BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1 Analisa Pengertian analisa menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut: “Penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dsb) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya, dsb). Sedangkan menurut Dwi Prastowo dan Rifka Juliaty (2002:52), analisa adalah: “Penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.” Secara singkat, analisa dapat diartikan sebagai suatu pemecahan persoalan yang dimulai dengan dugaan akan kebenarannya. 2.2 Biaya Menurut Warren, Reeve, Fees (2005,655) biaya diartikan sebagai: “Biaya adalah pembayaran tunai atau komitmen untuk membayar tunai dari masa datang yang ditujukan untuk menghasilkan pendapatan.” Sedangkan menurut Mursyidi (2007:14), definisi biaya adalah sebagai berikut: “Biaya (cost) diartikan sebagai suatu pengorbanan yang dapat mengurangi kas atau harta lainnya untuk mencapai tujuan, baik yang dapat dibebankan pada saat ini maupun pada saat yang akan datang”. Jadi, biaya merupakan pengukur dalam unit moneter suatu sumber ekonomis yang digunakan atau dikorbankan untuk tujuan tertentu. 2.2.1 Perbedaan Biaya (Cost) dengan Beban (Expense) Biaya (cost) diartikan sebagai suatu pengorbanan yang dapat mengurangi kas atau harta lainnya untuk mencapai tujuan, baik yang dapat dibebankan pada saat ini maupun pada saat yang akan datang. Pada saat akan atau telah melakukan suatu kegiatan untuk tujuan tertentu, misalnya akan membuat barang akan mengeluarkan uang dan menggunakan peralatan yang dimiliki. Uang atau alat baik yang akan atau telah digunakan untuk kegiatan tersebut dikategorikan sebagai biaya. Beban (expense) adalah biaya yang telah terjadi (expired cost) yang dikurangkan dari penghasilan atau dibebankan pada periode yang bersangkutan, dimana pengorbanan terjadi. Untuk ini dapat berupa uang yang telah dikeluarkan atau harta/fasilitas yang telah digunakan dalam rangka memperoleh pendapatan yang diperhitungkan dalam satu periode akuntansi dimana pendapatan diperhitungkan atau diakui. Misalnya pengeluaran uang untuk transportasi (beban transportasi) yang diperhitungkan dalam satu periode akuntansi, nilai aktiva tetap yang diperhitungkan dan dibebankan (beban penyusutan) pada periode akuntansi. 2.2.2 Klasifikasi Biaya Menurut Mursyidi (2007:14), pembagian biaya dapat dihubungkan dengan suatu proses produksi dalam perusahaan industri, baik yang mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung. 1. Biaya dalam Hubungannya dengan Produk Dalam perusahaan manufaktur, biaya dapat diklasifikasikan menjadi: a. Biaya Langsung (Direct Cost) Biaya yang memiliki hubungan langsung dengan suatu produk dikenal dengan nama Biaya Produksi (Production Cost/Manufacturing Cost/Factory Cost). Biaya Produksi pada dasarnya dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: 1) Biaya Bahan Baku Langsung (Direct Materials) yaitu biaya untuk bahan yang menjadi unsur utama terbentuknya suatu produk. 2) Biaya Tenaga Kerja Langsung (Direct Labour) adalah biaya atau upah untuk tenaga kerja yang dapat secara langsung merubah bahan baku menjadi produk dan pembebanan biayanya dapat ditelusuri pada setiap jenis produk yang dihasilkan. 3) Biaya Overhead Pabrik (Factory Overhead Cost) dapat terdiri dari bahan baku tidak langsung (indirect material), tenaga kerja tidak langsung (indirect labor), dan semua biaya produksi yang tidak dapat dibebankan secara langsung pada suatu produk selain biaya bahan baku langsung dan biaya tenaga kerja langsung. Bahan tidak langsung adalah bahan yang bukan menjadi unsur utama dalam suatu produk, sifatnya hanya sebagai pelengkap atau untuk memperlancar suatu proses produksi. Sedangkan biaya tenaga kerja tidak langsung adalah tenaga kerja yang tidak mempunyai akibat langsung pada pembentukan suatu produk. Gabungan biaya bahan baku langsung dan biaya tenaga kerja langsung disebut Biaya Utama (Prime Cost), yaitu biaya yang langsung membentuk produk jadi. Tanpa ada salah satu biaya tersebut tidak akan ada produk yang dihasilkan, sedangkan gabungan antara biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik disebut Biaya Konversi (Conversion Cost), yaitu biaya yang merubah bahan baku menjadi produk jadi (finished goods). b. Biaya Tidak Langsung (Indirect Cost) Biaya yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan suatu produk dikenal dengan nama Beban Komersial (Commercial Expense). Beban komersial (commercial expense) dapat diklasifikasikan dalam dua jenis sesuai dengan fungsi dalam perusahaan, yaitu: 1) Beban Pemasaran (Marketing/Selling Expense) adalah semua jenis beban yang berhubungan dengan pelaksanaan dan penjualan produk. 2) Beban Administrasi Umum (General and Administrative Expense) adalah semua jenis beban yang berhubungan dengan pengelolaan perusahaan secara keseluruhan. 2. Biaya dalam Hubungannya dengan Volume Produksi Biaya dapat diklasifikasikan atas dasar perubahan yang terjadi pada volume produksi atau produk yang dihasilkan atau produk yang terjual, yaitu: a. Biaya Variabel (Variable Cost) Biaya variabel memiliki karakteristik antara lain: 1) Secara total biaya variabel berubah sesuai dengan perubahan volume produksi. 2) Biaya per unit (satuan) relatif tetap. 3) Dapat ditelusuri ke setiap produk yang dihasilkan. 4) Dapat dikendalikan oleh tingkat manajemen yang paling bawah, bahkan oleh tingkat operasional. b. Biaya Tetap (Fixed Cost) Biaya tetap memilki karakteristik antara lain: 1) Secara total biaya ini tetap pada tingkatan volume produksi (range) tertentu. 2) Biaya per unit (satuan) selalu berubah sesuai dengan perubahan volume produksi atau jumlah produk yang dihasilkan. 3) Pengakuan biaya didasarkan pada kebijaksanaan manajemen atau metode alokasi biaya. 4) Tanggung jawab pengendalian terletak pada tingkat manajemen tertentu. Biaya (Rp) Biaya (Rp) Unit Gambar 2.1a Grafik Biaya Variabel Unit Gambar 2.1b Grafik Biaya Tetap c. Biaya Semi Variabel (Semi Variable Cost) Ada beberapa jenis biaya yang mengandung biaya tetap dan biaya variabel, namun yang bersifat tetap relatif kecil bila dibandingkan dengan sifat variabelnya. Jenis biaya ini diklasifikasikan sebaga biaya semi variabel (semi variable cost). Misalnya biaya listrik, telepon, reparasi, dan sewa. Biaya (Rp) Unsur Biaya Variabel Unsur Biaya Tetap Kegiatan (jam kerja) Gambar 2.2 Grafik Biaya Semivariabel 3. Biaya dalam Hubungannya dengan Departemen Manufaktur Biaya dalam hubungannya dengan departemen pabrik diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: a. Biaya Langsung Departemen (Direct Departement Charges) adalah biaya yang terjadi dan langsung dibebankan pada departemen bersangkutan dimana biaya itu terjadi. b. Biaya Tidak Langsung Departemen (Indirect Departemental Charges) adalah biaya yang terjadi dan tidak dapat langsung dibebankan ke suatu departemen, namun dibebankan ke departemen yang menikmatinya melalui alokasi dan distribusi biaya, misalnya biaya penyusutan gedung, pajak bumi dan bangunan, biaya asuransi kebakaran, biaya keamanan merupakan biaya tidak langsung departemen. 4. Biaya dalam Hubungannya dengan Periode Akuntansi Biaya dalam hubungannya dengan periode pembebanan (periode akuntansi), biaya dapat diklasifikasikan menjadi: a. Pengeluaran Modal (Capital Expenditure) adalah pengeluaran yang dikapitalisir, artinya pengeluaran yang ditangguhkan pembebanannya. Pengeluaran ini adalah apa yang disebut dengan harga pokok yang membentuk atau dianggap sebagai aktiva. b. Pengeluaran Pendapatan (Revenue Expenditure) adalah pengeluaran yang langsung dianggap sebagai beban dan mengurangi pendapatan pada periode akuntansi dimana pengeluaran itu terjadi. Suatu pengeluaran dapat dinyatakan sebagai pengeluaran modal atau pengeluaran pendapatan tergantung pada: 1) Kebijaksanaan manajemen. 2) Nilai pengeluaran, apakah relatif besar atau kecil. 3) Mempunyai masa manfaat lebih dari satu periode akuntansi atau tidak. 5. Biaya dalam Hubungannya dengan Operasi Perusahaan Biaya juga dapat diklasifikasikan dalam hubungannya dengan operasi perusahaan, yaitu: a. Biaya Operasional (Biaya Penjualan dan Biaya Administrasi Umum) yaitu semua biaya yang berhubungan langsung dengan segala kegiatan perusahaan, meliputi biaya penjualan dan administrasi umum. b. Biaya Non-Operasional, artinya biaya yang telah dikeluarkan dan diperhitungkan namun tidak memiliki hubungan langsung dengan usaha pokok perusahaan, misalnya biaya bunga untuk perusahaan industri manufaktur. 6. Biaya dalam Hubungannya dengan Aktivitas Klasifikasi biaya ini dihubungkan dengan jenis kegiatan yang menimbulkan biaya. Hal ini sangat diperlukan dalam rangka perhitungan biaya berdasarkan aktivitas (Activity Based-Costing) yang kegiatan pembuatan produknya digolongkan ke dalam empat kategori, yaitu: a. Unit-level activity, biaya ini dipengaruhi oleh besar kecilnya jumlah unit produk yang dihasilkan seperti biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, biaya energi, dan biaya angkutan. b. Batch-related activity, biaya ini berhubungan dengan jumlah batch produk yang diproduksi. Set up cost yang merupakan biaya yang dikeluarkan untuk menyiapakan mesin dan peralatan sebelum satu order produksi diproses adalah contoh biaya dalam golongan ini. c. Product-sustaining activity, biaya ini berhubungan dengan penelitian dan pengembangan produk tertentu dan biaya-biaya untuk mempertahankan produk agar tetap dapat dipasarkan, seperti biaya desain produk, desain proses pengolahan produk, pengujian produk. d. Facility-sustaining activity, biaya ini berhubungan dengan kegiatan untuk mempertahankan kapasitas yang dimiliki oleh perusahaan seperti biaya depresiasi dan amortisasi, biaya asuransi. 7. Biaya Berdasarkan Tercapainya Tujuan atau Kesempatan Biaya juga dapat diklasifikasikan berdasarkan tercapainya tujuan atau kesempatan, misalnya: opportunity cost, out of pocket cost, dan sunk cost. a. Biaya Kesempatan (Opportunity Cost) adalah pendapatan atau penghematan biaya yang dikorbankan sebagai akibat dipilihnya alternatif tertentu. b. Biaya Keluar dari Saku (Out of Pocket Cost) merupakan biaya yang memerlukan pengeluaran kas sekarang atau dalam jangka waktu dekat sebagai akibat dari keputusan manajemen. c. Biaya Terbenam (Sunk cost) merupakan biaya yang terjadi sebagai akibat dari pengambilan keputusan yang telah lalu. Gambar 2.3 Bagan Klasifikasi Biaya 2.3 Informasi Akuntansi Accounting is a business language. Sudah dikenal bahwa akuntansi merupakan suatu bahasa bisnis. Sebagai suatu bahasa, akuntansi merupakan alat untuk berpikir manajer dalam bisnis dan untuk mengkomunikasikan pikiran-pikiran bisnis manajer kepada bawahan dan atasannya, kepada manajer lain dan kepada pihak luar. Informasi akuntansi sebagai bahasa bisnis dikelompokkan menjadi tiga golongan yaitu: 1. Informasi Operasi. Untuk melaksanakan aktivitas perusahaan sehari-hari, manajemen memerlukan berbagai informasi operasi seperti jumlah bahan baku yang diperlukan, jumlah persediaan produk jadi di gudang, jumlah produksi hari ini, jumlah tenaga kerja, dan sebagainya Informasi operasi ini merupakan dasar untuk mengolah tipe informasi lainnya, yaitu informasi akuntansi keuangan dan informasi akuntansi manajemen. 2. Informasi Akuntansi Keuangan diperlukan baik oleh manajemen (umumnya manajemen puncak) atau pihak luar perusahaan seperti pemegang saham, kreditur, instansi pemerintah dan pihak luar lainnya untuk pengambilan keputusan guna menentukan hubungan antara pihak luar dengan perusahaan. Informasi akuntansi keuangan biasanya disajikan kepada pihak luar perusahaan di dalam laporan keuangan berbentuk neraca, laporan labarugi, laporan perubahan ekuitas, dan laporan arus kas. 3. Informasi Akuntansi Manajemen diperlukan oleh manajemen untuk melaksanakan dua fungsi pokok manajemen yakni perencanaan dan pengendalian aktivitas perusahaan. Informasi akuntansi manajemen ini umunya disajikan kepada manajemen perusahaan dalam berbagai laporan keuangan seperti anggaran, laporan penjualan, laporan biaya berdasarkan pembebanan biaya, dan sebagainya. Seperti yang telah disebutkan di atas, salah satu bentuk laporan manajemen adalah laporan biaya berdasarkan pembebanan biaya. Dalam pembebanan biaya ini, ada dua pendekatan yang dapat digunakan yaitu: a. Metode Full Costing merupakan metode penghitungan harga pokok yang memasukkan seluruh biaya produksi, baik biaya variabel dan tetap dalam menentukan harga pokok produk. Dalam metode ini, biaya produksi akan meliputi biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, biaya overhead pabrik tetap dan variabel. b. Metode Variable Costing merupakan metode penghitungan harga pokok yang hanya memasukkan biaya variabel saja dalam menentukan harga pokok produk. Dengan kata lain, biaya produksi hanya meliputi biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead variabel. Sedangkan biaya overhead tetap diperlakukan sebagai biaya periode dan tidak dimasukkan dalam menghitung harga pokok produk. Biaya overhead tetap diperlakukan sama dengan seperti biaya penjualan dan administrasi, yaitu langsung menjadi beban pada periode terjadinya. Alasan mengapa biaya overhead tetap tidak masuk sebagai biaya produksi adalah karena biaya tersebut merupakan biaya kapasitas, yaitu ketika suatu periode sudah lewat maka manfaat yang disediakan oleh biaya kapasitas akan habis terpakai atau dianggap terpakai dan seharusnya tidak disimpan. Dengan demikian, biaya overhead tetap harus dibebankan pada periode terjadinya dan mengurangi pendapatan pada periode tersebut. Full Costing Biaya Variable Costing Biaya Bahan Baku Biaya Bahan Baku Biaya Tenaga Kerja Langsung Biaya Tenaga Kerja Langsung Produksi Biaya Overhead Pabrik Variabel Biaya Overhead Variabel Biaya Overhead Tetap Biaya Overhead Tetap Biaya Biaya Penjualan Biaya Penjualan Periode Biaya Administrasi dan Umum Biaya Adminitrasi dan Umum Gambar 2.4 Tabel Klasifikasi Biaya Menurut Full Costing dan Variable Costing Metode full costing merupakan metode yang telah digunakan secara luas dalam menghitung harga pokok. Kebanyakan perusahaan menggunakan pendekatan full costing dalam menentukan harga pokok produk yang dijualnya karena pertimbangan bahwa seluruh biaya yang dikeluarkan seharusnya menjadi beban konsumen dan alasan ini logis demi mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan. Kelemahan utama metode full costing adalah ketidaktepatan penggunaan metode ini untuk kepentingan perencanaan dan pengambilan keputusan atau secara khusus adalah ketidakmampuannya untuk bekerja sama dengan baik bersama analisis CVP. Metode variabel costing tidak hanya sekedar sesuai untuk menilai prestasi seorang manajer, tapi juga dapat diterima untuk menilai keberhasilan suatu divisi, kelompok atau jenis produk tertentu dan daerah pemasaran. Adanya pemisahan antara biaya variabel dan biaya tetap merupakan faktor yang penting dalam membuat evaluasi yang akurat. Termasuk dalam evaluasi ini adalah untuk memutuskan apakah suatu divisi atau produk tertentu perlu dihentikan atau diteruskan. Tanpa ada pemisahan antara biaya variabel dan tetap maka evaluasi terhadap keberhasilan atau kegagalan suatu divisi atau segmen dan keputusan untuk menutup atau meneruskan suatu produk dapat menyesatkan. Metode variabel costing dan metode full costing memiliki manfaat dan keterbatasan dalam situasi tertentu untuk membantu manajemen menyusun perencanaan, pengendalian dan pengambilan keputusan, yaitu: 1) Metode full costing tidak sejalan dengan analisis CVP. Jika terdapat selisih antara produksi dan penjualan (produksi > penjualan), sangat mungkin terjadi bahwa pada penjualan titik impas akan menyaksikan bahwa dengan menggunakan metode full costing malah pada tingkat penjualan tersebut sudah memperoleh laba. Hal ini terjadi karena dalam metode full costing, adanya persediaan menyebabkan sejumlah biaya overhead tetap ditunda dan tidak menjadi beban laporan laba rugi pada tahun bersangkutan karena masih melekat pada persediaan. Oleh karena itu adalah logis dengan adanya penundaan biaya tetap ini, perusahaan dapat memperoleh laba sekalipun tingkat penjualannya adalah berada pada titik impas. 2) Penggunaan metode variabel costing dengan analisis CVP akan memudahkan manajemen dalam mengambil keputusan dengan cepat, berapa besarnya harga jual yang dapat ditolerir agar perusahaan tidak mengalami kerugian. 3) Untuk kepentingan laporan pada pihak luar perusahaan, seperti pemegang saham, kreditur, dan untuk keperluan perpajakan, banyak pihak berpendapat bahwa metode full costing dianggap lebih sesuai karena harga pokok suatu produk seharusnya memasukkan tidak hanya variabel tetapi juga biaya tetap. Demikian pula untuk perencanaan jangka panjang, sudah selayaknya memperhitungkan seluruh biaya, baik biaya tetap maupun biaya variabel, karena pada hakikatnya dalam jangka panjang seluruh biaya akan relevan karena biaya tersebut akan berubah. 2.4 Analisa Cost-Volume-Profit (CVP) Analisa biaya-volume-laba (Cost-Volume-Profit Analysis) adalah analisa yang berkaitan dengan penentuan volume penjualan dan komposisi produk yang diperlukan untuk mencapai laba yang diinginkan dengan menggunakan sumber daya yang dimiliki. Analisa biaya-volume-laba ini merupakan alat analitis yang memberi manajemen informasi penting tentang hubungan antara biaya, laba, komposisi produk penjualan. Analisa biaya-volume-laba mencakup studi tentang saling hubungan diantara faktor-faktor berikut ini: 1. Harga jual produk 2. Volume atau tingkat aktivitas 3. Biaya variabel per unit 4. Total biaya tetap 5. Komposisi produk yang dijual Analisa biaya-volume-laba merupakan faktor kunci dalam banyak keputusan, seperti pemilihan lini produk, penentuan harga jual produk, strategi pemasaran dan pemanfaatan fasilitas produktif, bahkan di dalam perusahaan analisis ini sangat membantu para manajer. Oleh karena luasnya manfaat yang dimiliki, maka tidak dapat diragukan bahwa analisis ini merupakan alat terbaik yang dimiliki manajer untuk menemukan potensi laba perusahaan. 2.4.1 Titik Impas (Break-Even Point /BEP) Break even merupakan salah satu teknik perencanaan laba dalam jangka pendek atau dalam satu periode akuntasi tertentu dengan mendasarkan analisanya pada variabilitas penghasilan penjualan maupun biaya terhadap volume kegiatan sehingga teknik tersebut akan dapat digunakan dengan baik sebagai alat perencanaan laba dalam jangka pendek. Analisa break even, merupakan suatu teknik analisa yang ditujukan untuk menghasilkan informasi seperti dikemukakan di atas dengan memusatkan perhatian pada penentuan suatu keadaan dimana volume kegiatan tidak menghasilkan laba tetapi juga tidak menderita kerugian. Menurut Dwi Prastowo dan Rifka Juliaty (2002:140), break even point didefinisikan sebagai berikut: “Titik impas (Break-even point) adalah titik dimana total biaya sama dengan total penghasilan. Dengan demikian, pada titik impas tidak ada laba maupun rugi yang diterima oleh perusahaan”. Break-even sering disebut dengan impas atau pulang pokok adalah suatu keadaan perusahaan dimana jumlah total penghasilan besarnya sama dengan jumlah total biaya, atau suatu keadaan perusahaan dimana laba-ruginya sebesar nol, perusahaan tidak memperoleh laba tetapi juga tidak menderita rugi. Analisa impas (Break-Even Analysis) adalah teknik analisa yang digunakan untuk menentukan tingkat penjualan dan komposisi produk yang diperlukan hanya untuk menutup semua biaya yang terjadi selama periode tertentu. Dasar landasan yang dipakai dalam analisa break-even point adalah tingkah laku biaya dalam kaitannya dengan hasil penjualan. Titik impas dapat ditentukan dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan persamaan (linier) dan pendekatan grafik. 1. Perhitungan Impas dengan Pendekatan Persamaan (Linier) Rumus perhitungan impas dalam satuan produk yang dijual adalah: Biaya Tetap Impas (dalam = unit) Harga Jual per Satuan – Biaya Variabel per Satuan Rumus perhitungan impas dalam rupiah penjualan adalah sebagai berikut: Impas (dalam rupiah) Biaya Tetap = 1 - Biaya Variabel per Satuan Harga Jual per Satuan Impas dalam rupiah dapat pula dihitung dengan rumus sebagai berikut: Biaya Tetap Impas (dalam rupiah) = Biaya Variabel 1 - Pendapatan Penjualan Contribution Margin = Pendapatan Penjualan – Biaya Variabel = HJ (x) – VC (x) Laba Kontribusi Contribution Margin Ratio = Pendapatan Penjualan Contribution Margin Ratio = LabaKontribusi Pendapa tan Penjualan Contribution Margin Ratio = HJ − VC HJ = HJ VC HJ HJ VC Contribution Margin Ratio = 1 HJ Jadi, impas dalam rupiah penjualan dapat juga dihitung sebagai berikut: Biaya Tetap Impas (dalam rupiah) = Contribution Margin Ratio 2. Perhitungan Impas dengan Pendekatan Grafik Pendapatan & Biaya Garis Pendapatan Penjualan Garis Total Biaya Daerah Laba Titik Impas Garis Biaya Tetap Daerah Rugi Volume Penjualan Gambar 2.5 Grafik Break-Even Perhitungan impas dapat dilakukan juga dengan menentukan titik pertemuan antara garis pendapatan penjualan dengan garis biaya dalam suatu grafik. Titik pertemuan antara garis pendapatan penjualan dengan garis biaya merupakan titik impas. Untuk dapat menentukan titik impas, harus dibuat grafik dengan sumbu datar yang menunjukkan volume penjualan, sedangkan sumbu tegak menunjukkan biaya dan pendapatan. 2.4.2 Margin of Safety (M/S) Analisis impas memberikan informasi mengenai berapa jumlah volume penjualan minimun agar perusahaan tidak menderita rugi. Jika angka impas dihubungkan dengan angka pendapatan penjualan yang dianggarkan atau pendapatan penjualan tertentu, akan diperoleh informasi berapa volume penjualan yang dianggarkan atau pendapatan penjualan tertentu boleh turun agar perusahaan tidak menderita rugi. Selisih antara volume penjualan yang dianggarkan dengan volume penjualan impas merupakan angka margin of safety. Angka margin of safety ini memberikan informasi berapa maksimum volume penjualan yang direncanakan tersebut boleh turun, agar perusahaan tidak menderita rugi. Menurut Mulyadi (2001:254) definisi margin of safety adalah sebagai berikut: “Margin of safety memberikan petunjuk jumlah maksimum penurunan volume penjualan yang direncanakan, yang tidak mengakibatkan kerugian”. Sedangkan menurut Bambang Hariadi (2002:533) margin of safety adalah : “Margin of safety didefinisikan sebagai kelebihan budget penjualan sesungguhnya diatas volume penjualan break even point”. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa margin of safety memberi petunjuk tentang sampai seberapa banyak penjualan boleh turun sebelum perusahaan mengalami kerugian. Margin of safety ratio (M/S ratio) dapat pula dihitung dengan rumus: Margin of Safety = Total Anggaran Penjualan – Penjualan BEP Rumus M/S dapat dinyatakan juga dalam bentuk persentase, dan rumusnya adalah: M/S dalam Rupiah M/S dalam persentase = Total Penjualan Informasi mengenai margin of safety dapat menunjukkan mengenai risiko usaha suatu perusahaan. Dua perusahaan dapat saja memiliki jumlah laba yang sama tetapi memiliki M/S yang berbeda. Perbedaan M/S tersebut disebabkan adanya struktur biaya yang tidak sama diantara kedua perusahaan. Perusahaan yang memiliki biaya tetap yang tinggi akan mengalami kerugian lebih cepat jika jumlah penjualan anjlok. Untuk mengatasi M/S yang rendah, tentu banyak cara dan salah satu solusinya adalah perusahaan berusaha memperbaiki struktur biaya dengan menekan besarnya biaya tetap atau berusaha memperbaiki strategi pemasaran guna meningkatkan penjualan. 2.4.3 Degree of Operating Leverage (DOL) Menurut Mulyadi (2001:258) degree of operating leverage adalah: “Degree of operating leverage memberikan ukuran dampak perubahan pendapatan penjualan terhadap laba bersih pada tingkat penjualan tertentu”. Sedangkan menurut Bambang Hariadi (2002;535) pengertian operating leverage adalah: “Operating Leverage yaitu suatu kondisi dimana seorang manajer dapat memperoleh laba setinggi mungkin hanya dengan menaikkan sedikit penjualan atau menambah sedikit sumber daya perusahaan (aktiva)”. Suatu perusahaan dianggap mempunyai operating leverage yang tinggi jika mempunyai struktur biaya tetap yang relatif lebih tinggi daripada biaya variabel dan sebaliknya, dianggap mempunyai operating leverage yang rendah jika proporsi biaya tetap relatif lebih rendah daripada biaya variabel. Dalam perusahaan yang mempunyai operating leverage yang tinggi yaitu biaya variabel rendah dan biaya tetap relatif tinggi, laba perusahaan sangat sensitif sekali terhadap perubahan penjualan. Artinya, jika ada fluktuasi dalam persentase yang kecil saja terhadap perubahan penjualan dapat menyebabkan kenaikan atau penurunan laba (rugi) perusahaan dalam persentase yang besar. Hal ini terjadi karena dalam kondisi biaya variabel rendah, terjadinya kenaikan penjualan membuat contribution margin masing-masing unit yang dijual semakin besar, sementara biaya tetap tidak berubah. Biaya tetap digunakan sebagai leverage untuk menaikkan profit. Sebaliknya, dalam kondisi ekonomi yang tidak baik, perusahaan dengan leverage yang tinggi mengalami kerugian besar karena adanya penurunan penjualan dalam jumlah tertentu akan menyebabkan laba turun dengan drastis. Degree of Operating Leverage (DOL) merupakan suatu ukuran yang menunjukkan besarnya perubahan laba akibat perubahan penjualan pada periode tertentu. DOL dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Contribution Margin DOL = Net Income Tingkat DOL akan terus menurun jika penjualan perusahaan semakin jauh dari tingkat BEP. Keadaan ini memberikan pemahaman secara cepat tentang pengaruh perubahan aktivitas penjualan pada laba dan memberi arah pada seorang manajer, pada saat mana ia harus bekerja keras untuk menaikkan volume penjualan dalam mengejar angka bonus. 2.4.4 Titik Penutupan Usaha (Shut-Down Point /SDP) Apabila ditinjau dari sudut biaya, pengambilan keputusan untuk menutup usaha dilakukan dengan mempertimbangkan pendapatan penjualan dengan biaya tunai (cash cost atau out of pocket costs atau biaya keluar dari saku). Biaya tunai adalah biaya-biaya yang memerlukan pembayaran segera dengan uang kas. Biaya variabel biasanya merupakan biaya tunai tetapi biaya tetap mungkin juga termasuk sebagai biaya tunai seperti: gaji pengawas pabrik dan biaya pemeliharaan. Dalam pengambilan untuk menutup usaha harus diadakan pembedaan antara biaya keluar dari saku (out-of-pocket cost) dengan biaya terbenam (sunk cost). Biaya terbenam (sunk cost) adalah pengeluaran yang dilakukan pada masa lalu, yang manfaatnya masih dinikmati sampai sekarang. Contoh biaya terbenam adalah biaya depresiasi, amortisasi dan deplesi. Suatu usaha harus dihentikan apabila pendapatan yang diperoleh tidak dapat menutup biaya tunainya. Untuk mengetahui pada tingkat penjualan berapa suatu usaha harus dihentikan, dapat dilakukan dengan mencari titik perpotongan antara garis pendapatan penjualan dengan garis biaya tunai dalam grafik impas. Titik penutupan usaha dapat pula dihitung dengan menggunakan rumus berikut ini: Biaya Tetap Tunai Titik Penutupan Usaha = (Shut-Down Point/SDP) Contribution Margin Ratio