Pendidikan empati ..., Elvi Wahyuni, FIB UI, 2013

advertisement
Pendidikan empati ..., Elvi Wahyuni, FIB UI, 2013
Pendidikan empati ..., Elvi Wahyuni, FIB UI, 2013
Pendidikan empati ..., Elvi Wahyuni, FIB UI, 2013
PENDIDIKAN EMPATI PADA ANAK SEKOLAH DASAR
DI JEPANG
Elvi Wahyuni, Diah Madubrangti
Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Dalam menjalani kehidupan di masyarakat, sikap memahami perasaan orang lain atau empati sangat diperlukan
untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan nyaman. Hal ini dipengaruhi hakekat manusia sebagai
makhluk sosial yang akan selalu bergantung pada orang lain dan tidak dapat hidup sendiri. Anak-anak di Jepang
sejak usia dini sudah dikenalkan mengenai hakekat manusia sebagai makhluk sosial, maka dari itu pendidikan
empati pada anak-anak di Jepang juga dimulai sejak dini. Empati atau yang dalam bahasa Jepang disebut
omoiyari adalah sikap yang wajib dimiliki setiap individu dan wajib untuk dipelajari selayaknya budaya.
Pendidikan empati terjadi disegala lingkup sosial yang dimulai dari keluarga lalu mengarah ke lingkup yang
lebih besar seperti sekolah, komunitas dan masyarakat. Pada masa sekarang ini, dalam upaya mendidik empati
pada anak-anak usia sekolah dasar di Jepang, orang tua di rumah memiliki cara tersendiri untuk mendidik
anaknya berempati. Selain di rumah, anak-anak sekolah dasar di Jepang juga mendapatkan pendidikan empati di
sekolah. Dengan diberikannya pendidikan empati sejak dini, diharapkan anak-anak mampu berempati dalam
kehidupan bermasyarakat dan turut serta dalam upaya menciptakan masyarakat yang harmonis.
Empathy Education in Elementary School Children in Japan
Abstract
Living in society, the attitude of understanding other people's feelings or empathy is needed to create a
comfortable and harmonious society. It is influenced by the nature of human as a social being who will always
be dependent on others and can not live alone. Children in Japan from an early age has been introduced
concerning the nature of human as a social being, and therefore empathy education on children in Japan also
started early. Empathy or which in Japanese is called omoiyari is an attitude that must be possessed by each
individual and mandatory for culture that should be studied. Empathy education occurs in all social sphere that
starts from the family and leads to a larger scope such as schools, community and society. At the present time, in
an effort to educate empathy in children of primary school age in Japan, the parents in the house has its own way
to educate their children empathy. In addition to the home, elementary school children in Japan also gain
empathy education in schools. With empathy education given since childhood, children are expected to be able
to empathize in society and participate in the efforts to create a harmonious society.
Keywords: Empathy Education; Elementary School Children; Family; Japan; School
A. Pendahuluan
Jepang merupakan negara yang menjunjung tinggi rasa empati. Empati yang dalam
bahasa Jepang disebut dengan omoiyari ( 思 い や り ), dianggap sebagai sebuah sikap yang
Pendidikan empati ..., Elvi Wahyuni, FIB UI, 2013
wajib dimiliki oleh setiap individu. Dalam usaha untuk menciptakan masyarakat yang
harmonis dan nyaman, maka empati merupakan salah satu hal yang mendukung. Bibit empati
atau omoiyari secara alami ada di dalam diri setiap manusia, namun hal itu belum cukup
untuk membuat seseorang mampu berempati dalam kehidupan bermasyarakat sehingga
empati atau omoiyari harus diajarkan sebagaimana mengajarkan budaya. Pendidikan empati
dimulai dari lingkungan keluarga, lalu lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘empati’ berarti keadaan mental yang
membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau
pikiran yang sama dengan orang lain atau kelompok lain. Sedangkan menurut Kamus Bahasa
Jepang online1 ‘Omoiyari’ (思いやり)memiliki arti to be considerate; to sympathize with;
to sympathise with.
Seorang Sosiolog Jepang, Takie Sugiyama Lebra, menulis dalam bukunya yang berjudul
“Japanese Patterns of Behavior”
“for the japanese, empathy (omoiyari) ranks high among the virtues considered indispensable
for one to be really human. morally mature, and deserving or respect. i am even tempted to call
japanese culture an ‘omoiyari culture’.”2
Artinya:
“Bagi orang Jepang, peringkat empati (omoiyari) tinggi di antara kebaikan-kebaikan yang
dianggap sangat diperlukan bagi seseorang untuk menjadi manusia yang sesungguhnya. Secara
moral dewasa, dan layak atau hormat. saya bahkan tergoda untuk menyebut budaya Jepang
sebuah “budaya omoiyari”.
Omiyari mengacu pada kemampuan dan kemauan untuk merasakan apa yang orang lain
rasakan, seolah-olah rasa senang atau rasa sedih yang orang lain alami juga dialami oleh diri
sendiri. Sebuah kebaikan bisa menjadi sebuah rasa empati bila penerima memiliki kepekaan
perasaan. Sikap yang ideal pada omoiyari adalah untuk ego yang masuk ke dalam kokoro (心)
“hati” lawan bicara, untuk menyerap semua informasi mengenai perasaan lawan bicara tanpa
diberitahu secara lisan. Omoiyari memerlukan penekanan pada ego diri sendiri atau keinginan
pribadi jika ingin memahami lawan bicara. Hal seperti itu diwujudkan dalam bentuk
1 http://www.tanoshiijapanese.com/dictionary
2 Takie Sugiyama Lebra, Japanese Patterns of behavior (Hawai, 1976), 38
Pendidikan empati ..., Elvi Wahyuni, FIB UI, 2013
komunikasi konvensional di mana ego mencoba untuk tidak meredam hasrat dalam dirinya
kecuali saat lawan bicara sependapat dengan ego kita.3
Empati terdiri dari beberapa konstruk yang mendukung4, konstruk tersebut adalah:
1. Respek (Respect) yaitu menyukai dan menghargai orang lain. Saat seseorang
mencoba menilai dan memutuskan apa yang ingin dilakukan untuk orang lain yang
menjadi lawan bicaranya, tentu seseorang itu memiliki rasa respek terhadap orang
lain. Seseorang tersebut akan mencoba menentukan pilihan yang terbaik sesuai
dengan kondisi lawan bicara karena dia menghargai lawan bicaranya.
2. Kehangatan (Warmth) yaitu sentuhan emosi dari dalam diri untuk memahami orang
lain. Ini terkait dengan gerak tubuh, pancaran mata, keseriusan dalam mendengarkan
dan lain sebagainya.
3. Kekonkritan (Concreteness) yaitu memperjelas apa yang ingin disampaikan untuk
menghindari kesalah-pahaman dalam berhubungan dengan orang lain
4. Kesegeraan (Immediacy) yaitu berkaitan dengan masa atau waktu, atau dengan kata
lain berkaitan dengan spontanitas dalam memberikan respons sehingga lawan bicara
memperoleh umpan balik dengan segera.
5. Kesamaan (Congruence) yaitu menerima apa adanya lawan bicara kita, menganggap
orang lain sederajat dengan diri kita yang dalam posisi kehidupan hal ini pada posisi
I’m OK – You’re OK
6. Ketulusan (Genuineness and Authenticity) yaitu saling terbuka dan jujur.
Komunikasi yang didasari kejujuran akan membuat lawan bicara merasa nyaman.
Berdasar kenyamanan itu maka komunikasi akan berjalan dengan lancar keran
informasi yang dibagi akan lebih banyak dan kita bisa mendapatkan gambaran utuh
dari persoalan yang dibicarakan.
Hal-hal tersebut adalah hal-hal yang membangun empati. Suatu sikap bisa dikatakan suatu
empati bila mengandung 6 hal di atas.
Penelitian ini membahas mengenai pendidikan empati pada anak usia sekolah dasar
yang dilakukan oleh orang tua di rumah dan guru di sekolah pada masa sekarang ini.
Mengajari anak-anak untuk memahami perasaan orang lain bukanlah tugas yang mudah,
namun hal ini sangat penting. Memahami perasaan orang lain membuat seseorang lebih
mudah menjalani kehidupan yang penuh kasih sayang dan menciptakan masyarakat yang
3 Ibid.
4 Materi Orientai Belajar Mahasiswa Universitas Indonesia tahun 2013
Pendidikan empati ..., Elvi Wahyuni, FIB UI, 2013
harmonis. Seseorang bisa menjadi orang yang baik tanpa bersikap empati (omoiyari), tetapi
jika berhubungan dengan orang lain, mau tidak mau harus memahami perasaan orang lain
untuk menentukan tindakan dan sikap tanpa menyakiti orang tersebut.
Anak-anak di Jepang belajar sejak dini mengenai hakekat manusia sebagai makhluk
sosial dan saling berhubungan dengan orang lain. Sejak usia dini anak-anak diberi pengertian
bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat yang saling tergantung, dimulai dari keluarga
dan kemudian meluas ke kelompok yang lebih besar seperti lingkungan tetangga, sekolah,
komunitas, dan tempat kerja. Ketergantungan pada orang lain adalah hal yang alamiah dari
kondisi manusia, selama tidak membebani orang lain.
B. Pendidikan Empati Untuk Anak Sekolah Dasar
1. Pendidikan Empati di Rumah
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia online5, keluarga adalah:
1. Ibu dan bapak beserta anak-ankanya; seisi rumah:
2. Orang seisi rumah yang menjadi tanggungan; batih:
3. Sanak saudara; kaum kerabat:
4. Satuan kekerabatan yang sangat mendasar di masyarakat;
Menurut Departemen Kesehatan RI (1988), keluarga merupakan unit terkecil dari
masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan
tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan.
Keluarga memiliki beberapa fungsi penting, seperti fungsi biologis, fungsi psikologis,
fungsi sosial budaya atau sosiologi, fungsi sosial dan fungsi pendidikan. Pendidikan
empati pada anak-anak oleh orang tua merupakan salah satu contoh fungsi sosial budaya
atau sosiologi dan fungsi pendidikan keluarga.
Keluarga Jepang saat ini merupakan keluarga yang modern dan berbeda dengan
keluarga tradisional Jepang (Pra Perang Dunia II). Keluarga tradisional Jepang terdiri dari
ibu, ayah, anak-anak, kakek dan nenek, bahkan ada yang satu rumah ditinggali beberapa
keluarga yang biasa disebut ie (家). Pada keluarga tradisional Jepang, kakek dan nenek
memiliki wewenang penuh dalam mengajarkan kedisiplinan, norma, aturan, empati dan
hal lainnya pada cucunya karena masih berada dalam satu atap yang sama. Sedangkan
Keluarga modern Jepang hanya beranggotakan ibu, ayah dan anak. Kakek dan nenek
5 http://kbbi.web.id/keluarga
Pendidikan empati ..., Elvi Wahyuni, FIB UI, 2013
tinggal dirumah mereka sendiri, sehingga kakek dan nenek tidak lagi memiliki wewenang
penuh dalam mengajarkan kedisiplinan, norma, aturan, empati dan hal lainnya pada
cucunya.
Menurut masyarakat Jepang peran seorang ayah dalam keluarga sangat penting
bagi perkembangan anak, karena masyarakat Jepang mempercayai bahwa ayah yang
harus mengajarkan anak-anaknya tentang norma-norma yang ada dimasyarakat yang
diperlukan dalam hubungan sosial dengan orang lain selain anggota keluarga. Sedangkan,
peran seorang ibu adalah sebagai seseorang yang bertanggungjawab merawat anak. Ayah
pada keluarga modern sangat jarang berada di rumah, karena ayah adalah seseorang yang
setia pada pekerjaan, dimana ayah selalu menghabiskan waktunya 15 jam dalam sehari
dan 6 hari dalam seminggu untuk menyelesaikan tugas serta bersosialisasi dengan semua
hal yang berhubungan dengan pekerjaannya. Meskipun ibu-ibu pada zaman sekarang
sudah banyak yang bekerja karena tututan ekonomi untuk membayar sewa rumah dan
pendidikan anak, namun pada umumnya tetap ayah yang memenuhi kebutuhan keluarga
secara keseluruhan. Peran ayah di dalam keluarga mulai memudar seiring keberadaan
ayah yang lebih banyak ditempat kerja daripada di rumah. Absennya seorang ayah di
rumah atau Chichioya fuzai (父親不在) ataupun kurangnya kemampuan dan kekuasaan
ayah atau fusei no ketsujo ( 不 正 の 欠 如 ) akan membawa dampak buruk bagi seorang
anak. Semakin kuatnya hubungan ayah dan anak dapat mencegah terjadinya masalahmasalah psikologis dan kriminal anak (Nakatani, 2006:96).
Ketidakhadiran ayah di rumah mengakibatkan ibu menggantikan peran ayah di
rumah. Para ibu mengajarkan kedisiplinan, norma, aturan dan hal lainnya pada anaknya
agar menjadi anak yang penurut dan dewasa secara mental. Ibu sangat menuntut anaknya
untuk berusaha keras dalam pendidikannya yang biasa disebut kyouiku mama ( 教 育 マ
マ)6, sehingga banyak anak-anak di Jepang yang belajar hanya untuk memuaskan orang
tuanya atau semata-mata hanya untuk memenuhi perintah orang tuanya. Anak-anak di
Jepang sangat di tuntut untuk menjadi anak yang penurut dan rajin belajar. Ibu akan
sangat marah apabila anaknya tidak menuruti keinginannya yaitu belajar, karena ibu
menganggap bahwa ini bukanlah keinginan pribadinya namun ini adalah keinginan
masyarakat Jepang yang ingin menjadikan masyarakat Jepang menjadi masyarakat yang
berpendidikan.
6 Kyouiku mama (教育ママ) adalah sebutan untuk ibu yang overprotective terhadap anaknya terutama dalam
bidang pendidikan anaknya. mereka lebih mementingkan pendidikan anaknya tanpa mempedulikan kebahagiaan
mereka (Holloway, 2004:42)
Pendidikan empati ..., Elvi Wahyuni, FIB UI, 2013
Selain menuntut anaknya untuk terus belajar, orang tua di Jepang tetap
mengajarkan kedisiplinan, norma, aturan, empati dan hal lainnya yang berlaku dan
diterapkan di masyarakat Jepang. Para orang tua di Jepang sejak dini mengajarkan bahwa
hakekat manusia adalah sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan akan
selalu bergantung pada orang lain sejak manusia masih di dalam kandungan hingga dia
berada di dalam liang lahat. Hakekat manusia sebagai makhluk sosial merupakan sebuah
dasar untuk mengajarkan pada anak-anak bahwa sesama manusia harus saling memahami
dan menghormati. Memahami pikiran, kinginan dan perasaan orang lain adalah
pengertian dari empati atau omoiyari (思いやり). Empati atau omoiyari wajib dimiliki
setiap individu, karena selain diajarkan mengenai empati, anak-anak di Jepang juga
diajarkan untuk tidak manja atau amae (甘え)7 dan tidak menyusahkan orang lain atau
meiwaku (迷惑)8.
Orang tua di rumah khususnya ibu adalah figur terpenting yang mengajarkan
segala hal dan membimbing anaknya menjadi anak yang baik dan penurut. Ibu
merupakan sosok yang bertanggung jawab dalam merawat dan mendidik anak di rumah.
Ibu sangat berperan penting pada masa pertumbuhan anak, karena ayah lebih sering
berada di tempat kerja daripada di rumah. Mengajarkan moral pada anak yang
sesungguhnya adalah tugas seorang ayah, diambil alih oleh ibu karena ayah sibuk bekerja
untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Maka dari itu, ibu lah yang mengajarkan segala hal
kepada anaknya. Salah satu hal yang diajarkan oleh ibu pada anaknya adalah cara
berempati. Cara ibu di Jepang dalam mengajarkan empati (omoiyari) tidak dengan cara
mengajarkan teorinya melainkan dengan cara mempraktekkannya dalam kehidupan
sehari-hari. Berikut ini beberapa cara ibu di Jepang dalam mengajarkan empati kepada
anaknya yang masih usia sekolah dasar (Setiawati, 2012):
1.
Sejak anak duduk di kelas 1 SD diajari tentang perilaku kecil yang sehari-hari
mereka temui di lingkungannya, misalnya saat mereka sedang bermain dan
secara tidak sengaja memecahkan kaca jendela rumah tetangga, maka ia harus
segera meminta maaf, tidak boleh lari dari tanggung jawab.
7 Amae (甘え) pada awalnya adalah untuk menggambarkan kedekatan dan kehangatan antara ibu dan anak, hal
ini lazim untuk anak-anak namun menjadi tidak lazim bila kedekatan seperti ibu dan anak yang secara berlebihan
ini tetap dilakukan oleh seseorang yang sudah dewasa sehingga lebih terkesan manja, maka dari itu amae lebih
mengarah pada arti manja dan bersifat negatif.
8 Meiwaku (迷惑) atau “trouble” yaitu menyusahkan atau mengganggu orang lain (Lebra, 1976:41)
Pendidikan empati ..., Elvi Wahyuni, FIB UI, 2013
2.
Saat melihat hewan yang terperangkap di dalam ruangan maka harus segera
membuka pintu atau jendela rumah untuk meloloskan hewan tersebut.
3.
Anak-anak diberi bahan bacaan yang sangat sederhana yang ditulis dengan
huruf katakana, dilengkapi dengan gambar yang menarik dan berupa cerita
dengan beberapa tokoh. Ketika membaca itu seolah-olah anak diarahkan
untuk menjadi pelaku utama dalam cerita.
Selain hal-hal diatas, cara orang tua mengajarkan empati pada anaknya adalah
dengan mempraktekkan hal-hal yang mencerminkan empati dan menghargai atau
memahami orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini disebabkan anak-anak lebih
mudah meniru apa yang dia lihat dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan empati di
rumah, berkaitan erat dengan pendidikan empati di sekolah. Keduanya saling melengkapi
dan saling bekerja sama dalam menumbuhkan rasa empati pada anak-anak sekolah dasar
di Jepang.
Tujuan orang tua mengajarkan empati (omoiyari) pada anaknya sejak anaknya
masih sekolah dasar adalah untuk menjadikan anaknya sebagai individu yang mampu
berempati yang dalam kesehariannya mereka mampu untuk memahami pikiran, perasaan
dan keinginan temannya atau orang lain disekitar mereka. Pendidikan empati ini
dilakukan sejak dini khususnya di usia sekolah dasar karena pada usia tersebut mereka
memulai untuk berinteraksi dengan orang lain selain anggota keluarganya. Pendidikan
empati ini diberikan kepada anak-anak bersamaan dengan pendidikan mengenai budaya,
norma dan peraturan yang berlaku di masyarakat.
2. Pendidikan Empati di Sekolah
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia online9, sekolah adalah bangunan atau
lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran.
Melalui perngertian tersebut dapat dilihat bahwa sekolah merupakan tempat untuk
seseorang belajar dan mengajar. Sistem pendidikan di Jepang bersifat egalitarian 10, yang
berarti sekolah diperuntukan bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang kaya
atau miskin. Pendidikan egalitarian di Jepang mulai muncul pasca Perang Dunia II.
9 http://kbbi.web.id/sekolah
10 Egalitarian berasal dari bahasa perancis égal, yang berarti equal dalam bahasa Inggris atau dalam bahasa
Indonesia berarti sama, setara atau sederajat. Dalam doktron politik dinyatakan bahwa semua manusia harus
diperlakukan sama sejak lahir. Setiap manusia memiliki hak yan “sama” untuk mendapat perlakuan yang adil.
(Setiawati: 2012)
Pendidikan empati ..., Elvi Wahyuni, FIB UI, 2013
Anak-anak di Jepang mulai masuk kelas satu di Sekolah Dasar pada bulan April
setelah ulang tahun mereka yang ke-6. Dalam satu kelas Sekolah Dasar terdapat sekitar
30 hingga 40 siswa. Mata pelajaran yang mereka pelajari meliputi bahasa Jepang,
matematika, sains, ilmu sosial, musik, kerajinan tangan, pendidikan jasmani, dan home
economics (belajar ketrampilan memasak dan menjahit yang sederhana). Saat ini makin
banyak pula Sekolah Dasar yang mulai mengajarkan bahasa Inggris pada anak didiknya.
Teknologi informasi makin banyak dipakai untuk meningkatkan pendidikan, dan
kebanyakan sekolah sudah mempunyai jaringan Internet. Para siswa sekolah dasar di
Jepang selain belajar mengenai ilmu pengetahuan dan bahasa, mereka juga belajar
berbagai seni tradisional Jepang seperti shodo (kaligrafi) dan haiku. Shodo (書道) adalah
seni menulis huruf kanji (jenis huruf yang berasal dari China) dan kana (huruf fonetis
yang berasal dari kanji) secara indah yang dilakukan dengan cara mencelupkan kuas ke
dalam tinta. Haiku ( 俳句 ) adalah bentuk puisi yang berkembang di Jepang sekitar 400
tahun yang lalu, berupa syair pendek yang terdiri dari 17 sukukata, terbagi atas satuan
lima, tujuh, dan lima suku-kata. Haiku memakai ungkapan sederhana untuk
menyampaikan emosi yang mendalam kepada pembacanya.11
Sekolah dasar Jepang tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan dan bahasa
Jepang pada anak-anak SD, namun juga mengajarkan pelajaran tentang kehidupan seharihari atau seikatsu ( せ い か つ ) yang diberikan tiga jam pelajaran dalam seminggu dan
pelajaran moral atau doutoku ( ど う と く ) yang diberikan satu jam pelajaran dalam
seminggu. Pelajaran tentang kehidupan sehari-hari dan pelajaran moral dimasukkan
dalam kurikulum sekolah dasar di Jepang oleh pemerintah Jepang dengan tujuan
membentuk manusia Jepang yang bermoral dan mampu berempati dalam kehidupan
bermasyarakat sehingga mampu membentuk masyarakat yang harmonis.
Pukul 12.20 sampai pukul 13.40 adalah jadwal untuk makan siang atau kyoushoku
(きゅうしょく), bersih-bersih atau souji (そうじ) dan istirahat siang atau hiruyasumi
(ひるやすみ). Kelas di sekolah-sekolah dasar Jepang dibagi menjadi beberapa kelompok
kecil untuk melakukan berbagai kegiatan. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan bagian
dari pendidikan, misalnya setiap hari para siswa yang tergabung dalam kelompokkelompok tersebut membersihkan ruang kelas, aula, dan pekarangan sekolah bersamasama dengan kelompoknya. Hal ini bertujuan untuk menjadikan anak lebih mandiri dan
11 Ibid.
Pendidikan empati ..., Elvi Wahyuni, FIB UI, 2013
menumbuhkan rasa bekerjasama serta saling gotong royong, sebagaimana hakekat
manusia sebagai makhluk sosial yang harus saling membantu dan menolong satu sama
lain.
Setiap hari, siswa Sekolah Dasar di Jepang bersama-sama menikmati makan siang
( き ゅ う し ょ く ) yang disiapkan oleh sekolah atau oleh “pusat pengadaan makan
sekolah” setempat. Kelompok-kelompok siswa tersebut bergiliran melayani makan siang
teman-teman sekelasnya. Makan siang yang disediakan oleh sekolah mencakup aneka
makanan-makanan yang sehat dan bergizi, dan para siswa dengan senang menanti tibanya
waktu makan siang. Hal ini menanamkan nilai yang baik pada anak yaitu mengenai
pentingnya melayani orang lain. Sehingga saat anak-anak tersebut sudah dewasa dan
bekerja menjadi pejabat publik atau pelayan publik, mereka mempunyai naluri untuk
melayani masyarakat.
Gambar 1
Caption: Sekelompok siswa sekolah dasar menyiapkan makan siang untuk teman-teman sekelasnya
(http://www.city-okayama.ed.jp/~hirajimas/gakunen/1nen/PICT0002.JPG)
Pendidikan moral khususnya empati di Jepang dipengaruhi adanya tiga agama
atau sistem kepercayaan yang dominan di Jepang, yaitu Shinto, Buddha dan Konfusius
yang mengajarkan mengenai keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat. Selain hal
tersebut, pendidikan moral di Jepang juga dipengaruhi oleh etika moral samurai atau
bushido12 yang menjadi landasan pembentukan moral bangsa Jepang. Filosofi yang
12 Bushido adalah etika moral bagi kaum samurai. Bermula pada zaman Kamakura (1185-1333), dan terus
berkembang hingga zaman Edo (1603-1867). Bushido menekankan pada kesetiaan, keadilan, rasa malu, tatakrama, kemurnian, kesederhanaan, semangat berperang, kehormatan dan lain-lain. (Website Resmi Kedutaan
Pendidikan empati ..., Elvi Wahyuni, FIB UI, 2013
diajarkan adalah mengenai bagaimaa menakhlukan diri sendiri demi kepentingan yang
lebih luas, filosofi ini menjadi inti dari sistem nilai di Jepang (Taufik Djatna, 2013).
Hakekat pendidikan dasar di Jepang tidak hanya menjadikan anak-anak pintar dan
menguasai tekhnologi, melainkan membentuk budaya, moral dan budi pekerti juga. Sejak
usia dini, anak-anak di Jepang diajarkan untuk memiliki harga diri, rasa malu dan selalu
jujur. Mereka juga dididik untuk menghargai nilai, bukan materi atau harta. Di sekolahsekolah dasar Jepang, anak-anak dibentuk perilakunya dengan cara diajarkan dan
ditanamkan mengenai sistem nilai moral yang terdiri dari empat aspek, yaitu:
1. Menghargai Diri Sendiri (Regarding Self)
2. Menghargai Orang Lain (Relation to Others)
3. Menghargai Lingkungan dan Keindahan (Relation to Nature and The Sublime)
4. Menghargai Kelompok dan Komunitas (Relation to Group and Society)
Pendidikan moral di sekolah dasar Jepang bertujuan untuk memberi gambaran
pada anak-anak bahwa hidup tidak bisa semaunya sendiri, terutama dalam bermasyarakat.
Memperhatikan orang lain, lingkungan dan kelompok sosial adalah hal yang penting.
Dimanapun berada baik di kendaraan umum, jalan raya, maupun di tempat-tempat publik,
harus tetap memperhatikan kepentingan orang lain.
Berikut ini adalah cara-cara guru di sekolah mengajarkan empati kepada siswa SD
di Jepang (Cummings, 1984:141 dalam Setiawati, 2012):
1. Siswa diwajibkan mengucapkan salam selamat pagi kepada guru, sebagai tanda
menghormati ibu atau bapak guru
2. Berdiri di sisi bangku kalau sedang berbicara, sejak hari pertama sekolah, para
siswa diminta menjawab ketika namanya dipanggil agar antar siswa saling
mengenal
3. Mendengarkan siswa lain dan guru tanpa berbicara, guru juga dengan penuh
perhatian mendengarkan siswanya yang sedang berbicara
4. Ikut serta dalam kegiatan kelompok, contohnya adalah pada kegiatan
gakugeikai ( 学 芸 会 ) atau ‘hari sandiwara pendek’ dimana para siswa akan
mementaskan sandiwara di hadapan orang tua mereka yang diundang oleh
pihak sekolah. Sandiwara ini melibatkan seluruh siswa di tiap kelas.
Besar Jepang di Indonesia, http://www.id.emb-japan.go.jp/aj305_01.html)
Pendidikan empati ..., Elvi Wahyuni, FIB UI, 2013
Gambar 2
Caption: Siswa sekolah dasar Jepang mementaskan sandiwara dalam kegiatan gakugeikai
(http://www.oklab.ed.jp/hatanasi/hotnews/news-data/081015kounaigaku.jpg)
Buku pendidikan moral atau empati yang dipakai adalah buku yang disusun oleh
Monbukagakusho13 sejak 10-20 tahun yang lalu. Judul buku dibuat menarik, disesuaikan
dengan isinya, judul buku yang dipakai di Sekolah Dasar di Jepang adalah:
1. Jibun no Ansin ( 自 分 の 安 心 ) artinya ‘bagaimana menjaga keselamatan
pribadi’. Isi buku tersebut secara garis besar adalah bagaimana berperilaku di
jalan, di dalam kendaraan umum, permainan apa saja yang aman di dalam kelas
ketika hari hujan, bagaimana mereka berangkat dan pulang dengan aman,
perbuatan apa yang tidak boleh dilakukan di tempat umum yang akan
mengganggu orang lain.
2. Minna no Doutoku (みんなの道徳) yang isinya berupa cerita-cerita sederhana
mengenai kehidupan sehari-hari seperti bagaimana cara meminta tlong kepada
orang tua dengan menggunakan bahasa yang baik.
3. Kokoro no nooto ( 心 の ノ ー ト ) artinya ‘catatan hati’. Buku ini merupakan
buku suplemen yang disiapkan oleh Monbukagakusho sejak april 2001 dengan
tujuan utama sebagai pelengkap pembelajaran moral di sekolah. Pemakaian
buku ini tidak bersifat wajib bagi setiap sekolah tetapi dianjurkan secara
13 Monbukagakusho adalah kementrian pendidikan, kebudayaaan, olah raga, ilmu pengetahuan dan tekhnologi
Pendidikan empati ..., Elvi Wahyuni, FIB UI, 2013
nasional untuk SD dan SMP. Materi yang ada dalam buku ini adalah mengenai
hal-hal yang sederhana dan nyata. Misalnya pada buku kokoro no nooto (心の
ノ ー ト ) untuk kelas 1 SD yang belum bisa membaca kanji, sehingga
penjelasannya ditulis menggunakan hiragana dan katakana. Contoh materinya
adalah:
a. ゆうぐをつかうときのきまり:あんぜんだいいち、じゅんばんをまも
る 、 ゆ ず り あ っ て ( Peraturan ketika memakai playground: keselamatan
adalah nomor satu, secara bergilir, saling berbagi (give and take)
b. こうえんのきまり:きちんとあとしまつ、よごさないように、みんな
で な か よ く (Peraturan di kelas/ taman: harus merapikan kembali, tidak
membuat kotor, harus baik kepada sesama teman)
c. トイレのきまり:じゅんばんをまもる、きちんとあとしまつ、よごさ
な い よ う に (Peraturan menggunakan toilet: harus bergilir, harus rapih dan
bersih kembali, tidak mengotori)
Dengan adanya buku-buku tersebut, guru-guru di sekolah merasa terbantu karena
buku melalui buku-buku tersebut mereka dapat mengetahui perkembangan psikologis
anak, keinginan anak, masalah anak yang merupakan informasi yang sangat penting
untuk mendidik murid-murid di sekolah. Selama satu tahun belajar semua materi tersebut
diajarkan tidak hanya dalam mata pelajaran moral tetapi diajarka dalam mata pelajaran
yang lain dan dilaksanakan dalam aktifitas sehari-hari di sekolah.
Sekolah dasar Jepang sering mengundang orang tua siswa untuk hadir dan melihat
bagaimana anak-anak di Jepang belajar di sekolah. Hal ini dinilai baik oleh orang tua,
karena para orang tua menganggap kemajuan suatu bangsa tidak bisa terlepas dari
bagaimana bangsa tersebut mendidik anak-anaknya. Kemajuan bangsa Jepang tidak
hanya dilihat dari produk-produknya yang mengglobal, namun juga terlihat dalam
ketangguhan masyarakat Jepang saat menghadapi bencana alam. Salah satu contohnya
adalah saat terjadi gempa bumi, anak-anak SD di Jepang sudah terlatih dalam
menyelamatkan diri, sehingga tidak ada korban jiwa. Hal ini mencerminkan adanya
proses pembelajaran dan pembentukan karakter yang dilakukan secara terus menerus di
masyarakat Jepang.
Tujuan pendidikan moral di sekolah-sekolah Jepang pasca Perang Dunia II adalah
seperti yang tertulis dalam buku yang diterbitkan oleh Monbusho (1997: 25-28) yaitu:
Pendidikan empati ..., Elvi Wahyuni, FIB UI, 2013
1. Menumbuhkan spirit atau jiwa hormat terhadap orang lain dan menghargai hidup
2. Menumbuhkan hati yang kaya
3. Mendidik manusia yang mampu memelihara dan mengembangkan budaya
tradisionalnya
4. Mendidik manusia mengemban negara dan masyarakat yang demokratis
5. Mendidik manusia Jepang yang membuka masa depan dengan memiliki subjektifitas
(bertanggung jawab terhadap keinginan dan penilaianya sendiri)
6. Menumbuhkan moralitas
Dilihat dari tujuh materi tujuan pendidikan moral tersebut, dapat disimpulkan
bahwa tujuan pendidikan moral pasca Perang Dunia II di Jepang lebih menitikberatkan
pada pendidikan yang bersifat menumbuhkan manusia Jepang yang saling menghormati
dan menghargai antar manusia.
3. Kesimpulan
Empati adalah sikap memahami pikiran, perasaan dan keinginan lawan bicara.
Empati merupakan salah satu sikap yang wajib dimiliki setiap individu. Hal ini berkaitan
erat dengan hakekat manusia sebagai makhluk sosial yang selalu membutuhkan bantuan
orang lain
dan tidak dapat hidup sendiri. Dalam kehidupan bermasyarakat, empati
merupakan hal yang penting untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan damai.
Secara lahiriah, manusia memiliki rasa empati, namun empati yang dimiliki seseorang
secara lahiriah belum cukup untuk menjadikan seseorang tersebut mampu berempati
dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat. Empati juga perlu untuk dipelajari
selayaknya mempelajari budaya, karena empati berkaitan erat dengan norma-norma dan
peraturan sosial yang berlaku dalam masyarakat tersebut yang diwariskan kepada
generasi selanjutnya melalui proses belajar. Pendidikan empati dapat terjadi di lingkup
sosial manapun, dimulai dari lingkup sosial terkecil yaitu keluarga dan mengarah ke
lingkup sosial yang lebih besar seperti lingkungan sekolah, lingkungan kerja dan
masyarakat. Pendidikan empati dimulai sejak anak masih berusia dini oleh orang tua
dirumah, dan pada saat anak memasuki usia sekolah dasar, selain keluarga, kehidupan di
sekolah dasar Jepang turut serta dalam mengajarkan empati. Empati dikenalkan sejak dini
pada anak-anak, agar mereka bersikap dewasa atau tidak manja (amae) dan tidak
menyusahkan orang lain (meiwaku). Pendidikan empati di rumah dan di sekolah memang
memiliki perbedaan, namun memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk menumbuhkan
Pendidikan empati ..., Elvi Wahyuni, FIB UI, 2013
empati pada anak agar bisa memahami pikiran, perasaan dan keinginan orang lain di
sekitarnya dan mereka ikut serta menciptakan masyarakat yang harmonis dan damai.
4. Saran
Mengajarkan empati kepada anak-anak sejak usia dini merupakan salah satu hal
yang baik untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan damai. Semua orang
berkewajiban mengajarkan empati kepada anak-anak, baik orang tua anak itu sendiri,
guru di sekolah maupun orang-orang di lingkungan sekitar anak tersebut. Peran orang tua
di rumah sangat penting dalam pembentukan jati diri anak, sehingga orang tua wajib
mengajarkan dengan cara mencontohkan sikap berempati serta norma dan peraturan yang
ada di masyarakat agar anak mampu bersosialisasi dengan baik di masyarakat. Selain itu,
sekolah juga sangat berpengaruh dalam pembentukan jati diri anak, karena sekolah
adalah tempat anak-anak bersosialisasi secara aktif dengan orang lain yang bukan
anggota keluarganya. Sekolah tidak hanya menanamkan ilmu pengetahuan dan teknologi
semata pada siswanya, melainkan juga menanamkan moral yang baik sehingga anak-anak
memiliki bekal moral yang cukup untuk berempati dalam kehidupan bermasyarakat
kelak. Mata pelajaran mengenai kehidupan sehari-hari atau seikatsu ( せ い か つ )
dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah dasar, sehingga anak-anak bisa bersikap sesuai
dengan apa yang diinginkan masyarakat dan ikut serta dalam membentuk masyarakat
yang harmonis dan damai.
Daftar Referensi
Lebra, Takie Sugiyama. (1976). Japanese Patterns of Behavior. Hawai: University of Hawai’i
Press.
Prasetyawati, Wuri, dkk. (2013). Belajar di Perguruan Tinggi. Depok: Direktorat Pendidikan
Universitas Indonesia.
Djatna, Taufik. “Sekolah di Jepang Vs Sekolah di Indonesia.”
http://taufikdjatna.staff.ipb.ac.id/2013/05/04/sekolah-di-jepang-vs-sekolah-di-indonesia/
(1 juli 2013)
Pendidikan empati ..., Elvi Wahyuni, FIB UI, 2013
ドン・キホーテの独り言, 「今の小学一年生の時間割」. http://don-quijote.airnifty.com/donquijote_business/2010/05/post-96a9.html (12 juli 2013)
E-smartschool.co.id. “Pendidikan Moral di Jepang.” http://e-smartschool.co.id/index.php?
option=com_content&task=view&id=991&Itemid=55 rewrite.
http://www.geocities.com/moernier/tulisanku/moraled.html (1 juli 2013).
Herdiawan, Junanto. “Moral di SD Jepang.”
http://edukasi.kompasiana.com/2011/07/03/moral-di-sd-jepang-377536.html (1 juli 2013)
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online. http://kbbi.web.id/keluarga (27 juni 2013).
http://kbbi.web.id/sekolah (27 juni 2013)
Kamus Bahasa Jepang Online. http://www.tanoshiijapanese.com/dictionary (27 juni 2013)
Kedutaan Besar Jepang di Indonesia, 在インドネシア日本国大使館. “Sekolah”.
http://www.id.emb-japan.go.jp/expljp_04.html (27 juni 2013). http://www.id.embjapan.go.jp/expljp_04a.html (27 juni 2013). http://www.id.embjapan.go.jp/aj305_01.html (12 juli 2013)
Kementrian pendidikan, budaya, olahraga, ilmu pengetahuan dan tekhnologi Jepang.
http://www.mext.go.jp/a_menu/koutou/ryugaku/boshu/1319066.htm (1 juli 2013)
Setiawati, Ai Sumirah. “Pendidikan Jepang yang Egalitarian.”
http://www.pendidikanbahasajepang-unnes.com/2012/06/pendidikan-jepang-yangegalitarian.html (1 juli 2013)
Sumber Gambar
http://www.oklab.ed.jp/hatanasi/hotnews/news-data/081015kounaigaku.jpg (18 juli 2013)
http://www.oklab.ed.jp/hatanasi/hotnews/hotnews-2008-2.htm (18 juli 2013)
Pendidikan empati ..., Elvi Wahyuni, FIB UI, 2013
Download