BAB II Kajian Pustaka

advertisement
BAB II
Kajian Pustaka
2.1 Landasan Teori
2.1.1
Teori Keagenan
Menurut Arifin (2007), Jensen dan Meckeling (1976) adalah orang
pertama yang memasukkan unsur manusia dalam model yang terpadu tentang
perilaku perusahaan. Model tersebut menggambarkan perusahaan sebagai
kumpulan kontrak antar pihak-pihak yang berinteraksi didalam perusahaan.
Menurut Arifin (2005) teori agensi mendasarkan hubungan kontrak antar anggotaanggota dalam perusahaan, dimana prinsipal dan agen merupakan pelaku utama.
Prinsipal adalah pihak yang memberikan mandat kepada agen untuk bertindak
atas nama prinsipal, sementara agen merupakan pihak yang diberikan mandat
untuk bertindak atas nama prinsipal (Arifin 2005). Hal tersebut akan
mensyaratkan agen untuk bertanggung jawab atas setiap tindakannya kepada
prinsipal.
Aplikasi teori agensi dapat terwujud dalam kontrak yang mengatur proporsi hak
dan
kewajiban
masing-masing
pihak
dengan
tetap
memeperhitungkan
kemanfaatan secara keseluruhan. Kontrak kerja merupakan seperangkat aturan
yang mengatur mekanisme bagi-hasil, baik yang berupa keuntungan, return,
maupun risiko-risiko yang disetujui oleh prinsipal dan agen (Arifin 2005).
Menurut Scot (1997) inti dari teori keagenan adalah pendesainan kontrak yang
tepat untuk menyelaraskan kepentingan prinsipal dan agen dalam kondisi terjadi
konflik kepentingan.
11
12
2.1.2 Corporate governance
Corporate governance
perusahaan yang buruk dipandang sebagai
mengancam operasi dan keberadaan organisasi. Bahkan itu adalah salah satu
penyebab pecahnya 1997 Krisis keuangan Asia (ADBI, 2011).
alam bisnis
apapun, pemerintahan memerlukan aspek penting untuk memastikan kehati-hatian
dan transparansi operasi yang mempromosikan kepentingan pihak-pihak terkait
dengan organisasi. Tata kelola perusahaan adalah serangkaian proses, kebijakan
atau undang-undang yang mempengaruhi cara korporasi diarahkan, diberikan atau
dikendalikan (Odierno, 2009). Tujuan corporate governance adalah memastikan
akuntabilitas individu dalam suatu organisasi dengan mencoba untuk mengurangi
atau menghilangkan risiko salah satu pihak bertindak dalam kepentingan sendiri
terhadap pihak lain (menyelaraskan kepentingan semua pihak) (Odierno, 2009)
.Ini adalah Mekanisme yang digunakan untuk memantau tindakan, kebijakan dan
keputusan
perusahaan.
Corporate
governance
perusahaan
dikatakan
meningkatkan citra perusahaan, keberlanjutan (Lensson, G. et all, 2010). Dalam
upaya untuk memacu perkembangan takaful BNM mengalami penurunan jumlah
aturan dan pedoman yang berkisar kecukupan modal, laporan keuangan, anti
pencucian uang dan batas dan standar kehati-hatian.
Prinsip-prinsip dasar corporate governance agar terwujudnya praktik
goodcorporate governance yang perlu diperhatikan adalahberdasarkan lima
prinsip utama yaitu : transparasi, pertanggungjawaban, akuntabilitas, profesional,
dan kewajaran.
13
a. Transparasi
Pengertian prinsip transparansi menurut peraturan Bank Indonesia
nomor11/33/PBI/2009 adalah keterbukaan dalam mengemukakan informasi
yangmaterial dan relevan serta keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan.
Menurut OECD (2004) konsep corporate governance harus menjamin
adanyapengungkapan yang tepat waktu dan akurat untuk setiap permasalahan
yangberkaitan dengan perusahaan. Pengungkapan ini meliputi informasi
mengenaikeadaan keuangan, kinerja perusahaan, kepemilikan, dan pengelolaan
perusahaan.
b. Pertanggung jawaban
Menurut
peraturan
Bank
Indonesia
nomor
11/33/PBI/2009,
pertanggungjawaban adalah kesesuaian pengelolaan bank dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan bank
yangsehat. Sedangkan menurut OECD (2004) responsibilitas adalah adanya
tanggung jawab pengurus dalam manajemen, pengawasan manajemen serta
pertanggungjawaban kepada perusahaan dan para pemegang saham. Prinsip ini
tercermin dalam kerangka corporate governance harus memberikan pengakuan
terhadap hak-hak stakeholders, seperti yang telah ditentukan dalam undangundang, dan mendorong kerjasama yang aktif antara perusahaan dengan para
stakeholders tersebut dalam rangka menciptakan lapangan kerja, kesejahteraan
masyarakat dan kesinambungan usaha.
Menurut
Linan
dalam
Hastuti
(2005)
juga
menyatakan
bahwa
prinsippertanggungjawaban ini meliputi antara lain, menjamin hak pihak-
14
pihakberkepentinggan, para pihak yang berkepentingan harus mempunyai
kesempatan untuk mendapatkan ganti rugi yang efektif atas pelanggaran hak-hak
mereka, dibukanya mekanisme pengembangan prestasi bagi keikutsertaan pihak
yang berkepentingan, dan jika perlu, para pihak yang berkepentingan harus
memiliki akses terhadap informasi yang relevan.
c. Akuntabilitas
Menurut
peraturan
Bank
Indonesia
nomor
11/33/PBI/2009,
akuntabilitasadalah kejelasan fungsi dan pelaksanaan pertanggungjawaban organ
bank sehingga pengelolaannya berjalan secara efektif. Menurut OECD (2004)
prinsip ini dapat dijalankan dengan cara adanya kejelasan fungsi pelaksanaan dan
pertanggungjwaban dari organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan dapat
terlaksana secara efektif. Konsep corporate governance harus menjamin adanya
pedoman stategis perusahaan, pemantauan yang efektif terhadap manajemen
perusahaan yang dilakukan oleh Dewan Komisaris, dan akuntabilitasnya terhadap
perusahaan dan pemegang saham dan anggota direksi harus bertindak mewakili
kepentingan perusahaan dan pemegang saham.
d. Profesional
Prinsip ini menekankan agar pengelolaan Perbankan Syariah sebaiknya
dikelola secara profesional ataupun tanpa adanya tekanan atau pengaruh dari
pihak lain sehingga conflict of interest dapat dihindari sejauh mungkin. Jadi
sikapseluruh jajaran bank sebagai entitas ekonomi yang mandiri, bebas dari
kepentingan sepihak terutama yang berpotensi merugikan stakeholders dan
mampu mengambil keputusan secara objektif.
15
e. Kewajaran
Menurut FCGI prinsip kewajaran ini meliputi, Perlakuan yang sama
terhadap para pemegang saham, perilaku perusahaan (corporate conduct) dan atau
kebijakan-terutama kepada pemegang saham minoritas dan pemegang saham
asing, dengan keterbukaan informasi yang penting serta melarang pembagian
untuk pihak sendiri dan perdagangan saham oleh orang dalam (insider trading).
Prinsip ini diwujudkan antara lain dengan membuat peraturan korporasi yang
melindungi kepentingan minoritas, membuat pedoman kebijakan yang melindungi
korporasi terhadap perbuatan buruk orang dalam, self-dealing, dan konflik
kepentingan, menetapkan peran dan tanggung jawab Dewan Komisaris, Direksi,
dan Komite, termasuk sistem remunerasi, menyajikan informasi secara wajar atau
pengungkapan penuh material apa pun, mengedepankan Equal Job Opportunity.
Prinsip kewajaran menurut Linan dalam Hastuti (2005) diungkapkan dalam
adanya perlindungan bagi seluruh hak pemegang saham dan perlakuan yang sama
bagi para pemegang saham.
Prinsip-prinsip tersebut dapat diimlementasikan melalui pelaksanaan tugas
oleh organ perusahaan seperti dewan komisaris, dewan direksi, komite audit,
kepemilikan manjerial dan kepemilikan institusional Linan dalam Hastuti (2005).
Penjelasan mengenai organ perusahaan tersebut sebagai berikut:
1. Dewan komisaris
Dalam suatu organ perusahaan, dewan komisaris memiliki tugas dan
tanggungjawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan
nasihat kepada Direksi serta memastikan bahwa perusahaan melaksanakan GCG,
16
akan tetapi dewan komisaris tidak diperbolehkan turut serta dalam mengambil
keputusan operasional. Jumlah anggota dewan komisaris yang pas tergantung
pada industri dimana perusahaan berada karena akan turut menentukan jenis
kompetensi yang sebaiknya dimiliki oleh dewan komisaris secara menyeluruh.
Dewan komisaris yang dimaksud disini adalah jumlah anggota dewan komisaris
dalam perusahaan.
2. Dewan Direksi
Dewan direksi merupakan anggota dewan independen yang berasal dari
luar perusahaan yang berfungsi untuk menilai kinerja perusahaan secara luas dan
keseluruhan. Dewan direksi di dalam suatu perusahaan merupakan dewan yang
independen dan yang tidak terafiliasi yaitu tidak memiliki hubungan bisnis dan
kekeluargaan dengan pemegang saham pengendali, anggota direksi dan dewan
komisaris lain serta perusahaan itu sendiri dengan manajemen.
3. Komite Audit
Peraturan bank Indonesia no.11/33/PBI/2009 tentang pelaksanaan good
corporate governance pada Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah juga
mengatur mengenai komite audit. Bank Indonesia menghendaki bahwa komite
audit yang ada pada BUS minimal terdiri dari 3 orang yaitu seorang komisaris
independen, seorang independen yang ahli di bidang akuntansi keuangan dan
seorang independen yang ahli dalam bidang Perbankan Syariah. Pengangkatan
anggota komite audit tersebut ditetapkan oleh direksi berdasarkan keputusan rapat
dewan komisaris. Menurut peraturan tersebut tugas dan tanggung jawab komite
audit adalah sebagai berikut :
17
a. Melakukan evaluasi atas pelaksanaan audit internal dalam rangka
menilai kecukupan pengendalian internal termasuk kecukupan proses
pelaporan keuangan.
b. Melakukan koordinasi dengan kantor akuntan publik dalam rangka
efektivitas pelaksanaan audit eksternal.
c. Melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan tindak lanjut oleh direksi
atas hasil temuan audit dan rekomendasi dari hasil pengawasan bank
Indonesia, auditor internal, dewan pengawas syariah, dan auditor
eksternal.
4. Kepemilikan Manajerial
Menurut Utami (2014) kepemilikan manajerial adalah konsentrasi adanya
kepemilikan saham oleh pihak manajemen (agen) dalam suatu perusahaan. Besar
kecilnya jumlah kepemilikan saham manajerial dalam perusahaan dapat
mengindikasikan adanya kesamaan (congruence) kepentingan antara manajemen
dengan pemegang saham. Kepemilikan manajerial akan menjadi mekanisme
untuk mengurangi masalah keagenan dari manajer dengan menyelaraskan
kepentingan-kepentingan manajer dengan pemegang saham.
5. Kepemilikan Institusional
Kepemilikan Institusional adalah kepemilikan saham perusahaan oleh
institusi keuangan seperti perusahaan asuransi, bank, dana pensiun, dan
bankerinvestasi. Kepemilikan institusional berfungsi sebagai pihak yang
mengawasi perusahaan. Semakin besar kepemilikan institusional artinya ruang
gerak manejemen untuk mementingkan keuntungannya sendiri semakin kecil,
18
karena kepemilkan manajerial yang besar atau lebih dari 50% mengindikasikan
untuk mengawasi dan memonitor manajemen.
2.1.3 Manajemen Risiko
Tampubolon (2004) memberikan beberapa definisi tentang manajemen
risiko sebagai berikut:
a. Manajemen risiko merupakan titik sentral dari manajemen strategik Bank.
Manajemen risiko merupakan proses dimana sebuah Bank secara metodik
menghubungkan risiko yang melekat pada kegiatannya dengan tujuan untuk
mempertahankan atau memperbesar keuntungan dari setiap aktivitas dan lintas
portofolio dari semua kegiatan.
b. Fokus manajemen risiko yang baik adalah mengidentifikasi, mengelola, dan
mengendalikan risiko dengan sebaik-baiknya. Tujuannya untuk menambah value
dari semua aktivitas Bank ke arah yang paling maksimal. Proses ini akan
memimpin kita terhadap pemahaman mengenai faktor-faktor yang berpotensi
memiliki dampak ke atas (upside), yaitu yang menguntungkan Bank, dan ke
bawah (downside), yaitu yang merugikan Bank. Hal ini akan mengingatkan
peluang untuk sukses dan mengurangi kemungkinan gagal maupun ketidakpastian
dalam mencapai tujuan perusahaan.
c. Manajemen risiko adalah sejumlah kegiatan atau proses manajemen yang
terarah dan bersifat proaktif yang ditujukan untuk mengakomodasi kemungkinan
gagal pada salah satu atau sebagian dari sebuah transaksi atau instrument. Karena
19
itu manajemen risiko harus merupakan sebuah proses yang dinamis, tidak statis,
dan berubah sejalan dengan perubahan kebutuhan dan risiko usaha.
d. Manajemen risiko haruslah merupakan proses yang terus bertumbuh dan
berkelanjutan, mulai dari penyusunan strategi Bank sampai pada penerapan
strategi tersebut. Kegiatan ini harus secara metodik mengidentifikasi semua risiko
yang ada disekitar kegiatan Bank di masa lalu, masa kini, dan terlebih lagi di masa
yang akan datang.
e. Esensi dari manajemen risiko yaitu adanya persetujuan bersama (komite atau
korporat) atas tingkat risiko yang dapat diterima atau ditolerir dan seberapa jauh
program pengendalian risiko telah disusun untuk mengurangi dampak negatif dari
risiko yang akan diambil tersebut.
f. Manajemen risiko harus diintegrasikan ke dalam budaya organisasi melalui
sebuah kebijakan dan sebuah program yang efektif karena diarahkan oleh semua
manajemen puncak. Manajemen risiko menerjemahkan strategi ke dalam teknik
dan tujuan-tujuan operasi, menetapkan tanggung jawab ke seluruh organisasi
dimana setiap manajer dan pegawai bertanggung jawab dalam mengelola risiko
sebagai bagian dari deskripsi jabatannya.
Menurut Darmawi (2011), ada beberapa risiko yang sering dihadapi bank
antara lain: risiko kredit (financing risk) , risiko likuiditas dan risiko operasional
merupakan risiko yang dihadapi bank karena menyalurkan dananya dalam bentuk
pinjaman kepada nasabah. Karena berbagai hal, nasabah tidak mampu memenuhi
20
kewajibannya seperti pembayaran pokok dan bunga pinjaman, sehingga bank
mengalami kerugian karena tetap mengeluarkan beban bunga untuk simpanan
nasabah. Peningkatan kredit bermasalah tersebut menyebabkan pendapatan dan
laba menurun, ROA dan ROE juga mengalami penurunan. Oleh karena itu,
perbankan perlu meningkatkan pengelolaan terhadap financing risknya agar
tingkat kredit bermasalah atau NPLnya tidak melebihi ketentuan dari Bank
Indonesia (BI).
Bank Indonesia (PBI) no.13/3/2011 menetapkan bahwa rasio NPL
maksimal 5% dari total kredit. Apabila rasio NPL berada dibawah ketentuan BI
menunjukkan bahwa bank dapat mengelola financing risknya dengan baik karena
mampu meminimalkan kredit macetnya. Sebaliknya, kenaikan NPL diatas 5%
mengindikasikan bank kurang berhasil dalam mengelola kredit bermasalahnya.
Risiko likuiditas merupakan risiko yang disebabkan oleh ketidakmampuan bank
memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo. Ketidak mampuan bank tersebut
akan mempengaruhi kredibilitas bank karena menurunkan tingkat kepercayaan
masyarakat. Sebagai lembaga yang sumber dana terbesarnya berasal dari
masyarakat, bank tidak akan mampu bertahan beroperasi tanpa adanya
kepercayaan tersebut.
Syamsuddin (2007), mengemukakan bahwa semakin tinggi rasio
likuiditasnya maka semakin baik suatu perusahaan, karena semakin tinggi rasio
ini berarti jumlah kredit yang disalurkan meningkat sehingga menyebabkan
pendapatan bunga dan laba yang diterima meningkat.
21
2.1.4 Pencapaian Maqashid Syariah
Bank Syariah adalah lembaga bisnis Syariah yang memiliki tujuan untuk
memberikan kontribusi mencapai Maqashid Shariah. Menurut Shahul et.al (2004),
Bank Syariah pada umumnya hanya memiliki pengukuran kinerja berdasarkan
pengukuran Konvensional. Tolak ukur Konvensional ini sudah merupakan
dimensi yang mendunia, yaitu untuk mengukur kinerja keuangan. Shahul et.al
(2004) mencoba untuk menyusun pengukuran kinerja berdasarkan kepada prinsipprinsip Syariah. Usaha Shahul et.al (2004) kemudian mendorong Mohammed dan
Taib (2009) mengembangkan alat ukur kinerja Bank Syariah dalam pencapaian
Maqashid Shariah. Pengukuran kinerja Maqashid Shariah tersebut menurut
Mohammed dan Taib (2009) mencerminkan tanggung jawab dan kewajiban yang
diharapkan dari Bank Syariah.
Mohammed dan Taib (2009) dalam mengembangkan pengukuran kinerja
pencapaian Maqashid Shariah mengadopsi teori Abu Zaharah yang mengenai AlMaqashid. Menurut Abu Zaharah sebagaimana yang dikutip oleh Mohammed dan
Taib (2009) mengatakan bahwa pencapaian Maqashid Shariah setidaknya dapat
dilihat dari tiga dimensi yaitu Tahdhib al-Fard (Pendidikan individu), Iqamah al‘Adl (Penciptaan Keadilan) dan Jalb al-Maslahah (Pencapaian Kepentingan
Publik).
Uraian dari dimensi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tahdhib al-Fard (Pendidikan individu)
Berkaitan dengan kinerja Bank Syariah, mendidik individu ini mengacu
pada peran Bank Umum Syariah dalam mendidikan dan meningkatkan kesadaran
22
karyawan dan masyarakat mengenai produk-produk Bank Syariah (Reni, Muklis
dan Cholisni 2014). Secara praktis tujuan ini dapat dicapai dengan bekerja sama
dengan instistusi pendidikan, media masa dan lain sebagainya.
2. Iqamah al-‘Adl (Penciptaan Keadilan)
Tujuan ini menghendaki bahwa Bank Syariah harus menegakkan keadilan
dari operasi usahanya untuk semua pihak yang berhubungan dengan bank. Tujuan
ini dapat tercapai melalui transparansi dalam laporan keuangan, distribusi yang
adil dari keuntungan yang diperoleh atas investasi, pembebanan biaya yang tidak
memberatkan nasabah dan lain-lain (Reni, Muklis dan Cholisni 2014). Hal lain
yang perlu ditekankan juga adalah bahwa bank syariah memandang semua
stakeholder memiliki hak yang proporsional, tidak seperti bank konvensional
yang sangat memuliakan pemegang saham.
3. Jalb al-Maslahah (Pencapaian Kepentingan Publik).
Bank syariah dapat ikut serta memajukan kesejahteraan masyarakat
(maslahah) melalui alokasi pembiayaan yang menguntungkan sebagian besar
masyarakat (Reni, Muklis dan Cholisni 2014). Hal tersebut tidak menandakan
bahwa bank harus memberikan pembiayaan pada sektor yang paling
menguntungkan (profit) terlebih dahulu, namun memberikan pembiayaan yang
paling membutuhkan terlebih dahulu. Contoh jika pembiyaan lebih banyak
dibutuhkan oleh industri pertanian maka bank harus mengalokasikan pembiayaan
yang lebih besar untuk industri tersebut dari pada industri lain yang mungkin
memberikan tingkat return yang lebih tinggi. Namun begitu tujuan yang tidak
mengedepankan
maksimalisasi
profitabilitas
bukan
berarti
mengabaikan
23
profitabilitas. Hal itu karena pada dasarnya bank telah terikat oleh bisnis yang
menghendaki adanya laba, karena bank menahan banyak uang dari banyak orang
yang menghendaki laba. Uang yang dipercayakan kepada bank tersebut menjadi
amanah bank untuk mengoperasikannya dan pemilik menghendaki adanya laba.
Pemaparan sebelumnya menandakan bahwa perlu adanya keseimbangan antara
kepentingan komersial dan sosial serta menjalankannya sesuai Syariah Islam
(Reni, Muklis dan Cholisni2014). Oleh karena itu bank syariah juga perlu ikut
serta mendistribusikan pendapatannya kepada pihak yang berhak mendapatkannya
(zakat,Infaq, Shodaqoh) karena hal tersebut juga merupakan usaha untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Mohammed dan Taib (2009) mengatakan bahwa dalam tujuan pertamanya
Abu Zaharah menyebutkan istilah Tahdhib, yaitu menunjukkan penyebaran
pengetahuan dan keterampilan serta menanamkannya kedalam nilai-nilai individu
untuk perkembangan spiritualnya. Dengan demikian, Bank Syariah harus
merancang program-program pendidikan dan pelatihan yang harus dapat
mengembangkan tenaga kerja berpengetahuan dan terampil serta memiliki nilainilai moral yang tepat. Selain itu Bank Syariah juga harus memberikan informasi
tentang produk-produk mereka kepada para pemegang saham.
Menurut Mohammed dan Taib (2009), Abu Zaharah menyebutkan bahwa
dalam mencapai tujuan kedua adalah keadilan, Bank Syariah harus memastikan
transaksi wajar dalam semua kegiatan bisnis, yang meliputi produk, harga dan
jangka waktu dalam kontrak dan kondisinya. Bank Syariah juga harus
memastikan bahwa semua usaha bisnis yang bebas dari unsur-unsur negatif dapat
24
menimbulkan ketidakadilan, seperti riba (termasuk bunga), penipuan atau
kecurangan, korupsi, dll. Secara tidak langsung, Bank Syariah harus bijak dalam
menggunakan keuntungannya dan mengarahkan kegiatan-kegiatannya kearah
yang penting, yang dapat membantu mengurangi pendapatan dan kesenjangan
sosial, serta dapat memutarkan harta dan pembagian bagi hasil secara adil.
Berkaitan dengan tujuan ketiga, Mohammed dan Taib (2009) mengatakan bahwa
Abu Zaharah menyatakan Bank Syariah harus mampu menciptakan maslahah
atau pencapaian kepentingan publik. Bank Syariah harus bisa memberikan
prioritas untuk kegiatan bisnis yang menghasilkan manfaat yang lebih besar
kepada masyarakat. Kegiatan ini termasuk dibidang yang berkaitan dengan
kebutuhan dasar masyarakat seperti investasi pada sektor-sektor penting dan
pembiayaan proyek perumahan.
Berdasarkan pada hasil penelitian Mohammed, Razak dan Taib (2008)
operasional pengukuran Kinerja maqasid syariah bank syariahdapat dijelaskan
pada gambar tabel 2.1 :
25
Tabel 2.1 Kinerja Maqashid Syariah Dalam Penelitian Sebelumnya
no Konsep
Ukuran
Elemen
Rasio kinerja
Sumber
data
Pendidik
D1. Kemajuan
Bantuan
R1. Nilai 1 =
Annual
an
Pengetahuan
Pendidikan
memilikibantuan
report
Individu
pendidikan, 0 =
tidakmemberikan
bantuan pendidikan
Penelitiaan
Annual
R2. Biaya
report
penelitian/total biaya
1
D2.Penanaman
Pelatihan
R3.
Annual
dan
Biayapelatihan/total
report
peningkatan
biaya
ketrampilan
baru
D3.
Menciptakan
kesadaraan atas
perbankan
Publikasi
R4. Biaya promosi/total Annual
Biaya
report
26
syariah
Pendidik
Pengembalian
an
atau Pembagian
Individu
secara adil
2
Fair Return
R5. Laba bersih/total
Annual
Pendapatan
report
Produkdan
Harga yang
R6.Total
Annual
pelayanyang
terjangkau
pembiayaan&piutang
report
terjangkau
bersih/ Total
pembiayaan&piutang
Menghilangkan
Produk
R7. Pendapatan bebas
Annual
Ketidakadilan
bebasBunga
bunga/total pendapatan
report
Rasio laba
R8.Lababersih/total
Annual
asset
report
R9. Zakat/ laba bersih
Annual
Pencapai Profitabilitas
an
kepentin
gan
DistribusiPenda
Pendapatan
publik
patandan
Individu
report
Investasidalam
Rasioinvesta R10.Total investasi
Annual
SektorRiil
si di
report
3
Kesejahteraan
sektor riil/ total asset
27
sektor riil
Sumber : Mohammed, Razak dan Taib (2008)
Beberapa elemen pengukuran diatas dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Bantuan Pendidikan
Bantuan pendidikan adalah bantuan yang diberikan bank syariah untuk
kemajuan pendidikan, baik itu berupa beasiswa, atau bantuan peralatan yang dapat
mendukung pendidikan yang lebih baik. Pengukuran bantuan pendidikan telah
disesuaikan dengan data yang ada di perbankan syariah di Indonesia. Pengukuran
menurut Mohammed, Razak dan Taib (2008) untuk bantuan pendidikan adalah
biaya pendidikan dibagi dengan total biaya, namun karena tidak semua bank
syariah mengungkapkan nilai bantuan pendidikan maka pengukurannya diubah
dengan memberikan nilai 1 pada bank yang memberikan bantuan pendidikan, dan
nilai 0 untuk bank yang tidak memberikan bantuan pendidikan.
b. Penelitian
Biaya penelitian mengacu pada total biaya yang dikeluarkan oleh bank
syariah terkait dengan penelitian untuk pengembangan produkproduk syariah dan
penelitian untuk perbaikan-perbaikan operasi Bank Syariah yang lebih syari dan
lebih baik.
c. Pelatihan
Biaya pelatihan mengacu pada biaya yang telah dikeluarkan bank syariah
untuk mendidik dan melatih sumber daya manusia.
d. Publikasi
28
Biaya publikasi mengacu pada biaya yang telah dikeluarkan bank untuk
melakukan promosi atas produk-produk syariah yang dimilikinya.
e. Fair Return
Fair return diukur dengan laba bersih dibagi dengan total pendapatan.
f. Harga yang terjangkau
Harga yang terjangkau diukur dari total pembiayaan dan piutang setelah
dikurangi penyisihan kerugian dibagi dengan total pembiayaan dan piutang.
Penyisihan kerugian atas pembiayaan dan piutang dibentuk berdasarkan
pengalaman bank mengenai tingkat ketidak tertagihan pembiayaan dan piutang
yang telah diberikan kepada nasabah. Oleh karenanya penyisihan kerugian dapat
mencerminkanketerjangkauan produk bank.
g. Produk bebas bunga
Produk bebas bunga diukur dengan dari produk bebas bunga dibagi total
pendapatan. Produk bebas bunga diukur dengan dari total pendapatan dikurangi
dengan pendapatan non-halal yang dilaporkan bank dalam laporan laba rugi dan
laporan dana qordul hasan.
h. Rasio laba
Rasio ini mengukur kemampuan bank dalam menghasilkan laba, diukur
dengan Return on Assets (ROA).
i. Pendapatan individu
Rasio ini mengacu pada tingkat pemberian zakat yang dikeluarkan bank
dibandingkan dengan laba bersih.
j. Investasi sektor riil
29
Investasi sektor riil mengacu pada investasi dalam bentuk nonsurat
berharga maupun surat berharga yang sesuai dengan syariah Islam dimana surat
berharga tersebut dikeluarkan oleh perusahaan nonkeuangan dengan jangka waktu
lebih dari satu tahun. Selain itu juga pembiayaan yang diberikan bank kepada
nasabah yang digunakan untuk aktivitas dalam sektor riil. Berdasarkan pada
review atas data yang akan dipakai, maka pembiayaan kepada nasabah in di ukur
dari total pembiayaan mudharabah dan musyarakah yang diberikan dikurangi
pembiayaan mudharabah dan musyarakah pada sektor jasa usaha, jasa sosial dan
konsumsi.
2.2
PenelitianTerdahulu
Beberapa
peneliti
telah
mengevaluasi
kinerja
perbankan
syariah
menggunakan maqashid indeks telah dilakukan oleh Muhammad, Razak dan Taib
dalam penelitiannya yang berjudul “ Pengukuran Kinerja Perbankan Syariah
berdasarkan Kerangka Maqashid Indeks yang dikembankan menggunakan metode
SAW ( Simple Additive Weighting). Ada enam sampel bank syariah yang
digunakan didalam penelitaanya (Bank Muamalat Malaysia, Islamic Bank
Bangladesh, BSM Indonesia, Bahrain Islamic Bank, IIABJ Jordan, dan Sudan
Islamic Bank) dalam kurun waktu enam tahun (2000-2005) ( Mohammed, Razak
dan Taib, 2008).
Variabel yang digunakan mengacu pada teori Maqashid Syariah oleh Abu
Zahrah yang membahas Tahdzib al-Fard, Iqomat Al-Adl dan Maslahah. Untuk
variabel operasionalnya diukur dengan menggunakan konsep Sekaran, maka
30
diperoleh 10 rasio yang menjadi indikator kinerja. Dari 10 rasio, Muhammad,
Razak dan Taib hanya menggunakan 7 rasio pada penelitian mereka. Hasilnya
menunjukan bahwa tidak ada bank tunggal mampu memperoleh kinerja tinggi
dengan 7 rasio. Namun didalam peringkat bank tersebut, bank IIABJ Jordan
diperingkat paling atas lalu BSM Indonesia, Bahrain Islamic Bank, Bangladesh
Islamic Bank, Bank Muamalat Malaysia dan yang terakhir Sudan Islamic Bank.
Oleh karena itu, bank syariah perlu mengevaluasi ulang tujuan dan sasaran
mereka agar sesuai dengan Maqasid Syariah (Mohammed, Razak dan Taib, 2008).
Kinerja Maqasid Syariah dari salah satu bank syariah di Indonesiamasih
berada pada peringkat 3 dari 6 sampel bank syariah yang di temukan oleh
Mohammed, Razak dan Taib (2008), hal itu menunjukkan bahwa kinerjanya
belum terlalu bagus sehingga perlu didalami faktor yang mungkin dapat
mendorong peningkatan kinerja bank tersebut. Bagi masyarakat muslim, bank
yang merupakan komponen vital dari kegiatan ekonomi harus berlandaskan pada
Syariah Islam, yang sering disebut sebagai Bank Syariah atau Bank Islam.
Menurut Mohammed, Razak dan Taib (2008) tujuan Bank Syariah akan tepat jika
diturunkan dari Maqasid Syariah (tujuan syariah), sehingga untuk mengukur
apakah tujuan tersebut tercapai atau tidak maka pengukuran kinerjanya pun harus
berdasarkan Maqasid Syariah. Kebanyakan sekarang ini, bank syariah Islam
mengadopsi pengukuran kinerja Bank Konvensional untuk mengukur kinerjanya,
hal ini mengakibatkan pengukuran kinerja bank hanya fokus pada pengukuran
kinerja berkenaan dengan kemampuan menghasilkan laba layaknya pengukuran
kinerja Bank Konvensional.
31
2.3
Kerangka penilitian
Seperti yang telah dijelaskan dalam teori di atas dan dari pengaruh
corporate governance dan manajemen risikoterhadap kinerja perbankan syariah
berbasis maqashid syariah, maka dibuat suatu kerangka pemikiran. Terdapat tiga
variabel independen yang terdiri dari manjemen risiko kredit,manajemen risiko
likuiditasdan corporate governance serta satu variabel dependen yaitu kinerja
perbankan syariah berbasis maqashid syariah. Kerangka pemikiran tersebut
ditampilkan dalam gambar 2.1:
32
Gambar 2.1 Kerangka Penelitian
Corporate Governnace
Manajemen Risiko
Manajemen
risiko
likuiditas
Financing
Risk
Dewan
Komisaris
Komite
Audit
Kepemilikan
Konstitusional
Kinerja Perbankan Berbasis Maqasid Syariah
2.4
Hipotesis Penelitian
2.4.1 Pengaruh jumlah Dewan Komisaris terhadap kinerja Perbankan
Syariah berbasis Maqashid Syariah
Dewan komisaris memeliki tugas untuk memberikan saran dan melakukan
pengawasan terhadap tugas dan tanggung jawab direksi terkait dengan operasional
bank. Dewan komisaris juga memiliki kewajiban memastikan bahwa direksi telah
menindaklanjuti temuan maupun rekomendasi yang diberikan oleh dewan
pengawas syariah terhadap syariah Islam.
Muttakin dan Ullah (2012) yang meneliti 30 bank di bangladesh dan penelitian
Hoque, Islam dan Ahmed (2012) yang meneliti 25 bank di bangladesh 2003-2011
menemukan bahwa jumlah board ofdirector (komisaris) mempengaruhi kinerja
33
keuangan bank. Penelitian Santoso (2012) yang meneliti kinerja bank
merger,menemukan bahwajumlah komisaris berpengaruh positif terhadap kinerja
bank yang melakukan merger.
H1 : Jumlah Dewan Komisaris berpengaruh positif terhadap kinerja
Perbankan Syariah berbasis Maqashid Syariah
2.4.2 Pengaruh jumlah Komite Audit terhadap kinerja Perbankan Syariah
bebasis Maqashid Syariah
Sam’ani (2008) dalam penelitian Sawitri Sekaredi (2011) mengatakan
bahwa jumlah komite audit memiliki pengaruh terhadap kinerja perusahaan.
Menurut Sam’ani (2008) dalam penelitian Sawitri Sekaredi (2011) tugas komite
audit yaitu memelihara kredibilitas proses penyusuan laporan keuangan,
mengoptimalkan fungsi pegawasan, mengawasi audit eksternal dan menjadi
sistem pengendalian internal perusahaan. Dengan berjalannya fungsi audit secara
efektif, maka control terhadap perusahaan akan lebih baik, sehingga konflik
keagenan yang terjadi akibat keinginan manajemen untuk meningkatkan
kesejahteraannya sendiri dapat diminimalisasi.
H2: Jumlah Komite Audit berpengaruh positif terhadap kinerja Perbankan
Syariah berbasis Maqashid Syariah
34
2.4.3 Pengaruh
jumlah
Kepemilikan
Institusional
terhadap
kinerja
Perbankan Syariah berbasis Maqashid Syariah
Corporate Governance atau tata kelola perusahaan merupakan mekanisme
pengendalian untuk mengatur dan mengelola bisnis dengan maksud untuk
meningkatkan
kemampuan
dam
akuntabilitas
perusahaan
guna
mempertimbangkan kepentingan pihak-pihak yang berkaitan dengan perusahaan
(stakeholder), tidak hanya kepentingan para pemegang saham (shareholder).
Dengan praktek tata kelola perusahaan yang baik akan meningkatkan nilai
perusahaan diantaranya kinerja keuangan perusahaan, mengurangi risiko yang
merugikan akibat dari tindakan pengelola yang cenderung menguntukan dirinya
sendiri dan meningkatkan harga saham perusahaan jangka panjang. Disisi lain,
kepemilikan institusional berpengaruh terhadap mekanisme corporate governance
sebagai alat monitoring. Menurut Lastanti (2005) menyatakan bahwa aktifitas
monitoring institusi mampu mengubah struktur pengelolaan perusahaan yang
mampu meningkatkan kemakmuran pemegang saham sehingga nilai perusahaan
meningkat.
H3: Jumlah Kepemilikan Institusional berpengaruh positif terhadap kinerja
perbankan berbasis maqashid syariah.
35
2.4.4 Pengaruh variabel financing risk terhadap kinerja perbankan berbasis
maqashid syariah
Antonio (2001) dan Arifin (2002) menguraikan penyebab utama terjadinya
risiko kredit adalah terlalu mudahnya bank memberikan pinjaman atau melakukan
investasi karena terlalu dituntut untuk memanfaatkan kelebihan likuiditas.
Akibatnya, penilaian pembiayaan kurang cermat dalam mengantisipasi berbagai
kemungkinan risiko usaha yang dibiayainya. Risiko akan semakin tampak ketika
prekonomian dilanda krisis. Turunnya penjualan mengurangi pengahasilan
perusahaan sehingga perusahaan mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban
membayar utang-utangnya. Hal ini semakin dibebani oleh meningkatnya tingkat
bunga. Pada saat bank akan mengeksekusi pembiayaan macet, bank tidak akan
memperoleh hasil yang memadai karena jaminan yang ada tidak sebanding
dengan besarnya pembiayaan yang diberikan.
Dalam penelitian Wisnu Mawardi (2005), NPL merupakan proksi dari
resiko kredit yangterdapat dalam laporan keuangan publikasi. Bank dapat
menjalankan operasinya dengan baik jikamempunyai NPLdibawah 5%. Kenaikan
NPL yang semakin tinggi menyebabkan cadanganPenyisihan Penghapusan Aktiva
Produktif (PPAP) yang ada tidak mencukupi sehingga pemacetankredit tersebut
harus diperhitungkan sebagai beban (biaya) yang langsung berpengaruh
terhadapkeuntungan bank dan karena keuntungan atau akumulasi keuntungan juga
habis, maka harusdibebankan kepada modal (Z. Dunil, 2005). Dengan demikin
kenaikan NPL mengakibatkan labamenurun sehingga ROA menjadi semakin
36
kecil. Dengan kata lain semakin tinggi NPL maka kinerjabank menurun dan
sebaliknya.
H4: Variabel Financing risk berpengaruh negative terhadap kinerja
Perbankan Syariah berbasis Maqashid Syariah
2.4.5 Pengaruh variabel Manajemen Risiko Likuiditas terhadap kinerja
Perbankan Syariah berbasis Maqashid Syariah
Zainul Arifin (2002) menguraikan bahwa bank syariah harus mampu
memenuhi kebutuhan likuiditasnya dengan memelihara likuiditas aset atau
menciptakan likuiditas dengan cara meminjam dana. Apabila bank menahan aset
seperti surat berharga yang dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan dananya,
risiko likuiditas bisa jadi rendah.
Basran Desfian (2005) menyatakan bahwa sesuai dengan teori yaitu
peningkatan LDR disebabkan peningkatan dalam pemberian kredit ataupun
penarikan dana oleh masyarakat dimana hal ini dapat mempengaruhi likuiditas
bank yang berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan masyarakat
H5: Variabel Manajemen Risiko Liquiditas berpengaruh positif terhadap
kinerja Perbankan Syariah berbasis Maqashid Syariah
Download