1 IMPLEMENTASI SUPERVISI AKADEMIK (Telaah Teori dan

advertisement
IMPLEMENTASI SUPERVISI AKADEMIK
(Telaah Teori dan Aplikasi Upaya Peningkatan Profesionalisme Guru)
Oleh:
Ach. Barocky Zaimina, M.S.I1
Abstrak
Kualitas suatu lembaga pendidikan bergantung pada kepala sekolah sebagai
pemimpin pendidikan. Kepala sekolah mempunyai peranan yang sangat penting dalam
memajukan lembaga yang dipimpinnnya Maka kepala sekolah bertugas membimbing
pengawasan dan bimbingan kepada guru bertugas dalam bidang studi. Usaha peningkatan
profesionalitas guru ini akan lebih berhasil apabila dilakukan oleh guru dengan kemampuan
dan usaha-usaha mereka sendiri. Namun sering kali guru masih memerlukan bantuan orang
lain karena mereka belum memahami jenis prosedur dan mekanisme memperoleh berbagai
sumber yang sangat diperlukan dalam usaha meningkatkan kemampuan guru.
Begitu sangat strategisnya kedudukan guru sebagai tenaga profesional, di dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,
tepatnya Bab III Pasal 7, diamanatkan bahwa profesi guru merupakan bidang pekerjaan
khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut: (a) memiliki bakat, minat,
panggilan jiwa, dan idealisme; (b) memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan,
keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia (c) memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang
pendidikan sesuai dengan bidang tugas; (d) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai
dengan bidang tugas; (e) memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan;
(f) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja; (g) memiliki
kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar
sepanjang hayat; (h) memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas
keprofesionalan; dan (i) memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur
hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.
Salah satu program yang dapat diselenggarakan dalam rangka pemberdayaan guru
adalah supervisi akademik (supervisi akademik). Supervisi akademik adalah serangkaian
kegiatan membantu guru mengembangkan kemampuannya mengelola proses pembelajaran
demi pencapaian tujuan akademik. Supervisi akademik merujpakan upaya membantu guruguru mengembangkan kemampuannya mencapai tujuan akademik. Dengan demikian, berarti,
esensial supervisi akademik adalah membantu guru mengembangkan kemampuan
profesionalismenya. Mengembangkan kemampuan dalam konteks ini janganlah ditafsirkan
secara sempit, semata-mata ditekankan pada peningkatan pengetahuan dan keterampilan
mengajar guru, melainkan juga pada peningkatan komitmen (commitmen) atau kemauan
(willingness) atau motivasi (motivation) guru, sebab dengan meningkatkan kemampuan dan
motivasi kerja guru, kualitas akademik akan meningkat. Di dalam Peraturan menteri
Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah
ditegaskan bahwa salah satu kompetensi yang harus dimiliki seorang kepala sekolah adalah
kompetensi supervisi. Dengan Permendiknas tersebut berarti seorang kepala sekolah harus
kompeten dalam melakukan supervisi akademik terhadap guru-guru yang dipimpinnya.
Dalam rangka itu seorang guru yang berkeinginan menjadi kepala sekolah perlu mengikuti
program pendidikan dan pelatihan supervisi akademik dalam peningkatan profesionalisme
guru.
Kata Kunci: Supervisi Akademik dan Peningkatan Profesionlisme Guru
1
Penulis adalah dosen Politeknik Jember dan IKIP PGRI Jember
1
A. Kajian Teori Tentang Supervisi
Supervisi adalah usaha menstimulasi, mengkoordinasi dan membimbing secara
kontinu pertumbuhan guru-guru di sekolah baik secara individual maupun secara kolektif,
agar lebih mengerti dan lebih efektif dalam mewujudkan seluruh fungsi pengajaran.
Dengan demikian mereka dapat menstimulasi dan membimbing pertumbuhan tiap murid
secara kontinu serta mampu dan lebih cakap berpartisipasi dalam masyarakat demokrasi
modern.2
Pemaparan secara lebih luas dikemukakan oleh Boardman et al yang dikutip
Sahertian, bahwa supervisi adalah bantuan yang diberikan untuk memperbaiki situasi
belajar-mengajar yang lebih baik. Dijelaskan bahwa situasi belajar mengajar di sekolah
akan lebih baik tergantung pada keterampilan supervisor sebagai pemimpin.3
Seperti yang telah dijelaskan, kata kunci supervisi adalah memberikan pelayanan
dan bantuan kepada guru-guru, maka tujuan supervisi adalah memberikan layanan dan
bantuan untuk mengembangkan situasi belajar-mengajar yang dilakukan guru dikelas.
Dengan demikian jelas bahwa supervisi ialah memberikan layanan dan bantuan untuk
meningkatkan kualitas mengajar guru dikelas yang pada gilirannya untuk meningkatkan
kualitas belajar-mengajar siswa. Selanjutnya adalah bahwa sasaran (domain) supervisi
pendidikan yaitu: Pertama, Mengembangkan kurikulum yang dilaksanakan disekolah;
Kedua, Meningkatkan proses belajar-mengajar disekolah; dan Ketiga, Mengembangkan
seluruh staf di sekolah.4
Seorang pemimpin pendidikan yang berfungsi sebagai supervisor dalam
melaksanakan supervisi hendaknya bertumpu pada prinsip supervisi sebagai berikut:
Pertama, Ilmiah (scientific) yang mencakup unsur-unsur: a). Sistematis, berarti
dilaksanakan secara teratur, berencana dan kontinu; b). Obyektif artinya data yang
diperoleh berdasarkan pada observasi nyata, bukan tafsiran pribadi.; c). Menggunakan
alat (instrument) yang dapat memberi informasi sebagai umpan balik untuk mengadakan
penilaian terhadap proses belajar-mengajar.
Kedua, Demokratis: Menjunjung tinggi asas-asas musyawarah. memiliki jiwa
kekeluargaan yang kuat serta sanggup menerima pendapat orang lain.
2
3
4
Sahertian Piet, Konsep-Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan Dalam rangka Profesionalisme guru,
Surabaya: Usaha Nasional. 2000, h. 17
Ibid. h. 17
Ibid. h. 19
2
Ketiga, Kooperatif: Maksudnya seluruh staf sekolah dapat bekerja bersama-sama,
mengembangkan usaha bersama-sama dalam menciptakan situasi belajar-mengajar yang
lebih baik.
Keempat, Konstruktif dan kreatif, Membina inisiatif guru serta mendorongnya
untuk aktif menciptakan suasana dimana tiap orang merasa aman dan dapat
mengembangkan potensi-potensinya.
Selain penjelasan diatas, dibawah ini ada pula beberapa jenis supervisi yang
selama ini secara teoritis dapat diterapkan dalam dunia pendidikan. Adapun jenis
supervisi yang dimaksud, antara lain sebagai berikut:
Pertama, Supervisi Akademik; Glickman dalam bukunya Developmen
Supervision Alternative Practice for Helping Teacher
yang dikutip sahertian,
mendefinisikan supervisi akademik adalah serangkaian kegiatan membantu guru
mengembangkan kemampuannya mengelola proses pembelajaran demi pencapaian tujuan
pembelajaran.
Supervisi
akademik
merupakan
upaya
membantu
guru-guru
mengembangkan kemampuannya mencapai tujuan pembelajaran.5
Meskipun demikian, supervisi akademik tidak bisa terlepas dari penilaian unjuk
kerja guru dalam mengelola pembelajaran. Apabila di atas dikatakan, bahwa supervisi
akademik
merupakan
serangkaian
kegiatan
membantu
guru
mengembangkan
kemampuannya mengelola proses pembelajaran, maka menilai unjuk kerja guru dalam
mengelola proses pembelajaran merupakan salah satu kegiatan yang tidak bisa
dihindarkan prosesnya.
Penilaian unjuk kerja guru dalam mengelola proses pembelajaran sebagai suatu
proses pemberian estimasi kualitas unjuk kerja guru dalam mengelola proses
pembelajaran, merupakan bagian integral dari serangkaian kegiatan supervisi akademik.
Apabila dikatakan bahwa supervisi akademik merupakan serangkaian kegiatan membantu
guru mengembangkan kemampuannya, maka dalam pelaksanaannya terlebih dahulu perlu
diadakan penilaian kemampuan guru, sehingga bisa ditetapkan aspek yang perlu
dikembangkan dan cara mengembangkannya.
Refleksi praktis penilaian unjuk kerja guru dalam supervisi akademik adalah
melihat realita kondisi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, misalnya: Apa yang
sebenarnya terjadi di dalam kelas?, Apa yang sebenarnya dilakukan oleh guru dan muridmurid di dalam kelas?, Aktivitas-aktivitas mana dari keseluruhan aktivitas di dalam kelas
5
Ibid. h. 23
3
itu yang berarti bagi guru dan murid?, Apa yang telah dilakukan oleh guru dalam
mencapai tujuan akademik?, Apa kelebihan dan kekurangan guru dan bagaimana cara
mengembangkannya?.
Berdasarkan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini akan diperoleh
informasi mengenai kemampuan guru dalam mengelola kegiatan pembelajaran. Namun
satu hal yang perlu ditegaskan di sini, bahwa setelah melakukan penilaian unjuk kerja
guru tidak berarti selesailah tugas atau kegiatan supervisi akademik, melainkan harus
dilanjutkan dengan perancangan dan pelaksanaan pengembangan kemampuannya.
Dengan demikian, melalui supervisi akademik guru akan semakin mampu
memfasilitasi belajar bagi murid-muridnya. Alfonso, Firth, dan Neville menegaskan
Instructional supervision is herein defined as: behavior officially designed by the
organization that directly affects teacher behavior in such a way to facilitate pupil
learning and achieve the goals of organization. Artinya: pengawasan Instruksional
didefinisikan sebagai: segala tindakan untuk memfasilitasi murid dalam belajar dan
mencapai tujuan-tujuan dalam organisasi.
Tujuan
supervisi
akademik
adalah
membantu
guru
mengembangkan
kemampuannya mencapai tujuan pembelajaran yang dicanangkan bagi murid-muridnya.6
Melalui supervisi akademik diharapkan kualitas akademik yang dilakukan oleh guru
semakin meningkat. Pengembangan kemampuan dalam konteks ini janganlah ditafsirkan
secara sempit, semata-mata ditekankan pada peningkatan pengetahuan dan keterampilan
mengajar guru, melainkan juga pada peningkatan komitmen (commitmen) atau kemauan
(willingness) atau motivasi (motivation) guru, sebab dengan meningkatkan kemampuan
dan motivasi kerja guru, kualitas pembelajaran akan meningkat.
Kedua, Supervisi Non Akademik; Supervisi non akademik adalah pemantauan
dan pembinaan terhadap pengelolaan dan administrasi sekolah. Dengan demikian fokus
supervisi ini ditujukan pada pelaksanaan bidang garapan manajemen sekolah, yang antara
lain meliputi: (a) manajemen kurikulum dan pembelajaran, (b) kesiswaan, (c) sarana dan
prasarana, (d) ketenagaan, (e) keuangan, (f) hubungan sekolah dengan masyarakat, dan
(g) layanan khusus.
6
Sahertian Piet, Konsep-Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan Dalam rangka Profesionalisme guru,
Surabaya: Usaha Nasional. 2000, h. 19
4
Dalam melakukan supervisi terhadap hal-hal di atas, pengawas sekaligus juga
dituntut melakukan pematauan terhadap pelaksanaan standar nasional pendidikan yang
meliputi delapan komponen, yaitu: (a) standar isi, (b) standar kompetensi lulusan, (c)
standar proses, (d) tandar pendidik dan tenaga kependidikan, (e) standar sarana dan
prasarana, (f) standar pengelolaan, (g) standar pembiayaan, dan (h) standar penilaian.
Tujuan supervisi terhadap kedelapan aspek tersebut adalah agar sekolah terakreditasi
dengan baik dan dapat memenuhi standar nasional pendidikan.
Salah satu fokus penting lainnya dalam dalam supervisi non akademik oleh
pengawas terhadap sekolah, adalah berkaitan pengelolaan atau manajemen sekolah.
Sebagaimana diketahui dalam dasa warsa terakhir telah dikembangkan wacana
manajemen berbasis sekolah (MBS), sebagai bentuk paradigma baru pengelolaan dari
sentralisasi ke desentralisasi yang memberikan otonomi kepada pihak sekolah dan
meningkatkan partisipasi masyarakat.7 Pengawas dituntut dapat menjelaskan sekaligus
mengintroduksi model inovasi manajemen ini sesuai dengan konteks sosial budaya serta
kondisi internal masing-masing sekolah.
Dalam hal ini, ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam supervisi, di
antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, Pendekatan Langsung (Direktif); Yang dimaksud pendekatan direktif
adalah cara memberikan pendekatan terhadap masalah yang bersifat langsung. Supervisor
memberikan arahan langsung. Sudah tentu pengaruh perilaku supervisor lebih dominan.
Pendekatan direktif ini berdasarkan pemahaman terhadap psikologi behaviorisme. Prinsip
behaviorisme ialah segala perbuatan berasal dari reflek, yaitu respon terhadap
rangsangan/stimulus. Oleh karena itu guru ini mengalami kekurangan, maka perlu
diberikan rangsangan agar ia bereaksi. Supervisor dapat menggunakan penguatan atau
hukuman.
Kedua, Pendekatan Tidak Langsung (Non Derektif); Yang dimaksud
pendekatan tidak langsung adalah cara pendekatan terhadap permasalahan yang sifatnya
tidak langsung. Perilaku supervisor tidak secara langsung menunjukkan permasalahan,
tetapi ia terlebih dahulu mendengarkan secara aktif apa yang dikemukakan guru. Ia
memberi
kesempatan
sebanyak
mungkin
kepada
guru
untuk
mengemukakan
permasalahan yang mereka alami. Pendekatan non derektif ini berdasarkan pemahaman
7
Danim, Sudarwan, Inovasi Pendidikan: Dalam Upaya Peningkatan, Jakarta: Bumi Aksara. 2002, h. 4
5
psikologis humanistik. Psikologi humanistik sangat menghargai orang yang akan dibantu.
Oleh karena pribadi guru yang dibina begitu dihormati, maka ia lebih banyak
mendengarkan permasalahan yang dihadapi guru.
Ketiga, Pendekatan Kolaboratif; Yang dimaksud dengan pendekatan kolaboratif
adalah pendekatan yang memadukan cara pendekatan direktif dan non direktif menjadi
cara pendekatan baru. Pada pendekatan ini, baik supervisor maupun guru bersama-sama
bersepakat untuk menetapkan struktur, proses dan kriteria dalam melaksanakan proses
percakapan terhadap masalah yang dihadapi guru. Pendekatan ini didasarkan pada
psikologi koognitif. Psikologi koognitif beranggapan bahwa belajar adalah hasil paduan
antara kegiatan individu dengan lingkungan pada gilirannya nanti berpengaruh pada
pembentukan aktivitas individu.
Selanjutnya, adapun pendekatan yang digunakan dalam menerapakan supervisi
modern didasarkan pada prinsip-prinsip psikologis. Suatu pendekatan atau tekhnik
pemberian supervisi, sangat bergantung pada prototipe guru. Ada satu paradigma yang
digunakan Glickman untuk memilah guru dalam empat prototipe guru. Ia mengemukakan
setiap guru memiliki dua kemampuan dasar, yaitu berpikir abstrak dan komitmen serta
kepedulian. Adapun kemampuan dasar tersebut terdapat empat macam guru:8
Pertama, Abstraksi tinggi ditambah komitmen tinggi adalah guru profesional.
Pendekatan yang digunakan untuk guru semacam ini adalah pendekatan non-direktif.
Yang perlu dilakukan supervisor adalah: mendengarkan, memberanikan, menjelaskan,
menyajikan, dan memecahkan masalah.
Kedua, Abstraksi tinggi komitmen rendah adalah guru tukang kritik. Bila guru
tukang kritik atau terlalu sibuk, maka pendekatan yang digunakan adalah dengan
pendekatan kolaboratif. Yang perlu dilakukan supervisor adalah: menyajikan,
menjelaskan, mendengarkan, memecahkan masalah dan negosiasi.
Ketiga, Abstraksi rendah komitmen tinggi adalah guru yang terlalu sibuk
Keempat, Abstraksi rendah, komitmen rendah adalah guru yang tidak bermutu.
Bila guru tidak profesional, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan direktif.
Yang harus dilakukan supervisor adalah:Menjelaskan, Menyajikan, Mengarahkan,
Memberi contoh, Menetapkan tolak ukur dan Menguatkan.
8
Sahertian Piet, Konsep-Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan Dalam rangka Profesionalisme guru,
Surabaya: Usaha Nasional. 2000, h. 44
6
B. Pelaksanaan Supervisi Akademik
Setelah tujuan-tujuan pembinaan keterampilan pengajaran berdasarkan kebutuhankebutuhan pembinaan yang diperoleh melalui analisis kebutuhan di atas, kepala sekolah
menganalisis setiap tujuan untuk menentukan bentuk-bentuk teknik dan media supervisi
akademik yang akan digunakan. Menurut Gwynn (1961), teknik-teknik supervisi bila
dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu teknik supervisi individual dan teknik
supervisi kelompok.9
Tujuan pengembangan strategi dan media supervisi akademik ini adalah sebagai
berikut: a). Mendaftar pembinaan-pembinaan keterampilan pengajaran yang akan
dilakukan dengan menggunakan teknik supervisi individual; b). Mendaftar pembinaan
keterampilan pengajaran yang akan dilakukan melalui teknik supervisi kelompok; dan c).
Mendaftar mengidentifikasi dan memilih teknik dan media supervisi yang siap digunakan
untuk membina keterampilan pengajaran guru yang diperlukan. Setelah mengembangkan
teknik dan media supervisi akademik, mulailah dilakukan pembinaan keterampilan
pembelajaran guru dengan menggunakan teknik dan media tertentu sebagaimana telah
dikembangkan.
Penilaian merupakan proses sistematik untuk menentukan tingkat keberhasilan
yang dicapai. Dalam konteks supervisi akademik, penilaian merupakan proses sistematik
untuk menentukan tingkat keberhasilan yang dicapai dalam pembinaan keterampilan
pembelajaran guru. Tujuan penilaian pembinaan keterampilan pembelajaran adalah
untuk: (a)
menentukan apakah pengajar (guru) telah mencapai kriteria pengukuran
sebagaimana dinyatakan dalam tujuan pembinaan, dan (b) untuk menentukan validitas
teknik pembinaan dan komponen-komponennya dalam rangka perbaikan proses
pembinaan berikutnya.10
Prinsip dasar dalam merancang dan melaksanakan program penilaian adalah
bahwa penilaian harus mengukur performansi atau perilaku yang dispesifikasi pada tujuan
supervisi akademik guru. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: (a). Katakan
dengan jelas teknik-teknik penilaian, (b). Tulislah masing-masing tujuan, (c). Pilihlah
atau kembangkan instrumen-instrumen pengukuran yang secara efektif bisa menilai hasil
9
Burhanuddin, Analisis Administrasi Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara. 1994
Subari, Supervisi Pendidikan Dalam Rangka Perbaikan Situasi Belajar Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara.
1994
10
7
yang telah dispesifikasi, (d). Uji lapangan untuk mengetahui validitasnya, serta (e).
Organisasikan, analisis, dan rangkumlah hasilnya.11
Sebagai langkah terakhir dalam pembinaan keterampilan pengajaran guru adalah
merevisi program pembinaan. Revisi ini dilakukan seperlunya, sesuai dengan hasil
penilaian yang telah dilakukan. Langkah-langkahnya sebagai berikut: (a). Me-review
rangkuman hasil penilaian, (b). Apabila ternyata tujuan pembinaan keterampilan
pengajaran guru tidak dicapai, maka sebaiknya dilakukan penilaian ulang terhadap
pengetahuan, keterampilan dan sikap guru yang menjadi tujuan pembinaan. (c). Apabila
ternyata memang tujuannya belum tercapaim maka mulailah merancang kembali program
supervisi akademik guru untuk masa berikutnya, dan (d). Mengimplementasikan program
pembinaan yang telah dirancang kembali pada masa berikutnya.12
Evaluasi program supervisi pendidikan adalah pemberian estimasi terhadap
pelaksanaan supervisi pendidikan untuk menentukan keefektifan dan kemajuan dalam
rangka mencapai tujuan supervisi pendidikan yang telah ditetapkan. Dalam evaluasi
program superrvisi pendidikan untuk perbaikan pengajaran melibatkan penentuan
perubahan yang terjadi pada periode tertentu, perubahan yang diharapkan dari semua
personel dalam supervisi dan dalam perbaikan program melibatkan kepala sekolah
(supervisor), guru, dan murid. Supervisor dan guru bekerjasama untuk membawa
perubahan-perubahan dalam diri anak didik. Lebih dari pada itu semua yang harus
dipertimbangkan sebagai ruang lingkup supervisi pendidikan adalah meliputi rencana
perbaikan, organisasi perencanaan, tujuan yang akan dicapai, teknik-teknik pencapaian
tujuan, dan perubahan-perubahan yang dilakukan di bidang kurikulurn dan bimbingan.
Evaluasi program supervisi pendidikan tidak berarti mengevaluasi suatu
rencangan program supervisi pendidikan dalam arti rencana. Evaluasi program supervisi
pendidikan berusaha menentukan sampai seberapa jauh tujuan supervisi pendidikan yang
telah tercapai. Oleh sebab itu bukan saja programnya yang dievaluasi tetapi juga proses
pelaksanaan dan hasil supervisi pendidikan. Bahkan ruang lingkup evaluasi supervisi
pendidikan menyangkut semua komponen yang terkait dalam pelaksanaan supervisi
pendidikan. Komponen tersebut meliputi aspek personel, aspek material, dan aspek
operasional dalam supervisi pendidikan.13
11
Rifai, Moh, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, Bandung: Jemmars. 1987
Purwanto, Ngalim, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya. 2001
13 Pidarta, Made, Supervisi Pendidikan Kontekstual, Jakarta: Rineka Cipta. 2009
12
8
Sebagaimana aktivitas pendidikan yang menentukan hasilnya dalam jangka
panjang, supervisi pendidikan juga demikian, hasil yang dicapai dalam pelaksanaan
supervisi pendidikan terutama yang berkenaan dengan manusia baru dapat dilihat dalam
jangka panjang. Sedangkan hasil supervisi pendidikan yang dapat diketahui dengan cepat
hanya penampakan hasil sementara. Dan hal ini akan menimbulkan kesulitan bagi kita
dalam mengevaluasi program supervisi pendidikan, mengingat ruang lingkup yang akan
dievaluasi dalam supervisi pendidikan sangat luas, dimana selain guru dan staf sekolah,
programpun merupakan sasaran evaluasi program supervisi pendidikan.
Tujuan evaluasi program supervisi yang digambarkan melalui keseluruhan
program pendidikan ini dapat digunakan untuk melihat perubahan-perubahan dan
perbaikan di bidang: (a). Pertumbuhan dan perkembangan siswa dalam mencapai tujuan,
(b). Perbaikan di bidang kurikulum, (c). Perbaikan praktik mengajar, (d). Perbaikan
kualitas dan pendayagunaan materi pengajaran dan alat bantu mengajar, (e).
Perkembangan personal, dan profesional guru secara umum, serta (f). Perbaikan
hubungan sekolah dengan masyarakat.14
Pada prinsipnya evaluasi program supervisi pendidikan bertujuan untuk
meningkatkan usaha pelaksanaan program pendidikan secara menyeluruh, baik personel,
material, maupun operasionalnya. Dengan evaluasi program supervisi, supervisor dapat:
(a). Mengetahui sejauh mana pelaksanaan supervisi disekolah mencapai kemajuan, (b).
Memberikan pertimbangan demi perkembangan pendidikan di masa yang akan datang,
(c). Memperbaiki praktik-praktik pembinaan personel sekolah, (d). Memberikan
dorongan peningkatan proses belajar mengajar di sekolah, (e). Mengetahui sejauh mana
partisipasi orang tua dan masyarakat di sekolah terhadap pelaksanaan program
pendidikan, (f). Memberikan pertimbangan dan saran atas peningkatan pengelolaan
sarana dan prasarana sekolah, serta (g). Membina para personel sekolah dalam mengelola
kurikulum sekolah.15
C. Profesionalisme Guru
Profesionalisme menjadi tuntutan dari setiap pekerjaan. Apalagi profesi guru yang
sehari-hari menangani benda hidup yang berupa anak-anak atau siswa dengan berbagai
karakteristik yang masing-masing tidak sama. Pekerjaaan sebagai guru menjadi lebih
14
15
Ibid
Ibid
9
berat tatkala menyangkut peningkatan kemampuan anak didiknya, sedangkan
kemampuan dirinya mengalami stagnasi.
Guru yang profesional adalah mereka yang memiliki kemampuan profesional
dengan berbagai kapasitasnya sebagai pendidik. Studi yang dilakukan oleh Ace Suryani
menunjukkan bahwa Guru yang bermutu dapat diukur dengan lima indikator, yaitu:16
Pertama, kemampuan profesional (professional capacity), sebagaimana terukur
dari ijazah, jenjang pendidikan, jabatan dan golongan, serta pelatihan. Kedua, upaya
profesional (professional efforts), sebagaimana terukur dari kegiatan mengajar,
pengabdian dan penelitian. Ketiga, waktu yang dicurahkan untuk kegiatan profesional
(teacher’s time), sebagaimana terukur dari masa jabatan, pengalaman mengajar serta
lainnya. Keempat, kesesuaian antara keahlian dan pekerjaannya (link and match),
sebagaimana terukur dari mata pelajaran yang diampu, apakah telah sesuai dengan
spesialisasinya atau tidak, serta Kelima, tingkat kesejahteraan (prosperiousity)
sebagaimana terukur dari upah, honor atau penghasilan rutinnya. Tingkat kesejahteraan
yang rendah bisa mendorong seorang pendidik untuk melakukan kerja sambilan, dan
bilamana kerja sambilan ini sukses, bisa jadi profesi mengajarnya berubah menjadi
sambilan.
Guru yang profesional amat berarti bagi pembentukan sekolah unggulan. Guru
profesional memiliki pengalaman mengajar, kapasitas intelektual, moral, keimanan,
ketaqwaan, disiplin, tanggungjawab, wawasan kependidikan yang luas, kemampuan
manajerial, trampil, kreatif, memiliki keterbukaan profesional dalam memahami potensi,
karakteristik dan masalah perkembangan peserta didik, mampu mengembangkan rencana
studi dan karir peserta didik serta memiliki kemampuan meneliti dan mengembangkan
kurikulum.17
Menurut Jurnal tersebut, untuk menjadi professional, seorang guru dituntut
memiliki lima hal, yakni: Pertama, Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses
belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen tertinggi guru adalah kepada kepentingan
siswanya.
Kedua, Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkan
serta cara mengajarkannya kepada siswa. Bagi guru, hal ini meryupakan dua hal yang
tidak dapat dipisahkan.
16
17
Usman, Uzer, Menjadi Guru Profesional, Bandung:PT. Remaja Rosdakarya. 2002
Ibid
10
Ketiga, Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai
teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampau tes hasil belajar.
Keempat, Guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan
belajar dari pengalamannya. Artinya, harus selalu ada waktu untuk guru guna
mengadakan refleksi dan koreksi terhadap apa yang telah dilakukannya. Untuk bisa
belajar dari pengalaman, ia harus tahu mana yang benar dan salah, serta baik dan buruk
dampaknya pada proses belajar siswa.
Kelima, Guru seyogianya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam
lingkungan profesinya, misalnya PGRI dan organisasi profesi lainnya.18
Terdapat empat komponen kompetensi yang harus dikembangkan melalui
supervisi akademik, yaitu kompetensi-kompetensi kepribadian, pedagogik, professional,
dan sosial. Pemahaman dan pemilikan guru terhadap tujuan akademik, persepsi guru
terhadap murid, pengetahuan guru tentang materi, dan penguasaan guru terhadap teknik.
Aspek substansi pertama dan kedua merepresentasikan nilai, keyakinan, dan teori yang
dipegang oleh guru tentang hakikat pengetahuan, bagaimana murid-murid belajar,
penciptaan hubungan guru dan murid, dan faktor lainnya. Aspek substansi ketiga
merepresentasikan seberapa luas pengetahuan guru tentang materi atau bahan pelajaran
pada bidang studi yang diajarkannya. Adapun aspek substansi keempat merepresentasikan
seberapa luas penguasaan guru terhadap teknik akademik, manejemen, pengorganisasian
kelas, dan keterampilan lainnya yang merupakan unsur akademik yang efektif.19
Uzer mengemukakan bahwa "kompetensi guru merupakan kemampuan seseorang
guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban secara bertanggung jawab dan layak, jika
di terjemahkan kedalam bahasa inggris: The Ability Of A Teacher To Responsibility
Perform Has Dueties Approptiately. Jadi dengan gambaran tersebut, dapat diambil
suatupengertian bahwa kompetensi merupakan kemampuan dan kewenangan guru dalam
melaksanakan profesi keguruannya.
Selanjutnya istilah profesional menurut Moh.Uzer Usman menerangkan bahwa "
profesional berarti A Vocation An Which Profesional Knowledge Of Some Department A
Learning Science Is Used In It'sapplications To The Other Uin The Practice Of An Art
Found It ". Dan dapat diartikan bahwa suatu pekerjaan yang bersifat profesional
18
19
Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2004
Usman, Uzer, Menjadi Guru Profesional, Bandung:PT. Remaja Rosdakarya. 2002
11
memerlukan beberapa bidang ilmu yang secarasengaja harus dipelajari dan kemudian
diaplikasikan bagi kepentingan umum.20
Sedangkan menurut Sardiman bahwasanya secara umum " profesi diartikan
sebagai suatu pekerjaan yang memrlukanpendidikan lanjut didalam science dan
tekhnologi yang digunakan sebagai pemikat dasar untuk diimplementasikan dalam
berbagai kegiatan yang bermanfaat".21
Kompetensi profesional yakni menyangkut kemampuan dan kesediaan serta tekad
guru untuk mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan yang telah dirancang melalui proses
dan produk kerja yang bermutu.22
Menurut Tamyong sebagaimana dikutip Usman (2002:15), mengatakan bahwa:
Guru profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki
pengalaman yang kaya di bidangnya. Yang dimaksud dengan terdidik dan terlatih bukan
hanya memperoleh pendidikan formal tetapi juga harus menguasai berbagai strategi di
dalam kegiatan belajar mengajar serta menguasai landasan-landasan kependidikan.23
Dengan bertitik tolak pada pengertian di atas, guru profesional adalah orang yang
memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu
melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal.
Profesionalisme guru dapat juga dipahami dalam bentuk, seperti:
Pertama, Penguasaan Materi Pelajaran; Penguasaan bahan bagi guru adalah
sangat penting dan tidak bisa ditawar- tawar lagi. Untuk dapat menguasai bahan dengan
baik, maka guru harus memiliki kebiasaan untuk mencari dan menelusuri secara mandiri.
Berbagai sumber pustaka dan sumber lain secara maksimal. Penguasaan bahan pada
akhirnya harus ditunjukkan dengan hasil pemahaman yang memadai dengan pemberian
standart penilaian yang ketat dan bermutu.24
Guru dipandang sebagai orang yang paling mengetahui, karena guru adalah yang
paling pandai. Dia yang menyiapkan tugas-tugas, memberikan latihan-latihan dan
penilaian. Penyusunan materi merupakan syarat yang penting, sebab guru berkewajiban
menyampaikan pengetahuan, pengertian, keterampilan kepada siswa-siswanya.25
20
Ibid
Sardiman, Interaksi dan Motivasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2003, h.131
22
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Bandung: Rosda Karya. 2002, h. 115
23
Usman, Uzer, Menjadi Guru Profesional, Bandung:PT. Remaja Rosdakarya. 2002, h. 15
24
Suparno, Paul, dkk, , Reformasi Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius. 2002, h. 102
25
Hamalik, Oemar, Proses Belajar Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara. 2003, h.119
21
12
Guru harus selalu menambah pengetahuannya. Mengajar tidak dapat dipisahkan
dari belajar. Guru yang pekerjaannya memberikan pengetahuan-pengetahuan dan
kecakapan-kecakapan kepada para siswanya, tidak mungkin akan berhasil jika guru itu
sendiri tidak selalu berusaha menambah pengetahuannya. Jadi sambil mengajar,
sebenarnya guru juga belajar.26
Setiap guru wajib meningkatkan ilmunya karena ilmu pengetahuan itu seperti
makanan yang selalu penting bagi kehidupan manusia. Sungguh terasa janggal kalau
seorang guru tidak memiliki ilmu yang luas. Bagaimana guru mengajar dan menjawab
persoalan yang sedang dan dilalui kalau guru tidak mempunyai keluasaan ilmu yang
memadai.
Guru harus memiliki ilmu pengetahuan dalam bidang yang diajarkannnya.
Sehingga memungkinkan dia untuk mentransfer ilmu pada siswanya dengan cukup baik,
sesuai dengan tingkat kepada siapa ilmu itu diberikan. seorang guru yang bermental
ilmu, mencintai ilmu serta senantiasa giat untuk menambah ilmunya, terutama di dalam
bidang mata pelajaran yang diasuhnya.
Kedua, Penguasaan Landasan dan Wawasan Kependidikan dan Keguruan; Guru
sebagai salah satu unsur manusiawi dalam kegiatan pendidikan harus memahami hal-hal
yang berkaitan dengan pendidikan nasional baik arah atau tujuan dan kebijaksanaankebijaksanaan pelaksanaanya. Dengan memahami hal tersebut guru akan memiliki
landasan berpijak dan keyakinan yang mendorong cara berpikir dan bertindak edukatif di
setiap situasi dalam usaha mengelola interaksi belajar mengajar. Dengan kata lain
pancasila, UUD 1945, Sisdiknas akan merupakan landasan atau falsafah bagi kegiatan
guru dalam menjalankan berbagai ketetapan pemerintah dalam bidang pendidikan.27
Guru yang efektif perlu memahami pertumbuhan dan perkembangan secara
komprehensif. Pemahaman ini akan memudahkan guru untuk menilai kebutuhan siswa
dan merencanakan tujuan, bahan, prosedur belajar mengajar dengan tepat.28 Seorang guru
harus memiliki ilmu terapan yang akan dipergunakan dalam rangka mengkomunikasikan
ilmu tersebut pada siswanya. Ilmu terapan tersebut berupa, keterampilan menejemen
pendidikan, tujuan pendidikan, dan kepemimpinan.
26
Purwanto, Ngalim, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya. 1995, h.147
Sardiman, Interaksi dan Motivasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2003, h.172
28
Hamalik, Oemar, Proses Belajar Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara. 2003, h.93
27
13
Guru seharusnya memiliki kesadaran bahwasannya proses pembelajaran bisa
disebut interaksi edukatif yang sadar akan tujuan pendidikan. Artinya interaksi yang
telah dicanangkan untuk suatu tujuan tertentu, setidaknya adalah tercapainya tujuan
instruksional yang dirumuskan dalam suatu pelajaran. Proses pembentukan setiap rencana
latihan maupun pembelajaran yang baik mulai dengan penentuan tujuan pelajaran yang
pokok yang harus dicakup untuk mencapai tujuan ini.
Guru seharusnya mengkomunikasikan pada siswanya mengenai pelaksanaan
belajarnya, mengemukakan standart kompetensi, kompetensi dasar dan menentukan
alokasi waktu maupun kondisi belajar yang tepat bagi siswa.
Guru bertugas memberikan pengajaran di dalam sekolah. Dia menyampaikan
pelajaran agar siswa memahami dengan baik, semua pengatahuan yang telah
disampaikan itu. Selain dari itu ia juga berusaha agar terjadi perubahan sikap,
keterampilan, kebiasaan, hubungan sosial melalui pengajaran yang diberikannya.
Untuk mencapai tujuan-tujuan itu maka di samping guru perlu memahami
sedalam-dalamnya materi pelajaran, maka ia dituntut dapat menguasai dengan baik
metode dan strategi mengajar.29 (Hamalik, 2003: 124)
Penguasaan guru atas berbagai metode dan pendekatan belajar menjadi bagian
penting berikutnya, khususnya metode dan pendekatan belajar yang menekankan siswa
aktif. Guru diharuskan memiliki kemampuan mengkomuni-kasikan ilmunya, termasuk
didalamnya adalah kemampuan persiapan mengajar, mengelola interaksi belajar mengajar
yang tepat untuk mata pelajaran tertentu.
D. Peran Kepala Sekolah dalam meningkatkan Kompetensi profesionalisme Guru
Sekarang ini, guru dihadapkan pada perubahan paradigma persaingan dari
sebelumnya lebih bersifat physical asset menuju paradigma knowledge based
competition. Perubahan paradigma tersebut menuntut efesiensi dan efektivitas
penggunaan sumber daya guru, karena guru merupakan agen perubahan dan agen
pembaharuan, sehingga mereka mampu bersaing dan memiliki keunggulan kompetitif.
Pemantapan sumber daya guru sebagai intellectual capital harus diikuti dengan
pengembangan dan pembaharauan terhadap kemampuan dan keahlian yang dimilikinya,
sehingga mereka mampu dan peka terhadap arah perubahan yang terjadi.
29
Ibid, h. 124
14
Strategi pemberdayaan merupakan salah satu cara pengembangan guru melalui
employee involvement. Analog dengan pikiran Wahibur Rokhman, dapat dikonsepsikan
bahwa pemberdayaan merupakan peran kepala sekolah untuk meberikan wewenang dan
tanggung jawab yang proporasional, menciptakan kondisi saling percaya, dan pelibatan
guru dalam menyelesaikan tugas dan pengambilan keputusan. Kepala sekolah memiliki
peran strategis dalam proses pemberdayaan guru sebagai agen perubahan. Dalam hal ini,
kepala sekolah dituntut memiliki kesadaran yang tinggi dalam mendistribusi wewenang
dan tanggung jawab secara proporsional.30
Cara ini, di satu sisi merupakan proses kaderisasi, di sisi lain adalah untuk
mengakomodasi proses peningkatan kompetensi guru secara berkelanjutan. Untuk
menjamin
keberhasilan
proses
pemberdayaan
guru,
dapat
digunakan
model
pemberdayaan Khan dengan paradigma paradigma desire, trust, confident, credibility,
accountability, communication.31
Paradigma Desire merupakan upaya kepala sekolah untuk (a) member kesempatan
kepada guru untuk mengidentifikasi permasalahan yang sedang berkembang, (b)
memperkecil directive personality dan memperluas keterlibatan guru,(c) mendorong
terciptanya perspektif baru dan memikirkan kembali strategi untuk meningkatkan kinerja,
dan (d) menggambarkan keahlian team dan melatih guru untuk melakukan self-control.
Paradigma Trust mencakup peran kepala sekolah untuk (a) memberi kesempatan
kepada guru untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan, (b) menyediakan waktu
dan sumber daya pendukung yang mencukupi bagi upaya guru untuk meningkatkan
kinerja, (c) menyediakan pelatihan yang mencukupi bagi kebutuhan peningkatan kinerja
guru, (d) menghargai perbedaan pandangan dan mengakui kesuksesan yang diraih oleh
guru, dan (e) menyediakan akses informasi yang memadai bagi upaya guru untuk
meningkatkan kinerja.
Paradigma Confident merupakan upaya kepala sekolah untuk (a) mendelegasikan
tugas-tugas yang dianggap penting kepada guru, (b) menggali dan mengakomodasi
gagasan dan saran guru, (c) memperluas tugas dan membangun jaringan dengan sekolah
dan instansi lain, dan (d) menyediakan jadwal job instruction dan mendorong munculnya
win-win solution.
30
Wahibur Rokhman, J. Pemberdayaan dan Komitmen: Upaya Mencapai Kesuksesan, Jakarta: PT. Rineka
Cipta. 2003.
31
Wahibur Rokhman, J. Pemberdayaan dan Komitmen: Upaya Mencapai Kesuksesan, Jakarta: PT. Rineka
Cipta. 2003.
15
Beberapa upaya kepala sekolah terkait dengan paradigma credibility, adalah (a)
memandang guru sebagai partner strategis, (b) menawarkan peningkat standar tinggi di
semua aspek kinerja guru, (c) mensosialisasikan inisiatif guru sebagai individu kepada
guru lain untuk melakukan perubahan secara partisipatif, dan (d) menggagas win-win
solution dalam mengatasi perbedaan pandangan dalam penentuan tujuan dan penetapan
prioritas.
Paradigma Accountability merupakan upaya
kepala sekolah untuk (a)
menggunakan jalur training dalam mengevaluasi kinerja guru, (b) memberikan tugas yang
terdefinisikan secara jelas dan terukur, (c) melibatkan guru dalam penentuan standar dan
ukuran kinerja, (d) memberikan bantuan dan saran kepada guru dalam menyelesaikan
beban kerjanya, dan (e) menyediakan periode dan waktu pemberian feedback.
Paradigma Communication adalah upaya kepala sekolah untuk (a) menetapkan
kebijakan open door communication, (b) menyediakan waktu untuk memperoleh
informasi dan mendiskusikan permasalah secara terbuka, dan (c) menciptakan
kesempatan untuk cross-training.
Di samping enam paradigma pemberdayaan guru tersebut, faktor lingkungan
sekolah juga sangat menentukan pelaksanaan program pemberdayaan. Caudron
menganjurkan enam hal penting untuk membangun lingkungan sekolah yang kondusif
bagi pelaksanaan program pemberdayaan, antara lain adalah (1) Work Teams and
Information Sharing, (2) Training and Resources, (3) Measurement and Feedback, (4)
Reinforcement, (5) Responsibility, dan (6) Flexibility Procedure.32
Membentuk work teams and information sharing sangat penting bagi sekolah,
karena di dalam tim terdapat peluang yang besar terjadinya sharing knowledge di antara
para guru, pegawai, dan kepala sekolah. Setiap individu diharapkan mampu menyajikan
unjuk kerja dan mempengaruhi secara positif kepada yang lain dalam meningkatkan
kompetensi. Sharing knowledge di antara para guru, pegawai, dan kepala sekolah terjadi
melalui proses-proses komunikasi terbuka tentang kekuatan dan kelemahan kinerja
mereka serta mencermati tantangan dan peluang yang mereka hadapi seiring dengan
perkembangan pendidikan.
Pemberdayaan training and resources sangat penting untuk menunjang
peningkatan profesionalisme guru. Training team memiliki peran penting untuk menjaga
kekompakan dalam penyelesaian berbagai masalah di sekolah. Hal ini penting, karena
32
Wahibur Rokhman, J. Pemberdayaan dan Komitmen: Upaya Mencapai Kesuksesan, Jakarta: PT. Rineka
Cipta. 2003, h. 121-133
16
pemberdayaan bagi guru tidak hanya untuk tujuan-tujuan independent empowering, tetapi
juga interdependent empowering. Namun, training sangat membutuhkan penyediaan
fasilitas da sumber daya lain yang dibutuhkan guru dalam meningkatkan kompetensinya.
Measurement sangat dibutuhkan untuk memperoleh data ada atau tidaknya
peningkatan dan kemajuan yang dialami guru. Konsep pengukuran tidak bisa dilepaskan
dari konsep standar. Hasil pengukuran yang dibandingkan dengan standar akan berfungsi
sebagai alat kontrol terhadap kinerja yang dilakukan oleh guru. Namun pasca pengukuran
memerlukan adanya feedback secara cepat. Hal ini penting, karena feedback akan
memberi peluang bagi guru untuk menampilkan kinerja yang lebih baik.
Dukungan manajemen dengan pemberian reinforcement secara terus menerusakan
mendukung dan memotivasi guru. Pada hakikatnya, semua manusia (termasuk guru)
merasa respektif terhadap penghargaan yang diterima atas prestasi yang dicapainya.
Kepala sekolah atau pengawas perlu memberikan penilaian yang baik atas prestasi kerja
yang bisa dicapai oleh guru. Kepala sekolah wajib melakukan sosialiasi atas prestasi yang
dicapai guru di sekolah.33
Memberikan kepercayaan kepada para guru untuk melakukan pekerjaan yang
sesuai akan membangun responsibility guru terhadap tugas yang menjadi kewajibannya.
Kepercayaan tersebut akan membangkitkan kreativitas dan inovasi mereka yang pada
akhirnya akan meningkatkan kinerja dan produktivitasnya. Pemberian wewenang
memiliki nilai strategis bagi guru dalam hal meningkatkan rasa percaya diri mereka
sebagai akibat dirinya merasa dihargai, penting, dan dibutuhkan keberadaanya disekolah.
Dengan demikian, guru akan mengerahkan seluruh pengetahuan dan keahliannya untuk
melakukan tugas dengan sebaik-baiknya.
Flexibility procedure sangat dibutuhkan di sekolah, karena sangat memudahkan
dalam pengambilan keputusan. Prosedur yang fleksibel akan mendukung sekolah dalam
melakukan
penyesuaian
terhadap
perubahan-perubahan
zaman
seiring
dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Di samping itu, akan member
peluang pula bagi guru untuk mampu beradaptasi dan meningkatkan kompetensi,
sehingga lebih siap dalam berkompetisi.
E. Peningkatan Kompetensi Profesionalisme Guru
Profesionalisasi berhubungan dengan profil guru, walaupun potret guru yang ideal
memang sulit didapat namun kita boleh menerka profilnya. Guru idaman merupakan
33
Terry, George R, Dasar-dasar Manajemen, Jakarta: Bumi Aksara. 2001
17
produk dari keseimbangan antara penguasaan aspek keguruan dan disiplin ilmu.34
Keduanya
tidak
perlu
dipertentangkan
melainkan
bagaimana
guru
tertempa
kepribadiannya dan terasah aspek penguasaan materi.
Kepribadian guru yang utuh dan berkualitas sangat penting karena dari sinilah
muncul tanggung jawab profesional sekaligus menjadi inti kekuatan profesional dan
kesiapan untuk selalu mengembangkan diri. Tugas guru adalah meransang potensi peserta
didik dan mengajarnya supaya belajar. Guru tidak membuat peserta didik menjadi pintar.
Guru hanya memberikan peluang agar potensi itu ditemukan dan
dikembangkan.
Kejelian itulah yang merupakan ciri kepribadian profesional.
Sehubungan dengan hal di atas, maka upaya peningkatan profesi guru di Indonesia
sekurang-kurangnya menghadapi dan memperhitungkan empat faktor, yaitu: (a).
ketersediaan dan mutu calon guru, (b). pendidikan pra jabatan, (c). mekanisme pembinaan
dalam jabatan, dan (d). peranan organisasi profesi.35 Dari keempat faktor itu selanjutkan
akan diuraikan menjadi lebih rinci lagi.
Pertama, Ketersediaan dan Mutu Calon Guru; Secara jujur kita akui pada masa
lalu (dan masa kini) profesi guru kurang memberikan rasa bangga diri. Bahkan ada guru
ya ng malu disebut sebagai guru. Rasa inferior terhadap potensi lain masih melekat di hati
banyak guru. Masih jarang kita mendengar dengan suara lantang guru mengatakan “Inilah
aku”. Kurangnya rasa bangga itu akan mempengaruhi motivasi kerja dan citra masyarakat
terhadap profesi guru.
Banyak
guru
yang
secara
sadar
atau
tidak
sadar
mempromosikan
kekurangbanggaannya kepada masyarakat. Ungkapan “cukuplah saya sebagai guru”
sering masih terdengar dari mulut guru. Ungkapan ini lalu diterjemahkan sebagi profesi
yang kurang menjanjikan masa depan yang kurang cerah. Muramnya masa depan itu
sering didendangkan secara berlebihan seolah-olah profesi termalang di bumi tercinta ini.
Beberapa tahun lalu dalam acara Kuiz Keluarga di TVRI yang diasuh oleh Koes
Hendratmo, kita catat bahwa profesi guru tidak dijadikan sebagai pilihan, jika ditanyakan
kepada anak-anak. Profesi dokter, insinyur atau pilot yang populer yang menjadi idola
“cikal bakal” penerus bangsa.36
Jabatan fungsioanl diharapkan menjadi daya pikat tersendiri terhadap profesi guru.
Daya pikat itu merefleksi masyarakat untuk memberikan makna tersendiri baik dalam
34
Dalam Mimbar Pendidikan IKIP Bandung, No. 3 September 1987:87
Usman, Uzer, Menjadi Guru Profesional, Bandung:PT. Remaja Rosdakarya. 2002, h. 24-25
36
Ibid, h. 25
35
18
upaya membangkitkan rasa bangga diri maupun dalam usaha mencari bibit-bibit guru
yang berkualitas. Oleh karena itu, Surat Keputusan Men-PAN itu telah mengarah pada
langkah yang tepat menuju peningkatan daya tarik bidang keguruan.
Kedua, Pendidikan Pra-Jabatan; Sebagaimana disyaratkan dalam uraian terdahulu,
bidang pekerjaan guru hanya pantas memperoleh penghargaan khusus sperti diatur
oleh/melalui surat keputusan Men-PAN itu, apabila jajaran guru memberikan layanan
ahli, yang hanya bisa diberikan melalui pendidikan pra-jabatan. Sebaliknya mereka yang
tidak pernah melalui jenjang pendidikan pra-jabatan, tidak mempunyai kemampuan untuk
menyelenggarakan layanan yang khas dimaksud. Dalam kata lain, ada dua langkah yang
perlu diambil untuk mencapai keadaan yang dikehendaki itu.
Ketiga, Mekanisme Pembinaan dalam Jabatan; Ada tiga upaya dalam
penyelenggaraan pelbagai aspek dan tahap penanganan pembinaan dalam jabatan
profesional guru. Ketiga upaya itu adalah sebagai berikut:
Pertama, mekanisme dan prosedur penghargaan aspek layanan ahli keguruan
perlu dikembangkan. Berlainan dengan jenjang pendidikan ti nggi yang telah
memberlakukan mekanisme ini dalam waktu relatiflama, jenjang pendidikan dasar menen
sama sekali belum berpengalaman dalam hal ini. Bukan hanya itu, apabila jenjang
pendidikan tinggi mempunyai kultur kolegial yang telah benradisi cukup panjang,
sebaliknya dunia pendidikan dasar dan menengah ditandai dengan struktur hierarkis yang
mantap. Dengan perkataan lain, penilaian ahli seta.ra kesejawa.tan masih belum
membudaya sedangkan penilaian secara hierarki administratif yang selama ini berlaku,
justru bertentangan dengan hakikat pengawasan kesejawatan terhadap layanan ahli
profesional.
Kedua, Sistem penilikan di jenjang SD dan juga sistem kepengawasan di jenjang
SMA yang berlaku sekarang jelas memerlukan penyesuaian-penyesuaian mendasar.
Tidak lagi dibenarkan seorang kepala satu jenis SMA dipromosikan men jadi pengawas,
apalagi untuk jenis SMA yang lain. Bahkan untuk jenjang SMA mungkin sudah harus
dipikirkan kebutuhan mengadakan pengawas bidang studi, meskipun hubungan
hierarkisnya dengan para guru di lapangan memerlukan banyak penyesuaian. Misalnya
tidak sulit dibayangkan seorang guru berijazah S3 yang diawasi oleh pengawas yang
berijazah S2. Juga bagaimana hasil pengawasan dimasukkan dalam mekanisme penilaian
jabatan fungsional, masih memerlukan banyakpenjabaran operasional.
19
Ketiga, keterbukaan informasi juga mempersyaratkan keluasan kesempatan untuk
rneraih kualifikasi formal yang lebih tinggi, katakanlah S 1 dan bahkan S2 dan S3.37
(Nurdin dan Usman, 2002:29).
Keempat, Peranan organisasi profesi; Telah dibahas pada poin-poin sebelumnya,
bahwa pengawasan mutu layanan suatu bjdang profesional dilakukan secara kesejawatan,
baik melalui perorangan maupun melalui organisasi profesi. Dalam hal ini, pertanyaan
yang muncul adalah, apakah organisasi profesi yang diharapkan memainkan pengawasan
kesejawata yang dimaksud telah siap menunaikan fungsinya?.
Tentu saja pada kesempatan ini yang dikejar bukan semata-mata pernyataan
formal kesanggupan-mengemban fungsi
profesional
penting ini,
namun
lebih
terwujudnya mekanisme pengawasan kesejawatan yang hakiki, baik berkenaan dengan
penyelenggaraan layanan ahli itu sendiri maupun berhubungan dengan pendidikan prajabatan para calon pekerja profesional yang bersangkutan, dengan perkataan lain,
pengawasan dilakukan bukan atas dasar kekuasaan seperti yang terjadi di lingkungan
serikat buruh.38 (Nurdin dan Usman, 2002:30-31).
Peningkatan kompetensi profesional guru dapat membantu peningkatan mutu guru
disekolah, sehingga dengan adanya peningkatan tersebut. Guru dengan mudah bisa
terayomi dengan baik, sehingga guru akan terus menerus menambah.
37
38
Ibid, h. 29
Ibid, h. 30-31
20
DAFTAR PUSTAKA
Danim, Sudarwan, 2002, Inovasi Pendidikan: Dalam Upaya Peningkatan
Hamalik, Oemar, 2003, Proses Belajar Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara
Muhaimin, 2002, Paradigma Pendidikan Islam, Bandung: Rosda Karya
Pidarta, Made, 2009, Supervisi Pendidikan Kontekstual, (Jakarta: Rineka Cipta)
Purwanto, Ngalim, 1995, Ilmu Pendidikan Teori dan Praktis, Bandung: PT. Remaja
Rosdakaryan Bandung.
Sahertian Piet, 2000. Konsep-Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan Dalam rangka
profesionalisme guru, Surabaya: Usaha Nasional
Sardiman, 2003, Interaksi dan Motivasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Suparno, Paul, dkk, 2002, Reformasi Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius
Syah, Muhibbin, 2004, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Usman, Uzer, 2002, Menjadi Guru Profesional, Bandung:PT. Remaja Rosdakarya.
Wahibur Rokhman, J. 2003. Pemberdayaan dan Komitmen: Upaya Mencapai Kesuksesan,
Jakarta: PT. Rineka Cipta
Burhanuddin, 1994, Analisis Administrasi Manajemen dan Kepemimpinan pendidikan,
(Jakarta: Bumi Aksara).
Rifai, Moh., 1987, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, (Bandung: Jemmars).
Subari, 1994, Supervisi Pendidikan Dalam Rangka Perbaikan Situasi Belajar Mengajar,
Jakarta: Bumi Aksara.
Terry, George R., 2001, Dasar-dasar Manajemen, Jakarta: Bumi Aksara
21
Download