DM - ETD UGM

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit yang digolongkan kronis
yang sering diderita penduduk Indonesia dengan ditandai adanya peningkatan
kadar glukosa darah diatas nilai normal karena pankreas tidak menghasilkan
insulin yang cukup atau metabolisme tubuh tidak mampu menggunakan insulin
secara efektif. DM adalah penyakit yang tidak menular akan tetapi diprediksi akan
meningkat jumlahnya di masa depan. World Health Organization (WHO)
memprediksi semakin lama akan meningkat pengidapnya, pada tahun 2000
pengidapnya berjumlah 171.230.000 orang. Pada kurun waktu 30 tahun
kedepannya jumlah tersebut akan terus meningkat menjadi 366.210.100
pengidapnya atau peningkatannya mencapai 114%. Hasil survey terakhir WHO,
negara-negara di Asia Tenggara menunjukkan peningkatan tertinggi jumlah
pengidap DM, termasuk Indonesia yang jumlahnya terbanyak dan menempati
peringkat pertama di Asia Tenggara serta peringkat lima sedunia dengan pengidap
DM sebanyak 8.426.000 orang pada tahun 2000 dan diprediksi mengalami
peningkatan sebanyak 152 % dengan 21.257.000 orang (Anonim, 2012).
Kebanyakan kasus diabetes melitus yang ditemui adalah DM tipe 2 dengan
keterangan tersebut banyak ditandai adanya resisten insulin. Sensitivitas insulin
yang turun tidak akan menyebabkan DM secara langsung. Sel β pankreas
penghasil insulin masih mampu menstabilkan kadar glukosa dalam darah yang
berlebih sehingga kadar glukosa dalam darah menjadi normal. Namun jika tidak
1
2
diatasi akan dapat berubah menjadi DM tipe 2 (Soegondo, 2006). Resistensi
insulin banyak disebabkan oleh obesitas yang ditandai dengan kadar lemak yang
tinggi dalam tubuh. Salah satu kemungkinan efek samping obesitas adalah
perlemakan hati, hal ini akan memacu meningkatnya kadar SGOT (Serum
Glutamic Oxalocetic Transminase) dan SGPT (Serum Glutanic Piruvic
Transminase).
Kelimpahan aneka ragam hayati fauna maupun flora yang ada di Indonesia
membuat masyarakatnya memanfaatkan untuk beberapa keperluan, salah satu
manfaatnya adalah untuk pengobatan. Sambiloto (Andrographis paniculata
(Burm.f.) Nees) dan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) adalah beberapa
hasil alam yang banyak digali manfaatnya secara ilmiah, zat aktif yang
terkandung pada temulawak dan sambiloto mampu mempengaruhi kadar
SGOT/AST-SGOT/ALT (Wiyono, 2011; Astykasary & Masjhoer, 2006).
Berdasarkan
penelitian
sebelumnya
ektsrak
herba
sambiloto
(Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees) selain sebagai obat antidiabetes dapat
juga mencegah kenaikan kadar SGOT-SGPT dalam darah tikus Wistar yang
diinduksi CCL4 dan etil alkohol dengan takaran dosis 500mg/kgBB (Trivedi,
2001; Choudhury, 1984). Enzim yang keluar dan meningkat kadarnya ketika ada
kerusakan hati adalah SGOT-SGPT (Akbar, 2003; Wenas, 2003).
Zat aktif pada sambiloto yang mampu menurunkan kadar SGOT-SGPT di
duga adalah andrografolid, zat ini paling banyak kadarnya pada daun sambiloto
(2,39%) dan paling rendah pada bagian akarnya. Andrografolid banyak diteliti dan
dipercayai sebagai agen protektor hepar serta kandung empedu, menurunkan
3
kadar serum bilirubin dan alkali fosfatase, dan melindungi sel hati serta mampu
mengurangi kadar SGOT-SGPT pada pasien terutama pada penderita DM (Hadi,
2000). Berdasarkan penelitian lainnya selain andrografolid yang terkandung
dalam sambiloto masih banyak kandungan zak aktif diterpen lakton, antara lain
deoksiandrografolid, neoandrografolid, 14-deoksi-11-12-didehidroandrografolid
(dehidroandrografolid) dan homoandrografolid. Terkandung juga flavonoid,
keton, alkan, mineral, dammar, dan aldehid (Prapanja, 2003).
Tumbuhan herba sambiloto mempunyai banyak manfaat antara lain
antibiotik, antipiretik, antiinflamasi, antidiare, antitumor, dan hepatoprotektor.
Selain khasiat tersebut sambiloto berfungsi sebagai obat infeksi, imunostimulan,
berefek
hipoglikemik,
hipotermia,
diuretik,
antibakteri,
analgetik,
dan
meningkatkan imunitas tubuh secara seluler, serta meningkatkan aktivitas
kelenjar-kelenjar tubuh (Winarto, 2003).
Temulawak adalah salah satu hasil alam yang secara empiris turun
temurun yang digunakan untuk pengobatan tradisional (Sampurno, 2004).
Kandungan zat aktif pada temulawak sangat banyak, khususnya senyawa fenolik
dan terpenoid, seperti kurkumin, desmetoksikurkumin, minyak atsiri dengan
komponen utama xantorizol, dan oleoserin (Anonim, 2004)
Penelitian uji klinik Hadi (1985) menyebutkan bahwa temulawak
mempengaruhi naiknya sekresi empedu dan pankreas. Dengan ekstrak temulawak
dalam etanol 50% yang dipejankan hewan uji dapat memperbaiki kerusakan sel
parenkim hati yang diakibatkan oleh karbon tetra klorida dan o-galaktosamin.
Temulawak yang diseduh dengan dosis 400 dan 800 mg/kg BB. Selama 14 hari
4
pemberian memberikan efek penurunan aktivitas GPT serum dan luas daerah
nekrosis akibat diinduksi oleh parasetamol pada dosis hepatotoksik. Kurkumin
temulawak juga memiliki efek memacu produksi cairan empedu yang sangat
memperlancar kerja hati.
Manfaat sambiloto dan temulawak yang digunakan untuk terapi
pengobatan DM cukup umum dimasyarakat, akan tetapi penggunaanya langka
jika dikombinasikan antara keduanya, sehingga menginisiasi adanya penelitian
untuk menguji aktivitas kombinasi keduanya sebagai obat alternatif antidiabetes.
Pada penderita DM tipe 2 resisten insulin memiliki risiko meningkatnya
SGOT-SGPT karena tugas hati menjadi berat akibat salah satu fungsinya untuk
memproduksi glukosa terhambat. Berdasarkan hal tersebut dan adanya
kemampuan sambiloto sebagai obat antidiabetes serta temulawak sebagai penurun
kadar SGOT-SGPT, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh
kombinasi ekstrak tak larut n-heksan herba sambiloto (FTS) dan fraksi
kurkuminoid temulawak (FKT) dalam menurunkan kadar SGOT-SGPT tikus DM
tipe 2 resisten insulin.
B. Perumusan Masalah
Apakah Kombinasi FTS dan FKT mempunyai efek penurunan kadar
SGOT-SGPT yang lebih besar pada tikus dengan resistensi insulin dibandingkan
dengan pemberian FTS tunggal?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan data ilmiah dan
mengetahui pengaruh pemberian kombinasi FTS dan FKT dalam menurunkan
5
kadar SGOT-SGPT dalam darah pada tikus wistar jantan dengan resitensi insulin
dibandingkan pemberian FTS tunggal.
D. Manfaat Penelitian
Penyakit DM adalah penyakit degeneratif yang banyak dialami oleh
masyarakat, untuk mengobati DM biasanya membutuhkan waktu yang lama dan
biaya yang tidak sedikit karena pasien dituntut untuk membeli obat sintetik secara
berkelanjutan. Obat sintetik tersebut belum banyak disadari masyarakat bahwa
obat tersebut jika dikonsumsi dalam waktu yang lama dapat menimbulkan efek
samping disfungsi organ pemetabolit (hati), maka dibutuhkan terapi pengobatan
yang murah, potensial berkhasiat, dan aman dikonsumsi. Herba sambiloto dan
temulawak terbukti secara ilmiah maupun secara empiris berpotensi sebagai obat
antidiabetes dan menjaga fungsi organ terutama organ pemetabolit dengan
mekanisme penurunan kadar SGOT-SGPT dalam darah. Hasil penelitian ini
diharapkan akan menghasilkan data ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan
untuk digunakan sebagai landasan pengembangan obat-obat herbal alami, dalam
hal ini sambiloto dan temulawak dalam bentuk ekstrak sebagai obat antidiabetes
dilihat dari parameter kadar SGOT-SGPT.
6
E. Tinjauan Pustaka
1. Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees)
a. Klasifikasi tanaman sambiloto: (Backer & Van Den Brink, 1965)
Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Classis
: Dicotyledoneae
Ordo
: Solanales
Familia
: Acanthaceae
Genus
: Andrographis
Species
: Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees
Gambar 1. Herba sambiloto
b. Nama lain dan kegunaan di masyarakat
Nama daerah sambiloto antara lain: Takilo, ki Oray, Ki Peurat (sunda),
Pepaitan (Melayu), Ampadu tanah (Minang), Takila, Bidara, Sambiloto, Sadilata
(Jawa).
7
Daun sambiloto di masyarakat digunakan untuk mengobati berbagai
penyakit, antara lain Peluruh air seni, penurun panas, antidiabetes, disentri basiler,
influenza, amandel, radang paru-paru, radang saluran pernafasan, obat gatal,
gigitan ular berbisa, luka bakar, luka karena infeksi, radang ginjal, abses, dan
kudis (Anonim, 1985; Dharma, 1985).
c. Morfologi
Sambiloto merupakan tumbuhan herba, terna, batang tegak, bunganya
majemuk, ujungnya sering bercabang, dengan cabang bentuk rasemis, pada ujung
panikel membentuk daun, anak cabang kecil, sama pendek pada tangkai bunga;
tidak ada anak cabang; kelopak dibagi 5 bagian, bagian-bagiannya kecil, semua
hampir sama, melengkung dan lurus pada tabung mahkota bunga, sari pipih,
berbulu, ada 2 ruang pada kepala sari, sejajar pada tingkat yang sama, sel telur 4-7
pada bakal biji, kapsulnya tegak, lanset, memapat; bentuk samar urat daunnya,
tiap katup terdapat benih 3-7, tersudut tajam pada tangkai, bagian atas tebal,
bongkol daunnya separti paku dan sedikit sistolit serta dihubungkan oleh tepi
yang melintang. Bentuk mahkotanya batang, relatif sempit, lurus sama, panjang
0,6 mm, bibir mahkota ungu putih, 0,6 mm panjangnya, bunga sari sedikit keluar,
panjang lebih kurang 6 mm, pelebaran pada dasar dasar kepala sari, kapsul
memapat; perpanjangan akar, tipis berambut kelenjarnya, panjang lebih kurang
1,74 cm, lebar 3,5 mm; 3-7 katup pada benih, tangkai bunga 3-7, kelopak 3-4 mm.
Daun lanset dasarnya tajam, sedikit tajam, panjang 3-12 cm, lebar 1-3 cm, anak
cabang sering dijumpai pada bagian atas (Backer & Van den Brink, 1965).
8
d. Kandungan kimia dan khasiat
Senyawa utama yang terkandung dalam sambiloto adalah diterpen lakton
dan flavonoid. Pada daun dan percabangan bisa diisolasi diterpen lakton
deoksiandrografolid,
didehidroandrografolid
andrografolid,
neoandrografolid,
dan homoandrografolid.
Pada
14-deoksi-11,12akar
yang
isolasi
terbanyaknya golongan flavonoid, yaitu; polimetoksiflavon, panikulin, mono-ometilwigtin apigenin-7, 4-dimetil eter dan andrografin. Kandungan lainnya adalah
aldehid, alkana, keton, berbagai mineral, seperti; kalsium, natrium, kalium, dan
asam kersik.
(1)
(2)
Gambar 2. Struktur andrografolid (1) dan 14-deoksi-11,12-didehidroandrografolid (2)
dalam sambiloto (Akowuah, et al., 2006)
9
Tumbuhan obat herba sambiloto mempunyai berbagai khasiat, antara lain;
obat demam, obat penyakit kulit, obat antidiabetes, obat radang telinga, dan obat
masuk angin (Hutapea & Syamsuhidayat, 1991). Selain itu juga mempunyai
khasiat lainnya, yaitu; antibiotik, antiinflamasi, antitumor, antidiare, antiinflamasi,
dan hepatoprotektor, serta efektif sekali untuk obat infeksi dan sebagai perangsang
fagositosis (antistimulan), mempunyai efek hipotermia, diuretik, hipoglikemik,
antibakteri, dan analgetik, ditambah bisa meningkatkan kekebalan tubuh serta
meningkatkan aktivitas kelenjar-kelenjar tubuh (Winarto, 2003).
2. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
a. Klasifikasi tanaman temulawak: (Backer & Van Den Brink, 1965)
Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Classis
: Monocotyledonae
Ordo
: Zingiberales
Familia
: Zingiberaceae
Genus
: Curcuma
Species
: Curcuma xanthorrhiza Roxb.
10
Gambar 3. Tanaman temulawak
b. Nama lain dan kegunaan di masyarakat
Nama lain atau nama daerah dari temulawak adalah temulawak (jawa),
temu besar (Melayu), temulatah, temulabak (Madura), konceng gede, temu raya
(Sunda) (Heyne, 1987).
Sejak zaman nenek moyang terdahulu, temulawak sering digunakan untuk
obat tradisional. Temulawak banyak manfaatnya di masyarakat, seperti; pelancar
ASI, penurun panas, antijerawat, menurunkan kolesterol, peluruh batu ginjal,
pelancar pencernaan, peluruh batu empedu, selain itu juga sebagai penambah
nafsu makan, serta sebagai obat antidiabetes (Anonim, 1979; Wagner, 1993).
c. Morfologi
Temulawak adalah golongan semak berimpang, tingginya ± 2,5 m, bentuk
batangnya semu tersusun dari pelepah daun yang saling melekat, lunak,
pangkalnya berbentuk rimpang membesar berwarna kuning muda, globular, kulit
pada rimpangnya berwarna kuning tua atau coklat kemerahan, pada daging
rimpangnya berwarna orange kecoklatan; bercabang dan berwarna lebih pucat.
Bau khas rangsangan terasa pahit. Rimpang induk berbentuk bulat telur dan
11
rimpang anakannya berbentuk langsing jumlahnya 3-4. Bentuk daunnya oval,
tunggal, serta ujungnya meruncing, permukaan licin dan tepinya rata, bentuk
tulang daunnya menyirip, daunnya berwarna hijau dengan tulang daun yang di
tengah berwarna ungu. Letak tumbuh bunganya dekat permukaan tanah, berupa
bunga majemuk berbulir, daun pelindungnya banyak, berambut pada kelopaknya
berwarna putih, bentuk mahkotanya tabung dan berwarna putih, serta warna
benang sari kuning muda (Sastrapraja et al., 1978; Hutapea & Syamsuhidayat,
1991; Tjitrisoepomo, 1994).
d. Kandungan kimia dan khasiat
Kurkumin dan monodesmetoksi-kurkumin 1-2% (zat warna kuning).
Minyak atsiri 5% (dominasi komponen 1-sikloisoprene-mirsene 85%). Komponen
minyak atsiri lainnya :β-kurkumen ar-kurkumen, germakron (Pandji et al., 1993;
Wicthl, 1994).
Zat aktif kurkumin yang terkandung dalam temulawak membuktikan telah
memiliki banyak manfaat dan khasiat, antara lain; untuk kelainan empedu,
anoreksia, batuk, diabetes, kerusakan hati, rematitis, sinusitis, kanker, dan
penyakit Alzheimer (Aggarwal et al., 2003).
12
Gambar 4. Struktur kurkuminoid temulawak (Hegnauer, 1963)
Dilihat dari bentuk strukturnya kurkumin diklaim sebagai antioksidan
dengan mekanisme menangkap radikal bebas pada proses oksidasi asam lemak
dan sebagai obat hepatoprotektor (Masuda et al., 1992; Damayanti, 1992).
3. Metode penyarian dan ekstrak
Penyarian atau ekstraksi dilakukan untuk bertujuan untuk menarik zat aktif
yang terkandung dalam bahan tumbuhan obat. Penyarian merupakan metode
pengambilan zat-zat aktif yang dapat larut dari bahan yang tak larut dengan
menggunakan pelarut cair. Bahan simplisia baik yang berupa potongan atau
serbuk yang disari banyak mengandung zat aktif yang dapat larut dan tak larut
seperti serat, karbohidrat, protein, dan banyak lagi yang lainnya (Anonim, 1986).
Ada tiga metode penyarian yang sering dilakukan, yaitu; maserasi,
perkolasi, dan penyarian berkesinambungan. Pemilihan metode ekstraksi yang
13
akan digunakan harus disesuaikan dengan fraksi yang diinginkan. Perendaman
simplisia dalam waktu tertentu disuhu ruang serta pengadukan menggunakan
pelarut sesuai kepolaran dengan zat aktif yang diinginkan adalah metode yang
paling sederhana, metode ini disebut maserasi (Harborne, 1984). Maserasi
mempunyai beberapa kelebihan, antara lain; proses pengerjaanya tidak sulit serta
menggunakan alat yang murah dan mudah diperoleh. Etanol dipertimbangkan
sebagai penyari karena: lebih selektif, kapang dan kuman sulit tumbuh dalam
etanol 20% ke atas, tidak beracun, netral, absorpsinya baik, etanol dapat
bercampur dengan air pada segala perbandingan, panas yang diperlukan untuk
pemekatan lebih sedikit. Untuk meningkatkan penyarian biasanya menggunakan
campuran etanol dan air. Perbandingan jumlah etanol dan air tergantung pada
bahan yang disari. Etanol dapat melarutkan alkaloid basa, minyak menguap,
glikosida, kurkumin, kumarin, antrakinon, flavonoid, steroid, damar, dan klorofil.
Lemak, malam, tanin dan saponin hanya sedikit larut. Dengan demikian zat
pengganggu yang terlarut hanya sedikit (Anonim, 1986).
Hasil dari ekstraksi simplisia nabati maupun hewani biasanya disebut
ekstrak dalam bentuk sediaan pekat yang masih campur dengan pelarutnya. Untuk
memenuhi baku yang ditetapkan, maka perlu penguapan pelarut yang tersisa
sehingga tampak menjadi lebih pekat atau serbuk (Anonim, 1995).
4. Kromatografi lapis tipis
Metode Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah metode yang paling
sederhana dan sering digunakan. Metode ini mempunyai beberapa kelebihan,
antara lain; mudah, murah, dan pemakaian pelarut serta jumlah cuplikannya
14
sedikit. Kromatografi lapis tipis dapat dipakai sebagai pemisah antara senyawa
yang sangat berbeda seperti senyawa organik alami dan senyawa organik sintetik,
organik kompleks, dan ion organik. Kromatografi lapis tipis melibatkan fase
gerak, fase diam, atau campuran pelarut yang dikembangkan. (Gritter et al.,
1991).
Identifikasi pada KLT umumnya digunakan harga Rf (Retardation factor)
atau hRf yang menunjukkan jarak pengembangan senyawa pada kromatogram.
Angka Rf berkisar antara 0,0 sampai 1,0 dan hanya dapat ditentukan dua desimal.
Angka hRf ialah angka Rf yang dikalikan faktor 100, menghasilkan nilai
berjangka 0 sampai 100. Harga Rf didefinisikan sebagai jarak yang digerakan
senyawa dari titik asal jarak yang digerakan pelarut dari titik asal. Jika tidak
timbul warna pada bercak yang ditotolkan, maka tahap selanjutnya menggunakan
pendeteksi sinar UV254 nm atau UV366 nm. Apabila dengan metode tersebut
senyawa belum terdeteksi, maka tahap selanjutnya menggunakan pereaksi
semprot serta pemanasan jika diperlukan (Sastrohamidjojo, 2001; Stahl, 1985).
Plat KLT diamati di bawah sinar UV254 nm atau UV366 nm agar solut tampak
sebagai bercak yang gelap atau berflouresensi terang (Gandjar & Rohman, 2012).
5. Pengertian diabetes melitus dan resistensi insulin
Istilah Diabetes Melitus diperoleh dari bahasa latin yang berasal dari kata
Yunani, yaitu Diabetes yang berarti pancuran dan Mellitus yang berarti madu. Jika
diterjemahkan, Diabetes Melitus adalah pancuran madu. Istilah pancuran madu
berkaitan dengan kondisi penderita yang mengeluarkan sejumlah besar urin
dengan kadar gula yang tinggi (Wijayakusuma, 2004). Diabetes melitus (DM)
15
merupakan suatu sindrom dengan terganggunya metabolisme karbohidrat, lemak,
dan protein akibat kurangnya sekresi insulin atau penurunan sensitivitas jaringan
terhadap insulin (Guyton & Hall, 2007). Penyakit DM bisa disebabkan berbagai
faktor, antara lain; makanan yang terlalu banyak mengandung gula, obesitas, stres
atau depresi, dan keturunan. Selain itu, kehamilan juga dapat menjadi faktor
penyebabnya. Penderita DM tidak bisa disembuhkan, akan tetapi hal ini bisa
dicegah dengan melakukan kontrol dan terapi yang relatif serta kedisplinan yang
tinggi (Sudewo, 2004).
Klasifikasi diabetes melitus
DM sampai sekarang terbagi menjadi 4 tipe, yaitu DM tipe 1, DM tipe 2,
Diabetes Kehamilan, dan DM tipe lain. Umumnya secara klinis DM hanya dibagi
menjadi 2 tipe: DM tipe 1 dan DM tipe 2 (Sudoyo, 2006). Secara klinis penderita
DM tipe 1 adalah usia onset biasanya <20 tahun, dan gangguan ini disebabkan
utamanya oleh karena kurangnya produksi insulin oleh sel β pankreas, sedangkan
DM tipe 2 mempunyai onset usia biasanya >40 tahun, karena gangguan yang
disebabkan oleh resistensi jaringan terhadap efek metabolik insulin (Guyton et al,
2007).
a. Diabetes Tipe I
Diabetes tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM) ditandai
adanya ketidakmampuan untuk memproduksi insulin karena sel-sel β pankreas
telah dihancurkan oleh proses autoimun. Glukosa yang berasal dari makanan
maupun minuman tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam
darah dan menimbulkan hiperglikemia postprandial (sesudah makan). Konsentrasi
16
glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua
glukosa yang tersaring keluar akibatnya glukosa tersebut diekskresikan dalam urin
(glukosuria). Ekskresi ini akan disertai oleh pengeluaran cairan dan elektrolit yang
berlebihan, keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Pasien mengalami
peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsi) (Brunner &
Suddarth, 2002).
b. Diabetes Tipe II
Diabetes tipe 2 atau Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM)
disebabkan karena kegagalan relatif sel β pankreas dan resistensi insulin.
Resistensi insulin merupakan menurunnya kemampuan reseptor insulin untuk
memacu pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat
produksi glukosa oleh hati. Sel β pankreas tidak mampu mengimbangi resistensi
insulin ini sepenuhnya, maka terjadi defisiensi relatif insulin. Hal ini terlihat dari
menurunnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, tetapi pada rangsangan
glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel β pankreas
mengalami desensitisasi terhadap glukosa (Mansjoer, 2001).
Standard yang umum digunakan untuk mendiagnosis DM adalah sebagai
berikut; jika kadar glukosa atau urine seorang pasien saat berpuasa >120mg/dl
atau seling waktu 2 jam sesudah berbuka sebesar 140-190mg/dl, maka pasien
tersebut didiagnosa menderita DM. Seorang dikatakan normal kadar gulanya
dalam darah atau urine jika saat berpuasa <110mg/dl dan setelah 2 jam berbuka
puasa sebesar <140mg/dl (Sudewo, 2004).
17
Hormon insulin dalam keadaan normal akan terikat dengan reseptor
khusus pada membran sel. Reaksi yang timbul dari ikatan tersebut memacu proses
metabolisme glukosa dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe 2 disertai
dengan menurunnya reaksi intrasel, dengan demikian insulin menjadi tidak efektif
untuk menstimulasi penarikan glukosa oleh jaringan. Solusi mengatasi resistensi
insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah harus meningkatkan
insulin yang disekresikan. Penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini
terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan
dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Keadaan sel β
pankreas ini tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin
maka kadar glukosa mengalami peningkatan dan terjadi diabetes tipe 2 (Brunner
& Suddarth, 2002).
Pakan diet lemak tinggi dan fruktosa dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan kadar glukosa darah meningkat, karena lemak yang dikonsumsi
memacu produksi asam lemak, trigliserida, dan kolesterol dalam jumlah yang
tinggi. Fruktosa lebih dimetabolisme dalam hati menjadi lemak daripada glikogen.
Hal ini dapat menyebabkan penggunaan glukosa oleh jaringan semakin rendah
sehingga kadar glukosa darah meningkat serta memicu terjadinya resisten insulin
(Andrie, 2012).
Resisten insulin merupakan keadaan dimana sensitivitas sistem jaringan
terhadap kerja insulin menurun, akibatnya sekresi insulin meningkat sebagai
tanggapan sel β pankreas. Faktor-faktor yang menyebabkan resistensi insulin
18
antara lain; reseptor yang mengikat insulin jumlahnya menurun, kinerja reseptor
abnormal, atau adanya hambatan pada transportasi insulin menuju tempat
pembakaran yang di dalam sel (Tjay & Rahardja, 2002).
Sel otot, sel lemak, dan hati pada tubuh kemampuannya berkurang untuk
merespon insulin ketika seseorang dalam keadaan resistensi insulin. Resistensi
insulin mengakibatkan keperluan tubuh akan insulin meningkat agar dapat
memacu glukosa masuk ke tempat pembakaran dalam sel. Pada keadaan ini
pankreas dituntut bekerja lebih keras untuk menghasilkan insulin yang lebih
banyak (hiperinsulinemia). Karena terlalu lama bekerja keras, pankreas akan
mengalami kelelahan untuk menghasilkan insulin yang sesuai permintaan pada
sistem tubuh, hal ini dapat mengakibatkan penyakit DM tipe I secara tidak
langsung (U.S. Department of Healt and Human Service, 2008).
Pemicu resistensi insulin diakibatkan oleh pelepasan sitokin TNF-α yang
distimulasi adanya peningkatan konsentrasi asam lemak bebas dan pengaktifan
enzim lipoprotein lipase karena penyimpanan adiposa yang tinggi, hal ini terjadi
pada orang yang obesitas. Selain itu resistensi insulin dapat disebabkan oleh
stimulasi aktivitas sistem simpatik dan obat-obatan (Soegondo, 2006).
Resistensi insulin yang dikaitkan dengan diabetes melitus tipe 2 serta
obesitas dapat mengakibatkan bermacam-macam ketidaknormalan metabolisme
tubuh seperti; aterosklerosis, pembentukan pro-koagulan, hipertensi, dan
dislipidemia, hal tersebut adalah faktor resiko yang memicu penyakit jantung
koroner (Siswono, 2002).
19
6. SGOT-SGPT
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa pada keadaan resistensi
insulin, kemampuan hati untuk memproduksi glukosa terganggu. Hal ini dapat
menyebabkan hati menjadi berat sehingga mempengaruhi kadar SGOT-SGPT.
Ketika terjadi kerusakan sel atau permeabilitas pada membran, enzim dapat
ditemukan dengan kadar yang berlebih di ruang ekstraseluler, hal ini dapat
digunakan sebagai parameter diagnosis. Enzim yang biasanya berhubungan
dengan kerusakan hati antara lain; SGOT, SGPT, GLDH, dan LDH. Pengertian
secara medis SGOT yaitu Serum Glutamic Oxalocetic Transminase atau yang
juga disebut aspartateaminotransferase (AST), adalah sebuah enzim yang selalu
berada di dalam jantung dan sel-sel hati. SGOT merupakan enzim yang dproduksi
oleh hati, selain itu juga dapat ditemukan di otot rangka, otot-otot jantung,
jaringan ginjal, sel darah merah. Singkatan SGPT adalah Serum Glutamic Piruvic
Transaminase, atau yang juga dinamakan ALT (Alanin Amino Transferase)
merupakan enzim yang banyak ditemukan pada sel hati serta efektif untuk
mendiagnosis destruksi hepatoseluler. Enzim ini dalam jumlah yang kecil
dijumpai pada otot jantung, ginjal dan otot rangka. Pada umumnya nilai tes
SGPT/ALT lebih tinggi daripada SGOT/AST pada kerusakan parenkim hati akut,
sedangkan pada proses kronis didapat sebaliknya (Wibowo et al, 2008; Akbar,
2003). Serum SGOT/AST maupun SGPT/ALT umumnya diperiksa secara
fotometri atau spektrofotometri, secara semi otomatis atau otomatis.
20
7. Uji histopatologi hepar
Uji histopatologi adalah analisis kualitatif secara mikroskopik dari
jaringan yang bertujuan untuk mengetahui perubahan organ dalam. Uji
histopatologi termasuk pemeriksaan preparat dari hasil pembedahan yang
sebelumnya preparat tersebut diambil dari bagian tertentu dan diletakkan pada
slide gelas untuk selanjutnya analisis seluler diamati melalui mikroskop oleh
seorang ahli patologi (Glaister, 1986).
Sel akan beradaptasi (fisiologis dan morfologi) jika terpapar zat asing yang
ditandai naiknya jumlah sel (hiperlasia), mengecil (atropi) atau membesar
(hipertropi) sel tertentu. Sel akan mengalami kerusakan bahkan kematian
(nekrosis atau apoptosis) jika terpejani senyawa asing yang berlebih (Cotran et al.,
1999).
F. Landasan Teori
Herba sambiloto sejak dulu secara empiris mempunyai khasiat mengobati
beberapa penyakit, sambiloto sering dan sudah umum digunakan sebagai obat
antidiabetes (Sastroamidjojo, 1997). Pemberian kombinasi fraksi tak larut nheksan ekstrak etanolik herba sambiloto dan fraksi kurkuminoid rimpang
temulawak mampu menurunkan kadar glukosa serum tikus resisten insulin
(Kusumaramdani, 2012). Sambiloto juga mempunyai kemampuan untuk
menurunkan kadar SGOT-SGPT pada tikus wistar jantan (Anonim, 2004).
Sambiloto dipercaya juga sebagai agen hepatoprotektor yang dapat mengatasi
peradangan hepar seperti gejala hepatitis (Sudewo, 2004).
21
Berdasarkan penelitian di India ektsrak herba sambiloto (Andrographis
paniculata (Burm.f.) Nees) dapat mencegah kenaikan kadar SGOT-SGPT dalam
darah tikus Wistar yang diinduksi CCL4 dan etil alkohol dengan takaran dosis
500mg/kgBB (Trivedi, 2006 ). Penelitian lain sambiloto dengan dua efek dosis
yaitu 50 dan 100 mg/kg BB/hari selama 14 hari terapi dari ekstrak hidroalkohol
80% berpotensi sebagai kemopreventif (Singh et al, 2001).
Penderita diabetes umumnya lebih rentan terhadap infeksi. Salah satu
kemungkinan penyebab infeksi pada penderita DM adalah virus, virus
dapat
mempengaruhi kerusakan pada sel β pankreas serta menimbulkan insulitis.
Hubungan antara DM dengan peran hormon selain hormon insulin yang kaitannya
terhadap ketahanan tubuh sehingga mengakibatkan infeksi masih belum jelas
(Soetmadji, 2003). Infeksi pada hepar akan memacu peningkatan kadar SGOTSGPT karena adanya peningkatan permeabilitas membran dan kerusakan sel
hepar, hal ini menyebabkan enzim intraseluler menjadi migrasi ke ruang
ekstraseluler (Akbar, 2003).
Temulawak adalah salah satu bahan baku obat tradisional yang banyak
dikembangkan secara modern dalam penelitian dan dunia kesehatan. Obat
fitofarmaka temulawak diduga dapat merangsang sekresi empedu dan pankreas.
Khasiat temulawak sebagai hepatoprotektor juga berkaitan dengan adanya reaksi
penurunan kadar SGOT-SGPT (Mursito, 2001).
Peran temulawak sebagai obat yang berkaitan dengan hati, empedu, dan
pankreas dapat dikombinasikan dengan sambiloto yang berkhasiat sebagai
antidiabetes sehingga
dapat berefek saling sinergis. Temulawak dalam
22
memelihara kesehatan fungsi hati dengan cara meningkatkan produksi empedu
dalam hati dan merangsang sekresi empedu, hal ini berkaitan erat adanya aktivitas
kolagoga dari temulawak yang sangat berpengaruh pada hati (Anonim, 2005).
Penelitian yang membuktikan bahwa ekstrak sambiloto dan ekstak temulawak
mempuyai aktivitas menurunkan SGOT-SGPT telah dilakukan, namun belum ada
penelitian yang menggunakan kombinasi keduanya dalam menurunkan SGOTSGPT. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas kombinasi fraksi tak
larut n-heksan ekstrak etanolik herba sambiloto (FTS) dan fraksi kurkuminoid
temulawak (FKT) sebagai penurun SGOT-SGPT. Penelitian kombinasi FTS dan
FKT yang berhubungan dengan penurunan kadar glukosa serum sudah pernah
dilakukan (Kusumaramdani, 2012), tetapi belum ada laporan penelitian kombinasi
FTS dan FKT yang berhubungan dengan penurunan kadar SGOT-SGPT serum.
G. Hipotesis
Kombinasi FTS dan FKT mampu memberikan efek penurunan kadar
SGOT-SGPT yang lebih besar pada tikus dengan resistensi insulin dibandingkan
dengan pemberian FTS tunggal.
Download