan terkena dalam proporsi yang lebih besar, seperti mereka yang terpajan
peristiwa traumatik yang tidak berkaitan sebelumnya.
DIAGNOSIS BANDING
Pertimbangan utama dalam diagnosis PTSD adalah kemungkinan bahwa pasien juga
menderita cedera kepala selama trauma. Pertimbangan organik lain yang dapat menyebabkan
dan memperberat gejala adalah epilepsi, gangguan penggunaan alkohol, dan gangguan terkait
zat lain. Intoksikasi akut atau putus zat juga dapat menunjukkan gambaran klinis yang sulit
dibedakan dengan gangguan ini sampai efek zat hilang.
PTSD lazim salah didiagnosis sebagai gangguan jiwa lain dan kemudian diobati
dengan tidak sesuai. Klinisi harus mempertimbangkan diagnosis PTSD pada pasien yang
memiliki gangguan nyeri, penyalahgunaan zat, gangguan ansietas lain, dan gangguan mood.
Pada umumnya, PTSD dapat dibedakan dengan gangguan jiwa lain dengan mewawancarai
pasien mengenai pengalaman traumatik sebelumnya dan dengan sifat gejala saat ini.
Gangguan kepribadian ambang, gangguan disosiatif, gangguan buatan, dan malingering, juga
harus dipertimbangkan. Gangguan kepribadian ambang dapat sulit dibedakan dengan PTSD.
Kedua gangguan ini dapat ada bersamaan atau bahkan penyebabnya dapat berkaitan. Pasien
dengan gangguan disosiatif biasanya tidak memiliki derajat perilaku menghindar,
hyperarousal autonom, atau riwayat trauma yang dimiliki pasien PTSD. Sebagian karena
publisitas yang didapat PTSD, klinisi juga harus mempertimbangkan kemungkinan gangguan
buatan dan malingering.
PERJALANAN GANGGUAN DAN PROGNOSIS
PTSD biasanya timbul beberapa waktu setelah trauma. Penundaan dapat selama 1 minggu
atau hingga 30 tahun. Gejala dapat berfluktuasi dari waktu ke waktu dan menjadi paling
intens selama periode stres. Jika tidak diobati, sekitar 30 persen pasien akan pulih sempurna,
40 persen akan terus memiliki gejala ringan, 20 persen akan terus memiliki gejala sedang,
dan 10 persen tetap tidak berubah atau bertambah buruk. Setelah satu tahun, sekitar 50 persen
akan pulih. Prognosis yang baik diperkirakan dengan adanya awitan gejala cepat, durasi
gejala singkat (kurang dari 6 bulan), fungsi pramorbid baik, dukungan sosial baik, dan tidak
adanya gangguan psikiatri, medis, atau gangguan terkait zat lain atau faktor risiko lain.\
Umumnya, orang yang sangat muda dan sangat tua lebih memiliki kesulitan dengan
peristiwa traumatik daripada orang usia pertengahan. Contohnya, sekitar 80 persen anak yang
masih kecil yang mengalami cedera terbakar menunjukkan gejala PTSD 1 atau 2 tahun
setelah cedera awal; hanya 30 persen orang dewasa yang menderita cedera yang sama
mengalami PTSD setelah 1 tahun. Kemungkinan, anak yang masih kecil belum memiliki
mekanisme koping ynag adekuat untuk menghadapi akibat buruk emosional dan fisik trauma.
Sama halnya dengan orang yang sudah tua, yang bila dibandingkan dengan orang dewasa
yang lebih muda, cenderung memiliki mekanisme koping yang lebih kaku dan kurang dapat
menggunakan pendekatan fleksibel dalam menghadapi efek trauma. Lebih jauh lagi, efek
traumatik dapat diperberat ketidakmampuan sistem saraf dan sistem kardiovaskular, seperti
berkurangnya aliran darah otak, gangguan penglihatan, palpitasi dan aritmia.
Ketidakmampuan psikiatri yang sebelumnya ada, baik gangguan kepribadian atau suatu
keadaan yang lebih serius, juga meningkatkan efek stresor tertentu. PTSD yang terjadi
bersamaan dengan gangguan lain sering lebih berat, dapat lebih kronis, dan dapat sulit
diobati. Ketersediaan dukungan sosial juga dapat memengaruhi timbulnya, keparahan, dan
durasi PTSD. Umumnya, pasien yang memiliki jaringan dukungan sosial yang baik lebih
kecil kemungkinannya memiliki gangguan ini dan lebih jarang mengalami PTSD dalam
bentuk yang berat, serta lebih besar kemungkinannya pulih dalam waktu yang lebih singkat.
TERAPI
Ketika klinisi menghadapi pasien yang telah mengalami trauma bermakna, pendekatan
utamanya adalah dukungan, dorongan untuk mendiskusikan peristiwa tersebut, dan edukasi
mengenai berbagai mekanisme koping (contohnya relaksasi). Penggunaan sedatif dan
hipnotik juga dapat membantu. Ketika pasien mengalami peristiwa traumatik di masa lalu
dan sekarang memiliki PTSD, penekanan harus pada edukasi mengenai gangguan dan
terapinya, baik farmakologis maupun psikoterapeutik. Klinisi juga harus bekerja untuk
menghilangkan stigma pada penyakit jiwa dan PTSD.
Farmakoterapi
Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI), seperti sertralin (Zoloft) dan paroksetin (Paxil)
dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama untuk PTSD karena efektivitas, tolerabilitas, dan
tingkat keamanannya. SSRI mengurangi gejala semua kelompok gejala PTSD dan efektif
dalam memperbaiki gejala PTSD yang khas, tidak hanya gejala yang serupa dengan depresi
atau gangguan ansietas lain.
Efektivitas imipramin (Tofranil) dan amitriptilin (Elavil), dua obat trisiklik, untuk
terapi PTSD didukung oleh sejumlah percobaan klinis yang terkontrol baik. walalupun
beberapa percobaan kedua obat tersebut memberikan temuan negatif, sebagian besar
percobaan ini memiliki kecacatan desain yang serius, termasuk durasi yang terlalu isngkat.
Dosis imipramin dan amitriptilin harus sama dengan dosis yang digunakan untuk mengobati
gangguan depresif, dan lama minimum suatu percobaan yang adekuat adalah 8 minggu.
Pasien yang memberikan respons baik mungkin harus meneruskan farmakoterapi sedikitnya
satu tahun sebelum dicoba penghentian obat. Sejumlah studi menunjukkan bahwa
farmakoterapi lebih efektif dalam tatalaksana depresi, ansietas, dan hyperarousal, daripada
tatalaksana penghindaran, penyangkalan, dan penumpulan emosional.
Obat lain yang dapat berguna dalam terapi PTSD adalah monoamine oxidase
inhibitors (MAOI) (cth., fenelzin [Nardil], trazodon [Desyrel], dan antikonvulsan (contohnya
karbamazepin (Tegretol) dan valproat [Depakenel]). Sejumlah studi juga mengungkapkan
perbaikan PTSD pada pasien yang diberikan reversible monoamine oxidase inhibitors
(RIMA) seperti brofaromin. Penggunaan klonin (Catapres) dan propranolol (Inderal), yang
merupakan agen antiadrenergik pada gangguan ini. Hampir tidak ada data positif mengenai
penggunaan antipsikotik pada gangguan ini sehingga penggunaan obat ini—contohnya
haloperidol (Haldol)—harus dicadangkan untuk kontrol jangka pendek agresi dan agitasi
berat.
Psikoterapi
Psikoterapi psikodinamik dapat berguna dalam terapi pada banyak pasien PTSD. Di sejumlah
kasus, rekonstruksi peristiwa traumatik dengan abreaksi dan katarsis terkait dapat bersifat
terapeutik, tetapi psikoterapi harus diindividualisasi, karena mengalami kembali trauma dapat
terlalu berat untuk sejumlah pasien.
Intervensi psikoterapeutik PTSD mencakup terapi perilaku, terapi kognitif, dan
hipnosis. Banyak klinisi menyarankan psikoterapi terbatas waktu untuk korban trauma.
Terapi seperti ini biasanya memerlukan pendekatan kognitif dan juga memberikan dukungan
serta keamanan. Sifat psikoterapi jangka pendek meminimalkan risiko ketergantungan dan
menjadi kronis, tetapi masalah kecurigaan, paranoid, dan kepercayaan sering memberi
pengaruh buruk terhadap kepatuhan. Terapis harus menghadapi penyangkalan pasien
mengenai peristiwa traumatik, menyarankan mereka bersantai, dan menjauhkan mereka dari
sumber stres. Pasien harus disarankan tidur, menggunakan obat jika perlu. Dukungan dari
orang di lingkungan mereka (seperti teman dan kerabat) harus diberikan. Pasien harus
diminta mengingat kembali dan melakukan abreaksi perasaan emosional yang berkaitan
dengan peristiwa traumatik dan merencanakan pemulihan masa mendatang. Abreaksi—
mengalami emosi yang berkaitan dengan suatu peristiwa—dapat membantu bagi sejumlah
pasien. Wawancara dengan amobarbital (Amytal) telah digunakan untuk mempermudah
proses ini.
Psikoterapi setelah peristiwa traumatik harus mengikuti model intervensi krisis
dengan dukungan edukasi, dan pembentukan mekanisme koping serta penerimaan peristiwa.
Ketika timbul PTSD, dua pendekatan psikoterapeutik utama dapat diambil. Pendekatan
pertama adalah pajanan terhadap peristiwa traumatik melalui teknik membayangkan atau
pajanan in vivo. Pajanan ini dapat intens seperti pada terapi implosif, atau bertahap seperti
pada desensitisasi sistematik. Pendekatan kedua adalah mengajari pasien metode
penatalaksanaan stres, termasuk teknik relaksasi dan pendekatan kognitif untuk menghadapi
stres. Sejumlah data pendahuluan menunjukkan bahwa walaupun teknik penatalaksanaan
stres efektif lebih cepat daripada teknik pemakanan, hasil teknik pemajanan lebih bertahan
lama.
Teknik psikoterapeutik lainnya yang relatif baru dan kontroversial adala eye
movement desesitization and reprocessing (EMDR), di sini pasien berfokus pada gerakan
lateral jari klinisi sambil mempertahankan bayangan mental tentang pengalaman trauma.
Keyakinan umum adalah bahwa gejala dapat dipulihkan jika pasien mengingat peristiwa
traumatik sambil berada dalam keadaan relaksasi dalam. Penggagas terapi ini mengatakan
terapi ini sama efektif dan mungkin lebih efektif daripada terapi PTSD laind an lebih disukai
klinisi maupun pasien yang telah mencobanya.
Di samping teknik terapi individual, terapi kelompok dan terapi keluarga sering
dilaporkan efektif pada kasus PTSD. Keuntungan terapi kelompok mencakup saling berbagi
pengalaman traumatik dan dukungan dari anggota kelompok lain. Terapi kelompok terutama
berhasil pada veteran Vietnam dan orang yang selamat dari bencana menakutkan seperti
gempa bumi. Terapi keluarga sering membantu mempertahankan perkawinan saat periode
gejala memberat. Rawat inap dapat diperlukan jika gejala berat atau jika terdapat risiko
bunuh diri maupun kekerasan lain.
Download