BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Jaminan Kesehatan Nasional
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia merupakan
bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasioal (SJSN). Sistem Jaminan Sosial Nasional ini
diselenggarakan melalui mekanisme Asuransi Kesehatan Sosial yang bersifat wajib
(mandatory) berdasarkan Undang-Undang No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional. Tujuannya adalah agar semua penduduk Indonesia terlindungi dalam
sistem asuransi, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan
masyarakat yang layak (Kemenkes RI, 2013).
2.1.1
Prinsip-prinsip Jaminan Kesehatan Nasional
Jaminan Kesehatan Nasional mengacu pada prinsip-prinsip (SJSN) berikut:
1. Prinsip Kegotongroyongan
Gotong royong merupakan salah satu prinsip dalam kehidupan di masyarakat.
Dalam SJSN, prinsip gotong royong berarti peserta yang mampu dapat membantu
peserta yang kurang mampu, peserta yang sehat membantu yang sakit atau disebut
dengan subsidi silang (BPJS Kesehatan, 2014). Hal tersebut terwujud karena
kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional bersifat wajib untuk seluruh penduduk di
Indonesia (Thabrany, 2009).
2. Prinsip Nirlaba
Di era Jaminan Kesehatan Nasional ini menerapkan prinsip nirlaba yang
merupakan sesuatu yang tidak untuk memberikan keuntungan kepada sebagian orang
(Thabrany, 2009). Pengelolaan dana amanat oleh (BPJS) bertujuan untuk memenuhi
kepentingan peserta (BPJS Kesehatan, 2014).
3. Prinsip Keterbukaan, Kehati-hatian, Akuntabilitas, Efisiensi dan Efektivitas.
Prinsip manajemen ini mendasari seluruh kegiatan pengelolaan dana yang
berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangannya. Penyelenggaraannya juga
harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari kesalahan dan dapat
dipertanggungjawabkan oleh Negara.
4. Prinsip Portabilitas
Prinsip portabilitas merupakan prinsip yang memberikan jaminan yang
berkelanjutan kepada peserta sekalipun mereka berpindah pekerjaan atau tempat
tinggal dalam wilayah Indonesia.
5. Prinsip Kepesertaan bersifat wajib
Kepesertaan bersifat wajib agar seluruh rakyat Indonesia menjadi peserta BPJS
Kesehatan sehingga dapat terlindungi. Meskipun penerapannya bersifat wajib,
namun tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan pemerintah serta
kelayakan penyelenggaraan program. Tahapan pertama dimulai dari pekerja di
sektor formal, bersamaan dengan itu sektor informal dapat menjadi peserta secara
mandiri, sehingga pada akhirnya (SJSN) dapat mencakup seluruh rakyat.
6. Prinsip Dana Amanat
Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan dana titipan kepada badanbadan penyelenggara untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan
dana tersebut untuk kesejahteraan peserta.
7. Prinsip Hasil Pengelolaan Dana Jaminan Sosial
Prinsip ini digunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk
kepentingan peserta.
2.1.2
Kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional
Kepesertaan JKN merupakan setiap orang termasuk warga asing yang bekerja
paling singkat selama enam bulan di Indonesia yang telah membayar iuran (Kemenkes
RI, 2013).
Kepesertaan dalam Jaminan Kesehatan Nasional meliputi:
1. Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan meliputi orang yang
tergolong fakir miskin dan orang yang tidak mampu.
2. Peserta bukan Penerima Bantuan Iuran (PBI) adalah orang yang tidak tergolong
fakir miskin dan orang tidak mampu yang terdiri dari:
a. Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya yaitu:
1) Pegawai Negeri Sipil;
2) Anggota TNI;
3) Anggota Polri;
4) Pejabat Negara;
5) Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri;
6) Pegawai Swasta; dan
7) Pekerja yang tidak termasuk angka (1) sampai angka (6) yang menerima
Upah.
b. Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya yaitu:
1) Pekerja di luar hubungan kerja atau Pekerja mandiri;
2) Pekerja yang tidak termasuk angka (1) yang bukan penerima Upah;
3) Pekerja sebagaimana dimaksud angka (1) dan angka (2), termasuk warga
Negara Asing yang bekerja di Indonesia paling singkat enam bulan.
c. Bukan Pekerja dan anggota keluarganya terdiri dari:
1) Investor;
2) Pemberi Kerja;
3) Penerima Pensiun;
4) Veteran;
5) Perintis Kemerdekaan; dan
6) Bukan Pekerja yang tidak termasuk angka (1) sampai dengan angka (5)
yang mampu membayar Iuran.
d. Penerima pensiun terdiri dari:
1) Pegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak pensiun;
2) Anggota TNI dan anggota Polri yang berhenti dengan hak pensiun;
3) Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pensiun;
4) Penerima Pensiunan selain angka (1), (2) dan (3); dan
5) Janda, duda atau anak yatim piatu dari penerima pensiun sebagaimana
dimaksud pada angka (1) sampai dengan angka (4) yang mendapat hak
pensiun.
Anggota keluarga bagi pekerja penerima upah meliputi:
1. Istri atau suami yang sah dari peserta; dan
2. Anak kandung, anak tiri dan/atau anak angkat yang sah dari peserta, dengan
kriteria sebagai berikut:
a. Tidak atau belum pernah menikah atau tidak mempunyai penghasilan
sendiri; dan
b. Belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum berusia 25 (dua puluh
lima) tahun yang masih melanjutkan pendidikan formal.
Sedangkan peserta bukan PBI JKN juga dapat mengikutsertakan anggota keluarga
yang lain. Pendaftaran peserta dapat dilakukan di kantor BPJS Kesehatan wilayah
setempat atau terdekat. Adapun hak-hak yang didapatkan oleh peserta JKN yaitu:
1. Memperoleh identitas peserta yang berisi identitas nama serta nomor identitas
peserta.
2. Memperoleh manfaat pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan yang bekerja
sama dengan BPJS Kesehatan.
Sedangkan kewajiban yang harus dipenuhi oleh peserta JKN yaitu:
1. Membayar iuran.
2. Melaporkan data kepesertaan kepada BPJS kesehatan dengan menunjukkan
identitas peserta pada saat pindah domisili atau pindah kerja.
2.1.3
Pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional
1. Iuran
Iuran jaminan kesehatan adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur
oleh peserta, pemberi kerja dan/atau pemerintah untuk program jaminan kesehatan
(Kemenkes RI, 2013).
2. Pembayaran iuran
Pembayaran iuran untuk peserta yaitu sebagai berikut:
a. Bagi peserta PBI, iuran dibayar oleh pemerintah
b. Bagi peserta pekerja penerima upah, iurannya dibayar oleh pemberi kerja dan
pekerja
c. Bagi peserta pekerja bukan penerima upah dan peserta bukan pekerja iuran
dibayar oleh peserta yang bersangkutan
d. Besarnya iuran jaminan kesehatan nasional ditetapkan melalui peraturan
presiden dan ditinjau ulang secara berkala sesuai dengan perkembangan
sosial, ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak.
Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran
peserta yang menjadi tanggung jawabnya dan membayarkan iuran tersebut setiap bulan
kepada BPJS Kesehatan secara berkala (paling lambat tanggal 10 setiap bulan). Apabila
tanggal 10 (sepuluh) jatuh pada hari libur, maka iuran dibayarkan pada hari kerja
berikutnya. Keterlambatan pembayaran iuran JKN dikenakan denda administratif
sebesar 2 % (dua persen) perbulan dari total iuran yang tertunggak dan dibayar oleh
pemberi kerja.
2.1.4
Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional
Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional terdiri atas dua jenis yaitu manfaat medis
berupa pelayanan kesehatan dan manfaat non medis meliputi akomodasi dan ambulans.
Ambulans hanya diberikan untuk pasien rujukan dari fasilitas kesehatan dengan kondisi
tertentu yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan.
Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional mencakup pelayanan promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai
dengan kebutuhan medis.
Manfaat pelayanan promotif dan preventif meliputi pemberian pelayanan:
1. Penyuluhan kesehatan perorangan
Penyuluhan mengenai pengelolaan faktor risiko penyakit dan perilaku hidup
bersih dan sehat.
2. Imunisasi dasar
Imunisasi yang meliputi Baccile Calmett Guerin (BCG), Difteri Pertussis
Tetanus dan Hepatitis (DPTHB), polio dan campak
3. Keluarga berencana
Pelayanan yang meliputi konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi dan tubektomi
bekerja sama dengan lembaga yang membidangi keluarga berencana. Vaksin
untuk imunisasi dasar dan alat kontrasepsi dasar disediakan oleh pemerintah
dan/atau pemerintah daerah
4. Skrining kesehatan
Diberikan secara selektif yang ditujukan untuk mendeteksi risiko penyakit dan
mencegah dampak lanjutan dari risiko penyakit tertentu.
Namun ada manfaat yang tidak dijamin dalam JKN yaitu pelayanan di luar
fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, pelayanan yang
bertujuan kosmetik, tidak sesuai dengan prosedur, general check up, pengobatan
alternatif, pengobatan untuk mendapatkan keturunan, pengobatan impotensi, pasien
bunuh diri dan narkoba (BPJS Kesehatan, 2014).
2.2
Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di FKTP
Di Jaminan Kesehatan Nasional ini, pelayanan kesehatan akan lebih difokuskan
pada pelayanan kesehatan tingkat pertama. Hal itu untuk menekan tingginya pasien yang
berkunjung ke rumah sakit. Dalam hal ini tentunya mutu pelayanan kesehatan di FKTP
menjadi sangat penting. Mutu pelayanan kesehatan sangat ditentukan oleh fasilitas
kesehatan serta tenaga kesehatan yang berkualitas. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu
adanya peran organisasi profesi tenaga kesehatan yang memiliki peran menjaga
kompetensi anggotanya (BPJS Kesehatan, 2014).
Untuk tenaga kesehatan dokter, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang berperan
menyusun standar profesi bagi seluruh dokter. Standar yang harus dimiliki oleh dokter
yaitu Standar Kompetensi yang merupakan standar minimal yang dikuasai oleh setiap
dokter ketika selesai menempuh Pendidikan Kedokteran dan Standar Pelayanan
Kedokteran ketika berada di lokasi pelayanan yang terdiri dari Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran dan Standar Prosedur Operasional. Standar Pelayanan
Kedokteran yaitu implementasi dalam praktek yang mengacu pada Standar Kompetensi
Dokter Indonesia (SKDI). Untuk menjamin mutu pelayanan, setiap dokter wajib
mengikuti kegiatan Pendidikan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB)
dalam naungan IDI (Kemenkes RI, 2013).
Tingkat kemampuan dokter dalam pengelolaan penyakit yang ada di dalam SKDI
dapat dikelompokkan menjadi empat tingkatan yaitu :
1. Tingkat kemampuan 1 : mengenali dan menjelaskan
Setiap dokter mampu mengenali dan menjelaskan gambaran klinik penyakit,
mengetahui cara yang tepat untuk penanganan penyakit tersebut dan menentukan
rujukan yang tepat untuk pasien.
2. Tingkat kemampuan 2 : mendiagnosa dan merujuk
Setiap dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut dan
menentukan rujukan yang paling tepat untuk penanganan pasien.
3. Tingkat kemampuan 3 :mendiagnosa, melakukan penatalaksanaan awal dan
merujuk
a. Tingkat kemampuan 3A : Bukan gawat darurat
Setiap dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan yang tidak gawat darurat serta memberikan
rujukan yang tepat pada pasien.
b. Tingkat kemampuan 3B : Gawat darurat
Setiap dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan dalam keadaan gawat darurat untuk menyelamatkan nyawa
atau mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada pasien serta memberikan
rujukan yang tepat pada pasien.
4. Tingkat kemampuan 4 : mendiagosa, melakukan penatalaksanaan secara mandiri
dan tuntas
Setiap dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan
penyakit ersebut secara tuntas.
a. Tingkat kemampuan 4A yaitu kompetensi yang dicapai pada saat lulus
dokter.
b. Tingkat kemampuan 4B yaitu profisiensi (kemahiran) yang dicapai setelah
selesai internsip dan/atau Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB).
Dengan menekankan pada tingkat kemampuan 4 tersebut, diharapkan dokter
layanan primer dapat melaksanakan diagnosis dan menatalaksana penyakit dengan
tuntas. Namun jika pada pasien telah terjadi komplikasi atau adanya penyakit kronis lain
yang sulit, pasien dalam keadaan daya tahan tubuh yang menurun, maka dokter harus
membuat pertimbangan dan memutuskan dilakukan rujukan pada pasien tersebut. Untuk
itu diperlukan adanya panduan bagi dokter pelayanan primer yang merupakan bagian
dari standar pelayanan dokter pada pelayanan primer. Panduan tersebut akan menjadi
acuan bagi seluruh dokter pelayanan primer dalam menerapkan pelayanan yang bermutu
bagi masyarakat dan diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan sekaligus
menurunkan angka rujukan dengan cara sebagai berikut :
1. Memberi pelayanan sesuai bukti yang tepat dengan kondisi pasien;
2. Menyediakan fasilitas pelayanan sesuai dengan kebutuhan standar pelayanan;
3. Meningkatkan
mawas
diri
untuk
mengembangkan
pengetahuan
dan
keterampilan professional sesuai dengan kebutuhan pasien dan lingkungan;
4. Mempertajam kemampuan sebagai gate keeper pelayanan kedokteran dengan
menapis penyakit dalam tahap dini untuk dapat melakukan penatalaksanaan
dengan tepat pada pelayanan primer.
Tujuan dari adanya panduan ini yaitu untuk mewujudkan pelayanan kedokteran
yang sadar mutu sadar biaya yang dibutuhkan oleh masyarakat, memiliki pedoman baku
minimal dengan mengutamakan upaya maksimal sesuai kompetensi dan fasilitas yang
ada serta memiliki tolok ukur dalam melaksanakan jaminan mutu pelayanan. Namanama penyakit dalam pedoman ini yaitu penyakit dengan tingkat kemampuan dokter 4A,
3B dan 3A terpilih, dimana dokter diharapkan mampu mendiagnosis, memberikan
penatalaksanaan dan rujukan yang sesuai. Pemilihan penyakit pada panduan praktik
klinis ini berdasarkan kriteria berikut:
1. Penyakit yang prevalensinya cukup tinggi
2. Penyakit dengan risiko tinggi
3. Penyakit yang membutuhkan pembiayaan yang tinggi
Doker akan melakukan rujukan apabila memenuhi salah satu dari kriteria TACC (TimeAge-Complication-Comorbidity) berikut:
Time
: apabila perjalanan penyakit dapat digolongkan pada kondisi kronis.
Age
: apabila usia pasien masuk dalam kategori yang dikhawatirkan
meningkatkan risiko komplikasi serta risiko kondisi penyakit lebih berat.
Compication : apabila komplikasi yang ditemui dapat memperberat kondisi pasien.
Comorbidity : apabila terdapat keluhan atau gejala penyakit lain yang memperberat
kondisi pasien.
Berikut 155 diagnosis penyakit yang ditetapkan BPJS Kesehatan di fasilitas kesehatan
tingkat pertama yaitu :
Gambar 2.1 Daftar Penyakit yang Ditangani di FKTP
12
2.3
Sistem Rujukan Berjenjang
Sistem rujukan pelayanan kesehatan adalah penyelenggaraan pelayanan
kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan
secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal yang wajib dilaksanakan oleh
peserta jaminan kesehatan dan seluruh fasilitas kesehatan (Kemenkes RI, 2013).
Pelayanan sistem rujukan dapat memberikan kontribusi pada standar pelayanan medis
yang tinggi dengan membatasi upaya medis yang berlebihan dan adanya pembagian
tugas yang efisien antara dokter umum dengan dokter spesialis.
Pelayanan kesehatan perorangan terdiri dari tiga tingkatan yaitu:
1. Pelayanan kesehatan tingkat pertama
Pelayanan kesehatan tingkat pertama merupakan pelayanan kesehatan dasar
yang diberikan oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama seperti puskesmas,
klinik pratama dan praktik dokter peorangan.
2. Pelayanan kesehatan tingkat kedua
Pelayanan
kesehatan
tingkat
kedua
merupakan
pelayanan
kesehatan
spesialistik yang dilakukan oleh dokter spesialis yang menggunakan
pengetahuan dan teknologi spesialistik seperti Rumah Sakit Tipe C dan B.
3. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga
Pelayanan kesehatan tingkat ketiga merupakan pelayanan kesehatan sub
spesialistik yang dilakukan oleh dokter sub spesialis yang menggunakan
pengetahuan dan teknologi kesehatan sub spesialistik seperti Rumah Sakit Tipe
A atau Rumah Sakit Khusus.
13
Dalam menjalankan pelayanan kesehatan, fasilitas kesehatan tingkat pertama dan
tingkat lanjutan wajib melakukan sistem rujukan dengan mengacu pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pasien JKN yang ingin mendapatkan pelayanan
yang tidak sesuai dengan sistem rujukan dapat dimasukkan dalam kategori pelayanan
yang tidak sesuai dengan prosedur sehingga tidak dapat dibayarkan oleh BPJS
Kesehatan. Fasilitas kesehatan yang tidak menerapkan sistem rujukan maka BPJS
Kesehatan akan melakukan rekredensialing terhadap kinerja fasilitas kesehatan tersebut
dan dapat berdampak pada kelanjutan kerjasama. Sedangkan fasilitas kesehatan tingkat
pertama yang melakukan sistem rujukan sesuai dengan prosedur akan masuk dalam
penilaian QI-9 (Quality Indicator-9) terbaik yang dapat mengkuti kegiatan Regional dan
Nasional yang disebut dengan Jambore Pelayanan Primer (BPJS Kesehatan, 2014).
2.3.1
Alur Pelaksanaan Sistem Rujukan Berjenjang
Pelayanan rujukan dapat dilakukan secara horizontal maupun vertikal. Rujukan
horizontal merupakan rujukan yang dilakukan antar satu tingkatan sedangkan rujukan
vertikal yaitu rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan yang berbeda tingkatan
dari pelayanan yang tingkat rendah ke pelayanan tingkat tinggi. Rujukan vertikal
tersebut dilakukan apabila pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik atau
sub-spesialistik dan perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan
kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, alat dan ketenagaan.
14
Gambar 2.2 Alur Sistem Rujukan
Sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang sesuai
kebutuhan medisnya yaitu dimulai dari pasien berobat ke fasilitas kesehatan tingkat
pertama. Jika diperlukan pelayanan lanjutan oleh spesialis, maka pasien dapat dirujuk ke
rumah sakit.Pelayanan Rujuk Balik dilakukan jika pelayanan kesehatan yang diberikan
kepada
penderita
difasilitas
kesehatan
atas
rekomendasi/rujukan
dari
dokter
spesialis/sub-spesialis yang merawat. Setelah pasien ditangani di fasilitas lanjutan,
rumah sakit akan melakukan klaim ke BPJS Kesehatan.
Ketentuan pelayanan rujukan berjenjang dapat dikecualikan dalam kondisi seperti
(BPJS Kesehatan, 2014):
1. Terjadi keadaan gawat darurat;
Kondisi kegawat daruratan mengikuti ketentuan yang berlaku.
2. Bencana;
Kriteria bencana ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah.
3. Kekhususan permasalahan kesehatan pasien;
15
Untuk kasus yang sudah ditegakkan rencana terapinya dan terapi tersebut hanya
dapat dilakukan di fasilitas tingkat lanjutan.
4. Pertimbangan geografis; dan
5. Pertimbangan ketersediaan fasilitas.
2.4
Sistem Pembayaran Kapitasi
Sistem kapitasi merupakan pembayaran yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan
kepada FKTP secara pra-upaya berdasarkan kapitasi atas jumlah peserta yang terdaftar
di FKTP. Sistem kapitasi dibayar berdasarkan jumlah peserta terdaftar perbulan tanpa
memperhitungkan banyaknya kunjungan ke FKTP tersebut.
Manfaat dari penerapan sistem kapitasi (BPJS Kesehatan, 2014) yaitu:
1. Sistem serta beban administrasi pihak pengelola dana ataupun pemberi
pelayanan kesehatan akan lebih sederhana karena sistem pengadministrasinya
tidak terlalu rumit.
2. Insentif bagi pemberi pelayanan kesehatan relatif lebih stabil karena tidak
terlalu dipengaruhi oleh jumlah kunjungan pasien yang memerlukan pelayanan
kesehatan.
3. Untuk mencegah kerugian mendorong pemberi pelayanan kesehatan
memberikan pelayanan sebaik-baiknya sehingga biaya kesehatan lebih efektif
dan efisien.
2.5
Teori Simple Kellog Logic Model
Logic model merupakan salah satu cara untuk menjabarkan suatu program secara
lengkap dan lebih terperinci mulai dari komponen masukan (input) yang dimiliki oleh
16
suatu program, proses yang dilakukan serta dampak yang dihasilkan oleh suatu program
baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang serta keterkaitan antar komponenkomponen dari suatu program tersebut. Selain itu, penggunaan logic model tersebut juga
dapat membantu secara sistematika mulai dari tahapan perencanaan, pelaksanaan hingga
dengan evaluasi program (Kellog, 2004).
Komponen dasar logic model yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari
komponnen input, activities, output, outcome dan impact. Komponen input merupakan
sumber daya yang digunakan dalam suatu program untuk mencapai tujuan program
tersebut (Kellog, 2004). Komponen activities merupakan proses pelaksanaan dari suatu
program yang akan dilaksanakan (Kellog, 2004). Komponen output merupakan keluaran
langsung yang dihasilkan dari pelaksanaan program. Komponen outcome merupakan
perubahan spesifik yang terjadi dari pelaksanaan program tersebut (Kellog, 2004).
Komponen impact merupakan tujuan dari suatu program yang ingin dicapai dalam
waktu yang cukup lama (Kellog, 2004).
2.6
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Rujukan Rawat Jalan Di FKTP.
Menurut Departement of Health Education and Well Fare, USA yang dikutip
dalam Lapau (1997), menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi
penggunaan atau pemanfaatan pelayanan kesehatan yaitu :
1. Faktor Regional
2. Faktor dari sistem pelayanan kesehatan
a. Tipe dari organisasi seperti rumah sakit;
b. Kelengkapan program kesehatan;
c. Tersedianya fasilitas dan tenaga medis;
17
d. Teraturnya pelayanan;
e. Hubungan antara dokter/tenaga kesehatan lainnya dengan pasien;
f. Adanya asuransi.
3. Faktor adanya fasilitas kesehatan lainnya
4. Faktor dari konsumen yang menggunakan pemanfaatan pelayanan kesehatan
a. Faktor sosio demografis yang meliputi umur, jenis kelamin, status
perkawinan, besar keluarga serta agama;
b. Faktor sosio psikologis yang meliputi sikap/persepsi terhadap terhadap
pelayanan kesehatan;
c. Faktor ekonomis yang meliputi status sosio ekonomi pendidikan, pekerjaan
dan pendapatan;
d. Jarak dapat digunakan pelayanan kesehatan meliputi jarak antara rumah
pasien dengan tempat pelayanan kesehatan;
e. Kebutuhan yang meliputi morbidity dan gejala penyakit yang dirasakan
pasien.
Penelitian yang dilakukan oleh Zulkarnain dkk (2003) dalam jurnal manajemen
pelayanan kesehatan menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi rujukan rawat jalan
peserta Askes Sosial di Kabupaten Banyumas adalah (Zulkarnain, 2003):
1. Karakteristik peserta;
2. Persepsi kebutuhan medis;
3. Pemahaman kapitasi;
4. Persepsi risiko keuangan.
18
Hasil penelitian yang didapat dari variabel diatas faktor persepsi kebutuhan
medis, pemahaman kapitasi, persepsi risiko keuangan menyatakan adanya hubungan dan
pengaruh tingginya rasio rujukan kesehatan peserta Askes Sosial PT Askes di Kabupaten
Banyumas.
Penelitian yang dilakukan oleh Zuhrawardi terkait analisis pelaksanaan rujukan
rawat jalan tingkat pertama peserta wajib PT Askes pada tiga puskesmas di Kota Aceh
tahun 2007 yaitu sekitar 30-75 % rujukan adalah rujukan rawat jalan tingkat pertama di
dapatkan oleh pasien atas permintaannya/keluarga sendiri dan bukan atas indikasi medis.
Beberapa alasan yang dikemukakan oleh pasien ketika ditanya mengapa mereka
meminta rujukan diantaranya adalah para pasien merasa kecewa dengan obat-obatan
yang disediakan di puskesmas, peralatan medis di puskesmas tidak lengkap, jika berobat
ke rumah sakit memiliki kesempatan untuk diperiksa oleh dokter spesialis (Zuhrawardi,
2008).
Sedangkan penelitian terkait analisis pelaksanaan rujukan rawat jalan tingkat
pertama peserta Askes Sosial PT Askes kantor cabang Sukabumi tahun 2012 yang
dilakukan oleh Kesumawati (2012) menyatakan bahwa di puskesmas tersebut masih
banyak terdapar rujukan berdasarkan indikasi non medis, ketersediaan dokter masih
kurang dilihat dari segi tenaga kerja dan waktu sehingga pelayanan kepada pasien belum
optimal, ketidaksesuaian drop obat dari dinas kesehatan dengan yang diajukan
mempengaruhi angka rujukan dan diagnosis rujukan tertinggi yaitu penyakit Diabetes
Millitus yang merupakan penyakit kronis dan membutuhkan pengobatan secara
berkelanjutan(Kesumawati, 2012).
19
Download