27 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Polimer P3HT-Kitosan 4.1.1 Karakteristik Optik P3HT Poly3-hexylthiophene (P3HT) yang memiliki berat molekul 65,5 gram/mol ini merupakan semikonduktor organik tipe-p yang mendapat perhatian sangat besar saat ini karena polimer ini memiliki mobilitas hole yang tinggi jika digunakan sebagai material semikonduktor. Mobilitas hole P3HT sebesar 3.8 ∼ 3.9 x 10-4 cm2/Vs (Yang et al. 2007). Penggunaan material ini juga sangat sederhana, mudah dilarutkan dan konduktif. Karena alasan inilah maka P3HT dapat digunakan pada banyak aplikasi. Selain itu polimer ini relatif stabil terhadap perubahan temperatur dan kondisi lingkungan. Penggunaan polimer juga dapat mengatasi masalah pada semikonduktor inorganik yang efektibilitas dan stabilitasnya yang rendah. Polimer organik memiliki gap yang lebih lebar dibandingkan dengan semikonduktor. Hal ini merupakan hal yang sangat mendukung untuk digunakan dalam aplikasi sel surya. Gambar 16 menunjukkan pita absorbsi dan transmitansi P3HT. Dari gambar terlihat bahwa P3HT memiliki pita absorbsi yang lebar yakni 350 – 650 nm yang sesuai dengan literatur lainnya (Ge 2009). Hal ini sesuai dengan persyaratan karakteristik utama yang harus dimiliki oleh semikonduktor yang digunakan sebagai sel surya adalah bahan semikonduktor berfungsi menyerap cahaya dimana akan mempengaruhi performa sel surya tersebut. Nilai absorbansi yang tinggi menunjukkan tingkat ketebalan filmnya. Kurva absorbansi berikut dapat digunakan untuk menghitung besar gap energi P3HT dengan menggunakan persamaan (5) yakni 1,87 eV. Gap energi P3HT dapat diubah jika diberikan perlakuan khusus misalnya pemberian doping Transmitansi polimer ini berkisar antara 0 - 40%. dengan bahan tertentu. 28 Gambar 16 4.1.2 Absorbansi dan Transmitansi P3HT Konduktifitas Polimer Kitosan-P3HT Kitosan merupakan biopolimer yang memiliki atom untuk menyumbangkan elektron dalam bentuk atom oksigen dan nitrogen. Dalam penelitian ini, polimer yang digunakan merupakan campuran antara P3HT dengan kitosan dimana penambahan kitosan diharapkan dapat menambah pembawa muatan mayoritas P3HT yaitu muatan positif (Mohamad et al. 2007). Gambar 17 menunjukkan besarnya konduktansi dan resistansi P3HT-kitosan. Dimana karakteristik ini merupakan salah satu karakteristik penting yang sangat dibutuhkan karena dalam sebuah sel surya, bagian yang paling berperan dalam penyerapan foton adalah bagian polimernya. Jadi polimer harus memiliki mobilitas hole yang besar yang berkaitan langsung dengan konduktifitas bahan. Gambar 17 Kurva impedansi dan konduktansi polimer P3HT-kitosan 29 Nilai konduktifitas menyatakan kemampuan film menghantarkan ion/ proton. Semakin besar nilai konduktifitas berarti kemampuan film dalam menghantarkan elektron juga semakin besar. Pada penelitian ini, pengukuran konduktifitas dan impedansi dilakukan dengan memvariasikan frekuensi dari 1005 kHz. Konduktifitas makin meningkat dengan meningkatnya frekuensi sedangkan nilai impedansi malah sebaliknya yakni semakin besar frekuensi maka nilai impedansi makin kecil. Hal ini sesuai dengan Hukum Ohm sebagai berikut. V = IR (6) dengan V = tegangan listrik (V), I = arus (A) dan R = hambatanΩ). ( Nilai tegangan listrik itu sendiri sangat dipengaruhi oleh besarnya frekunsi berdasarkan persamaan: V = Vmaks sin ωt dimana ω = 2 µ f dengan f = frekuensi. Dari persamaan di atas terlihat bahwa semakin besar frekuensi maka makin besar pula tegangan yang dihasilkan. Nilai konduktifitas berbanding terbalik dengan hambatan sesuai dengan persamaan di bawah ini sehingga semakin kecil nilai hambatan maka nilai konduktifitasnya semakin besar. G = 1 R (7) Impedansi sebanding dengan hambatan sehingga persamaan konduktifitas daat dirumuskan: G = 1 Z (8) Sehingga konduktifitas berbanding terbalik dengan impedansi. Besarnya hambatan (resistansi) suatu bahan dipengaruhi oleh ketebalan bahan (l), hambatan jenis bahan (ρ), dan luas penampang bahan (A). Secara matematis, hubungan ketiga faktor tersebut dapat dituliskan sebagai berikut. R=ρ l A sehingga ρ = R A l (9) Konduktifitas merupakan kebalikan dari hambatan jenis atau resistivitas sehingga untuk menghitung besarnya konduktifitas digunakan persamaan berikut. σ = 1 ρ atau σ= l A. R (10) 30 Keterangan: R : hambatan bahan (Ω) L : panjang bahan (m) A : luas penampang bahan (m2) ρ : resistivitas bahan (Ωm) σ : konduktifitas bahan (S/m) Dari hasil pengukuran diketahui bahwa ketebalan P3HT-kitosan adalah 0,135 mm dengan luas penampang 1,3 cm2. Tabel berikut menunjukkan besar konduktifitas berdasarkan frekuensi dengan menggunakan data resistansi bahan. Dari data terlihat bahwa besarnya konduktifitas polimer P3HT-kitosan berkisar antara 3,84791 sampai 6,55162 x 10-7 S/m dimana merupakan fungsi frekuensi. Dari nilai konduktifitas ini diketahui bahwa polimer ini merupakan bahan semikonduktor (untuk semikonduktor σ = 10-8 – 104 S/cm). Tabel 2 Konduktifitas Polimer P3HT-Kitosan Frekuensi (Hz) 100 500 1000 5000 4.2 Z x 106 (Ω) 2.50256 2.39289 2.28233 1.46981 ρ x 106 (Ωm) 2,5988 2,4849 2,3701 1,5263 σ x 10-7 (S/cm) 3,84791 4,02427 4,21922 6,55162 Karakteristik Film Tipis CdS 4.2.1 Proses Deposisi Film CdS Metode Chemical Bath Deposistion (CBD) merupakan metode pendeposisian yang relatif sederhana dari berbagai metode pendeposisian yang telah banyak digunakan. Metode ini bertujuan untuk mendapatkan film tipis yang homogen dengan komposisi sampel yag dihasilkan dapat dikontrol sesuai dengan keinginan. Secara khusus CBD secara luas digunakan untuk menghasilkan film tipis CdS dengan kualitas film yang baik. Metode CBD yang digunakan menghasilkan permukaan film dengan kristalinitas yang lebih rendah jika dibandingkan dengan metode pendeposisian yang lain. Namun film yang 31 dihasilkan memperlihatkan morfologi dan konduktifitas yang baik seperti tingkat kekasaran film dan densitas pinhole (kekosongan) jika dibandingkan dengan film yang dihasilkan dengan menggunakan metode pendeposisian yang lain. Dalam penelitian ini, metode CBD digunakan untuk menumbuhkan film tipis CdS dengan menggunakan cadmium klorida (CdCl 2 ) sebagai sumber ion cadmium (II) (Cd2+) dan thiourea sebagai sumber ion sulfur (S2-). Selain itu, amonium (NH 4 OH) digunakan sebagai larutan buffer untuk mempertahankan pH selama pendeposisian dilakukan dan untuk mengontrol kecepatan reaksi.Selain itu, konsentrasi NH 4 OH juga dapat mempengaruhi seberapa banyak CdCl 2 yang terhidrolisis dalam air. Sedangkan TEA digunakan agar larutan yang dihasilkan tidak cepat mengendap. Film CdS yang dibuat dengan menggunakan metode Chemical Bath Deposition (CBD) memiliki stoikiometri yang tinggi dan menunjukkan resistansi dark yang tinggi pula. Selain itu, metode ini dipilih agar menghasilkan film yang lebih transparan karena dalam penelitian ini CdS digunakan sebagai window layer sehingga cahaya matahari yang jatuh pada film tipis ini dapat menembus lapisan di bawahnya. Kondisi penumbuhan CdS pada ITO telah dioptimasi baik dalam hal temperatur deposisi, lama deposisi dan kecepatan putarnya. Pada saat awal, dilakukan deposisi pada suhu 30oC selama 30 menit dengan kecepatan putar 300 rpm. Pada saat deposisi ini hanya dimasukkan sumber ion Cd dan S-nya saja. Setelah itu, deposisi dilanjutkan dengan penambahan amonim hidroksida dan TEA. Deposisi ini dilakukan selama 2 jam pada temperatur 70oC dengan kecepatan putar yang sama. Setelah beberapa saat, larutannya berubah warna menjadi kekuning-kuningan. Teknik deposisi yang digunakan ini, diadopsi dari metode yang dilakukan oleh Eitssayem et al. (2005) dengan melakukan sedikit modifikasi terhadap konsentrasi bahan yang digunakan. Tahapan pembentukan CdS terbagi dalam 3 tahapan yaitu tahap awal proses nucleation center, pembentukan ion per ion (mekanisme heterogen) dan pembentukan cluster per cluster (mekanisme homogen) (Mahdi et al. 2009). Proses nucleation center merupakan proses pembentukan ion Cadmium dan ion sulfur baik itu pada permukaan substrat maupun dalam larutan bath. Pembentukan CdS ion per ion menghasilkan CdS dengan morfologi yang sangat baik 32 dibandingkan jika yang terjadi adalah cluster per cluster. Mekanisme ion per ion ini terjadi pada pH sekitar 12. Sedangkan cluster per cluster terjadi dalam larutan dengan pH sekitar 10,5 bahkan pada pH 10, tidak ada CdS yang menempel pada permukaan substrat namun hanya membentuk koloid dalam larutan bath dan khususnya pada substrat yang menyebabkan terbentuknya film dengan derajat kristalinitas yang rendah (Pentia et al. 2000). Dalam penelitian ini, terlihat pembentukan CdS dengan mekanisme homogen yang ditandai dengan banyaknya terdapat endapan yang menunjukkan terbentuknya koloid dalam larutan bath yang berwarna kekuning-kuningan. Akibatnya akan mempengaruhi struktur kistal CdS yang terbentuk dimana jika dibandingkan kedua mekanisme pembentukan CdS tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dari segi struktur CdS yang dihasilkan akan lebih baik dibanding jika terjadi makanisme homogen. Kristalinitas CdS yang dihasilkan oleh mekanisme heterogen lebih baik jika dibandingkan dengan mekanisme homogen. Lama deposisi dan temperatur deposisi mempengaruhi karakteristik fisik CdS yang dihasilkan. Jika deposisi dilakukan selama kurang dari 2 jam maka film yang dihasilkan sangat tipis. Sebaliknya jika deposisi dilakukan selama lebih dari 2 jam maka film yang dihasilkan akan semakin tebal. Film yang tebal tidak cocok digunakan sebagai window layer dalam sel surya karena cahaya matahari yang mengenai sel surya tidak akan menembus sampai pada junction. Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan pendeposisian selama 2 jam. Berkaitan dengan dua mekanisme yang dijelaskan sebelumnya, jika deposisi dilakukan dalam jangka waktu yang lama maka semakin banyak cluster CdS yang menempel pada permukaan sampel sehingga akan menghasilkan morfologi film yang kurang baik. Di samping itu, temperatur deposisi dilakukan pada suhu 70oC. Jika deposisi dilakukan pada suhu di bawah 70oC maka butuh waktu yang sangat lama untuk menumbuhkan film pada substrat kaca ITO. Selain itu, film yang dihasilkan akan sangat tipis akibat terbentuknya cluster-cluster pada permukaan sampel. Ketika suhu deposisi dinaikkan di atas 100oC maka film yang dihasilkan tidak merata dan banyak terbentuk koloid pada larutan bath yang kadang menempel pada permukaan film CdS. 33 Mekanisme pembentukan CdS tergantung pada prekursor yang digunakan dalam pembentukan CdS. Baik itu pemilihan sumber ion cadmium (Cd2+) maupun sumber ion sulfurnya (S2-). Pembentukan CdS dengan menggunakan metode CBD, dapat dibuat dalam larutan yang bersifat basa dan harus terjadi hidrolisis thiourea di dalamnya. Pembentukan CdS dalam penelitian ini digunakan NH 4 OH yang berperan sebagai sumber basa dan agen pengkompleks untuk ion cadmium. Pembentukan ion kompleks diawali dengan terbentuknya Cd(OH) 2 yang berupa endapan dengan reaksi sebagai berikut CdCl 2 → + 2NH 4 OH Cd(OH) 2 + 2NH 4 Cl Endapan Cd(OH) 2 yang berwarna putih dapat bereaksi dengan larutan amonia sehingga dapat terbentuk ion kompleks [Cd(NH 3 ) 4 ]2+ dengan reaksi: Cd(OH) 2 + 4NH 4 OH → [Cd(NH 3 ) 4 ](OH) 2 + 4H 2 O Ion kompleks yang terjadi [Cd(NH 3 ) 4 ](OH) 2 memiliki atom pusat Cadmium dan ligan [(NH 3 ) 4 (OH) 2 ]. Endapan Cd(OH) 2 yang terjadi memiliki pH sekitar 8 dan ketika senyawa ini bereaksi dengan amonia maka pHnya berubah sekitar 11. Ion kompleks [Cd(NH 3 ) 4 ](OH) 2 dapat terurai kembali menjadi [Cd(NH 3 ) 4 ](OH) 2 → [Cd(NH 3 ) 4 ]2+ + 2OH- Selanjutnya dalam larutan terjadi dekomposisi ion kompleks tetramine [Cd(NH 3 ) 4 ]2+ sesuai dengan reaksi berikut ini [Cd(NH 3 ) 4 ]2+ → Cd2+ + 4NH 3 Sedangkan hirolisis thiourea itu sendiri terjadi dalam larutan yang bersifat basa dimana terjadi generasi ion S2- : (NH 2 ) 2 CS + 2OH- → S2- + CN 2 H 2 + H 2 O Ion cadmium yang dihasilkan dari dekomposisi ion kompleks tetramin selanjutnya bereaksi dengan ion S2- untuk membentuk CdS sebagai berikut. Cd2+ + S2- → CdS CdS secara luas digunakan sebagai material window pada sel surya karena memiliki bandgap yang lebar (2,42 eV), bersifat fotokonduktifitas, dan memiliki afinitas elektron yang tinggi. Sifat transparan film CdS juga yang mendukung digunakannya CdS sebagai material sel surya. Gap energi CdS dapat berubah- 34 ubah sesuai dengan prekursor yang digunakan dan dapat pula dilakukan dengan penambahan doping dari golongan IIIA dalam sistem periodik unsur. Secara umum, CdS memiliki dua fase yaitu fase kubik yang merupakan fase metastabil dan fase heksagonal yang merupakan fase yang stabil pada temperatur ruang. Selain itu dalam beberapa literatur menunjukkan struktur CdS yang lainnya yaitu orthorombik (Jafari et al. 2010). Proses annealing secara khusus dapat mengubah fase CdS dari kubik menjadi heksagonal. Jika film dipanasi pada suhu di atas 300 oC, maka fase CdS akan mengalami fase transisi dari fase kubik menjadi fase heksagonal. Namun tidak semua fase kubik berubah menjadi fase heksagonal tetapi hanya sebagian saja (Mahdi et al. 2009). Jika garam cadmium (CdSO 4 ) digunakan sebagai prekursor, maka film yang terbentuk strukturnya kubik dan heksagonal dan pemanasan film CdS pada suhu 450 oC selama 2 jam tidak mempengaruhi struktur kristal CdS. Penelitian lainnya menemukan bahwa film CdS dengan fase kubik berubah menjadi fase heksagonal jika diannealing pada temperatur 300 oC selama 30 menit dengan disertai dengan pembentukan cadmiun oksida (CdO). Annealing pada suhu 350oC selama 15 menit meningkatkan spasi interplanar film. 4.2.2 Karakteristik Optik CdS a. CdS Tanpa Doping Dalam penelitian ini, film tipis CdS yang dihasilkan dari proses deposisi diannealing pada temperatur 200oC, 300oC dan 400oC selama 1 jam. Selanjutnya film tersebut dianalisis serapan dan struktur kristalnya. Gambar 18 memperlihatkan pita absorbsi CdS dengan temperatur annealing yang berbeda. Dari gambar terlihat bahwa terjadi pergeseran puncak serapan CdS jika diannealing pada temperatur yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa annealing dapat mempengaruhi besarnya gap energi CdS seperti diperlihatkan pada tabel 3. Dari gambar terlihat bahwa CdS menyerap cahaya pada panjang gelombang 400 - 500 nm. Hal ini sesuai dengan literatur lainnya yang memperlihatkan bahwa pita absorbsi CdS pada panjang gelombang 350 – 500 nm (Devi et al. 2007). Film CdS yang dihasilkan memiliki transmitansi yang cukup 35 besar yaitu 20 – 70% di daerah cahaya tampak. Pita absorbsi yang cukup landai menunjukkan tingkat kristalinitas film yang rendah (Lesmana, 2009). Gambar 18 Absorbsi film tipis CdS dengan temperatur annealing yang berbeda Tabel 3 Gap energi CdS berdasarkan temperatur annealing Temperatur Annealing (oC) Tanpa Annealing 200 300 400 Gap Energi (eV) 2,49 2,44 2,393 2,390 Dari tabel terlihat bahwa band gap CdS tergantung pada temperatur annealing. Di mana semakin besar suhu annealing maka gap energinya semakin kecil. Selain itu, warna film CdS berubah dari kuning menjadi kuning brownish dengan peningkatan suhu annealing. Pada film yang tidak diannealing dan film yang diannealing pada suhu 200oC terjadi perubahan gap energi yang cukup signifikan. Penurunan gap energi yang cukup besar terjadi pada film yang diannealing pada temperatur 200oC dan 300oC. Penurunan gap energi dapat disebabkan oleh dua hal yaitu terjadinya penguapan sulfur pada suhu antara 250oC sampai 300oC dan pembentukan CdO pada permukaan film karena terjadi oksidasi pada suhu di atas 300oC (Cetinourgu 2006). Selain itu, dalam beberapa literatur penurunan gap energi dapat disebabkan pula oleh perubahan struktur amorf menjadi kristal (reorganisasi film) pada suhu di atas 300oC. Penurunan gap energi berarti gap antara pita konduksi dan pita valensi pada film tersebut makin kecil. Annealing juga dapat mengakibatkan terjadinya penguapan air yang diserap pada saat deposisi. 36 b. CdS Doping Boron Dari penelitian sebelumnya oleh diketahui bahwa CdS yang dibuat dengan metode ini memiliki resistivitas dark sebesar 1,03 x 102 Ωcm. Selanjutnya diperoleh bahwa besarnya resistivitas dark CdS bergantung pada prekursor Cd yang digunakan dan stoikiometri film. CdS-CBD yang memiliki resistivitas dark yang rendahlah yang banyak dimanfaatkan terutama untuk diaplikasikan dalam sel surya. Oleh karena itu salah satu cara untuk mereduksi resistivitas dark CdS yang besar adalah dengan in situ doping boron terhadap CdS. Telah banyak penelitian yang melakukan doping terhadap CdS terutama doping tersebut berasal dari golongan IIIA seperti Al, Cu, Li, Ni dan Ag. Doping Boron terhadap CdS dilakukan dengan penambahan asam borat (H 3 BO 3 ) ketika dilakukan proses CBD. Penambahan asam borat dilakukan 5 menit setelah CBD dimulai. Penambahan asam borat dilakukan dengan konsentrasi yang sekecil mungkin. Karena penambahan konsentrasi asam borat yang besar akan mempercepat proses deposisi yang nantinya akan menghasilkan morfologi CdS yang kurang baik yakni berpori, film yang dihasilkan sangat tipis dan menghasilkan bubuk yang banyak yang akan menghalangi proses deposisi. Banyaknya asam borat yang ditambahkan bergantung pada massa CdCl 2 . Dalam penelitian ini dilakukan 3 variasi penambahan asam borat yakni 4%, 6% dan 8% wt. Gambar 19 menunjukkan spektrum absorbansi CdS doping 4% wt berdasarkan suhu annealing. Pada gambar terlihat bahwa pita absorbsi CdS bergeser jika film diannealing dengan suhu 200, 300 dan 400 oC. Pita absorbansi CdS dengan pemberian doping 6% dan 8% wt masing-masing diperlihatkan pada Gambar 20 dan 21. Dimana spektrum absorbansi masing-masing film bergeser ketika diannealing. 37 Gambar 19 Absorbsi CdS doping Boron 4% wt Gambar 20 Absorbsi CdS doping Boron 6% wt Gambar 21 Absorbsi CdS doping Boron 8% wt 38 Dari hasil analisis bandgap terlihat bahwa terjadi perubahan gap energi. Tabel 4 menunjukkan perubahan gap energi yang terjadi ketika diberikan doping Boron dengan jumlah doping dan temperatur annealing yang berbeda. Gap energi ini diperoleh dengan menggunakan persamaan (5). Makin banyak jumlah doping, gap energinya makin kecil. Dipercaya bahwa dengan penambahan Boron, maka terjadi penambahan jumlah ion B3+ pada film sama dengan terjadi pengurangan jumlah sulfur yang meningkatkan level donor pada bandgap CdS. Akibat peningkatan konsentrasi ion B3+, yang juga meningkatkan penurunan jumlah sulfur, level donor menurun dan mendekati pita konduksi CdS yang menyebabkan bandgap semakin lebar (Khallaf 2009). Semakin besar gap maka semakin seditik jumlah elektron yang dapat mencapai level pita konduksi. Atau diperlukan energi yang lebih besar untuk mengeksitasi elektron pada pita konduksi. Pemberian doping Boron dalam jumlah yang sedikit tidak mengganggu molekul lainnya yang terbentuk. Jika Boron mengganggu pembentukan senyawa dalam proses CBD maka dapat dipastikan jumlah CdS yang terbentuk akan semakin sedikit karena Boron akan menggantikan posisi ion Cadmium. Tabel 4 Gap Energi CdS berdasarkan jumlah doping Boron dan Suhu Annealing Jumlah Doping (%) 4 6 8 Suhu Annealing (oC) Tanpa Annealing 200 300 400 Tanpa Annealing 200 300 400 Tanpa Annealing 200 300 400 Eg (eV) 2.5236 2.4747 2.4277 2.4202 2.5034 2.4620 2.4240 2.4221 2.5165 2.4553 2.3972 2.3917 Gambar 22 menunjukkan perubahan gap energi berdasarkan jumlah doping tanpa dilakukan annealing terhadap sampel. Dari grafik terlihat bahwa pemberian doping 4% wt memperbesar gap energi antara pita konduksi dan pita valensi CdS. Celah energi CdS yang diperoleh berkisar antara 2,3 sampai 2,5 eV. Hal ini sesuai dengan banyak penelitian lainnya diantaranya Khallaf (2007). 39 Gambar 22 Grafik perubahan gap energi film CdS berdasarkan jumlah doping Telah diketahui bahwa CdS merupakan semikonduktor tipe-n dimana pembawa muatan mayoritasnya adalah elektron. Jadi ketika didoping dengan Boron yang bermuatan positf maka akan menaikkan level donor semakin mendekati pita konduksi sehingga dapat memperbesar gap energi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Khallaf (2007) yang juga memberikan doping Boron terhadap CdS. Namun, pemberian doping Boron ke dalam larutan CBD pada jumlah yang sangat sedikit. Khallaf mengemukakan bahwa pemberian doping Boron dalam jumlah banyak akan mempengaruhi reaksi yang terjadi dalam larutan bath. Karena paramter utama dalam proses CBD adalah konsentrasi NH 4 OH yang diberikan di mana senyawa ini dapat memisahkan ion Cd2+ dari CdCl 2 melalui pembentukan ion kompleks. Jadi dengan penambahan asam borat yang cukup banyak dapat mempengaruhi kinerja basa (NH 4 OH). Terjadinya perubahan gap energi pada gambar 22 dipengaruhi oleh fase CdS yang muncul (diperlihatkan pada bagian selanjutnya). Besarnya gap energi untuk kristal tunggal CdS fase heksagonal yaitu 2,3-2,4 eV sedangkan untuk fase kubik, gap energinya sebesar 2,5 eV (Martinez et al. 1997). CdS doping 4% wt puncak yang muncul didominasi oleh fase kubik sedangkan untuk doping 6 dan 8% wt juga muncul puncak CdS fase kubik namun juga terdapat puncak-puncak yang lain yang menunjukkan CdS dengan fase heksagonal. Namun CdS dengan struktur kubik lebih banyak dimiliki oleh CdS dengan doping 4% wt. 40 4.2.3 Struktur Film Tipis CdS Dengan menggunakan metode preparasi yang berbeda, CdS dapat hadir dalam tiga struktur kristal: hexagonal (wurtzite), kubik (zincblende) dan campuran keduanya. Selain fase yang terakhir tersebut, dari penelitian sebelumnya diketahui bahwa film tipis CdS yang dihasilkan memiliki kedua fase tersebut jika dibuat dengan menggunakan metode CBD. Kadangkala metode CBD yang dilakukan pada temperatur rendah menyebabkan pembentukan fase kubik pada film tipis CdS. Terdapat banyak variabel yang mempengaruhi struktur kristalnya termasuk karakteristik dari sumber ion cadmium dan sulfurnya, substrat yang digunakan dan bahkan proses stirringnya. Lee (2009) mengemukakan bahwa substrat yang digunakan mempengaruhi fase struktur film tipis CdS-CBD. Substrat yang berbeda menghasilkan fase kubik dan heksagonal tapi jika digunakan substrat kaca akan menghasilkan CdS dengan fase heksagonal yang sesuai dengan hasil penelitian ini. Beberapa peneliti juga menemukan bahwa konsentrasi amonium yang rendah dalam larutan menyebabkan terbentuknya fase wurtzite karena Cd(OH) 2 akan membentuk suspensi (tidak terlarut secara keseluruhan) (Mahdi et al. 2009). Pengukuran dengan X-Ray Diffraction (XRD) Shimadzu XRD-7000 Maxima menggunakan panjang gelombang Cu sebesar 1,5406 Å. Kristalografi CdS dapat diamati dengan menggunakan teknik difraksi sinar X. Sebagaimana telah diungkapkan di atas bahwa CdS hadir dalam dua bentuk fase kristal, yaitu heksagonal dan kubik. Berikut ini adalah kode film tipis CdS berdasarkan jumlah doping. Tabel 5 Kode film tipis CdS yang diXRD Kode Film Tipis Y1 Y2 Y3 Y4 Keterangan Doping 0% wt, tanpa annealing Doping 4% wt, tanpa annealing Doping 6% wt, tanpa annealing Doping 8% wt, tanpa annealing Pada gambar 23 menunjukkan pola difraksi film CdS yang ditumbuhkan pada permukaan ITO. Posisi puncak-puncak 2θ yang pada pola difraksi XRD 41 berdasarkan besarnya intensitas secara berturut-turut terbaca pada 27,0228o dan 25,7147o. Dari data Join Committee Power Diffraction Standard (JCPDS) No. 80006 untuk cadmium sulfida diketahui bahwa pada 2θ 25o dan 27o merupakan CdS dengan struktur heksagonal. Dari data XRD yang dihasilkan menunjukkan bahwa CdS telah tumbuh pada permukaan ITO. Sedangkan sudut 21o merupakan sudut difraksi untuk ITO. Permukaan ITO muncul pada pola XRD dapat disebabkan karena film CdSnya yang terlalu tipis. Ukuran kristal (crystalline size) sampel film tipis CdS diperoleh dengan menggunakan persamaan Scheerer (Dumbrava et al. 2010, Dwivedi 2010) sebagai berikut. D= k λ β cos θ Dengan k adalah konstanta sebesar 0,89; λ adalah panjang gelombang sumber sinar-X (dalam hal ini Cu Kα sebesar 1,54 Å atau 15,4 nm) dan β adalah lebar setengah puncak difraksi atau Full Width Half Maximum (FWHM) dan θ adalah sudut difraksi (rad). Nilai β yang digunakan adalah nilai-nilai puncak maksimum dan minimum yang dimiliki oleh fase kubik atau heksagonal CdS. ITO H H Gambar 23 Pola XRD film Y1 Perhitungan dengan menggunakan persamaan Scheerer didapatkan ukuran kristal CdS berdasarkan besarnya intensitas masing-masing sebesar 0,040418 µm dan 0,031007 µm. Dengan rata-rata ukuran kristal sebesar 0,03527125 µm. 42 Karena fase CdS yang dihasilkan adalah heksagonal maka panjang kisi a = b = 4,121 Å dan panjang kisi c = 6,682 Å. Sedangkan besar sudut α = β = 90o dan γ = 60o. Karena fase CdS yang terbentuk adalah heksagonal maka tidak terjadi perubahan struktur CdS walaupun diannealing pada suhu 200, 300 dan 400oC selama 1 jam. Annealing hanya dapat mengubah ukuran kristal tanpa mengubah fasenya yang juga dapat mempengaruhi besarnya gap energi (Tabel 1). Perubahan ukuran kristal dapat disebabkan oleh penguapan sulfur pada suhu di atas 200oC. Intensitas difraksi yang rendah menunjukkan struktur amorf lebih mendominasi film dibandingkan kristalnya. Pola intensitas XRD untuk CdS dengan doping 4% wt ditampilkan pada Gambar 25. Dari data pola XRD pada gambar 24 di atas terlihat bahwa CdS terdeteksi pada puncak 2θ berdasarkan besar intensitas masing-masing pada 30,9355o; 35,8588o dan 44.5081o. Pada 2θ 30,9355o dan 44,5081o menunjukkan CdS fase kubik yang bersesuaian dengan orientasi bidang (200) dan (220). Hal ini sesuai dengan data JCPDS No. 80-0019. Sedangkan fase heksagonal terlihat pada puncak difraksi pada sudut 2θ 35,8588o yang bersesuaian dengan orientasi bidang (102). Dengan menggunakan persamaan Scheerer, ukuran kristalnya sebesar 0,029655 µm dan 0,051004 µm masing-masing untuk fase kubik dan heksagonal. Dimana rata-rata ukuran kristalnya adalah 0,0384927 µm. Dari pola difraksi dapat diketahui bahwa pada CdS ini fase kristalnya didominasi oleh fase kubik. Konstanta kisi CdS fase kubik sebesar 5,811 Å dengan besar sudut α = β = γ = 90o. Gambar 25 menunjukkan pola XRD film Y3. Puncak-puncak difraksinya sama dengan pola XRD film Y3. Fase CdS yang dominan adalah fase kubik. Ukuran kristal CdS yang terbentuk sebesar 0,031367 µm; 0,033482 µm dan 0,067999 µm masing-masing untuk fase kubik dan heksagonal. Dengan rata-rata ukuran kristal sebesar 0,0442816 µm. 43 C H ITO C Gambar 24 Pola XRD film Y2 Pola difraksi sinar X untuk film Y3 terlihat pada gambar 26. Terlihat bahwa CdS yang terbentuk masih didominasi oleh fase kubik walaupun banyak puncak lainnya yang memperlihatkan fase heksagonal CdS. Fase heksagonal CdS terdeteksi pada 2θ sebesar 26,0742o; 35,8383o dan 48,9810o yang bersesuaian dengan bidang (002), (102) dan (103). Sedangkan fase kubik terdeteksi pada 2θ sebesar 30,9444o dan 44,4418o yang bersesuaian dengan bidang (200) dan (220). Dengan menggunakan persamaan Scheerer, ukuran kristalnya sebesar 0,03411 µm dan 0,05719 µm masing-masing untuk fase kubik dan heksagonal. C H ITO H CC H Gambar 25 Pola XRD film Y3 Namun demikian, walaupun diberikan doping Boron sebanyak 8% wt tetapi pola difraksi tidak menunjukkan kehadiran senyawa lainnya selain CdS fase kubik dan heksagonal. Fase kubik terdeteksi pada 2θ sekitar 30,9444o dan 44 48,5562o yang bersesuaian dengan bidang (200) dan (103) sedangkan fase heksagonalnya terdeteksi pada puncak pada 2θ sekitar 26,6533o dan 43,4086o yang masing-masing bersesuaian dengan orientasi bidang (002) dan (110). Dengan ukuran kristal rata-rata sebesar 0.03441 µm. Dari hasil XRD tidak terlihat pula terbentuknya puncak baru misalnya puncak untuk B, BS atau B 2 S 3 , hal ini menunjukkan bahwa penambahan doping boron tidak mempengaruhi struktur kristal film CdS. Boron yang diberikan ke dalam larutan bath dapat mengalami dua hal. (1) Boron akan menggantikan posisi ion Cd2+ dalam kristal. Karena radius ion B3+ (0,2Å) lebih kecil daripada radius ion Cd2+ maka ukuran kristal CdS secara keseluruhan akan berkurang. Oleh karena itu, pada struktur kristal CdS hanya terjadi cacat kristal saja namun tidak mempengaruhi morfologinya secara umum. (2) Boron hanya akan berada pada kisi kristal yang berarti ukuran kristal akan semakin besar. Hal ini dapat memperpendek spasi interplanar kristal. Tabel 6 menampilkan ukuran kristal CdS berdasarkan jumlah doping Boron yang diberikan. C H ITO H Gambar 26 Pola XRD film Y4 Tabel 6 Ukuran kristal CdS tanpa doping dan doping asam borat 4%, 6% dan 8% wt Jumlah doping 0% 4% 6% 8% 2θ (deg)/fase 27,0228 (heksagonal) 30,9355 (kubik) 30,9479 (kubik) 30,9444 (kubik) β/FWHM (deg) 0,2 0,275 0,26 0,237 Ukuran kristal 0,040418 0,029655 0,031367 0,03441 45 Boron merupakan unsur metaloid golongan IIIA dalam Sistem Periodik Unsur. Pemberian doping Boron mempengaruhi karakteristik film yang dihasilkan misalnya tingkat kekasaran film. Semakin besar konsentrasi doping Boron yang diberikan maka semakin kasar permukaan filmnya. Walaupun tingkat kekasarannya tidak dapat dilihat secara kasat mata (Eitssayeam et al. 2005). Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa salah satu tujuan pemberian doping Boron adalah untuk menurunkan pH larutan. CdS yang dihasilkan dari larutan prekursor dengan pH sekitar 12 akan menghasilkan CdS dengan fase heksagonal. Jadi dengan penambahan asam borat pada larutan prekursor maka CdS yang dihasilkan didominasi oleh fase kubik walaupun masih ada puncak XRD yang menunjukkan hadirnya fase heksagonal CdS. Semakin rendah pH larutan maka fase CdS yang terbentuk akan bervariasi. Namun untuk menghasilkan CdS dengan kristalinitas yang baik, maka pH larutan harus berkisar antara 12-12,5 (Pentia 2000). Annealing dapat mempengaruhi struktur film yang dihasilkan. Film yang diannealing pada suhu di atas 300oC akan mengubah fase CdS dari kubik yang metastabil menjadi fase heksagonal yang stabil. Selain itu, terjadi penguapan sulfur pada permukaan sampel sehingga permukaan CdS tersebut akan mengalami oksidasi akibat pengikatan oksigen dari udara. 4.2.4 Morfologi Film CdS Karakteristik permukaan film tipis CdS diteliti dengan menggunakan Scanning Electron Mycroscope (SEM) Zeiss tipe EVO-50. Gambar 27 menunjukkan penampang melintang CdS pada permukaan ITO yang dideposisikan pada suhu 70oC tanpa pemberian doping Boron dan tanpa annealing. Salah satu kekurangan metode CBD adalah terbentuknya pinhole (kekosongan) pada permukaan sampel. Hal ini dapat disebabkan oleh penurunan kadar ion OH- dalam larutan bath sehingga yang menempel pada permukaan substrat adalah cluster-cluster CdS yang terbentuk dalam larutan bath. Gambar 28 dan 29 masing-masing memperlihatkan morfologi film tipis CdS tanpa pemberian 46 doping Boron dan film dengan pemberian doping namun tanpa dilakukan pemanasan. CdS Gambar 27 Penampang melintang film tipis CdS pada permukaan ITO Pada gambar 29 terlihat bahwa permukaan CdSnya lebih kasar jika dibandingkan dengan CdS tanpa doping Boron. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Khallaf et al. (2007) bahwa pemberian doping yang besar terhadap CdS maka akan menghasilkan CdS dengan permukaan yang kasar. Hal ini dapat terjadi karena pemberian doping berarti penambahan jumlah ion H+ ke dalam larutan. Pembentukan CdS pada permukaan substrat kaca menjadi terhambat karena kekurangan ion OH-. Gambar 28 Morfologi permukaan CdS tanpa doping dan tanpa annealing 47 Pembentukan senyawa Cd(OH) 2 dalam proses CBD sangat penting karena ion OH-lah yang dapat melekatkan ion Cadmium pada substrat. Jadi dengan penambahan asam yang banyak dalam hal ini H+ maka ion OH- akan lebih reaktif terhadap ion H+ membentuk molekul air (H 2 O) sehingga pada akhirnya ion OHmenjadi sangat berkurang. Dan cluster-cluster CdSlah yang menempel pada permukaan substrat kaca. Cluster CdS yang menyebabkan kekasaran permukaan CdS. Gambar 29 Morfologi permukaan CdS dengan doping 8% wt Boron dan tanpa annealing 4.3 Karakteristik Fotovoltaik Persambungan CdS/P3HT-Kitosan Sel surya hibrid polimer menggunakan kombinasi polimer dan bahan semikonduktor inorganik terkonjugasi yang dapat mengkonversi cahaya matahari menjadi muatan. Keuntungan dua bahan dengan sifat elektronik yang merupakan persambungan tipe p dan n sangat penting dalam operasi dari setiap sel surya hibrid polimer karena fotoeksitasi dari polimer terkonjugasi menyediakan ikatan pasangan elektron-hole atau eksiton dibanding muatan bebas. Eksiton ini dapat dipisahkan secara efisien pada interface dengan bahan kedua melalui transfer elektron atau hole untuk menghasilkan muatan bebas yang dapat membangkitkan efek fotovoltaik. Penyinaran sel dengan cahaya polikromatik memungkinkan CdS menyerap cahaya sehingga berkontibusi dalam generasi muatan. Muatan yang berkontribusi besar dalam menghasilkan arus adalah muatan yang terbentuk pada 48 persambungan polimer-CdS. Hal ini disebabkan muatan yang dibentuk di sekitar persambungan lebih mudah dipisahkan oleh medan listrik pada daerah persambungan sehingga dapat menghasilkan arus foto. Untuk keperluan sel surya, semikonduktor tipe-n berada pada lapisan atas sambungan p yang menghadap ke arah datangnya cahaya matahari, dan dibuat jauh lebih tipis dari semikonduktor tipe-p, sehingga cahaya matahari yang jatuh ke permukaan sel surya dapat terus terserap dan masuk ke daerah deplesi dan semikonduktor p. Ketika sambungan semikonduktor ini terkena cahaya matahari, maka elektron mendapat energi dari cahaya matahari untuk melepaskan dirinya dari semikonduktor n, daerah deplesi maupun semikonduktor. Terlepasnya elektron ini meninggalkan hole pada daerah yang ditinggalkan oleh elektron yang disebut dengan fotogenerasi elektron-hole (electron-hole photogeneration) yakni, terbentuknya pasangan elektron dan hole akibat cahaya matahari. Selanjutnya, dikarenakan pada sambungan pn terdapat medan listrik E, elektron hasil fotogenerasi tertarik ke arah semikonduktor n, begitu pula dengan hole yang tertarik ke arah semikonduktor p. Apabila rangkaian kabel dihubungkan kedua bagian semikonduktor, maka elektron akan mengalir melalui kabel. Jika sebuah lampu kecil dihubungkan ke kabel, lampu tersebut menyala dikarenakan mendapat arus listrik, dimana arus listrik ini timbul akibat pergerakan elektron. Pada semikonduktor, ketika dikenai cahaya (foton) yang memiliki energi hυ ≥ E g , elektron pada pita valensi akan tereksitasi ke pita konduksi, meninggalkan hole pada pita valensi. Pasangan elektron-hole ini disebut eksiton. Pada material organik, E g besarnya sama dengan perbedaan energi antara lowest unoccupied molecular orbit (LUMO) dengan highest occupied molecular orbit (HOMO). Kelebihan energi (hυ - E g ) akan dibuang dalam bentuk panas. Selanjutnya, sel surya yang efisien harus memiliki spektrum absorbsi yang lebar, sehingga dapat menghasilkan banyak pasangan elektron-hole (eksiton). Selain itu pula dibutuhkan material dengan reflektansi yang rendah. Konfigurasi sel dimana dibuat persambungan CdS dan P3HT-Kitosan diantara dua lapisan ITO seperti pada Gambar 15. 49 Karakterisasi sel fotovoltaik yang dibuat dapat dikarakterisasi dengan 2 cara yaitu dengan menguji nilai arus yang keluar dari sel dengan memberikan tegangan yang bervariasi dan dengan menguji tegangan rangkaian terbuka (V oc ) sel terhadap waktu yang dibuat dengan menggunakan sumber cahaya lampu MHF M1102. Karakterisasi I-V yang pertama menggunakan software Lab Tracer dan yang kedua menggunakan alat Keithly 2400 Source Meter. Ketika CdS (semikonduktor tipe-n) dan polimer (semikonduktor tipe-p) disambungkan maka elektron pada CdS akan berdifusi melewati persambungan menuju ke polimer yang akan mengisi hole pada polimer sehingga akan menghasilkan ion negatif. Sebaliknya hole pada polimer akan berdifusi pula melintasi persambungan menuju ke CdS yang akan bersatu dengan elektron yang menghasilkan ion positif. Secara keseluruhan daerah ini merupakan daerah netral tanpa ada hole dan elektron di dalamnya. Akibat terjadinya daerah deplesi maka elektron tidak dapat melintasi persambungan, begitupula dengan hole karena pada daerah deplesi ini terbentuk potensial penghalang yang menghalangi terjadinya difusi. Karena terjadi pemisahan muatan maka akan terjadi medan listrik yang arahnya dari semikonduktor tipe-p ke tipe-n. Pada temperatur kamar, level Fermi kedua semikonduktor berada pada kesetimbangan sehingga secara keseluruhan tidak ada arus yang mengalir dalam sel. Sel akan menghasilkan arus jika diberikan tegangan eksternal. Gambar 30 Kurva karakteristik arus(I)-tegangan(V) sel A1 dan A2 Gambar 30 menunjukkan kurva arus-tegangan sel A1 dan A2. Gambar ini memperlihatkan distribusi arus-tegangan yang tidak linier dan tidak simetri 50 menunjukkan bahwa pada sel terbentuk potensial penghalang yang dapat menghambat aliran muatan. Kurva ini dapat menjelaskan bahwa pada setiap sel telah terbentuk persambungan (junction) yang sangat diharapkan dalam sebuah sel fotovoltaik baik itu dalam kondisi gelap maupun pada saat disinari. Kedua sel dalam kondisi gelap menunjukkan kenaikan arus ketika diberikan panjar maju hal ini dikarenakan daerah deplesi pada persambungan akan mengalami penyempitan sehingga elektron yang sangat berkontribusi terhadap arus yang dihasilkan dapat mengalir dengan mudah. Pada saat itu, sel diberikan tambahan tegangan eksternal yaitu 0 - 4 volt. Ketika diberikan panjar mundur (-4 - 0 Volt), potensial penghalang sel akan semakin besar sehingga muatan-muatan pembawa tidak dapat mengalir. Dalam keadaan itu, arus yang dihasilkan mendekati nol. Namun, pada tegangan yang lebih kecil, akan terjadi kebocoran arus. Adanya penyinaran oleh cahaya pada permukaan sel akan meningkatkan pasangan elektron-hole pada daerah persambungan CdS/Polimer. Pasangan elektron-hole ini akan terpisah akibat adanya medan listrik yang selanjutnya akan berkontribusi terhadap peningkatan arus foto sehingga dari Gambar 30, terlihat adanya peningkatan arus ketika sel disinari dibandingkan pada kondisi gelap. Oleh karena itu sel yang dibuat bersifat fotovoltaik. Respon dinamik sel terhadap cahaya ditunjukkan pada gambar 31. Pada gambar terlihat bahwa karakteristik tiap sel berbeda-beda. Besarnya intensitas cahaya yang diberikan sebesar 71,8 W/m2. Sel A4 menunjukkan sensitifitas yang lebih baik dibandingkan dengan sel A1, A2 dan A3. Terjadinya perbedaan ini dapat disebabkan oleh perbedaan karakteristik sel dalam merespon cahaya, ada sel yang sensitifitasnya tinggi namun ada juga sel yang sensitifitasnya rendah. Sel yang tingkat sensitifitasnya rendah hanya dapat merespon cahaya jika cahaya yang mengenainya memiliki intensitas yang tinggi. Hal ini juga dapat disebabkan oleh sedikitnya eksiton yang dibangkitkan dan sedikitnya jumlah muatan yang sampai pada elektroda ketika sel disinari dengan cahaya yang intensitasnya rendah. Sedikitnya muatan yang sampai di elektroda dapat disebabkan oleh panjang lintasan difusi muatan sehingga banyak muatan yang berekombinasi sebelum sampai di elektroda. Jadi, luas penampang sel juga mempengaruhi respon dinamik sel. 51 Terang A1 A2 A3 A4 Gelap Gambar 31 Respon dinamik dan kestabilan tegangan sel A1, A2, A3 dan A4 terhadap cahaya Dari gambar berikut dapat diketahui seberapa besar tegangan rangkaian terbukanya (V oc ). Nilai V oc masing-masing sel dapat dilihat pada Tabel 7. Tegangan yang dihasilkan oleh sel tidak menunjukkan kinerja yang baik. Misalnya untuk sel A1, ketika disinari, tegangan V oc nya mencapai nilai 234 mV. Namun setelah tidak disinari dan selanjutnya disinari lagi, terlihat bahwa V oc yang dihasilkan lebih kecil yakni sebesar 196 mV saja. Sedangkan respon dinamik untuk sel B1, B2 B3 dan B4 diperlihatkan pada Gambar 32. Terang B1 B2 B3 B4 Gelap Gambar 32 Respon dinamik dan kestabilan tegangan sel B1, B2, B3 dan B4 terhadap cahaya Besarnya respon dinamik sel juga dapat dilihat dari konstanta waktu, jika sel dianalogikan sebagai kapasitor. Tabel 7 juga menunjukkan konstanta waktu 52 tiap sel. Besarnya konstanta waktu sel dapat pula dilihat dari lambatnya penurunan tegangan ketika penyinaran dihentikan. Dari gambar terlihat bahwa sel B4 mempunyai nilai V oc yang lebih besar dibanding sel yang lainnya. Sedangkan konstanta waktu yang paling baik dimiliki oleh sel B1. Hal ini berarti bahwa sel ini merespon cahaya datag dengan baik walaupun terlihat bahwa sel ini memiliki V oc yang lebih kecil. Kecilnya kostanta waktu ini dapat memperbesar recovery response atau mempercepat penurunan tegangan ketika penyinaran dihentikan. Sel B2 merupakan sel yang memiliki konstanta waktu yang paling besar yang berarti bahwa sel ini menunjukkan respon yang kurang baik terhadap cahaya. Gambar 33 menunjukkan respon dinamik dan kestabilan tegangan sel C1, C2, C3 dan C4 terhadap cahaya. Dengan menggunakan sumber cahaya yang sama, masing-masing sel D1, D2, D3 dan D4 disinari dan menghasilkan respon dinamik seperti diperlihatkan pada Gambar 34. Dari keseluruhan grafik terlihat bahwa semua sel CdS/P3HTkitosan merespon cahaya dengan baik. Sel B1 (sel dengan CdS doping 4% wt tanpa annealing) merupakan sel dengan konstanta waktu terkecil (2.5 sekon). Hal ini menunjukkan bahwa sel ini memiliki respon cahaya yang lebih baik dibanding sel-sel lainnya. Sedangkan sel B3 (sel dengan CdS doping 4% wt dan dengan suhu annealing 300oC) merupakan sel dengan konstanta waktu terbesar (43,75 sekon). Terang Gelap C1 C2 C3 C4 Gambar 33 Respon dinamik dan kestabilan tegangan sel C1, C2, C3 dan C4 terhadap cahaya 53 Terang D1 D2 D3 D4 Gelap Gambar 33 Respon dinamik dan kestabilan tegangan sel D1, D2, D3 dan D4 terhadap cahaya Parameter fotovoltaik yang diamati terutama nilai tegangan rangkaian terbuka (V oc ) sangat dipengaruhi oleh struktur selnya masing-masing. Lapisan polimer yang terlalu tebal dapat meningkatkan hambatan dalam sel. Peningkatan hambatan ini berarti penurunan konduktifitas sel yang mempengaruhi mobilitas muatan pembawa di dalam sel. Selain itu dapat pula dipengaruhi oleh luas permukaan masing-masing sel. Ketebalan lapisan polimer yang diteteskan pada tiap sel tidak dapat dikatakan sama untuk semua sel. Walaupun pada saat penetesan dilakukan teknik drop casting di mana diharapkan diperoleh ketebalan polimer yang sama untuk semua sel, namun karena polimernya bersifat gel maka terjadi kebocoran pada tepi lapisan. Pengurangan jumlah polimer berarti penurunan jumlah eksiton yang dapat dibangkitkan ketika sel disinari. Tabel 7 Tegangan Rangkaian Terbuka (V oc ) dan Konstanta Waktu Tiap Sel CdS/P3HT-Kitosan Sampel A1 A2 A3 A4 B1 B2 B3 B4 V oc (mV) 196 189 206 221 117 193 266 231 τ (RC) (sekon) 37,5 20,3 25,7 11,9 2,5 38,1 43,57 31,1 Sampel C1 C2 C3 C4 D1 D2 D3 D4 V oc (mV) 155 286 262 110 278 220 203 107 τ (RC) (sekon) 19,8 22,6 20,7 5,4 20,4 26,3 15,5 10,97 54 Dari data pada tabel di atas terlihat bahwa sel yang memiliki tegangan rangkaian terbuka (V oc ) yang besar dimiliki oleh sel dengan doping 6% wt dan suhu annealing 200oC yakni 286 mV. Sel ini memiliki konstanta waktu sebesar 10,87 sekon yang menunjukkan bahwa sel ini memiliki respon cahaya yang baik walaupun tak sebaik sel B1. Sel ini memiliki luas permukaan persambungan yang luas dan morfologi sel yang baik secara kasat mata. Luasnya bidang interface antara CdS dan polimer berarti semakin banyak pula pasangan elektron-hole yang ada sehingga arus dan tegangan yang dihasilkan pun akan semakin banyak. Sebaliknya sel yang memiliki V oc yang rendah dimiliki oleh sel D4 (sel dengan doping 8% wt dan suhu annealing 400oC yakni 107 mV. Secara morfologi terlihat bahwa sel ini memiliki ketebalan lapisan polimer yang lebih tipis yang kemungkinan diakibatkan oleh kebocoran lapisan polimer ini pada saat dilakukan pelapisan yang berarti jumlah eksiton (pasangan elektron-hole) yang dibangkitkan juga lebih sedikit. Celah energi dan konduktifitas CdS merupakan parameter mikroskopik yang mempengaruhi efek fotovoltaik persambungan CdS/P3HT-Kitosan. Hal ini tidak dapat diketahui secara pasti bagaimana pengaruh morfologi, celah energi dan konduktifitas CdS terhadap mekanisme fotovoltaik yang terjadi. Pada saat persambungan CdS/P3HT-Kitosan dikenai cahaya maka elektron pada CdS (semikonduktor tipe-n), persambungan dan pada P3HT-kitosan terjadi eksitasi elektron jika energi foton yang mengenai sel tersebut lebih besar dari celah energi pada tiap bagian tersebut. Walaupun CdS sendiri secara khusus berfungsi sebagai window layer dan penyedia level energi bagi elektron namun CdS harus memiliki mobilitas elektron yang tinggi yang berkaitan erat dengan konduktifitas. Karena konduktansi sebanding dengan konduktifitas maka bahan yang memiliki konduktansi yang tinggi akan memiliki mobilitas elektron/hole yang tinggi pula. Bahan dengan konduktifitas yang tinggi berarti memiliki kemampuan yang tinggi juga untuk mengalirkan elektron/hole di dalam bahan tersebut. Jadi secara mikroskopik, baik celah energi maupun konduktansi/resistansi CdS mempengaruhi parameter makroskopik efek fotovoltaik persambungan dua tipe semikonduktor yang berbeda. Secara teori kedua hal ini sebanding dengan tegangan rangkaian terbuka (V oc ). Namun dalam penelitian ini tidak terlihat 55 dengan jelas hubungan tersebut karena ketidak konsistenan dalam tiap pengukuran. Hal ini dapat diatasi dengan penggunaan luas permukaan ITO yang sama, spacer (untuk mencegah kebocoran polimer) dan sumber cahaya yang tidak mobile sehingga intensitas cahaya yang diberikan terhadap semua sel, sama.