potensi infeksi virus rota sebagai penyakit zoonosis penyebab diare

advertisement
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 2005
POTENSI INFEKSI VIRUS ROTA SEBAGAI PENYAKIT
ZOONOSIS PENYEBAB DIARE PADA ANAK-ANAK
MUHARAM SAEPULLOH
Balai Penelitian Veteriner
Jl. RE. Martadinata No. 30, PO Box 151, Bogor
ABSTRAK
Virus rota termasuk kedalam famili reoviridae merupakan penyebab utama penyakit diare akut yang
dapat menimbulkan kematian baik pada manusia maupun hewan. Pada manusia, penyakit diare yang
disebabkan oleh virus rota telah tersebar di dunia dan menyebabkan kematian pada anak-anak dibawah umur
5 tahun hingga mencapai 600.000 orang per tahun. Sementara itu, tingkat kematian pada ternak sapi dan
kerbau yang disebabkan infeksi virus rota di dunia mencapai 8,7 hingga 64%. Pada umumnya, virus rota yang
tergolong kedalam group A merupakan golongan virus yang sering menimbulkan diare hingga kematian baik
pada manusia maupun hewan. Oleh karena itu, perlu adanya kewaspadaan terhadap virus rota asal hewan
yang memiliki potensi untuk menular ke manusia.
Kata kunci: Virus rota, tingkat kematian, virus rota group A, diare, reviridae
PENDAHULUAN
Virus rota merupakan agen penyakit yang
dapat menyebabkan infeksi pada saluran
pencernaan baik hewan maupun manusia.
Virus ini termasuk kedalam famili Reoviridae
telah tersebar di dunia dan pada umumnya
menginfeksi kelompok hewan/manusia yang
baru lahir. Virus rota pada hewan pertama kali
diisolasi pada tahun 1969 (MEBUS et al., 1971),
sementara itu pada manusia baru dapat
diisolasi pada tahun 1973 (BISHOP et al., 1973).
Infeksi virus rota yang berhubungan dengan
radang usus dan diare telah banyak dilaporkan
terjadi pada beberapa jenis hewan termasuk
pada manusia (bayi dan anak-anak), anak sapi,
anak babi, anak biri-biri, anak kuda, kelinci,
tikus, anak rusa, antelop, dan kalkun (FLEWETT
dan WOOD, 1978; MCNULTY et al., 1978a;
JONES et al., 1979; dan SNOGRASS et al., 1990).
Secara pemeriksaan serologis telah dibuktikan
pula bahwa infeksi rota virus juga terjadi pada
anjing, kucing, hamster, marmot dan unggas
domestik (TAKAHASHI et al., 1979).
TZIPORI (1980) melaporkan bahwa gejala
klinis pada hewan terjadi setelah masa inkubasi
1- 4 hari yang ditandai dengan depresi yang
diikuti oleh diare ganas, muntah (pada babi),
dehidrasi, kekurusan dan kadang-kadang
menyebabkan kematian. Infeksi virus rota akan
mengikat lapisan sel epitel dewasa pada usus
86
halus yang mengandung enzim pencernaan
yang sangat penting. Perusakan sel ini
mengakibatkan struktur dan fungsi vili pada
usus diubah sehingga terjadi diare. Spesifik
antibodi secara normal akan terbentuk antara 47 hari setelah timbul gejala klinis.
Di Indonesia, kejadian penyakit diare
maupun kematian pada hewan yang disebabkan
oleh virus rota belum pernah dilaporkan. Hal
ini mungkin disebabkan oleh beberapa alasan,
yaitu: 1) kasus diare pada hewan misalkan pada
sapi sering dikelirukan dengan penyakit diare
ganas yang disebabkan oleh Bovine Viral
Diarrhoea (BVD), sehingga lebih cenderung
untuk memfokuskan diagnosa penyakit ke arah
BVD dari pada ke virus rota; 2) Untuk
mengasingkan (isolasi) virus rota seringkali
mengalami kegagalan, selain itu diperlukan
suatu keahlian khusus dan perlakuan sampel
yang khusus pula; 3) Keberadaan virus rota
sebagai penyebab diare pada hewan tidak
begitu populer bila dibandingkan dengan kasus
diare oleh virus BVD, sehingga para peneliti
lebih tertarik untuk meneliti virus BVD dan hal
ini merupakan tantangan bagi peneliti; 4)
Vaksin virus rota untuk hewan belum tersedia
secara komersial di Indonesia, sehingga untuk
membuat
perangkat
diagnostik
yang
menggunakan antigen yang berasal dari vaksin
belum dapat dilakukan, dan 5) Perangkat uji
yang selalu harus diimpor dan harganya relatif
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 2005
mahal. Oleh karena itu, penelitian ke arah
pengumpulan
data
(database)
tentang
penyebab kematian pada ternak (sapi dan
kerbau) di Indonesia sangatlah penting
dilakukan untuk memperoleh informasi
keberadaan penyakit diare yang disebabkan
oleh infeksi virus rota pada hewan. Penelitian
ke arah itu telah dilakukan di beberapa negara
seperti: Argentina (BARRANDEGUY et al.,
1988), Italia (CASTRUCI et al., 1988), Irak
(HASSO et al., 1983), India (KAUSHIK et al.,
1983), Finlandia (NEUVONEN et al., 1982),
Perancis (SCHWERS et al., 1983), Jepang (SATO
et al., 1981), Amerika Serikat (SCHLARFER and
SCOOT, 1979), Mesir (SHALABY et al., 1981),
German (SCHULZ, 1983), Bulgaria (SIMEONOV
et al., 1982), Inggris (WOODE, 1979), Libya
(GUSBI and HIRD, 1983), United Kingdom
(PETERS, 1986), Nigeria (UMOH, 1982),
Pakistan (AFZAL et al., 1983) dan Tunisia
(ZRELLI et al., 1988).
Sementara itu, virus rota pada manusia
memiliki peranan sangat penting karena dapat
berakibat fatal bagi kesehatan manusia. Hal ini
disebabkan virus rota dapat menyebabkan
penyakit diare ganas yang seringkali diakhiri
dengan kematian, dan telah tersebar luas baik
di negara maju maupun negara berkembang.
Virus ini seringkali menginfeksi bayi yang
baru lahir serta anak-anak di usia dibawah lima
tahun. COOKEY (2000) melaporkan kejadian di
Amerika bahwa virus ini telah menyebabkan
50.000 orang dirawat dirumah sakit dan
sebanyak 500.000 orang berobat ke rumah
sakit setiap tahunnya. Selanjutnya RAMSAY
(1999) melaporkan bahwa kematian akibat
virus ini di negara berkembang dapat mencapai
lebih dari 800.000 anak per tahun. Sementara
itu kasus dehidrasi yang ditimbulkan oleh
penyakit virus rota pada anak-anak hanya
mencapai 4% dari total jumlah pasien sebanyak
1 milyar, akan tetapi 40%-nya meninggal dunia
akibat diare oleh virus rota (BARNES, 2000).
Di Indonesia, penelitian virus rota sebagai
penyebab penyakit diare pada manusia sudah
mengalami kemajuan dibandingkan dengan
penelitian virus rota pada hewan. Kasus
penyakit diare yang disebabkan oleh virus rota
pada manusia telah dilaporkan oleh SOENARTO
dkk (1981) yang menyatakan bahwa selama
bulan Juni 1978 sampai Juni 1979 telah
teridentifikasi virus rota dari kasus diare pada
anak-anak yang berobat ke Rumah Sakit di
Yogyakarta sebanyak 38%. Sementara itu,
ALBERT et al., (1982) juga melaporkan bahwa
di Rumah Sakit Yogyakarta, sebanyak 85
orang anak yang menderita diare positip
mengandung virus rota, dan dari jumlah
tersebut ternyata 80% (68/85) tergolong
kedalam human rotavirus subgroup-2 dan 20%
(17/85) termasuk kedalam human rotavirus
subgroup-1. Walaupun tidak dilaporkan
terdapat kematian seperti kejadian di luar
negeri, akan tetapi bila dibiarkan dan tidak
ditangani secara serius maka kemungkinan
akan terjadi jatuh korban akibat virus rota ini.
Pada makalah ini akan diuraikan penyakit
diare yang disebabkan oleh virus rota baik pada
hewan terutama sapi dan kerbau maupun pada
manusia; hubungan kekerabatan antara virus
rota pada hewan dengan virus rota pada
manusia sehingga kemungkinan virus rota asal
hewan berpotensi sebagai penyebab diare pada
manusia; dan pencegahan serta pengendalian
infeksi virus rota baik pada manusia maupun
pada hewan. Makalah ini diharapkan dapat
menjadi pemicu bagi para peneliti untuk
mengungkap lebih jauh penyakit diare yang
disebabkan oleh infeksi virus rota baik pada
manusia maupun hewan di Indonesia.
STRUKTUR DAN KARAKTERISTIK
VIRUS ROTA
Virus rota termasuk kedalam genus
rotavirus dari famili reoviridae. Virus ini
memiliki ukuran diameter virion 65 nm – 75
nm, berbentuk ikosahedral, tidak memiliki
envelop, dan terdiri dari 3 lapisan protein yaitu
protein kapsid bagian luar (VP4 dan VP7),
kapsid bagian dalam (VP6) dan core (VP2).
Berdasarkan susunan proteinnya, virus ini
memiliki 11 segmen RNA utas ganda (dsRNA)
terdiri dari VP1, VP2, VP3, VP4, NS53, VP6,
NS34, NS35, VP7, NS28 dan NS26 (Tabel 1)
(LUDER et al., 1986).
87
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 2005
Tabel 1. Susunan protein virus rota beserta fungsinya
Segmen
Protein
Berat molekul
Fungsi
1
VP1
125 kD
2
VP2
94 kD
3
VP3
91 kD
4
VP4
84 kD
5
6
7
8
9
10
NS53 (NSP1)
VP6
NS34 (NSP3)
NS35 (NSP2)
VP7
NS28 (NSP4)
53 kD
41 kD
34 kD
35 kD
37 kD
28 kD
11
NS26 (NSP5)
26 kD
RNA Polymerase: merupakan bagian dari aktifitas
transkripsi dan replikasi.
Untuk mengikat RNA: merupakan bagian dari aktifitas
transkripsi dan replikasi.
merupakan bagian dari aktifitas enzim transkriptase dan
replikase.
Hemaglutinin, neutralisasi antigen, meningkatkan aktifitas
enzime protease
Zinc finger, untuk pengikatan RNA
Merupakan Group dan subgroup antigen
Untuk mengikat 3’ mRNA
Untuk mengikat RNA
Glikoprotein, neutralisasi antigen
Glikoprotein, sebagai reseptor partikel dalam RE,
enterotoksin virus
Untuk mengikat RNA
Sumber: LUDER et al., (1986)
Virus rota memiliki 3 sifat antigenik yang
spesifik, yaitu group, sub-group, dan serotipe.
Group dan sub-group, keduanya diperantarai
dengan VP6 yang merupakan bagian dalam
kapsid protein yang utama. Hingga saat ini
telah terdapat 7 group virus rota yaitu A, B, C,
D, E, F, dan G, dan telah diketahui tedapat
pada manusia, mamalia dan burung
(ALEXANDRE and BRESEE, 2000). Dari ketujuh
group virus rota, maka hanya group A yang
merupakan galur virus rota yang memiliki arti
penting secara epidemiologi karena dapat
menimbulkan penyakit diare akut ganas pada
bayi (HOSHINO and KAPIKIAN, 1994) serta
pada hewan. Selanjutnya, virus rota group A
dibagi kedalam 4 subgroup, yaitu I, II, I dan II,
serta tidak termasuk I dan II. Sementara itu,
serotipe virus dikelompokkan berdasarkan
kapsid protein bagian luar yaitu VP7 dan PV4.
VP7 merupakan serotipe yang spesifik
dinamakan G (Glycoprotein), sedangkan VP4
diberi nama P (protein yang sensitif terhadap
enzim protease). Sejauh ini telah ditemukan
sebanyak 15 serotipe G dan 22 serotipe P
(ESTES, 2001). Selain serotipe, juga dikenal
genotipe virus rota yaitu untuk genotipe G
merupakan gabungan antara serotipe dan
genotipe, sedangkan untuk genotipe P terdapat
20 genotipe . Penulisan genotipe biasanya
ditulis angka dalam kurung kotak setelah
88
penulisan hurup P, misal human rotavirus Wa
strain akan ditulis menjadi P1A[8]G1.
Walaupun telah teridentifikasi 15 serotipe
G, serotipe G1 sampai G4 dinyatakan paling
sering
ditemukan
(BLACKLOW
and
GREENBERG, 1991). Akan tetapi, serotipe G6
dan G10 merupakan serotipe virus rota yang
telah tersebar di dunia dan ditemukan pada sapi
umur 1-3 minggu yang menderita penyakit
diare (CHANG et al., 1996 dan FALCON et al.,
1999). Sedangkan virus rota serotipe G8 (galur
69 M) pertama kali diisolasi dari anak-anak
usia dibawah lima tahun yang menderita
gastroenteritis akut di Indonesia (MATSUNO et
al., 1985). Semenjak itu, serotipe G8 telah
banyak terdeteksi
pada anak-anak yang
menderita diare di Italia, Australia, Afrika
Selatan, dan United Kingdom (PALOMBO et al.,
2000). Sedangkan kasus diare pada hewan
yang disebabkan oleh infeksi virus rota di
Indonesia hingga saat ini belum pernah
dilaporkan.
Dengan terdeteksinya virus rota pada ternak
domestik maka secara epidemiologi akan
menjadi masalah besar. Hal ini dikarenakan
virus rota pada ternak akan menyebar dan
menginfeksi manusia sehingga akan semakin
meningkatnya penyakit diare pada manusia.
Selain itu, kombinasi dari hewan perantara dan
gen rotavirus yang bergabung
akan
menjadikan potensi yang besar untuk
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 2005
terbentuknya mutasi gen yang baru (seperti
halnya
virus
influenza)
yang
dapat
mengakibatkan terjadinya perubahan sifat
menjadi virus yang ganas (NAKAGOMI, et al.,
1991). Kekhawatiran virus rota pada hewan
akan menular ke manusia juga diungkapkan
oleh CAVALLIER et al., (2000) yang telah
dibuktikan dengan terdeteksinya virus rota
human strain dan virus rota animal strain pada
air minum yang dikonsumsi oleh anak-anak
penderita diare (Tabel 2). Dari temuan tersebut
membuktikan pula bahwa penyebaran penyakit
diare yang disebakan oleh virus rota selain
melaui faeses dan oral, air minum pun sangat
berpotensi dalam penyebaran penyakit tersebut.
Tabel 2. Sekuen asam amino virus rota group A serotipe VP7 (digaris bawahi) yang terdeteksi dari air minum
yang dikonsumsi oleh anak penderita diare dan dari faeses penderita diare
Tempat sampel Jenis sampel Sekuen
Karakteristik
Voiron area
Nantouin
La Cote Saint
-Andre
Rives
Human strain, G serotipe 4
Human strain, G serotipe 1
Porcain strain,
Human strain, G serotipe 4
Bovine strain
Human strain, G serotipe 1
Bovine strain
Human strain, G serotipe 1
Air minum
faeses
Air minum
faeses
Air minum
Faeses
Saint-Marcellin Air minum
Faese
LCLYYP SEAP TQIS DNEW KDT LS
LCLYYP TEAS TQIN DGEW KDS LS
LCLYYP NEAA TEIA DDKW TDT LS
LCLYYP SEAP TQIS DNEW KDT LS
LCLYYP VEAS NEIA DTEW KDT LS
LCLYYP TEAS TQIN DGEW KDS LS
LCLYYP VAAS NKYA DTEW KDT LS
LCLYYP TEAI TQIN DGEW KDS LS
Sumber: CAVALLIER et al., (2000)
Tabel 3. Kasus kematian anak sapi dan kerbau umur kurang dari 1 tahun yang disebabkan oleh infeksi virus
rota
Pustaka
Negara
Kejadian (%)
Umur (minggu)
Kerbau/sapi
FREESE and GRAVERT (1982)
FINK, (1980)
German
German
JENY et al., (1981)
GUSBI and HIRD (1983)
VERMA et al., (1980)
PETERS (1986)
BRAUN and TENNANT (1983)
BHULLAR and TIWANA (1985)
UMOH (1982)
GUSBI and HIRD (1983)
AFZAL et al., (1983)
USA
Libya
India
UK
USA
India
Nigeria
Libya
Pakistan
ZRELLI et al., (1988)
MCGUIRE et al., (1976)
Tunisia
USA
50
30,8
56,4
19,1
12,5 – 26
12,5
3,96
18,9
34
8,7
18,8
39,8
14,3
18,8
64
Setelah lahir
1
2
4
4
4
5
5
12
12
13
Sebelum 1 tahun
Sebelum 1 tahun
---
Sapi
Sapi
Sapi
Sapi
Sapi
Kerbau
Sapi
Sapi
Kerbau
Sapi
Sapi
Kerbau
Sapi
Sapi
Sapi
Sumber: KHAN and KHAN (1991)
89
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 2005
INFEKSI VIRUS ROTA PADA HEWAN
Etiologi
Virus rota pada hewan pertama kali
diisolasi dari faeses anak sapi yang baru lahir
yang menderita diare pada tahun 1968 oleh
CHARLES MEBUS di Nebraska Agricultural
Experiment Station (Virus rota dikeluarkan
dalam jumlah besar dari feses manusia/hewan
yang terinfeksi hingga mencapai 1011 partikel
virus per gram). Agen virus ini semula disebut
sebagai Nebraska Calf Scours virus atau reolike virus (MEBUS et al., 1971), akhirnya nama
virus ini berubah menjadi Bovine rotavirus.
Virus rota group A memegang peranan
yang sangat penting sebagai penyebab
gangguan pencernaan dan diare pada berbagai
jenis hewan. Infeksi rota virus pada berbagai
jenis hewan telah banyak dilaporkan yaitu
terjadi pada anak sapi, anak domba, babi,
mencit, kelinci, rusa, antelope, kucing, ayam
dan kalkun (FLEWETT and WOODE, 1978;
MCNULTY, 1978; MCNULTY et al., 1978a;
JONES et al., 1979 dan SNOGRASS et al., 1979).
Secara pemeriksaan serologik, infeksi virus
rota dapat terdeteksi pada anjing, kucing,
kambing, tikus, marmot, hamster dan
kelompok unggas domestik (MCNULTY et al.,
1978b; TAKAHASHI et al., 1979). Selain group
A, pada sapi dan babi pun pernah terdeteksi
virus rota group B dan C (ADAH et al., 2003).
Sementara itu, infeksi rota virus dapat
menyebabkan kematian pada anak sapi umur
satu bulan dapat mencapai 83% dan kematian
tertinggi terjadi pada saat anak sapi berumur 3
minggu (JENNY et al., 1981). Pada kasus lain,
kematian pada anak sapi yang baru dilahirkan
dapat mencapai 50% (FREESE and GRAVERT,
1982). Sedangkan kasus kematian anak kerbau
oleh virus ini telah dilaporkan terjadi di India
(VARMA et al., 1988; BHULLAR and TIWANA,
1985) dan di Pakistan (AFZAL et al., 1983).
Kematian yang disebabkan oleh virus rota pada
anak sapi dan kerbau dari berbagai umur
ditampilkan pada Tabel 3.
Diare pada anak sapi merupakan suatu
sindroma yang sangat komplek dan biasanya
diakhiri dengan kematian. Kematian tersebut
banyak kaitannya dengan berbagai faktor
misalnya
keadaan
lingkungan,
nutrisi,
psikologi dan managemen. Agen penyakit yang
90
dapat menyebabkan penyakit diare pada anak
sapi sangatlah banyak, diantaranya yaitu
disebabkan oleh virus rota, virus corona,
Enteropathogenik E. coli, salmonella, dan
cryptospiridium (SNOGRASS et al., 1986; FINK,
1980; TAOUDI et al., 1983; WHITE and
ANDREWS, 1986; FEDIDA et al., 1985).
Diantara agen penyakit tersebut, maka virus
rota dan E.coli lah yang merupakan agen
penyakit infeksi penyebab diare yang paling
banyak ditemukan (MORIN et al., 1976).
Menurut SNOGRASS et al., (1986) pada
beberapa kasus kematian pada hewan yang
disebabkan oleh virus rota, juga sering kali
ditemukan adanya infestasi mikroorganisma
lain, yaitu diantaranya adanya infeksi oleh
virus corona, E. coli, salmonella, dan
cryptospiridium. Selain itu, ada pula faktor lain
yang dapat menyebabkan kematian hewan
khususnya pada sapi yaitu faktor cuaca yang
buruk (FINK, 1980), kesulitan pada saat
melahirkan
(TAOUDI
et
al.,
1983),
immunodefisiensi (WHITE and ANDREWS,
1986), dan manajemen yang kurang baik
(FEDIDA et al., 1985). Selanjutnya AL-MASHAT
and TYLOR (1980) melaporkan pula bahwa
campylobacter sangat berpotensi sebagai
penyebab peradangan pada saluran pencernaan
sapi, walaupun SNOGRASS et al., (1986)
berpendapat bahwa campylobacter secara
alami merupakan penghuni saluran pencernaan
pada ruminansia.
Virus rota dapat ditemukan pada faeses
anak sapi baru lahir yang menderita diare.
Keberadaan virus ini sudah tidak dapat
diragukan lagi memiliki kontribusi yang sangat
significan dalam proses berjangkitnya penyakit
hingga terjadinya infeksi sampai dengan
timbulnya gejala klinis pada anak sapi. Gejala
klinis akibat infeksi virus rota sering kali tidak
menunjukkan klinis yang parah, dan tidak
berakibat fatalnya terhadap anak sapi yang
baru lahir, selama hewan tersebut tidak
mengalami immunodefisiensi dan atau adanya
infeksi sekunder oleh berbagai macam bakteri
yang patogen seperti E. coli (MOON, et al.,
1978).
Virus rota seringkali sangat sulit untuk
diasingkan melalui cara menumbuhkan pada
jaringan sel, karena virus tersebut sering kali
menunjukkan effek sitopatik yang tidak
konsisten. Hal itu terutama bila pengasingan
virus baru pertama kali dilakukan, juga
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 2005
seringkali menimbulkan sitotoksik alami yang
berasal dari faeses dan filtrat faeses. Oleh
karena itu, diperlukan teknologi yang khusus
dalam mendeteksi adanya virus rota seperti
teknik immunofluorescense dan immunoelectron microscopy sering digunakan untuk
tujuan tersebut. Dengan sulitnya agen virus
rota untuk diasingkan sehingga kemungkinan
besar kasus diare pada sapi yang disebabkan
oleh virus rota jarang sekali dilaporkan. Akan
tetapi apabila virus rota pada sapi sudah
beradaptasi secara in vitro dan telah
menimbulkan efek sitopatik (CPE), maka
selanjutnya virus tersebut akan mudah untuk
dipelihara pada berbagai jaringan sel yang
spesisif misalnya sel ginjal embrio kera (MA104), sel Madin Darby Bovine Kidney
(MDBK), sel ginjal kera hijau (Vero cells) dan
lain sebagainya (FERNELIUS, et al., 1972).
Gejala klinis
Virus rota merupakan penghuni tetap pada
vili sel epitel di usus kecil, terutama pada
bagian jejunum dan ileum. Replikasi virus
terjadi di enterosit yang berakibat rusaknya
bagian tersebut. Partikel virus keluar dan
menginfeksi sel lain atau keluar melalui faeses.
Virus yang dikeluarkan melalui faeses akan
menyebarkan virus ini ke hewan lainnya.
Terjadinya infeksi pada usus kecil sangat
singkat, yaitu bagian usus kecil mengalami
atropi, kemudian bagian yang berfungsi untuk
penyerapan zat makanan akan mengecil, hal
tersebut
akan
menghambat
proses
penghancuran laktose dan transportasi nutrisi
dan
garam-garam
mineral
sehingga
mengakibatkan penyakit diare.
Infeksi virus rota pada hewan seringkali
menimbulkan gejala klinis yang tidak tampak
(asymptomatic). Gejala klinis pada hewan
sangatlah bervariasi tergantung kepada cara
penanganan hewan, tingkat kekebalan individu
hewan tersebut, dan adanya infeksi sekunder
yang disebabkan oleh kelompok bakteri,
misalnya E.coli.
Gejala klinis yang berkaitan dengan infeksi
virus rota pada anak sapi yang baru lahir
sangatlah bervariasi dari mulai tidak adanya
gejala klinis (inaparent infections), diare yang
ringan hingga diare ganas, dicirikan dengan
faeses sangat encer berwarna kekuningkuningan dan penderita/hewan mengalami
dehidarsi yang hebat (MEBUS et al., 1971).
Kadang-kadang, sapi yang terinfeksi mati
sebelum menampakkan gejala klinis (HIBBS,
1974). Akan tetapi berdasarkan pengamatan
terhadap berbagai kasus diare oleh virus rota,
maka suhu tubuh hewan penderita tampak
normal. Hidung tampak kemerahan dan
terdapat saliva yang berlebihan keluar dari
hidung. Selain itu, seringkali hewan tampak
stress yang berlebihan dan nafsu makan
berkurang. Dari beberapa kasus penyakit diare,
ternyata kematian dapat mencapai 50% akibat
dari faktor ketidak seimbangan elektrolit dalam
tubuh sehingga terjadi dehidrasi (MEBUS et al.,
1971).
Timbulnya gejala klinis yang berupa diare
sering terjadi sekitar 3-10 hari atau lebih cepat
(ACRES and BABIUK 1978) dan pada umumnya
selalu antara 10 hari setelah dilahirkan
(SCHLARFER and SCOTT, 1979), akan tetapi
seringkali pertumbuhan lesi belum bisa
dibedakan pada sapi tersebut.
Gejala klinis lainnya akibat infeksi virus
rota pada hewan ditandai dengan anorexia,
depresi, muntah yang diikuti dengan diare yang
bervariasi mulai dari bentuk seperti susu
sampai faeses seperti air (Watery diarrhea),
seringkali mengandung susu yang belum dapat
dicerna. Akibat dari diare ini, maka hewan
akan menderita dehidrasi dan bobot badan
turun. Kematian sering kali terjadi antara 3-7
hari sejak diare.
EPIDEMIOLOGI
Walaupun secara menyeluruh epidemiologi
virus rota pada sapi masih menjadi bahan
spekulasi. Akan tetapi beberapa peneliti telah
berusaha melakukan pengamatan dari berbagai
kasus yang ada diantaranya, ACRES dan
BABIUK (1978) melaporkan bahwa prevalensi
titer antibodi tertinggi terjadi diantara sapi
dewasa dan mulai terjadinya penyakit yaitu
pada saat anak sapi berumur antara 5 sampai
10 hari yang diperkirakan mulai terjadinya
penularan virus, pembawaan virus (carrier
state), dan menyerang berbagai tingkatan
umur.
91
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 2005
Masa inkubasi penyakit
Jenis kelamin dan keturunan
Masa inkubasi dapat diukur dalam hitungan
jam dan sangat bervariasi tergantung dari
banyaknya penyakit yang masuk diantara sapi.
MEBUS (1972) melaporkan bahwa masa
inkubasi penyakit berkisar anatara 13-14 jam
setelah dilakukan infeksi buatan melalui oral
pada hewan piaraan.
Tidak ada indikasi bahwa jenis kelamin dan
faktor keturunan merupakan suatu hal yang
sangat penting dalam menentukan kejadian dan
infeksi penyakit virus rota pada sapi.
Hewan perantara dan sumber infeksi lainnya
Populasi sapi dewasa dari berbagai wilayah
memiliki prevalensi antibodi mencapai 100%
(SCHLARFER and SCOTT, 1979). Walaupun
mekanisme secara lengkap belum jelas, akan
tetapi disinyalir bahwa sapi bukan saja
merupakan hewan perantara dalam penyebaran
penyakit dan juga sekaligus sebagai sumber
penularan penyakit antar jenis melalui faeses
yang dicemari oleh virus rota atau
kemungkinan juga dapat terjadi melalui transplasenta (MCNULTY et al., 1976). Hal tersebut
tidak dapat dibantah lagi kemungkinan bahwa
sapi yang telah terinfeksi oleh virus rota akan
menjadi sumber penyakit terhadap sapi lainnya
yang dapat terjadi melalui transmisi baik faeses
maupun oral. Hal tersebut cukup beralasan
karena virus rota dikeluarkan dalam jumlah
besar dari feses manusia/hewan yang terinfeksi
hingga mencapai 1011 partikel virus per gram.
Tingkat umur
Kebanyakan kasus diare oleh infeksi virus
rota, secara klinis terjadi antara umur 1 hingga
10 hari. Pada tahapan ini, terjadi paparan pada
tahap awal. Pada tahap ini, produksi steroid
endogen oleh fetus terjadi pada saat proses
melahirkan
dan
menyebabkan
depresi
sementara pada sistem imunitas sel perantara
(Cell-mediated
immunity),
sehingga
menyebabkan terjadinya infeksi awal lebih
berbahaya dari pada infeksi yang terjadi
berikutnya (TENNANT et al., 1978).
Selanjutnya, terjadinya penurunan titer
antibodi yang terdapat pada kolostrum dalam
saluran lumen pada umur 4-6 hari,
kemungkinan besar memiliki peranan penting
dalam menentukan
infeksi penyakit
berdasarkan sebaran umur.
92
Pengobatan
Jika telah dilakukan pemeriksaan yang
spesifik terhadap infeksi virus rota dan ternyata
ditemukan
ada beberapa hewan yang
terinfeksi, maka harus segera melakukan
beberapa program yaitu: menjaga kebersihan
pada saat proses melahirkan, melakukan
pemilihan terhadap kolostrum, menjaga
sanitasi lingkungan secara ketat, dan
melakukan vaksinasi untuk semua anak sapi
yang baru lahir juga terhadap induk sapi yang
bunting.
Pemberian antibiotik juga seringkali
dilakukan baik secara oral maupun injeksi
terhadap anak sapi yang menderita penyakit
diare. Selain itu, untuk kasus penderita diare
yang
menyebabkan
dehidrasi,
maka
menyeimbangkan garam elektrolit yang
terdapat dalam tubuh dapat dilakukan tranfusi
larutan elektrolit secara intravena (TENNANT et
al., 1978). Selain itu terdapat pengobatan
secara tradisional untuk mengatasi dehidrasi,
yaitu dengan pemberian larutan garam-kanji,
mengencerkan air susu dan pemberian larutan
gula.
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
PENYAKIT
Pencegahan terhadap semua penyakit diare
pada anak sapi hanyalah akan menjadi impian
belaka dan mungkin tidak akan terealisasi
manakala tatalaksana
dan sanitasi tidak
diperhatikan secara seksama. Anak sapi akan
hidup sehat apabila dipelihara dalam kondisi
tempat yang bersih, bagian vulva dan udder
sapi dibersihkan dan diberi desinfektan, dan
kolostrum diberikan sesegera mungkin
terhadap anak. Jika dengan cara tersebut,
penyakit diare yang disebabkan oleh virus rota
masih juga ada pada kelompok ternak tersebut,
maka jalan satu-satunya yaitu dengan
melakukan vaksinasi oral ke semua anak sapi
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 2005
INFEKSI VIRUS ROTA PADA MANUSIA
nyata terjadi pada anak dibawah lima tahun di
India (PARASHAR et al., 1998).
Di dunia hampir mencapai 600.000 per
tahun terjadi kasus kematian akibat infeksi
virus rota (WHO, 1999), sementara itu, di India
mencapai 150.000 anak per tahun dan sekitar
20% hingga 30% terjadi kasus diare di rumah
sakit yang diakibatkan oleh infeksi virus rota
ini (KELKAR et al., 1999).
Sedangkan di negara ASEAN (termasuk
Indonesia), setelah dilakukan pemerikasaan
dari bulan agustus 2001 hingga Juli 2002
terhadap 11.498 anak-anak dibawah usia lima
tahun yang menderita diare, ternyata
teridentifikasi 5.124 (45%) pasien terinfeksi
oleh virus rota (BRESEE et al., 2004).
Sementara itu kejadian di Yogyakarta telah
diungkapkan oleh SOENARTO et al., (1981)
bahwa selama kurun waktu 1 tahun (Juni 1978
sampai Juni 1979) telah teridentifikasi
sebanyak 38% anak-anak penderita diare
terinfeksi oleh virus rota. Selanjutnya pada
tahun 2001 kasus diare pada anak-anak akibat
infeksi virus rota di Yogyakarta meningkat
menjadi 52% (BRESEE et al., 2004) (Tabel 4).
Walaupun dalam laporan tersebut tidak
disebutkan telah terjadi kematian akibat infeksi
virus rota. Akan tetapi, penyakit diare tersebut
bila tidak segera ditindaklanjuti, maka akan
menyebabkan kematian seperti yang terjadi di
negara Amerika Serikat.
Etiologi
Gejala klinis
Berdasarkan sifat antigeniknya, virus rota
dikelompokkan kedalam beberapa tingkatan
mulai dari Group, subgroup dan serotipe. Pada
umumnya sifat antigenik virus rota pada
manusia dan hewan memiliki group antigen
yang sama.Virus rota pada manusia tergolong
group A, walaupun ada yang termasuk
kedalam group B dan C yang telah terdeteksi
dan dapat menyebabkan gangguan pencernaan
pula pada manusia. Group A selain dapat
menginfeksi hewan, juga dapat menginfeksi
manusia khususnya terjadi pada anak-anak
dibawah umur lima tahun. Virus group A ini
dapat menimbulkan penyakit diare akut ganas
dan telah tersebar di seluruh dunia dengan
tingkat penyebaran dan kematian yang sangat
Infeksi virus rota biasanya terjadi 1 hari
sebelum timbul gejala klinis, akhirnya akan
menetap pada penderita hingga 8 sampai 10
hari. Gejala klinis akan timbul setelah 3 hari
terpapar oleh virus rota yang ditandai dengan
demam, sakit perut, dan muntah-muntah
selama 1 – 3 hari yang diikuti dengan diare
yang berbau sangat tidak sedap selama 5-8
hari. Biasanya gejala klinis akan berakhir
antara 3 – 5 hari.
Anak-anak yang menderita diare akan cepat
kehilangan cairan tubuh dan cairan elektrolit.
Keadaan ini sangat berbahaya terutama bagi
anak-anak usia dibawah 2 tahun. Oleh karena
itu diperlukan penambahan cairan elektrolit
(rehydration) sebagai penyeimbang dalam
tubuh penderita.
yang baru lahir dengan menggunakan vaksin
komersial
bivalen
rotavirus-coronavirus
Modified Live Vaccine. Vaksinasi harus
diberikan sesegera mungkin setelah anak sapi
lahir agar diperoleh hasil immunitas yang baik.
MEBUS et al., (1972) melaporkan bahwa
dengan melakukan vaksinasi (MLV vaccine)
secara oral terhadap anak sapi sesegera
mungkin setelah lahir, telah berhasil
menurunkan mortalitas dan morbiditas
penyakit diare yang disebabkan oleh virus rota.
Akan tetapi sangat disayangkan di Indonesia
belum beredar vaksin terhadap virus rota. Hal
tersebut kemungkinan bahwa di Indonesia
belum pernah dilaporkan adanya penyakit diare
yang disebabkan oleh virus rota. Ironisnya,
bahwa kasus diare pada anak sapi perah telah
banyak ditemukan dan bahkan menimbulkan
kematian (hasil komunikasi pribadi dengan
peternak sapi perah di Pengalengan, 31
Agustus 2005).
Untuk pengendalian penyakit, maka
penanganan ternak perlu diperhatikan seperti
meningkatkan sanitasi lingkungan dan menjaga
kesehatan ternak. Untuk hewan yang telah
sembuh, maka direkomendasikan untuk diberi
larutan elektrolit agar tidak kekurangan cairan
tubuh, dan juga harus diberi antibiotik untuk
mencegah terjadinya infeksi sekunder.
93
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 2005
Tabel 4. Kasus diare akut pada anak-anak yang disebabkan oleh infeksi virus rota di beberapa negara
ASEAN selama bulan Agustus 2001 sampai Juli 2002
Negara
China
Taiwan
Hongkong
Vietnam
Myanmara
Thailand
Malaysia
Indonesia
TOTAL
Tanggal dan
Jumlah sampel faeses Persentase (jumlah) Range % sampel positif virus
tahun survey
anak yang diuji
positif virus rota
rota antara rumah sakit
Agustus 2001
2.079
44 (910)
24 - 65
April 2001
1.532
49 (744)
43 - 53
Desember 2000
2.986
28 (829)
18 - 35
Februari 2001
1.570
59 (921)
47 - 67
Desember 2001
388
53 (204)
53b
Februari 2001
992
44 (436)
38 - 49
Februari 2001
1.374
57 (778)
52 - 59
Agustus 2001
577
52 (302)
47 - 57
11.498
45 (5.124)
18 - 67
a
hanya data separuh tahun
Hanya satu rumah sakit yang berpartisipasi
Sumber: BREESE
b
Immunitas infeksi ulang tidak sebaik ketika
terjadi infeksi yang pertama kali oleh virus
rota, akan tetapi infeksi ulang cenderung
kurang berbahaya bila dibandingkan pada saat
pertama kali terinfeksi virus.
Epidemiologi
Virus rota dikenal sebagai agen penyebab
utama timbulnya penyakit diare pada bayi dan
anak-anak dibawah lima tahun di seluruh
dunia. Secara umum semua anak-anak pada
usia dibawah lima tahun sangat rentan
terinfeksi jenis virus ini. Tingkat kematian oleh
infeksi virus rota di negara berkembang dapat
mencapai hingga 82% (PARASHAR et al.,
2003). Infeksi virus rota pada anak-anak umur
kurang dari 3 bulan tidak sebanyak kejadian
pada anak diatas umur tersebut hingga 5 tahun,
hal tersebut dikarenakan kemungkinan adanya
pengaruh maternal antibodi (PARASHAR et al.,
1998). GIANINO et al., (2002) melaporkan
penelitian terhadap anak-anak yang diberi air
susu ibu dibandingkan dengan yang tidak
menunjukkan bahwa infeksi virus rota pada
anak-anak yang diberi air susu ibu dapat
mencapai 10,6%, sementara itu 32,4% anakanak yang tidak diberi air susu ibu terinfeksi
virus rota.
Walaupun infeksi virus rota yang
berdampak pada gangguan pencernaan
frekuensinya tidak banyak menyerang orang
dewasa, akan tetapi di China ternyata pernah
terjadi wabah penyakit gannguan pencernaan
yang ganas diakibatkan oleh virus rota group
94
B.
Cuaca
sangat
berperanan
dalam
memperparah keadaan penyakit diare, hal
tersebut dibuktikan hampir 50% penyakit diare
yang disebabkan oleh virus rota terjadi pada
musim
dingin.
Walaupun
mekanisme
hubungan antara penyakit diare dengan cuaca
dingin belum dapat diketahui.
PENYEBARAN PENYAKIT
Virus rota dapat berpindah dari hewan satu
ke lainnya melalui kontaminasi faeses, melalui
mulut dan melalui air minum. Penyebaran
penyakit melalui tangan yang terkontaminasi
merupakan suatu hal yang paling sering terjadi,
terutama bagi anak-anak dibawah umur lima
tahun. Selain itu dapat pula penyebaran
penyakit ini melalui bahan makanan yang tidak
ditangani dengan baik, misalnya sayuran dan
buah-buahan.
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
PENYAKIT
Immunisasi pasif dan probiotik
Beberapa peneliti telah mencoba melalukan
percobaan pengobatan penyakit diare yang
disebakan oleh virus rota dengan memberikan
antibodi terhadap virus rota secara oral.
DAVIDSON et al., (1989) dan HILPERT et al.,
(1987) melaporkan bahwa pemberian susu sapi
yang memiliki titer antibodi yang tinggi
terhadap virus rota memberikan hasil yang
cukup significan dapat menurunkan durasi
pengeluaran virus rota dari anak-anak
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 2005
penderita diare akibat virus rota. Pada anakanak
yang
menderita
imunodefisiensi
pengobatan dengan immunisasi pasif ini dapat
pula menurunkan penyakit diare kronis (OFFIT
and CLARK, 1995).
Selain itu, terdapat juga alternatif lain
dalam pengobatan penyakit diare yang
disebabkan oleh infeksi virus rota yaitu dengan
memanfaatkan bakteri Lactobacillus GG yang
tidak patogen, menunjukkan hasil yang cukup
baik yaitu dapat menurunkan frekuensi dan
durasi pengeluaran virus rota dari anak-anak
yang menderita diare (ARVOLLA et al., 1999).
Vaksin
Penggunaan vaksin ditujukan apabila
terjadi wabah penyakit diare yang disebabkan
oleh virus rota dan telah menimbulkan
kematian yang cukup tinggi. Badan kesehatan
dunia (WHO) telah memberikan prioritas
utama untuk pengembangan vaksin viru rota
yang aman dan efektif (WHO, 1999).
Terdapat beberapa jenis vaksin virus rota
untuk manusia yang telah tersedia secara
komersial di dunia. Vaksin tersebut
dikembangkan bukan saja berasal dari isolat
virus asal manusia, akan tetapi terdapat
beberapa jenis vaksin untuk manusia yang
menggunakan isolat virus berasal dari sapi atau
biasa dikenal sebagai Reassortant vaccine
yaitu dengan mengabungkan bovine strain dan
human strain atau human strain dan porcine
strain (VARGHESE et al., 2004).
Vaksin virus rota yang pertama kali
mendapatkan ijin yaitu vaksin hidup rhesushuman reassortant rotavirus tetravalent (RRVTV dikenal sebagai RotaShield) yang telah
beredar di Amerika Serikat tahun 1998. Vaksin
RotaShield ini sebenarnya semula berasal dari
isolat virus rota asal sapi (Bovine-based). Akan
tetapi dikarenakan hanya mampu memberikan
proteksi terhadap serotipe 1 saja, sehingga
kemudian dimodifikasi menggunakan rhesushuman reassortant rotavirus (CLEMENS, et al.,
1999). RRV-TV merupakan vaksin oral yang
dapat memberikan proteksi terhadap virus rota
pada manusia dari serotipe G1, G2, G3 dan G4.
Vaksin in telah berhasil mencegah penyakit
diare ganas pada anak anak hingga 91%
(PEREZ et al., 2002).
Selain itu, telah dikembangkan pula vaksin
yang berasal dari hasil gabungan (reassortant)
virus rota asal manusia dan hewan (bovine)
yang diberi nama pentavalent bovine (WC-3)
yang dapat memberikan proteksi terhadap virus
rota serotipe G1-G4 dan P8 (CLARK et al.,
1996). Selanjutnya, The National Institute of
Health, USA telah mengembangkan pula
vaksin virus rota untuk manusia yang berasal
dari isolat asal sapi (Bovine, UK) yang dapat
memberikan proteksi terhadap infeksi virus
rota serotipe G1-G4, G5, G8, G9 dan G10
(HOSHINO et al., 2003).
Dengan adanya vaksin virus rota untuk
manusia yang berasal dari isolat asal sapi,
menunjukkan bahwa virus rota asal sapi dapat
membentuk antibodi pada tubuh manusia dan
mampu memberikan proteksi terhadap infeksi
virus rota. Selain itu, virus asal sapi juga dapat
beradaptasi dengan baik pada saluran
pencernaan manusia sehingga yang dibuktikan
dengan terbentuknya respon antibodi terhadap
virus rota (vaksin yang diberikan) pada
manusia. Oleh karena itu, kemungkinan besar
bahwa virus asal hewan sangat berpotensi
sekali dapat menginfeksi manusia.
HUBUNGAN ANTARA VIRUS ROTA
PADA HEWAN DENGAN VIRUS ROTA
PADA MANUSIA
Virus rota group A merupakan agen
penyakit yang sering menimbulkan diare akut
pada bayi serta anak-anak, mamalia, dan
kelompok unggas di dunia (KAPIKIAN et al.,
2001). Virus rota memiliki genome yang terdiri
dari 11 segmen asam inti ribonukleat utas
ganda (dsRNA), mempunyai dua protein
neutralisasi yaitu VP4 dan VP7 pada bagian
luar kapsidnya. Kedua jenis protein tersebut
seringkali disebut sebagai tipe P (VP4) dan tipe
G (VP7). Sejauh ini virus rota telah
diklasifikasikan kedalam 15 G dan 22 P
(ESTES, 2001).
Virus rota pada sapi (Bovine rotavirus)
merupakan penyebab utama gangguan penyakit
saluran pencernaan pada anak sapi umur 1
sampai 3 minggu (LUCCHELLI et al., 1992).
Virus rota dapat menginfeksi sapi biasanya
virus dari group A serotipe G (G1, G6, G8 dan
G10) dan serotipe P (P1, P5 dan P11)
(SNOGRASS et al., 1990 ). Akan tetapi serotipe
G6 dan G10 merupakan serotipe yang paling
banyak ditemukan pada anak sapi di dunia,
95
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 2005
sementara itu serotipe G8 paling sedikit. Lebih
lanjut bahwa serotipe G8 pun seringkali
ditemukan pada babi dan kuda (CHANG et al.,
1996; FALCON et al., 1999; SATO et al., 1997;
TANIGUCHI et al., 1991; GOUVEA et al., 1994;
dan ISA et al., 1996).
Sementara itu, pada manusia, virus rota
Group A serotipe G8 (galur 69 M) merupakan
serotipe yang pertama kali berhasil diisolasi
dari anak-anak penderita diare di Indonesia
(MATSUNO, et al., 1985). Sejak ditemukannya
serotipe G8 di Indonesia, maka kemudian
serotipe G8 pun terdeteksi pula pada anak-anak
penderita diare di Finlandia, Italy, Australia,
Afrika Selatan, Brazil, Malawi, Iran, Amerika,
dan United Kingdom (GERNA et al.,1990;
PALOMBO, et al., 2000; dan STEELE, et al.,
1999). Serotipe G8 pun telah banyak terdeteksi
dari anak sapi di dunia seperti halnya di
Skotlandia, Thailand dan Jepang (SNOGRASS et
al., 1990; TANIGUCHI and URASAWA, 1995;
dan TANIGUCHI et al., 1993).
Keberadaan virus rota pada hewan
domestik
secara
epidemiologi
dapat
menimbulkan suatu permasalahan yang sangat
besar bagi kesehatan manusia karena telah
terbukti semakin banyaknya anak-anak
penderita diare terdeteksi virus rota yang
berasal dari serotipe hewan. Kekhawatiran
tersebut bukannya tanpa alasan, hal ini telah
dibuktikan oleh ADAH et al, (2001) dan
ARMAH et al., (2001) bahwa serotipe G8 asal
sapi telah terdeteksi pada anak-anak penderita
diare di Afrika. Terdapatnya hubungan yang
erat antara rotavirus serotipe G dan serotipe P
(VP4 Genotipe) pada manusia dan hewan
menunjukkan bahwa telah terjadi gabungan
genome virus rota sebagai infeksi campuran
baik antara spesies itu sendiri (intraspecies)
maupun dengan spesies lain (interspecies)
(TANIGUCHI et al., 1995), dan itu kemungkinan
telah terjadi transmisi antar spesies seperti
halnya terjadi di Nigeria. Lebih lanjut ADAH et
al., (2003) mengungkapkan bahwa ternyata
struktur primer gen VP7 yang berasal dari
serotipe G8 galur NGRBg8 (bovine strain) di
Nigeria memiliki kesamaan serta hubungan
yang sangat erat sekali dengan galur lain G1
hingga G15 asal hewan dan manusia.
Kedekatan hubungan antara gen VP7 asal galur
G8 sapi dengan galur G8 asal manusia
(HMG035) mencapai 99,9% (Gambar 1).
96
Selanjutnya, ternyata gabungan kedua
virus tersebut di atas lebih sering terdeteksi di
negara-negara berkembang dibandingkan di
negara maju dan kejadian infeksi gabungan itu
lebih tinggi di negara berkembang. Sebagai
contoh, di negara Bangladesh, setelah terjadi
bencana banjir, maka kasus infeksi oleh virus
gabungan tersebut semakin meningkat. Selain
itu, bila dibandingkan dengan negara yang
telah maju, maka di negara berkembang kontak
antara manusia dan hewan (ternak piaraan)
seringkali terjadi dan bahkan di Indonesia
(pedesaan), masih banyak kandang kerbau/sapi
yang bersatu atau satu atap dengan rumah
peternak. Walupun hal tersebut tentunya
memiliki tujuan yang baik yaitu untuk
menghindari kejahatan pencurian kerbau/sapi
yang seringkali terjadi di daerah tersebut.
Mengingat virus rota dapat ditularkan
melalui faeses, air minum, makanan/sayuran
mentah dan udara, serta dapat tahan hidup lama
di lingkungan oleh sebab itu air buangan
mengandung banyak virus rota (CAVALLIER et
al., 2000; dan HUSSEIN et al., 1996) maka
untuk menghindari terjadinya infeksi virus rota
sebagai penyebab diare pada anak-anak, perlu
ditingkatkan kewaspadaan terhadap sumbersumber penyebab penyakit itu sendiri,
diantaranya menjaga lingkungan yang bersih,
menjauhkan tempat tinggal dari kandang
hewan piaraan, membersihkan kandang secara
rutin dan selalu menggunakan desinfektan,
membersihkan diri bila telah melalukan
aktifitas di kandang, serta tidak melakukan
makan dan minum di kandang.
DIAGNOSIS PENYAKIT
Dalam mendiagnosis penyakit baik rota
virus pada hewan maupun manusia pada
prinsipnya memiliki persamaan metoda
diagnostik. Menurut HUSSEIN et al., (1996)
untuk mendeteksi virus maka dapat digunakan
teknik Polyacrylamide gel electrophoresis
(PAGE), Immuno-electron-microscopy (IEM),
Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA),
Agar gel immunodiffusion (AGID), dan Latex
agglutination
test.
Sedangkan
untuk
mengasingkan virus rota (isolation) maka
dapat dilakukan secara in vitro yaitu dengan
menumbuhkan pada sel Madin Durby Bovine
Kidney (MDBK), Bovine Kidney (BK), sel
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 2005
Gambar 1. Phylogenetic tree sekuen nukleotida serotipe gen VP7 pada G8 Human rotavirus dan Bovine
rotavirus
Sumber: ADAH et al., (2003)
ginjal kera hijau (Vero cells), dan embryonic
rhesus monkey kidney cells (MA-104)
(FERNELIUS et al., 1972).
Sementara itu, untuk karakterisasi group,
subgroup dan serotipe virus rota maka dapat
digunakan teknik ELISA dengan menggunakan
antibodi monoklonal. Sedangkan untuk
menentukan genotipe virus rota dapat
digunakan teknik Reverse transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR) (CHANG
et al. 1996).
97
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 2005
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarakan pada uraian di atas, maka
dapatlah disimpulkan bahwa:
1. Virus rota Group A dapat menginfeksi baik
pada hewan maupun manusia dan
mengakibatkan gejala klinis yang sama
yaitu diare, gangguan pencernaan, muntah,
dehidrasi, anoreksia dan akhirnya diikuti
dengan kematian.
2. Faktor umur sangatlah menentukan dan
pada umumnya virus rota menyerang
kelompok umur muda yaitu pada bayi
hingga anak umur dibawah 5 tahun
(manusia) dan hewan yang baru lahir
hingga umur 1 tahun (Hewan).
3. Dengan terdeteksi virus rota group A
serotipe G8 asal sapi dari manusia maka
virus rota asal hewan (sapi) sangat
berpotensi dapat menular ke manusia, selain
itu kemungkinan besar virus rota asal
hewan dapat pula berubah menjadi ganas
apabila terjadi mutasi gen yang baru
(seperti halnya virus influenza).
4. Mengingat data-data kejadian diare atau
kematian pada ternak yang disebabkan oleh
infeksi virus rota belum pernah dilaporkan
di Indonesia, maka untuk mengungkap
sejauhmana keberadaan virus rota pada
ternak perlu dilakukan penelitian secara
seksama yang diawali dengan pengumpulan
data-data mengenai penyebab diare/
kematian pada ternak oleh virus rota serta
seroepidemiologi.
DAFTAR PUSTAKA
ACRES, S.D., and BABIUK, L.A. 1978. Studies on
retroviral antibody in bovine serum and lacteal
secretions using radioimmunoassay. J. Am Vet
Med Assoc., 173: 555-559
ADAH, M., S. NAGASHIMA, M. WAKUDA, and K.
TANIGUCHI, 2003. Close relationship between
G8-serotype bovine and human rotavirus
isolated in Nigeria. J. Clin. Microbiol. 41(8):
3945-3950.
ADAH, M.I., A. WADE, and K. TANIGUCHI. 2001.
Molecular epidemiology of rotavirus in
Nigeria: detection of unusual strains with
G2P[6] and G8P[1] specificiries. J. Clin.
Microbiol, 39:3969-3975.
electrophoresis of genome RNA. J. Clin.
Microbiol., 16(4): 731-733.
ALEXANDRE, C.L., and J.S. BRESEE, 2000. Rotavirus
vaccine and vaccination in Latin America. Pan
Am J. Public Health 8(5):305-331
AL-MASHAT, R.R and TAYLOR, D.J. 1980.
Campylobacter spp. In enteric lesions of
cattle. Vet Record, 107:31-34
ARMAH, G.E., C.T. PAGER, R.H. ASMA, F.R. ANTO,
A.B. ODURO, F. BINKA, and D. STEELE. 2001.
Prevalence of unusual human rotavirus strains
in Ghanaian children. J. Med. Virol. 63:67-71.
ARVOLLA, T., LAIHO, K., TORKKELI, S., MYKKANEN,
H., SALMINEN, S., and MAUNULA, L., 1999.
Prophylactic lactobacillus GG reduces
antibiotic-associated diarrhea in children with
respiratory infections: A randomized study.
Pediatrics, 104: 64
BARRANDEGUY,
M.E.,
CORANAGLIA,
E.M.,
GOTTASCHALK, M.M., FITJMAN, N., PASINI,
M.I., YAFAL, A.G., PARRAND, J.R., and
SCHUDEL,
AA.,
1988.
Rotavirus,
enterotoxigenic Escherichia coli, and other
agents in the faeses of dairy calves with and
without diarrhea. Rev Lat Am Microbiol,
30:239-245.
BARNES, G. 2000. Rotavirus vaccine. Journal of
Pediatric Gastroenterology and Nutrition. Vol
30. pp. 12-17.
BHULLAR, M.S and TIWANA, M.S. 1985. Factors
affecting mortality among buffalo calves.
Indian J. Anim Sci, 55: 599-601.
BLACKLOW, NR and GREENBERG, H.B. 1991. Viral
gastroenteritis. N Engl J. Med. 325:252-264.
BRAUN, R.K., and TENNANT, B.C., 1983. The
relationship of serum globulin levels of
assembled neonatal calves to mortality caused
by enteric diseases. Agri Practice, 4: 14-15.
BRESEE, J., Z.Y. FANG, B. WANG, E.A.S. NELSON, J.
TAM, Y. SONARTO, S.A. WILOPO, P. KILGORE,
J.S. KIM, et al.,. 2004. First report from the
Asian rotavirus surveillance network. Emerg
Infect Dis., 10(4): 1-10.
CASTRUCCI, G., FRIGERI, F.M., FERRARI,M., CILLI,
V., GAULANDI, G.L., and ALDROVANDI, V.,
1988. Neonatal calf diarrhea induced by
rotavirus. Comp. Immun. Microbiol. Infect.
Dis., 11: 71-84.
AFZAL, M., JAVED M.H., and ANJUM A.D., 1983.
Calf mortality: Seosonal pattern, age
distribution and causes of mortality. Pakistan
vet. J., 3: 30-33.
CAVALLIER, B.G., O. GENOULAZ, K. BRENGELPESCE, H. SOULE, P. INNOCENTI-FRANCILLARD,
M. BOST, L. GOFTI, D. ZMIROU and J.M.
SEIGNEURIN. 2000. Detection of human and
animal rotavirus sequences in drinking water.
App Envir Microbiol, 66(6):2690-2692
ALBERT, M.J., Y. SOENARTO, and R.F. BISHOP.
1982. Epidemiology of rotavirus diarrhea in
Yogyakarta, Indonesia as revealed by
CHANG, K.O., A.V. PARWANI, and L.J. SAIF. 1996.
The characterization of VP7 (G type) and VP4
(P type) genes of bovine group A rotaviruses
98
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 2005
from field samples using RT-PCR and RFLP
analysis. Arch. Virol. 141: 1727-1739.
CLARK, H.F., OFFIT, P.A., ELLIS, R.W., EIDEN, J.J.,
KRAH, D., and SHAW, E.R., 1996. The
development of multivalent bovine rotavirus
(strain WC3) reassortant vaccine for infants
(review). J Infect Dis., 174: S73-S80
CLEMENS, J., KECKICH, N., and NAFICY, A., 1999.
“Public Health Considerations for the
Introduction of New Rotavirus Vaccines for
Infants: A case study of tetravalent rhesus
rotavirus-based reassortant vaccine. Epid Rev.,
21(1).pp.24-42
COOKEY, C. 2000. CDC says postpone rotavirus
vaccine for infants. A WHONN Lifelines. Vol.
3(5). Pp. 24-42.
DAVIDSON, G.P., WHYTE, P.B., DANIELS, E.,
FRANKLIN, K., NUNAN, H., and MCCLOUD, P.I.,
1989. Passive immunisation of children with
bovine colostrum containing antibodies to
human rotavirus. Lancet, 2:709-712
ESTES, M.K., 2001. Rotaviruses and their replication.
In: D.M. KNIPE, P.M. HOWLEY, D.E. GRIFFIN,
R.A. LAMB, M.A. MARTIN, B. ROIZMAN, and
S.E. STRAUS (Ed). Field Virology, 4th ed.
Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia,
Pa.
FALCON, E., M. TARANTINO, L., DI TRANI, P.
CORDIOLI, A. LAVAZZA, and M. TOLLIS. 1999.
Determination of bovine rotavirus G dan P
serotypes in Italy by PCR. J. Clin. Microbiol.,
37:3879-3882.
GIANINO, P., MASTRETA, E., LONGO, P.,
LACCISAGLIA, A., SARTORE, M., and RUSSO,
R., 2002. Incident of nosocomial rotavirus
infections, symptomatic and asymptomatic, in
breast-fed and non-breast-fed infants. J
Hospital Infection. 50:13-17
GOUVEA, V.N., N. SANTOS, and M.D. TIMENETSKY.
1994. Identification of bovine and porcine
rotavirus G types by PCR. J. Clin. Microbiol.
32:1338-1340.
GUSBI, A.M., and HIRD, D.W., 1983. Calf mortality
rate on five dairy stations 1976-1980. Vet
Bull., 53:3348.
HASSO, S.A., PANDEY, R., THAPLIYAL, D.C., and ALSAMARRAC, S.A.G., 1983. Rotavirus infection
of young calves in Iraq. Acta Virologica, 27:
93.
HIBB, C.M. 1974. Some viral diseases associated
with cow-calf production. Bovine Prct., 9:5156
HILPERT, H., BRUSSOW, H., MIETENS, C., SIDOTI, J.,
LERNER, L., WERCHAU, and H., 1987. Use of
bovine milk concentrate containing antibody
to rotavirus to treat rotavirus gastroenteritis in
infants. J. Infect. Dis, 156:158-166
HOSHINO, Y., and KAPIKIAN, A.Z. 1994. Rotavirus
vaccine development for the prevention of
severe diarrhea in infant and young children.
Trends Microbiol. 2:242-249
FEDIDA, M., DANNACHER, G., and COUDERT, M.,
1985. Calf mortality in the Rhone-Alpes
region: Result on survey carried out in 19791980. Vet Bull., 55:2934.
HOSHINO, Y., JONES, R.W., and KAPIKIAN, A.Z.
2003. Construction and characterization of
rhesus monkey rotavirus (mmu18006)-or
bovine rotavirus (UK)-based serotype G5, G8,
G9, or G10 single VP7 gene substitution
reassortant candidate vaccines. Vaccine,
21:3003-3010.
FERNELIUS, A.L., RITCHI, A.E, CLASSIC, L.G.
NORMAN, J.O, and MEBUS, C.A., 1972. Cell
culture adaptation and propagation of a
reovirus-like agent of calf diarrhea from a
field outbreak in Nebraska. Arch. Gesamte
Virusforsch, 37:114-130.
HUSSEIN, H.A., FROST, E., TALBOT, B., SHALBY, M.,
CORNALIA, E dan EL-AZHARY, Y., 1996.
Comparison of polymerase chain reaction and
monoclonal antibodies for G-typing of group
A bovine rotavirus directly from fecal
material. Vet. Microbiol., 51: 11-17.
FINK, T. 1980. Influence of type of housing,
microclimate and management on health of
calves.
Inaugurai
Disser
Tierarztliche
Hochshule, Hanover. Pp. 120
ISA, P., A.R. WOOD, T. NETHERWOOD, M. CIARLET,
H. IMAGAWA, and D.R. SNOGRASS. 1996.
Survey of equine rotaviruses shows
concervation of one P genotype in background
of two G serotypes. Arch. Virol., 141: 16011612.
FLEWETT, T.H. and WOODE, G.N. 1978. The
rotavirus. Arch. Virol., 57: 1-23
FREESE, E., and GRAVERT, H.O., 1982. Calf losses-a
growing problem. Vet Bull., 52:3484.
GERNA, G.A., A. SCRAISISI, L. ZEHLIN, A. DIMATTEO,
P. MIRANDO, A. PAREA, M. BATTAGLIA, and G.
MILANESE. 1990. Isolation in Europe of 69Mlike (serotype 8) human rotavirus strains with
either subgroup I or II specificity and a long
RNA electropherotype. Arch. Virol. 112:2740.
JENNY, B.F., CRAMLING, G.E., and GLAZE, T.M.,
1981. Management factors associated with
calf mortality in South Caroline dairy herds. J.
Dairy Sci., 64:2284-2289.
JONES, R.C., HUGHEST, C.S., and HENRY, R.R., 1979.
Rotaviruses infections in commercial laying
hens. Vet. Rec., 104: 22.
KAPIKIAN, A.Z., Y. HOSHINO, and R.M. CHANOEK.
2001. Rotavirus. In: D.M. KNIFE, P.M.
99
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 2005
HOWLEY, D.E. GRIFFIN, et al., (ed). Fields
Virology, 4th. Ed., Lippincott Williams &
Wilkin, Philadelphia, Pa. pp. 1787-1833.
KAUSHIK, A.K., SRIVASTAVA, R.N., and PRASAD, S.,
1983. Prevalence of rotavirus antibody in
Indian buffaloes and cattle. Vet Bull, 53:4565.
KELKAR, S.D., S.G. PUROHIT, and K.V. SIMHA, 1999.
Prevalene of rotavirus diarrhea among
hospitalized children in Pune, India. Indian J.
Med. Res., 337: 1181-1187.
KHAN, A., and KHAN, M.Z., 1991. Aetiopathology of
neonatal calf mortality. J. Islamic Ac. Sci,
4(2):159-165.
LUCCHELLI, A., S.E. LANCE, P.B. BARTLETT, G.Y.
MILLER, and L. J. SAIF. 1992. Prevalence of
bovine group A rotavirus shedding among
dairy calves in Ohio. Am. J. Vet. Res. 53:169174.
LUDER, J.E., GIL, F., LIPRANDI, F., and ESPARZA, J.,
1986. The structure of the rotavirus inner
capsid studied by electron microscopy of
chemically disrupted particles. J. Gen. Virol.,
67:1721-1725.
MATSUNO, S., A. HASEGAWA, A. MUKOYAMA, and S.
INOUYE. 1985. A candidate for a new serotype
of human rotavirus. J. Virol.54:623-624.
MCGUIRE, J.C., PFEIFFER, N.E., WEIKEL, J.M., and
BARTSCH, R.C., 1976. Failure of colostral Ig
transfer in calves dying of infectious disease. J
Am Vet Med Assoc., 169: 713
MCNULTY, M.S., 1978. Rotaviruses. J. Gen. Virol.,
40:1-8.
MCNULTY, M.S., ALLAN, G.M, THOMSPSON, D.J., and
O’BOYLE, J.D., 1978b. Antibody to rotaviruses
in dogs and cats. Vet. Rec., 102:533-534.
MCNULTY, M.S., ALLAN, G.M., and STUART, J.C.,
1978a. Rotavirus infection in avian species.
Vet. Rec., 103: 319-320.
MCNULTY, M.S., MCFERRAN, J.B., BRYSON, D.G.,
LOGAN, E.F., and CURRAN, W.L., 1976.
Studies on rotavirus infections and diarrhea in
young calves. Vet Rec. 99:229-230.
MEBUS C.A., STAIR, E.L., UNDERDAHL, NR., and
TWIEHAUS, M.J., 1971. Pathology of neonatal
calf diarrhea induced by reo-like virus. Vet
Pathol., 8:490-505.
MEBUS, C.A. WHITE, R.G., STAIR, E.L., RHODES,
M.B., and TWIEHAUS, M.J., 1972. Neonatal
calf diarrhea: Results of a field trial using a
reo-like virus vaccine. Vet Med Small Anim
Clin., 67:173-178.
MOON, H.W., MCCLURKIN, A.W., ISAACSON, R.E.,
POHLENZ, J., HABIL, S.M., SKARTVEDT, S.M.,
GILLETE, K.G., and BASTZ, A.L., 1978.
Pathogenic
relationships
of
rotavirus,
Escherichia coli, and other agents in mixed
100
infections in calves. J. Am Vet Med Assoc.,
173:577-583.
MORIN, M., LAMOTHE, P., GAGNON, A., and MALO,
R., 1974. A case of neonatal calf diarrhea in a
Quebec dairy herd. Can J Comp Med, 38: 326342.
NAKAGOMI, O., and T. NAKAGOMI. 1991. Genetic
diversity and similarity among mammalian
rotaviruses in relation to interspecies
transmission of rotavirus. Arch Virol. 120: 4355.
NEUVONEN, E., VEIJILAINEN, P., SARKKINEN, H., and
EK-KOMMONEN, C., 1982. Rotavirus as causal
agent in neonatal calf diarrhea in Finland. Vet
Bull, 52: 3877
OFFIT P., and CLARK, H., 1995. Principles and
practice of infectious diseases. Churchill
Livingstones, New York. Pp.1448-1455
PALOMBO, E. A., R. CLARK, and R.F. BISHOP. 2000.
Characterization of a “European-like”
serotype G8 human rotavirus isolated in
Australia. J. Med. Virol. 60:56-62.
PARASHAR, U., BRESEE, J., GENTSCH, J., and GLASS,
R., 1998. Rotavirus. Emerg Infect Dis., 4:561570
PARASHAR, U., HUMMELMAN, E., BRESEE, J.,
MILLER, M., and GLASS, R., 2003. Global
illness and deaths caused by rotavirus disease
in children. Emerg Infect Dis, 9:565-572.
PEREZ, M.S., PERRIN, K., SCARDINO, D., and BEGUE,
R.E., 2002. Evaluation of rotavirus vaccine
effectiveness in a pediatric group practice. Am
Epidemiol, 156:1049-1055.
PETERS, A.R., 1986. Studies of mortality, morbidity
and performance in intensive calf rearing. Wld
Rev Anim Prod, 22:83-88.
RAMSAY, M. 1999. Rotavirus : new vaccine for the
UK?. Archives of disease in childhood. Vol.
81(2). Pp. 101-102.
SATO, K., INABA, Y., SHINOZAKI, T., and
MATUMOTO, M., 1981. Neutralizing antibody
rotavirus in various animal species. Vet
Microbiol, 6:259-261.
SATO, M., T. NAKAGOMI, K. TAJIMA, K. EZURU, H.
AKASHI, and O. NAKAGOMI. 1997. Isolation of
serotype G8, P6[1] bovine rotavirus from adult
cattle with diarrhea. J. Clin. Microbiol.
35:1266-1268.
SOENARTO, Y., T. SEBODO, R. RIDHO, H. ALRASJID, J.
E., ROHDE, H. C. BUGG., G.L. BARNES and R.F.
BISHOF. 1981. Acute diarrhea and rotavirus
infection in newborn babies and children in
Yogyakarta, Indonesia, from June 1978 to
June 1979. J. Clin. Microbiol., 14(2):123-129.
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 2005
SCHLAFER, D.H., and SCOOT, F.W. 1979. Prevalence
of neutralizing antibody to the calf rotavirus in
New York cattle. Cornell Vet., 69: 262-271.
SCHULZ, W., 1983. Immunofluorescent detection of
rotavirus and coronavirus in calves with
diarrhoea in the Magdeburg region of German
Democratic Republic. Vet Bull, 53:1779.
SCHWERS, A., PASTORET, P.P., MAENHOUDT, M.,
DGENAIS, L., BROECKE, C.V., GOOSSENS, A.,
and WERENNE, J., 1983. Experimental
reproduction of rotavirus diarrhoea in
colostrum deprived newborn calves. Annales
Rech Vet, 11: 265-270.
SHALABY, M.A., SABER, M.S., and EL-KARAMANY,
M.R., 1981. Rotavirus infection associated
with diarrhoea in calves in Egypt. Vet Res
Comm, 5: 165-170.
SIMEONOV, I., PEEV, Y., and IORDANOV, V., 1982.
Aetiologi of enteritis in newborn calves in the
Varchan region of Bulgaria. Vet Bull, 52:
3255.
SNOGRASS, D.R., ANGUS, K.W., and GRAY, E.W.,
1979. A rotavirus from kitens. Vet. Rec., 104:
222-223.
SNOGRASS, D.R., T. FITGERALS, I. CAMPBELL, F.
M.M. SCOTT, G.F. BROWNING, D.L. MILLER,
A.J. HERRING, and H.B. GREENBERG. 1990.
Rotavirus serotypes 6 and 10 predominate in
cattle. J. Clin. Microbiol. 28:504-507.
SNOGRASS, D.R., TERZOLO, H.R., CAMPBELL, D.,
SHERWOOD, I., MENZIES, J.D., and Synge,
B.A., 1986. Aetiology of diarrhea in young
calves. Vet. Rec. 119:31-34.
STEELE, A.D., S.P. PARKER, I. PEENZE, C.T. PAGER,
M.B. TAYLOR, and W.D. CUBIT. 1999.
Comparative studies of human rotavirus
serotype G8 strains recovered in South Africa
and the United Kingdom. J. Gen. Virol.
80:3029-3034.
TANIGUCHI, K., T. URASAWA and S. URASAWA. 1993.
Independent segregation of the VP4 and the
VP7 genes in bovine rotaviruses as confirmed
by VP4 sequence analysis of G8 and G10
bovine rotavirus strains. J. Gen. Virol. 74:
1215-1221.
TANIGUCHI, K., T. URASAWA, Y. PONGSUWANNA, M.
CHOONTHANOM, C. JAYAVASU, and S.
URASAWA. 1991. Molecular and antigenic
analyses of serotypes 8 and 10 of bovine
rotaviruses in Thailand. J. Gen. Virol.
72:2929-2930.
TAOUDI, A., MELER, C., and AMTSBERG, G. 1983.
Prevalence of bacterial pathogens in post
mortem material from calves. Praktische
Tierarzt, 64:221-236.
TENNANT, B., WARD, D.E., BRAUN, R.K., HUNT,
E.L., and BALDWIN, B.H., 1978. Clinical
management and control of neonatal enteric
infections of calves. J Am Vet Med Assoc.,
173:654-661.
TZIPORI, S. 1980. Rotavirus infections. SCA Animal
Health Committee, Sub-Committee of
Principal Laboratory Officers. The Australian
Bureau of Animal Health.
UMOH, J.U., 1982. Relative survival of calves in a
university herd in Zaire, Nigeria. British Vet
J., 138: 507-514.
VARMA, A.K., SATRY, N.S.R., and KAR, D. 1988.
Mortality trends in female Murrah bufallo
calves. Indian J. Anim Prod. Manag., 4:18-21.
VARGHESE, V., S. DAS, N.B. SINGH, K. KOJIMA, S.K.
BHATTACHARYA,
T.
KHRISNAN,
N.
KOBAYASHI, and T.N. NAIK. 2004. Molecular
characterization of a human rotavirus reveals
porcine characteristics in most the genes
including VP6 and NSP4. Arch. Virol.,
149:155-172
VERMA, G.S., SADANA, D.K., BASUL, S.B., and
SHARMA, P.A., 1980. Studies on mortality in
buffalo calves. Indian J Anim Sci., 50:87-90.
TAKAHASHI, E., INABA, Y., SATO, K., KUROGI, H.,
AKASHI, H., SATODA, K and OMORI, T., 1979.
Antibody to rotaviruses in various animal
species. Nat. Inst. Anim. Health Quart.,19: 7273.
WHITE, D.G. and ANDREWS, A.H. 1986. Adeguate
concentration of circulating colostral proteins
for market calves. Vet Rec., 119: 112-114.
TANIGUCHI, K., and S. URASAWA. 1995. Diversity in
rotavirus genomes. Semin. Virol., 6:123-131.
WOODE, G.N., 1978. Epizootiology of bovine
rotavirus infection. Vet Rec, 103:44-46.
WORLD HEALTH ORGANIZATION, 1999. Rotavirus
vaccines: WHO position paper. Weekly
Epidemiological Record, 74:33-40
ZRELLI, M., YOUNES, A.B., and HADDAD, N., 1988.
Survey of calf mortality in dairy farms in
Tunisia. I. Overall mortality. Maghrib Vet.,
3:5-8.
101
Download