Pendekatan Al-Qur`an Melalui Metode Syariah Maqashid

advertisement
JURNAL NEFO | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2017
72
Pendekatan Al-Qur’an Melalui Metode Syariah Maqashid
Untuk Melawan Ekstremisme
Sitti Nadirah
Dosen Institut Agama Islam Negeri Palu Sulawesi Tengah
[email protected]
Abstract
This article aimed for countering extremism through the method of Quran exegesis. It will explain about the
methodology of Quran exegesis based on purposeful sharia within contextual approach. It is acquired method
from maqashid sharia which initiated by Jasser Auda and contextual interpretation introduced by Abdullah
Saeed for interpreting the Quran. With the complete of conviction of extremism, their emergences are textual
interpretation of the Quran. As we know that in the Quran, there are radical verses whose duty against
polytheist (musyrik) and infidel (kafir). The result of research is produce three steps of the method to interpret
the radical verses. Firstly, thematic stages within two way; collect the same verses in one theme and arrange
the chronology of their revelation. Secondly, understanding the context of revelation either specific causes
(asbab nuzul mikro) or common causes (asbab nuzul makro) and establishing its purpose and its universal
values. Thirdly, relating the verse for the present context. However, we could not accept extremist which are
understand the Quran, incorrectly. They are blotted the Islamic teaching with their wrong interpretation of
the Quran. So, this is kind of effort which take part in countering extremism.
Keywords: Maqashid Saria, Quran Exegesis, Contextual Approach, radical verses, extremism.
Abstrak;
Artikel ini ditujukan untuk melawan ekstremisme melalui metode tafsir Qur’an. Ini akan menjelaskan
tentang metodologi tafsir Al-Qur’an berdasarkan tujuan syariah dalam pendekatan kontekstual. Hal ini
diperoleh metode dari syariah maqashid yang diprakarsai oleh Jasser Auda dan interpretasi kontekstual
diperkenalkan oleh Abdullah Saeed untuk menafsirkan Al-Quran. Dengan lengkap keyakinan ekstremisme
dan emergences mereka tafsirkan secara tekstual dari al-Qur’an. Seperti yang kita tahu bahwa dalam Quran,
ada ayat-ayat yang di anggap radikal dan manusia berfikir harus melawannya. Sehingga mereka muda
musyrik (musyrik) dan kafir-kan orang lain. Hasil penelitian ini menghasilkan tiga langkah dari metode
untuk menafsirkan ayat-ayat yang radikal. Pertama, tahap tematik dalam dua cara; mengumpulkan ayatayat yang sama dalam satu tema dan mengatur kronologi wahyu mereka. Kedua, memahami konteks wahyu
baik penyebab khusus (asbab mikro nuzul) atau penyebab umum (asbab makro nuzul) dan membangun
tujuan dan nilai-nilai universal. Ketiga, berkaitan ayat untuk konteks sekarang. Namun, tidak bisa
menerima ekstrimis yang memahami al-Qur’an secara tidak benar. Mereka menghilangkan makna damai
ajaran Islam dengan interpretasi yang salah. Jadi, ini adalah jenis usaha yang mengambil bagian dalam
melawan ekstremisme.
Kata Kunci: Maqashid Syariah, Al-Qur’an Tafsir, Pendekatan, Radikal, Ekstremisme
73
JURNAL NEFO | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2017
Latar Belakang
Setelah akhir Perang Dunia II yang di mulai oleh Komunisme dan dimenangkan United State.
Jadi, satu-satunya ideologi dengan kekuatan super adalah Kapitalisme. Tentu menafsirkan ideologi jelas
akan membuat dan mencari musuh baru. Menurut teori benturan peradaban, ideologi harus memiliki
lawan untuk membuatnya tampak diseluruh dunia. Yang terpilih adalah Islam, khususnya bagi mereka
yang sering menyebut Islam itu terorisme. 1
Kemudian, argumentasi ini diperkuat oleh peristiwa 9/11 tahun 2001 lalu. Mendeklarasikan
perang dengan terorisme, mungkin mereka cara inilah lebih diterima logika dan masuk akal untuk
menyebut Islam itu terorisme dan memeranginya. Oleh karena itu, masyarakat-masyarakat Barat
sangat penasaran, apa yang terjadi dengan Islam. Apakah ada alasan untuk melakukan teror dalam
Islam?. Untuk jawaban pertanyaan itu, para ulama Islam, melakukan penelitian mendalam. Penelitian
itu outputnya menjadi banyak buku, artikel, jurnal dan makalah. Salah satunya adalah jurnal dari
American Journal of Social Sciences yang mengulas tentang Islam waktu itu dan dibahas dalam edisi
khusus antara Neo-orientalisme dan Islamophobia.
Christoper Allen dalam penelitiannya mengatakan bahwa Islam phobia lebih bersinar pada orangorang Uni Eropa dan Inggris setelah 9/11. Di Eropa, ada beberapa tindakan seperti kekerasan, agresi
dan perubahan yang di identifikasi melalui sikap dan prilaku, seperti tindakan diskriminasi terhadap
Muslim dan fisik manusia yang terkait dengan Islam. Sementara, di British sendiri singkatan untuk
Islam: Intoleransi, Slaughter, Penjarahan, Pembakaran dan penganiayaan perempuan.2 Bagaimanapun
perlakuan image mereka terhadap Islam, namun penjualan Al-Qu’an sangat laris dan itu di beli oleh
kebanyakan masyarakat Eropa, termasuk yang Islamphobia. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an
memiliki pengaruh yang signifikan untuk setiap kegiatan umat Islam diberbagai belahan dunia.
Sebagai kitab suci umat Islam, Al-Quran selalu menjadi petunjuk dalam hidup dan pedoman dalam
bertindakan setiap hari berdasarkan ajaran Islam, termasuk yang dianggap mereka itu Islam radikal
dan justru mereka mendasarkan tindakannya pada Al-Qur’an. Hal ini tidak bisa diperdebatkan bahkan
oleh muslim sendiri. Karena, dalam beberapa ayat Al-Quran ada ayat-ayat perang yang mewajib umat
Islam atau seorang muslim itu berjihad dengan orang-orang Yahudi, Kristen dan khususnya penduduk
yang musyrik.3
Menurut Abdullah Saeed (2006;3) membuat tiga kategori tentang pemahaman kitab suci umat
Islam; Tekstualis, Semi-tekstualis dan Kontekstualis. Perbedaan antar umat Islam sendiri adalah interpretasi
masing-masing dengan sosio-konteks. Tekstualis Islam menimbulkan perdebatan melalui pemaknaan
teks dan menerima pemahaman harfiah tentang sebuah teks. Lalu, Semi-textualists pada dasarnya sama
dengan textualists, tetapi menggunakan beberapa istilah modern untuk perkuat argumentasi. Kemudian,
contextualists menekankan konsep sosio-historis dan nilai-nilai esensial dari al-Qur’an. 4
Untuk kategori-kategori, ekstrimis dan teroris atau Islam radikal adalah penafsiran Al-Qur’an dengan
1
Pippa Norris and Ronald Inglehart, Islam and The West: Testing the Clash of Civilization Thesis (Harvard: Harvard
University Press, 2002) p. 1
2
Christoper Allen, “Justifying Islamophobia: A Post 9/11 Consideration of the European Union and British Context” in
American Journal of Islamic Social Sciences vol. 21, Summer 2004, p. 3-12
3
For the examples look the Quran: 2.190, 3.167, 9.29, 49.9 etc.
4
Abdullah Saeed, Interpreting the Quran: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006) p. 3
JURNAL NEFO | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2017
74
pendekatan tekstual, terutama di ayat yang dianggap radikal. Sebenarnya, Abdullah Saeed memiliki
metodologi penafsiran yang perhatiannya untuk melawan tafsir tekstual. Dia mendefinisikan metode
dengan pendekatan kontekstual. Di sisi lain, ada ulama yang merasa tidan nyaman dengan Abdullah
Saeed, namanya Jasser Auda. Dia mengembangkan teori syariah maqashid dengan pendekatan sistem
pelafalan dan penafsiran realitas untuk melawan ekstremisme itu sendiri. Teori syariah maqashid adalah
teori hukum dasar Islam yang membahas tentang nilai-nilai penting dari hukum Islam termasuk ayat
pertempuran (jihad). Sementara, posisi Jasser Auda adalah konsep dasar untuk metodologi tafsir alQur’an.
Tulisan ini juga akan menjelaskan dan menerapkan metodologi untuk ayat-ayat jihad. Kelompok
ekstremis sering menafsirkan ayat-ayat jihad dengan kesalahpahaman. Mereka yang menganggap bahwa
kekerasan itu sah dengan berlandaskan diri pada ayat-ayat jihad. Ini tentu sudah sangat keliru. Metode
ini konvergensi antara perspektif Jasser Auda dan pendekatan Abdullah Saeed. Ide menekankan bahwa
saya melakukan penelitian ini untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an yang membutuhkan lebih banyak
pengetahuan, metode, dan memahami sosio-konteks. Untuk keterangan fokus, saya membuat dua
pertanyaan yang akan dijawab dalam artikel ini. Pertama, apakah metodologi syariah maqashid dalam
pendekatan kontekstual? Kedua, bagaimana menerapkan metodologi syariah maqashid untuk ayat –
ayat Jihad?
Maqashid Syariah Jasser Auda’s
Sebelum saya menjelaskan tentang perspektif Jasser Auda untuk syariah maqashid, itu baiknya bahwa
untuk menggambarkan syariah maqashid sendiri dibentuk oleh dua kata; maqashid dan syariah.
Maqashid adalah bentuk jamak dari maqshad tunggal berarti tujuan. maka, maqashid adalah nilai
penting universal. Kemudian, syariah dikenal sebagai aturan dasar hukum Islam dan yurisprudensi.
Sehingga pengertian gabungan keduanya maqashid syariah adalah tujuan yang telah hukum Islam untuk
bertindak demi keadilan.5 Syariah maqashid pada pertama kali adalah bentuk istilah untuk salah satu
sumber hukum Islam di samping al-Qur’an, Sunnah, konsensus ulama (ijma’) dan analogi (qiyas) dan
lain sebagainya. Tentu semuanya bersumber pada hukum dasar Islam (ushul fiqih). Namun, sekarang
syariah maqashid adalah bagian dari ushul fiqih.
Pada pengembangan syariah maqashid, karya Al-Shatibi pada judul tulisan al-Muwafaqat fi Ushul alSyariah adalah buku pertama yang memperkenalkan syariah maqashid sebagai prinsip untuk menentukan
hukum Islam. kontribusinya dari konsep maqashid adalah tiga aspek dasarnya; Pertama, maqashid
menjadi rujukan dan prinsip dasar dari aturan Islam yang sebelumnya tidak pernah menjadi konsep
yang independen.6 Kedua, al-Shatibi mengatakan bahwa syariah maqashid adalah prasyarat untuk
melakukan interpretasi individu (ijtihad). Ia mengklaim bahwa konsep umum dari maqashid adalah
prinsip dasar untuk keputusan hukum, bukan pada argumentasi parsial. Ketiga, ia menyatakan bahwa
undang-undang untuk syariah maqashid adalah pasti (qat’i).7
Ada tiga hierarki dari aspek syariah maqashid sebagai dimensi tingkat kebutuhan: kebutuhan
(daruriyat), kebutuhan (hajiyat) dan kemewahan (tahsiniyat). Hal yang paling penting di antara itu
Jasser Auda, Maqashid Sharia as Philosophy of Islamic Law (London: The International Institute of Islamic Thought,
2007) p. 2
6
Ibrahim Muhammad al-Shatibi, Al-Muwâfaqât fî Usûl al-Sharia (Beirut: Dar Ibn Affan, 1997) vol. 1, p. 1
7
Ibrahim Muhammad al-Shatibi, Al-Muwâfaqât fî Usûl al-Sharia … vol 3 1 p. 173
5
75
JURNAL NEFO | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2017
adalah aspek kebutuhan. Lima faktor dari aspek kebutuhan yang melestarikan iman (hifz al-din), Soul
(nafs), Wealth (mal), Pikiran (aql), Offspring (nasl) dan Honor (‘ird). pengembangan kontemporer
syariah maqashid adalah inisiatif oleh Jasser Auda. Dia adalah kantor pusat sebagai pendiri al-maqashid
Research Center di London, UK. Dia menulis sebuah karya tentang syariah maqashid dalam dua
versi; Inggris dan Arab. Keduanya diterbitkan di London oleh The International Institute of Islamic
Thought.8
Jasser Auda ketika mengutif ide Abraham Maslow tentang kebutuhan pada abad ke-21 untuk
mengembangkan konsep keharusan. Menurut Maslow, kebutuhan manusia di era kontemporer diperpanjang
dari persyaratan physicological dasar dan keselamatan, mencintai dan memperhatikan dan aktualisasi diri.
Menurut Jasser Auda maqashid syariah klasik memiliki beberapa kelemahan. Pertama, kisaran maqashid
tradisional tidak dibagi secara detail. Kontemporer klasifikasi maqashid menjadi tiga tingkatan: 1).
maqashid umum untuk seluruh tubuh pemerintahan Islam seperti keadilan dan kebebasan; 2). maqashid
khusus untuk bab tertentu dari pemerintahan Islam seperti mencegah penjahat dalam hukum pidana
dan 3). maqashid tertentu, yang maksud di balik putusan tertentu seperti memungkinkan orang yang
sakit dan puasa untuk buka puasa mereka.
Kedua, perhatian maqashid tradisional masih orientasi individu. Jassser Auda, kemudian memberikan
sebuah argumentasi bahwa perubahan orientasi dengan keluarga, masyarakat dan manusia pada umumnya
sangat memiliki kecenderungan terjadi pada manusia dalama sistem kehidupannya, seperti mlestarikan
jiwanya. Maka, konteksnya kalau diartikan dalam bentuk tindakan jihad, maka tidak hanya melarang
membunuh satu sama lain secara individual, tetapi bagaimana cara merawat untuk keamanan orang
lain sebagai masyarakat terjaga hak asasi manusianya. Ketiga, dasar maqashid tradisional tipu muslihat
dan perlindungan. Auda menyarankan pengembangan hak asasi manusia untuk dasar berikutnya dalam
konteks kajian maqashid.9
Paradigma baru, terutama syariah maqashid yang diatur oleh Jasser Auda adalah pendekatan sistem.
Ada lima fitur pemikiran Islam pada pendekatan sistem menurut Jasser Auda terhadap metode memvalidasi
kognisi, holisme, keterbukaan, multi-dimensi dan menuju purposefulness. Tiga diantara cara diatas bahwa
yang memvalidasi kognisi, Keterbukaan dan Multi-dimensi yang terkait dengan epistemologi ilmu
dasar pemerintahan Islam yang berkaitan dengan metodologi sistem hukum dalam suatu negara.
Oleh karena itu, antara holisme dan purposefulness untuk mengembangkan metode al-Qur’an tafsir.
Prinsip holisme tidak menggunakan ayat-ayat parsial dalam al-Quran, namun setiap ayat tunggal yang
hubungan antara satu ayat dan orang lain dalam tema yang sama. Biasanya, prinsip ini disebut metode
tematis tentang metodologi al-Qur’an tafsir untuk melihat peristiwa dan realitas kekuasaan negara.
Dan purposefulness adalah tentang konteks situasi al-Qur’an itu sendiri. Berarti, bagaimana model
menafsirkan al-Qur’an didasarkan pada cara-cara nabi melakukan dan bertindak dalam kebijaksanaan
melalui ayat-ayat yang menjelaskan tentang berbagai persfektif lingkungan tertentu.
Pendekatan Kontekstual Abdullah Saeed
Abdullah Saeed adalah profesor di National Centre of Excellence untuk Studi Islam, Institut Asia di
Universitas Melbourne. pemikiran Saeed dari proses penafsiran al-Qur’an yang selama ini dilakukannya
banyak dipengaruhi oleh Fazlurrahman, dan ia mengakui hal itu. Dan kontribusinya untuk bidang tafsir
8
9
Accessed from www.JasserAuda.net on Desember 9th 2015
Jasser Auda, Maqashid Sharia as Philosophy of Islamic Law … p. 5
JURNAL NEFO | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2017
76
al-Qur’an adalah membuat pikiran Fazlurrahman ini lebih sistematis dengan yang ia sebut pendekatan
kontekstual. Bukti dari pernyataan ini adalah metodologi penafsiran yang ditempuh. 10
Menurut Abdullah Saeed, hal-hal penting untuk dilakukan pada proses penafsiran al-Qur’an adalah
mengetahui ilmu linguistik, ilmu sejarah dari Quran (asbab nuzul), dan memahami konteks sosiohistoris bahkan di masa lalu dan era kontemporer. Oleh karena itu, semua tahapan mencakup semua
aspek-aspek untuk bagaimana model dan sistem menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Tahap pertama adalah perjumpaan dengan dunia teks / ayat. Tahap kedua adalah analisis kritis
dengan aspek linguistik. Fungsi penafsir harus tahu arti sastra, konteks sastra, aspek tata bahasa dan
semua potongan tentang linguistik. Yang ketiga adalah apa yang dikatakannya berarti untuk penerima
yang pertama.
Ada analisis kontekstual yang menentukan sifat dari pesan secara spesifik, menjelajahi mendasari
dan spesifik serta mendalam, mengingat pesan yang berkaitan dengan tujuan yang lebih luas, dan
mengevaluasi bagaimana teks itu menerima oleh masyarakat pertama dan bagaimana metode mereka
menafsirkannya.
Tahap terakhir adalah bagaimana mengidentifikasi makna untuk saat ini. Berkaitan teks dengan
menentukan keprihatinan dan masalah baru-baru, mencari nilai-nilai dan norma-norma yang memiliki
mentolerir pada pesan tertentu, membandingkan konteks sekarang dengan konteks sosio-historis ayat
dalam pertimbangan untuk memahami yang sama dan berbeda antara keduanya, dan bagaimana konteks
ini mengambil nilai Al-Qur’an dengan cara yang sama dengan penerima pertama. Teori landasan
pendekatan kontekstual mengatur dari tiga konsepsi; proto-kontekstual, hermeneutik Fazlurrahman
dan maqashid. tindakan yang benar (amal salih) sama seperti kesalehan (taqwa) yang konsepsi dasar
untuk menafsirkan semua ayat-ayat dalam Al-Quran menurut Abdullah Saeed dan Fazlurrahman.
Dengan semua faktor ini Saeed membuat struktur nilai dalam Quran, yaitu hierarki nilai.
Abdullah Saeed mengakui bahwa mengidentifikasi semua nilai al-Qur’an sulit. Tapi ia menyimpulkan
semua kedalam lima kategori; Pertama adalah nilai wajib, adalah nilai dasar fundamental. Setiap satu
muslim benar-benar harus yakin dan melakukan nilai segala sesuatu dalam wajib ini. Ada tiga aspek
nilai wajib; 1). nilai-nilai yang berhubungan dengan sistem kepercayaan, misalnya seperti kepercayaan
kepada Tuhan, nabi, al-Qur’an dan lainnya. 2). nilai yang berkaitan dengan praktek doa menekankan
dalam al-Qur’an seperti lima waktu shalat sehari dan lainnya. 3). nilai sekitar diperbolehkan dan
dilarang.11
Kedua; nilai fundamental. Nilai-nilai fundamental dasar dari nilai-nilai kemanusiaan yang mengikuti
lima poin dari syariah maqashid, adalah 1). perlindungan kehidupan, 2). properti, 3). kehormatan,
4). keturunan dan 5). agama. Ketiga adalah nilai perlindungan. Ini adalah praktek untuk melindungi
nilai-nilai fundamental, misalnya seperti melarang pencurian dan riba adalah properti perlindungan dan
lainnya. Keempat adalah nilai implementasi, nilai ini adalah jenis hadiah dan hukuman yang konsekuensi
dari nilai-nilai perlindungan. Sebagai contoh, ketika pencurian seseorang, maka hukuman akibat
dipotong tangan. Tapi ini adalah lokasi untuk pendekatan kontekstual yang harus dipertimbangkan
tempat dan waktu. Nilai terakhir adalah nilai pembelajaran yang lebih spesifik dan nilai lebih duniawi
seperti ayat-ayat perang, ayat-ayat jihad, ayat-ayat membunuh dan lainnya. 12
Abdullah Saeed, Interpreting the Quran: Towards a Contemporary Approach … p. 128
Abdullah Saeed, Interpreting the Quran: Towards a Contemporary Approach … p. 130
12
Abdullah Saeed, Interpreting the Quran: Towards a Contemporary Approach … p. 136
10
11
77
JURNAL NEFO | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2017
Maqashid Syariah sebagai Metode al-Qur’an Tafsir dalam Kontekstual Pendekatan dan Aplikasi nya
Maqashid syariah dalam pendekatan kontekstual adalah hal yang diperlukan untuk menafsirkan dan
memahami ayat-ayat yang radikal. Sebelum saya menjelaskan metode sistematis syariah maqashid dalam
pendekatan kontekstual, saya menunjukkan ayat-ayat yang radikal dalam al-Qur’an. Aku mengambil
kata-kata membunuh atau bertarung dengan formulasi perintah, dan hasilnya ditemukan sedikit tentang
sembilan ayat dalam al-Qur’an. Di antara dari mereka dikatakan: “Dan bunuhlah mereka di mana Anda
menyalip mereka dan mengusir mereka dari mana pun mereka telah mengusir Anda, dan fitnah lebih buruk
daripada membunuh. Dan tidak melawan mereka di al-Masjid al-haram sampai mereka memerangi kamu
di sana. Tetapi jika mereka memerangi kamu, kemudian membunuh mereka. Tersebut adalah balasan dari
orang-orang kafir.” (Al-Qur’an, 2:191)
“Melawan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah atau di hari akhir (kiamat) dan yang tidak
menganggap sah apa yang Allah dan Rasul-Nya telah sampaikan dan yang tidak mengadopsi agama yang
benar dari orang-orang yang diberi Kitab Suci - [melawan] sampai mereka memberikan yang jizyah (rela)
dan sementara mereka merendahkan diri”. (Al-Qur’an, 9.29)
Dua ayat di atas adalah bagian dari ayat-ayat yang radikal menurut mereka orang-orang yang
melakukan interpretasi terhadap perubahan dan tekanan yang tidak mereka inginkan. Kita tidak
bisa menyangkal bahwa dalam al-Qur’an ada beberapa ayat yang radikal. Tapi di sisi lain, kita harus
menyadari bahwa ayat-ayat yang tidak bisa dimengerti tanpa metodologi al-Qur’an tafsir. Jadi, ide
inti dari artikel ini adalah untuk menjawab bagaimana menafsirkan ayat-ayat radikal dalam al-Qur’an
dengan metodologi syariah maqashid dalam pendekatan kontekstual. Metode yang saya disebut adalah
konvergensi antara pikiran Jasser Auda dan Abdullah Saeed. Syariah maqashid pada kasus ini adalah
epistemologi dasar. Holisme dan purposefulness menjadi aspek utama untuk metodologi. Dan pendekatan
kontekstual adalah desain secara sistematis agar mereka mendapat simpati publik bahwa itu adalah
ayat-ayat radikal yang berlaku dan relevansi dengan konteks kontemporer. Didasarkan pada itu prinsip,
saya membuat metodologi Quran tafsir untuk menafsirkan ayat-ayat yang radikal.
Ada tiga langkah: Pertama, sebagai prinsip holisme menggunakan metode tematik yang mengumpulkan
seluruh ayat-ayat dalam satu tema dan kemudian mengatur sesuai dengan kronologi wahyu. Kedua
adalah mencari tujuan ayat yang menarik dengan semangat Nabi Muhammad saw, melalui dua cara,
yakni 1). memahami konteks wahyu termasuk tradisi, budaya dan 2). memahami konteks kontemporer
seperti aspek geo-politik, budaya masyarakat dengan horizon tertentu dan cakrawala umum. Kemudian,
menemukan nilai universal al-Qur’an. Langkah ketiga; membuat ayat relevansi di pangkalan konteks
nilai-nilai Al-Qur’an yang ditemukan. Penerapan metode tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Tahapan Holistik
Metode ini melalui dua langkah: 1). mengumpulkan ayat-ayat dan 2). mengatur kronologi wahyu.
Untuk langkah pertama menggunakan buku Mu’jam Mufahras li Alfaz al-Quran yang ditulis oleh Fuad
Abd al-Baqi. Akhirnya, ditemukan beberapa ayat al-Qur’an yang sering mereka sebut ayat radikal yakni
ayat 22:39-40, 2:190, 3:167, 4:76, 9:12, 9:29, dan 9:49. 13
Langkah kedua adalah membuat pengaturan untuk kronologi wahyu. Setelah kita mendapatkan
ayat-ayat dalam tema yang sama pada langkah pertama, mengungkapkan ayat-ayat dalam Al-Quran
13
Muhammad Fuad Abd al-Baqi, Mu’jam Mufahras li Alfâz al-Qurân (Cairo: Dar al-Hadith, 1364) p. 535
JURNAL NEFO | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2017
78
berbicara tentang pertarungan. Seperti diketahui bahwa dakwah pertama Muhammad adalah pada
tindakan yang benar dan jalan damai. Dia adalah manusia yang kredibel memiliki gelar al-amin
sebelum ia menjadi seorang nabi. Tapi, dia selalu diserang oleh orang-orang di Mekah bahkan oleh
pamannya. Selama periode Mekkah 13 tahun, Muhammad menyebarkan ajaran teologis Islam kepada
orang-orang di sekelilingnya dengan penuh belas kasih dan pengampunan. Meski begitu orang selalu
penyalahgunaan Muhammad berulang-ulang, tapi ia menerima perlakuan mereka patuh.
Pada akhirnya, Allah memberikan peringatan kepada Muhammad untuk melindungi dirinya dan
teman-temannya dari gangguan orang. Akhirnya, di tahun kedua dari removal (hijrah), Muhammad
membuat pertahanan untuk melawan orang-orang yang memusuhi Islam. Pada pembahasan ayat ini
mengungkapkan bahwa memungkinkan nabi untuk melawan yang tertera pada ayat 22:39-40. Allah
berfirman: Izin [untuk melawan] telah diberikan kepada mereka yang sedang berjuang, karena mereka
dirugikan. Dan memang, Allah adalah kompeten untuk memberi mereka kemenangan. [Mereka] mereka
yang telah diusir dari rumah mereka tanpa hak-hanya karena mereka mengatakan, “Tuhan kami adalah
Allah, Sesungguhnya Allah Maha Kuasa dan Maha Perkasa”.
Menurut Sahiron Syamsuddin dalam penelitiannya menjelaskan bahwa kedua ayat-ayat di atas
adalah inti-ayat dari seluruh ayat-ayat tentang pertarungan dan pertempuran yang terungkap selama
ini. Hal ini terungkap ketika pertempuran Badar terjadi pada dua tahun pertama setelah penghapusan.
Hasil Syamsuddin analisis linguistik dan sejarah menjelaskan ayat-ayat tidak hanya perintah untuk
berperang, tetapi memiliki tiga mengandung nilai-nilai; menghapus penindasan, kebebasan beragama
dan untuk membangun perdamaian. Selain itu, Syamsuddin memiliki gagasan bahwa ayat-ayat radikal
termasuk ayat-ayat yang belum dikonfirmasi (mutasyabih) dan ayat-ayat perdamaian melibatkan ayatayat dikonfirmasi (muhkam).14 Kemudian, mengungkapkan ayat-ayat lain pada masalah pertempuran
dalam konteks yang berbeda dari perang. Ali Imran 3:167 terungkap ketika perang Uhud dalam tiga
tahun pertama setelah penghapusan. At-Tauba 9;29 terungkap ketika perang Tabuk terjadi. Kemudian
Hujurat 49:9 adalah tentang muslim munafik yang melakukan pengkhianatan kepada Nabi dan umat
Islam lainnya.
b.
Tahap Tujuan
Ada empat langkah untuk mencari makna maksud tertentu. Pertama, memahami aspek tertentu dari
motif terungkap. Kedua; dikenal seluruh alasan wahyu dalam konteks global Arab. Ketiga; mengambil
purposefulness dan keempat adalah menentukan nilai-nilai universal. Konteks spesifik 9:29 adalah tentang
perang Tabuk. Perang Tabuk ini adalah melawan Roma untuk sebagian wilayah membebaskan di Utara
Arab yang dijajah oleh mereka. Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha pada buku mereka yaitu Tafsir
al-Manar mengatakan bahwa ayat 9:29 bukan tentang pertempuran perintah ini.
Ide menekankan ayat adalah penyebab alasan. Alasannya adalah permusuhan dan bersekongkol rencana
dari orang yang tidak percaya untuk istirahat Nabi dan Islam ke bawah. Mereka tidak menghormati
dengan kesepakatan yang telah dibuat antara mereka dengan Nabi dan akan menghancurkannya.15
Pendapat yang sama, Mustafa Maraghi mengatakan bahwa semua pertempuran yang ditafsirkan dari
ayat tersebut secara substantif adalah di jalan memikat (dakwah) dan dasar aturan yang memikat dalam
Sahiron Syamsuddin, “Pesan Damai di Balik Seruan Jihad” in Sahiron Syamsuddin (ed), Islam Tradisi dan Peradaban
(Yogyakarta: Bina Mulia Press, 2012) p. 87-99
15
Muhammad Abduh and Rashid Rida, Tafsîr al-Qurân al-Hakîm; Tafsîr al-Manâr (Cairo: al-Hai’ah al-Misriyah, 1999)
p. 249
14
79
JURNAL NEFO | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2017
Islam adalah sikap, penyayang dan keadilan. 16
Mengapa al-Qur’an mewajibkan non-orang percaya untuk membayar beberapa pajak (jizyah)
kepada Nabi? perpajakan pada saat itu adalah jenis pengejaran kepada pemimpin. Hal ini jelas terkait
dengan langkah kedua. Pembayaran praktek perpajakan dilakukan oleh kerajaan-kerajaan pada saat
itu. Raja memiliki kaya semua kebijakan terbatas. Warga merasa menderita karena beban pajak yang
diwajibkan oleh raja kepada mereka. Dan Tabuk adalah wilayah dominasi untuk kerajaan Gassan yang
di bawah perintah kekaisaran Byzantium. Orang-orang di Tabuk sangat lemah dan sangat miskin karena
perpajakan kerajaan Gassan. Setelah mendengar bahwa Muhammad ingin datang ke Tabuk, mereka
sangat antusias dan berharap Nabi membebaskan mereka dari penindasan. Dan memang benar, karena
Muhammad membangun keadilan dan belas kasihan di Tabuk. Warga sangat senang untuk membayar
jizyah kepada Nabi. Dia membuat reformasi perpajakan ketika ia pertama diterapkan jizyah. Dengan
dua cara: perjanjian dengan orang-orang di Tabuk dan bernegosiasi untuk perpajakan yang paling
mudah bagi mereka.17
Langkah purposefulness diketahui dari apa yang praktek telah dilakukan oleh Nabi. Praktek Nabi
berlaku kesadaran, saling menghormati satu sama lain untuk warga Tabuk di jalan damai menunjukkan
bahwa Muhammad adalah pemimpin yang memiliki rasa hormat pada prinsip keadilan, kesetaraan
dan kebebasan.
Oleh karena itu, nilai-nilai universal dari ayat ini adalah nilai kesetaraan, nilai kebebasan, nilai
perdamaian dan nilai keadilan. Dan perbedaan antara prinsip dan nilai, prinsip adalah hal dasar untuk
membangun aturan tertentu atau canon, sedangkan nilai adalah sesuatu yang lebih global daripada
prinsip, diinternalisasi oleh orang-orang untuk melakukan semua aktivitas.
Sebuah. aplikasi kontekstual Untuk saat ini, dalam konteks ini, ayat-ayat yang radikal tidak dapat
diterapkan oleh umat Islam. Karena kondisi geo-politik telah berubah. Islam tidak harus melakukan
perang atau pertempuran ke dasar lain di ayat-ayat ini. Ayat ekstremisme adalah ayat-ayat dalam waktu
tertentu dan dalam kondisi sangat temporal. perubahan kondisi, sehingga ayat-ayat yang perubahan.
Dan satu hal dapat diterapkan dari ayat-ayat radikal adalah semangat dakwah Nabi.
Hal ini harus berada di bawah kebijakan ayat-ayat damai. Karena perdamaian adalah prinsip dan
nilai ajaran Islam. aplikasi kontekstual global untuk ayat ini adalah bagaimana menjadi seorang muslim
yang menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian, nilai-nilai keadilan, nilai-nilai kehormatan, nilainilai penghormatan, nilai-nilai kepercayaan di mana-mana, setiap waktu, setiap saat pada kehidupan
mereka.
Pada tingkat tertentu, ayat 9.29 adalah berbicara tentang jizyah, konsep dasar adalah sama dengan
pajak. Konteks ini tidak harus menerapkan konsep jizyah, karena sekarang, tidak ada bangsa dan
perang wilayah Islam lagi. Tapi, prinsip-prinsip ini ayat itu menemukan, harus diterapkan pada praktek
perpajakan, di era kontemporer. perpajakan hukum harus memberikan perhatian dengan prinsip
keadilan, prinsip kehormatan, prinsip kepercayaan dengan membangun sistem modern yang didasarkan
pada semua nilai-nilai. Kesimpulan ayat radikal, bagaimanapun, termasuk di isi al-Qur’an. Tapi, kita
harus tahu prinsip dan metode menafsirkan dan mengeksegesis ayat-ayatnya.
Melalui syariah maqashid dan pendekatan kontekstual, itu adalah salah satu metodologi untuk
Mustafa Maraghi, Tafsîr al-Marâgî (Cairo: Makatab Mustafa al-Baby, 1946) vol. 10, p. 92
Karen Armstrong, Islam; the Short History (New York: Chronicle Book, 2002) p. 23. See also: Safiyurrahman alMubarakfuri, Al-Rahîq al-Makhtoum (Riyadh: Dar al-Salam, 1414 H) p. 398
16
17
JURNAL NEFO | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2017
80
memahami ayat-ayat dengan membangun perdamaian dan pembangunan manusia. Ini semacam upaya
untuk melawan pemahaman ekstremis yang menerapkan Quran dengan tindakan yang salah.
Bibliografi
Allen, Christoper. “Justifying Islamophobia: A Post 9/11 Consideration of the European Union and
British Context” in American Journal of Islamic Social Sciences vol. 21, Summer 2004.
Armstrong, Karen. Islam; the Short History, New York: Chronicle Book, 2002.
Auda, Jasser. Maqashid Sharia as Philosophy of Islamic Law, London: The International Institute of
Islamic Thought, 2007.
Baqi, Muhammad Fuad Abd al-, Mu’jam Mufahras lî Alfâz al-Qurân, Cairo: Dar al-Hadith, 1364.
Maraghi, Mustafa. Tafsîr al-Marâgî, Cairo: Makatab Mustafa al-Baby, 1946.
Mubarakfuri, Safiyurrahman al-, Al-Rahîq al-Makhtoum (Riyadh: Dar al-Salam, 1414 H) p. 398
Muhammad Abduh and Rashid Rida, Tafsîr al-Qurân al-Hakîm; Tafsîr al-Manâr, Cairo: al-Hai’ah
al-Misriyah, 1999.
Pippa Norris and Ronald Inglehart, Islam and The West: Testing the Clash of Civilization Thesis, Harvard:
Harvard University Press, 2002.
Saeed, Abdullah. Interpreting the Quran: Towards a Contemporary Approach, London: Routledge,
2006.
Shatibi, Ibrahim Muhammad al-, Al-Muwâfaqât fî Usûl al-Sharia, Beirut: Dar Ibn Affan, 1997.
Syamsuddin, Sahiron. “Pesan Damai di Balik Seruan Jihad” in Sahiron Syamsuddin (ed), Islam Tradisi
dan Peradaban, Yogyakarta: Bina Mulia Press, 2012.
The Holy Quran, www.JasserAuda.net Accessed on Desember 9th 2015
Download