MEMBONGKAR JAMAAH ISLAMIYAH

advertisement
MEMBONGKAR JAMAAH ISLAMIYAH
Pengakuan Mantan Anggota JI
Penulis:
Nasir Abas
Tata Letak Isi dan Desain Cover:
Studio Kreativa
ISBN 979-3858-05-2
Cetakan I, Juli 2005
Diterbitkan oleh
Penerbit Grafindo Khazanah Ilmu
Pasar Minggu, Jakarta Selatan
e-mail: [email protected]
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mereproduksi atau memperbanyak seluruh maupun sebagian
dari buku ini dalam bentuk atau cara apapun tanpa izin tertulis dari
penerbit.
Pengantar Penerbit
Alhamdulillah, akhirnya kami dapat menerbitkan sebuah karya yang amat
berharga, dan sangat penting untuk diketahui khalayak publik. Dilihat dari segi
substansi maupun penulisnya, buku yang ada di hadapan Anda sekalian ini, jelas
bukan sembarang karya yang ditulis untuk kepentingan sesaat atau maksudmaksud tertentu. Sebab, karya ini sarat dengan data, sesuai dengan fakta, dan
tidak
berpretensi
menggurui
pembaca
terhormat.
Buku berjudul MembongkarJamaah Islamiyah; Pengakuan Mantan Anggota JI, ini
adalah sebuah penelusuran panjang penulisnya, sejak mulai dari pergumulannya
dengan pemahaman tentang Islam, persentuhannya dan pertemanannya dengan
para aktivis dan tokoh Jamaah Islamiyah (JI) seperti Imam Samudra, Abu Bakar
Baasyir, Hilmi Bakar dan lain sebagainya, hingga pergulatan sang penulis ke
belantara negeri seperti Afghanistan, Malaysia (yang notabene adalah negerinya
sendiri),
Mindanao,
Filipina,
dan
beberapa
daerah
di
Indonesia.
Perjalanan panjang ini adalah bagian dari pengabdian Nasir Abas, sang penulis,
kepada Jamaah Islamiyah, dengan cita-cita utama mendirikan Negara Islam di
Nusantara (meliputi Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Filipina). Nasir sendiri
adalah mantan petinggi JI, dengan jabatan terakhir sebagai Amir Mantiqi III
(meliputi Sabah, Serawak, Brunei, Kalimantan, Sulawesi, dan Filipina Selatan).
Kini, ia telah keluar dari JI, yang menurutnya penuh kesesatan dalam
memahami Islam yang hanif dan anggun, menjadi Islam yang keras, dan
menakutkan
publik.
Kontroversi tentang Jamaah Islamiyah sendiri dalam beberapa tahun terakhir
memang cukup menjadi perhatian dan sorotan publik Indonesia dan dunia
internasional. Masalah ini mencuat terutama sejak rentetan aksi kekerasan dan
terorisme marak empat tahun terakhir. Tragedi memilukan pemboman WTC di
AS pada 2001, Bom Bali tahun 2002, Bom J.W. Marriott pada 2003, Bom
Kuningan tahun 2004, dan serentetan kejadian mengenaskan lainnya.
Tak ada satu pun agama di dunia ini yang melegitimasi, apalagi mengajarkan
bahwa kekerasan sebagai cara yang absah untuk meraih tujuan. Justifikasi
terhadap agama atas pelbagai kejadian teror misalnya, oleh sekelompok orang
tertentu, jelas salah. Ini tampaknya berpangkal dari kesalahan menangkap dan
memahami pesan agama, apa pun namanya, bahwa kekerasan, apapun
bentuknya, tak dapat ditolerir dan karenanya mesti dikikis hingga ke akarakarnya. Sebab, ia tak saja merugikan kehidupan sosial manusia dalam jangka
pendek, tapi juga dalam jangka panjang seperti trauma psikis yang diderita
masyarakat
terkena
aksi
biadab
teror.
Sebagai contoh, doktrin jihad misalnya, kerap kali dipahami sekelompok orang,
seperti kebanyakan pemahaman anggota JI, secara sempit, yakni sebagai
sepongkah kekerasan menghalalkan darah orang berbeda agama (non-Muslim),
guna meraih apa yang dicitakannya. Orang kafir adalah musuh utama Islam,
dan karenanya mestilah diperangi. Ini suatu pemahaman amat bodoh,
mengingat
makna
jihad
sesungguhnya
amat
luas
dan
mulia.
Menyingkirkan duri dari jalanan, menuntun orang tua menyeberang jalan,
tersenyum pada orang yang dijumpai, silaturrahim kepada sahabat dan sanak
famili, dan seterusnya, adalah bagian dari jihad. Jadi, jihad membunuh orang
tanpa alasan yang jelas dan dibenarkan agama, bukanlah pemahaman ajaran
Islam yang tepat. Bukankah Islam menegaskan, membunuh satu nyawa sama
artinya menghilangkan nyawa banyak orang? Inilah antara lain yang akan
diluruskan dalam buku ini. Masih banyak lagi fakta dan pemahaman
menyesatkan kelompok radikal JI dan beberapa kelompok lainnya, yang akan
dibongkar dalam karya yang juga akan diterbitkan dalam versi bahasa Inggris
ini.
Semoga penerbitan buku ini dapat membantu dan memandu kita menyelami
ajaran Islam dengan benar, sehingga tidak lagi terjadi aksi kekerasan dengan
mengatasnamakan agama tertentu. Sekali lagi, kekerasan selamanya adalah
terkutuk, dan karenanya, kita memiliki tanggung jawab untuk mencegahnya.
Akhirnya, kritik konstruktif tentu kami butuhkan untuk penyempurnaan
penerbitan
edisi
berikutnya.
Selamat
membaca.
Wallahu
A’lam
Jakarta,
Grafindo Khazanah Ilmu
Awal
Juli
Sekapur Sirih Dari Penulis
2005
Bom
Bali yang terjadi pada 12 Oktober 2002 telah
menimbulkan tuduhan dan prasangka terhadap berbagai
pihak. Ada yang menuduh TNI, rekayasa intelijen
Indonesia, keterlibatan Amerika dengan 'Mikro nuklir', misi
Australia untuk menguasai Indonesia, dan ada juga yang
menuding keterlibatan sebuah organisasi Islam yang
bekerja sama dengan Al-Qaedah beserta Osama Bin
Laden.
Sampai-sampai Nordin M.Top dan Dr. Azahari dianggap
sebagai tokoh ciptaan polisi belaka yang menjadikan nama
tersebut sebagai kambing hitam sasaran di setiap pengejaran, mereka dianggap
tidak pernah ada. Malah para terpidana Bom Bali dikatakan sebagai orang-orang
teraniaya termasuk para ustaz dan aktivis masjid yang dipaksa mengaku
sebagai orang-orang yang terlibat dalam kasus Bom Bali. Siapakah sebenarnya
orang-orang yang terlibat dalam kasus tersebut dan bahkan apakah kasus
pemboman yang selama ini terjadi adalah benar dilakukan oleh kelompok atau
orang-orang tertentu yang mempunyai tujuan tersembunyi? Dan, apakah tidak
menyedihkan dan berbahaya apabila sudah timbul suatu fenomena agama Islam
identik dengan kekerasan karena pembelaan para pelaku bom yang mengatasnamakan
Jihad
fie
sabilillah?
Buku ini mencoba memberikan jawaban atas semua tudingan atau kecurigaan di
antara kita. Berdasarkan pengalaman penulis yang pernah bersama dengan para
pelaku Bom Bali di sebuah organisasi, baik di tingkat pimpinan sampai pada
tingkat anggota pelaksana di lapangan, memberikan gambaran kepada pembaca
tentang latar belakang dan kemampuan mereka dalam menggunakan
perlengkapan
milker
dan
bahan
kimia.
Karena itu, buku ini diupayakan bisa menjawab berbagai pertanyaan yang
beredar di tengah-tengah masyarakat. Di antaranya adalah, apakah Al-Jamaah
Al-Islamiyah alias JI itu? Sejak kapan JI terbentuk dan melakukan aktivitasnya?
Apa yang diperjuangkannya? Lalu apa kaitannya dengan Bom Bali?
Untuk itulah saya, sebagai seorang mantan pimpinan JI, memberikan jawaban
kepada masyarakat, tentang apa yang selama ini masih menjadi tanda tanya
besar
bagi
sebagian
orang,
baik
Indonesia
maupun
dunia.
Juli
Nasir Abas
2005
DAFTAR ISI
Halaman Muka
Pengantar Penerbit … 5
Sekapur Sirih dari Penulis … 11
Daftar Isi
Muqadimah … 13
Bab 1
: Perjalanan ke Afghanistan … 19
Bab 2
: Pejuang-pejuang Afghanistan … 69
Bab 3
: Jamaah Negara Islam Indonesia (NII) … 81
Bab 4
: Al-Jamaah Al-Islamiyah … 87
Bab 5
: Perjalanan ke Mindanao … 139
Bab 6
: Boleh Berbohong … 169
Bab 7
: Kebohongan Imam Samudra … 183
Bab 8
: Bom Bali dan Kesesatan Imam Samudra … 193
Bab 9
: Ghozwah (Peperangan) … 271
Bab 10 : Jihad Membela Agama, Bangsa, dan Negara … 281
Bab 11 : Keluar dari Al-Jamaah Al-Islamiyah … 303
Lampiran: Sketsa Sejarah dalam Gambar … 319
Tentang Penulis … 329
Muqadimah
049.013 ‫س َأ ُّﻳﻬَﺎ ﻳَﺎ‬
ُ ‫ﺧ َﻠ ْﻘﻨَﺎ ُآ ْﻢ ِإ َﻥّﺎ اﻟ َﻨّﺎ‬
َ ‫ﻦ‬
ْ ‫ﺟ َﻌ ْﻠﻨَﺎ ُآ ْﻢ َوُأ ْﻥﺜَﻰ َذ َآ ٍﺮ ِﻣ‬
َ ‫ﺷﻌُﻮﺑًﺎ َو‬
ُ ‫ن ِﻟ َﺘﻌَﺎ َرﻓُﻮا َو َﻗﺒَﺎ ِﺋ َﻞ‬
َّ ‫ﻋ ْﻨ َﺪ َأ ْآ َﺮ َﻣ ُﻜ ْﻢ ِإ‬
ِ ‫ن َأ ْﺕﻘَﺎ ُآ ْﻢ اﻟَّﻠ ِﻪ‬
َّ ‫ﻋﻠِﻴ ٌﻢ اﻟَّﻠ َﻪ ِإ‬
َ ‫ﺧﺒِﻴ ٌﺮ‬
َ
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di
antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (AlHujurat:
13).
003.103 ‫ﺼﻤُﻮا‬
ِ ‫ﻋ َﺘ‬
ْ ‫ﺤ ْﺒ ِﻞ وَا‬
َ ‫ﺟﻤِﻴﻌًﺎ اﻟَّﻠ ِﻪ ِﺑ‬
َ ‫ﻋ َﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ اﻟَّﻠ ِﻪ ِﻥ ْﻌ َﻤ َﺔ وَا ْذ ُآﺮُوا َﺕ َﻔ َّﺮﻗُﻮا وَﻻ‬
َ ‫ﻋﺪَا ًء ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ ِإ ْذ‬
ْ ‫ﻒ َأ‬
َ ‫ﻦ َﻓ َﺄَّﻟ‬
َ ‫ﺤ ُﺘ ْﻢ ُﻗﻠُﻮ ِﺑ ُﻜ ْﻢ َﺑ ْﻴ‬
ْ ‫ﺹ َﺒ‬
ْ ‫ﺧﻮَاﻥًﺎ ِﺑ ِﻨ ْﻌ َﻤ ِﺘ ِﻪ َﻓ َﺄ‬
ْ ‫َو ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ ِإ‬
‫ﻋﻠَﻰ‬
َ
‫ﺷﻔَﺎ‬
َ
‫ﺡ ْﻔ َﺮ ٍة‬
ُ
‫ﻦ‬
َ ‫ِﻣ‬
‫اﻟ َﻨّﺎ ِر‬
‫َﻓ َﺄ ْﻥ َﻘ َﺬ ُآ ْﻢ‬
‫ا ِﻣ ْﻨ َﻪ‬
‫ﻚ‬
َ ‫َآ َﺬ ِﻟ‬
‫ﻦ‬
ُ ّ‫ُﻳ َﺒ ِﻴ‬
‫اﻟَّﻠ ُﻪ‬
‫َﻟ ُﻜ ْﻢ‬
‫ﺁﻳَﺎ ِﺕ ِﻪ‬
‫َﻟ َﻌَّﻠ ُﻜ ْﻢ‬
‫ن‬
َ ‫َﺕ ْﻬ َﺘﺪُو‬
Artinya: "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni’mat Allah kepadamu ketika
kamu dahulu (masa Jahilijah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan
hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni’mat Allah orang-orang yang bersaudara;
dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu
daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ajat-ayat-Nya kepadamu, agar
kamu
mendapat
petunjuk."
(Ali
Imran:
103)
009.071 ‫ن‬
َ ‫ت وَا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ‬
ُ ‫ﻀ ُﻬ ْﻢ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣﻨَﺎ‬
ُ ‫ﺾ َأ ْو ِﻟﻴَﺎ ُء َﺑ ْﻌ‬
ٍ ‫ن َﺑ ْﻌ‬
َ ‫ف َﻳ ْﺄ ُﻣﺮُو‬
ِ ‫ن ﺑِﺎ ْﻟ َﻤ ْﻌﺮُو‬
َ ‫ﻦ َو َﻳ ْﻨ َﻬ ْﻮ‬
ِ‫ﻋ‬
َ ‫ن ا ْﻟ ُﻤ ْﻨ َﻜ ِﺮ‬
َ ‫ﺼّﻼ َة َو ُﻳﻘِﻴﻤُﻮ‬
َ ‫ن اﻟ‬
َ ‫ن اﻟ َّﺰآَﺎ َة َو ُﻳ ْﺆﺕُﻮ‬
َ ‫َو ُﻳﻄِﻴﻌُﻮ‬
‫اﻟَّﻠ َﻪ‬
‫َو َرﺳُﻮ َﻟ ُﻪ‬
‫ﻚ‬
َ ‫أُو َﻟ ِﺌ‬
‫ﺡ ُﻤ ُﻬ ُﻢ‬
َ ‫ﺳ َﻴ ْﺮ‬
َ
‫اﻟَّﻠ ُﻪ‬
‫ن‬
َّ ‫ِإ‬
‫اﻟَّﻠ َﻪ‬
‫ﻋﺰِﻳ ٌﺰ‬
َ
‫ﺡ‬
َ ‫ﻜِﻴﻢ‬
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan
sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka takut kepada Allah dan Rasl-Nya.
Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha
Bijaksana.”
(At-Taubah:
71)
Penulis adalah mantan anggota Negara Islam Indonesia (NII) dan mantan
anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah (JI) yang mengalami berbagai macam
pengalaman selama bersama dengan organisasi tersebut. Kisah pengalaman
dapat dipertanggung-jawabkan di hadapan Allah SWT dan di hadapan manusia.
Bagi orang-orang yang mengalami pengalaman yang sama seperti penulis pasti
akan mengingat nostalgia dari kisah yang terdapat di buku ini. Nama-nama
mereka yang disebut dalam buku ini akan menjadi saksi kebenaran dan Allah
SWT juga akan menjadi saksi atas semua persaksian mereka. Buku tulisan
Imam Samudra yang berjudul Aku Melawan Teroris(AMT) memberi saya
inspirasi pertama dan dorongan yang kuat untuk menjelaskan kepada
masyarakat.
Bukan tujuan saya untuk membuka aib seorang Muslim dengan sengaja. Apa
yang saya jelaskan dalam buku ini bukanlah untuk menjerumuskan temanteman, tetapi bertujuan menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat.
Saya tidak tega melihat umat Islam mendapatkan informasi yang tidak jelas,
apalagi penyesatan informasi. Sebagai jawaban saya di hadapan Allah SWT nanti
bahwa saya sudah menyampaikan apa adanya sesuai pengetahuan saya kepada
masyarakat umumnya, dan kepada umat Islam khususnya. Cukuplah kita
menghadapi musuh Islam yang berusaha menyesatkan umat Islam, jangan pula
kita
sebagai
Muslim
menyesatkan
sesama
umat
Muslim.
Tujuan saya yang lain dalam menulis buku ini adalah untuk saling mengingatkan
sesama Muslim dengan harapan agar teman-teman yang terlibat dalam aksi
pemboman di luar medan pertempuran atau mempunyai hasrat dan rencana,
agar supaya menghentikan perbuatan mereka yang menurut pengetahuan saya,
kegiatan tersebut termasuk dalam kategori berbuat kerusakan di muka bumi.
Tiada upaya fisik yang dapat saya lakukan untuk menghentikan operasional
pemboman mereka kecuali hanya dengan lisan, semoga dapat membuka hati
nurani teman-teman Muslim tersebut. Mengingat sabda Rasulullah SAW yang
memerintahkan sahabatnya untuk membantu orang yang telah berlaku zalim
dengan
cara
menghentikan
aksi
kezalimannya.
Artinya: Dari Anas r.a berkata, Sabda Rasulullah Saw: “Bantulah saudaramu
yang berbuat zalim dan (bantulah saudaramu) yang dizalimi.” Kemudian berkata
seorang sahabat “Aku membantu orang yang dizalimi, lalu bagaimana aku
membantu orang yang berbuat zalim?” Lalu Rasulullah SAW menjawab, “kamu
menghalanginya dan mencegahnya dari berbuat zalim karena yang demikian itu
adalah
membantunya.”
(Hadis
riwayat
Bukhari).
Dari Jabir r.a, Rasulullah SAW bersabda: “… kamu tidak perlu menyembunyikan
persoalan. Seharusnya kamu menolongnya baik yang zalim maupun yang
dizalimi. Terhadap yang zalim, maka hendaklah mencegah kezalimannya.
Sesungguhnya itu berarti telah menolongnya. Manakala terhadap yang dizalimi
hendaklah
membelanya.”
(Hadis
Bukhari
dan
Muslim)
Saya memohon maaf kepada pembaca, karena tulisan ini masih belum cukup
sempurna yang pastinya akan ditemukan kekurangan-kekurangan, di antaranya
disebabkan oleh kesulitan yang dihadapi dalam memindahkan bahasa
percakapan (verbal) kepada bahasa tulisan, ditambah lagi karena faktor human
error yaitu kelupaan. Maka saya sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari teman-teman dan pembaca supaya pada masa mendatang
akan dapat memberi penjelasan dengan sedetil-detilnya dengan bahasa yang
mudah difahami dan dengan sumber rujukan yang lebih lengkap.
Dengan demikian usaha meluruskan penyimpangan faham terhadap orang-orang
yang mendahulukan sikap kekerasan dengan aksi pemboman, dapat terlaksana
dengan baik dan menaruh perhatian ke hati nurani mereka. Dan, usaha ini juga
bertujuan demi mencapai kemaslahatan umat Islam khususnya dan umat
manusia pada umumnya di seluruh dunia, insyaAllah… Amin ya Robbal ‘alamin…
Sebenarnya, saya bukanlah orang yang paling layak untuk menjelaskan apa itu
Al-Jamaah Al-Islamiyah karena saya dahulunya bukanlah bagian dari pimpinan
tertinggi yang mengetahui seluruh kegiatan Al-Jamaah Al-Islamiyah. Tetapi, oleh
karena tidak ada satupun dari kalangan pihak pimpinan Al-Jamaah Al-Islamiyah
yang mau menjelaskan dan malah mereka memutarbalikkan fakta, maka dalam
keterpaksaan saya merasa harus mengambil bagian untuk menjelaskan kepada
umat Islam khususnya dan umat manusia umumnya tentang apa itu Al-Jamaah
Al-Islamiyah, sejauh yang saya alami sendiri. Dengan harapan supaya
masyarakat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dan umat Islam tidak
bingung melihat perilaku para pelaku bom seperti Imam Samudra, Ali
Ghufron, Amrozi (figur Bom Bali) dan orang-orang yang sefaham dengannya.
Percaya tidak percaya terserah kepada pembaca yang menilai. Yang paling
penting adalah bahwa saya telah menyempurnakan hajat dengan menceritakan
apa yang saya alami lalu disuguhkan kepada masyarakat sebagai perbandingan
dengan informasi pihak-pihak yang hanya mengumbar opini publik dan
menyesatkan.
Saya tidak mengetahui perencanaan Bom Bali dan tidak ikut terlibat dengan aksi
tersebut, tetapi maksud dari tulisan ini adalah untuk menjelaskan latar belakang
dari sebagian pelaku Bom Bali atau yang terkait dengannya. Sehingga pembaca
dapat menilai kemampuan para pelaku Bom Bali yang disangkal oleh setengah
pihak akan kemampuan mereka, dan apakah semua orang yang pernah ke
Afghanistan adalah sama, keras, dan sadis? Pembaca dapat melihat bahwa
hanya segelintir saja yang terlibat dalam aksi pemboman atau yang terkait
dengannya. Dari sekian banyak nama orang-orang dari para alumni Afghanistan
dan alumni pendidikan kemiliteran di Mindanao Filipina Selatan, kebanyakan
tidak menginginkan dan tidak menyetujui aksi pemboman di tempat awam serta
sasaran orang sipil, kecuali segelintir dari mereka yang terpengaruh dengan
faham Usama Bin Laden dan Imam Samudra yang membolehkan membunuh
orang sipil non-Muslim sebagai pembalasan. Silakan rujuk nama-nama para
pelaku bom dengan daftar nama-nama yang ada di dalam buku ini.
Di dalam buku ini saya tidak menjelaskan tentang teori Jihad secara mendetil,
sebab teori-teori tersebut bisa didapatkan dari buku-buku yang banyak tersedia.
Apa yang ingin saya sampaikan melalui buku ini adalah tentang Al-Jamaah AlIslamiyah dan anggota-anggotanya yang terlibat dalam aksi kekerasan
pemboman sepanjang pengetahuan dan pengalaman saya semenjak jejak
pertama munculnya kelompok ini dan perjalanan Jihad yang telah pernah
terlaksana di Afghanistan dan di Mindanao Filipina Selatan. Yang kedua adalah
mengenai hukum-hukum Islam terhadap faham Jihad yang diyakini oleh Imam
Samudra yang termaktub di dalam buku Aku Melawan Teroris.
Jazakumullah khairal jaza dan terima kasih kepada orang-orang yang telah
mendidik saya tentang Islam sehingga sampai saat ini saya masih dapat terus
istiqomah membela martabat Islam dari dicemar dengan faham-faham yang
mengkotorinya, juga membela nasib umat Islam daripada menjadi korban bom
yang mengatasnamakan Jihad. Harapan saya semoga dengan tulisan ini dapat
menyurutkan niat dan hasrat orang-orang yang ingin melakukan praktek
pemboman di tempat orang awam baik keatas warga Muslim ataupun nonMuslim.
Akhir kata, jika kita memahami dengan baik kisah perjalanan Rasulullah SAW,
mempelajari tafsir-tafsir Al-Qur’an dan membaca hadis-hadis Nabi Muhammad
SAW, pasti kita akan menemukan bagaimana besarnya toleransi dalam agama
Islam terhadap agama-agama yang lain yang dituntun oleh Rasulullah SAW di
muka bumi ini sejak kenabiannya hinggalah wafatnya. Sungguh indah dan
sungguh benar jika dikatakan Islam adalah agama kesejahteraan untuk sekalian
alam. Wassalamualaikum w.w.
Bab 1 : Perjalanan Ke Afghanistan
1.01 Maahad Ittiba'us Sunnah
1.08 Berbaiat sebelum berangkat ke Afghanistan
1.02 Hasrat belajar ke luar negeri
1.09 Berangkat ke Pakistan
1.03 Antara dua pilihan sekolah
1.10 Harus belajar dan berlatih
1.04 Orang-2 Indonesia pada pandangan pertama 1.11 Akademi Militer Mujahidin Afghanistan
1.05 Pertama kali mengenal kata jihad
1.12 Berperang ketika liburan kuliah
1.06 Tawaran ke Afghanistan
1.13 Pengalaman
1.07 Persiapan keberangkatan ke Afghanistan
sebagai Instruktur di Akmil
Mujahidin Afghanistan
NAMA Afghanistan mulai saya dengar ketika masih duduk di kelas 2 atau 3
Sekolah Menengah (setingkat SMP), Johor Bahru, Malaysia, sekitar tahun
1983/1984. Berita dan artikel mengenai Jihad Afghanistan sering dimuat di
tabloid dan surat kabar harian. Ketika itu orang tua saya biasa membeli surat
kabar Berita Harian (Malaysia). Sungguh memprihatinkan keadaan orang-orang
Afghanistan yang hampir setiap hari diberitakan diserang oleh pasukan tentara
Rusia, disebut juga pasukan Beruang Merah. Seingat saya, semua media pada
waktu itu menyebut pejuang Afghanistan yang berperang memperjuangkan
tanah
airnya
sebagai
Mujahidin.
Sebutan Mujahidin Afghanistan berulang-ulang ditulis, baik di media elektronik
maupun cetak. Sebutan Mujahidin tentu terkesan sangat istimewa bagi orang
Islam pada waktu itu. Pasalnya, konflik di Afghanistan telah membangkitkan
rasa sentimen umat Islam terhadap pemerintah Rusia yang bukan Islam. Fotofoto yang dimuat di surat kabar atau ditayangkan TV dapat membangkitkan rasa
haru dan simpati semua orang. Dan, saya yakin umat non-Muslim pun
bersimpati
terhadap
hal-hal
yang
terjadi
di
Afghanistan.
Sementara itu, sekitar tahun 80-an, berbagai yayasan, persatuan, dan
organisasi masyarakat di Malaysia juga menyediakan dana dari para donator
untuk membantu para Muhajirin (pengungsi) dan Mujahidin Afghanistan, sebagai
rasa
solidaritas
sesama
Muslim.
Sempat terbesit niatan dalam hati untuk pergi ke Afghanistan agar bisa turut
membela nasib umat Islam di sana. Tapi, niatan itu tak pernah terealisasi karena
saya baru berusia 15 tahun dan belum mengetahui prosedur pergi ke
Afghanistan, terlebih bagaimana mendapatkan biayanya. Karena itu, kembali
saya memusatkan perhatian pada pelajaran sekolah, untuk mempersiapkan diri
menghadapi ujian sekolah atau SRP (Sijil Rendah Peperiksaan) yang diadakan
setiap bulan Oktober. Peperiksaan itu sekarang dinamakan PMR (Peperiksaan
Menengah
Rendah).
Maahad
Ittiba'us
Sunnah
Sekitar pertengahan tahun 1984, orang tua membawa saya jalan-jalan ke Kuala
Pilah Negeri Sembilan. Memang saya tidak bisa menolak setiap kali diajak orang
tua berjalan-jalan, sebab saya suka bersiar-siar bak kata pepatah Melayu 'Jauh
perjalanan luas pandangan'. Rupanya saya dibawa ke sebuah masjid tua
bertingkat di tengah sawah di Jalan Seremban Kuala Pilah untuk menghadiri
'Ijtimak',
sebuah
acara
silaturrahmi.
Kami mendengarkan ceramah yang disampaikan oleh para ustadz berpaham
Muhammadiyah yang menamakan diri Ahlus Sunnah Wal Jamaah, dari seluruh
Malaysia. Hadir pada waktu itu seorang mubaligh keturunan Cina Muslim, Ustadz
Husain Yee yang sangat saya kagumi. Saya sangat terkesan karena
keistimewaannya
dalam
menyampaikan
ceramah
agama.
Bagi saya, seorang keturunan Tiong Hoa menyampaikan Islam dengan fasih dan
mudah difahami, sungguh merupakan sesuatu yang istimewa. Bahkan, pada
acara itu juga diadakan pembacaan Al-Quran dan diterjemahkan tanpa
menggunakan kitab Al-Quran terjemahan. Bagi saya, hal ini merupakan sebuah
keajaiban dan keistimewaan tersendiri, sebab ia tidak pernah belajar di sekolah
agama tetapi memiliki kemampuan menterjemahkan Al-Quran dengan baik.
Saya jadi teringat pada Pak Tambi, teman orang tua saya yang mengajarkan
pelajaran harfiah menterjemahkan Al-Quran di rumahnya di Johor Bahru
Malaysia. Ketika saya masih di duduk kelas 3 Sekolah Menengah, dua kali dalam
seminggu orang tua mengantarkan saya dan Ummu Asma (adik) ke rumahnya.
Tetapi sayangnya saya tidak begitu sungguh-sungguh belajar darinya. Rupanya
beliau mempunyai pengetahuan yang sama dengan Maahad Ittiba'us Sunnah
Kuala Pilah dalam ilmu menterjemahkan Al-Quran. Beliaulah orang tua yang
pertama kali mengajarkan dan memperkenalkan kepada saya asas bahasa Arab
dan
menterjemahkan
Al-Quran.
Usai mendengar ceramah dari para ustaz pada acara silaturrrahmi di Maahad
Ittiba'us Sunnah tersebut, entah bagaimana, tanpa ada orang yang
mempengaruhi dan mendorong saya, tiba-tiba timbul niatan untuk mendalami
pengetahuan agama Islam. Terbetik keinginan untuk membela paham Ahlus
Sunnah wal Jamaah dan menjelaskan kepada Umat Islam yang telah banyak
melakukan amalan-amalan ibadah namun bercampur dengan bid'ah, yaitu amal
ibadah
yang
tidak
dituntunkan
oleh
Syariat
Islam.
Padahal, bagi saya pelajaran agama Islam di sekolah menengah merupakan
pelajaran yang sangat berat. Saya selalu didenda dan dihukum oleh guru agama
karena sering tidak mengerjakan atau menyempurnakan PR menulis ayat-ayat
suci Al-Quran dan Hadis Nabi. Hal itu justru membuat saya tidak suka dengan
kelas pelajaran agama Islam di sekolah, bukan tidak suka dengan agama Islam.
Kekurangmampuan saya membaca Al-Quran dan menulis Jawi (tulisan Arab)
itulah yang membuat pelajaran agama Islam tersebut menjadi beban bagi saya.
Paham Muhammadiyah yang saya pahami pada waktu itu adalah sebagaimana
yang dipahami orang-orang yang memegang paham Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Tetapi, kebanyakan orang di Malaysia pada waktu itu sering kali mengatakan
bahwa paham yang diyakini oleh Muhammadiyah adalah paham Wahabiy atau
paham kaum muda. Tak dapat dipungkiri, akibat dari sikap yang keras tanpa
toleransi serta menghormati perbedaan pendapat dan paham sesama Muslim,
hanya akan menyebabkan timbulnya kebencian satu dengan yang lain. Padahal
tidak ada perbedaan yang mendasar antara kaum tua dan muda yang samasama Muslim. Perbedaan yang terjadi hanyalah di tingkat pendapat (fatwa)
dalam
masalah
furu'iyah
(cabang)
saja.
Wallahu
a’lam.
Dalam perjalanan pulang ke Johor Bahru usai acara ijtimak di Maahad Ittiba'us
Sunnah, saya sampaikan niat untuk berhenti sekolah kepada orang tua saya; hal
itu disaksikan oleh Pak Mat Dollah yang berada dalam satu mobil. Saya katakan
bahwa saya akan menyelesaikan sekolah sampai akhir tahun tingkatan 3 dan
berniat berhenti sekolah setelah peperiksaan SRP (Sijil Rendah Peperiksaan).
Lulus atau tidak pada peperiksaan SRP itu, saya tetap mau berhenti sekolah dan
belajar di Maahad Ittiba'u Sunnah di Kuala Pilah. Keinginan tersebut disetujui
oleh orang tua saya yang memang tidak pernah memaksa anak-anaknya untuk
sekolah. Meski demikian, mereka tidak pernah bosan memberikan nasihat dan
dorongan, bahkan pilihan kepada anak-anaknya yang seandainya sudah tidak
mau bersekolah lagi agar lebih baik bekerja membantu keluarga.
Sehari setelah kertas terakhir peperiksaan SRP di sekolah menengah pada akhir
Oktober 1984, saya minta izin kepada orang tua untuk berangkat ke Kuala Pilah
Negeri Sembilan. Saya sudah tidak peduli lagi dengan hasil peperiksaan SRP dan
lebih terpikat pada Maahad Ittiba'u Sunnah meski tidak pandai membaca AlQuran dan menulis Jawi (arab melayu). Maahad Ittiba'us Sunnah adalah sebuah
masjid yang terletak di Bt 1½ Jalan Seremban Kuala Pilah Negeri Sembilan.
Sekarang lebih dikenal dengan Jalan Lama ke Seremban. Seremban adalah
bandar
(ibukota)
Negeri
Sembilan.
Perkampungan di sekitar Maahad Ittiba’u As-Sunnah (Kursus Menterjemah AlFurqan) oleh penduduk di sekitar Kuala Pilah lebih dikenal dengan nama 'Parit'.
Maahad Ittiba As-Sunnah adalah sebuah Masjid yang digunakan sebagai tempat
belajar menterjemahkan Al-Quran yang disebut juga Kursus Menterjamah AlFurqan. Dipimpin oleh Mudir Maahad bernama Ustaz Hashim A Ghani (guru yang
banyak membimbing saya memahami Al-Quran), Maahad itu terkenal dengan
pelajaran menerjemahkan Al-Quran dengan cepat. Metodenya itu juga disebut
dengan menterjemah Al-Quran secara harfiyah. Sistem pelajaran yang mudah
dan cepat tersebut juga menarik perhatian para mahasiswa untuk mengisi
waktunya dengan turut belajar menterjemahkan Al-Quran. Mahasiswa perguruan
tinggi yang paling banyak datang ke sana pada waktu itu adalah dari UPM, UM,
UKM,
dan
juga
dari
universitas
yang
lain.
Masjid yang juga maahad itu menampung pelajar yang jumlahnya tidak
menentu, terkadang banyak dan terkadang sedikit. Yang paling banyak jika
datang musim libur sekolah menengah dan perguruan tinggi, jumlahnya bisa
mencapai 60-80 orang atau sedikitnya 25-40 orang. Ukuran masjid tidak terlalu
besar sehingga tidak mampu menampung pelajar dalam jumlah besar. Bilik-bilik
tidur untuk para pelajar berada di sekeliling masjid tetapi jumlahnya tidak
banyak, sehingga sebagian pelajar harus menggunakan ruang shalat untuk
tidur. Sementara untuk makan siang dan malam disediakan oleh Ibu Yam,
seorang dermawan dari kampung setempat. Khusus makan malam pada hari
Kamis, para pelajar mendapat sumbangan dari beberapa orang penduduk
kampung
sebagai
sadaqah.
Maahad atau masjid ini memberi peluang belajar kepada semua lapisan umur.
Tidak ada kewajiban mengenakan pakaian seragam, tidak ada program 24 jam
bagi yang tinggal di Maahad, dan tidak ada pembagian kelas menurut umur atau
tingkat belajar. Siapa saja boleh hadir untuk belajar atau sekadar mendengarkan
pelajaran yang diberikan. Bahkan para siswa diperbolehkan mengikuti pelajaran
tersebut jika mereka mampu. Dengan begitu, di dalam kelas belajar akan
kelihatan siswa dari berbagai umur. Begitu juga tidak ada ketentuan masa waktu
belajar yang pasti di Maahad Ittiba As-Sunnah. Sistemnya bak pepatah 'siapa
cepat
dia
dapat'.
Pelajaran utama adalah pelajaran Harfiyah yang memerlukan ketekunan pelajar
untuk berlatih setiap waktu menerjemahkan Al-Quran dengan bantuan kamus
terjemahan Al-Furqan tulisan Mudir Maahad Ittiba'u Sunnah. Selain itu terdapat
juga mata pelajaran yang lain seperti Ilmu Nahwu dan Ilmu Saraf (keduanya
tatabahasa Arab), Hadis Nabi (buku Bulughul Maram dan Subulus Salam sebagai
kajian) dan Kajian hukum-hukum Hadis, Tafsir dan Ushulul Tafsir, Ushul Fikih,
Ulumul
Quran,
dan
lain-lain.
Kelas di Maahad mungkin dapat diklasifikasikan menjadi kelas senior, kelas
junior, dan kelas gabungan. Pada waktu-waktu tertentu setiap minggu diadakan
pengajian umum untuk penduduk kampung yang juga dihadiri oleh para pelajar
Maahad itu. Saya sendiri sempat mengajar di Maahad Ittiba As-Sunnah itu pada
awal tahun 1986 hingga akhir 1987, yaitu setelah setahun belajar. Kemudian
pada tahun berikutnya saya mulai mengajar kelas junior sambil belajar di kelas
senior. Saya juga diangkat menjadi ketua pelajar di Maahad itu.
Dua tahun berada di Maahad Ittiba'us Sunnah tersebut saya ditugaskan untuk
mengajar kelas senior dan junior untuk mata pelajaran Harfiyah menterjemah
Al-Quran dan tatabahasa Arab (Nahwu dan Saraf). Mengingat kesibukan di siang
hari untuk mengajar, maka saya manfaatkan waktu malam hari untuk
menambah pengetahuan dengan mendatangi rumah mudir Maahad, Ustadz
Hashim A Ghani. Saya belajar dan mempertanyakan kepadanya berbagai
permasalahan yang saya dapatkan dari buku-buku. Di samping itu, saya juga
mendalami
pengetahuan
tersebut
secara
otodidak.
Hasrat
belajar
ke
luar
negeri
Saya pernah meminta kepada Mudir Maahad Ittiba'us Sunnah untuk mencarikan
peluang melanjutkan belajar ke negara Arab guna memperdalam pengetahuan
tentang agama Islam. Sayangnya dia belum mendapatkan akses setelah sekian
lama menunggu sehingga saya berniat pergi keluar negeri dengan cara belajar
ke sekolah Arab di Johor Bahru, Malaysia. Dengan bantuan orang tua, saya
mendaftarkan diri ke sekolah Arab di Kampung Melayu Majidee Johor Bahru
Malaysia pada pertengahan tahun 1987. Saya berharap dapat masuk ke kelas 6
dan langsung mengambil ujian. Namun, kenyataannya saya dimasukkan ke
kelas 3. Di dalam kelas saya menjadi rujukan pelajaran bagi teman-teman
sekelas, sebab saya sudah memahami semua pelajaran di kelas tersebut.
Bahkan seandainya diminta mengajarkannya, saya mampu melakukannya.
Perasaan bosan dengan suasana sekolah yang berbeda dengan Maahad Ittiba'u
Sunnah membuat saya merasa rindu dengan Maahad Ittiba'us Sunnah. Itulah
sebabnya saya hanya bertahan sekitar dua bulan di bangku sekolah Arab itu.
Sementara itu, teman-teman orang tua saya menyarankan agar saya kembali ke
Maahad Ittiba'u Sunnah Kuala Pilah. Pasalnya, mereka mendengar bahwa Ustadz
Hashim A Ghani sudah mempunyai akses untuk mengirim pelajar ke luar negeri.
Tanpa berpikir panjang, saya menuruti saran mereka dengan harapan dapat
dikirim
ke
negara
Arab
untuk
melanjutkan
pendidikan.
Antara
dua
pilihan
sekolah
Pada bulan Desember 1984, adik perempuan saya, Ummu Asma, mengingatkan
agar saya melihat hasil keputusan SRP (Sijil Rendah Pelajaran) tingkatan 3 yang
diumumkan di sekolah. Namun, saran itu tak saya hiraukan karena sudah
telanjur jatuh hati pada pelajaran yang ada di Maahad Ittiba'u Sunnah. Saya pun
hanya meminta Ummu Asma untuk melihat dan menginformasikan kepada saya
hasil keputusan ujian itu. Saya sudah berniat jauh hari untuk tidak melanjutkan
sekolah menengah lagi sehingga saya menolak pindah sekolah ke sekolah
menengah di Kuala Pilah sambil belajar di Maahad Ittiba'u Sunnah sebagaimana
yang disarankan oleh Ustadz Hashim A Ghani setelah ia mengetahui hasil Ujian
SRP
saya.
Saya katakan kepadanya, jika saya belajar di dua sekolah dalam waktu
bersamaan, maka pasti salah satunya akan ketinggalan atau menjadi lemah
serta mendapatkan prestasi buruk. Pertimbangan dan keputusan itu tentu
berdasarkan ukuran kemampuan yang saya miliki. Maka saya lebih memilih
berkonsentrasi pada pelajaran yang ada di Maahad Ittiba'u Sunnah. Mudir
Maahad Ittiba'us Sunnah sekali lagi mengingatkan saya agar tidak menyesal di
kemudian hari karena tidak melanjutkan pendidikan ke tingkatan 4, seterusnya
ke angkatan 5 untuk mengambil peperiksaan SPM (Sijil Peperiksaan Menengah).
Saya katakan kepadanya bahwa saya insya Allah tidak akan menyesal di
kemudian hari karena yakin Allah SWT tidak akan membiarkan saya tanpa rezeki
dari-Nya.
Ternyata saya keliru dengan ucapan itu. Memang benar Allah SWT akan
memberikan rezeki kepada semua makhluk ciptaan-Nya di dunia, baik kepada
yang Muslim maupun yang non-Muslim. Sedangkan Sijil atau sertifikat hasil
ujian itu hanyalah salah satu penyebab dan jalan atau alternatif bagi seseorang
mendapatkan rezeki yang sewaktu-waktu diperlukan. Wallahu a’lam.
Orang-orang
Indonesia
pada
pandangan
pertama
Pada awal tahun 1985, setelah tiga bulan saya menuntut ilmu di Maahad Ittiba'u
Sunnah, sekitar 50 orang dari Indonesia datang ke Malaysia. Itulah pertama kali
saya bertemu dan berkenalan dengan orang dari Indonesia. Dijelaskan oleh
Mudir Maahad Ittiba'u Sunnah dalam Majelis perkenalan bahwa mereka datang
untuk mempelajari sistem pendidikan Islam yang ada di Malaysia, atau yang
mereka istilahkan dengan studi banding. Peristiwa inilah yang kemudian kelak
diakui oleh Hilmy Bakar Almascaty ketua DPP FPI dalam tulisan opininya di
Harian Republika edisi 4 Mei 2004, yang berbunyi "Pada awal 1985, penulis
dengan beberapa rekan mahasiswa berkunjung ke Pondok Pesantren ini".
Saya melihat kebaikan akhlak serta budi pekerti yang ada pada orang-orang
Indonesia itu, terutama setelah saya bertemu dengan Ustadz Abdul Halim di
Maahad Ittiba'us Sunnah yang biasa disapa oleh anggota rombongan lain
dengan panggilan Abah. Pertama kali saya mengira bahwa orang yang
memanggilnya Abah adalah anak beliau, tetapi ternyata bukan demikian. Saya
kemudian menyadari bahwa Abah adalah panggilan hormat selaku orang tua.
Namun saya tidak terbiasa memanggil beliau dengan panggilan Abah, melainkan
Ustaz. Belakangan, sekitar tahun 1998, saya baru mengetahui nama beliau di
Indonesia
adalah
Abdullah
Sungkar.
Saya juga bertemu dengan Ustadz Abdus Somad di Maahad Ittiba'us Sunnah,
yang biasa dipanggil oleh orang-orang Indonesia pada waktu itu dengan
panggilan Ustadz Abu. Sempat terlintas di pikiran saya mengapa orang-orang
Indonesia itu memanggil Ustadz Abdus Somad dengan panggilan Ustadz Abu?
Hampir semua orang-orang Indonesia yang bersamanya memanggil beliau
dengan nama Ustadz Abu. Baru sekitar tahun 1997 saya mengetahui bahwa
kebiasaan mereka di Indonesia memanggil Ustadz Abdus Somad dengan
singkatan Ustadz Abu. Sebelum menyeberang ke Malaysia pada awal 1985, di
Indonesia beliau lebih dikenal dengan nama Ustadz Abu Bakar Baasyir.
Sekali lagi, tulisan opini Hilmy Bakar Almascaty, ketua DPP FPI, di Harian
Republika edisi 4 Mei 2004 tentang kehadiran Ustadz Abdus Somad di Maahad
Ittiba'us Sunnah, berbunyi: “Di antara yang pernah datang pada saat penulis
nyantri (di Maahad Ittiba'u Sunnah) adalah tokoh Muhammadiyah Indonesia,
Lukman Harun dan beberapa tokoh gerakan Indonesia, termasuk Abu Bakar
Ba'asyir.”
Perkenalan saya dengan orang-orang Indonesia pada tahun 1985 itu termasuk
antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Pak Adung, pada sekitar bulan Juni 2004 setelah beliau ditahan oleh
pihak Polri. Saya mendengar langsung penjelasan darinya bagaimana
beliau menyembunyikan Noordin M. Top dan Azahari sejak sekitar bulan
November 2003.
Abu Jibril, melalui media saya mengetahui beliau pernah menjadi
tahanan ISA di Malaysia tahun 2001 hingga 2003 / 2004.
Pak Solihin.
Ustadz Afif, hingga sekarang beliau adalah guru di Ponpes Al-Mukmin
Ngruki.
Pak Agung, melalui media saya mengetahui beliau sekarang tahanan
ISA Malaysia.
Feri, melalui media saya mengetahui beliau sekarang tahanan ISA
Malaysia.
Saiful, (almarhum).
Pak Ristan (almarhum).
Ternyata mereka semua adalah para mubaligh yang banyak mengetahui tentang
agama Islam (penilaian saya pada waktu itu). Mereka ramah dan suka
berbincang tentang agama Islam. Malah di antara mereka ada yang membawa
buku-buku bacaan untuk dijual. Kebanyakan buku-buku tentang gerakan Islam,
seperti buku tulisan Hasan al-Banna, Ikhwanul Muslimin, buku kisah-kisah
perjuangan Mujahidin Afghanistan, buku-buku Jihad Islamiy, buku-buku Aqidah
dan Tauhid dan berbagai buku fiqih Ibadah. Saya sering membeli dan meminjam
buku-buku dari orang-orang Indonesia itu atau dari ustadz (panggilan kepada
sebagian
dari
mereka).
Yang menarik perhatian saya adalah kehidupan sehari-hari mereka yang
mengaku sebagai mahasiswa, datang untuk studi banding. Tetapi yang saya
heran, setelah beberapa hari mereka menginap di Maahad Ittiba'us Sunnah,
mengapa mereka sampai mencari tempat tinggal dan
bekerja, dan bahkan tidak pulang-pulang ke Indonesia?
Meskipun pada waktu itu saya baru berumur 15 tahun,
namun saya dapat memperhatikan dan mempertanyakan
'keanehan' (menurut saya) yang terdapat pada orangorang
Indonesia
itu.
Ustadz Zainun (guru di Maahad Ittiba'u Sunnah) dan
Ustadz Hasyim pernah mengatakan bahwa orang-orang
Indonesia ini melarikan diri dari Indonesia. Saya
sebenarnya tidak memahami apa yang dimaksudkan oleh kedua orang guru itu
yang kemudian saya anggap sebagai angin lalu. Saya berfikir lebih baik mereka
tinggal di Malaysia daripada ditangkap di Indonesia. Tetapi kemudian setelah
saya berada di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan bersama-sama dengan
orang-orang Indonesia pada akhir tahun 1987, mereka menjelaskan kepada
saya bahwa orang-orang Indonesia yang menyeberang ke Malaysia pada awal
tahun 1985 itu adalah orang-orang NII yang berusaha menyelamatkan diri dari
ditangkap
oleh
aparat
Indonesia.
Kisah pelarian dan penyeberangan orang-orang Indonesia ke Malaysia dikuatkan
lagi oleh pengakuan Hilmy Bakar Almascaty ketika berdialog di kantor Majalah
Gatra Jakarta pada 25 Mei 2004. Ia menceritakan pengalamannya ketika
melarikan diri ke Malaysia secara ilegal pada awal tahun 1985, bersama-sama
Ustadz Abu Bakar Baasyir menyeberang dalam satu perahu. Saya heran dengan
Hilmy Bakar Almascaty sewaktu acara dialog itu yang menantang untuk
bermubahalah (ritual pembuktian kebohongan) untuk membuktikan bahwa saya
yang berbohong. Sepengetahuan saya, Hilmy Bakar Almascaty telah melakukan
penyelewengan istilah mubahalah dari ayat Allah SWT yang digunakannya. Saya
teringat dengan firman Allah SWT yang termaktub dalam Al-Quran Surah Ali
Imran
ayat
61.
Artinya: Siapa yang membantahmu tentang kisah ‘Isa sesudah datang ilmu
(yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): “Marilah kita
memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri
kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada
Allah dan kita minta supaya la’nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang
dusta.”
(Ali
Imran:
61).
Pertama
kali
mengenal
kata
jihad
Kata jihad sudah saya kenal sejak di bangku sekolah menengah. Tetapi saya
tidak tahu arti jihad yang sebenarnya. Seringkali pada waktu itu saya
mengartikan jihad sebagai perang dalam Islam. Ketika mulai belajar di Maahad
Ittiba'u Sunnah di Kuala Pilah barulah saya mengerti arti jihad itu melalui
penjelasan
guru
tafsir,
Ustadz
Hashim
A
Ghani.
Setiap malam saya bersama dua atau tiga orang teman datang ke rumahnya
dengan membawa berbagai macam buku bacaan pilihan, di antaranya adalah
buku Fiqih Jihad yang berdasarkan kepada ayat-ayat Al-Quran dan Hadis Nabi
Muhammad SAW tentang jihad. Ustadz Hashim A Ghani memberikan penjelasan
dengan sejelas-jelasnya, namun ketika ditanya tentang kewajiban berangkat
pergi berjihad ke Afghanistan sampai mengorbankan jiwa sendiri, beliau
mengatakan bahwa kewajiban itu sudah dilaksanakan oleh rakyat Afghanistan.
Sementara para pendakwah dari Malaysia (santri Maahad Ittiba'us Sunnah)
punya kewajiban untuk menjalankan dakwah di Malaysia. Pada saat itu saya
hanya menerima jawaban Ustadz Hashim A Ghani sebagai pendapat pribadi.
Tetapi saya keliru ternyata beliau seorang yang bijaksana dan banyak
pengetahuannya.
Pada waktu yang lain saya menyediakan waktu untuk bersilaturrahmi dengan
mendatangi ustadz-ustadz dari Indonesia yang berada di Kuala Pilah untuk
menimba ilmu pengetahuan yang tidak saya dapatkan penjelasannya di Maahad.
Saya ingin mendengar penjelasan dan berguru dari beberapa orang di luar
tenaga
pengajar
yang
ada
di
Maahad
Ittiba'u
Sunnah.
Di antara ustadz (orang Indonesia) yang pernah saya datangi sambil membawa
buku untuk berguru dan meminta penjelasan serta bertanya tentang berbagai
macam persoalan agama di Kuala Pilah Malaysia adalah Ustadz Abdul Halim,
Ustadz Abdus Somad, Ustadz Afif, Ustadz Abu Jibril, Ustadz Solihin, dan Ustadz
Saiful (alm). Saya meminta mereka menjelaskan berbagai persoalan agama
Islam termasuk permasalahan ibadah sehari-hari dan masalah Jihad Fisabilillah.
Di antara mereka juga ada yang menjadi pengajar sementara di Maahad Ittiba'u
Sunnah, seperti Ustadz Afif yang mengajar tatabahasa Arab (Nahwu dan Saraf).
Kemudian jika Hilmy Bakar Almascaty mengatakan pernah mengajar di Maahad
Ittiba'u Sunnah pada tahun 1985 karena dia pelajar senior, sebagaimana
pengakuannya dalam tulisan opininya di Republika edisi 4 Mei 2004: “… penulis
termasuk santri yang senior, kadang kala ditugaskan untuk menggantikan dosen
yang berhalangan…” adalah berbeda dengan apa yang saya alami. Seingat saya
dia datang pada awal tahun 1985, sedangkan saya datang ke Maahad Ittiba'us
Sunnah pada bulan Oktober 1984. Kemungkinan Hilmy Bakar Almascaty terlupa
siapa
yang
senior
dan
yang
junior.
Hilmy hanya mengajar selama beberapa hari saja tentang pengetahuan yang
pernah dipelajarinya di Indonesia, bukan mengajarkan materi pelajaran yang
diajarkan di Maahad Ittiba'us Sunnah. Karena itu saya tidak begitu ingat Hilmy
Bakar Almascaty yang mengaku pernah mengajar di Maahad Ittiba'us Sunnah
dan pelajaran apa yang diajarkannya. Yang jelas bukan pelajaran yang diajarkan
oleh Mudir Maahad, Ustadz Hashim A Ghani. Sedangkan Hilmy Bakar Almascaty
ketika datang ke Malaysia pada awal 1985, memperkenalkan dirinya dengan
nama samaran yaitu Haikal bukan Hilmy. Entah mengapa Hilmy Bakar
Almascaty tidak berani memperkenalkan namanya yang benar pada waktu itu,
mudah-mudahan
bukan
berniat
untuk
berbohong.
Di samping mendapatkan penjelasan lisan dari para ustadz yang saya datangi,
saya juga banyak membaca buku-buku bacaan berbahasa Indonesia dan
berbahasa Malaysia. Buku-buku itu menjelaskan tentang hukum-hukum Jihad
dan kisah-kisah Jihad Nabi Muhammad SAW serta para Sahabat-sahabatnya
(seperti buku Hayatus Sohabah) Saya juga membaca buku kisah Jihad Mujahidin
Afghanistan (di antaranya adalah terjemahan dari bahasa Arab). Buku-buku
tersebut saya pinjam atau beli dari orang-orang Indonesia yang tinggal di Kuala
Pilah yang di antara mereka menjual berbagai macam buku bacaan Islamiy.
Tawaran
ke
Afghanistan
Setelah berhenti dari Sekolah Arab Majidee Johor Bahru (hanya sempat belajar
sekitar sebulan atau dua bulan) saya datang kembali ke Maahad Ittiba'u Sunnah.
Sebelumnya saya mendengar bahwa ada seorang dari teman saya yang
bernama Mat Beduh akan berangkat melanjutkan belajar ke luar negeri, tetapi
saya tidak tahu negara yang akan ditujunya. Sekitar bulan September 1987, Pak
Ristan almarhum (orang Indonesia yang datang ke Malaysia pada awal 1985)
berjumpa saya di Maahad Ittiba'u Sunnah. Dia menanyakan apakah Ustadz
Hashim A Ghani telah menyampaikan pesan darinya untuk saya. Saya katakan
bahwa saya tidak paham apa yang dimaksudkan oleh Pak Ristan. Dia kemudian
meminta saya menemui Ustadz Hashim A Ghani untuk menanyakan isi pesan
yang dimaksudkan. Dengan penuh penasaran saya langsung mendatangi rumah
Ustadz
Hashim
A
Ghani
sebelum
waktu
Zuhur.
Ustadz Hashim A Ghani tidak langsung menjelaskan pesan dari Pak Ristan yang
ingin saya ketahui. Dia berdiam diri agak lama. Baru selepas shalat Zuhur
berjamaah di rumahnya dan makan siang bersamanya, Ustadz Hashim A Ghani
membuka cerita dengan sebuah pertanyaan kepada saya. Katanya, “kamu mau
ke Afghanistan atau ke Perlis?” Dengan cepat pikiran saya terbayang kisah Jihad
dan Mujahidin Afghanistan dan juga terbayang kisah teman saya yang dikirim
bertugas mengajar di Perlis (salah satu negara bagian di Malaysia). Dalam waktu
hitungan detik saya tidak percaya akan tawaran dan pertanyaan yang diajukan
kepada
saya
tersebut.
Bagaikan bulan jatuh ke riba dan bahkan tidak percaya; seolah mimpi menjadi
kenyataan. Dalam hitungan detik saya teringat bagaimana kisah seorang ustadz
dari Maahad Ittiba'us Sunnah yang mengajar di sebuah Maahad besar di Perlis
(saya lupa nama maahad itu) lengkap dengan berbagai fasilitasnya. Sebelumnya
saya juga pernah berharap supaya dipilih dan dikirim ke Perlis untuk mengajar
di
Sana.
Saya melihat wajah Ustadz Hashim A Ghani sepertinya mengharap agar saya
tetap membantunya mengajar di Maahad Ittiba'u Sunnah atau saya berangkat
ke Perlis mengajar di Maahad di sana. Tetapi saya sudah tidak dapat menguasai
rasa kegembiraan karena nama Afghanistan telah lebih mendominasi pikiran.
Terlebih perasaan hati lebih mendorong untuk berangkat ke Afghanistan sebab
rasa ingin tahu dan ingin mengalami sendiri suasana Jihad yang selama ini
hanya dapat dibaca di buku-buku dan surat kabar harian saja. Saya sudah
membayangkan suasana perang bersama Mujahidin Afghanistan yang akan saya
alami sendiri dan juga membayangkan bagaimana memegang senjata api serta
mulai merasakan kesedihan yang kemungkinan saya tidak akan kembali lagi ke
Malaysia
karena
gugur
di
medan
pertempuran.
Menurut Ustadz Hashim A Ghani, seluruh pembiayaan ditanggung oleh Ustadz
Abdul Halim. Saya hanya perlu mempersiapkan diri dan mental untuk berjauhan
dari keluarga dalam tempo waktu yang lama. Kemudian saya minta izin kepada
Ustadz Hashim A Ghani untuk pulang ke Johor Bahru guna menemui orang tua
dan meminta izin untuk berangkat ke Afghanistan. Saya tidak boleh berangkat
tanpa pamit kepada orang tua; cara saya selama ini untuk meminta pandangan
dan
izin
dari
orang
tua,
yaitu
ayah
saya.
Keinginan untuk keluar negeri akan menjadi kenyataan seandainya saya
menerima tawaran ke Afghanistan, tetapi seandainya tawaran itu ditolak belum
tentu akan ada tawaran kali kedua. Terlebih lagi orang tua saya tergolong
kurang mampu untuk mengeluarkan biaya guna melanjutkan pendidikan ke luar
negeri. Saya pun berpikir ini adalah kesempatan emas yang tidak boleh
dilepaskan
begitu
saja.
Orang tua saya menerima kenyataan dengan tenang setelah mendengar
penjelasan tentang rencana keberangkatan saya ke luar negeri, yaitu
Afghanistan. Saya katakan bahwa biaya keberangkatan akan ditanggung oleh
Ustadz Abdul Halim, mubaligh asal Indonesia yang juga dikenal orang tua saya.
Orang tua saya memberi dukungan moral sepenuhnya dan mendoakan
keberhasilan
saya
di
Afghanistan.
Niat saya hanyalah ingin bersama-sama dengan Mujahidin Afghanistan membela
dan mempertahankan tanah air mereka yang menurut berita yang tersebar pada
waktu itu, dikuasai oleh tentera Rusia. Sebenarnya saya bukanlah orang yang
punya kemampuan lebih untuk membantu Mujahidin Afghanistan. Apatah lagi
umur saya pada waktu itu baru meningkat delapan belas tahun, tetapi semoga
dengan kehadiran saya dapat menambah jumlah pasukan Mujahidin
Afghanistan. Tiada bekal materi yang dibawa dari rumah melainkan hanyalah
bekal doa restu dari ayah. Sementara ibu tidak mengerti tujuan saya ke
Afghanistan. Ia hanya mengetahui saya kembali ke Kuala Pilah dan mendoakan
selamat tiba di Kuala Pilah. Saya tidak sampai hati memberitahu ibu akan tujuan
yang telah dipilih sebab saya khawatir ibu akan merasa sedih. Belakangan ibu
hanya
mengetahui
bahwa
saya
belajar
di
Pakistan.
Persiapan
keberangkatan
ke
Afghanistan
Hanya beberapa hari saja (sekitar awal Oktober 1987) berada di rumah orang
tua saya di Johor Bahru yang kemudian saya kembali ke Kuala Pilah menemui
Pak Ristan. Saya menyatakan kesiapan diri untuk berangkat dan
memberitahukan sudah pamit kepada orang tua. Saya kemudian disuruh pergi
ke rumah Saiful (alm) di Kuala Pilah untuk bergabung dengan empat belas orang
yang dikatakan akan berangkat bersama-sama ke Afghanistan. Ternyata di
rumah itu juga ada orang yang saya kenal dengan baik yaitu Mat Beduh (orang
Malaysia) yang juga ikut serta di dalam rombongan saya untuk berangkat ke
Afghanistan. Barulah saya ingat bahawa Mat Beduh yang kabarnya mendapatkan
peluang melanjutkan pendidikan ke luar negeri itu adalah sebenarnya akan
berangkat
ke
Afghanistan.
Saya gembira sebab bukan saya sendiri dari warganegara Malaysia yang akan
berangkat. Namun saya tidak mengerti ketika teman-teman Indonesia satu
rombongan yang akan berangkat itu mengatakan bahwa kami berdua adalah
orang Malaysia pertama yang akan diikutsertakan dalam program Jihad ke
Afghanistan. Saya tidak mempertanyakan lebih mendalam mengapa hanya kami
berdua orang Malaysia. Sementara tiga belas orang yang lain dari Indonesia dan
mengapa kami berdua adalah orang pertama yang dipilih dan ditawarkan untuk
berangkat ke Afghanistan. Bagi saya yang paling penting adalah saya dapat
berangkat dan menginjakkan kaki di Afghanistan. Kalau saya banyak bertanya
dan cerewet (rewel) kemungkinan akan digugurkan dari rombongan (yang akan
berangkat) maka sikap yang lebih baik adalah ikuti saja apa yang telah
ditetapkan
oleh
Pak
Ristan.
Meski sudah saling berkenalan dengan teman-teman yang nantinya menjadi satu
rombongan dengan saya, tidak terlintas di pikiran untuk menanyakan kelompok
apakah
mereka
yang
datang
dari
Indonesia
ini?
Siapakah
yang
memberangkatkan mereka? Apakah tujuan mereka berangkat? Dari manakah
biaya ongkos perjalanan didapatkan? Rasa kegembiraan yang timbul karena
dapat berangkat bersama-sama menutupi semua keraguan dan kecurigaan
sampai-sampai tidak perlu menanyakan lagi yang macam-macam dan juga kalau
dapat secepat mungkin diberangkatkan lalu esoknya tiba di Afghanistan.
Dalam hari-hari menunggu keberangkatan, saya dinasihati agar tidak
memberitahu kepada sesiapapun tentang rencana pemberangkatan ke
Afghanistan serta tidak memberitahu akan keberadaan tiga belas orang
Indonesia yang akan menjadi satu rombongan. Saya tidak diberitahu alasan
mengapa harus menutup mulut untuk tidak menceritakan kepada siapa saja. Pak
Ristan mengingatkan jika rencana pemberangkatan diketahui banyak orang,
maka
ada
kemungkinan
akan
digagalkan.
Saya mencoba memahami apa yang dimaksudkan harus menjaga rahasia, yaitu
supaya pemberangkatan nanti ke Afghanistan tidak akan ada halangan yang
melintang. Inilah pengalaman pertama saya menghindari berbagai pertanyaan
teman-teman di Kuala Pilah serta mengalihkan perhatian mereka terhadap saya
yang akan berangkat ke Afghanistan. Dengan kata lain saya mulai diajar
berbohong untuk membela kepentingan suatu kelompok (rombongan yang akan
berangkat)
bukan
bohong
untuk
kepentingan
diri
sendiri.
Ternyata Pak Ristan juga bukan nama yang biasa dikenal di Indonesia, menurut
teman-teman serombongan saya mengatakan bahwa nama Ristan adalah
kebalikan dari nama Natsir, yaitu namanya di Indonesia. Beliaulah yang
mengatur proses pemberangkatan orang-orang NII ke Pakistan lewat Malaysia di
bawah pengaturan Ustadz Abdul Halim. Dan beliau jugalah yang memberikan
saya nama Sulaiman yang menurutnya setiap orang yang akan berangkat ke
Afghanistan harus mengubah nama. Ini untuk menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan pada masa mendatang. Inilah pengalaman saya pertama kali harus
mengubah nama. Saya tidak membantah sebab jika memang mengubah nama
termasuk
persyaratan
berangkat
ke
Afghanistan.
Berbaiat
sebelum
berangkat
ke
Afghanistan
Pada malam hari sebelum hari keberangkatan ke Subang, Kuala Lumpur, kami
semua sebanyak lima belas orang yaitu rombongan yang akan diberangkatkan
ke Afghanistan berkumpul di rumah Pak Ristan di Serting Negeri Sembilan. Kami
semua duduk membentuk sebuah halaqah (bundaran) bersama Pak Ristan,
kemudian tidak berapa lama datang Ustadz Abdul Halim, Ustadz Abdus Somad
dan Ustadz Hashim A Ghani. Majelis pertemuan dimulai dengan pembukaan oleh
Pak Ristan dan kemudian satu persatu dari rombongan yang akan
diberangkatkan maju ke hadapan duduk menghadap Ustadz Abdul Halim dengan
berjabat tangan sambil menyebutkan kata-kata pendek yang saya tidak begitu
ingat
susunan
tepatnya.
Saya tidak tahu apa yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia ini dan ritual
apakah yang sedang berlangsung di hadapan mata saya sebab kebanyakan di
antara mereka menangis ketika berjabat tangan dengan Ustadz Abdul Halim
sambil menyebutkan kata-kata (yang kemudian setelah berada di Afghanistan
barulah
saya
mengetahui
bahawa
pratik
itu
adalah
berbaiat).
Sebelum tiba giliran saya, sempat terdetik di hati saya untuk tidak melakukan
hal yang sama, yaitu berjabat tangan dengan Ustadz Abdul Halim. Masalahnya,
saya tidak pernah melihat guru saya, Ustadz Hashim A Ghani, Mudir Maahad
Ittiba'us Sunnah, menyuruh atau mengajarkan praktik itu kepada saya rnaupun
murid-muridnya yang lain. Pak Ristan juga tidak pernah memberitahukan bahwa
akan dilaksanakan upacara berjabat tangan dengan Ustadz Abdul Halim sebelum
berangkat. Tetapi saya berpikir kembali jangan sampai karena tidak melakukan
berjabat tangan dengan Ustadz Abdul Halim akan menyebabkan saya tidak
diberangkatkan ke Afghanistan. Karena itu, saya anggap kecil urusan berjabat
tangan itu; bukanlah satu hal yang berat kalau hanya sekadar berjabat tangan.
Lagipun
prosesi
itu
tidak
lebih
dari
tiga
menit
sudah
selesai.
Seingat saya, perkataan yang saya ucapkan ketika berjabat tangan adalah “Aku
berbaiat untuk mendengar dan taat dalam keadaan senang dan susah” atau
dalam bahasa Arabnya “Baya’tuka ‘alas sam’i wat thoah fil ‘usri wal yusri.”
Setelah selesai semua peserta yang akan berangkat mendapatkan giliran
masing-masing berjabat tangan dengan Ustadz Abdul Halim lalu beliau
menyampaikan
sedikit
wejangan
sebagai
bekal
di
hati.
Berangkat
ke
Pakistan
Keesokan harinya, pada pertengahan bulan Oktober 1987, kami semua berlima
belas orang diantar Pak Ristan dengan menaiki mobil menuju ke perumahan di
Subang, Kuala Lumpur. Kami singgah di salah satu ruko (rumah toko) sambil
menunggu jam penerbangan. Di antara mereka, saya adalah orang yang paling
sedikit membawa pakaian dan membawa tas paling kecil, sampai-sampai saya
ditertawakan teman serombongan. Saya heran niengapa teman-teman semua
membawa baju banyak dengan jaket yang tebal-tebal. Saya memang tidak
pernah melihat orang-orang Afghanistan seperti yang dipublikasikan di surat
kabar, majalah, dan televisi memakai pakaian seperti orang-orang di Malaysia
maupun Indonesia. Pastinya pakaian yang dikenakan nanti akan disesuaikan
dengan
para
pejuang
Afghan,
supaya
tidak
kelihatan
asing.
Kemudian saya juga heran mengapa teman-teman membawa peralatan tulis dan
juga peralatan geometris; bukankah rombongan ini akan berangkat perang?
Yang tak kalah mengherankan lagi, mengapa mereka membawa kamus InggrisIndonesia, Indonesia-Inggris, dan kamus Arab. Dalam pikiran saya, apakah ada
waktu untuk belajar sedangkan waktu akan disibukkan dengan perang. Ya
sudahlah, yang penting saya dapat berangkat. Saya tidak peduli dengan urusan
orang yang membawa banyak barang, itu adalah urusan mereka, yang memikul
beban juga mereka sendiri. Kemungkinan juga saya salah melakukan persiapan.
Tetapi tidak mungkin sebab Pak Ristan tidak pernah menyuruh mempersiapkan
perlengkapan
itu
semua.
Pesawat yang dinaiki adalah pesawat Aeroflot, yaitu penerbangan (maskapai)
milik negara Rusia. Inilah pengalaman pertama kali menaiki pesawat, begitu
juga teman-teman serombongan. Kemudian saya berpikir apakah tidak keliru
kami semua dinaikkan ke pesawat Rusia. Bagaimana kalau mereka tahu bahwa
kami semua akan berangkat ke Afghanistan menghadapi pasukan tentara
negara Rusia, pasukan tentara negara mereka? Syukurlah mereka tidak
mengetahui. Kemudian belakangan saya mengetahui dari teman-teman bahwa
pemilihan pesawat Aeroflot adalah karena tiket penerbangannya lebih murah
dibandingkan
dengan
pesawat
yang
lain.
Pesawat berangkat dari Airport Subang, Kuala Lumpur, menuju Pakistan yang
kemudian mendarat di Karachi. Setibanya di Airport Karachi, kami dijemput oleh
orang Indonesia yang fasih berbahasa Pakistan (belakangan saya ketahui
bahasa itu adalah bahasa Urdu dan Parsi). Dia memperkenalkan dirinya dengan
nama Pak Saad. Kami semua dibawa ke sebuah rumah yang disebut Maehmon
Khana (bahasa Afghan) yang bermakna rumah tamu atau ruang tamu. Rumah
itu milik Tanzim Ittihad-e-Islamiy (salah satu organisasi Mujahidin Afghanistan)
yang dipersiapkan untuk urusan organisasi Tanzim Ittihad-e-Islamiy di Karachi
bagi menjemput para tetamu Mujahidin yang mendarat di Karachi Pakistan.
Dalam perkenalan di Maehmon Khana saya mengetahui bahwa Pak Saad adalah
orang yang sudah lama di Pakistan dan Afghanistan. Dia berbicara dengan
orang-orang Afghan yang berada di rumah itu dengan menggunakan bahasa
setempat, sangat menakjubkan sekali. Beliau sudah berada di Pakistan dan
Afghanistan sejak akhir 1984 atau awal 1985. (Belakangan saya ketahui sekitar
tahun 2002 bahwa Pak Saad biasa dipanggil oleh teman-temannya di Indonesia
dengan nama Abu Hadid. Tetapi ketika kasus Bom Bali 12 Oktober 2002
ternyata
nama
yang
tertera
di
berita
adalah
Ahmad
Roichan).
Harus
belajar
dan
berlatih
Keesokannya dari kota Karachi kami berangkat menuju Peshawar dengan
menaiki bus yang memakan waktu dua malam. Kemudian saya dan temanteman dibawa Pak Saad ke perkampungan Muhajirin (pengungsi) Afghanistan di
Pabbi, yaitu sebuah kawasan luas bertanah gersang di Pakistan. Di sana kami
ditempatkan di sekolah menengah militer milik Tanzim Ittihad-e-Islamiy yang
menurut bahasa Afghan dinamakan Harbiy Sohanjay. Rasa sedih dan rasa
simpati timbul memuncak ketika melalui kemah-kemah muhajirin yang
memprihatinkan dan bangunan-bangunan yang dibangun dari tanah dan
tumpukan batu untuk tempat tinggal kebanyakan para muhajirin Afghanistan.
Perasaan kasihan membangkitkan semangat untuk membela nasib umat Islam
Afghanistan
yang
terusir
dari
kampung
halaman
mereka.
Ketika tiba di Harbiy Sohanjay, saya mendengar suara sorakan kegembiraan dan
seruan takbir dari orang-orang yang sebangsa dan serumpun yaitu yang
berbeda dari orang Afghan. Mereka adalah orang-orang Indonesia yang telah
lama berada di Afghanistan dan Pakistan. Sebagian dari mereka langsung
memeluk teman serombongan saya, sepertinya mereka sudah saling kenal
ketika di Indonesia dan bahkan di antara mereka menggunakan bahasa yang
asing bagi saya yang belakangan saya ketahui bahwa bahasa itu adalah bahasa
Jawa dan bahasa Sunda dan ada juga yang menggunakan bahasa Lombok. Saya
dan Mat Beduh terkadang tertawa dan tersenyum sendiri sebab kami anggap
lucu dan kami berdua tidak begitu paham dengan bahasa orang Indonesia itu.
Tetapi jika mereka berbicara dengan kami berdua, mereka menggunakan bahasa
Nasional
Indonesia.
Saya dan Mat Beduh disambut oleh mereka dengan gembira kerena kami berdua
adalah orang Malaysia yang pertama datang ke situ. Semua ingin berkenalan
dan mengajukkan (menirukan) bahasa Malaysia seolah-olah di antara mereka
pernah tinggal di Malaysia. Saya perhatikan setiap gerak, tingkah, dan
mendengarkan orang-orang Indonesia yang saling menanyakan kabar kampung
halaman mereka (Indonesia). Belakangan saya tahu bahwa mereka sudah
hampir tiga tahun tidak pulang kampung, betapa rindunya mereka dan betapa
gembiranya mereka ketika bertemu dengan orang Indonesia yang baru datang.
Mereka adalah angkatan kedua (Daurah Duwom, untuk Akademi Milker
Mujahidin Afghanistan) yang diberangkatkan ke Afghanistan pada tahun 1985
yang berjumlah sekitar 59 orang. Mereka juga bercerita tentang alasan yang
diberikan kepada keluarga mereka di saat akan berangkat ke Afghanistan. Ada
di antara mereka yang memberikan alasan belajar ke negara Arab Saudi
sehingga mereka harus mencari kesempatan belajar bahasa Arab di Akademi
Militer Mujahidin Afghanistan. Dan ada di antara mereka yang beralasan bekerja
di Malaysia sehingga mereka mengambil kesempatan menabung dari hasil uang
honor yang didapatkan setiap bulan. Bentuk fisik mereka semua tidak sama, ada
yang kecil, ada yang gemuk, ada yang kelihatan kurus, jarang sekali yang
bertubuh
tegap
seperti
militer.
Di Harbiy Sohanjay inilah (akhir 1987) pertama kali saya bertemu dan
berkenalan dengan orang yang bernama Mukhlas (ia menikah dengan adik
perempuan saya pada tanggal 1 Juli 1990 di Johor Bahru Malaysia). Mukhlas
menikah bukan karena kedekatan hubungan keluarga istrinya dengan para TKI
sebagaimana yang di jelaskan oleh Hilmy Bakar Almascaty ketua DPP FPI dalam
tulisan opininya di Koran Republika edisi 4 Mei 2004, “… alumni PP Al-Mukmin,
Ngruki, yang bekerja sebagai TKI ataupun pengajar di Malaysia seperti Mukhlas
(Ali Ghufron) yang akhirnya menikah dengan saudara perempuan Nasir…”
Tetapi pernikahan itu terjadi karena orang tua saya yang berkenan dengan
akhlak dan budi pekertinya yang bagus serta kemampuannya yang cemerlang
dalam memahami agama Islam, dan lagi pula dalam satu jamaah (waktu itu
dalam jamaah NII). Mukhlas adalah ustadz yang hebat dalam ilmu pengetahuan
Islam dan paling rasional yang pernah saya kenal pada waktu itu. Saya bangga
Mukhlas menikah dengan adik saya itu, sampai-sampai saya disuruh pulang ke
Malaysia menghadiri majelis pernikahannya untuk meyakinkan adik saya bahwa
Mukhlas adalah teman saya yang sepaham dan satu perjuangan di Pakistan dan
Afghanistan (saya hanya sempat sebulan di Malaysia antara Juni dan Juli 1990
lalu
kembali
ke
Afghanistan).
Saya tidak pernah dan tidak akan menyesal Mukhlas menikah dengan adik saya
itu. Adik saya telah mendapatkan suami yang terbaik untuk dirinya, tiada yang
dapat sebanding Mukhlas selaku suami kepada adik saya itu. Sebagai suami, ia
adalah seorang suami yang teladan di sebagian hal. Hilmy Bakar Almascaty
bukan dari kalangan keluarga saya, jadi saya mengira baginya adalah lebih baik
tidak berbicara daripada bercerita yang tidak diketahuinya dan menurut saya
adalah kurang pantas baginya membicarakan urusan keluarga saya karena
beliau
tidak
mengerti
urusan
dalaman
keluarga
saya.
Sekitar bulan November atau Desember 2002, barulah saya mengetahui nama
Mukhlas melalui media adalah Ali Ghufron. Mukhlas sendiri menyatakan
pengakuannya kepada saya pada sekitar akhir bulan Oktober 2002 di rumah
kontrakannya di Gresik bahwa beliau dan adik-adiknya yang melakukan
pemboman di Bali tanggal 12 Oktober 2002 itu. Saya tidak meragui kemampuan
Mukhlas dan adik-adiknya (seperti Ali Imran) karena mereka memang sudah
pernah mendapatkan pendidikan kemiliteran di Afghanistan. Hanya saya merasa
cukup kaget dan tidak bisa berbuat apa-apa, sebab sasaran pemboman mereka
itu
di
luar
kebiasaan
pertempuran.
Dan di Harbiy Sohanjay ini kami (rombongan angkatan saya) diingatkan untuk
mengaku berasal dari Filipina jika ditanya oleh orang-orang Afghan atau orangorang Arab, alasannya sebagai cover yaitu berselindung, tanpa membantah kami
semua
mentaati
aturan
itu.
Dan disini juga (akhir 1987) saya berkenalan dengan orang-orang
seangkatan Mukhlas yang berjumlah 59 orang dari angkatan kedua
Akademi
Militer
Mujahidin
Afghanistan
(Daurah
Duwom).
Mereka antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Hamzah. Waktu itu ia masih bujang, tetapi setelah menikah di Indonesia
dan mempunyai anak laki-laki, lalu ia biasa dipanggil dengan nama Abu
Rusdan yang berarti bapaknya Rusdan. Diketahui namanya Ustadz
Thoriqudin setelah beliau ditahan oleh Polri pada sekitar bulan April 2003
yang dicurigai menyembunyikan informasi pelaku Bom Bali.
Mustapha. Waktu itu ia masih bujang tetapi setelah mempunyai anak di
Indonesia yang bernama Tolut, maka ia memperkenalkan dirinya dengan
nama Abu Tolut. Pada sekitar akhir tahun 1999 ketika bertugas di Kamp
Hudaybiyah di Mindanao, Filipina Selatan, ia memperkenalkan dirinya
dengan menggunakan nama Hafid Ibrahim yang berarti cucunya Ibrahim.
Kemudian saya mengetahui namanya Pranata Yuda melalui media setelah
ia ditahan oleh Polri pada sekitar bulan Juli 2003 atas kasus pemilikan
senjata api di rumahnya.
Muhammad Qital. Waktu itu ia masih bujang, tetapi sekitar tahun 1999
ketika bertugas di Kamp Hudaybiyah di Mindanao Filipina Selatan, dia
memperkenalkan dirinya dengan nama Humam atau Abu Humam karena
memiliki anak lelaki yang bernama Humam. Kemudian setelah ditahan
oleh Polri pada tahun 2004 barulah saya mengetahui namanya Adi
Suryana. Menurut kabar yang saya terima ia dicurigai melakukan
perencanaan bom.
Ustadz Mustaqim, atau dikenal juga di Malaysia dengan nama Abu Hawari
(karena anaknya bernama Hawari) dan dengan nama Muzayyin di
Indonesia yang sekarang adalah salah seorang guru di Pondok Pesantren
Al-Mukmin Ngruki. (Saya tidak tahu kalau dia sudah berhenti mengajar di
Ponpes itu). Pernah menggunakan nama Ustadz Muslih Ahmad ketika
bertugas di Kamp Hudaybiyah di Filipina pada tahun 1998-1999, selaku
ketua kamp Hudaybiyah dan ketua Akademi Militer Al-Jamaah AlIslamiyah bagi semester I angkatan pertama.
Wahyudin, dikenal juga dengan nama Muhammad Yunus ketika
melaksanakan tugas sebagai salah seorang instruktur di Kamp
Hudaybiyah pada akhir tahun 1999 hingga pertengahan tahun 2000.
Ikhsan Miarso.
Mukhlas, dikenal juga dengan nama Abu Zaid di Malaysia dan dikenal
dengan nama Ali Ghufron di Indonesia. Mengaku merencanakan dan
melaksanakan aksi pemboman di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002.
Fahim, sewaktu itu masih bujang dan saya mengetahui namanya Usman
setelah ditahan oleh pihak Polri pada sekitar bulan Juni 2004.
Zaid, yang juga dikenal dengan nama Samean.
Nasrullah.
11. Shamsudin.
12. Syakir, sekitar tahun 2003 baru saya mengetahui namanya Abu Faruq
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
atau Utomo, setelah di tahan oleh pihak Polri yang menurut kabar
dicurigai terlibat perencanaan bom.
Faruq, sekitar tahun 2003 saya mengetahui namanya Surono setelah
ditahan oleh pihak Polri yang menurut kabar diduga terlibat pemilikan
amonisi.
Usman, sekitar April 2003 ditahan oleh Polri dan divonis di Surabaya atas
kasus pemilikan senjata api.
Ziad.
Saiful, dikenal dengan nama Bambang Setiono ditahan oleh Polri pada
akhir tahun 2002 atas kasus menyembunyikan pelaku Bom Bali.
Jibril.
Zaid, yang juga dikenal dengan nama Nur.
Abdul Hakim.
Idris.
Abdus Salam.
Mukmin.
Firdaus.
Fazlul Ahmad.
Naim.
Maskur.
Syuja.
dan lainnya yang saya lupa nama mereka.
Kemudian orang yang
Utbah yang kemudian
orang NII di Pakistan
kembali membawa
mengurusi orang-orang Indonesia di Peshawar adalah
diganti oleh Zulkarnain sebagai mas’ul (ketua) orangdan Afghanistan. Zulkarnain pulang ke Indonesia dan
Isttinya ke Peshawar pada sekitar 1988/1989.
Sementara angkatan pertama (Daurah Awal) dari anggota NII berjumlah hanya
5 orang di tempat pendidikan Akademi Milker Mujahidin Afghanistan. Mereka
adalah Syawal (pernah ditahan oleh Polri di Manado pada sekitar akhir tahun
1999 atau awal 2000 atas kasus pemilikan senjata api), Zulkarnain, Mohamad
Faiq, Idris alias Solahudin dan Saad alias Ahmad Roichan. Mereka lebih senior
setahun dari angkatan Mukhlas di antara orang-orang NII yang berada di
Afghanistan
pada
waktu
itu.
Ada satu perkataan yang menarik perhatian saya di Harbiy Sohanjay ketika
mendengarkan orang-orang Indonesia saling berbicara antara satu sarna yang
lain yaitu perkataan Pohantun. Setiap kali perkataan Pohantun disebut, mereka
akan berbicara tentang belajar dan berlatih. Pada awalnya saya tidak ingin
memperhatikan apa yang mereka bicarakan sebab apa yang ada dalam benak
saya adalah kapan saya dan yang lain akan diberangkatkan ke medan
pertempuran, hanya itu saja yang ditunggu-tunggu. Tetapi oleh kerana
perkataan Pohantun semakin sering kedengaran di telinga ketika hari-hari
menantikan acara atau tujuan berikutnya sehingga memancing saya untuk
bertanya. Sebab seolah-olah Pohantun adalah tempat yang akan kami tuju.
Salah seorang di antara mereka belakangan saya ketahui bahwa dia adalah
angkatan Mukhlas yang sudah lulus belajar di Akademi Militer Mujahidin
Afghanistan bagi angkatan kedua (Daurah Duwom, bhs Parsi) menjelaskan
kepada saya dan Mat Beduh. Menurutnya, nanti saya dan teman-teman
serombongan akan diberangkatkan ke sebuah tempat pelatihan yang dinamakan
Harbiy Pohantun tetapi lebih sering dipanggil Pohantun saja. Harbiy Pohantun
berarti
Akademi
Militer,
sedangkan
Pohantun
berarti
Akademi.
Anak-anak Afghan yang telah tamat pendidikan dan lulus ujian di Harbiy
Sohanjay (Sekolah Menengah Milker) akan melanjutkan pendidikan ke Harbiy
Pohantun (Akademi Militer). Keberadaan orang-orang Indonesia di Harbiy
Sohanjay pada waktu kedatangan saya dan rombongan adalah sebagai tempat
penginapan sementara, sebelum mereka (yang sudah selesai berlatih di Akademi
Militer, Daurah Duwom angkatan kedua) dikirim pulang ke Malaysia atau ke
Indonesia. Tempat itu juga dijadikan penginapan sebelum saya serta rombongan
diberangkatkan dalam kelompok-kelompok kecil ke Harbiy Pohantun (Akademi
Militer), yaitu tempat pendidikan yang sebenarnya bagi orang-orang Indonesia
yang bercampur dengan orang Afghan. Lama waktu pendidikan di Harbiy
Pohantun
adalah
selama
tiga
tahun.
Mendengar penjelasan tentang tempat pendidikan itu, jiwa saya menjadi lemah
dan perasaan menjadi tidak bersemangat. Begitu juga Mat Beduh langsung
termenung memikirkan betapa lamanya harus belajar sebelum dapat pergi
bertempur di medan pertempuran. Apalagi Mat Beduh sudah berkeluarga dan
jauh lebih tua, dua kali umur saya. Timbul rasa kekecewaan dalam diri saya dan
ingin menyalahkan orang-orang yang tidak memberi penjelasan dengan sejelasjelasnya sebelum berangkat dari Malaysia. Tak heran jika teman-teman
serombongan saya membawa berbagai macam perlengkapan belajar dan alat
tulis, karena mereka sudah mengetahui lebih dulu akan tujuan keberangkatan
mereka sejak dari di Indonesia. Terlebih lagi untuk berlatih di Akademi Militer
Mujahidin
Afghanistan.
Saya tidak siap belajar di sebuah kampus pendidikan seperti Akademi, saya
sudah meninggalkan bangku sekolah sejak akhir tahun 1984 dan sekarang akhir
1987 (apalagi Mat Beduh yang sudah berumur) disuruh masuk ke Akademi
untuk belajar selama tiga tahun. Padahal saya juga sudah lama meninggalkan
matematika dan geografi, dua pelajaran yang sangat berat bagi saya sewaktu di
sekolah menengah dulu. Belum lagi bahasa Indonesia yang tidak dipahami
dengan banyaknya istilah-istilah asing. Dan menurut mereka, yang akan
mengajar serta melatih adalah orang Indonesia. Saya dan Mat Beduh merasa
dibohongi, sebab tawaran awal berangkat ke Afghanistan adalah untuk berjihad
membela umat Islam Afghanistan, sedangkan kami berdua tidak dijelaskan
harus
belajar
dan
berlatih
untuk
jangka
waktu
yang
lama.
Kemudian orang-orang Indonesia yang senior itu membujuk saya dan
memberikan nasihat untuk bersabar dan juga menasihati bahwa harus memiliki
ilmu sebelum `beramal. Demikian juga untuk berperang ke medan pertempuran
haruslah mempunyai ilmu pertempuran. Saya coba menenangkan diri dengan
menerima nasihat dan siap untuk belajar serta berlatih. Sekali lagi saya berpikir
jangan sampai dengan tidak mengikuti program untuk belajar di Akademi Militer
akan dipulangkan ke Malaysia selanjutnya musnahlah impian untuk berjihad
bersama-sama dengan Mujahidin Afghanistan. Maka kalaulah dengan belajar di
Akademi Militer itu adalah sebagai syarat boleh ikut berjihad dan berperang di
medan pertempuran maka lebih baik saya bersabar sehingga dapat berperang
bersama-sama
dengan
Mujahidin
Afghanistan.
Akademi
(Harbiy
Militer
Mujahidin
Pohantun
Mujahidin-e-Afghanistan
Afghanistan
Ittihad-e-Islamiy)
Pemberangkatan saya dan rombongan dari Harbiy Sohanjay menuju ke Akademi
Militer Mujahidin Afghanistan diatur oleh orang-orang Indonesia yang bertugas
seperti Utbah, Saad, dan Zulkarnain yang mengurus semua orang-orang
Indonesia di Pakistan dan Afghanistan. Mereka tidak tinggal di Harbiy Sohanjay,
tetapi di sebuah rumah, di perumahan Pabbi, yaitu kawasan Muhajirin yang
mereka sebut 'Perwakilan'. Dengan kata lain mereka adalah sejumlah orang
yang dipilih untuk bertugas setelah menyelesaikan pendidikan di Akademi Militer
Mujahidin
Afghanistan.
Sayangnya teman saya satu-satunya orang Malaysia, Mat Beduh, hanya sempat
berada di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan di Sadda Pakistan, sekitar
sebulan saja. Tidak diketahui dengan jelas alasan dipulangkannya ke Malaysia.
Ada kabar bahwa Mat Beduh tidak tahan dengan sistem yang ada di Akademi
Militer, sebab fisiknya yang tidak mendukung. Namun ada juga kabar bahwa Mat
Beduh tidak cocok (tidak serasi) dan tidak sepaham dengan orang-orang
Indonesia yang berada di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan itu. Kebenaran
alasan kembalinya Mat Beduh ke Malaysia hanya dia sendiri yang lebih tahu.
Memang Mat Beduh ada kalanya mengeluhkan kepada saya rasa tidak
nyamannya
terhadap
sikap
dan
perilaku
orang-orang
Indonesia.
Menurut pengamatan saya secara pribadi memang budaya, kebiasaan, dan
paham yang dimiliki oleh orang Malaysia dengan orang Indonesia terdapat
perbedaan, baik dari segi penggunaan bahasa, selera rasa lidah, pendidikan,
maupun ideologi. Tetapi bagi saya berbagai macam perbedaan itu seharusnya
tidak perlu menjadi masalah sebab manusia adalah makhluk Tuhan teristimewa
yang seharusnya dapat beradaptasi dengan lingkungan. Bagi saya perbedaan itu
tidak memberi beban pikiran. Saya mengambil sikap untuk cepat beradaptasi
sehingga cepat memahami pelajaran yang diberikan dengan bahasa Indonesia.
Di samping juga supaya saya dapat bergaul dengan baik sehingga tidak merasa
asing di tengah-tengah orang Indonesia dan malah seolah-olah saya menjadi
seperti,
tidak
ada
bedanya.
Akademi Militer Mujahidin Afghanistan adalah milik organisasi Tanzim Ittihad-eIslamiy Afghanistan di bawah pimpinan Prof Ustadz Abdur Robbir Rasul Sayyaf.
Tanzim Ittihad-e-Islamiy adalah salah satu dari tujuh organisasi orang-orang
Afghan yang berjuang di Afghanistan hingga Kabul, ibukota Afghanistan, jatuh di
tangan Mujahidin sekitar tahun 1992 (pada masa itu belum ada organisasi atau
kelompok
yang
menamakan
diri
mereka
Taliban).
Kawasan Akademi Militer yang pertama adalah terletak di Pabbi, Peshawar,
Pakistan, yaitu di sekitar lokasi penampungan para Muhajirin (pengungsi) dan
Mujahidin Afghanistan. Setahun kemudian, sekitar tahun 1986 Akademi Militer
berpindah ke perbatasan, yaitu di Sadda Pakistan berdekatan dengan Paracinar
atau
perbatasan
dengan
Khowst
Utara
(Shamali
Khowst).
Akademi Militer itu pada asalnya adalah untuk anak-anak Afghan yang dididik
dan dilatih untuk menjadi komandan pasukan dan orang lapangan yang akan
mengendalikan peperangan di medan pertempuran Afghanistan dalam
menghadapi tentara Rusia atau pemerintah Komunis Kabul yang dipimpin oleh
Najibullah, Presiden Afghanistan. Karena situasi di tanah Afghanistan pada waktu
itu dalam kondisi peperangan, maka sangat tidak kondusif untuk diadakan
sebuah kamp pelatihan atau tempat pembelajaran seperti sebuah Akademi
Militer. Maka, Tanzim Ittihad-e-Islamiy mendirikan Akademi Militer di tanah
Pakistan atas izin pemerintah Pakistan waktu itu di tempat yang aman dan tidak
terganggu
oleh
suasana
peperangan.
Lokasi Akademi Militer Mujahidin Afghanistan itu terletak di sebuah lembah di
perkampungan Kheldan Sadaa Pakistan berdekatan dengan perbatasan ke
Afghanistan yaitu Khowst Utara. Perjalanan menuju ke Akademi Militer itu harus
menaiki kendaraan angkutan darat dari Peshawar Pakistan yang mengarah ke
Parachinar
Pakistan.
Menurut keterangan para instruktur berketurunan Afghan yang pernah
mengikuti pendidikan di Akademi Militer India, bahawa sistem pelajaran yang
diterapkan di wilayah Akademi Militer Mujahidin Afghanistan ini sama seperti
Akademi Militer yang lain. Para instruktur senior yang bertugas di Akademi
Militer Mujahidin Afghanistan itu semuanya adalah bekas komandan-komandan
tentara pemerintah Afghanistan yang berpihak kepada Mujahidin di bawah
organisasi atau Tanzim Ittihad-e-Islamiy Afghanistan. Ada juga di antara
instrukturnya yang bukan lulusan Akademi Militer India yaitu instruktur junior
yaitu pilihan terbaik dari lulusan angkatan pertama (1986) dan lulusan angkatan
kedua (1987) Akademi Militer Mujahidin Afghanistan yang di antara mereka
adalah
orang-orang
Indonesia.
Tetapi, para instruktur orang-orang Indonesia itu tidak mengajar siswa Afghan.
Mereka hanya mengajar dan melatih orang-orang Indonesia saja. Padahal
orang-orang Indonesia angkatan pertama dan kedua menerima pendidikan dan
pelatihan
dari
instruktur
berketurunan
Afghan,
hanya
saja
kelas
pembelajarannya tidak bercampur dengan orang Afghan sebab penggunaan
bahasa
yang
berbeda
ketika
mengajar.
Di dalam kelas, orang-orang Afghan menggunakan bahasa Poshtun atau bahasa
Parsi. Sementara itu, instruktur Afghan yang mengajar orang-orang Indonesia
menggunakan bahasa Inggeris. Kemudian ketika instruktur pelantikan baru
mulai mengajar yang terdiri atas orang-orang Indonesia pilihan dari lulusan
angkatan pertama (lulusan 1986, disebut Daurah Awwal) dan angkatan kedua
(lulusan 1987, disebut Daurah Duwom), mereka menerjemahkan buku pelajaran
dari bahasa Inggris kepada bahasa Indonesia supaya angkatan berikutnya dapat
memahami pelajaran dan pelatihan dengan baik. Kebijakan ini diambil karena
sangat sedikit sekali orang Indonesia yang dikirim untuk mengikuti pendidikan di
Akademi Militer Mujahidin Afghanistan yang memahami bahasa Inggeris.
Beruntunglah saya dan angkatan serombongan saya yang diajar dan dilatih oleh
orang-orang Indonesia, membuat pendidikan saya dan teman-teman seangkatan
menjadi lebih efektif. Saya dan teman-teman serombongan (lulusan tahun 1990)
masuk dalam angkatan kelima yang disebut Daurah Phanjum dalam bahasa
Parsi
di
Akademi
Militer
itu.
Akademi
Infantery
Fakultas
Fakultas
Militer Mujahidin Afghanistan memiliki lima fakultas, yaitu Fakultas
(Pohanzay Piyadah), Fakultas Engineering (Pohanzay Engineering),
Artillery (Pohanzay Tupciy), Fakultas Logistic (Pohanzay Logistik),
Communication (Pohanzay Mukhobarat) dan Fakultas Kavalery
(Pohanzay Zahridor). Semua siswa keturunan Afghan dibagi ke semua fakultas
dan mereka mendapatkan pendidikan sesuai bidang fakultas yang ditetapkan
kepada mereka. Sementara orang-orang Indonesia tidak mengkhususkan
pendidikan pada fakultas tertentu yang ada di Akademi Militer Mujahidin
Afghanistan tersebut. Pendidikan yang diberikan bersifat umum, tetapi lebih
berkonsentrasi
kepada
pelajaran
Infantery.
Kamar barak istirehat bagi siswa orang-orang Indonesia digabungkan dengan
siswa orang Afghan yang dipisah-pisahkan ke semua fakultas. Angkatan saya
dibagikan ke barak fakultas yang berbeda, di mana saya dan beberapa siswa
Indonesia yang lain mendapat bagian tinggal di barak fakultas Artillery
(Pohanzay Tupciy) yang dipimpin oleh komandan Fakultas Artillery, yaitu
Komandan Dziarat Shah Khan. Seluruh administrasi keperluan siswa diatur
sesuai tempat tinggal di fakultas yang ditentukan, termasuk siswa Indonesia
yang
bertempat
tinggal
di
fakultas
itu.
Begitu juga jadwal kegiatan 24 jam yang telah diatur di Akademi Militer, secara
umum harus diikuti oleh semua siswa dan tidak terkecuali siswa Indonesia.
Hanya saja kelas belajar yang terpisah dari siswa Afghan, semua siswa
Indonesia yang bertempat tinggal terpisah di berbagai barak fakultas akan
berkumpul di dalam satu kelas menurut tingkatan kelasnya masing masing.
Selain dari kegiatan di dalam kelas belajar mengajar itu, semua siswa Indonesia
mendapat bagian dan melakukan kegiatan yang sama dengan siswa Afghan.
Masa pendidikan di Akademi Militer adalah tiga tahun. Adapun pembagian kelas
adalah, kelas satu (Sinfi Awwal), kelas dua (Sinfi Du atau Sinfi Duwom), kelas
tiga (Sinfi Say atau Sinfi Suwom). Di setiap tingkatan kelas terdapat siswa
orang-orang Indonesia sebab setiap tahun ada pengiriman siswa dari Indonesia
dan
terkadang
juga
terdapat
siswa
dari
Malaysia.
Materi
pelajaran
militer
yang
utama
diberikan
adalah:
1.
Tactic,
yaitu
seni
pertempuran
infanteri.
2.
Map
Reading,
yaitu
kemahiran
seputar
peta
dan
navigasi.
3. Weapon Training, yaitu kemahiran seputar berbagai macam senjata
infanteri
dan
artileri.
4. Field Engineering, yaitu kemahiran seputar ranjau standar buatan pabrik,
bahan peledak, penempatan bom, dan penggunaannya sebagai alat penghancur.
Termasuk pengetahuan peracikan bahan kimia dan juga bahan dapur yang dapat
diolah menjadi bahan peledak. Disebut juga Materi pelajaran 'Mine and
Destruction'.
Selain materi pelajaran militer terdapat juga materi pelajaran agama Islam,
seperti Tafsir Al-Quran, Hadis Nabi SAW, Fiqih Sirah, Fiqih Harakiy, Fiqih Ibadah,
Kepimpinan
Islamiy,
dan
Fiqih
Jihad.
Angkatan pertama dan kedua dilatih oleh para instruktur orang Afghanistan
dengan menggunakan bahasa Inggris. Sementara untuk pelajaran agama Islam
diajarkan oleh ustadz dari orang Arab yang berlatih atau melatih di kamp latihan
orang arab (Muaskar Kheldan) yang letaknya berdekatan dengan Akademi Militer
itu.
Untuk
angkatan
selanjutnya
(angkatan
ketiga
hingga
kesembilan)
para
instrukturnya adalah orang-orang Indonesia (anggota jamaah) yangbertugas
melatih orang-orang jamaah Darul Islam (Negara Islam Indonesia) itu sendiri.
Dengan begitu proses pembelajaran menjadi lebih lancar dan cepat dipahami
karena kebanyakan orang Indonesia yang dikirim belajar di Akademi Militer itu
tidak memahami bahasa Inggris ataupun bahasa Arab. Dan tidak perlu lagi
disediakan waktu untuk menterjemahkan setiap pelajaran yang diajarkan oleh
instruktur
Afghan
atau
Arab.
Ketika angkatan saya (angkatan kelima/Daurah Phanjum) sedang duduk di kelas
satu (Sinfi awal/Sinfi Yak), terdapat angkatan keempat (Daurah Chorrum) dari
orang-orang Indonesia yang menduduki kelas dua (Sinfi Duwom/Sinfi Du),
mereka adalah angkatan Hambali. Sementara tidak ada orang Indonesia pada
waktu itu dari angkatan ketiga (Daurah Suwom) yang menduduki kelas tiga
(Sinfi Suwom/Sinfi Say) di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan (Harbiy
Pohantun).
Orang-orang Indonesia yang berada di angkatan keempat (Daurah Chorrum) di
Akademi Militer Mujahidin Afghanistan yang pernah saya kenal sejak di Malaysia
adalah para ustadz Indonesia yang pernah saya kenal di Kuala Pilah pada awal
tahun 1985. Di antaranya adalah Ustadz Abu Jibril yang menggunakan nama
Abdurrahman di Akademi Militer itu dan Ustadz Solihin. Saya agak terperanjat
dengan keberadaan mereka di Akademi Militer itu. Tak heran jika saya tidak
menemukan mereka di Kuala Pilah Malaysia, selama hampir setahun yang
dikabarkan telah pulang ke Indonesia. Ternyata mereka berdua berangkat ke
Pakistan/Afghanistan pada akhir tahun 1986, kurang lebih setahun sebelum saya
ke
sana.
Siswa Indonesia di Daurah Chorrum (angkatan keempat) berjumlah
sekitar
20
orang,
di
antaranya:
01. Hambali (menurut kabar di media, telah ditangkap oleh aparat Thailand lalu
sekarang
dalam
tahanan
aparat
Amerika).
02. Abu Jibril, dikenal juga dengan nama Abdurrahman (pernah ditahan di
Malaysia,
tahanan
ISA).
03.
Hasan.
04.
Shihabuddin.
05.
Fazlullah.
06.
Ali.
07.
Daud.
08.
Husain.
09.
AbdulQohar.
10.
Solihin.
11.
Abdul
Somad.
12.
Abdul
Manaf.
13.
Yunus.
14.
Taufiq.
Sayangnya, peluang belajar di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan ini, di
antara para anggota yang dikirim oleh Jamaah Darul Islam (akan dijelaskan
pada bab: NII dan DI/TII) tidak melalui proses seleksi yang baik. Praktik
Nepotisme telah mengakibatkan banyak di antara siswa (orang Indonesia) yang
dikirim di antaranya yang sudah lewat umur, sehingga efektifitas belajar atau
tingkat
kecerdasannya
di
bawah
standard.
Maka lulusan dari Akademi Militer Mujahidin Afghanistan pada setiap angkatan
tersebut akan diseleksi oleh pimpinan orang-orang Indonesia di Peshawar. Bagi
mereka yang terpilih akan diberikan tambahan dari sudut pengembangan
pengetahuan kemiliteran, kemahiran, keterampilan, dan menambah pengalaman
tempur. Selain yang ditugaskan sebagai instruktur di Akademi Militer Mujahidin
Afghanistan, maka yang lainnya akan dipulangkan ke Malaysia atau Indonesia.
Pendidikan lanjutan ini dibiayai dan diajarkan oleh orang-orang Arab di tempat
latihan orang Arab di Afghanistan (pada waktu itu belum ada Kamp Latihan AlQaedah). Di antara pendidikan dan pelatihan lanjutan yang diberikan kepada
yang terpilih adalah seperti:
Latihan komando.
Perbengkelan senjata dan amonisi.
Keterampilan menembak dengan pistol.
Sniper atau markmanship.
Mengendalikan tank tempur Rusia.
Memperdalam pengetahuan elektronik untuk kegunaan pemicu
(Firing Devices).
7. Pengolahan bahan-bahan kimia sebagai bahan peledak, racun dan
untuk kegunaan membunuh.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Pada setiap akhir tahun pembelajaran terdapat acara praktik lapangan yang
diprogramkan oleh Akademi Militer Mujahidin Afghanistan. Acara ini disebut
Tathbiqot dalam bahasa Parsi, yaitu praktik menembak dan penerapan taktik
infantery dalam peperangan menurut teori yang telah didapatkan di kelas.
Pelaksanaan praktik lapangan (Tathbiqot) dilakukan di daerah tanah Afghanistan
yang berdekatan dengan lokasi Akademi Militer Mujahidin Afghanistan, yaitu
wilayah
Khowst
Utara
(Shamali
Khowst).
Bagi siswa-siswa Fakultas Artillery yang akan melaksanakan praktik
penembakan dapat mengarahkan langsung ke musuh Mujahidin Afghan di
wilayah Khowst dengan memanfaatkan senjata berat yang sudah tersedia
bersama Mujahidin ataupun membawanya sendiri, jika siswa mampu
memikulnya.
Setelah acara Tathbiqot, diadakan ujian akhir tahun di Akademi Militer,
pengumuman hasil ujian, dan selanjutnya liburan akhir tahun. Pada liburan akhir
tahun inilah saya dan teman-teman yang lain (orang Indonesia) diprogramkan
oleh mas’ul (ketua/penanggungjawab) orang Indonesia untuk berangkat ke
medan pertempuran di wilayah-wilayah Afghanistan secara bergantian selama
waktu
liburan,
sekitar
dua
bulan.
Pernah pada awal tahun pembelajaran (akhir tahun 1987) ketika saya berada di
kelas satu, kami semua (hanya kelompok orang-orang Indonesia) baik
instruktur, kelas satu dan kelas dua, disuruh pindah dulu untuk sementara pergi
dari Akademi Militer Mujahidin Afghanistan di Sadda sebab Akademi itu akan
diperiksa
oleh
pemerintah
Pakistan.
Seingat saya semua orang Indonesia dipindahkan ke salah satu tempat yang
dijadikan markaznya Tanzim Ittihad-e-Islamiy yaitu di Khowst Utara (Shamali
Khowst). Dalam masa pelatihan di Khowst ini, ada sejumlah sepuluh orang
Indonesia yang baru datang dan digabungkan dengan angkatan saya yaitu
angkatan kelima (Daurah Phanjum), menjadikan jumlah dalam angkatan saya
yang asalnya 15 orang menjadi 25 orang. Sempat sekitar 2 bulan pendidikan
diadakan di tempat itu yang berlangsung di medan pertempuran, walaupun jarak
ke musuh Mujahidin (kota Khowst) agak jauh tetapi bombardir dari jet pesawat
tempur
terkadang
jatuh
di kemah-kemah, tempat pendidikan yang baru bagi orang-orang Indonesia ini.
Setelah sekitar dua bulan dan kondisi pemeriksaan yang dilakukan pemerintah
Pakistan terhadap Akademi Militer Mujahidin Afghanistan di Sadda dianggap
selesai, maka semua orang-orang Indonesia kembali ke lokasi akademi tersebut.
Pada waktu masih bertempat tinggal di Khowst Utara ini sempat didatangi oleh
orang-orang yang tergolong sebagai pimpinan Jamaah Darul Islam (NII) pada
awal tahun 1988 yaitu Ustadz Abdul Halim, Ustadz Abdus Somad dan Ajengan
Masduki untuk melihat kegiatan anggota NII di program pendidikan dan
pelatihan
Akademi
Militer
Mujahidin
Afghanistan.
Angkatan kelima Akademi Militer Mujahidin Afghanistan dari orang NII
adalah:
01.
Saya
sendiri.
02.
Nuaim
dikenal
juga
dengan
nama
Abu
Irsyad.
03.
Huzaifah,
dikenal
juga
dengan
nama
Taufik.
04.
Abdul
Ghoni.
05.
Abu
Hurairah.
06.
Walid.
07.
Hilal.
08.
Furson
(almarhum).
09.
Mughirah.
10.
Bilal
11.
Khoidir.
12. Usman, dikenal juga dengan nama Abbas (kabarnya ia divonis atas kasus
Bom
Atrium
Jakarta).
13.
Abdul
Rosyid.
14. Firdaus, dikenal juga dengan nama Azzam atau Nyong Ali.
15.
Qodri.
16.
Daud.
17.
Abdul
Aziz.
18.
Imadudin.
19.
Ikrimah.
20.
Syafiee.
21.
Kholil.
22.
Usamah.
23.
Uzair.
24.
Yasir,
dikenal
juga
dengan
nama
Farihin.
25. Jamaluddin (almarhum).
Berperang
ketika
liburan
kuliah
Selama saya menjadi siswa di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan itu
sebanyak tiga kali dilakukan program pemberangkatan ke medan pertempuran,
yaitu pada masa liburan, tahun 1987-1990. Karena statusnya masih menjadi
siswa di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan, maka kami semua tidak boleh
berangkat ke medan tempur untuk seterusnya. Kami semua harus
berkonsentrasi pada pendidikan dan latihan. Waktu yang diperbolehkan
hanyalah ketika libur sekolah saja dan itupun secara bergantian karena ada juga
program tambahan di Akademi Militer selama liburan sekolah. Kecuali siswa
Afghan yang langsung pulang ke kampung halaman mereka di Afghanistan yang
terkadang ada di antara mereka yang tidak lagi kembali ke Akademi Militer
ketika masuk sekolah. Sebab mereka sudah mati syahid atau gugur menjadi
korban peperangan di medan pertempuran. Selama beberapa kali mengikuti
pertempuran ketika liburan sekolah Akademi Militer, terdapat siswa Indonesia
yang mati syahid atau gugur tewas di medan pertempuran, seingat saya seperti
Sofyan (angkatan ketujuh) yang ketika itu dia masih menduduki siswa kelas 2
(1991) dan Jamaluddin (angkatan kelima) ketika itu baru lulus dari pendidikan
Akademi
Militer,
dia
seangkatan
saya.
Biasanya orang-orang Indonesia yang berada di bawah Tanzim Ittihad-e-Islamiy,
tidak dibenarkan untuk mengikuti pertempuran di barisan paling depan (pasukan
infantery). Artinya, mereka ditempatkan di bagian belakang yaitu di pasukan
senjata artillery. Sebab sudah ada pesan amanat dari pimpinan Tanzim Ittihade-Islamiy yaitu Ustadz Abdur Robbir Rasul Sayyaf yang tidak membenarkan
mereka di infantery. Menurut dia, orang-orang Indonesia harus berjuang di
Indonesia. Saya tidak mengerti apakah sudah ada kesepakatan dengan
pimpinan NII yaitu Ustadz Abdul Halim sehingga dilarang. Sebab, orang-orang
Indonesia yang berangkat dari Indonesia sudah mengetahui keberangkatan
mereka
ke
Afghanistan
adalah
untuk
berlatih.
Karena itu dalam satu tahun, siswa-siswa Indonesia di Akademi Milker Mujahidin
Afghanistan hanya memiliki peluang sekali selama sekitar sebulan untuk dapat
bergabung dengan Mujahidin Afghanistan di medan pertempuran. Jika melewati
peluang tersebut, maka dia harus menunggu hingga liburan Akademi Militer
pada tahun berikutnya. Sungguh sangat beruntung bagi siswa Akademi Militer
Mujahidin Afghanistan asal Indonesia yang dapat bergabung dengan pasukan
Infantery Mujahidin Afghanistan. Meski itu pernah terjadi tapi sangat jarang
sekali, saya dan beberapa orang (sekitar 8 orang) dari angkatan saya pernah
mendapatkan kesempatan itu bersama instruktur kami yaitu Syawal dan
Mohamad Qital di Samarkhil Jalalabad di Propinsi Nangrahar untuk selama
sebulan,
pada
liburan
di
kelas
dua.
Setelah lulus dari pendidikan Akademi Militer pada tahun 1990 dan selanjutnya
bertugas sebagai instruktur di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan tersebut,
saya sempat beberapa kali mengikuti pertempuran pada masa liburan sekolah.
Pada tahun 1992 setelah ibukota Afghanistan, Kabul, dapat dikuasai oleh
Mujahidin, saya tidak lagi berangkat ke wilayah-wilayah medan perang di
Afghanistan. Ini disebabkan pertempuran tersebut bukan lagi antara Mujahidin
dengan pasukan pemerintahan Komunis Afghanistan, melainkan perkelahian dari
oknum masing-masing organisasi mujahidin. Begitulah yang pernah saya alami
pada
waktu
masih
berada
di
sana.
Negara Afghanistan pada tahun 1992 dipimpin oleh Pemerintahan Mujahidin di
bawah Presiden pilihan yang pertama (pilihan menurut kesepakatan tujuh
organisasi mujahidin di Afghanistan) yaitu Prof Mujaddidiy. Setahun kemudian
Presiden Afghanistan dipimpin oleh Prof Ustadz Burhanuddin Robbani.
Siswa Akademi Militer asal Indonesia yang berangkat ke medan pertempuran di
Afghanistan bergabung dengan Mujahidin dari organisasi Tanzim Ittihad-eIslamiy. Selama berada di medan pertempuran, berbagai macam senjata ringan
diberikan sebagai amanah yang harus dijaga dan dipakai sewaktu-waktu terjadi
kontak senjata. Dan ketika bergabung dengan pasukan Artillery Mujahidin dari
Ittihad-e-Islamiy, mereka dapat sekalian mempraktikkan pengetahuan sesuai
dengan tingkat pengetahuan yang telah didapatkannya di Akademi Militer.
Kecuali orang-orang Indonesia yang bukan lagi berstatus siswa di Akademi
Militer, maka program keterlibatan mereka di medan pertempuran di
Afghanistan diatur oleh Zulkarnain di perwakilan mereka di Peshawar, Pakistan,
sehingga dapat bergabung dengan orang-orang Arab selain orang Afghan. Sebab
orang-orang Arab menyusun pasukannya sendiri ketika melakukan perlawanan
dengan pasukan Rusia maupun pasukan pemerintah komunis Afghanistan.
Selain
orang-orang
Indonesia
(dari
NII)
yang
diberangkatkan
ke
Pakistan/Afghanistan untuk mengikuti program pendidikan dan pelatihan di
Akademi Militer Mujahidin Afghanistan di Sadda, terdapat juga anggota NII yang
diberangkatkan untuk mengikuti pelatihan kursus singkat selama satu atau dua
bulan. Di antaranya adalah Ashim (belakangan diketahui di Indonesia dengan
nama Holisudin), Abdul Matin yang lebih dikenal di Indonesia dengan nama Dul
Matin, Agung Riyadi, Suhaimi, Faiz Bafana, dan lain-lain yang berjumlah sekitar
20
orang.
Terdapat juga orang-orang Indonesia di Afghanistan yang di luar jalur Ustadz
Abdul Halim yang bergabung dengan Mujahidin Arab di Afghanistan. Biasanya
orang-orang Indonesia dari jalur Ustadz Abdul Halim akan menghindarkan diri
dari bertemu dengan orang-orang Indonesia itu. Dan jika pun bertemu pasti
akan mengaku sebagai orang Malaysia bukan orang Indonesia. Sikap berbohong
ini dilakukan adalah karena di medan pertempuran di Afghanistan sangat
dikhawatirkan kemungkinan kehadiran personel intelijen pemerintah Indonesia.
Pengalaman
(Harbiy
sebagai
Instruktur
Pohantun
di
Akmil
Mujahidin
Afghanistan
Mujahidin-e-Afghanistan).
Di antara yang pernah berpengalaman bertugas sebagai instruktur untuk orangorang
Indonesia
(NII)
di
Harbiy
Pohantun
Sadda
adalah:
*
Zulkarnain
(1),
*
Syawal
(1),
*
Hamzah
(2),
*
Mustapha
(2),
*
Ziyad
(2),
*
M.Qital
(2),
*
Mustaqim
(2),
*
Ikhsan
(2),
*
Hambali
(4),
*
Husain
(4),
*
Nuaim
(5),
*
Saya
sendiri
(5),
*
Mughirah
(5),
*
Tamim
(7),
*
Habib
(7),
*
Qotadah
(7),
*
Ukasyah
(7).
Pengalaman saya sebagai instruktur bermula sekitar tahun 1989 ketika duduk di
kelas 2 (Sinfi Duwom) Akademi Militer Mujahidin Afghanistan. Waktu itu sedang
liburan akhir tahun kelas 2. Pada masa-masa menunggu giliran saya ke medan
pertempuran di Afghanistan, saya ditugaskan untuk mengajar dan melatih
orang-orang yang mengaku dari Bangladesh. Waktu latihannya hanya sekitar 2
minggu, dan materinya berkisar pengenalan senjata api dan penggunaannya.
Saya diminta untuk menggunakan bahasa Inggris yang kemudian oleh salah
seorang dari mereka menterjemahkan ke bahasa yang dipahami oleh mereka.
Walaupun ada instruktur yang berada di Akademi pada waktu itu, namun para
instruktur itu memberikan tugas kepada saya sebagai latihan dan kegiatan
ekstra selama liburan akhir tahun kelas 2. Kegiatan melatih orang Bangladesh
yang berjumlah sekitar 40 orang itu diadakan di wilayah Akademi Militer
Mujahidin
Afghanistan.
Pengalaman kedua ketika saya duduk kelas 3 di Akademi Militer tersebut. Saya
ditugaskan untuk merangkap sebagai instruktur bantuan mengajar kelas 1 (Sinfi
Awal) orang-orang Indonesia di Akademi Militer (angkatan ketujuh), di bidang
persenjataan (small arms). Dan kegiatan sebagai instruktur bantuan ini berjalan
sekitar 3 bulan sebab saya merasa terbebani dengan banyaknya pelajaran yang
saya anggap banyak ketinggalan akibat waktu yang diluangkan untuk mengajar
kelas 1. Bukan hanya saya sendiri yang ditugaskan untuk menjadi instruktur
bantuan, tetapi ada dua orang teman seangkatan saya, Nuaim dan Mughirah
(keduanya adalah warga Indonesia) yang ditugaskan untuk mengajar mata
pelajaran
yang
lain.
Pengalaman ketiga ketika liburan kelas 3 sebelum upacara wisuda (Rasmi
Gojas). Pada waktu liburan itu juga saya mendapat giliran sebagai rombongan
kedua untuk berangkat ke medan pertempuran di Afghanistan. Saya dan dua
orang seangkatan, yaitu Nuaim dan Mughirah ditugaskan untuk bersama-sama
dengan salah seorang instruktur asal Indonesia, Syawal (lulusan angkatan
pertama), untuk melatih orang-orang Kashmir di Khowst Utara (Shamali
Khowst)
Afghanistan
di
sebuah
kamp
latihan
orang
Mesir.
Sekali lagi saya diberi tugas untuk melatih bidang persenjataan, meliputi
berbagai jenis senjata api berkaliber ringan dan senjata yang berkaliber besar
(artillery). Sementara Nuaim mengajarkan mata pelajaran 'Map Reading and
Navigation', sedangkan Mughirah mengajarkan 'Field Engineering' atau disebut
juga 'Mine and Destruction'. Mereka adalah orang-orang Kashmir yang sempat
melarikan diri dari kampung halamannya karena diserang oleh tentara
pemerintah India. Mujahidin Kashmir itu bermaksud berlatih kemiliteran dan
ingin memisahkan wilayah Kashmir yang mayoritas beragama Islam untuk
tujuan bergabung dengan Pemerintah Pakistan. Begitulah salah seorang dari
sekitar 100 orang yang mengikuti pelatihan selama 1 bulan itu menjelaskan
kepada
saya.
Sebelum Rasmi Ghojas (meminjam istilah orang Afghan yang berarti wisuda),
yaitu setelah angkatan saya selesai program pendidikan di Akademi Militer
Mujahidin Afghanistan (1990), maka saya diperintahkan pulang oleh Zulkarnain
ke Malaysia pada pertengahan Juni 1990 untuk menghadiri acara pernikahan
adik saya dengan Mukhlas yang berlangsung pada 1 Juli 1990.
Tinggal di Johor Bahru Malaysia selama satu bulan, saya harus kembali ke
Akademi Militer Mujahidin Afghanistan untuk menghadiri wisuda angkatan saya
dan selanjutnya mengemban tugas menjadi instruktur tetap di Akademi. Saya
hanya mengajar bidang persenjataan untuk semua tingkat kelas kuliah, yaitu
kelas 1, 2 dan 3 bagi orang-orang NII angkatan keenam, ketujuh, kedelapan,
dan seterusnya hingga angkatan kesepuluh. Begitu juga siswa-siswa selain
Afghan, jika ada yang mengikuti pelatihan di Akademi Militer Mujahidin
Afghanistan.
Berikut adalah 9 nama dari 10 orang angkatan keenam yang masuk
tahun 1988:
01.
02.
03.
04.
05.
06.
07.
08.
09. Robi’.
Yazid.
Arkam.
Muaz.
Rofi.
Nu’man.
Rifa’ah.
Haris.
Sofwan.
Sementara dari 22 orang angkatan ketujuh yang masuk tahun 1989
adalah:
01.
Sofyan
(alm),
02.
Habib.
03.
Tamim,
ditahan
oleh
Polri
tahun
2003.
04.
Zubair,
ditahan
oleh
Poki
tahun
2003.
05. Urwah yang dikenal juga dengan nama Pepen, ditahan oleh Polri tahun
2003.
06. Jabir (alm). Meninggal dunia ketika kecelakaan disaat mempersiapkan bom
rakitan
di
Antapane,
Bandung
pada
akhir
tahun
2000.
07. Usaid (alm). Belakangan ia diketahui di Indonesia bernama Zainal,
meninggal di Ambon dalam kecelakaan ketika mempersiapkan bom rakitan.
08. Umair. Belakangan saya ketahui di Indonesia bernama Abdul Ghani atau
Suramto ketika dicurigai terlibat dengan aksi Bom Bali tahun 2002.
09.
Abu
Dujanah.
10. Qotadah, dikenal dengan nama Baasyir ketika berada di Mindanao Filipina.
11.
Suhail.
12.
Ukasyah,
dikenal
juga
dengan
nama
Zuhair.
13.
Auf,
warga
Malaysia.
14.
Qois,
warga
Malaysia.
15.
Aqil,
warga
Malaysia.
16.
Suhaib.
17.
Anas.
18.
Adi.
19.
Dzakwan.
20.
T.
Furqan.
21.
T.
Abdul
Fattah.
22. T. Abdul Hafiz.
Adapun 22 orang angkatan kedelapan yang masuk tahun 1990 adalah:
01. Said, warga Malaysia yang belakangan di Indonesia diketahui bernama
Farhan,
terlibat
kasus
imigrasi
di
Indonesia
tahun
2003.
02. Saad, belakangan di Indonesia diketahui bernama Faturrahman Al-Ghozi
(alm).
03. Bara’, pernah bertugas di Kamp Hudaybiyah Mindanao Filipina pada tahun
1996 dengan menggunakan nama Amin. Kemudian belakangan diketahui di
Indonesia bernama Mubarak atau Utomo Pamungkas melalui media setelah
terlibat
peristiwa
Bom
Bali
2002.
04.
Salim.
05.
Ismail.
06.
Saib.
07. Muktib, pernah divonis atas kasus pemboman di Batam pada tahun 2000.
08.
Makmar.
09.
Abdullah.
10.
MuBaasyir.
11. Ilyas, pernah bertugas di Kamp Hudaybiyah pada 1995-1997 dengan
menggunakan
nama
Hanif.
12.
Hatib.
13.
Aus.
14.
Robi’ah.
15. Unais, pernah dihukum di Jawa Barat atas kasus pemboman di Pangandaran
pada
bulan
Desember
2000.
16. Abdul Hamid, belakangan diketahui bernama Muh Musyafak setelah ditahan
dan
divonis
terlibat
menyembunyikan
pelaku
Bom
Bali.
17.
Abu
Yasar.
18.
Sahal.
19.
T.
Hamzah.
20.
T.
Silahullah.
21.
T.
Yusuf.
22. T. Zahid.
Angkatan kesembilan yang masuk tahun 1991 berjumlah 23 orang yang
di antara mereka:
01. Zaid, belakangan diketahui di Indonesia bernama Ali Imran (melalui media)
setelah
dinyatakan
terlibat
dalam
peristiwa
Bom
Bali.
02. Sawad, belakangan diketahui di Indonesia bernama Sarjiyo (melalui media)
setelah
dinyatakan
terlibat
peristiwa
Bom
Bali.
03. Abu Syekh, belakangan diketahui di Indonesia yang disebut-sebut bernama
Umar
Patek
dan
dicurigai
terlibat
peristiwa
Bom
Bali.
04. Qudamah atau Kudama, belakangan diketahui di Indonesia bernama Imam
Samudra atau Abdul Aziz yang mengaku bertanggungjawab dalam peristiwa
Bom
Bali
12
Oktober
2002.
05.
Syuja.
06.
Abu
Lubabah.
07.
Syuraqah.
08.
Sobih
alias
Aris
Munandar.
09.
Mus’ab.
10.
Masood.
11.
Abu
Aqil,
warga
Malaysia.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23. T. Zubair.
Ubadah,
T.
Abu
T.
T.
T.
T.
T.
T.
T.
warga
Abu
Munzir.
Malaysia.
Ayub.
Solahudin.
Hizbullah.
Huzaifah.
Kholabah.
Ziyaudin.
Anas.
Tohir.
Umar.
Terakhir, enam nama dari sekitar 10 orang angkatan kesepuluh yang
masuk tahun 1992:
01. Abu Ubaidah, belakangan di Indonesia diketahui bernama Toni Togar atau
Indra Warman, yang ditahan oleh pihak Polri karena kasus perampokan di
Medan pada sekitar bulan Mei tahun 2003 dan juga dikatakan terlibat dengan
kasus
pemboman
Hotel
JW
Marriott,
Jakarta.
02.
Muhajir.
03.
Ashim.
04.
Kaab.
05.
Haris.
06. Auf.
Saya sempat mengajar di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan di Sadda itu
hingga akhirnya lembaga itu ditutup dan dipindahkan ke Kabul, ibukota
Afghanistan pada akhir tahun 1992. Sedangkan siswa-siswa Indonesia (yang
masih dalam pendidikan) bersama para instrukturnya tidak ikut serta ke
Akademi Militer Afghanistan di Kabul. Sebab, mereka dipindahkan oleh pihak
perwakilan Indonesia (NII) di Peshawar ke kamp latihan yang dibangun oleh
orang Indonesia (NII) di Towrkham, Afghanistan, yang disebut juga Khyber Pass
(pintu masuk perbatasan Afghanistan-Pakistan). Di kamp latihan itu sistem
pendidikan untuk kursus Akademi Militer dilanjutkan oleh para instruktur dengan
perlengkapan dan fasilitas yang tidak sesempurna di Akademi Militer Mujahidin
Afghanistan di Sadda. Namun, program pendidikan yang dilaksanakan sama
bentuknya termasuk pakaian seragam serta peraturan-peraturan yang
diberlakukan.
Di antara orang-orang yang pernah bertugas menjadi instruktur di Kamp
Jamaah Negara Islam Indonesia (NII) yang kemudian pada awal tahun
1993 menjadi Kamp Al-Jamaah Al-Islamiyah di Towrkham Afghanistan
adalah:
01.
Mustapha
(2).
02. Mughirah (5), hanya sebentar sebab pada January 1993 ia dipulangkan
karena tidak memilih Ustadz Abdullah Sungkar sebagai pimpinannya yang baru.
03.
Saya
sendiri
(5).
04.
Nuaim
(5).
05.
Qotadah
(7).
06.
Habib
07.
Tamim
08.
Saad
als
Faturrahman
Al-Ghozi
(almarhum)
09.
Abu
Syekh
(9),
dikenal
juga
dengan
nama
Umar
10.
Baro’
alias
Mubarak
11.
Abu
Dujanah
12. Usaid (almarhum) (7).
(7).
(7).
(8).
Patek.
(8).
(7).
Kemudian pada tahun 1995, saya mendengar dari Zulkarnain bahwa kamp
latihan di Towrkham itu ditutup akibat penyerangan yang dilakukan oleh
kelompok Taliban terhadap Mujahidin Afghanistan dan siapa saja di Afghanistan
yang tidak tunduk dan bergabung dengan Taliban. Abu Dujanah sendiri pernah
menceritakan kepada saya bagaimana ia orang yang terakhir ditugaskan di
Kamp Al-Jamaah Al-Islamiyah di Towrkham itu melakukan pemusnahan
dokumen dan perlengkapan supaya tidak dirampas oleh kelompok Taliban yang
misterius dan tidak dikenal itu.
Bab 2. Pejuang-pejuang Afghanistan
ADA PERBEDAAN antara Mujahidin Afghanistan dengan pejuang Taliban,
keduanya adalah kelompok yang terdiri dari orang Afghan yang terlibat dalam
pertempuran di Afghanistan. Tujuan mereka sama, menegakkan syariat Islam dan
menjadikan Afghanistan sebagai Negara Islam atau Daulah Islamiyah. Perbedaannya
terletak pada waktu keterlibatan mereka dalam pertempuran di Afghanistan dan
siapakah kelompok yang menjadi lawan mereka untuk mencapai tujuan.
Mujahidin Afghanistan bermula pada tahun-tahun akhir 1970-an sampai Mujahidin
Afghanistan dapat merebut Kabul, ibukota Afghanistan, sekitar awal atau
pertengahan tahun 1992 dan melaksanakan pemerintah Islam Mujahidin
Afghanistan. Sedangkan pejuang Taliban baru kedengaran namanya pada akhir
tahun 1993 yang kemudian melakukan penyerangan terhadap pemerintah Islam
Mujahidin Afghanistan hingga pertengahan tahun 1995 (jika tidak keliru) dapat
merebut
Kabul
ibukota
Afghanistan.
Oleh karena itu, apabila Mujahidin Afghanistan saya sebut dan tulis, itu berarti
adalah orang-orang Afghan yang berjuang untuk memerdekakan negara mereka dari
penguasaan faham komunis sampai berdirinya Negara Islam Mujahidin Afghanistan
pada tahun 1992. Adapun pejuang Taliban dimaksudkan untuk membedakan dengan
kelompok
pejuang
Afghan
yang
sebelumnya.
Mujahidin
Afghanistan
Afghanistan dahulunya termasuk wilayah yang dipanggil dengan nama Khurasan
yaitu wilayah yang pertama kali didatangi oleh pasukan tentara Muslimin di bawah
pimpinan Sahabat Nabi Muhammad SAW yaitu Saad Bin Abi Waqas r.a untuk
menyerukan agama Islam. Kemudian pada waktu terjadinya konflik, negara
Afghanistan adalah negara yang dipimpin oleh Presiden Najibullah seorang Muslim
yang berfaham komunis. Menurut Mujahidin Afghanistan, awal terjadinya konflik
atau kebangkitan rakyat karena pemerintahan Afghanistan mempunyai program
penerapan faham komunis untuk merubah faham dan keyakinan rakyat Afghanistan
yang mayoritas beragama Islam menjadi rakyat yang berfaham komunis.
Pemerintah Afghanistan mengawali penerapan faham tersebut di sekolah-sekolah
yang kemudian disadari oleh para Mullah atau Maulawi (bahasa Afghan yang
berarti guru agama atau ulama) dan juga para aktivis Muslim dari kalangan
mahasiswa dan dosen di perguruan tinggi. Sekitar akhir tahun tujuh puluhan (1970an) terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan dosen universitas yang
kemudian diikuti oleh para maulawi di daerah-daerah pendalaman yang bertujuan
menentang kebijakan-kebijakan pemerintah. Demonstrasi tersebut kemudian
berujung dengan pemberontakan bersenjata yang dimulai dengan senjata-senjata
lama
dan
senjata-senjata
yang
dirampas
dari
aparat.
Perkataan ‘Mujahidin’ diperkenalkan oleh para
maulawi dan para mullah sebagai julukan dan
panggilan bagi siapa saja yang berjuang membela
agama Islam. Mereka meyakini bahawa apa yang
mereka perjuangkan adalah mempertahankan faham
Islam dan mereka berkeyakinan bahawa pemerintah
Afghanistan ingin memurtadkan rakyat Afghanistan
dengan cara penerapan faham komunis. Lebih
menguatkan
lagi
keyakinan
mereka
apabila
pemerintah Afghanistan diberi bantuan militer dari
pemerintah Rusia berupa pasukan tentara dan
persenjataan.
Dengan demikian mereka bertambah yakin bahawa di balik penerapan faham
komunis di Afghanistan ada pemerintah Rusia yang menjadi dalangnya. Lalu mereka
mengatakan bahwa pemerintah Rusia ingin menguasai Afghanistan atau menjajah.
Perjuangan Mujahidin Afghanistan bukan lagi menghadapi kekuatan pasukan tentara
pemerintah Afghanistan tetapi mereka menghadapi pasukan tentara Rusia yang
biasa
dijuluki
dengan
istilah
'Beruang
Merah'.
Mujahidin Afghan terdiri dari tujuh organisasi atau tujuh kelompok yang dalam
bahasa Afghan (Poshtun atau Parsi) disebutkan dengan kata 'Tanzim' yang berarti
organisasi atau ormas. Tanzim-tanzim ini adalah perwakilan dari semua suku yang
ada di seluruh Afghanistan yang majoritas suku bagi belahan Utara Afghanistan
adalah berbangsa Parsi dan di belahan Selatan berbangsa Poshtun. Di antara yang
saya masih ingat nama-nama pimpinan dan Tanzimnya adalah:
01. Prof. Ust. Abdur Robbir
02.
Maulawi
Yunus
03.
Prof.
Ust.
Burhanuddin
04.
Insinyur
Gulbuddin
05.
Prof.
Mujaddidiy,
06.
Maulawi
Jailani
07. Maulawi Muhammad Nabi.
Rasul Sayyaf (Tanzim Ittihad-e-Islamiy).
Kholis
(Tanzim
Hizbi-e-Islamiy).
Robbani
(Tanzim
Harakatul
Islamiy).
Hekmatyar
(Tanzim
Hizbi-e-Islamiy).
(Tanzim
Harakat-e-Jihad-e-Islamiy).
(Tanzim
Harakul
Jihad-e-Inkilabiy).
Sejak awal gerakan Mujahidin Afghanistan di Afghanistan, ketujuh kelompok ini
mengadakan perlawanan terhadap musuh yang sama yaitu tentara Rusia dan
Pemerintah komunis Kabul dan dengan tujuan yang satu yaitu membela Islam dan
menegakkan Syariat Islam dalam sebuah Negara Islam. Seringkali operasi
penyerangan dilakukan secara gabungan, yaitu terkadang kesemua tujuh Tanzim
dan terkadang gabungan beberapa Tanzim saja. Pada sekitar tahun 1989, setelah
tentara Rusia mengambil keputusan meninggalkan Afghanistan, Mujahidin
Afghanistan melanjutkan perjuangannya menghadapi pasukan pemerintah komunis
Afghanistan. Tujuannya adalah untuk menjatuhkan pemerintahan Najibullah
(Presiden
Afghanistan).
Dengan kesungguhan semua pihak dari seluruh Tanzim Mujahidin Afghanistan, maka
sekitar awal atau pertengahan tahun 1992, Kabul ibukota Afghanistan telah dapat
direbut oleh pasukan gabungan Mujahidin Afghanistan. Dan, dengan kesepakatan
pimpinan dari seluruh Tanzim maka dipilihlah salah satu dari pimpinan tujuh Tanzim
untuk menjadi Presiden pertama Pemerintahan Islam Mujahidin Afghanistan. Prof.
Mujaddidiy dipilih untuk menjadi Presiden pertama untuk waktu satu atau dua tahun
(saya tidak ingat pasti). Setelah terbentuknya pemerintahan baru untuk Afghanistan,
pemerintahan Pakistan meminta kepada semua Tanzim Mujahidin Afghanistan untuk
memindahkan semua perlengkapan persenjataan di gudang-gudang dan
mengosongkan kantor administrasi Tanzim yang berada di Pakistan, perbatasan ke
Afghanistan. Pernyataan pemerintah Pakistan ini diceritakan oleh Ust. Abdur Robbir
Rasul Sayyaf kepada saya dan rekan-rekan lain ketika kami bersilaturrahmi ke
kediamannya.
Setelah masa jabatan Prof. Mujaddidiy selesai maka Presiden kedua yang diangkat
oleh pemerintah Islam Mujahidin Afghanistan (bukan dari hasil pemilu) adalah Prof.
Ust. Burhanuddin Robbani untuk waktu empat tahun (jika saya tidak keliru). Tetapi
pada masa pemerintahan Presiden Prof. Ust. Burhanuddin Robbani telah terjadi
penyerangan dan perampasan kekuasaan yang dilakukan kelompok yang
menamakan diri Taliban yang berarti pelajar. Sehinggalah Presiden pemerintahan
Islam Mujahidin Afghanistan harus mundur ke utara Afghanistan.
Pejuang
Taliban
Pertama kali nama Taliban saya dengar sekitar akhir tahun 1993. Dan, pada
kesempatan melakukan silaturrahmi ke tempat kediamannya Prof. Ust. Abdur Robbir
Rasul Sayyaf di Towrkham Afghanistan (di dalam gua buatan) bersama teman-teman
yang lain, kami sempat bertanya tentang satu kelompok yang disebut-sebut dengan
nama Taliban yang baru melakukan aksi penyerangan ke beberapa pos-pos
Mujahidin Afghanistan di sekitar propinsi Kandahar, wilayah selatan Afghanistan. Ust.
Abdur Robbir Rasul Sayyaf yang lebih dikenal dengan nama Ust. Sayyaf juga
menyatakan tidak mengerti akan asal usul kelompok yang bernama Taliban
tersebut, dan beliau merasa heran dengan kekuatan kemiliteran yang
dimiliki oleh Taliban. Padahal kelompok yang bernama Taliban itu tidak
pernah muncul sejak awal perjuangan Mujahidin Afghanistan sampailah
Futuh Kabul (Kemenangan menguasai Kabul).
Pada usia kelompok pejuang yang masih muda,
Pejuang Taliban telah menggunakan pesawat tempur
dan tank tempur di periode awal penyerangan ke pos
Mujahidin Afghanistan di wilayah Selatan Afghanistan.
Dan yang lebih mengherankan lagi, menurut Ust.
Sayyaf, bagaimana Taliban boleh mendapat tempat di
utara Pakistan (perbatasan yang berdekatan kota
Quetta) sebagai 'Starting Line' penyerangan, padahal
pemerintah Pakistan telah melarang semua Tanzim Mujahidin Afghanistan
menyimpan perlengkapan kemiliteran sejak Kabul dikuasai Mujahidin Afghanistan.
Pakistan memerintahkan untuk mengosongkan kantor-kantor administrasi di wilayah
Utara Pakistan perbatasan Afghanistan yang dulunya adalah wilayah pengungsian
warga
Afghanistan.
Mayoritas Pejuang Taliban berbangsa Poshtun dan
mayoritas pada awalnya para pejuang Taliban adalah
terdiri atas para pelajar dan para guru di
maahad/madrasah serta dosen di universitas di
Pakistan, kesemua anggota Taliban adalah berbangsa
Afghan. Apa yang saya mengerti tentang tujuan
pejuang Taliban melakukan penyerangan adalah
karena rasa tidak puas hati dengan pemerintah Islam
Mujahidin
Afghanistan.
Di antara hal yang saya ketahui dari salah seorang komandan dari Tanzim Ittihad-eIslamiy ketika dia menjelaskan tentang Taliban, bahawa Taliban menyesali sikap
pemerintah Islam Mujahidin Afghanistan terutama Presiden Mujaddidiy yang antara
lain:
Telah memberi ampunan (amnesty) kepada mantan Presiden pemerintahan
Komunis Afghanistan yaitu Najibullah sehingga Najibullah bebas tidak
dikenakan hukuman.
2. Dan Taliban mengatakan bahwa pemerintah Islam Mujahidin Afghanistan
tidak melaksanakan hukum Syariat Islam yang benar.
3. Serta Taliban menyesali dengan prilaku tujuh Tanzim Mujahidin Afghanistan
yang menurut Taliban tidak pernah bersatu (tidak pernah akur) dan saling
berperang untuk merebutkan jabatan dan wilayah.
1.
Maka Taliban meyakini bahawa menurut Islam yang benar dan yang seharusnya
hanya ada satu kelompok saja yang bisa mengatur umat Islam untuk
menghindarkan perpecahan umat. Oleh karena itu pejuang Taliban ingin menjadikan
Afghanistan dipimpin oleh satu organisasi dan satu pimpinan guna terlaksananya
syariat
Islam.
Taliban menyerukan ajakan menyerah diri kepada pejuang Mujahidin Afghanistan
untuk bergabung dengan pejuang Taliban. Jika menolak maka Taliban akan
melakukan penyerangan, memerangi siapa saja yang tidak mau bergabung dengan
kelompok pejuang Taliban termasuk orang-orang asing (Mujahidin bukan orang
Afghan). Oleh karena pejuang Taliban adalah kelompok baru yang tidak pernah
dikenal sebelumnya oleh orang-orang asing selain orang Afghan, hal itu
mengakibatkan semua orang asing –orang Arab dari berbagai negara dan orangorang Asia seperti orang Indonesia dan Malaysia– meninggalkan muaskar (kem
latihan) yang mereka bangun menuju Pakistan untuk pulang ke tanah air mereka
atau ke negara lain yang dianggap lebih aman. Mereka pergi bukan karena takut
untuk menghadapi pejuang Taliban tetapi menghindarkan diri dari fitnah memburiuh
sesama Muslim.
Pasukan Taliban Memasuki Kabul
Sementara nama Al-Qaidah di bawah pimpinan Osama bin Laden seingat
saya baru kedengaran pada sekitar setahun setelah Taliban menguasai
Kabul, ibukota Afghanistan, sekitar tahun 1996 atau 1997. Orang-orang Arab
kembali ke Afghanistan setelah melihat sikap Pemerintahan Taliban yang welcome
terhadap pejuang Arab. Sedangkan pada waktu perjuangan Mujahidin Afghanistan
yaitu sebelum zamannya pejuang Taliban memerintah Afghanistan, nama Al-Qaidah
tak pernah kedengaran di Afghanistan. Tempat latihan yang dibangun oleh Osama
Bin Laden sendiri dahulunya sebelum Mujahidin Afghanistan menguasai Kota Kabul
berlokasi di Joji sekitar Provinsi Paktia, yang biasanya dipanggil dengan nama
Muaskar Joji. Nama Osama Bin Laden tak terkenal pada waktu itu, tetapi
Ust.Abdullah Azzam yang lebih masyhur dan dihormati oleh berbagai kalangan
karena
ilmu
pengetahuannya.
Di antara budaya orang awam Afghanistan adalah patuh dan percaya serta sangat
hormat ketika bersikap di hadapan seorang yang dikenal atau mempunyai ciri-ciri
sebagai Mullah atau Maulawi, yaitu guru agama atau ulama. Dengan datangnya
pejuang Taliban yang majoritas adalah para guru agama, yaitu Mullah dan Maulawi,
membuat hati orang Afghan menjadi dilematis jika melakukan perlawanan
menghadapi para guru agama. Oleh karena itu Taliban mendapat simpati dengan
sangat cepat dari kalangan suku Poshtun termasuk para komandan yang pernah ikut
berjuang bersama dengan Mujahidin Afghanistan dari berbagai Tanzim. Kecuali
orang-orang Afghan yang kuat dengan perjuangan Tanzim-nya tidak terpengaruh
dengan ajakan Taliban dan bersedia menghadapi perlawanan dengan pejuang
Taliban.
Ketika Kabul ibukota Afghanistan dapat direbut oleh
pejuang Taliban, Presiden Burhanuddin Robbani
terpaksa mengamankan dirinya berpindah ke wilayah
Utara
Afghanistan,
tetapi
tetap
melakukan
perlawanan. Dalam waktu yang sama Taliban
memproklamirkan pemerintahan Taliban atau disebut
Daulah Taliban. Eksekusi yang pertama yang
dilakukan oleh pejuang Taliban di Kabul adalah
membunuh mantan presiden Afghanistan yaitu Najibullah dan adiknya yang
lalu digantung di pasar untuk menjadi tontonan orang awam. Berita Najibullah dan
adiknya dibunuh dan digantung oleh Taliban diberitakan oleh media massa (sekitar
1995 jika tidak keliru) di seluruh dunia, yang pada ketika itu saya berada di Filipina
Selatan
bersama
dengan
Mujahidin
Bangsa
Moro.
Ya Allah bukankah Najibullah sudah diberi amnesty oleh Prof. Mujaddidiy
presiden pertama Pemerintahan Islam Mujahidin Afghanistan? Siapa tahu Najibullah
sudah bertaubat dan bersikap baik selama sekian tahun berada di bawah
pemerintahan
Islam
Mujahidin
Afghanistan?
Peristiwa menguasai Kabul oleh Mujahidin Afghanistan pada tahun 1992 berbeda
dengan apa yang dilakukan oleh pejuang Taliban. Kalau diingat-ingat kepada sejarah
perjuangan Rasulullah SAW dan dibandingkan antara etika Mujahidin Afghanistan
dan Taliban maka saya mendapati bahwa Mujahidin Afghanistan lebih mendekati
kepada Sunnah Rasulullah SAW, dimana seingat saya Mujahidin Afghanistan ketika
memasuki kota Kabul dalam keadaan tenang tanpa pertempuran yang sengit, sebab
kekuatan
Kabul
telah
menyerah
diri
kepada
Mujahidin
Afghanistan.
Kembali membuka kisah sirah (perjalanan) Nabi Muhammad SAW, pada waktu
sebelum Fathu Makkah (Kemenangan menguasai Makkah Al-Mukarramah),
Rasulullah Saw memberi perintah dan pemberitahuan:
Kepada para panglima dan pasukan Muslimin agar tidak menyerang
atau memerangi orang yang tidak memulai penyerangan, kecuali
terhadap orang yang memulai menyerang dan terhadap enam orang
lelaki (Ikrimah bin Abi Jahal, Habbar bin Al-Aswad, Abdullah bin Saad
bin Abu Sarah, Muqis bin Dhahabah al-Laitsi, Huwairits bin Nuqaid dan
Abdullah bin Hilal) dan empat orang wanita (Hindun binti 'Utbah,
Sarah mantan budak Amer bin Hisyam, Fartanai dan Qarinah), mereka
adalah orang yang boleh dibunuh di mana saja dan kapan saja
ditemui.
2. Kepada sesiapa saja yang memasuki rumah Abu Sofyan, akan
selamat.
3. Kepada sesiapa saja yang menutup pintu rumahnya, akan selamat.
1.
4.
Kepada sesiapa saja yang masuk ke Masjidil Haram, akan selamat.
Pasukan Muslimin tidak membunuh dengan sesuka hati pada waktu menguasai
Makkah al-Mukarramah, jumlah yang menjadi korban tewas kurang dari 40 orang,
itupun karena pihak Quraish Makkah yang memulai. Dan orang-orang yang pernah
diperintahkan oleh Rasulullah SAW untuk dibunuh juga tidak semua yang terbunuh,
hanya Huwairits, Abdullah bin Hilal, Muqis bin Dhahabah dan seorang wanita.
Sementara yang lain telah diberikan ampunan oleh Rasulullah SAW, antara lain
seperti orang-orang yang pernah diperintahkan untuk dibunuh juga mendapatkan
ampunan yaitu Abdullah bin Saad, Ikrimah bin Abi Jahal, Habbar bin al-Aswad dan
Hindun
binti
'Utbah.
Kemudian Rasulullah SAW mengumpulkan orang-orang Quraish yang belum
memeluk agama Islam dan memberikan kebebasan serta jaminan tidak akan dilukai,
dengan kata-kata beliau Rasulullah SAW, “Pergilah kalian semua, sebab kalian
semua
sudah
bebas.”
Betapa indahnya perilaku Rasulullah dalam memperlakukan orang-orang yang
pernah memusuhinya dan memeranginya. Dan dengan senang hati memberikan
ampunan kepada orang yang pernah di perintahkan untuk dibunuh di mana saja
ditemukan. Begitu juga dengan cepat memberikan kebebasan kepada kaum Quraish
yaitu kaum yang membencinya serta memeranginya sejak awal kenabian dirinya
tanpa
tersirat
rasa
dendam
dan
benci.
Kisah dibunuhnya mantan presiden Afghanistan, Najibullah dan adiknya, sempat
membuat saya kaget. Dimana kedua-duanya telah dibunuh dan kemudian digantung
di pasar untuk supaya Taliban memperlihatkan apa yang mereka sebut sebagai
tindakan yang ‘adil’ dan pantas sebagai sikap pembelaan kepada rakyat Afghanistan.
Saya berfikir bagaimana seandainya kalau Najibullah sudah bertaubat dan menjadi
seorang Muslim yang baik sejak setelah pengampunan yang diberikan kepadanya
oleh Prof. Mujadidiy dan selama masa pemerintahan Islam Mujahidin Afghanistan
sekitar dua tahun lebih. Jadi bagaimanalah pertanggungjawaban Taliban di
hadapan Allah SWT nanti? Bukan hanya itu, Taliban juga harus
mempertanggungjawabkan penyerangannya terhadap umat Islam di Negara
Islam
Mujahidin
Afghanistan.
Sehingga sekarang saya masih menyimpan beberapa pertanyaan yang masih belum
terjawab yang di antaranya adalah:
Siapakah gerangan Taliban yang sebenarnya?
Mengapa pada saat pemerintahan Najibullah yang jelas-jelas berfaham
komunis, Taliban tidak ikut serta dalam memperjuangkan nasib umat Islam
Afghanistan?
Mengapa ketika Afghanistan telah dikuasai oleh Mujahidin dan melaksanakan
pemerintahan Islam Mujahidin Afghanistan, Taliban muncul dan melakukan
penyerangan yang selanjutnya diikuti dengan perampasan kuasa
pemerintahan?
Dari manakah kekuatan kemiliteran yang dimiliki Taliban ketika awal gerakan
menyerang Mujahidin Afghanistan?
Apakah Taliban tidak termasuk orang atau kelompok yang melakukan
perencanaan dan pembunuhan dengan sengaja terhadap umat Islam dalam
pemerintahan Islam Mujahidin Afghanistan?
Apa bedanya penyerangan Taliban dengan Amerika?
Mengapa Taliban tidak ikut bergabung dengan pemerintahan Islam Mujahidin
Afghanistan dan memperbaiki sistem pemerintahan yang ada seandainya
Taliban melihat ada penyimpangan di tubuh pemerintahan Islam Mujahidin
Afghanistan dalam melaksanakan Syariat Islam?
Dan seandainya perjuangan Taliban adalah benar di dalam memperjuangkan
syariat Islam, mengapa para pimpinan Mujahidin Afghanistan dari ketujuhtujuh Tanzim (organisasi) tidak ikut bergabung dengan Taliban, bukankah
para pimpinan tersebut adalah dari kalangan cendekiawan Islam?
Dari dulu saya masih belum dapat menerima kehadiran Taliban dan masih belum
dapat membanggakan apa yang telah dilakukan oleh Taliban di Afghanistan dengan
mewujudkan sebuah 'Pemerintahan Islam Taliban'. Sebab apa yang mereka anggap
sebagai mengikuti sunnah Rasulullah ternyata sebaliknya menurut pengetahuan
saja. Mujahidin Afghanistan yang telah bersusah payah sejak belasan tahun be.rjihad
memperjuangkan keyakinan mereka adalah lebih utama dari Taliban menurut
penilaian kacamata pengetahuan saya. Pemerintahan Islam Mujahidin Afghanistan
lebih mengarah kepada tuntunan Nabi Muhammad SAW dibandingkan dengan
pemerintahan Taliban walaupun mereka terdiri dari para pelajar dan dosen.
Bab 3
Jamaah Negara Islam Indonesia
Di antara kegiatan mingguan selama di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan di
Sadda Pakistan adalah menghadiri Majelis pengajian yang diadakan oleh orangorang Indonesia. Semua orang Indonesia di Akademi Militer itu harus mengikuti
kegiatan ini dan tidak ada yang terkecuali. Acara dilaksanakan pada hari Jumaat
setelah solat Asar di masjid Akademi Militer Mujahidin Afghanistan yang dimulai
dengan pembacaan ayat suci Al-Quran pilihan yang kemudian diterjemahkan, lalu
wejangan (nasihat) dan siraman rohani diberikan oleh mas’ul (panggilan untuk
pimpinan) atau orang yang ditunjuk oleh mas’ul. Saya baru mengerti bahwa orangorang Indonesia ini adalah kelompok yang bernama Jamaah Negara Islam Indonesia
atau lebih dikenal dengan panggilan Jamaah NII dan terkadang disebut juga dengan
nama
Jamaah
DI
(Darul
Islam).
Pada setiap kesempatan di Majelis pengajian itu sering diingatkan kepada setiap
orang yang telah menjadi anggota Jamaah harus selalu bersikap As-Sam'u wat
Tho'ah (mendengar dan taat) kepada pimpinan Jamaah, merujuk kepada baiat yang
telah diucapkan atau telah dilakukan. Dan setiap orang yang telah menjadi anggota
jamaah biasanya dipanggil dengan panggilan A.khi (saudaraku) atau Ikhwan
(saudara).
Saya jadi teringat ketika berjabat tangan dengan Ust. Abdul Halim dan menyatakan
untuk sedia mendengar dan taat, baik dalam waktu susah maupun senang, yang
ternyata pada waktu itu saya telah sah sebagai anggota Jamaah NII. Peristiwa itu
terjadi sewaktu akan berangkat ke Afghanistan, (Baca Bab: Perjalanan ke
Afghanistan) padahal saya tidak pernah tau dan tidak pernah dijelaskan tentang
Jamaah ini dan untuk tujuan apa jamaah ini dibentuk. Mau tidak mau walaupun
belum pernah berniat, saya adalah salah seorang yang sudah sah sebagai anggota
Jamaah NII yang harus melaksanakan kewajiban untuk mendengar dan mentaati
semua program yang telah diatur dan disusun untuk saya dan teman-teman di
Pakistan
dan
Afghanistan.
Saya difahamkan sekiranya tidak setia dengan baiat maka akan berdosa dan telah
berkhianat kepada Jamaah NII. Ternyata semua orang Indonesia dan Malaysia
(orang-orang Malaysia yang diberangkatkan setelah saya) yang mengikuti
pendidikan di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan itu adalah anggota NII yang
telah dibaiat. Saya tidak mengerti mengapa kelompok yang menisbahkan kelompok
mereka dengan Indonesia merekrut orang-orang selain warga Indonesia seperti
warga Malaysia? Yang pantas untuk menjawab pertanyaan ini adalah orang
Indonesia sendiri yang datang ke Malaysia secara ilegal pada awal tahun 1985
seperti Ust. Abu Bakar Baasyir, Hilmy Bakar Almascaty, Ust. Abu Jibril, Ust. Solihin,
dan lain-lain yang bersama mereka yang melaksanakan dakwah NII di Malaysia.
Tetapi apa yang pernah saya difahamkan bahwa mereka meyakini bahwa Islam tidak
terbatas kepada status kewarganegaraan. Perekrutan tetap dilaksanakan terhadap
siapa saja tanpa merubah misi untuk berjuang di Indonesia. Dan mereka
mengkonsentrasikan kegiatan yang mengarah untuk Indonesia. Begitulah yang
selalu dilaung-laungkan bahwa Negara Islam Indonesia (NII) harus dimerdekakan
lebih duluan pada setiap tausiyah di setiap hari Jumat di Akademi Militer Mujahidin
Afghanistan.
Tidak ada kelompok lain dari orang Indonesia atau Malaysia yang mengikuti
pendidikan di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan itu (Harbiy Pohantun). Saya
tidak tahu mengapa, sepertinya sudah ada kesepakatan antara Jamaah NII dengan
Tanzim Ittihad-e-Islamiy Afghanistan untuk membatasi para calon siswa Akademi
Militer itu yang hanya dari kelompok Jamaah NII dari faksi Ust. Abdul Halim saja.
Orang-orang Indonesia yang datang ke Afghanistan yang bukan melalui jalur Ust.
Abdul Halim (baik ketika masih NII atau Al-Jamaah Al-Islamiyah) akan mengikuti
latihan kemiliteran di bawah kamp-kamp latihan milik orang Arab di Afghanistan dan
berperang bersama-sama orang Arab di medan pertempuran di Afghanistan.
Saya yakin bahwa semua orang Indonesia dan Malaysia yang mengikuti pendidikan
di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan adalah anggota Jamaah NII sebab
semuanya ikut hadir dalam acara Majelis pengajian yang diadakan pada setiap hari
Jumat selepas solat Asar yang memang khusus untuk anggota Jamaah NII yang
pernah
dibaiat
sebelum
berangkat
ke
Afghanistan.
Seminggu sekali pada kesempatan waktu pengajian hari Jumaat itu, sejarah Negara
Islam Indonesia (NII, DI/TII) diceritakan secara seperingkat-seperingkat sampailah
saya tahu perjalanan sejarah perjuangan NII di Indonesia. Dan kemudian saya juga
memahami akan tujuan NII yang ingin mengembalikan kegemilangan Kartosuwiryo
memproklamirkan Negara Islam Indonesia di sebuah wilayah Jawa Barat pada 7
Agustus 1949. Begitulah yang pernah dijelaskan kepada saya pada waktu itu
sehingga Negara Islam yang telah diproklamir oleh Kartosuwiryo itu diserang oleh
pemerintah Sukarno yang kemudian mengeksekusi Kartosuwiryo dan dikuburkan di
tempat
yang
tidak
diketahui
rimbanya.
Negara Islam Indonesia yang dianggap sah itu, diyakini telah dijajah oleh
pemerintahan Sukarno (Presiden RI pertama), oleh karena itu adalah menjadi
kewajiban bagi anggota Jamaah NII untuk memerdekakan tanah yang diyakini
pernah diterapkan Hukum Allah yaitu Syariat Islam. Karena saya adalah warga
Malaysia, maka saya harus membantu untuk melaksanakan tujuan itu walaupun
saya bukan warga Indonesia, sebab saya difahamkan bahwa Islam tidak mengenal
status warganegara dan batas negara. Begitulah alasan anggota NII yang telah
merekrut
umat
Islam
yang
bukan
berwarganegara
Indonesia.
Seringkali diingatkan kepada anggota Jamaah NII untuk tetap menjaga diri dan siap
berjuang di Indonesia. Alasan mengapa tidak mempunyai rencana pelaksanaan Jihad
berjuang di Malaysia pada waktu itu, adalah karena Indonesia lebih banyak anggota,
lebih dulu memulai perjuangan Islam dan lebih utama dimerdekakan, demikian juga
disebabkan
sejarah
Negara
Islam
pernah
tercatat
di
Indonesia.
Pada awalnya saya tidak begitu tertarik dengan apa yang diperjuangkan oleh orangorang Indonesia ini sebab saya adalah warga Malaysia. Sedangkan apa yang saya
inginkan sudah tercapai, berjihad di bumi Afghanistan dan membantu umat Islam.
Saya tidak pernah berniat untuk pergi ke Indonesia, malah ingin tinggal di
Afghanistan lebih lama untuk berkhidmat dan membantu umat Islam Afghanistan,
berkenaan dengan keinginan mati Syahid, hanya Allah SWT saja yang dapat
menentukan. Dan jika berpeluang untuk berkeluarga maka saya akan mencari
pasangan dari gadis Afghan, pada waktu itu. Tetapi oleh karena semua anggota
berada di bawah pengaturan sebuah Jamaah yaitu Jamaah NII maka saya tidak
boleh berbuat sesuka hati, segala hal yang ingin diperbuat haruslah atas
pengetahuan
dan
izin
dari
mas’ul
setempat.
Sebagai tanda kesetiaan kepada ucapan baiat maka harus mentaati pimpinan
Jamaah NII di mana pun saya berada. Semakin lama bersama dengan orang-orang
NII membuat saya menjadi simpati dengan perjuangan Jamaah NII di Indonesia
tetapi rasa simpati tersebut sebatas ingin mendidik dan melatih anggota Jamaah NII
yang berada di Akademi Milker Mujahidin Afghanistan pada waktu itu. Saya
difahamkan bahwa Jamaah NII sudah pernah memiliki panduan kenegaraan yang
pernah diterapkan semasa pemerintahan. Pada sekitar tahun 1992, Ust. Abdus
Somad pernah datang bersama Pak Harits ke Kamp Towrkham (NII) memberi
penjelasan tentang NII dan memberikan penjelasan tentang buku panduan
kenegaraan NII yaitu yang berjudul 'Pedoman Dharma Bhakti' dan 'Qanun Asasi'.
Beliau menjelaskan bahwa Indonesia adalah tempat pertama yang harus
dimerdekakan dan diperjuangkan, bukan negara Malaysia atau Singapura.
Tetapi kemudian pada suatu waktu di Towrkham Afghanistan, sekitar bulan
January 1993, saya dipanggil oleh Zulkarnain ke Peshawar, yang kemudian
saya di beritahukan tentang Ust. Abdul Halim dan Ust. Abdus Somad yang
memisahkan diri mereka dari Jamaah NII. Sehingga saya diberi peluang untuk
memilih salah satu pemimpin sebagai pimpinan yang diikuti yaitu Ust. Abdul Halim
atau Ajengan Masduki. Dengan penjelasan bahwa seandainya saya memilih Ust.
Abdul Halim maka saya masih berpeluang untuk tetap tinggal di Afghanistan tetapi
seandainya saya memilih Ajengan Masduki, maka akan diuruskan pemulangan saya
ke Malaysia secepatnya. Menurut Zulkarnain, semua teman-teman akan ditanya dan
ditawarkan dengan hal yang sama. Supaya pendirian sikap seorang tidak
dipengaruhi oleh yang lain maka Zulkarnain hanya melakukan penjelasan dan
penawaran itu secara berempat mata saja, demikianlah praktek yang selalu
dilakukan oleh para pemimpin Jamaah NII dan juga oleh Al-Jamaah Al-Islamiyah.
Dan beliau mengingatkan untuk tidak memberitahu siapapun dari teman-teman
tentang
keputusan
dan
pilihan
yang
telah
dibuat.
Oleh karena saya masih ingin berada di Afghanistan dan saya tidak begitu cenderung
bertanya lebih dalam tentang konflik yang terjadi di peringkat pimpinan atasan,
maka saya memilih Ust. Abdul Halim sebagai pimpinan saya, yang memang juga
saya sudah lama mengenali beliau. Selanjutnya saya diminta untuk berbaiat
terhadap pemimpin saya yang baru yaitu kepada Ust. Abdul Halim yang diwakili oleh
Zulkarnain, maka dengan demikian saya sudah bukan lagi anggota Jamaah NII.
Dalam arti kata lain bahwa saya sudah menjadi anggota sebuah jamaah baru
di bawah pimpinan Ust. Abdul Halim. Sekali lagi peristiwa berbaiat yang saya
lakukan dengan tujuan agar dapat tinggal lebih lama di Afghanistan, niatan ini tidak
pernah saya ungkapkan. Kurang lebih sama dengan baiat yang saya setujui
laksanakan
ketika
pemberangkatan
ke
Afghanistan
tahun
1987.
Sejak itu, awal tahun 1993 orang-orang Indonesia yang berada di kamp latihan
Towrkham, baik yang mengikuti program Akademi Militer ataupun kursus singkat
hanyalah terdiri dari orang-orang yang memilih Ust. Abdul Halim selaku pimpinan
mereka yang baru di bawah organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah, baik siswanya
maupun para instrukturnya.
Bab 4
Al-Jama'ah Al-Islamiyah
4.01
4.02 PUPJI
Al Jamaah Al Islamiyah
4.03 Amir dan Majelis-Majelis Pembantu 4.04 Mekanisme
Kerja Al-Jamaah AlAmir
Islamiyah
4.05 Mempersiapkan Kekuatan Personal
AL-JAMAAH AL-ISLAMIYAH dibentuk pada sekitar Januari 1993, ketika itu saya
sedang bertugas sebagai salah seorang instruktur kemiliteran di kamp latihan milik
jamaah NII dari jalur Ust. Abdul Halim di Towrkham Afghanistan. Setelah jamaah
NII infishol (berpecah) maka saya melanjutkan profesi saya di bawah kepimpinan
jamaah yang baru yaitu Al-Jamaah Al-Islamiyah, dan bertugas melatih di tempat
yang sama di Towrkham yang sudah berpindah milik menjadi kamp latihan milik AlJamaah
Al-Islamiyah.
Setelah kembali ke Malaysia pada akhir tahun 1993 atau awal tahun 1994, tiada
tugas yang dibebankan kepada saya, hanya sesekali diminta untuk memberi
tausiyah (nasehat) kepada anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah di Johor Bahru
Malaysia.
Pada sekitar bulan September atau Oktober 1994, saya ditugaskan untuk berangkat
ke Mindanao Filipina Selatan bersama 4 orang anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang
lain. Pemberian tugas itu hanya disampaikan oleh Ust. Mustaqim secara lisan sebagai
pesan dari Ust. Zulkarnain kepada saya. Ust. Mustaqim menyampaikan amanat itu
adalah dengan cara memanggil saya sendirian ke rumahnya di sekitar Madrasah
Luqmanul Hakim tanpa disaksikan oleh orang lain, menurut Ust. Mustaqim bahwa
perintah ini juga dari Ust. Abdul Halim. Tujuan berangkat ke Filipina Selatan itu
adalah untuk melatih kemiliteran anggota-anggota Pejuang Bangsa Moro yang
berlokasi
di
tengah-tengah
pulau
Mindanao
Filipina
Selatan.
Dari awal pelaksanaan tugas melatih Pejuang Bangsa Moro sampai kamp latihan
kemiliteran, kamp Hudaybiyah, dapat dibuka pada sekitar bulan Desember 1994.
Sejak itu saya bertugas selaku ketua kamp Hudaybiyah dan instruktur kemiliteran di
kamp Hudaybiyah itu hingga sekitar akhir tahun 1996. (detilnya akan dijelaskan
pada
bab
Perjalanan
ke
Mindanao)
Pada awal tahun 1997, setelah kembali dari Mindanao Filipina Selatan, saya bertugas
mengajar bahasa arab di Madrasah Luqmanul Hakim di Johor Bahru Malaysia. Posisi
saya di dalam organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah adalah selaku anggota staf di
Wakalah Usman Bin Affan (disebut juga Wakalah Johor) yang dipimpin oleh Mukhlas
alias Ali Ghufron. Wakalah itu adalah salah satu Wakalah di Mantiqi I dibawah
pimpinan Hambali yaitu yang meliputi Semenanjung Malaysia dan Singapura.
Awalnya Mukhlas mengatakan bahwa dia perlukan seseorang untuk menduduki
posisi sebagai Ketua Kirdas (pleton) yang membawahi 3 Fiah (regu), yang sebelum
ini belum pernah dijabat oleh siapapun. Oleh karena beliau mengetahui pengalaman
saya, maka beliau mengharapkan saya mampu membentuk satu sistem dalam
sebuah
Kirdas.
Pelantikan dilakukan di rumah Mukhlas yang terletak di sekitar Madrasah Lukmanul
Hakim Johor Bahru, yang kemudian ketika dalam suatu rapat wakalah saya diundang
untuk diperkenalkan kepada anggota stafnya yang lain. Pada waktu itu (1997)
Noordin M.Top adalah salah satu Ketua Fiah di wakalah itu dan Azahari adalah
anggota fiah-nya. Noordin M.Top membawahi anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang
berada di sekitar Universiti Teknologi Malaysia (UTM) Johor Bahru. Fiah Noordin
M.Top ketika itu dibawah Kirdas saya. Ketika itu Noordin M.Top adalah salah seorang
mahasiswa
di
UTM
sedangkan
Azahari
adalah
dosen
di
UTM.
Di Madrasah Lukmanul Hakim ini, masih sekitar tahun 1997, saya kenal Ismail
Datam yang duduk di Muallimin 1 madrasah tersebut. Ismail Datam kemudian saya
ketahui mengaku terlibat bom Hotel JW Marriott di Jakarta pada 5 Agustus 2003
bersama Tohir yang juga pernah mengajar di Madrasah Lukmanul Hakim sekitar
tahun
2000/2001.
Sekitar bulan Agustus 1997, saya dilantik sebagai Ketua Wakalah dibawah Mantiqi
III. Pelantikan saya ditunjuk oleh Mustapha yang datang ke Madrasah Lukmanul
Hakim untuk menemui saya. Kami duduk berdua di masjid di Madrasah Lukmanul
Hakim, beliau memberitahu saya bahwa beliau telah diangkat selaku Ketua Mantiqi
III yang meliputi Sabah Malaysia, Mindanao Filipina, Tarakan, Nunukan Indonesia
dan Palu, Sulawesi Tengah, Indonesia. Saya percaya dengan apa yang dikatakannya
itu, sebab tidak pernah ada dari anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang berani
mengaku-ngaku
punya
jabatan
dalam
jamaah.
Itulah etika yang ada pada anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yaitu saling percaya.
Beliau langsung mengatakan bahwa beliau perlu orang-orang untuk membantunya
dalam melaksanakan tugas selaku Ketua Mantiqi III, yaitu diperlukan seorang ketua
wakalah yang akan ditempatkan di Sabah Malaysia. Beliau mengambil keputusan
memilih saya karena saya telah bernikah dengan orang Sandakan Sabah yang
diperkirakan tidak akan mendapat kesulitan seandainya saya bertempat tinggal di
Sandakan Sabah Malaysia dan ditambah lagi pengalaman saya yang pernah
melewati Tawi-tawi Filipina Selatan untuk menyeberang ke Mindanao Filipina akan
sangat
membantu
beliau
dalam
melaksanakan
tugasnya.
Saya menerima tawaran beliau itu (tanpa disaksikan oleh orang lain), kemudian ia
mengatakan bahwa pelantikan adalah wewenangnya setelah calon ketua wakalah itu
menyetujui, karena beliau hanya tinggal menginformasikan kepada Amir Jamaah AlJamaah Al-Islamiyah yaitu Ust. Abdul Halim untuk disetujui. Mustapha juga akan
menginformasikan kepada Mukhlas, Ketua Wakalah Usman Bin Affan di Johor Bahru
(Wakalah Johor), karena saya adalah salah satu anggota Mukhlas pada waktu itu.
Sejak itu saya dianggap sah selaku Ketua Wakalah di Sabah walaupun tanpa surat
pelantikan, dan Mustapha menghendaki saya segera berpindah ke Sandakan, Sabah.
Pada 30 Agustus 1997 saya bersama isteri berpindah ke Sandakan, Sabah, Malaysia,
dengan
biaya
yang
diberikan
oleh
Mustapha.
Sekitar awal atau pertengahan tahun 1998, sebagai Ketua Wakalah Badar (di Sabah)
saya ditugaskan oleh Mustapha untuk mengurus perjalanan para anggota Al-Jamaah
Al-Islamiyah yang akan berangkat berlatih kemiliteran dan berjihad di Filipina
Selatan bersama para Pejuang Bangsa Moro. Segala urusan keluar masuk anggota
Al-Jamaah Al-Islamiyah tersebut dari Indonesia ke Filipina Selatan diatur baik secara
legal ataupun secara ilegal. Sejak itu kegiatan keluar masuk anggota Al-Jamaah AlIslamiyah ke (atau dari) Filipina Selatan berjalan lancar hingga akhir tahun 2002.
Perintah untuk mengurus anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah menyeberang ke Filipina
Selatan adalah dari Mustapha karena beliau-lah yang mempunyai wewenang selaku
Ketua Mantiqi Tsalis (III). Begitu juga setelah Mustapha menjabat sebagai Bidang
Diklat di level Markaziyah, beliau juga lah yang menginstruksikan saya untuk
mengurus penyeberangan. Mustapha selalu berjabatan di atas jabatan saya dalam
struktural Al-Jamaah Al-Islamiyah dan saya selalu berposisi bawahannya.
Akhir tahun 1999 atau awal tahun 2000, saya ditugaskan oleh Mustapha (Ketua
Mantiqi III) sebagai salah satu instruktur untuk semester ketiga dari angkatan
pertama program latihan Akademi Militer Al-Jamaah Al-Islamiyah yang bertempat di
kamp Hudaybiyah, dengan jangka waktu selama 6 bulan saja. Sekitar bulan Mei
2000 saya sudah kembali ke Sabah Malaysia. Perencanaan tugas bagi saya untuk
bertugas sebagai salah seorang instruktur di kamp Hudaybiyah pada semester ketiga
dari angkatan I Akademi Milker Al-Jamaah Al-Islamiyah telah saya ketahui di Manado
pada akhir tahun 1999 dimana Mustapha menunjukkkan daftar nama para instruktur
yang direncanakan untuk setiap semester bagi angkatan I Akademi Militer Al-Jamaah
Al-Islamiyah yang telah dipilihnya. Nama-nama tersebut menurut Mustapha sudah
disetujui oleh Amir Jamaah Al-Jamaah Al-Islamiyah yaitu Ust. Abdul Halim. Sekali
lagi saya harus percaya dengan apa yang dikatakan oleh Mustapha yang memang
begitulah kebiasaan yang terjadi harus selalu percaya kepada pimpinan.
Pada sekitar akhir tahun 2000 saya diberitahu oleh Mustapha bahwa ada
kemungkinan saya akan menggantikannya untuk menjabat sebagai Ketua
Mantiqi III. Pergantian itu disebabkan karena beliau memegang dua tugas sebagai
pimpinan yaitu pimpinan Mantiqi III dan pimpinan projek Uhud (program pembinaan
teritorial di Poso) yang dibentuk pada pertengahan tahun 2000. Kesibukan beliau
dalam mengurusi pengiriman anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah ke Poso membuat
beliau tidak bisa memberi perhatian optimal dalam urusan Mantiqi III. Menurut
beliau, saya diusulkannya ke pihak Markaziyah dan Amir Jamaah Al-Jamaah AlIslamiyah yaitu Ust. Abdus Somad untuk menggantikannya menjabat Ketua Mantiqi
III. Menurut Mustapha sesuai dengan ketentuan di PUPJI bahwa yang
berwenang untuk melantik Ketua Mantiqi III adalah Amir Al-Jamaah AlIslamiyah maka saya harus bertemu dengan Ust. Abdus Somad yang juga dikenal
dengan
nama
Ust.Abu
Bakar
Baasyir.
Sekitar bulan April 2001, saya diundang Mustapha untuk datang ke Indonesia yang
menurutnya bahwa saya akan dibawa bertemu dengan Ust. Abdus Somad. Setibanya
saya dan Mustapha di Solo, bertempat di Maahad 'Ali (Gading Solo), Ust. Abdus
Somad sudah berada di salah satu kantor Maahad Ali. Setelah Ust. Abdus Somad
selesai menghadiri acara rapat, saya dipanggil masuk menemuinya lalu diajak
berbicara di kamar yang hanya saya dan Ust. Abdus Somad saja tanpa kehadiran
Mustapha di kamar itu dan tanpa ada yang lain ikut menyaksikan. Ust. Abdus
Somad langsung mengatakan bahwa saya sekarang menggantikan posisi
Mustapha selaku Ketua Mantiqi III. Saya menerima dengan tanpa bantahan
karena sepengetahuan saya sejak wafatnya Ust. Abdul Halim sekitar akhir 1999 Ust.
Abdus Somad adalah Amir Jamaah yang berikutnya yaitu pimpinan paling tertinggi
dalam organisasi yang saya berada di dalamnya yaitu Al-Jamaah Al-Islamiyah. Dan
saya juga mengetahui bahwa orang yang mempunyai wewenang untuk melantik
ketua Mantiqi adalah Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah. Sementara Mustapha berjabatan
sebagai
Bidang
Diklat
di
tingkat
Markaziyah.
Kemudian sekitar pertengahan tahun 2003 saya berhenti dari aktif bersama AlJamaah Al-Islamiyah karena sebab-sebab tertentu yang timbul dari sikap dan
tindakan sebahagian dari kalangan pemimpin dan anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah,
baik menurut hukum manusiawi maupun menurut hukum syar'ie (akan saya jelaskan
pada bab Keluar dari Al-Jamaah Al-Islamiyah), oleh sebab itulah saya tidak setuju
dan tidak mau bergabung lagi di dalam organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah.
Berikut ini penjelasan tentang organisasi atau Jamaah Al-Jamaah Al-Islamiyah
seperti yang saya fahami dahulunya selaku anggota organisasi tersebut.
Apakah
Al-Jamaah
Al-Islamiyah
itu?
Al-Jamaah Al-Islamiyah adalah pecahan dari Jamaah Darul Islam atau dikenal
dengan nama NII, yaitu kelompok yang melanjutkan perjuangan Negara Islam
Indonesia. Al-Jamaah Al-Islamiyah adalah sebuah Organisasi/Jamaah yang terdiri
dari orang-orang Muslim yang memiliki seorang pemimpin yang disebut sebagai Amir
Jamaah. Jamaah ini bukanlah Jama'atul Muslimin tetapi merupakan Jama'atun minalMuslimin, maksud dari minal-Muslimin adalah kelompok atau organisasi ini terdiri
dari sebagian orang-orang Muslim saja, yaitu bukan bermaksud umumnya semua
umat Muslim di seluruh dunia. Jamaah ini atau kelompok ini di namakan dengan
nama
Al-Jamaah
Al-Islamiyah.
Al-Jamaah Al-Islamiyah adalah sebuah JAMAAH atau ORGANISASI dengan alasan
bahwa Al-Jamaah Al-Islamiyah memiliki pimpinan jamaah yang ditaati, anggota
jamaah dan struktural kepimpinan (jalur komando). Dalam arti kata lain, terdapat
orang yang mentaati dan orang yang ditaati, terlebih lagi apabila pemimpinnya
sudah
jelas
yaitu
seorang
yang
disebut
sebagai
Amir
Jamaah.
Asal usul pemberian nama ini tidak diketahui, sementara saya mengetahuinya dari
anggota senior dalam jamaah ini seperti Ust. Zulkarnain, Ust. Mukhlas, Ust.
Mustapha, Hambali, Ust. Mustaqim, Ust. Afif dan banyak lagi dari pimpinan atasan
saya. Dan, nama Jamaah Islamiyah singkatan dari Al-Jamaah Al-Islamiyah sudah
menjadi buah mulut (pribahasa melayu) di antara sesama anggota jamaah. Menurut
yang difahamkan kepada saya, bahwa jamaah ini sama seperti kelompok atau
organisasi Islam yang lain yang menggunakan nama Islam atau yang identik dengan
Islam. Sebagai contoh nama sebuah kelompok atau organisasi yang memberi nama
dengan nama Partai Islam, tidak berarti selain anggota Partai Islam bukan Muslim.
Begitu juga sebagai contoh yang lain, kelompok bernama Majelis atau Partai
Mujahidin, dengan pemberian nama tersebut bukan berarti mereka adalah mujahidin
dan bukan berarti selain mereka bukan mujahidin. Tetapi nama itu adalah sebagai
pembeda atau sebagai tanda untuk menunjuk wujudnya sebuah kelompok yaitu
gabungan
orang-orang
tertentu.
Nama Jamaah Islamiyah berbeda dengan Al-Jamaah Al-Islamiyah. Berbeda karena
Al-Jamaah Al-Islamiyah adalah sebuah jamaah atau kelompok tertentu sementara
Jamaah Islamiyah adalah umat Islam keseluruhan sebagaimana jika disebutkan
perkataan 'Jamaah' di dalam hadis-hadis selain yang bermaksud jamaah salat, maka
'Jamaah' itu berarti khilafatul Muslimin atau umat Islam. Oleh sebab itu, seperti apa
yang difahamkan bahwa Al-Jamaah Al-Islamiyah diberi nama dengan menggunakan
kata ‘Al’ yang berarti khusus atau makrifah menurut tata bahasa Arab.
Secara lisan (sebutan) memang agak kesulitan untuk menyebut kata Al-Jamaah AlIslamiyah secara berulang kali sehingga menjadi kebiasaan bagi anggota Al-Jamaah
Al-Islamiyah untuk memperpendek sebutannya menjadi 'Jamaah Islamiyah' saja
(kebiasaan memendekkan sebutan adalah merupakan bagian dari budaya orang
Indonesia yang suka memperpendek istilah/nama). Kata Al-Jamaah Al-Islamiyah
telah diperpendek secara lisan dan tulisan menjadi dua macam kata yaitu Jamaah
Islamiyah dan JI. Sementara apabila kata 'JM' dan perkataan 'Tanzim' disebutkan di
antara sesama kalangan anggota maka perkataan itu bukanlah singkatan kata
namun adalah sebuah kode rahsia yang bermaksud Al-Jamaah Al-Islamiyah. Ini
adalah dua contoh kode dari sekian banyak kode yang diperlakukan didalam AlJamaah
Al-Islamiyah.
Anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah telah terbiasa dengan penggunaan kode (kata yg
tidak beraturan) dan penggunaan istilah yang diambil dari bahasa asing seperti
Parsi, Poshtun, Tagalog, Maguindanaon, Arab dan Inggeris. Sehingga istilah tersebut
menjadi kegunaan sehari-hari ketika berkomunikasi dengan sesama anggota AlJamaah Al-Islamiyah dan menjadi istilah administrasi di dalam organisasi. Memang
sengaja dicari kata-kata yang tidak difahami oleh orang awam dan ada kalanya tidak
difahami oleh anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang lain karena mereka belum
pernah berlatih. Semua kegiatan ini adalah bertujuan melaksanakan prinsip Tanzim
Sirri.
Pemberian nama untuk sesebuah kelompok dibenarkan di dalam Islam dan
seandainya sesuatu kelompok tidak memberikan namanya sendiri maka pihak lain
yang akan memberikannya nama, suka atau tidak pasti diberikan jika tidak pernah
memiliki nama. Begitu juga sudah naluri alam bahawa sesuatu benda itu memiliki
nama dan jika tidak ada nama atau kita tidak tahu namanya maka pasti akan kita
namakan sesuatu itu. Apabila di dalam sekelompok orang, ada orang yang ditaati
dan ada orang yang mentaati maka otomatis mereka adalah sebuah kelompok atau
jamaah, baik mereka menamakan diri mereka atau tidak, yang jelas pasti terlihat
berbentuk
sekelompok
orang
yang
bersatu.
Al-Jamaah Al-Islamiyah adalah salah satu dari sekian banyak jamaah atau organisasi
yang ada di dunia sekarang ini. Itulah sebabnya Al-Jamaah Al-Islamiyah mengakui
akan keberadaan jamaah Islam yang lain yang memiliki Aqidah dan tujuan yang
sama biarpun metode yang digunakan berbeda serta di bawah kepimpinan orang
tertentu dan dengan nama yang tersendiri. Pengakuan itu tentunya sepanjang
perjuangan mereka berlandaskan petunjuk Al-Quran dan As-Sunnah sebagaimana
yang
difahami
oleh
Al-Jamaah
Al-Islamiyah.
Ada orang yang mengartikan Al-Jamaah Al-Islamiyah dengan arti Umat Islam dan
selanjutnya mengakui bahawa dirinya juga adalah Al-Jamaah Al-Islamiyah. Bagi saya
silahkan saja mengakui demikian karena sah-sah saja bagi sesiapa yang ingin
membuat pengakuan dengan nama tersebut, karena semua umat Islam baik individu
atau organisasi adalah Jamaah Islamiyah. Mereka punya hak untuk membuat
pengakuan itu tetapi belum tentu mereka adalah merupakan bagian dari kelompok
Al-Jamaah Al-Islamiyah, apabila proses untuk menjadi anggota kelompok Al-Jamaah
Al-Islamiyah tidak dilalui dan tidak memenuhi persyaratan, maka seseorang tersebut
belum dikatakan sebagai salah seorang anggota dari jamaah atau kelompok atau
organisasi yang dimaksud dengan nama Al-Jamaah Al-Islamiyah, walaupun dia telah
mengaku-ngaku
sebagai
anggota
Al-Jamaah
Al-Islamiyah.
Untuk mengetahui seseorang itu adalah anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah adalah
apabila ada anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang lain yang memperkenalkannya,
tanpa perlu pembuktian tertulis atau diuji, hanya dengan diperkenalkan itu sudah
cukup bagi anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang lain untuk mempercayai anggota
yang memperkenalkan itu karena etika saling mempercayai antara sesama sangat
kuat. Biasanya dalam memperkenalkan itu bahasa yang digunakan adalah "ini
ikhwan kita" atau "mereka ikhwan-ikhwan kita". Dan juga apabila orang tersebut
mengikuti kegiatan yang khusus untuk kalangan anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah
seperti Majelis-Majelis pengajian untuk kalangan anggota, rapat, kegiatan latihan
fisik indoor atau outdoor, rekreasi, perkemahan dan tempat-tempat latihan
kemiliteran yang hanya disediakan untuk kalangan anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah.
Sebenarnya tidak semua umat Islam diperlukan menjadi anggota Al-Jamaah AlIslamiyah, oleh karena itu tidak semua orang Islam ditawarkan untuk menjadi
anggota meskipun orang Islam tersebut adalah seorang ustaz, kiyai, pendakwah dan
ulama Islam. Tetapi bukan berarti jamaah Al-Jamaah Al-Islamiyah tidak memerlukan
para ustaz, kiyai, pendakwah dan ulama Islam sebagai anggota namun keterlibatan
mereka akan diseleksi dan dipertimbangkan sesuai penempatan fungsi mereka untuk
gerakan
dakwah
Al-Jamaah
Al-Islamiyah.
Maka jika ada orang yang merasa tidak pernah ditawarkan untuk terlibat menjadi
anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah bukan berarti orang tersebut tidak diperlukan atau
tidak diajak untuk beramal saleh. Namun, orang tersebut jika telah akrab dan dekat
dengan anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah maka dengan tanpa disadarinya dia telah
masuk ke dalam lingkungan gerakan dakwah Islam Al-Jamaah Al-Islamiyah, yang
berkedudukan sebagai suporter atau simpatisan bagi organisasi Al-Jamaah AlIslamiyah. Secara bahasa kasarnya bahwa mereka telah 'dimanfaatkan' atau
'difungsikan'
untuk
tujuan
dakwah
Islam
Al-Jamaah
Al-Islamiyah.
Jamaah Al-Jamaah Al-Islamiyah tidak pernah menjanjikan orang Islam yang telah
menjadi anggota akan masuk syurga. Masuk atau tidaknya seseorang ke dalam
syurga adalah tergantung dari amal pribadinya yang baik dan saleh yang
dilaksanakan sepanjang hidupnya dan diterima oleh Allah SWT, biarpun orang
tersebut bukan dari kalangan anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah. Dan, anggota AlJamaah Al-Islamiyah juga dapat masuk ke Neraka Jahanam jika mereka melakukan
dosa dan melanggar larangan Allah SWT. Tetapi apa yang menyedihkan adalah ada
sebagian anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang telah menggunakan ayat-
ayat Al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad SAW untuk mendorong seseorang
untuk siap mengorbankan dirinya menjadi pelaksana bom bunuh diri di
tengah kerumunan orang awam dengan alasan mati syahid dan masuk
syurga.
Sebagian dari umat Islam yang telah menjadi anggora Al-Jamaah Al-Islamiyah
setelah melalui proses pembinaan dan tarbiyah, diharapkan mampu menjadi tulang
punggung untuk menyebarkan dakwah Islam dan melaksanakan misi Islam yaitu
tertegaknya Syariat Islam. Sementara kebanyakan umat Islam yang lain atau
masyarakat awam (non-Muslim) akan di kategorikan dan dikondisikan menjadi umat
pendukung (supporter), umat simpatisan (simpatizer) dan umat netral (tidak
mengganggu atau memusuhi dan tidak berpihak kepada pihak lawan). Sehingga
masyarakat awam yang terdiri atas umat Islam dan umat non-Muslim dapat
berpotensi melancarkan urusan terlaksananya misi Islam yaitu tertegaknya Syariat
Islam yang selanjutnya otomatis menjadi Negara Islam.
Menentukan persyaratan keanggotaan untuk menjadi anggota adalah hal yang wajar
bagi sesebuah institusi atau organisasi. Organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah
menetapkan persyaratan itu adalah untuk mendapatkan personal yang sudah
terseleksi sesuai dengan sifat organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah. Persyaratanpersyaratan itu sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
Harus beragama Islam, karena organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah adalah
organisasi Islam.
Harus memahami ajaran Allah dan Rasul-Nya tentang perlunya berjamaah.
Sebelum ditawarkan untuk iltizam (bergabung kedalam jamaah), umat Islam
diberikan program tholabul 'ilmi (menuntut ilmu pengetahuan) berupa
pengajian-pengajian dan kursus-kursus agama selama kurang lebih satu
setengah tahun hingga dua tahun, supaya orang-orang yang ikut bersama
organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah dalam keadaan sadar dan faham
berdasarkan pengetahuan yang ada menurut Al-Quran dan As-Sunnah, harus
menerima Ushulul Manhaj Al-Harakiy Li-Iqomatiddin, karena itu adalah
prinsip gerakan Al-Jamaah Al-Islamiyah. (akan dijelaskan di bawah),
bermubaya’ah atau berbai’at dengan Amir Jamaah Al-Jamaah Al-Islamiyah,
adalah sebagai sebuah pernyataan ikatan setia untuk beramal solih sesuai
syariat Islam. Bai'at (disebut juga Bai'ah) yang diucapkan adalah Bai'at Amal
bukan yang dimaksudkan bai'at janji setia kepada Amir Al-Jamaah AlIslamiyah dan bukan pula seperti bai'at kepada Khilafah. Baiat ini dapat
dilakukan secara langsung dengan berjabat tangan kepada Amir Jamaah
ataupun secara tidak langsung kepada Amir Jamaah (yaitu dengan cara Amir
Jamaah mewakilkan pengangkatan baiat itu kepada orang yang ditunjuknya).
Harus aqil baligh. Organisasi ini diperuntukkan kepada orang dewasa saja
sebab anak-anak belum layak untuk bergiat atau beraktivitas di dalam
organisasi.
Dan, akhirnya harus melewati tahapan Tamhish (penseleksian) supaya
terseleksi dan diyakini bahawa seseorang itu masuk ke dalam organisasi AlJamaah Al-Islamiyah secara sadar serta bersungguh-sungguh untuk
memperjuangkan Islam dan supaya dapat dipastikan bahwa ianya bukan
bagian dari penyusupan musuh.
Tholabul 'ilmi (menuntut ilmu) yang dimaksud adalah program pendidikan kepada
masyarakat baik Muslim maupun non-Muslim yang dilaksanakan secara bertahap.
Tahapan-tahapan pendidikan tersebut adalah sbb:
Pertama: Tahapan Tabligh. yaitu pendidikan yang diberikan ini bersifat kepada
masyarakat umum tanpa batas jumlah dan tempat seperti sekolah, pesantren,
universitas,
masjid,
tabligh
akbar
dan
media
cetak/elektronik.
Kedua: Tahapan Taklim. yaitu pemberian materi pendidikan dalam bentuk kursuskursus yang terbatas jumlah partisipan. Seperti kursus bahasa Arab, Haji dan Umrah
dan
lain-lain.
Ketiga: Tahapan Tamrin. partisipan terdiri dari orang-orang tertentu yang
ditawarkan untuk mengikuti pengajian tertutup yang terdiri dari kenalan-kenalan
yang pernah mengikuti program-program pada tahapan Tabligh dan Taklim. Pada
tahapan ini para partisipan mula diberikan materi (subjek) islamiy secara berurut
yaitu Usuluts Tsalasah, Aqidah, Islam, Iman, Akhlak, Ibadah dan Sirah Nabi.
Keempat: Tahapan Tamhish. yaitu tahapan lanjutan dari Tahapan Tamrin.
Partisipan yang masih tersisa dan tetap istiqomah (setia) mengikuti pengajian di
Tahapan Tamrin akan diberikan materi lanjutan yaitu Hijrah, Jihad, Jama'ah,
Imamah dan Bai'ah. Sekaligus pada tahapan ini disampaikan juga materi 10 prinsip
Ushulul Manhaj Al-Harokiy Li-Iqomatid Dien, yaitu prinsip gerakan Al-Jamaah AlIslamiyah. Pada tahapan ini ada orang yang ditugaskan untuk mempelajari latar
belakang partisipan agar partisipan tersebut benar-benar ikhlas dan bersungguhsungguh.
Partisipan yang telah dinilai lulus pada Tahapan Tamhish akan diberi tawaran untuk
bergabung di dalam jamaah (komunitas) tanpa menyebutkan nama jamaah yang
akan dia bergabung. Orang yang akan menilai seseorang itu lulus untuk diberikan
tawaran iltizam (bergabung) adalah pembinanya yaitu ustaz dalam sebuah
pengajian dan biasanya orang-orang yang telah melewati tahapan-tahapan seperti
yang di atas akan menerima tawaran tersebut. Maka mereka akan menjalankan
praktikal berbai'at untuk bergabung sebagaimana prosedur yang telah ditetapkan di
dalam
aturan
Al-Jamaah
Al-Islamiyah.
Orang yang berwenang menerima pengangkatan bai'at adalah Amir Jamaah AlJamaah Al-Islamiyah, dan boleh juga Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah mewakilkan
kepada orang lain untuk menerima baiat seseorang. Dan lafaz bai'at yang menjadi
akad ijab qabul yang diucapkan sebagai persyaratan keanggotaan adalah seperti
berikut
(sambil
berjabat
tangan):
Amir Jamaah (atau orang yang diwakilkan menerima
baiat) akan menyebutkan: “Wajib keatas Anda untuk
memenuhi janji Allah dan Mitsaq-Nya, yaitu hendaklah
Anda berwala' kepada orang yang berwala' kepada Allah
dan Rasul-Nya, dan hendaklah anda memusuhi orang
yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, dan hendaklah Anda
saling
bantu-membantu
di
atas
kebenaran
dan
ketakwaan, dan janganlah Anda saling bantu-membantu
dalam (urusan) dosa dan permusuhan. Dan apabila
kebenaran ada bersamaku (Amir Jamaah) maka
hendaklah Anda membantu kebenaran itu dan sekiranya
aku di atas kebatilan maka janganlah Anda membantu
kebatilan itu.”
Lalu orang yang berbai'at mengucapkan, “Aku menerima
bai'at ini semampuku.”
Kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seseorang yang telah diakui sebagai
anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Mendengar dan taat kepada Amir menurut kemampuannya dalam halhal yang tidak maksiat.
Mentaati peraturan Jamaah.
Meminta izin kepada Amir dan/atau Mas'ulnya masing-masing bagi
yang bertugas dalam urusan jamaah apabila ada uzur.
Tidak melakukan sesuatu yang mengakibatkan madharat kepada
jamaah.
Membantu Amir bila benar dan meluruskannya bila berbuat salah.
Membela Amir dan melindungi Amir.
Saling membela dan melindungi anggota yang lain.
Keanggotaan dan aktivitas organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah tidak terbatas di
sebuah negara saja, tetapi Jamaah ini bersifat 'alamiy, maksud 'alamiy adalah
internasional, yaitu keanggotaan, pergerakan dan aktivitas organisasi Al-Jamaah AlIslamiyah bisa dilaksanakan di mana-mana, di dalam dan di luar negeri yang tidak
ditentukan. Sebagaimana di dalam Al-Jamaah Al-Islamiyah terdapat 4 Mantiqiy,
yaitu 4 wilayah gerakan dakwah tanpa dibatasi wilayah rasmi sesebuah negara.
(Fungsi
Mantiqi
akan
dijelaskan
pada
keterangan
tentang
PUPJI).
Pada Al-Jamaah Al-Islamiyah terdapat 10 prinsip Islam (Ushulul Manhaj Al-Harakiy
Li-Iqomatiddin) yang harus menjadi pegangan anggota Al-Jama'ah Al-Islamiyah
dalam hidupnya dan mengajak umat Islam yang lain untuk memiliki pegangan yang
sama.
(akan
dijelaskan
pada
keterangan
tentang
PUPJI).
Untuk mencapai sasaran terbentuknya sebuah Negara Islam atau Daulah Islam yang
menjadi tujuan akhir, maka Al-Jamaah Al-Islamiyah menentukan cara dan langkah
yang harus ditempuh yaitu:
1.
2.
3.
4.
Dakwah Islam (seruan dan ajakan).
Tarbiyah (pendidikan).
Amar ma'aruf dan Nahi 'anil Munkar (teguran dan perbaikan).
Hijrah (berpindah untuk menyelamatkan Iman dan Aqidah ke suatu tempat
atau wilayah yang aman), dan jihad fi Sabilillah (mempertahankan dengan
kekuatan akan kedaulatan wilayah Negara Islam yang sudah dibentuk).
Langkah-langkah yang disebutkan ini adalah berlandaskan tuntunan Rasulullah SAW
dan perintah Allah SWT yang termaktub di dalam Al-Quran. Dan apa yang saya
mengerti tentang tujuan Al-Jamaah Al-Islamiyah dari Jihad fie Sabilillah dengan
penggunaan kekuatan bukan berarti digunakan untuk membuat kerusakan di muka
bumi dengan melakukan aksi-aksi kekerasan seperti pengeboman di tempat awam
(publik) dan pembunuhan tanpa hak. Tetapi pengetahuan dan kemahiran tersebut
adalah untuk membela Agama (Islam), Umat Islam, Umat manusia dan Negara.
PUPJI
Jamaah Al-Jamaah Al-Islamiyah memiliki sebuah buku panduan organisasi yang
bernama Pedoman Umum Perjuangan Al-Jamaah Al-Islamiyah atau sebutan
pendeknya adalah PUPJI. Buku PUPJI tidak pernah dicetak, tetapi buku PUPJI disusun
dari hasil ketikan yang kemudian diperbanyak dengan cara di-photocopy.
Salinan atau photocopy buku PUPJI (Pedoman Umum Perjuangan Al-Jamaah AlIslamiyah) itu bukanlah buku bacaan biasa yang bisa didapatkan di toko-toko, dan
buku PUPJI itu juga bukanlah buku pedoman ritual, PUPJI adalah buku pedoman
yang disusun secara umum dalam rangka ‘memberikan gambaran sistematik gerak
langkah jamaah yang terpadu antara nilai prinsipil (Islam) dan langkah-langkah
kegiatan yang cermat, terarah dan teratur’ (kutipan dari PUPJI) yang diperuntukkan
bagi
organisasi
Al-Jamaah
Al-Islamiyah.
Buku PUPJI adalah buku pegangan bagi para pengurus organisasi Al-Jamaah AlIslamiyah, seperti: Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah, Pelaksana harian Amir, (orang
yang punya wewenang seperti Amir Jamaah), Anggota Markaziy (Majelis Qiyadah
Markaziyah) atau Badan Pekerja Amir, Pimpinan Mantiqiy dan anggota stafnya
(Majelis Qiyadah Mantiqiyah), dan pimpinan Wakalah serta anggota stafnya (Majelis
Qiyadah
Wakalah).
Segala langkah pergerakan dalam organisasi di setiap tingkat pengurus harus
disesuaikan dengan ketentuan yang telah ditetapkan di dalam PUPJI, dengan
harapan supaya prinsip dasar pentadbiran jamaah/organisasi menjadi seragam dan
wujud ketertiban yang sempurna. Disamping itu pelaksanaan PUPJI disesuaikan
menurut keadaan setempat dan kebijakan pimpinan setempat karena PUPJI adalah
pedoman yang bersifat garis besar sehingga kesempatan inisiatif diberikan kepada
pengurus
di
lapangan.
Dan PUPJI berlaku untuk seluruh jajaran pengurus di dalam Al-Jamaah Al-Islamiyah.
Namun pengetahuan tentang PUPJI ini hanya terbatas di tingkat pimpinan atasan
saja, sementara anggota yang lain dituntun dan diberi pengarahan tanpa
mengetahui bahwa tuntunan dan pengarahan itu bersumber dari buku pedoman
gerakan dakwah Al-Jamaah Al-Islamiyah yaitu PUPJI, malah tidak pernah
mengetahui PUPJI. Begitu juga tidak semua anggota organisasi Al-Jamaah AlIslamiyah pernah melihat akan bentuk wujud buku PUPJI ini namun ada juga yang
pernah mengetahuinya atau pernah mendengarnya tetapi tidak pernah melihatnya
sama
sekali.
Asas, Sasaran dan Jalan Perjuangan yang ditentukan di dalam PUPJI untuk AlJamaah Al-Islamiyah adalah bersumber dari Al-Quran, As-Sunnah dan sejarah Islam
sejak kenabian Nabi Muhammad SAW, dan dapat dirujuk pada sumber yang berasal
dari buku-buku rujukan.
Isi kandungan atau judul yang ada di dalam buku PUPJI adalah sebagai berikut:
Muqoddimah
(pembukaan)
Dalam pembukaan kata buku PUPJI, dijelaskan secara ringkas
bahwa ada 3 poin mendasar yang menjadi ketentuan pokok
hidup umat Islam dan juga menjadi dorongan kepada organisasi
Al-Jamaah Al-Islamiyah untuk menyusun buku PUPJI yaitu;
Hidup
adalah
untuk
Keberadaan manusia
melaksanakan
beribadah
di muka
syariat
kepada
bumi
Allah
SWT.
ini adalah
Allah
untuk
SWT.
Hidup di dunia adalah ujian kepada manusia, yang menjadi
ajang penseleksian hamba Allah yang paling baik amalannya.
Mengingat kepada misi diutusnya para nabi ke muka bumi
adalah untuk menegakkan agama Islam.
Ushulul
Manhaj
Al-Harokiy
Li-Iqomatid
Dien
Artinya adalah pokok-pokok pedoman/metode berharokah untuk
menegakkan Agama. Di dalam Ushulul Manhaj Al-Harokiy LiIqomatid Dien terdapat 10 prinsip yang harus menjadi
pegangan anggota Al-Jama'ah Al-Islamiyah dalam hidupnya.
Prinsip-prinsip itu harus menjadi landasan dalam setiap kali
sebuah
konsep
dan
manhaj
akan
dilahirkan.
Prinsip
Pertama:
Tujuan kita hanyalah untuk mencari keredhaan Allah SWT
dengan cara yang ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.
Prinsip
Kedua:
Aqidah kita adalah Aqidah Ahli Sunnah wal Jama'ah 'ala Minhajis
Salafis
Solih.
Prinsip
Ketiga:
Pemahaman kita tentang Islam adalah Syumul, mengikuti
pemahaman
As-Salafis
Solih.
Prinsip
Keempat:
Sasaran perjuangan kita adalah memperhambakan manusia
kepada Allah saja dengan menegakkan kembali Khilafah di Muka
Bumi.
Prinsip
Jalan kita
adalah
Iman,
Hijrah
dan
Jihad
Kelima:
Fie-Sabilillah.
Prinsip
Keenam:
Bekal
kita
adalah
:
Ilmu
dan
Takwa.
Yakin
dan
Tawakkal.
Syukur
dan
Sabar.
Hidup
Zuhud
dan
mengutamakan
Akhirat,
Cinta
Jihad
Fie-Sabilillah
dan
Cinta
Mati
Syahid.
Prinsip
Ketujuh:
Wala' kita kepada Allah SWT, Rasulullah SAW dan Orang-orang
yang
beriman.
Prinsip
Musuh kita
adalah
Syaitan
Jin
dan
Kedelapan:
Syaitan Manusia.
Prinsip
Kesembilan:
Ikatan Jama'ah kita berdasarkan atas kesamaan Tujuan, Aqidah
dan
Pemahaman
terhadap
Ad-Dien
(agama).
Prinsip
Kesepuluh:
Pengamalan Islam kita adalah secara murni dan kaffah, dengan
sistem Jama'ah, kemudian Daulah, kemudian Khilafah.
Yang dimaksud dengan sesuai pemahaman ‘ala Minhajin Salafis
Solih adalah bahawa pemahaman Al-Quran dan As-Sunnah
berdasarkan penjelasan para ulama Islam yang berada di dalam
kurun waktu 300 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW,
sebab menurut sebuah hadis bahawa umat Islam yang terbaik
adalah umat Islam yang berada di dalam kurun waktu 3 kurun
sejak zaman kenabian dan setelah wafatnya Nabi Muhammad
SAW.
Al-Manhaj
Al-Harokiy
Li-Iqomatid
Dien
Artinya adalah Pedoman/Metode berharokah untuk menegakkan
Agama. Dalam Al-Manhaj Al-Harokiy Li-Iqomatid Dien
menjelaskan langkah-langkah pelaksanaan menegakkan Agama
secara bertahap dalam bentuk garis besar. Tahapan-tahapan itu
disusun berdasarkan dari Ushulul Manhaj Al-Harokiy Li-Iqomatid
Dien.
Maksud dari menegakkan Agama adalah melaksanakan Syariat
Islam. Maka organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah menyusun
tahapan-tahapan gerakan organisasi secara garis besar yang
bertujuan
menjadi
wacana
yang
mengarah
kepada
pembentukan sebuah Negara Islam atau Daulah Islam bermula
dengan melaksanakan Syariat Islam. Dengan terbentuknya
susunan tahapan-tahapan operasional akan berguna untuk
menjadi patokan selangkah demi selangkah dalam perjuangan
menegakkan Syariat Islam dan Daulah Islam. Tahapan-tahapan
secara garis besar di dalam Al-Manhaj Al-Harokiy Li-Iqomatid
Dien
terbagi
tiga:
Persiapan
untuk
Menegakkan
Daulah
Ada tiga hal yang harus dilaksanakan di dalam tahapan ini yaitu
Takwinul Jama'ah (pembentukan Jamaah), Takwinul Quwwah
(pembentukan
kekuatan)
dan
Istikhdamul
Quwwah
(penggunaan kekuatan). Pembentukan Jamaah diarahkan
kepada perekrutan pimpinan dan tulang punggung Jamaah yang
akan
melanjutkan
perjuangan.
Pembinaan
kerahasiaan
organisasi dan pembinaan loyalitas (ketaatan) dan ketegasan
dalam
berorganisasi.
Pembentukan Al-Qiyadah Ar-Rosyidah adalah salah satu dari
kegiatan Pembinaan Personal yaitu para anggota Al-Jamaah AlIslamiyah diberikan pengetahuan dan pendidikan agar terbina
dan terbentuk sehingga memiliki jiwa kepemimpinan yang
bertanggungjawab dan amanah, dimana akan bermanfaat untuk
dirinya, keluarganya, bangsanya dan umat Islam. Hasilnya nanti
di antara anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang terpilih akan
siap kapan-kapan saja diberikan tanggungjawab sebuah jabatan
kepimpinan. Pembentukan Al-Qiyadah Ar-Rosyidah dilakukan
karena setiap manusia pada dasarnya adalah pemimpin.
Pembentukan Qiyidah Solabah juga adalah salah satu dari
bentuk kegiatan Pernbinaan Personal. Pengetahuan dan
pemahaman yang diberi diharapkan dapat memperkokoh
pendirian dan prinsip hidup anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah
yang dimana dengan sendirinya akan kelihatan tokoh-tokoh
penerus atau anggota yang bisa diandalkan untuk membela
perjuangan dan dakwah Al-Jamaah Al-Islamiyah dengan penuh
kesadaran dan keyakinan yang kuat. Tiada tim khusus atau
orang-orang tertentu yang dipilih dan dilantik untuk menjadi
Qoidah Solabah. Sedangkan Qoidah Solabah lahir atau tumbuh
dan terbentuk dengan sendirinya tanpa diperintah dan
direkayasakan. Qoidah Solabah itu boleh terdiri dari seorang,
sekelompok kecil dari massa atau sebuah jamaah dan dapat
juga
dalam
bentuk
sebuah
organisasi.
Pernbinaan Tandzim Sirri, Tandzim berarti organisasi dan Sirri
berarti rahsia, maksudnya adalah bahawa organisasi Al-Jamaah
Al-Islamiyah adalah sebuah organisasi rahsia dan tertutup.
Dengan begitu semua kegiatan dan penataan organisasi
haruslah memiliki unsur rahsia dan setiap kegiatan yang
dilaksanakan tidak lepas dari pengamanan dan kerahsiaan.
Antara sesama anggota juga dilaksanakan prinsip kerahsiaan,
begitu juga informasi dan penjelasan sesuatu urusan tidak
diberikan kepada sembarangan anggota, bukan karena
mencurigai akan dikhianati tetapi yang dikhawatirkan adalah
takut kalau terlepas bicara atau ceroboh dalam berbicara tanpa
disadari
akibat
setelah
itu.
Pembentukan kekuatan adalah pernbinaan personal (anggota
Jamaah) dan pembinaan teritori (masyarakat) yang bersifat
dakwah, pendidikan dan hubungan antar organisasi (jamaah)
mulai dijalin lalu dilakukan kerjasama antar jamaah. Tahapan ini
dilakukan
sebelum
tertegaknya
Daulah
Islam.
Pembinaan Tajnid, Tajnid diambil dari kata Jannada-Yujannidu
yang berarti menjadikan seseorang itu tentara. Program Tajnid
adalah bagian daripada program pembinaan Jihad. Para anggota
Al-Jamaah Al-lslamiyah diberikan program Tajnid bagi mendidik
kedisiplinan dan ketertiban dalam mekanisme kerja organisasi,
dan juga dengan program tajnid maka anggota Al-Jamaah Allslamiyah akan memiliki pemikiran dan watak seorang tentara
yang teguh kepada perjuangannya. Di antara kegiatan Tajnid
yang diberikan kepada anggota Al-Jamaah Al-lslamiyah antara
lain adalah, berkhemah, olahraga, kegiatan indoor/outdoor,
pengkajian materi kemiliteran, latihan kemiliteran tanpa
menggunakan peralatan militer/perang dan pengiriman anggota
yang terseleksi ke tempat-tempat konflik di dalam negeri
maupun
di
luar
negeri.
Tamwil berarti pendanaan. Yaitu Al-Jamaah Al-lslamiyah
berusaha untuk memiliki sumber pendanaan bagi menunjang
misi perjuangan organisasi. Kegiatan ekonomi dan kutipan
sumbangan dari anggota, pendukung dan simpatisan diatur
sedemikian rupa sehingga dapat digunakan untuk kegiatan
perjuangan
organisasi
Al-Jamaah
Al-lslamiyah.
Al-Amnu
wal
Istikhbarah,
Al-Amnu
secara
harfiyah
diterjamahkan dengan arti aman, tenteram dan keamanan,
sedangkan arti Al-Istikhbarah berarti mencari informasi dan
memata-matai (ada juga yang memberi istilah Jasus tetapi kata
Jasus tidak tepat untuk digunakan bagi pihak sendiri, selalunya
kata Jasus adalah istilah yang diberikan kepada mata-mata dari
pihak musuh). Tujuan dilaksanakan kegiatan Al-Amnu wal
Istikhbarah adalah untuk pengamanan organisasi dan menjaga
kesinambungannya. Begitu juga bagi menghindari dari ancaman
bahaya dari pihak yang tidak menyenangi organisasi Al-Jamaah
Al-lslamiyah. Secara praktikalnya sikap Al-Amnu wal Istikhbarah
harus dimiliki oleh anggota Al-Jamaah Al-lslamiyah terlebih lagi
bagi
para
pengurusnya.
Penggunaan kekuatan di dalam tahapan persiapan penegakan
Daulah ini dilaksanakan di tempat-tempat konflik bagi membela
umat Muslim yang diserang, di mana saja tempatnya di dunia
ini, dan penggunaan kekuatan juga dilakukan setelah ada
perintah (pernyataan) dari Amir Jamaah untuk berjihad dengan
menggunakan senjata di daerah atau wilayah tertentu.
Ad-Dakwah Al-lndzariyah diterjamahkan dengan arti Seruan
Peringatan, yaitu sebelum dilakukan aksi peperangan atau Jihad
maka sebuah seruan/ajakan atau pemberitahuan diberikan
sebagai peringatan. Hal ini dilakukan mengingat akan cara yang
dituntun didalam syariat Islam, bahawa Rasulullah SAW tidak
pernah menyerang suatu kaum kecuali setelah diperingatkan.
Pelaksanaan Jihad Fie-Sabilillah, Jihad secara bahasa diartikan
"bersungguh-sungguh" dan Fie-Sabilillah artinya "Di Jalan
Allah". Setiap perkataan Jihad Fie Sabilillah disebut, artinya
adalah Perang di Jalan Allah mcmerangi musuh Allah dan RasulNya dengan jiwa, harta, lisan dan lain-lain yang bisa digunakan.
Yang dimaksudkan dengan Musuh Allah SWT dan Rasul-Nya
adalah orang-orang yang memulakan peperangan memerangi
Agama Islam. Dan Jihad Fie Sabilillah juga dilakukan bagi
membela nasib umat Islam di mana saja, yaitu umat Islam yang
diserang dan dianiaya. Urutan kegiatan jihad Perang adalah
I'dad (Latihan), Ribath (berjaga-jaga di perbatasan) dan Qital
(Perang).
Jihad Musalah berarti berjihad dengan menggunakan senjata
yaitu yang bermakna Perang. Ketika Amir Al-Jamaah AlIslamiyah sudah mengiklankan atau mendeklarasikan perang
atau membenarkan untuk ikut berperang membantu umat Islam
maka kegiatan Jihad Musalah harus dilaksanakan, dan
pelaksanaannya diatur sedemikian rupa sehingga kegiatan Jihad
Musalah dapat terlaksana sesuai syariat Islam dan sesuai
strategi perang. Kegiatan Jihad Musalah dapat dilaksanakan di
tempat-tempat tertentu yang telah difatwakan boleh berjihad
dengan bersenjata bagi membela Islam. Tanpa ijin Amir AlJamaah Al-Islamiyah dan Fatwa dari Majelis Fatwa Al-Jamaah
Al-Islamiyah maka anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah tidak boleh
menggunakan pengetahuan dan kemampuan berperang, dan
juga
tidak
boleh
melakukan
sesuatu
aksi
kemiliteran.
Pembinaan Qoidah Aminah, Qoidah berarti basis dan Aminah
berarti aman. Maksud dari Pembinaan Qoidah Aminah adalah
Mewujudkan Basis yang Aman, sebagaimana Nabi Muhammad
SAW pernah menjadikan Madinah sebagai Qoidah Aminah. Yaitu
bahwa Al-Jamaah Al-Islamiyah berusaha untuk mendapatkan
sebuah wilayah yang dapat dijadikan basis yang aman dari
kekuasaan musuh, atau boleh dikatakan bebas dari kekuasaan
pemerintahan yang ada. Qoidah Aminah yang direncanakan
bertujuan menjadi basis dan pusat kegiatan Al-Jamaah AlIslamiyah yang bermula dari bentuk perkampungan dengan
lingkungan yang islamiy dan pelaksanaan syariat Islam . Tetapi
sehingga kini belum ada satu wilayah yang masuk kategori
menjadi
Qoidah
Aminah.
Penegakan
Daulah
Penegakan Daulah adalah tahapan setelah suatu wilayah dapat
diterapkan atau dilaksanakan Syariat Islam dan proses
selanjutnya membangun administrasi kenegaraan, yang
kemudian melakukan hubungan diplomatis antar negara.
Sebuah Negara yang berlandaskan Syariat Islam otomatis
menjadi sebuah Daulah Islam atau sebuah Negara Islam yang
selanjutnya dapat melangkah untuk menuju pembentukan
sebuah
Khilafah.
Penegakan
Khilafah
Penegakan Khilafah dibentuk dari gabungan beberapa negara
Islam yang bersatu dan bersepakat di bawah satu kepimpinan.
Maksud dari Khilafah 'ala Minhajin Nubuwah adalah sebuah
gabungan pemerintahan Islam yang melaksanakan Syariat
Islam sesuai tuntunan Nabi Muhammad SAW. Wallahu 'alam.
Al-Manhaj
Al-Amaliy
Li-Iqomatid
Dien
Al-Manhaj Al-Amaliy Li-Iqomatid Dien mengandung pengertian
Pedoman Umum Operasi atau diterjemahkan oleh PUPJI sebagai
'Manajemen operasional untuk menegakkan Agama '.
Al-Manhaj Al-Amaliy Li-Iqomatid Dien menjelaskan cara-cara
dan langkah-langkah pengurusan (managemen) di dalam
organisasi
Al-Jamaah
Al-Islamiyah.
Maka
dalam
mempertimbangkan sistem yang akan digunakan haruslah
dijelaskan sumber-sumber pikiran dan rujukan ketika
penyusunan yang dilengkapi dengan batas-batas. Dan harus
senantiasa melengkapi pelaksanaan suatu kegiatan dengan
sistem administrasi dan managemen organisasi yang sempurna.
Perkataan Strata Qperasi adalah kependekan dari kata
Strategis dan Taktis Operasi, maksud dari Strata Operasi
memberi penjelasan bahawa aktivitas yang ingin dilakukan
haruslah direncanakan dulu sesuai dengan keperluan untuk
jangka
masa
pendek
ataupun
jangka
masa
panjang.
Perkataan 'Operasi' yang dimaksudkan didalam buku PUPJI
tersebut adalah bermakna kegiatan dan aktivitas, dan apa yang
saya fahami dari perkataan 'Operasi' di dalam buku PUPJI itu
bukanlah bermaksud sesuatu aksi operasi tindak kekerasan,
seperti aksi pengeboman yang menjadikan orang awam sebagai
sasaran.
Rumusan (teori) manajemen yang disusun di dalam Al-Manhaj
Al-Amaliy Li-Iqomatid Dien 'Manajemen operasional untuk
menegakkan Agama' berguna untuk segala bidang kegiatan
yang dijalankan didalam Al-Jamaah Al-Islamiyah, artinya
perencanaan sesuatu aktivitas untuk bidang kegiatan apapun
didalam Al-Jamaah Al-Islamiyah haruslah diatur berdasarkan
metode
management
yang
sempurna.
Sepertimana yang Rasulullah Saw katakan ketika ditanya
tentang
pengurusan
bercucuk
tanam:
Artinya: Sabda Rasulullah Saw: "Kamu lebih mengetahui
urusan
duniamu.”
(Hadis
Sohih
Muslim).
Begitu juga Sayyidina Ali r.a pernah mengatakan: “Pihak
yang Hak (benar) yang tidak memiliki Nidzom
(management) pasti akan dikalahkan oleh Pihak yang
Batil
yang
memiliki
Nidzom.”
Tidak ada satu pun bentuk operasional (program dan kegiatan)
Al-Jamaah Al-Islamiyah yang berbentuk baku atau permanen
yang pernah dijelaskan, dan juga tidak pernah ada teori
permanent untuk cara pelaksanaannya. Yang dapat dimengerti
bahawa sesebuah kegiatan itu direncanakan sesuai situasi dan
kondisi yang ada pada tubuh sendiri dan luaran, dan bentuknya
dapat berubah-ubah (flexible), tetapi yang paling penting, misi
dan tujuan diperkirakan dapat dicapai dengan baik.
An-Nidhom
Al-Asasi
Artinya adalah Peraturan Dasar/Asas. Peraturan-peraturan itu
disusun dalam rangka membangun kerapian dan ketertiban
dalam berorganisasi. Peraturan ini harus dipatuhi oleh setiap
anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah dengan cara dibimbing oleh
pimpinan
atasannya.
Nidhom Asasi adalah peraturan berorganisasi yang berlaku
untuk organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah saja. Dan tujuan
peraturan itu diwujudkan adalah supaya pergerakan Organisasi
Al-Jamaah Al-Islamiyah berjalan dengan tertib dan rapi dengan
batas-batas.
Struktur
Organisasi
Setelah Al-Jamaah Al-Islamiyah berpisah dari jamaah Negara
Islam Indonesia (Darul Islam), maka Al-Jamaah Al-Islamiyah
telah membentuk suatu sistem administrasi dan struktur
organiasi yang baru. Anggota Al-Jamaah Al-lslamiyah di
kelompok-kelompokkan sesuai dengan wilayah gerakan aktivitas
dan jumlah personal, dan pembagian tugas juga berdasarkan
peran
atau
tugas
yang
diberikan.
Struktur
omanisasi
tersebut
adalah:
Amir
Jamaah
=
Pimpinan
Tertinggi.
Majelis Syura = Anggota penyusun aturan organisasi.
Majelis
Fatwa
=
Anggota
cendekiawan
Islam.
Majelis
Hisbah
=
Anggota
kontrol
kegiatan.
Majelis
Qiyadah
Markaziyah
=
Anggota
pimpinan
pusat/Markaziy.
Mantiqi/Mantiqiyah
=
Wilayah
gerakan
dakwah.
Wakalah
=
Perwakilan.
Saroyah/Sariyah
=
Batalion.
Katibah
=
Kompi.
Kirdas
=
Pleton.
Fiah
=
Regu.
Toifah = Squad (kelompok yang lebih kecil dari Regu)
Amir dan Majelis-Majelis Pembantu Amir
(dalam kondisi normal)
Tetapi, dalam kondisi darurat, pengurusan organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah tidak
dapat dilaksanakan secara normal disebabkan oleh gangguan dan ancaman, maka
tiga Majelis pembantu Amir Jamaah akan dinon-aktifkan yaitu Majelis Syuro, Majelis
Fatwa dan Majelis Hisbah. Namun, tugas dan wewenang dari masing-masing Majelis
itu dibebankan kepada Majelis Qiyadah Markaziyah. Sepanjang pengetahuan saya
selaku anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah pernah ada Majelis-Majelis pembantu Amir
itu pada awal pembentukan Al-Jamaah Al-Islamiyah. Tetapi kemudian belakangan
saya tidak mendengar lagi apalagi mengetahui Majelis-Majelis pembantu Amir itu
aktif kecuali Majelis Qiyadah Markaziyah. Oleh karena Majelis-Majelis pembantu Amir
adalah dipersiapkan untuk membantu pekerjaan Amir maka anggota Al-Jamaah AlIslamiyah yang dilantik dalam Majelis tersebut tidak diekspos kepada anggota
bawahan, sebagai pelaksanaan prinsip Sirri (Organisasi Rahasia).
Amir dan Majelis-Majelis Pembantu Amir
(dalam kondisi Darurat)
a.
Amir
Jamaah
Amir adalah pimpinan tertinggi dalam organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah yang
mengatur gerakan organisasi. Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah yang pertama adalah
Ust. Abdul Halim (atau dikenal di Indonesia dengan nama Ust.Abdullah Sungkar).
Tawaran dari Ust. Zulkarnain untuk membuat pilihan pimpinan sudah pun saya
kisahkan dalam bab Jamaah NII, yang menjadikan saya mengetahui buat pertama
kali bahawa Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah adalah Ust. Abdul Halim. Berikutnya dari
kegiatan organisasi atau Jamaah yang memperlihatkan posisi beliau selaku Amir AlJamaah
Al-Islamiyah.
Kemudian setelah Ust. Abdul Halim wafat pada akhir tahun 1999, lalu jabatan selaku
Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah diganti dengan Ust. Abdus Somad (atau dikenal di
Indonesia dengan nama Ust.Abu Bakar Baasyir). Pertama kali saya mengetahui
beliau menjabat selaku Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah adalah dari Hambali yang telah
menyampaikan kepada saya melalui telfon untuk disampaikan kepada anggota AlJamaah Al-Islamiyah yang lain terutama kepada Ketua Mantiqi III yaitu Mustapha
alias Abu Tolut yang pada ketika itu sedang bertugas selaku ketua Kamp Hudaybiyah
di pulau Mindanao Filipina Selatan. Mustapha tidak dapat dihubungi langsung dari
Indonesia sebab keberadaannya di tengah hutan yang tidak terjangkau talian
komunikasi telfon. Sementara saya yang berkedudukan di Sandakan Sabah Malaysia
diberi tugas oleh Ketua Mantiqi III (yaitu Mustapha) sebagai perantara penghubung
antara ketua Mantiqi III dengan anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah sesuai
pengarahannya.
Oleh karena itu setelah saya mendapatkan kabar pergantian Amir Al-jamaah AlIslamiyah langsung saya sarnpaikan kepada Mustapha. Maka benarlah apa yang
dikatakan oleh Mustapha di persidangan bahawa pengetahuannya pertama kali yang
mengatakan Ust. Abdus Somad adalah Amir Al-Jamaah Al-[slamiyah berasal dari
saya.
Berikutnya
dari
kegiatan
keorganisasian
Al-Jamaah
Al-Islamiyah
memperlihatkan beliau berposisi selaku Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah. Hanya
anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang menjabat selaku pimpinan mengetahui akan
status
beliau
selaku
Amir
Al-Jamaah
Al-Islamiyah.
Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah selama melaksanakan tugas sebagai Amir, dibantu oleh
Majelis Syura, Majelis Fatwa, Majelis Hisbah dan Majelis Qiyadah Markaziyah.
Masa jabatan Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah bisa berakhir dikarenakan wafat, udzur
syar'i (spt tua renta, pikun, cacat, gila), diberhentikan oleh Majelis Syura karena
terbukti mengamalkan kekafiran dan masa jabatannya juga bisa berakhir apabila
mendapat tekanan dari luar (luar organisasi) sehingga lemah untuk mengurus
organisasi, seperti ditangkap atau di penjarakan dalam tempoh waktu yang tertentu
atau tidak tertentu. Maka tidak mustahil jika Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah
mengundurkan diri sebagai Amir apabila dia merasakan dirinya mendapatkan
tekanan sehingga tidak mampu lagi mengurus organisasi. Dengan demikian akan
cepat dapat digantikan dengan pemimpin yang lain sebab Al-Jamaah Al-Islamiyah
mengamalkan praktek flexibility sepertimana yang dijelaskan dalam Al-Manhaj AlAmaliy
Li-Iqomatid
Dien.
b.
Majelis
Syura
Majelis Syura dilantik oleh Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah dan kalangan anggota yang
memiliki kepakaran dan berpendidikan tinggi. Majelis Syura inilah yang menyusun
peraturan dan mengajukan rancangan perubahan Nidhom Asasi. Dan Majelis Syura
juga mengadakan evaluasi secara global tentang kepengurusan organisasi Al-Jamaah
Al-Islamiyah. Majelis Syura juga bertanggungjawab untuk mengangkat dan
memberhentikan Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah. Dalam kondisi yang dianggap darurat
oleh Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah maka Majelis Syura akan dibubarkan, sementara
fungsinya
akan
diambil
alih
oleh
Majelis
Qiyadah
Markaziyah.
c.
Majelis
Fatwa
Majelis Fatwa dilantik oleh Amir Al-Jamaah Al-lslamiyah dari kalangan anggota yang
berpendidikan tinggi tentang agama Islam dan dipastikan berpegang teguh dengan
Al-Quran dan As-Sunnah. Majelis Fatwa berfungsi menguatkan dan meluruskan
keputusan-keputusan Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah. Dalam kondisi yang dianggap
darurat oleh Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah maka Majelis Fatwa akan dibubarkan,
sementara fungsinya akan diambil alih oleh Majelis Qiyadah Markaziyah.
d.
Majelis
Hisbah
Majelis Hisbah dilantik oleh Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah dari kalangan anggota yang
berfungsi untuk melakukan kontrol tethadap Amir Jamaah dan seluruh anggota AlJamaah Al-Islamiyah dalam hubungan dengan kepengurusan jamaah ataupun amalamal pribadi. Majelis Hisbah bisa memberikan usulan hukuman kepada Amir AlJamaah Al-Islamiyah bagi anggota yang didapati telah melakukan pelanggaran.
Dalam kondisi yang dianggap darurat oleh Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah maka
Majelis Hisbah akan dibubarkan, sementara fungsinya akan diambil alih oleh Majelis
Qiyadah
Markaziyah.
e.
Majelis
Qiyadah
Markaziyah/Markaziy.
Majelis Qiyadah Markaziyah adalah sekelompok orang yang menjadi pusat
pengurusan Al-Jamaah Al-Islamiyah yaitu terdiri anggota. Al-Jamaah Al-Islamiyah
yang menjadi para stafnya melaksanakan tugas sebagai pembantu Amir Jamaah bagi
menjalankan bidang-bidang kegiatan tertentu. Tidak ada tempat yang tetap sebagai
kantor pentadbiran Majelis Qiyadah Markaziyah, di mana saja letak posisi
(keberadaan) Amir Jamaah maka di sekitar tempat itu boleh atau akan diadakan
rapat Markaziy jika diperlukan.
Bidang-bidang
tugas
dalam
Markaziyah
adalah
:
Pelaksana tugas Amir = Orang yang melaksanakan tugas Amir di ketika Amir
Jamaah
ber-halangan.
(tugas
ini
baru
di
bentuk
pada
bulan
April
2002).
Aminul
Am
=
Khozin
Dakwah
Tarbiyah
=
wal
I’lam
Irsyad
Rosmiyah
Diklat
Askariy
latihan
Sekretaris
=
=
=
=
dan
wal
Bidang
Bidang
Bendahara
Dakwah,
pembinaan
Pendidikan;
maahad,
Bidang
Pendidikan
Bidang
Pelaksanaan
Program
pengiriman
anggota
ke
A’laqot
=
Bidang
Hubungan
rohani
dan
madra¬sah,
Akademi
kemiliteran
tempat
Masyarakat
aqidah.
sekolah.
Militer.
seperti
konflik.
(Humas).
Siyasiyah = Bidang Pengamat Politik.
f.
Mantiqi/Mantiqiyah.
Mantiqi berarti wilayah, yaitu wilayah gerakan dakwah Islam Al-Jamaah AlIslamiyah, bukan bermaksud wilayah kekuasaan. Dan Mantiqi adalah pelaksana
keputusan-keputusan yang telah digariskan oleh Markaziyah secara global. Pihak
Mantiqi akan menterjamahkan keputusan-keputusan Markaziy menurut keadaan
setempat di wilayah gerakan Mantiqi tersebut. Terkadang jika administrasi Mantiqi
dalam keadaan lemah maka pihak Markaziy akan membantu untuk merumuskan
teknis pelaksanaannya.
Pembentukan dan penentuan wilayah gerak (wilayah kegiatan) Mantiqi ditentukan
oleh pihak Markaziy. Sebatas pengetahuan saya, pada awal pembentukan Al-Jamaah
Al-Islamiyah pada awal tahun 1993 hanya terdapat 2 Mantiqi saja yaitu:
Mantiqi Ula (I) yang dipimpin oleh Hambali. Wilayah gerak kegiatan dakwahnya
pada waktu itu meliputi Malaysia (termasuk Sabah) dan Singapura.
Mantiqi Tsani (II) yang dipimpin oleh Abu Fateh. Wilayah gerak kegiatan dakwah-
nya pada waktu itu meliputi Indonesia, termasuk Kalimantan dan Sulawesi.
Sedangkan kamp latihan Hudaybiyah yang dibangun pada akhir 1994 di Mindanao
berada di bawah kendali langsung Markaziyah Al-Jamaah Al-Islamiyah di bawah
tanggungjawab
Ust.
Zulkarnain.
Sekitar tahun 1997, terjadi perubahan wilayah gerak dakwah bagi mantiqi yaitu:
Mantiqi Ula (I) yang dipimpin oleh Hambali. Wilayah gerak kegiatan dakwahnya
meliputi
Malaysia
Barat
(Semenanjung)
dan
Singapura.
Mantiqi Tsani (II) yang dipimpin oleh Abu Fateh. Wilayah gerak kegiatan
dakwahnya meliputi Indonesia, yaitu Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Bali, NTB
dan
NTT.
Mantiqi Tsalis (III) yang dipimpin oleh Mustapha bermula pada sekitar 1997.
Wilayah gerak kegiatan dakwahnya meliputi Sabah Malaysia, Kalimantan Timur
Indonesia, Palu Sulawesi Tengah Indonesia dan Mindanao Filipina Selatan (termasuk
Kamp
latihan
Hudaybiyah).
Daerah Poso, baru dimasukkan ke dalam wiayah Mantiqi Tsalis (III) pada bulan
Oktober 2002, yang sebelumnya kegiatan dakwah di Poso dikendalikan langsung
oleh Markaziyah Al-Jamaah Al-Islamiyah di bawah tanggungjawab Mustapha sejak
tahun
2000.
Mantiqi Ukhro (yang berarti Mantiqi yang lain, belum sempurna), yang dipimpin oleh
Abdurrahim bermula pada akhir tahun 1997. Wilayah gerak dakwahnya meliputi
sebagian
dari
Australia
saja.
Pada sekitar bulan April 2001, terjadi perubahan kepimpinan mantiqi
dimana
:
Mantiqi
Ula
(I)
=
Mukhlas
dilantik
menggantikan
Hambali.
Mantiqi
Tsani
(II)
=
Nuaim
dilantik
menggantikan
Abu
Fateh.
Mantiqi
Tsalis
(III)
=
Saya
dilantik
menggantikan
Mustapha.
Mantiqi Ukhro = (tiada perubahan).
Belum pernah ada wilayah dakwah yang dinamakan Mantiqi (IV), seperti yang selalu
menjadi keliru adalah Australia yang dikatakan Mantiqi (IV). Pernah diusulkan oleh
Mustapha untuk mewujudkan wilayah Mantiqi (IV) pada sebuah rapat Markaziyah
yang diadakan pada tanggal 17 Okt 2002 di Tawangmangu Solo. Dalarn kesempatan
itu, Mustapha mengusulkan wilayah gerak dakwah bagi wilayah itu adalah Sulawesi
keseluruhan yaitu Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah (termasuk
Poso) dan Sulawesi Utara. Berarti sebagian dari wilayah Mantiqi Tsalis (III) akan
dikurangi. Tetapi usulan itu tidak mendapat dukungan dari hadirin rapat Markaziyah
tersebut.
Mantiqi-mantiqi yang telah dibentuk ini beserta seluruh wilayah gerakan dakwahnya
bukan berarti pembatasan wilayah yang bakal menjadi Negara Islam. Menurut yang
saya fahami bahawa pembagian Mantiqi bukan memberi arti bahwa gabungan
Malaysia, Singapura, Indonesia, Australia, dan Filipina akan dibentuk menjadi sebuah
Negara Islam. Bukan itu yang dimaksudkan dengan pembahagian wilayah Mantiqi
menurut Al-Jamaah Al-lslamiyah, tetapi pembagian ini adalah untuk kelancaran
administrasi dakwah Islam dan pembinaan teritorial. Oleh karena wilayah dakwah
Islam Al-Jamaah Al-lslamiyah tidak terbatas pada satu negara menjadikan
pembagian wilayah gerak dakwah Mantiqi terhasil dari gabungan dua atau tiga
negara. Maka tidak mustahil jika ada pihak yang keliru memahami pembagian
Mantiqi dengan memberi arti bahwa Al-Jamaah Al-lslamiyah ingin membangun
'Negara Islam Nusantara'. Menurut saya sungguh mustahil....Wallahu 'alam.
g.
Wakalah
Wakalah berarti perwakilan, yaitu perwakilan bagi pentadbiran Mantiqi di wilayah
gerakan dakwah. Jumlah wakalah di bawah Mantiqi tidak terbatas tetapi di setiap
pembentukan wakalah baru pada sesebuah mantiqi haruslah mendapatkan
persetujuan dari Markaziy. Penentuan nama untuk wakalah adalah pilihan pihak
Mantiqi
yang
juga
harus
dipersetujui
oleh
pihak
Markaziy.
h.
Saroyah
Saroyah adalah nama bagi sebuah kesatuan seperti Batalion yang terdiri atas tiga
Katibah.
i.
Katibah
Katibah adalah nama bagi sebuah kesatuan seperti Kompi yang terdiri atas tiga
Kirdas.
j.
Kirdas
Kirdas adalah nama bagi sebuah kesatuan seperti Platon yang terdiri atas tiga Fiah.
k.
Fiah
Fiah adalah nama bagi sebuah kesatuan seperti Regu yang terdiri atas enam hingga
sepuluh
orang.
l.
Toifah
Toifah adalah nama bagi kesatuan/kelompok yang lebih kecil dari Regu, kelompok ini
dibentuk jika diperlukan.
Mekanisme Kerja Al-Jamaah Al-Islamiyah
pada tahun 2003
Masing-masing dari satuan tersebut dipimpin oleh seorang yang dinamakan Qoid
yang berarti komandan atau ketua, dan memiliki beberapa pembantu (staf). Ketua
dan anggota staf-nya disebut sebagai Majelis Qiyadah (MQ) yang berarti satuan
kepimpinan atau Headquarters, kecuali satuan Fiah yang tidak memiliki Majelis
Qiyadah. Tidak semua wakalah memiliki satuan hingga ketingkat Saroyah (Batalion)
atau Katibah (Kompi), tergantung kepada jumlah anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah
yang berada di dalam wakalah tersebut. Ada sebagian wakalah yang memiliki
beberapa fiah saja, dan ada juga wakalah yang memiliki satuan hingga ke tingkat
Kirdas
(Pleton).
Masyarakat awam yang belum menjadi anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah akan dibina
dan ditarbiyah melalui kelas-kelas pengajian atau kursus-kursus pendidikan, maahad
dan sekolah yang diatur oleh bidang Dakwah wal Irsyad Wakalah. Tempoh
pembinaan dan tarbiyah sebelum menjadi anggota adalah sekitar setahun hingga
dua tahun, lalu mereka akan diseleksi (Tamhish} dan ditawarkan untuk ikut
bergabung (iltizam) ke dalam Al-Jamaah Al-Islamiyah. Kemudian akhirnya mereka
di bai'at dan mereka akan digabungkan ke Fiah yang ada atau mereka dibentuk
menjadi satu fiah yang baru. Tujuan dibentuknya struktur organisasi Al-Jamaah Al-
Islamiyah seperti struktur kemiliteran adalah: Kegiatan dan gerakan anggota dapat
dikawal dan dapat dikerahkan dengan satu komando. Terbentuknya sistem sel-sel
yang tidak saling kenal. Supaya sikap dengar dan taat (As-Sam'u wat Thoatu) akan
tetap terjaga. Pembinaan anggota Jama'ah dan Pembinaan Teritori (masyarakat
awam
Muslim
dan
non-Muslim)
dapat
terlaksana
dengan
baik.
Pembentukan
Wilayah
Mantiqi
Berdasarkan
Fungsi
Strategis
Dalam rangka untuk membentuk suatu kerja yang konkrit dan saling menopang
maka wilayah mantiqi yang sudah dibentuk diarahkan untuk melaksanakan tugastugas yang berfungsi secara strategis bagi Al-Jamaah Al-Islamiyah, yaitu:
Mantiqi
Mantiqi
Mantiqi
Mantiqi
Ula
Tsani
Tsalis
Ukhro
(I)
=
(II)
(III)
=
Wilayah
Pendukung
Wilayah
Garap
=
Wilayah
Pendukung
Wilayah
Pendukung
=
Ekonomi.
Utama.
Askariy.
Ekonomi.
Mantiqi
Ula
(I),
Wilayah
Pendukung
Ekonomi
Mantiqi Ula yang berwilayah di Semenanjung Malaysia (Malaysia Barat) dan juga
Singapura mempunyai potensi ekonomi yang Iebih baik jika dibandingkan dengan
negara lain di Asia Tenggara. Peluang bisnis dan peluang pekerjaan bagi perorangan
yang dapat dikatakan terhitung banyak, menjadikan wilayah ini adalah wilayah yang
makmur. Dengan begitu adalah sangat pantas jika Al-Jamaah Al-Islamiyah
menetapkan fungsi strategis Mantiqi Ula sebagai sumber pendapatan dan pendanaan
bagi kegiatan Al-Jamaah Al-Islamiyah secara keseluruhannya. Ini disebabkan karena
penghasilan/pendapatan yang diperoleh dari hasil bekerja atau usaha bisnis di dua
negeri itu lumayan besar jika dibandingkan dengan tempat lain, dan begitu juga
peluang-peluang untuk usaha niaga lebih banyak di wilayah Mantiqi Ula.
Mantiqi
Tsani
(II),
Wilayah
Garap
Utama
Wilayah Mantiqi Tsani (II) terdiri atas Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Bali dan
Nusa Tenggara. Mantiqi Tsani dikatakan sebagai Wilayah Garap Utama adalah
karena; wilayah Mantiqi Tsani berpotensi sebagai Daulah Islam, tercatat sejarah di
Indonesia pernah wujud wilayah yang diproklamirkan sebagai Negara Islam.
paling
paling
cepat
dan
banyak
memiliki
cepat
dapat
merekrut
memperoleh
simpati
mudah
mendapatkan
dukungan
anggota
masyarakat
masyarakat
masyarakat
jamaah,
Muslim,
Muslim,
Muslim.
Maka adalah sangat kondusif untuk mencapai hasrat menegakkan Daulah Islam yang
dibantu/ditopang oleh fungsi dari tiga Mantiqi yang lain, dimana secara sumber dana
keuangan bagi Mantiqi Tsani (II) akan dapat dibantu dari pihak Mantiqi Ula dan
Mantiqi Ukhro, sedangkan secara sumber perekrutan dan pengembangan kemiliteran
akan dapat dibantu dari Mantiqi Tsalis (Wilayah Pendukung Askari).
Teori gerakan menegakkan Daulah Islam ini diperkirakan akan berhasil di Indonesia
karena undang-undang dan sistem yang ada di Indonesia dianggap sangat
mendukung. Sebab kebebasan berdakwah di Indonesia dan kebebasan menganut
faham keagamaan dapat memperlancarkan proses perekrutan dan pelaksanaan
program pembinaan teritori. Ditambah lagi peraturan pembangunan tempat
pendidikan yang dianggap longgar memberi peluang untuk membangun tempat
rnelahirkan kader-kader penerus. Begitulah perencanaan dan harapan jamaah AlJamaah
Al-Islamiyah,
wallahu
a’lam.
Terdapat 9 wakalah di bawah Mantiqi Tsani (II) yaitu;
Keterangan:
Sumbagut
Jabotabek
Jabar
Jateng
=
=
Jakarta,
=
=
Sumatera
Bogor,
Bagian
Tangerang
dan
Jawa
Jawa
Utara
Bekasi
Barat
Tengah
Jatim
Nusra
=
=
Jawa
Nusa
Timur
Tenggara
Mantiqi
Tsalis
(III),
Wilayah
Pendukung
Askariy
Pada sekitar tahun 1997 Mantiqi Tsalis (III) dibentuk. Wilayah gerakannya meliputi
Sabah Malaysia, Kalimantan Timur (Indonesia), Sulawesi Utara (Indonesia), Sulawesi
Tengah (Indonesia) dan Mindanao Filipina Selatan. Ketua Mantiqi III yaitu Mustapha
membentuk tiga wakalah di bawah kepimpinannya dan pada awalnya beliau
memberikan
nama:
1. Wakalah Salat (singkatan dari Sabah, Labuan dan Tarakan) yang kemudian
dinamakan
Wakalah
Badar.
2. Wakalah Supal (singkatan dari Sulawesi Utara dan Palu) yang kemudian
dinamakan
Wakalah
Uhud.
3. Wakalah Hudaybiyah (merujuk kepada Kamp Hudaybiyah pusat kegiatan di
wilayah
Mindanao).
Mantiqi Tsalis (III) diarahkan supaya mampu menjadi Wilayah Pendukung Askariy
bagi Al-Jamaah Al-Islamiyah. Maksud dari Wilayah Pendukung Askariy adalah
wilayah yang dapat digunakan untuk Diklat Akademi Militer dan Kursus Kemiliteran
jangka waktu pendek, dan juga sebagai wilayah yang mampu menjadi sumber
kekuatan
militer.
Pada bulan Oktober 2002, program Uhud yaitu program pembinaan teritorial di
daerah Poso yang ditangani oleh Markaziyah melalui kepimpinan Mustapha
dihentikan. Namun daerah konflik tersebut dimasukkan ke dalam wilayah Mantiqi III
yang
kemudian
dibentuk
menjadi
dua
wakalah
yaitu:
1.
Wakalah
Khaibar,
meliputi
daerah
kota
Poso
dan
sekitar.
2. Wakalah Tabuk, meliputi daerah Pandajaya, Pendolo dan Palopo (Sulawesi Tengah
dan
Selatan)
Sejak Oktober 2002, terdapat lima wakalah di bawah Mantiqi Tsalis (III).
Wilayah Sabah Malaysia, Kalimantan Timur Indonesia dan Sulawesi Utara adalah
berfungsi sebagai jalur penyeberangan. Jalur penyeberangan tradisional menjadi
jalur utama yang digunakan, karena orang-orang tempatan/lokal sangat menguasai
jalur
ilegal.
Sedangkan wilayah konflik yang terdapat di Mindanao, Filipina dan Sulawesi Tengah
menjadikan wilayah tersebut berpeluang untuk sebagai tempat latihan dan sekalian
terlibat sama dengan konflik setempat. Dan juga wilayah konflik menjadi sumber
perlengkapan kemiliteran yang diperlukan. Filipina adalah sumber utama
perlengkapan kemiliteran karena sepanjang pengalaman di daerah tersebut begitu
mudah untuk mendapatkan peralatan, amonisi, senjata dan bahan peledak serta
detonatornya, asalkan punya uang yang mencukupi sesuai kesepakatan dengan
penjual dari penduduk lokal. Apalagi penyeberangan di perbatasan antar dua negara
yaitu Indonesia dan Filipina masih relatif aman untuk dilewati secara ilegal.
Mempersiapkan Kekuatan Personal
Perekrutan
Penambahan jumlah anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah bukan hanya ditugaskan
kepada para pendakwah yang diatur di bawah bidang Dakwah wal Irsyad, tetapi
pembinaan personal yang solid dari sudut pemahaman agama dan aqidah dimulai
sejak umur remaja atau umur anak-anak, yaitu melalui maahad-maahad, madrasah
dan pondok pesantren yang diatur di bawah bidang Tarbiyah Rosmiyah (pendidikan)
Markaziyah. Para lulusan dari pondok-pondok pesantren ini akan diajak atau
ditawarkan untuk bergabung di dalam Al-Jamaah Al-Islamiyah dan di-bai'at.
Kemudian bagi yang sudah bergabung akan diberi tugas untuk berdakwah dan tugas
mengajar di pondok-pondok, dan ada juga di antara mereka yang akan diseleksi dari
lulusan yang terbaik untuk dikirim melanjutkan pelajaran keluar negeri yaitu ke
universitas Islam, atau di antara mereka dikirim untuk mengikuti program Diklat
Akademi
Milker.
Selain siswa dan pelajar di Pondok Pesantren, para anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah
yang lain diarahkan agar tetap menjaga kesungguhan menuntut pengetahuan
agama, di mana sebelum bergabung ke dalam jamaah, mereka telah diberikan
pengetahuan agama yang patut/harus diketahui dan difahami melalui kelas-kelas
pengajian dan kursus-kursus, ini adalah karena kekuatan pengetahuan agama amat
ditekankan. Begitu juga pengetahuan militer secara teori diatur di bawah program
Tajnid (bidang kemiliteran) tingkat wakalah atau Mantiqi, sebab peluang untuk
berlatih keluar negeri adalah sangat terbatas, maka program Tajnid (kemiliteran)
dilaksanakan di wakalah masing-masing agar anggota yang terpilih dan layak saja
yang boleh memiliki pengetahuan kemiliteran, semua itu dilaksanakan sebatas
kemampuan
fasilitas,
ruang,
tenaga
pangajar
dan
dukungan
situasi.
Berjihad
dan
berlatih
di
tempat
konflik
Al-Jamaah Al-Islamiyah melanjutkan kegiatan pengiriman personal ke tempat konflik
di Afghanistan sejak pecah kepimpinan jamaah Negara Islam Indonesia (Darul
Islam) yaitu pada awal tahun 1993. Kegiatan pengiriman berlangsung akhir tahun
1994. Kem latihan yang dibangun oleh Organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah berlokasi
di
Towrkham
Afghanistan
yaitu
di
perbatasan
dengan
Pakistan.
Pada November 1994, Al-Jamaah Al-Islamiyah membuka kem latihan yang diberi
nama kamp Hudaybiyah. Kamp latihan Hudaybiyah berlokasi di Barera Mindanao
selatan Filipina, yang dikuasai oleh Pejuang Bangsa Moro. Mulai sekitar pertengahan
tahun 1997 sudah ada pengiriman personal untuk berlatih kemiliteran di kamp
Hudaybiyah yaitu dari anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah di Mantiqi Ula (I). Lalu pada
sekitar akhir tahun 1998 dimulailah program latihan Diklat AKADEMI MILITER AlJamaah Al-Islamiyah di Kamp Hudaybiyah dan program latihan jangka waktu pendek
atau kursus kemiliteran (Daurah Asasiyah Askariyah) yang kebanyakannya adalah
anggota
Al-Jamaah
Al-Islamiyah
kiriman
dari
Mantiqi
Tsani
(II).
Pada sekitar tahun 1999 anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah dikirim ke Ambon ketika
sedang hangatnya konflik bersenjata yang diyakini pada waktu itu adalah akibat
konflik antara suku beragama. Tujuan keberangkatan ke Ambon adalah untuk
membantu dan membela nasib masyarakat Islam yang menurut informasi yang
beredar di masyarakat bahwa warga Muslim dizalimi dan dibunuh tanpa hak oleh
pihak
warga
kristen.
Dan sekitar tahun 1999/2000 konflik bersenjata antar suku beragama juga terjadi di
Poso, yang menurut informasi yang beredar pada waktu itu bahwa konflik tersebut
bermula dari pembantaian terhadap masyarakat Muslim yang dilakukan oleh
masyarakat Kristen. Maka sebuah program pengiriman anggota Al-Jamaah AlIslamiyah disusun dan diberi nama "Program Uhud" bermula sekitar tahun 2000
yang bertujuan membantu warga Muslim di Poso membangun sikap
mempertahankan diri dari serangan warga kristen dan disamping itu juga
membangun pendidikan Islam dan menyebarkan para pendakwah Islam di kalangan
masyarakat Muslim Poso. Program Uhud ini dipimpin oleh Mustapha sebagai bagian
dari program pembinaan teritorial Al-Jamaah Al-Islamiyah. Tetapi kemudian program
ini
dihentikan
pada
sekitar
bulan
Oktober
2002.
Kesemua program pengiriman anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah ke tempat-tempat
konflik adalah pada dasarnya untuk membantu dan membela nasib umat Islam yang
diketahui memperjuangkan hak-hak mereka dan disamping itu pada kesempatan
yang ada dimanfaatkan untuk mempelajari ilmu-ilmu kemiliteran yang diajar dan
dilatih sendiri oleh para instruktur dari kalangan anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah.
Kesemua tempat latihan akan dipertahankan kesinambungan operasionalnya kecuali
tempat-tempat latihan yang tidak mungkin dipertahankan atau tidak layak untuk
dipertahankan
karena
sebab-sebab
tertentu.
Para partisipan yang dikirim berlatih ke tempat konflik akan menghabiskan waktunya
dengan mengikuti latihan di dalam kem latihan daripada mengikuti orang tempatan
(seperti orang Afghan dan Bangsa Moro) untuk pergi ikut serta berperan di dalam
jihad atau peperangan, karena waktu yang tersedia untuk berada di tempat latihan
adalah sangat terbatas kecuali jika daerah tempat latihan tersebut mendapat
tekanan dari pihak musuh dan memerlukan tenaga tambahan untuk
mempertahankan wilayah tersebut. Paling tidak, para partisipan/peserta latihan akan
mendapatkan jatah untuk "Ribath" yang artinya berjaga-jaga di perbatasan, untuk
jangka waktu tiga hari atau seminggu sebelum diberangkatkan pulang.
Bagi para partisipan, para senior dan para instruktur yang mernang punya jatah
waktu untuk tinggal lebih lama, maka mereka inilah yang lebih berpeluang untuk
terlibat langsung berperan dalam kontak senjata antara pihak mujahidin dengan
pihak
lawannya
(pasukan
tentara
pihak
pemerintah).
Pendidikan Akademi Militer
I.
Afghanistan
Untuk strategis jangka panjang dan untuk melabirkan calon-calon pemimpin yang
berkualitas dalam organisasi maka Al-Jamaah Al-Islamiyah membuat pendidikan
kemiliteran pada awal tahun 1993 di Towrkham Afghanistan. Program pendidikan
adalah program Pendidikan dan Latihan Akademi Militer (DikLat AKMIL) tersebut
adalah lanjutan dari kegiatan sebelumnya yang pernah diwujudkan atau diupayakan
oleh
Ust.
Abdul
Halim
bagi
pihak
jamaah
NII.
Setelah lulus dari pendidikan Akademi Militer, para lulusan AKMIL tersebut yang
terseleksi diperintahkan untuk bertugas dan memperdalam pengetahuan tambahan,
yang
antara
lain
adalah:
-Menjadi
instruktur
dan
tenaga
pengajar.
-Mengikuti latihan (kursus) yang diadakan di Kamp latihan milik orang Arab, seperti
:
•
Sniper
(Rifle
Markmanship).
•
Kemahiran
menembak
pistol
dan
revolver.
•
Kursus
bahan-bahan
kimia
dan
peracikan
bahan
peledak.
•
Perbengkelan
senjata
dan
amonisi.
•
Kemahiran
merakit
sirkuit
elektronik.
•
Kursus
Tank
Tempur
(seperti,
T-60,
T-59,
T-72
).
• Latihan tempur infanteri di berbagai bentuk lapangan, sekaligus ikut bertempur
kontak
senjata
melawan
musuh.,
Dan
lain-lain.
-Mengikuti latihan intensif sebagai juru dakwah di Kamp Latihan Arab, atau di
maahad yang dimiliki oleh orang Arab di kota Peshawar Pakistan, seperti Maahad
Salman
dan
Universitas
Dakwah
wal
Jihad.
-Dan kursus lainnya yang diatur oleh pimpinan Al-Jamaah Al-Islamiyah di
Afghanistan
yang
berposisi
di
Peshawar
Pakistan.
II.
Mindanao,
Filipina
Selatan
Setelah pendidikan kemiliteran di Towrkham Afghanistan sudah tidak dapat
dilanjutkan lagi gara-gara serangan yang dilancarkan oleh Pejuang Taliban dan
banyak perlengkapan yang dirampas, maka Al-Jamaah Al-Islamiyah sudah tidak
memiliki tempat latihan kemiliteran.
Pada sekitar bulan Oktober 1994, beberapa tenaga instruktur dari anggota AlJamaah Al-Islamiyah dikirim untuk membantu perjuangan para Pejuang Bangsa
Moro di Mindanao Filipina, yaitu dengan cara memberikan pelatihan kemiliteran.
Sebuah tempat pelatihan dibuka bagi memperlancarkan kegiatan pelatihan Pejuang
Bangsa Moro. Tempat pelatihan tersebut dinamakan Kamp Hudaybiyah yang
berlokasi di daerah hutan pergunungan di tengah-tengah hutan Pulau Mindanao.
Yaitu sekitar perbatasan propinsi Lanao dan North Cotabato. Pada asalnya Kamp
Hudaybiyah ini dibuka bukan atas rencana dan kebijakan Markaziyah tetapi oleh
karena orang yang membukanya adalah inisiatif dari anggota Al-Jamaah AlIslamiyah dan mendapat bantuan operasional pelatihan dari Markaziyah maka
kegiatan di kamp Hudaybiyah dikhususkan untuk anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah
dengan dilaksanakan program pendidikan kemiliteran yang direncanakan oleh pihak
Markaziyah.
Pada sekitar akhir tahun 1998, program pendidikan dan pelatihan Akademi Militer
(selama 18 bulan setiap angkatan) itu dilaksanakan di Kamp Hudaybiyah tersebut.
Tujuan diadakan pelatihan tersebut adalah untuk mencipta para pemimpin yang
akan
melanjutkan
perjuangan
Al-Jamaah
Al-Islamiyah.
Akademi Militer ini milik organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah yang seratus persen
diurus sendiri oleh anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah hanya saja perlengkapan belajar
mengajarnya tidak selengkap sebagaimana yang pernah dimiliki di Afghanistan,
namun bentuk administrasinya hampir mirip dengan Akademi Militer Mujahidin
Afghanistan. Proses penseleksian calon kadetnya dilakukan dengan harus memenuhi
kualifikasi yang telah ditentukan, karena pengalaman pengiriman siswa ke Akademi
Militer Mujahidin Afghanistan yang dahulu menjadi pelajaran supaya tidak terulang
mengirim siswa yang tidak memenuhi persyaratan pelatihan dan tujuan yang
dikehendaki.
Antara
persyaratan
yang
harus
dipenuhi
adalah:
•
Anggota
Al-Jamaah
Al-Islamiyah
(sekitar
1
hingga
2
tahun).
•
Status
belum
kawin.
(bujang)
•
Umur
sekitar
18-23
tahun.
•
Sihat
fisik.
•
Tiada
penyakit
dalam.
• Tingkat pendidikan, SMA atau sejenisnya dengan nilai rapor rata-rata minimal
bernilai
7.
•
Kemampuan
berbahasa
Inggeris
(minimal
pasif).
•
Siap
untuk
berada
di
suasana
perang.
•
Siap
tidak
pulang
kampung
jika
diperlukan
bertugas.
•
dan
siap
mati
syahid.
Tempoh latihan Akademi Militer di kamp Hudaybiyah di Cotabato Mindanao Filipina
Selatan adalah tiga semester saja yaitu sekitar satu setengah tahun dan bisa
mencapai sehingga dua tahun proses lengkapnya, lalu program pendidikan ini
ditutup dengan upacara wisuda (Graduation Ceremonial atau disebut dengan istilah
Afghan yaitu Rasmi Gojas). Lulusan Akademi Militer Al-Jamaah Al-Islamiyah di kem
latihan Hudaybiyah tidak diberikan jurusan kemahiran tambahan khusus karena
fasilitas yang tersedia tidak mencukupi, hanya kelebihan istimewa yang dimiliki oleh
lulusan Akademi Militer Al-Jamaah Al-Islamiyah di Hudaybiyah adalah memiliki
pengalaman tempur karena mereka belajar dan berlatih sambil terlibat langsung
dalam perang kontak senjata. Biarpun masih berusia yang cukup muda tetapi para
lulusan Akademi Militer Al-Jamaah Al-lslamiyah punya cukup keterampilan militer
serta mampu memimpin pasukan. Mereka dibekali dengan pengetahuan yang cukup,
daya kreatif yang tinggi, ketabahan dan kemampuan untuk penyelesaian masalah
(problem
solving).
Para lulusan Akademi Militer itu (bujang, rata-rata berumur sekitar 21 hingga 24
tahun) diberi tugas antara lain:
Sebagai tenaga pengajar (Instruktur) di Karnp Hudaybiyah dan di Kamp Jabal
Quba (kamp latihan baru yang dibangun pada awal tahun 2001 setelah kamp
Hudaybiyah tidak kondusif sebagai tempat latihan).
Sebagai tenaga administrasi kegiatan Al-Jamaah Al-Islamiyah di Filipina
Selatan.
Bergabung dengan kelompok Pejuang Bangsa Moro dalam operasi pertahanan
wilayah.
Dipulangkan ke Indonesia untuk bertugas di Mantiqi Tsani (II).
Bertugas di perbengkelan senjata dan amonisi milik Pejuang Bangsa Moro di
Mindanao.
Berusaha Mewujudkan Basis Yang Disebut "Qoidah Aminah”.
Sehingga sekarang masih belum didapatkan sebuah wilayah yang dapat
dijadikan sebagai "Qoidah Aminah". Qoidah Aminah berarti Pusat Administrasi
yang aman. Maksudnya adalah bahawa di tempat tersebut akan berkumpul
semua pimpinan dari tingkat Amir Jamaah dan para anggota stafnya (Qiyadah
Markaziy). Dan juga sebagai basis pertahanan yang akan dipertahankan oleh
penduduk setempat yang sudah direkrut menjadi pendukung dan ditambah
dengan anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang bertempat tinggal di wilayah
itu.
Penetapan area/wilayah garap sebagai Qoidah Aminah sering menjadi tanda tanya
dan tebakan dari kalangan para anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah. Pernah didengar
bahawa lokasi Qoidah Aminah adalah di Malaysia Barat (Semenanjung) sebab kedua
pimpinan tertinggi Al-Jamaah Al-Islamiyah berada disitu yaitu Ust. Abdul Halim dan
Ust. Abdus Somad. Pernah juga diusulkan oleh salah seorang pimpinan agar Qoidah
Aminah itu di wilayah yang dikuasai oleh Pejuang Bangsa Moro di Mindanao Filipina,
tetapi usulan ini tidak ditanggapi. Sebagian besar anggota dan para senior
menginginkan agar Qoidah Aminah itu berada di Indonesia. Sebab anggota AlJamaah Al-Islamiyah yang terbanyak adalah di Indonesia yaitu di Mantiqi Tsani (II),
bersesuaian dengan fungsi strategis wilayah Mantiqi Tsani (II) yaitu Wilayah Garap
Utama. []
Bab 5
Perjalanan ke Mindanao
Pertama kali mendengar perjuangan Bangsa Moro didapatkan dari berita surat kabar
lokal Malaysia sekitar tahun 80-an ketika saya masih di bangku sekolah menengah di
Malaysia, tetapi berita tentang perjuangan Bangsa Moro tidaklah sepopuler berita
tentang perjuangan Mujahidin Afghanistan. Sehingga kurang menarik perhatian saya,
sedangkan berita tentang Afghanistan sangat mendominasi seluruh berita tentang
tempat-tempat
konflik
yang
ada
pada
waktu
itu.
Ketika sudah berada di Pakistan/Afghanistan barulah saya
memahami dengan lebih banyak asal usul perjuangan
Bangsa Moro dari majalah Arab yang memuat kisah
perjuangan Umat Islam di Pulau Mindanao Filipina.
Ditambah lagi terdapat para Pejuang Bangsa Moro yang
ikut berjihad di Afghanistan yang menceritakan tentang
apa yang terjadi dan apa yang mereka perjuangkan di
tanah
air
mereka.
Apa yang saya fahami dari kisah asal usul perjuangan
Bangsa Moro yang diceritakan adalah bermula sejak
penjajahan Sepanyol sekitar abad ke-16 dan selanjutnya
perlawanan terhadap Amerika sekitar abad ke-18, tetapi
puncak panasnya pergolakan perlawanan adalah apabila
pemerintahan Presiden Republik Filipina yaitu Ferdinand
Marcos membuat kebijakan mengisytiharkan keadaan perang 'Martial Law' yang telah
mengakibatkan perang sipil yaitu konflik antar suku Muslim dan suku non-Muslim di
Filipina Selatan, peristiwa tersebut terjadi sekitar tahun 1972. Perang tersebut telah
membumi-hanguskan perkampungan warga Muslim serta merampas harta dan tanah
milik
warga
Muslim
di
Filipina
Selatan.
Untuk membela nasib kaum Muslimin yang dizalimi dan timbul rasa tidak percaya serta
tidak aman berada di bawah pemerintahan Republik Filipina maka umat Islam di Filipina
Selatan bangkit menuntut hak mereka untuk merdeka, pisah dari pemerintahan Republik
Filipina. Dukungan dari luar negeri Filipina (Internasional) sangat diutamakan dan
didahulukan sebagai langkah pertama dalam strategis pihak Pejuang Bangsa Moro
daripada tergesa-gesa berusaha untuk menegakkan sebuah negara yang terpisah dari
Republik Filipina. Hal tersebut telah pun mereka laksanakan seperti negara Malaysia
sekitar tahun 1969 sehingga sekitar tahun 1975 yang pertama kali memberikan
dukungan dan bantuan membela nasib umat Islam di Filipina Selatan, kemudian
berikutnya adalah dukungan negara Libya sekitar 1972, yaitu kesan dari pendekatan
yang dilakukan oleh para pelajar Muslim yang mendapatkan pendidikan Islam di luar
negeri.
Pada asalnya perjuangan Bangsa Moro di bawah satu
organisasi yaitu Moro National Liberation Front
(MNLF) di bawah pimpinan Prof. Nur Misuari tetapi
kemudian sekitar tahun 1984 berpecah dan terbentuk
satu organisasi baru dari MNLF yaitu Moro Islamic
Liberation Front (MILF) di bawah pimpinan Ust. Salamat
Hashim yang mayoritas dari Bangsa Moro suku
Maguindanaon, Maranao dan Iranon. Kemudian berpecah
dari MNLF lagi menjadi sebuah kelompok baru yaitu Abu Sayyaf Group (ASG) yang
terdiri dari Bangsa Moro suku Taosug dan Yakan (Basilan) di bawah pimpinan Ust. Abdur
Rozak Janjalani. Sekian tahun perjuangan Pejuang Bangsa Moro telah menghasilkan
berbagai usaha dan kesepakatan dengan pemerintahan
Republik Filipina untuk mencari jalan penyelesaian
masalah
mereka.
Menurut sejarah yang diceritakan kepada saya, bahwa
umat Islam di Filipina Selatan dahulunya diperintah oleh
sebuah Pemerintahan Kerajaan Kesultanan Sulu yang
terdiri dari Pulau Mindanao, Kepulauan Tawi-Tawi,
Kepulauan Palawan, Kepulauan Sangihe dan juga Sabah.
Oleh karena terjadi era penjajahan dari berbagai negara
berkuasa seperti Sepanyol, Amerika, Inggeris dan Jepang menjadikan Kerajaan
Kesultanan Sulu terbagi-bagi yang di antaranya menjadi bagian dari Malaysia yaitu
Sabah, sebagian menjadi bagian dari wilayah Indonesia yaitu Kepulauan Sangihe dan
sebahagiannya lagi menjadi bagian dari wilayah Filipina yaitu Pulau Mindanao,
Kepulauan
Tawi-Tawi
dan
Palawan.
Menurut yang pernah difahamkan kepada saya bahawa Sabah menjadi bagian dari
Malaysia adalah hasil kesepakatan antara
Sultan Kerajaan Kesultanan Sulu dengan
pemerintah
Inggris
yang
menjajah
Malaysia, sebuah kesepakatan yang tiada
batas waktu. Menurut Bangsa Moro suku
Taosug mengatakan asal usul nama
Sandakan (nama sebuah kota di Sabah
Malaysia Timur) diberi karena tanah itu
telah di 'gadai'. Sandak dalam bahasa
Suluk (Taosug) berarti gadai, maka
Sandakan
berarti
digadaikan.
Persiapan
ke
Mindanao,
Filipina
Selatan
Sepengetahuan saya hubungan Al-Jamaah
Al-Islamiyah dengan pejuang Bangsa Moro telah lama terjalin sejak di Pakistan dan
Afghanistan, bermula sekitar tahun 1985. Dimana Ust. Zulkarnain selaku pimpinan
orang-orang NII (sebelum wujud Al-Jamaah Al-Islamiyah) di Pakistan melakukan
kerjasama belajar mengajar di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan di Sadda, Pakistan.
Hubungan ini berlanjut hingga melaksanakan Jihad bersama-sama dengan Mujahidin
Bangsa Moro di Afghanistan. Bahkan anggota NII (kemudian Al-Jamaah Al-Islamiyah)
mengaku berasal dari Filipina atau mengaku dengan nama sebagai Mujahidin Filipina
kepada orang-orang Afghan dan orang-orang Arab di Afghanistan, kecuali hanya
beberapa pimpinan orang arab antara lain seperti Ust. Abdullah Azzam, Abu Burhan,
Umar Abdurrahman yang mengetahui asal sebenar yaitu Indonesia., dan juga dari
kalangan pimpinan Tanzim Mujahidin Afghanistan hanya Ust. Abdur Rabbit Rasul Sayyaf
yang
mengetahui
asal
sebenar.
Selain mereka itu semua mengetahui dari pengakuan orang-orang NII berasal dari
Filipina. Untuk tujuan apa berselindung di balik nama Mujahidin Filipina tidak diketahui
dengan pasti, dan mengapa pimpinan Pejuang Bangsa Moro membenarkan orang-orang
NII menggunakan nama mereka juga tidak diketahui sebab urusan itu adalah urusan
tingkat
pimpinan
tertinggi.
Awal mulanya instruksi pemberangkatan ke Mindanao Filipina Selatan adalah perintah
dari Ust. Abdul Halim melalui perantara Ust. Zulkarnain yang selanjutnya menyampaikan
perintah kepada saya adalah Ust. Mustaqim (alias Muzayyin) supaya berangkat ke
Filipina Selatan untuk melatih para Pejuang Bangsa Moro dan membantu perjuangan
Jihad Bangsa Moro. Saya menerima tugas tersebut sebab yang memerintahkan saya
adalah Ust. Mustaqim yang berposisi sebagai pimpinan alumnus yang pernah ke
Afghanistan di Mantiqi Ula (I), saya percaya dengan apa yang disampaikannya kepada
saya
bahwa
ini
adalah
perintah
dari
Ust.
Abdul
Halim.
Perintah verbal sudah mencukupi bagi anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah tanpa diperlukan
pembuktian, sebab semua itu dilandaskan kepada budaya saling percaya. Dengan
perasaan yang senang menerima tugas tersebut sekaligus menambah pengalaman saya
dalam berjihad di suasana yang baru, sebabnya geografis Filipina berbeda dengan
geografis Afghanistan. Dan saya juga gembira dapat membantu umat Islam Bangsa
Moro yang menurut berita dizalimi dan memperjuangkan hak mereka yang dirampas.
Pada waktu itu saya berada di Johor Bahru Malaysia dan diinformasikan bahwa
keberangkatan nanti akan bersama beberapa orang yang dipimpin oleh Mustapha yaitu
pada sekitar bulan September atau Oktober tahun 1994. Menurut Ust. Mustaqim bahwa
saya harus belajar empat bahasa percakapan untuk perjalanan ke Cotabato ke tempat
Pejuang
Bangsa
Moro
di
Pulau
Mindanao
Filipina
Selatan,
yaitu:
-Sandakan Sabah ke Kepulauan Tawi-Tawi (Bongao) menggunakan bahasa Bajjao.
-Kepulauan Tawi-Tawi ke Zamboanga menggunakan bahasa Suluk (Bangsa Taosug).
-Zamboanga
ke
Cotabato
menggunakan
bahasa
Tagalog.
-Cotabato ke tempat para Pejuang Bangsa Moro menggunakan bahasa Maguindanaon.
Perjalanan
ke
Kamp
Hudaybiyah
Dalam waktu seminggu saya mempelajari keempat-empat bahasa percakapan tersebut
dari anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang pernah berpengalaman tinggal di Mindanao,
Filipina Selatan bersama Bangsa Moro, sekadar untuk digunakan dalam perjalanan.
Dahulunya sekitar tahun 1991, sebelum terbentuknya organisasi Al-Jamaah AlIslamiyah, sudah ada sekitar 5 orang Indonesia yang dikirim dari Jamaah Negara Islam
Indonesia (NII) faksi Ajengan Masduki yang bertempat tinggal bersama dengan Bangsa
Moro yaitu Hambali, Fahim, Nasrullah, Shamsudin dan Akram tetapi keberadaan mereka
di sana tidaklah untuk melatih melainkan hanya sebatas menimba pengalaman hidup.
Namun kemudian setelah terjadinya Infisol (pisah) pada awal tahun 1993 antara pihak
Ust. Abdul Halim dari pimpinan Jamaah NII menyebabkan tiga orang dari lima orang
yang berada di Filipina Selatan mengundurkan diri pulang ke Indonesia yaitu mereka
yang berpihak kepada Ust. Abdul Halim, mereka adalah Hambali, Fahim dan Nasrullah.
Orang yang mengajarkan saya keempat-empat bahasa tersebut adalah Nasrullah yang
mempunyai pengalaman bahasa dengan fasih, dan sekalian memberikan pengarahan
sebagai
bekal
perjalanan
yang
akan
ditempuh
nanti.
Melatih
Pejuang
Bangsa
Setelah siap untuk berangkat ke Filipina Selatan, sekitar
bulan September atau Oktober 1994, Ust. Mustaqim (alias
Muzayyin) mengarahkan untuk berangkat ke Sandakan
Sabah Malaysia dan bertemu dengan Mustapha (alias Abu
Tolut). Dengan menggunakan pesawat MAS, saya
berangkat dari Bandara Senai Johor Bahru menuju ke
Bandara kota Kota Kinabalu Sabah dan kemudian dengan
menaiki Bas ekspress menuju ke Sandakan Sabah.
Moro
Di Sandakan Sabah, Mustapha bersama anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang lain sudah
menunggu kedatangan saya, mereka adalah Nasrullah, Qotadah, Ukasyah dan Husain,
kesemuanya adalah warga Indonesia. Menurut Mustapha bahawa kami semua yaitu
keenam-enam anggota ini akan berangkat ke Cotabato Mindanao Filipina Selatan
bertujuan melatih Pejuang Bangsa Moro yang dikabarkan telah siap menunggu untuk di
latih.
Pada asalnya semua akan berangkat melalui jalur tidak rasmi (ilegal) melalui Kepulauan
Tawi-Tawi dengan bantuan Nasrullah selaku penunjuk jalan yang sudah berpengalaman
melewati jalur ilegal dan tinggal bersama Pejuang Bangsa Moro, tetapi setelah
semalaman berbincang tentang teknis keberangkatan maka Mustapha memutuskan
untuk membagi rombongan kepada dua kelompok, dimana Mustapha dan Nasrullah
berangkat secara rasmi menggunakan pasport ke Filipina Selatan dengan menggunakan
pesawat terbang dari Bandara kota Kota Kinabalu Sabah menuju Manila ibukota Filipina
yang kemudian melanjutkan penerbangan ke kota Cotabato Mindanao Filipina Selatan.
Sementara saya, Qotadah, Ukasyah dan Husain berangkat melalui Kepulauan Tawi-Tawi
secara ilegal. Rencana berubah karena Mustapha mengatakan bahwa dia harus menaiki
pesawat agar kepulangannya ke Indonesia berjalan dengan lancar dan jikapun
diperlukan untuk diperpanjang maka dia akan meminta bantuan pihak pejuang Bangsa
Moro
untuk
memperpanjangkan
visa
arrival-nya
nanti.
Perjalanan kami berempat secara ilegal dengan menggunakan kapal dagang tradisional
rasmi milik warga Kepulauan Tawi Tawi yang biasanya mengangkut barang-barang
dagangan dari Sabah Malaysia menuju ke Bongao di Kepulauan Tawi-Tawi Filipina.
Nasrullah yang mempunyai pengalaman jalur ilegal dan fasih berbahasa lokal
seharusnya menjadi penunjuk jalan bagi rombongan kami untuk melewati jalur laut yang
ilegal, tetapi dia malah dibawa menemani satu orang menaiki pesawat, sungguh sebuah
kebijakan pimpinan yang harus diterima. Selama perjalanan kami semua mengaku
sebagai tenaga kerja Filipina yang ingin pulang ke kampung halaman, dan saya sebagai
jurubicara di sepanjang perjalanan karena saya telah mempelajari empat bahasa
percakapan setempat. Terasa agak kesulitan karena tidak
didampingi Nasrullah (penunjuk jalan) seperti yang
direncanakan, namun rasa gembira mendapatkan tugas
membantu Pejuang Bangsa Moro menghilangkan segala
macam
rasa
kesulitan.
Dari Bongao Kepulauan Tawi-Tawi menuju ke Zamboanga
mengambil masa satu malam dengan menaiki kapal feri
penumpang antar pulau yang biasa digunakan untuk
keperluan domestik di Filipina. Begitu juga setelah
mendarat di kota Zamboanga, selanjutnya mencari tiket
kapal feri yang lain untuk berangkat ke kota Cotabato,
perjalanan laut ditempuh selama satu malam. Setibanya
kami di pelabuhan kota Cotabato, Mustapha dan Nasrullah
sudah menunggu untuk menjemput kedatangan kami.
Dari kota Cotabato kami berenam berangkat ke Parang
dengan menggunakan kendaraan angkutan umum yang disebut 'Jeepney' oleh orang
Filipina, perjalanan ditempuh sekitar tiga jam. Kemudian dari Parang ke perkampungan
yang bernama Langkung dengan menggunakan 'Jeepney' yang lain, ditempuh sekitar
satu jam setengah. Lalu dari Langkung dengan berjalan kaki sekitar tiga jam menuju ke
perkampungan
Pejuang
Bangsa
Moro.
Setibanya kami di perkampungan Pejuang Bangsa Moro yang berlokasi di tengah-tengah
hutan di Barera berdekatan dengan pergunungan Pulau Mindanao langsung ditempatkan
di 'Guest House' (rumah tamu) atau orang setempat menyebutnya 'Green House' untuk
kami dapat beristirehat semalam sebelum dapat bertemu dengan pimpinan Tertinggi
Pejuang
Bangsa
Moro
pada
esok
harinya.
Setelah mendapat kesempatan bertemu dengan pemimpin tertinggi Pejuang Bangsa
Moro maka Mustapha selaku pimpinan rombongan menyampaikan maksud tujuan
kedatangan rombongan yang dikirim untuk melatih Pejuang Bangsa Moro. Ternyata
Pejuang Bangsa Moro belumpun menseleksi dan mempersiapkan pasukannya yang akan
dilatih, dengan demikian diperlukan waktu yang agak lama untuk mengumumkan dan
mengumpulkan pasukan yang layak terseleksi untuk dilatih. Kabar tersebut ternyata
membuat Mustapha kecewa karena informasi yang didapatkannya dari Ust. Zulkarnain
sebelum berangkat ke Mindanao Filipina mengatakan bahwa orang-orang yang akan
dilatih sudahpun menunggu sehingga ketika tim instruktur datang langsung dapat
melaksanakan
tugas
mereka.
Setelah pertemuan, kami langsung berbincang membicarakan tentang situasi yang ada,
hasil keputusan yang dibuat oleh Mustapha adalah beliau pulang kembali ke Indonesia
bersama Nasrullah dengan menggunakan pesawat karena dikhawatirkan Visa arrival-nya
yang 21 hari itu tidak dapat diperpanjang. Saya berfikir kenapakah tidak dibuang saja
paspor itu, bukankah tujuan asal adalah untuk melatih bukan untuk bersiar-siar naik
pesawat terbang? Pastinya kegiatan melatih diperlukan masa yang cukup lama bukan
hanya sehari dua saja. Tetapi oleh karena saya adalah anggota biasa dan Mustapha
adalah orang yang membuat keputusan maka saya hanya bersikap menerima saja.
Keputusan Mustapha mengundang ketidakpuasan dari Husain dan Ukasyah, dimana
Husain juga ingin pulang seandainya Mustapha dan Nasrullah pulang. Husain pulang
melalui jalur yang sama ketika berangkat yaitu melalui Kepulauan Tawi-Tawi, sedangkan
Ukasyah menuntut untuk berada di Mindanao Filipina Selatan hanya sebulan saja dan
pulang
melalui
jalur
ilegal
di
Kepulauan
Tawi-Tawi.
Tinggallah saya dan Qotadah yang masih tetap bersyukur dapat berada di tanah air
Bangsa Moro setelah sekian lama berhasrat untuk membantu umat Islam yang menurut
kabar yang tersebar dizalimi di Pulau Mindanao Filipina. Mustapha menunjuk saya
sebagai pimpinan di antara kami berdua (saya dan Qotadah) dan beliau hanya
meninggalkan bekal pesan lisan untuk kami berdua yaitu supaya harus bertahan hidup
dengan keadaan sekeliling sebagaimana Hambali dan Nasrullah yang pernah bertempat
tinggal di situ dahulu. Alhamdulillah berbekalkan pesan tersebut kami pegang
sehinggalah kami dapat melatih orang-orang pilihan dari Pejuang Bangsa Moro dengan
bantuan material dari pihak Pejuang Bangsa Moro. Qotadah kemudian memperkenalkan
dirinya bernama Baasyir kepada Pejuang Bangsa Moro, sejak itu beliau lebih dikenal
dengan
nama
Baasyir
di
kalangan
Pejuang
Bangsa
Moro.
Hubungan antara Al-Jamaah Al-Islamiyah dengan Pejuang Bangsa Moro dijalin atas
dasar kepercayaan tanpa dokumen tertulis, sehingga terjadi saling mengunjungi dan
saling bertukar fasilitas pelatihan. Aset yang ditukarkan kepada Pejuang Bangsa Moro
adalah pengetahuan dan pelatihan kemiliteran kepada anggota Pejuang Bangsa Moro.
Pada bulan pertama ketibaan sempat dijalankan program pelatihan singkat untuk
anggota Pejuang Bangsa Moro selama dua gelombang dalam waktu satu bulan, setiap
satu gelombang berjumlah sekitar 20 orang, tetapi lokasi tempat latihan yang disediakan
oleh pihak setempat adalah berada di tengah-tengah perkampungan simpatisan Pejuang
Bangsa Moro, sehingga menimbulkan gangguan kepada penduduk. Dan begitu juga
kehadiran penduduk kampung yang menyaksikan pelatihan juga mengganggu
kelancaran proses belajar mengajar. Lalu setelah mempertimbangkan akan keefektifan
belajar mengajar maka saya usulkan kepada pimpinan tertinggi Pejuang Bangsa Moro
untuk
berpindah
lokasi.
Membuka
Kamp
Latihan
Hudaybiyah
Perintisan awal tempat latihan untuk melatih Pejuang
Bangsa Moro dilakukan tanpa direncanakan dan tanpa
perintah dari pimpinan Al-Jamaah Al-Islamiyah dan tidak
juga dari Mustapha selaku pimpinan tim. Sebab misi awal
pengiriman personal (tim instruktur) adalah untuk melatih
saja bukan membangun Kamp latihan. Oleh karena saya
dan Baasyir berada di tengah hutan jauh dari kota dan
tidak diberikan pengarahan untuk menghubungi jika
mempunyai kesulitan maka saya dan Baasyir mengambil
keputusan sendiri berlandaskan kepada bekal yang ditinggalkan Mustapha yaitu "harus
bertahan
hidup"
dalam
kata
lain
mempraktekkan
teori
Jungle
Survival.
Saya memandang bahwa tempat latihan yang sesuai adalah salah satu fasilitas yang
harus disediakan dalam pelatihan maka saya mengambil keputusan bahwa apa yang
saya lakukan tidak menyalahi misi untuk melatih Pejuang Bangsa Moro, dan malah saya
menganggap membuka Kamp latihan yang baru adalah bagian dari latihan kemiliteran
yang tidak kurang pentingnya. Saya berfaham bahwa kamp latihan tidak harus lengkap
dengan fasilitas, tetapi bagaimana fungsinya sebagai sebuah tempat latihan dapat
diwujudkan. Mungkin pihak Pejuang Bangsa Moro tidak mempersiapkan tempat sebelum
kedatangan tim instruktur (dari anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah) karena mereka belum
memahami selera dan bentuk tempat latihan yang dikehendaki oleh para instruktur.
Sekitar bulan Desember 1994, bermodalkan pengetahuan yang ada maka saya dan
Baasyir (alias Qotadah) memohon izin dari pimpinan tertinggi Pejuang Bangsa Moro
untuk berjalan melihat disekeliling hutan yang dikuasai oleh Pejuang Bangsa Moro.
Dengan ditemani oleh seorang penunjuk jalan kami bertiga mendaki gunung dan
meredah ke dalam hutan yang pada dasarnya mencari lokasi yang sesuai dengan
kualifikasi yang dikehendaki, sempat kami tersesat di dalam hutan walaupun didampingi
penunjuk
jalan.
Antara
lain
kualifikasi
yang
diperlukan
adalah:
• berdekatan dengan sungai yang banyak air dan mudah pengambilan airnya,
• berlokasi di tempat tinggi dan dingin, supaya stamina lebih terjaga,
• harus area yang agak datar atau memungkinkan untuk didatarkan dengan alat yang
dipegang
tangan,
•
Berjauhan
dari
penduduk
dan
pasar.
•
dan
betjauhan
dari
jalan
umum.
• Terjangkau sinyal komunikasi wireless Handy Talky dengan pihak Pejuang Bangsa
Moro.
Akhirnya sebuah tempat di tengah hutan yang kemudian dipilih sebagai tempat latihan.
Lokasi tersebut berada di titik ketinggian sekitar 950m dari paras permukaan laut dan di
area perhutanan perbatasan antara propinsi Lanao, propinsi Maguindanaon dan propinsi
Cotabato Utara. Berdekatan sumber mata air dingin yang deras muncul dari celah batubatu besar dan berdekatan dengan air terjun setinggi sekitar 30 meter.
Bentuk geografis area dimana Kamp latihan berada telah menjadi tantangan latihan bagi
para siswa yang mengikuti pelatihan di kamp Hudaybiyah. Jarak perjalanan berjalan kaki
mendaki wilayah perhutanan melalui jalan setapak dari rumah warga terakhir di
perkampungan Pejuang Bangsa Moro menuju Kamp Hudaybiyah memakan masa satu
setengah jam (1½ jam hingga 2 jam) waktu normal, dan pastinya pakaian orang yang
datang ke Kamp Hudaybiyah akan basah dengan keringat yang banyak.
Area hutan dibuka dan dibersihkan oleh siswa dari anggota Pejuang Bangsa Moro, yang
sudah bersedia untuk berlatih sambil bekerja. Saya membangkitkan semangat untuk
bekerja membabat hutan karena tempat tersebut akan digunakan untuk jangka waktu
yang lama. Waktu kerja adalah dua kali sehari yaitu pagi hari setelah olahraga dan sore
setelah solat Asar. Berbekalkan kapak dan parang sedikit demi sedikit area Kamp latihan
dibuka. Oleh karena Kamp latihan ini dibangun bukan atas perencanaan dari pihak AlJamaah Al-Islamiyah maka persediaan makanan hanya berupa beras yang disediakan
oleh pihak Pejuang Bangsa Moro untuk jatah perorang dua kali sehari. Setiap 3 hari
sekali para siswa yang berlatih turun mengambil jatah logistik berupa beras, kegiatan
tersebut sekaligus latihan naik turun gunung, begitu juga kegiatan bersih membersih
serta
membabat
hutan
dijadikan
sebagai
latihan
fisik
dan
mental.
Kamp latihan itu saya dan Baasyir sepakat untuk menamakannya dengan nama Kamp
Hudaybiyah, dan kami yakin punya wewenang untuk memberikan nama sebab kami
berdua yang membukanya. Hudaybiyah adalah nama sebuah perjanjian pada zaman
Nabi Muhammad SAW yang disebut juga sebagai sebuah Ghozwah (peperangan). Sesuai
dengan cara perjuangan Pejuang Bangsa Moro yang selalu membuat ikatan perjanjian
damai
dengan
pemerintah
Republik
Filipina.
Mustapha (alias Abu Tolut) tidak mengetahui siapa yang pertama kali memberikan nama
Kamp latihan tersebut sebab beliau sudah pulang ke Indonesia dan tidak pernah melatih
anggota Pejuang Bangsa Moro, terlebih lagi ketika kedatangannya pada pertama kali itu
tidak pernah merencanakan untuk membuka Kamp latihan sebab itu bukan misi yang
dibawanya. Misi yang dibawa Mustapha pada awal pemberangkatan tim instruktur pada
akhir tahun 1994 termasuk saya bersamanya adalah untuk melatih Pejuang Bangsa
Moro tetapi misi tersebut gagal dilaksanakan Mustapha alias Abu Tolut.
Saya difahamkan oleh pimpinan tertinggi Pejuang Bangsa Moro bahwa di wilayah itu bagi
siapa saja yang telah membuka lahan baru di hutan yang belum pernah dibuka oleh
orang lain maka tanah itu adalah miliknya, dalam arti kata lain saya dan Baasyir
memahami bahwa Kamp Hudaybiyah yang telah dibuka oleh kami berdua adalah milik
Al-Jamaah Al-Islamiyah sebab kami adalah anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah dan
kedatangan kami ke Mindanao Filipina Selatan adalah penugasan dari organisasi AlJamaah Al-Islamiyah. Terlebih lagi ketika kehadiran Ust. Zulkarnain dari pihak
Markaziyah Al-Jamaah Al-Islamiyah yang mendukung dan memberikan dana
pembangunan dua buah barak untuk Kamp Hudaybiyah ketika beliau datang melawat
dan melihat perkembangan kegiatan kami bersama Pejuang Bangsa Moro. Begitu juga
pihak Pejuang Bangsa Moro tidak pernah mengungkit serta mempersoalkan kepemilikan
Kamp latihan Hudaybiyah dan mereka selalu menghormati batas wilayah kamp latihan
Hudaybiyah
yang
memiliki
aturan-aturan
bagi
tetamu
yang
datang.
Kegiatan melatih anggota Pejuang Bangsa Moro di Kamp Hudaybiyah bermula dari
sekitar pertengahan bulan Desember 1994 dengan jumlah siswa sebanyak 60 orang.
Kemudian berlanjut hingga sekitar akhir tahun 1996 atau pertengahan tahun 1997
dengan setiap kelompok berjumlah sekitar 40-60 orang untuk selama dua bulan. Sekitar
dua minggu hingga satu bulan harus vacum latihan sebab menunggu kedatangan
anggota Pejuang Bangsa Moro yang baru yang akan dilatih. Bahasa yang digunakan
untuk melatih dan mengajar adalah bahasa Inggeris dan bahasa Arab, lalu kemudian
diterjemahkan oleh kelompok belajar anggota Pejuang Bangsa Moro karena kebanyakan
mereka
tidak
memahami
bahasa
Inggeris
atau
Arab.
Tetapi dalam kesempatan hidup bersama dengan para siswa dari Bangsa Moro, sedikit
demi sedikit bahasa lokal (Maguindanaon) dan bahasa nasional (Tagalog) dapat dikuasai
dengan lancar. Sehingga pada kelompok belajar berikutnya pengarahan dan komunikasi
dengan siswa menggunakan bahasa lokal, walaupun pada saat di kelas bahasa tetap
menggunakan bahasa Inggeris atau Arab terutamanya tulisan, yang diterjemahkan oleh
salah seorang siswa yang punya kemampuan bahasa supaya tidak terjadi
kesalahfahaman
dalam
menerima
dan
memberi
pelajaran.
Anggota Pejuang Bangsa Moro yang berlatih di kamp Hudaybiyah menyebutkan diri
mereka yang mengikuti program latihan di kamp itu dengan sebutan 'Elite Force'.
Sebutan nama itu adalah dikarenakan tidak semua anggota Pejuang Bangsa Moro dapat
mengikuti pelatihan di Kamp Hudaybiyah, karena mereka diseleksi terlebih dulu sebelum
berangkat ke Kamp Hudaybiyah. Ditambah lagi instruktur yang mengajar mereka adalah
orang asing (Indonesia) lulusan Akademi Militer Mujahidin Afghanistan. Peraturan yang
ketat dikenakan keatas Pejuang Bangsa Moro yang berlatih di Kamp Hudaybiyah
sehingga ada sebagian dari partisipan yang di Drop Out (DO) karena tidak berdisiplin
dan
melanggar
aturan
di
Kamp
Hudaybiyah.
Pada pertengahan tahun 1995, Ust. Zulkarnain datang melihat perkembangan kegiatan
saya dan Baasyir bersama Pejuang Bangsa Moro dan berikutnya setelah saya keluhkan
kekurangan tenaga pengajar, beliau mulai mengirim anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah
yang ditugaskan sebagai instruktur tambahan untuk membantu kegiatan belajar
mengajar (melatih) Pejuang Bangsa Moro di Kamp Hudaybiyah. Di antara mereka yang
dikirim oleh Ust. Zulkarnain secara berkala dari pertengahan tahun 1995 hingga akhir
1996
adalah:
•
•
•
•
•
•
•
Amin,
nama
bagi
Mubarak,
datang
sekitar
pertengahan
Hanif,
nama
bagi
Ilyas,
datang
sekitar
pertengahan
Abdullah,
nama
bagi
Sawad,
datang
sekitar
pertengahan
Umar,
nama
bagi
Abu
Syekh,
datang
sekitar
akhir
Syuja,
datang
sekitar
akhir
Ubadah,
nama
bagi
Abdur
Rozak,
datang
sekitar
awal
Abu Saad, nama bagi Faturrahman Al-Ghozi, datang sekitar akhir
1995.
1995.
1995.
1995.
1995.
1996.
1996.
Faturrahman Al-Ghozi pertama kali masuk ke Mindanao Filipina Selatan pada akhir tahun
1996, melalui jalur Manado ke Pulau Sangihe. Atas perintah Ust. Zulkarnain saya
menjemput Faturrahman Al-Ghozi dengan menggunakan 'pumpboat' istilah orang Filipina
dari General Santos secara ilegal merentasi laut Sulawesi menuju Pulau Sangihe.
Pumpboat itu hanya muat 4 atau 5 orang saja dan perjalanan mengambil masa satu
malam (sekitar 20 jam) untuk tiba di Pulau Sangihe. Sedangkan Faturrahman Al-Ghozi
dihantar oleh Usaid alm yang dikenal juga dengan nama Zainal dari Manado ke Pulau
Sangihe
(Sulawesi
Utara)
untuk
bertemu
dengan
saya.
Pada sekitar akhir tahun 1996, saya diperintahkan pulang oleh Ust. Zulkarnain ke
Malaysia dan pengganti saya yang memimpin Kamp Hudaybiyah adalah Baasyir yang
akan melanjutkan pelatihan melatih anggota Pejuang Bangsa Moro. Menurut Ust.
Zulkarnain yang saya temui di Malaysia mengatakan bahwa masa tugas saya di
Mindanao bersama Pejuang Bangsa Moro sudah selesai. Keputusan yang diberikan
kepada saya tersebut dengan demikian memberikan peluang untuk menamatkan masa
bujang saya. Pada bulan April 1997 saya menikah di Sandakan, Sabah, Malaysia.
Anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang pernah menjabat selaku ketua kamp
Hudaybiyah
setelah
kepulangan
saya
adalah:
1.
Baasyir:
akhir
1996
pertengahan
1997.
2.
Hanif
(Ilyas):
pertengahan
1997
awal
1998.
3.
Umar
(Abu
Syekh):
pertengahan
1997
akhir
1998.
4. Muslih Ahmad (Mustaqim/Muzayyin) (Semester I, angkatan I Akmil): akhir 1998pertengahan
1999.
5. Faris (Mukhlas alias Ali Ghufron) (Semester II, angkatan I Akmil): pertengahan 1999akhir
1999.
6. Abu Tolut (Mustapha) (Semester III, angkatan I Akmil): akhir 1999 - pertengahan
2000.
7. Abu Irsyad (Nuaim) (Semester I, angkatan II Akmil): pertengahan 2000 - akhir 2001.
Ketua
Kamp
Jabal
Quba
adalah
:
1. Hudzaifah (Semester II dan III, angkatan II Akmil): awal 2002 - akhir 2002.
2. Muadz (Semester I - II - III, angkatan III Akmil): awal 2003 - (tidak ada khabar)
Antara sekitar akhir tahun 1996 dan tahun 1997 (saya sudah tidak bertugas di Kamp
Hudaybiyah), saya mengetahui bahwa ada anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah dari Mantiqi
I mulai dikirim untuk berlatih di Kamp Hudaybiyah dan berjihad membantu Pejuang
Bangsa Moro, namun jumlah anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang dikirim hanya sekitar
3-6 orang di setiap angkatan untuk jangka waktu latihan yang sangat pendek yaitu
sekitar dua minggu sampai sebulan. Imam Samudra juga pernah ke Kamp Hudaybiyah
selama seminggu yaitu sekitar akhir tahun 1997, kebetulan saya yang menunjukkan
jalan kepadanya atas permintaan Hambali. Lalu dari Sandakan Sabah Malaysia, Imam
Samudra berangkat ke Filipina dengan cara rasmi menggunakan pasport. Sedangkan
Amran, Muslim, Ali Fauzi, Noordin M.Top dan Azahari juga adalah di antara anggota AlJamaah Al-Islamiyah di Mantiqi Ula (I) yang dikirim Hambali ke Kamp Hudaybiyah untuk
mendapatkan latihan kemiliteran kursus singkat pada akhir tahun 1997 yang dilatih oleh
Abu
Saad
yang
juga
dikenal
sebagai
Faturrahman
Al-Ghozi
(alm).
Sekitar tahun 1997, Pejuang Bangsa Moro di Barera Cotabato kedatangan tetamu dari
orang-orang Arab berjumlah sekitar 15 orang yang dipimpin oleh Umar Al-Faruq dengan
maksud ingin membantu dan sekaligus membuka tempat latihan bagi orang-orang Arab.
Pejuang Bangsa Moro meminta bantuan instruktur dari Kamp Hudaybiyah untuk melatih
orang-orang Arab tersebut. Faturrahman Al-Ghozi adalah orang yang ditugaskan oleh
pihak Kamp Hudaybiyah untuk melatih orang-orang Arab tersebut di kawasan yang
dinamakan Kamp Vietnam (bekas tempat latihan Pejuang Bangsa Moro) yang
berdekatan dengan kamp Hudaybiyah, sekitar 30 menit waktu yang ditempuh dengan
berjalan kaki. Namun kamp latihan orang Arab itu (di kamp Vietnam) hanya bertahan
sekitar 2 atau 3 bulan saja sebab orang Arab kecewa dengan cara perjuangan Pejuang
Bangsa Moro yang dianggap suka berunding dengan pemerintah Filipina. Mereka datang
ke Filipina dengan harapan mendapatkan suasana yang sama seperti Afghanistan yang
senantiasa
ada
pertempuran.
Akademi
Militer
di
Kamp
Hudaybiyah
Pada pertengahan tahun 1997 kegiatan belajar mengajar di Kamp Hudaybiyah menurun
karena terjadinya perubahan struktural di dalam tubuh organisasi Al-Jamaah AlIslamiyah yaitu dengan dibentuknya sebuah Mantiqi yang baru (Mantiqi III), hasil
keputusan
rapat
Markaziyah.
Setelah dibentuknya kepimpinan Mantiqi III pada pertengahan tahun 1997 yang diketuai
oleh Mustapha maka barulah pembaharuan bentuk kegiatan latihan di Kamp Hudaybiyah
dilakukan dengan tidak lagi melatih anggota Pejuang Bangsa Moro. Kebijakan itu
diputuskan oleh Ketua Mantiqi III pada tahun 1998 karena adanya rencana program
yang baru dari Markaziyah Al-Jamaah Al-Islamiyah yaitu program Diklat Akademi Militer
selama 3 semester dan Kursus Asas Kemiliteran yaitu program latihan kemiliteran untuk
jangka waktu pendek selama 2 minggu, 1 bulan, 2 bulan, 4 bulan dan 6 bulan. Kursus
Asas Kemiliteran ini pernah diberi nama dengan istilah "Takhasus" pada akhir tahun
1998 ketika Ust. Mustaqim menjabat ketua Kamp Hudaybiyah yang menggunakan nama
Ust.Muslih Ahmad, kemudian berganti nama dengan istilah "Tajnid 'Am" pada
pertengahan tahun 1999 ketika Ust. Mukhlas menjabat ketua Kamp Hudaybiyah yang
menggunakan nama Ust. Faris dan terakhir berganti nama dengan istilah "DAA" yaitu
"Daurah Asasiyah Askariyah" yang berarti Kursus Asas Kemiliteran, istilah ini bermula
pada akhir tahun 1999 ketika Mustapha yang menggunakan nama Hafid Ibrahim
menjabat selaku ketua Kamp Hudaybiyah merangkap ketua Mantiqi Tsalis (III).
Kamp Hudaybiyah telah berubah dengan bertambah fungsinya, kamp latihan tersebut
menjadi semakin sibuk dengan berbagai macam bentuk kelompok training dan kegiatan.
Namun program utama yang menjadi tumpuan dan perhatian pendidikan adalah Diklat
Akademi Militer, dimana pembangunan barak diperbanyak, fasilitas belajar mengajar
ditingkatkan dan bentuk landskap pertamanan (landscaping) diperindah sehingga
terwujud suasana sebuah Akademi Militer, sampai-sampai pintu gerbang masuk ke
Kamp Hudaybiyah bertuliskan "Military Academy of Al-Jamaah Al-Islamiyah" dan di
bawah tulisan itu terdapat khat Arab yang berbunyi "Kuliah Harbiyah A.l-]amaah AlIslamiyah". Kuliah Harbiyah berarti Akademi Militer adalah istilah yang dipakai oleh
orang Arab ketika menyebutkan nama Akademi Militer Mujahidin Afghanistan di Sadda.
Di dalam laporan tulisan terkadang disebutkan KHD-1 yang berarti Kuliah Harbiyah
Dauroh-1
(Akademi
Militer
angkatan
pertama).
Begitu juga sistem pentadbiran (administrasi) Kamp Hudaybiyah diatur sedemikian rupa
sehingga dapat menyerupai dengan sistem pentadbiran di Akademi Militer Mujahidin
Afghanistan di Sadda Pakistan. Baik program harian jadwal 24 jam, administrasi,
kedisplinan, sistem pendidikan, materi pelajaran hinggalah pakaian berseragam.
Seragam lengkap yang dipakai adalah pakaian seragam milik ABRI (Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia) yang dibeli di Indonesia atau dibeli di General Santos Filipina buatan
Indonesia,
dari
baret
hingga
sepatu
lars.
Berbagai fasilitas belajar mengajar yang disediakan oleh kamp Hudaybiyah setelah
terlaksana program Diklat Akademi Militer Al-Jamaah Al-Islamiyah, seperti mesin
generator untuk penerangan di malam hari dan keperluan listrik bagi alat-alat listrik
seperti komputer, televisi, video player, tape player, alat komunikasi dan lain-lain
peralatan listrik yang diperlukan untuk kegiatan pelatihan. Peralatan pembangunan juga
dilengkapi di kamp Hudaybiyah seperti mesin gergaji (chainsaw) dan alat-alat
pertukangan.
Partisipan Akademi Militer Al-Jamaah Al-Islamiyah yang disebut juga dengan istilah KHD
(Kuliah Harbiyah Daurah) di Kamp Hudaybiyah secara berurutan adalah berjumlah
sebagai berikut: (nama yang tertera adalah nama yang dipakai di Kamp Hudaybiyah
Mindanao
Filipina,
bukan
nama
asal
mereka).
KHD-I (bermula akhir 1998) berjumlah 17 orang, mereka adalah:
01. Zulkifli, dikenal juga dengan nama Dony Afrasio. Ditahan di Malaysia di bawah
tahanan
ISA.
02. Hudzaifah, menggunakan nama Ibrahim Ali ketika ditahan di Malaysia di bawah
tahanan
ISA.
03. Abu Ubaidah, dikenal juga dengan nama Taufik Rifki. Ditahan di Filipina, belum
diketahui
atas
kasus
apa.
04. Mustaqim, dikenal juga dengan nama Kamaruddin. Ditangkap oleh Polri pada sekitar
akhir
bulan
Juni
2004.
05. Abdurrahman, dikenal juga dengan nama Yudi Lukito. Ditahan oleh Polri pada sekitar
bulan
April
2003
atas
kasus
pemilikan
senjata.
06.
Zaid,
dikenal
juga
dengan
nama
Astha.
07.
Said
alm.
08.
Ibnu
Sirin
alm.
09.
Usman.
10.
Muadz.
11.
Anwar
Rozaly.
12.
Hamzah.
13.
Ibrahim
Ali.
14.
Mustapha.
15.
Sulaiman.
16.
Tolhah.
17.
Zubair.
KHD-II
(bermula
awal
2000)
berjumlah
21
orang,
mereka
adalah:
01. Aqil, dikenal juga dengan nama Rohmat. Ditahan di Filipina pada sekitar bulan Maret
2005
karena
dicurigai
terlibat
dalam
aksi
pemboman
di
Filipina.
02. Soifiy, dikenal juga dengan nama Siswanto. Ditahan oleh Polri pada sekitar bulan Juli
2003
atas
kasus
pemilikan
senjata
api
dan
bahan
peledak.
03. Amir, dikenal juga dengan nama Yusuf. Ditahan oleh Polri pada sekitar bulan Juli
2003
atas
kasus
pemilikan
senjata
api
dan
bahan
peledak.
04. Mukhriz (alm), dikenal juga dengan nama Arsyadana. Meninggal di Tacurung
Mindanao, Filipina, karena kecelakaan bom yang dibawanya dalam ransel meledak pada
saat
dia
sedang
mengemudi
sepeda
motor.
05. Mus’ab alm. Meninggal di Mindanao Filipina, karena kecelakaan bom rakitan saat
pelatihan
di
Kamp
Jabal
Quba.
06. Ukasyah (alm). Meninggal di Mindanao Filipina, karena kecelakaan bom rakitan saat
pelatihan
di
Kamp
Jabal
Quba.
07.
Khollad.
08.
Mudjazir.
09.
Abu
Salamah.
10.
Kaisan.
11.
Zakwan.
12.
Dhomroh.
13.
Waqid.
14.
Tsaqof.
15.
Abu
Hubairoh.
16.
Abu
Aiman.
17.
Ibnu
Gholib.
18.
Kholid.
19.
Ibnu
Jahsin.
20.
Ibnu
Syuroqoh.
21.
Bilal.
KHD-III
01.
02.
03.
04.
05.
06.
07.
08.
09.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
(bermula
awal
2002)
berjumlah
20
orang,
mereka
adalah:
Anas
Amru
Harun
Husain
Jaafar
Kholil
Sholih
Saad
Mutsanna
Mughirah
Miqdad
Qotadah
Ghozwan
Zuhair
Ziyad
Yazid
Ahmad
Umair
Partisipan Kursus Singkat Kemiliteran Al-Jamaah Al-Islamiyah yang disebut juga dengan
istilah DAA (Daurah Asasiyah Askariyah) di Kamp Hudaybiyah dibagi menjadi beberapa
kelompok sebagai berikut: DAA Yarmuk, nama bagi kelompok training yang dikirim oleh
Mantiqi Tsani (II). Sejak awal tahun 1999 sudah dimulakan program DAA Yarmuk I dan
selanjutnya berkesinambungan hingga DAA Yarmuk IV. Setiap angkatan berjumlah
sekitar 15 hingga 20 orang. Di antara mereka yang mengikuti program DAA Yarmuk
antara
lain
adalah:
DAA Yarmuk I: 13 orang, pendidikan selama 4 bulan bermula 26 Maret 1999
hingga
22
Juli
1999
(9
Dzulhijjah
1419
11
R.Akhir
1420).
01.
Abbas
Ismail
02.
Abdul
Hamid
03.
Abu
Bakar
04.
Auf
05.
Hanifah
06.
Jaafar
Sodiq
07.
Kaab
08.
Kholid
09. Masud, dikenal juga dengan nama Tohir. Ditangkap pada akhir tahun 2003 atas
kasus keterlibatannya dalam pemboman Hotel JW Marriott Jakarta tanggal 5 Agustus
2003.
10.
Mutsanna
11.
Sofwan
12.
Suhaib
13.
Umar,
dikenal
juga
dengan
nama
Bambang
Tutuko.
DAA Yarmuk II: 22 orang, pendidikan selama 4 bulan bermula tanggal 5
November 1999 hingga 28 Februari 2000 (27 Rajab 1420-23 Dzulqoddah
1420).
01.
Abbas
02.
Sulaim
03.
Uneis
04. Subai’, dikenal juga dengan nama Herlambang. Ditahan oleh Polri pada akhir tahun
2002
atas
kasus
menyembunyikan
pelaku
Bom
Bali.
05.
Yazid.
06. ‘Iyas, dikenal juga dengan nama M. Saifuddin. Ditangkap pada awal tahun 2004 di
Pakistan
tetapi
kemudian
diadili
di
Indonesia.
07. Malik, dikenal juga dengan nama Ahmad Budi Wibowo. Ditahan oleh Polri pada akhir
tahun
2002
atas
kasus
menyembunyikan
pelaku
Bom
Bali.
08. Sinan, dikenal juga dengan nama Makmuri. Ditahan oleh Polri pada akhir tahun 2002
atas
kasus
menyembunyikan
pelaku
Bom
Bali.
09.
Hanzolah.
10.
Khoitsamah.
11.
Qois,
dikenal
juga
dengan
nama
Dahlan.
12.
Aus.
13.
Utbah.
14.
Habib.
15. Ubaid, dikenal juga dengan nama Lutfi Haidaroh. Ditahan oleh Polri pada sekitar
bulan Juli 2004 yang dicurigai menyembunyikan pelaku Bom hotel JW Marriott Jakarta
yaitu
Noordin
M.Top
dan
Azahari.
16.
Ubadah.
17.
Naufal.
18.
Nu’man.
19. Tsa’labah, dikenal juga dengan nama Yasir. Ditahan oleh Polri pada akhir tahun 2003
dan
divonis
atas
kasus
pemalsuan
dokumen.
20.
21.
22.
Atik.
Abdullah.
Anas.
DAA
Yarmuk
III-IV.
antara
lain
adalah:
01. Thoriq, dikenal juga dengan nama Lulu’. Ditahan oleh Polri pada sekitar bulan Juli
2003
atas
kasus
pemilikan
senjata
api
dan
bahan
peledak.
02. Suyatno. Ditahan oleh Polri pada sekitar bulan Juli 2003 atas kasus pemilikan
senjata
api
dan
bahan
peledak.
03.
Dr.
Abu
Baasyir,
dikenal
juga
dengan
nama
Dr.
Agus.
04.
Dr.
Imarah.
05. Ikhwanuddin (alm). Meninggal bunuh diri pada saat ditahan setelah ditangkap oleh
Polri
pada
sekitar
bulan
Juli
2003
di
Jakarta.
DAA
Hithin,
nama
bagi
kelompok
training
yang
dikirim
oleh
Mantiqi
Ula
(I)
Hithin I: 10 orang, pendidikan selama 2 bulan bermula tanggal 18 Februari
1999 hingga 12 April 1999 (2 Dzulqo'dah 1419-26 Dzulhijjah 1419).
01.
Abu
Buraidah
02.
Abu
‘Iyas
03.
Abu
Jandal
04.
Amru
05.
Ashim
06.
Khabbab
07.
Khiras
08.
Miqdad
09.
Mughiroh
10.
Yasir
Hithin II: 5 orang, pendidikan selama 2 bulan bermula tanggal 20 April 1999
hingga
13
Juni
1999
(4
Muharram
1420-29
Safar
1420).
01.
Amir
02.
Harits
03.
Rofi
04.
Salim
05.
Suhail
Hithin III dan IV: + 1,5 bulan bermula 12 Juni 1999 hingga 22 Juli 1999 (28
Safar
1420-11
KAkhir
1420).
01.
Abu
Ayub
02.
Hatib
03.
Khallad
04.
MuBaasyir
05.
Tamim
06.
Ubaid
07.
Unais
Hithin V: 8 orang, pendidikan selama 15 hari bermula tanggal 17 Juli 1999
hingga
2
Agustus
1999
(6-21
R.
Akhir
1420).
01.
Abbas
02.
Hilal
03.
Nu’man
04.
05.
06.
07.
08.
Qais
Rifa'ah
Rib'i
Uqbah
Yazid
Hithin VI: 7 orang, pendidikan selama 2 bulan bermula tanggal 11 September
1999 hingga 16 November 1999 (2 Jumadil Akhir - 8 Syaban 1420).
5 orang peserta dari Mantiqi Ula (I), 1 orang peserta dari Mantiqi Tsani (II ), 1 orang
peserta
dari
Mantiqi
Tsalis
(III).
Terdapat
juga
Kursus
Singkat
Kemiliteran
yang
lain
seperti:
DAA Uhud: 5 orang, pendidikan selama satu setengah bulan, 5 Januari 2000 hingga Awal
Maret 2000 (29 Romadhan 1420-DzulHijjah 1420), yaitu terdiri dari orang-orang Ambon.
(Data dari buku laporan semester III Akmil Al-Jamaah Al-Islamiyah Angkatan I, hal.3
dan
85):
01.
Atho’
02.
Hasan
Basri
03.
Ibnu
Musayyab
04.
Nafi’
05.
Thowus.
06. Abdurrahman dan Abul Khair, Arab Al-Jazaer. Pelatihan selama 2 minggu bermula 14
November 1999 hingga 28 November 1999 (6 Syaban-20 Syaban 1420).
07. Isa Al-Hindi, keturunan India warga Inggris. Pelatihan selama 2 minggu bermula
sekitar
awal
bulan
Oktober
1999
(Akhir
Jumadil
Akhirah
1420).
08. Ali, anggota Mantiqi Ukhro warga Australia. Pelatihan selama 1 bulan setengah
bermula tanggal 4 Desember 1999 hingga 21 Januari 2000 (27 Syaban - 15 Syawal
1420).
Latihan gabungan di lapangan juga dilaksanakan bagi semua kelompok pelatihan yang
terdiri atas AKMIL, DAA Yarmuk, DAA Hithin, dan beberapa orang Arab yang ada pada
waktu itu berjalan serentak. Jumlah penghuni kamp Hudaybiyah waktu itu seluruhnya
mencapai
sekitar
80
orang.
Pelaksanaan Program Diklat Akademi Milker Al-Jamaah Al-Islamiyah untuk Angkatan
pertama (Daurah I) bermula pada tanggal 22 Agustus 1998 (bertepatan dengan 1
Jumadil Ula 1419, data dari buku laporan semester III Akmil Al-Jamaah Al-Islamiyah
Angkatan I, hal.1). Sempat diadakan upacara wisuda (Graduation Ceremonial) yang
disebut juga dalam bahasa arab Haflah Takhrij Kulliyah Harbiyah bagi lulusan angkatan
pertama Akademi Militer pada 28 Februari 2000 (bertepatan dengan 23 Dzul Qo'dah
1420, data didapatkan dari buku laporan semester III Akmil Al-Jamaah Al-Islamiyah
Angkatan I, dengan istilah dari bahasa Parsi Rasmi Ghojaz hal. l, 59, 84), dimana pada
waktu itu Ust. Abdus Somad hadir meresmikan upacara dan memeriksa barisan pasukan
para wisudawan. Beliau sempat bermalam di Kamp Hudaybiyah sekitar 2 malam.
Acara wisuda itu juga dihadiri oleh 64 orang para tetamu yang terdiri atas kalangan
pimpinan Pejuang Bangsa Moro, orang-orang Indonesia dari kelompok NII dari kamp
latihan Ash-Syabab dan kelompok Wahdah Islamiyah (Sulawesi) dari kamp latihan AlFatah, kedua-duanya berada di sekitar wilayah Pejuang Bangsa Moro tidak jauh dari
kamp
Hudaybiyah
yaitu
sekitar
1,5
jam
perjalanan
kaki.
Karena lupa saya sempat keliru dalam memberikan tanggal wisuda yaitu pada akhir
Maret atau awal bulan April 2000, tetapi setelah meneliti dan mengkaji buku laporan
semester III Akademi Militer Al-Jamaah Al-Islamiyah Angkatan I, barulah saya
mendapati tanggalnya yang sebenar yaitu 28 February 2000 sesuai jadwal pendidikan
yang dipersiapkan. Buku laporan Diklat di kamp Hudaybiyah dibuat setiap semester, oleh
instruktur yang bertugas seperti sepengetahuan saya untuk semester II angkatan I
disusun oleh Ust. Humam alias. M. Qital yang disetujui oleh Mukhlas alias Ali Ghufron.
Sementara buku laporan untuk semester III angkatan I disusun oleh Ust. Abu Ahmad
abas
Ziyad
yang
disetujui
oleh
Mustapha
alias
Abu
Tolut.
Pada awal tahun 2001, Kamp latihan milik Al-Jamaah Al-Islamiyah di Mindanao Filipina
Selatan terjadi perpindahan, sebabnya Kamp Hudaybiyah sudah tidak lagi kondusif
untuk dilaksanakan kegiatan pelatihan. Itu adalah akibat dari penyerangan besarbesaran Operasi "All-Out War" yang dilancarkan oleh pihak Tentara Filipina (AFP) pada
sekitar bulan Juli 2000 hingga akhir tahun 2000 terhadap semua wilayah yang dikuasai
oleh Pejuang Bangsa Moro terutamanya di wilayah Maguindanao dan Lanao del Norte.
Operasi Militer "All Out War" itu diperintahkan oleh Presiden Filipina Joseph Ekstrada
yang membuat posisi pertahanan Pejuang Bangsa Moro mundur hingga ke area
berdekatan dengan Kamp Hudaybiyah. Situasi semakin berbahaya seandainya Kamp
Hudaybiyah tidak mengambil tindakan berpindah tempat karena pihak Tentara Filipina
(AFP)
sudah
semakin
mendekat.
Lokasi baru ditemukan oleh anggota staf Kamp Hudaybiyah di dalam area perhutanan
dan pegunungan di tengah-tengah Pulau Mindanao. Kamp latihan tersebut masih di
dalam wilayah Pejuang Bangsa Moro, lokasinya berada di ketinggian sekitar 1500m dari
paras permukaan laut. Kegiatan program Diklat Akademi Militer Al-Jamaah Al-Islamiyah
dan Kursus Asas Kemiliteran (Daurah Asasiyah Askariyah) dilanjutkan di Kamp latihan
yang
baru
itu,
yaitu
yang
diberi
nama
Kamp
Jabal
Quba.
Berperang
bersama
Pejuang
Bangsa
Moro
Semua partisipan (siswa) di Kamp Hudaybiyah mendapatkan bagian untuk berperang
bersama dengan pejuang Bangsa Moro. Terutamanya jatah mempertahankan
perbatasan wilayah yang dikuasai Pejuang Bangsa Moro di sekitar perbatasan Lanao del
Norte dan Maguindanaon, operasi ini di sebut dengan istilah Ribath yang berarti berjagajaga
di
perbatasan.
Sementara saya dan Baasyir pernah mengikuti perlawanan yang terjadi antara Pejuang
Bangsa Moro dengan pasukan militer Filipina (AFP) sekitar tahun 1995 di wilayah Sultan
Sa Barongis dan Pagalungan. Begitu juga sekitar tahun 1996 di sekitar Buldon Propinsi
Maguindanaon.
Pengerahan paling banyak penghuni Kamp Hudaybiyah adalah ketika ikut terlibat dalam
konsentrasi mempertahankan wilayah Pejuang Bangsa Moro dari serangan 'Operasi AllOut War' yang dilancarkan oleh tentara Filipina (AFP) pada sekitar bulan Juli 2000.
Pengalaman membela nasib Bangsa Moro bersama Pejuang Bangsa Moro memberikan
semangat juang yang baru bagi anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah beserta kelompok
orang-orang
Indonesia
yang
lain.
Tidak sering terjadi pertempuran di bumi Bangsa Moro yaitu Mindanao. Selalunya
Pejuang Bangsa Moro akan membalas serangan setiap kali pasukan tentara Filipina
(AFP) melakukan penyerangan atau memasuki wilayah yang dikuasai oleh Pejuang
Bangsa Moro. Pejuang Bangsa Moro lebih mendahulukan perundingan damai bagi
menyelesaikan masalah daripada mengarnbil sikap bertempur. []
Bab 6
Boleh Berbohong
Sebenarnya tak seorang pun anggota yang mau mengaku sebagai anggota dari
organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah. Ini karena prinsip asas yang menjadi pegangan
organisasi, yaitu organisasi bergerak dalam keadaan rahasia, yang diberikan istilah
Tanzim
Sirri
(Organisasi
Rahasia).
Terlebih lagi sekarang ini, apabila di antara anggota dari organisasi Al-Jamaah AlIslamiyah ternyata ada yang terlibat dalam aksi-aksi kekerasan atau terorisme. Dan,
ada juga di antara anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang punya hubungan dengan
kelompok Al-Qaedah pimpinan Usamah Bin Laden. Operasi penangkapan telah
dilancarkan di berbagai negara sebelum dan setelah PBB memasukkan nama Jamaah
Islamiyah ke dalam daftar kelompok teroris. Akibat dari operasi di negara-negara
tersebut, sesuai dengan undang-undang yang berlaku, penangkapan demi
penangkapan dilakukan terhadap orang yang dicurigai sebagai anggota Al-Jamaah
Al-Islamiyah atau orang yang telah melakukan tindak pidana terorisme (istilah
hukum
Indonesia).
Anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah sejak awal perekrutan sebelum menjadi anggota
telah ditanamkan doktrin saling membantu, menyayangi, membela, dan melindungi
sesama Muslim yang disebutkan dengan istilah Islam yaitu Al-Wala'. Ditambah lagi
dengan kuwajiban yang telah ditetapkan kepada seluruh anggota Al-Jamaah AlIslamiyah untuk saling membela dan melindungi sesama, serta membela dan
melindungi Amir Jamaah. Pernyataan Baiat itu sebenarnya ada batas sesuai dengan
lafaz pada pengakuan Bai'at yang diucapkan anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah ketika
pertama kali menjadi anggota, yaitu di antara potongan lafaz baiat tersebut berbunyi
“… Hendaklah Anda saling membantu atasdasar kebajikan dan ketakwaan.
Dan janganlah Anda saling membantu atas dasar berbuat dosa dan
permusuhan...”
Namun, seringkali pembatasan tersebut terlupakan atau tidak dipedulikan karena
berbenturan dengan kuwajiban anggota yang dianggap tiada batas. Menjadikan
kesalahan apapun yang dilakukan oleh anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah, tetap tidak
akan diserahkan kepada pihak berwajib yaitu aparat penegak hukum sebuah negara
untuk diadili, karena hukum sekular yang berlaku di Negara tersebut tidak diakui.
Maka anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah berkeyakinan, daripada diserahkan untuk
diadili dengan hukum selain Syariah Islam (atau diyakini sebagai hukum thoghut),
lebih baik diamankan dalam lingkungan sesama anggota dan diberi bimbingan
supaya
tidak
mengulangi
perbuatannya
yang
berdosa.
Terdapat tuntunan di dalam Islam yang membolehkan seseorang memberikan
perlindungan kepada orang yang meminta perlindungan kepadanya. Hal ini dijadikan
pegangan sebagai alasan untuk melindungi teman-temannya yang dicari oleh aparat
penegak hukum. Padahal, syariat perlindungan itu adalah membolehkan memberi
perlindungan jika ada orang yang datang ke rumahnya meminta perlindungan, dan
batasnya adalah hanya memberikan perlindungan di dalam rumahnya saja.
Sementara apa yang dilakukan oleh anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah adalah
memberikan perlindungan dengan segala daya upaya dan fasilitas yang dimiliki,
tanpa membatasi di dalam rumahnya saja. Yang paling penting bagi mereka adalah
tidak menyerahkan anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang telah berbuat kesalahan
kepada aparat penegak hukum, apapun kesalahan yang dilakukan termasuk
kesalahan
dalam
pembunuhan.
Tidak ada yang dapat memberi kesadaran kepada mereka yang memberikan
perlindungan kecuali jika target penyerangan dan target pemboman mengenai
keluarga mereka (anak isteri dan keluarga terdekat). Hanya itu yang dapat memberi
kesadaran dan membangkitkan semangat kepada mereka untuk menyerahkan para
pelaku
pemboman
kepada
aparat
penegak
hukum.
Apakah orang-orang yang melindungi pelaku pemboman itu tidak mengetahui bahwa
orang yang dilindunginya itu adalah orang yang berbuat kerusakan di muka bumi?
Pelaku bom di tempat awam tersebut tidak layak untuk diberikan perlindungan
walaupun di rumahnya sendiri karena pelaku bom yang berbuat kerusakan di muka
bumi dibenci oleh Allah SWT sampai-sampai Allah SWT memberinya syariat
hukuman di dunia dengan hukuman yang menghinakan dan di Akhirat diberikan
siksaan yang besar sebagaimana termaktub dalam Al-Quran surah Al-Maidah
ayat
33;
Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah
dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh
atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau
dibuang dart negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang
besar.”
(Al-Maidah:
33)
Menurut para mufasirin yang dinukil dari tafsir Departemen Agama:
"Orang-orang yang mengganggu keamanan dan mengacau ketenteraman,
menghalangi berlakunya hukum, keadilan dan syariat, merusak kepentingan umum
seperti membinasakan ternak, merusak pertanian dan lain-lain, mereka dapat
dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kakinya dengan bersilang atau diasingkan.
Menurut jumhur, hukuman bunuh itu dilakukan terhadap pengganggu keamanan
yang disertai dengan pembunuhan, hukuman salib sampai mati dilakukan terhadap
pengganggu keamanan yang disertai dengan pembunuhan dan perampasan harta,
hukuman potong tangan bagi yang melakukan perampasan harta dengan hukuman
terhadap pengganggu keamanan yang disertai ancaman dan menakut-nakuti. Ada
pendapat yang mengatakan bahwa hukum buangan itu boleh diganti dengan
penjara. Hukuman pada ayat ini ditetapkan sedemikian berat, karena dari segi
gangguan keamanan yang dimaksud itu selain ditujukan kepada umum juga kerap
kali mengakibatkan pembunuhan, perampasan, pengrusakan dan lain-lain. Oleh
sebab itu kesalahan-kesalahan ini oleh siapapun tidak boleh diberi ampunan. Orangorang yang mendapat hukuman sebagaimana dimaksud pada ayat ini selain
dipandang hina di dunia, mereka di akhirat nanti diancam dengan siksa yang amat
besar.”
Di dalam tafsir Ibnu Katsir juga memberikan penjelasan yang kurang lebih sama
mengenai
tafsiran
ayat
33
surah
Al-Maidah
tersebut.
Hampir semua anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah rnengambil sikap berbohong dan
menghindar dengan berbagai alasan untuk tidak mengaku sebagai anggota
organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah. Di antara alasannya adalah karena takut
ditangkap dan dianggap sebagai teroris karena nama organisasi Al-Jamaah AlIslamiyah telah distempel buruk. Dan kebanyakan anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah
tidak mau dilibatkan dalam aksi pemboman yang telah terjadi, karena umumnya
mereka tidak mengetahui apa pun perencanaan dan tidak terlibat. Hal ini disebabkan
karena praktek Tanzim Sirri di dalam organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah, yaitu saling
menjaga
informasi
walaupun
kepada
sesama
anggota
organisasi.
Ada juga anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang terlibat dengan aksi kekerasan
berbentuk operasi pemboman, pembunuhan atau perampokan. Namun mereka
semua tidak mau mengaku sebagai anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah walaupun
teman-teman mereka membenarkan bahwa mereka (para pelaku) adalah anggota
Al-Jamaah Al-Islamiyah. Alasan mereka berbohong adalah karena ingin
menyelamatkan organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah dari tuduhan terlibat dengan
aksi-aksi kekerasan tersebut seperti aksi pemboman, sebagaimana prinsip dasar dari
Al-Jamaah
Al-Islamiyah
yaitu
Tanzim
Sirri.
Mereka sebenarnya bukan hanya berbohong kepada polisi, bukan kepada jaksa dan
juga bukan kepada hakim, tetapi mereka berbohong kepada umat Islam. Umat Islam
disesatkan dengan semua kebohongan tersebut, mereka berlindung di balik
kebohongannya karena tidak berani bertanggungjawab dengan apa yang
diperjuangkan. Berjuang membela Islam dengan kebohongan itulah kenyataan yang
diperlihatkan mereka. Apakah mereka tidak ingat dengan ancaman Rasulullah SAW
terhadap orang yang berbohong? Sampai-sampai Rasulullah SAW tidak mengakui
sebagai umatnya jika berbohong. Sebagaimana dalam sebuah hadis Nabi
Muhammad
SAW:
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a., bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “arang siapa
yang mengarahkan senjata (mengancam/menyerang) kepada kami, maka ia bukan
termasuk golongan kami. Dan barangsiapa yang menipu kami, maka ia bukan
tertnasuk
golongan
kami.”
Hadis
riwayat
Muslim:
146)
Hal yang sama terjadi di pengadilan sidang untuk kasus-kasus terorisme di mana
para anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah akan tidak ragu-ragu berbohong untuk
menyangkal dan menolak segala tuduhan, termasuk menyangkal mengenali
seseorang atau mengenali terdakwa dan memutarbalikkan serta menyesatkan
keterangan. Dasar mereka untuk berbohong adalah karena melaksanakan kuwajiban
yang dibebankan pada anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah, yaitu wajib saling membela
dan melindungi sesama, dan wajib membela dan melindungi Amir Jamaah.
Buku Imam Samudra itu dibaca oleh banyak orang, dan membuat mereka
terpengaruh. Saya akan berusaha menjelaskan kedudukan perkara yang sebenarnya
berlaku walaupun saya pernah dianggap dan digembar-gemborkan sebagai seorang
pembohong. Strategi yang dilaksanakan terhadap saya dari pihak pengacara
(lawyer) dan salah satu ormas Islam di Indonesia adalah berupa pembentukan opini
publik, sehingga terkesan bahwa pembohong yang sebenarnya adalah saya. Silahkan
saja dan lakukan apa saja yang diinginkan mereka, karena itu adalah hak mereka
untuk percaya dan tidak percaya, tetapi saya punya hak juga untuk menyampaikan
suara saya kepada masyarakat. Dan saya yakin dengan Allah SWT yang senantiasa
akan membuktikan yang Hak adalah Hak dan yang Batil adalah Batil.
Artinya: Dan katakanlah: “Beramal-lah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta
orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan
kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakanNya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (At-Taubah: 105)
Seperti buku tulisan Irfan Awwas Pengadilan
Teroris yang dengan lihai menulis tuduhan bohong
terhadap orang-orang yang menjelaskan tentang
keberadaan
Al-Jamaah
Al-Islamiyah
yang
menurutnya, mereka memberikan kesaksian palsu
di
depan publik. Padahal, Irfan Awwas tidak pernah
bertabayyun kepada orang-orang tersebut, dan
dia
juga mengetahui kakaknya yaitu Mohamad Iqbal
yang lebih dikenali dengan nama Ust. Abu Jibril
adalah anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah. Ust. Abu
Jibril adalah anggota wakalah Selangor bagi Mantiqi Ula (Semenanjung Malaysia dan
Singapura), dia juga bertempat tinggal di kalangan anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah
yang lain di Jalan Manggis Banting Selangor bersebelahan dengan rumah Ust. Abu
Bakar Baasyir, Imam Samudra, Hambali dan beberapa anggota Al-Jamaah AlIslamiyah yang lain. Pernyataan Irfan Awwas di buku tersebut seolah-olah berusaha
untuk
menyesatkan
umat.
Begitu juga ketua DPP FPI Hilmy Bakar Almascaty yang menulis sebuah artikel
tuduhan bohong terhadap saya yang kemudian diterima oleh koran harian Republika
dan dimuat pada hari Selasa, 04 Mei 2004. Hilmy Bakar tak menyadari akibat dari
tulisan tersebut yang berlanjut dengan dialog di kantor GATRA Jakarta telah
membuka ketidaktahuannya akan permasalahan yang sebenar. Malah dia sendiri
berbohong memperkenalkan diri kepada orang-orang Malaysia pada awal tahun 1985
itu dengan menggunakan nama Haikal (nama ini tidak disangkal oleh Hilmy ketika
dialog di kantor Majalah Gatra, Jakarta), dan dia juga berbohong tentang tujuan
kedatangannya ke Malaysia pada waktu itu. Padahal dia adalah pelarian yang
melarikan seorang terpidana Ust. Abu Bakar Baasyir masuk secara ilegal ke Malaysia
(pengakuannya sendiri di kantor GATRA pada tanggal 25 Mei 2004).
Astaghfirullah......bohong dilegalkan dengan sewenang-wenang! Apakah harus
berbohong
dalam
berdakwah
dan
mencari
pengikut?
Begitu juga skenario yang dibuat oleh para penasihat hukum Pengacara Muslim
dengan menghadirkan saksi yang sudah pernah diperiksa untuk diperiksa ulang
bersamaan dengan waktu giliran saya memberikan kesaksian pada salah satu
persidangan seorang tokoh. Di mana fungsi Mustapha yang dikenali dengan nama
Abu Tolut hanya hadir duduk untuk menyangkal semua yang saya ucapkan dengan
berkata “iya” dan “tidak” tanpa ada penjelasan lanjutan, kebalikan dari apa yang
saya katakan, seperti robot yang sudah disetel dengan jawaban dari pertanyaan
yang seolah-olah sudah dikemas oleh penasihat hukum Pengacara Muslim?
Saya sangat terkesan dengan sikap agresif dan ekstrim para penasihat hukum
Pengacara Muslim yang hadir di gedung Pertanian Jakarta, pada saat sidang Ust. Abu
Bakar Baasyir sikap belasan orang tersebut seolah-olah ingin menutupi 'orang
mereka' yang berbohong dengan tergesa-gesa menuding saksi berbohong dan
mengondisikan bentuk pertanyaan dan jawaban sehingga terbentuk opini bahwa
saksi yang diperiksa berbuat kebohongan. Seperti pertanyaan pengacara “Apakah
Kamp Hudaybiyah di Moro?” Saya menjawab “Tidak.” Langsung saya dituding
berbohong tanpa memberi saya kesempatan untuk menjelaskan perbedaan antara
Moro dan Mindanao. Dengan cepat pengacara Ust. Abu Bakar Baasyir meneriaki
“Anda
bohong
dan
berbolak
balik
dalam
menjawab!”
Moro adalah nama suku sedangkan Mindanao adalah nama tempat, yaitu salah satu
pulau di Filipina Selatan, lokasi Kamp Hudaybiyah berada. Salahkah saya menjawab
Kamp Hudaybiyah bukan di Moro? Bagaimana mungkin kamp Hudaybiyah di sebuah
nama suku yaitu Moro? Sebagai contoh pertanyaan, Apakah Bandung di Sunda?
Sudah pasti pembaca akan menjawab “tidak” kecuali pengacara pembela Ust. Abu
Bakar Baasyir yang kemungkinan akan menjawab “ya”. Bukankah Bandung berlokasi
di
Jawa
Barat,
Indonesia?
Sangat lihai sekali para penasihat hukum Pengacara Muslim menjalankan karirnya
dan memimpin keributan dalam ruang sidang bersama para hadirin yang bagaikan
'penonton pesanan'. Saya kagum dan terkesan sehingga banyak sekali pelajaran
yang
dapat
diambil
dari
pengalaman
di
ruang
sidang
tersebut.
Saya memahami aturan syariat Islam dalam memberikan kesaksian harus jujur,
karena Rasulullah SAW pernah mengatakan bahwa kesaksian palsu adalah termasuk
dosa
besar.
Hadis riwayat Abdurrahman bin Abu Bakrah ra., ia berkata: Kami sedang
berada di dekat Rasulullah SAW ketika beliau bersabda: “Tidak inginkah kalian ku
beritahu tentang dosa-dosa besar yang paling besar? (beliau mengulangi pertanyaan
itu tiga kali) yaitu; menyekutukan Allah, mendurhakai kedua orang tua dan
persaksian palsu.” Semula Rasulullah SAW bersandar, lalu duduk. Beliau terus
mengulangi sabdanya itu, sehingga kami membatin: Mudah-mudahan beliau diam.
(Hadis
Sohih
Bukhari
dan
Muslim).
Hadis riwayat Anas ra.: Dari Nabi SAW tentang dosa-dosa besar, beliau
bersabda: "Menyekutukan Allah, mendurhakai kedua orang tua, membunuh
manusia
dan
persaksian
palsu."
(Hadis
Sohih
Bukhari
dan
Muslim)
Syukur Alhamdulillah dan Allah yang Maha Mengetahui segalanya. Memang benar
apa yang digembar-gemborkan Imam Samudra dalam bukunya Aku Melawan Teroris
bahwa sekarang sudah mendekati hari kiamat dengan berbagai tanda-tandanya.
Tetapi jangan lupa bahwa salah satu pertanda hari kiamat juga adalah orang yang
berbohong akan dianggap benar oleh orang banyak sedangkan orang yang berkata
benar akan dianggap berbohong, persis sebagaimana yang diucapkan oleh Nabi
Muhammad
SAW.
Sabda
Rasulullah
SAW:
“Saat itu adalah tahun-tahun yang membingungkan, orang-orang akan meyakini
pendusta dan mengingkari orang yang jujur.” (Hadis Riwayat Ahmad).
Dan
Sabda
Rasulullah
SAW,
lagi:
"Sesungguhnya di saat hari akhir, akan ada ... persaksian palsu dan penyembunyian
bukti.”
(Hadis
Riwayat
Ahmad
dan
Al-Hakim)
Saya teringat akan nasihat pada salah satu ceramah Ust. Abdul Halim alm. pernah
berpesan, “Musibah yang paling besar adalah apabila seseorang sudah sampai
kepada suatu Maqam (level/posisi), di mana setiap yang diucapkannya dibenarkan
orang.” (walaupun yang dikatakan itu adalah bohong). Ucapan dan nasihat ini sangat
terkesan bagi saya sehingga itu selalu menjadi rambu-rambu dalam hidup saya,
dengan berharap tidak termasuk di antara orang yang berada di level tersebut.
Mengenai kisah kecil Imam Samudra, pada awalnya saya tidak menghiraukan kisah
pacarannya dengan ketua OSIS di sekolahnya sejak sekolah dasar (SD) sehinggalah
kemudian menjadi ratu istana dunianya. Hanya saya menjadi bertanya-tanya,
apakah kisah pacarannya itu benar dengan sebenar-benarnya setelah saya membaca
kisah perjalanannya ke Afghanistan lalu mendapati banyak penyelewengan,
kebohongan, dan diada-adakan? Saya kemudian menjadi ragu kemungkinan kisah
pacarannya itu juga diberikan bumbu-bumbu penyedap sehingga terkesan sebuah
novel.
Saya menjadi bertambah bingung dan bertanya-tanya, apakah maksud yang
diinginkan oleh Imam Samudra mengisahkan kisah pacarannya kepada orang
banyak. Padahal bukankah dulunya Imarn Samudra orang yang sangat tabu
menceritakan perihal wanita, sebagaimana yang saya kenal? Sepengetahuan saya
bukanlah kebiasaan aktivis Muslim menceritakan kisah pacarannya kepada orang lain
dengan terbuka. Tetapi, terserah kepada Imam Samudra yang ada kemungkinan
juga isterinya malah merasa berbangga jika kisah pacaran mereka berdua diekspos
kepada orang banyak dan siapa tahu kemungkinan memang itu adalah pilihan atau
keinginan
mereka
berdua
suami
isteri.
Saya menolak dan tidak setuju jika seandainya ada orang yang berfikiran atau
berpendapat bahwa seandainya ada kekeliruan pada Imam Samudra dalam
menceritakan kisah hidupnya itu adalah karena dia lupa. Bagaimana kita bisa lupa
akan suatu tempat yang kita pernah tinggal di situ untuk sekian tahun? Bagaimana
Imam Samudra bisa mengingat kisah pacaran masa kecilnya dengan sedetil-detilnya
sementara lupa dengan kisah perjalanan jihadnya di Afghanistan yang dianggap
paling
istimewa
dalam
hidupnya?
Menurut saya kita bisa saja terlupa nama seseorang atau nama tempat atau
kemungkinan kita tidak mengingat secara keseluruhan perjalanan apabila kita
mengalaminya dalam waktu yang relatif singkat. Tetapi apabila kita punya niat
dengan sengaja ingin menyelewengkan atau mengelirukan maka kita akan
menggantikannya dengan nama orang lain atau nama tempat lain yang menurut
kebanyakan orang pasti tidak mengerti kecuali orang tertentu saja yang diperkirakan
tidak
mungkin
protes.
Sungguh saya tidak mengerti mengapa Imam Samudra
menyembunyikan cerita perjalanannya di Afghanistan
padahal bukunya (AMT) akan dibaca oleh banyak orang yang
ingin mengetahui kebenaran, dan juga terdapat teman-teman
Imam Samudra yang pernah bersamanya di Afghanistan yang
pasti membaca kisahnya itu. Bagaimana pertangungjawaban
Imam
Samudra
di
hadapan
Allah
SWT
nanti?
Sepatutnya hal kebohongan seperti itu tidak boleh terjadi
sebab seharusnya buku itu menceritakan kisah perjalanan
perjuangannya dengan sebenar-benarnya sebagaimana Imam
Samudra menjelaskan pendapatnya tentang aksi pemboman
dengan penuh keyakinan walaupun dengan keyakinan yang
sesat.
Terlihat juga ketidakjujuran Imam Samudra dalam memberikan alasan keyakinan
akan apa yang diperjuangkannya, sehingga saya menjadi ragu dengan keyakinannya
akibat dari kebohongan yang ditulis dan disuguhkan kepada umat Islam untuk
dibaca, terutama kepada kalangan aktivis Muslim yang sebagian mengagumi dan
mengidolakan Imam Samudra. Saya menjadi sangat khawatir seandainya praktek
yang dilakukan Imam Samudra menjadi contoh panutan oleh sebagian aktivis
Muslim.
Kekhawatiran saya terbukti setelah saya diberi kesempatan untuk mewawancara dan
berdiskusi dengan sebagian orang yang menjadi tersangka kasus pemboman dan
aksi kekerasan yang lain. Sebagian besar dari mereka tidak memahami fikih jihad
dan malah baru mendengar istilah fikih Jihad, padahal mereka melakukan aksi
pemboman karena ingin berjihad. Dan, di antara mereka ada yang tidak memahami
Islam dengan baik. Sifat taklid buta menjadi penyakit yang menghinggapi sebagian
besar aktivis Muslim sekarang ini sehingga di bodoh-bodohkan oleh aktivis Muslim
lain
yang
mengikuti
hawa
nafsu.
Dengan semangat yang berkobar-kobar ingin berjihad melawan orang kafir, bagi
mereka sudah mencukupi syarat untuk melakukan jihad tanpa perlu pengetahuan
atau mengkaji dan mempelajari fikih jihad atau membaca pendapat ulama-ulama
Islam tentang amal yang mulia itu. Bahkan perkara yang lebih menyedihkan lagi
apabila saya mengetahui orang yang dipegang kata-katanya dan diikuti, yaitu
Noordin M.Top, orang yang hanya membaca satu dua buku yang sudah
diterjemahkan oleh orang lain, kemudian malah mencela dan melecehkan ulamaulama
Islam
yang
menurut
mereka
tidak
mau
berjihad.
Orang yang suka bertaklid buta seperti inilah yang sangat mudah dimanfaatkan
untuk menjadi pelaku bom bunuh diri yang bersedia menewaskan dirinya di tengahtengah kerumunan orang awam tanpa mempedulikan hak manusia. Mereka tidak
peduli untuk menambah pengetahuan pada diri mereka, karena bagi mereka yang
penting adalah beramal dengan menyediakan diri untuk siap mati. Beginilah yang
dialami oleh Heri Gulun menurut cerita empat orang temannya yang tertangkap di
Luewiliang, Bogor. Pengalaman yang sama juga dilakukan oleh Asmar Latin Sani
pelaku Bom Hotel JW Marriott Jakarta. Demikian juga Isa dan Iqbal di Bom Bali.
Mereka adalah orang-orang yang tidak banyak ngomong, tidak suka membantah,
orang yang bersifat mentaati (nurut), pendiam dan juga kurang pendidikan.
Saya tidak dapat mengingkari takdir ajal yang sudah ditentukan oleh Allah SWT,
tetapi saya sangat mengasihani kepada orang Islam atau aktivis Muslim yang hanya
dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu yang menuruti hawa nafsu seperti Imam
Samudra, Nordin M. Top, Azahari dan kawan-kawan yang sefaham dengannya, baik
yang sedang di’istirahat’kan maupun yang masih mempunyai niat membangun
perencanaan baru.
Bab 7
Kebohongan Imam Samudra
Saya merasa perlu membuat sedikit kritikan terhadap apa yang telah dikisahkan
oleh Imam Samudra di dalam bukunya Aku Melawan Teroris. Hal ini karena ketika
membaca buku tersebut saya menjadi ragu dengan apa yang diperjuangkan oleh
Imam Samudra dan orang-orang yang sefaham dengannya. Imam Samudra telah
mencemarkan nama Islam dengan faham Jihad dan aksi-aksi pengeboman yang
dilakukan
bersama
teman-temannya.
Saya mengambil sikap menegurnya karena saya tidak rela melihat hal-hal yang
menurut pengetahuan saya, di dalam buku tersebut dengan sengaja ada kisah yang
diselewengkan atau diada-adakan oleh Imam Samudra. Silahkan Imam Samudra
tidak mengungkap nama, tempat dan lain-lain, tetapi apabila dia berbohong
menceritakan pengalaman dan menyelewengkan faham Islam maka sama artinya
berbohong kepada para pembaca serta menyesatkan umat manusia umumnya, dan
umat
Islam
khususnya.
Saya akan jelaskan kebohongan-kebohongan Imam Samudra dalam penjelasan
kisah perjalanannya ke Afghanistan sesuai dengan kata per kata yang saya kutip di
halaman buku Aku Melawan Teroris (AMT). Imam Samudra berbohong
menceritakan kisahnya menuju ke destinasi (Afghanistan) sejak jalur perjalanan,
orang yang bersamanya selama perjalanan, nama wilayah, nama tempat latihan
kemiliteran dan tempat pertempuran di Afghanistan. Amat tega sekali berbohong
kepada pembaca yang sangat ingin tahu kisah perjalanan hidupnya di Afghanistan.
Dengan bumbu-bumbu penyedap kata membuat pembaca terkesan Imam Samudra
seolah-olah
bertempur
di
Afghanistan,
padahal
tidak
pernah.
Pertama:
Maehmon khana yang disebutkan oleh Imam Samudra
“Sehari semalam kami bermalam di maehmon khana
(ruang tamu) sebuah masjid Karachi” (AMT Hal. 46),
adalah berarti rumah tamu (dalam bahasa Parsi,
Maehmon khana) yang disediakan oleh salah satu
organisasi Jihad di Afghanistan yang bernama Tanzim
Ittihad-e-Islamiy Afghanistan pimpinan Ustaz Abdur
Rabbir Rasul Sayyaf atau lebih dikenali dengan nama
Ustaz Sayyaf. Maehmon berarti tamu dan Khana
berarti
rumah
atau
ruang.
Maehmon khana (rumah tamu) sebagai rumah perwakilan tanzim (organisasi)
Ittihad-e-Islamiy Afghanistan di Karachi. Maehmon khana yang dimaksudkan adalah
sebuah rumah bukan sebuah ruangan di sebuah masjid seperti yang diceritakan oleh
Imam Samudra, karena tiada maehmon khana yang disediakan di masjid di
Pakistan.
Masjid-masjid di Pakistan selalu digunakan sebagai tempat i’tikaf oleh umat Islam
terutama oleh Jamaah Tabligh di mana mereka bermalam dan beristirahat di dalam
masjid yaitu di ruang yang digunakan untuk shalat. Oleh karena itu tiada ruang
khusus yang disediakan untuk tamu, sebab masjid itu sendiri terbuka untuk semua
macam tamu 24 jam. Bukankah orang yang datang ke Masjid adalah tetamu Allah di
masjid itu? Inilah keyakinan orang Pakistan yang memberikan kebebasan kepada
orang-orang yang ingin bermalam dan menginap untuk sekian waktu yang tidak ada
batasnya. Sampai-sampai para Jamaah Tabligh membawa peralatan memasak yang
lengkap dengan kompor (dapur minyak tanah), panci dan lain-lain ke dalam masjid.
Artinya masjid-masjid di Pakistan tidak perlu menyediakan ruang khusus untuk para
tetamu. Berbeda dengan masjid-masjid di Malaysia ataupun di Indonesia yang
terkadang memberikan peraturan larangan menginap di masjid, sehingga kita biasa
nielihat tersedianya kamar dan ruangan untuk orang-orang yang ingin menginap.
Sedangkan sepengetahuan saya, pengalaman orang-orang Indonesia (dari kelompok
NII) sejak tahun 1985 hingga sekitar tahun 1992 menggunakan cara menjemput
para calon partisipan yang baru datang ke Pakistan. Semua yang mendarat dari
pesawat di kota Karachi akan dibawa ke Maehmon Khana milik Tanzim Ittihad-eIslamiy di Karachi sambil menunggu jadwal bus atau kereta api ke Peshawar. Oleh
karena para partisipan latihan kemiliteran dan jihad ini adalah orang yang baru di
Pakistan maka mereka akan di’sembunyi’kan dulu untuk bermalam di Maehmon
Khana supaya tidak terekspos dan menghindari pertanyaan banyak orang. Dalam
rangka menjaga keamanan dan kerahasiaan para partisipan itu, maka mereka tidak
dibiarkan untuk melakukan perjalanan sendiri tanpa ada penunjuk jalan. Kecuali bagi
para angkatan pertama dari orang-orang Indonesia calon partisipan latihan dan Jihad
di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan yang tidak dijemput di Karachi, artinya
jalan
sendiri
tidak
mampir
di
Maehmon
Khana
di
Karachi.
Kedua:
Imam Samudra menyebutkan seorang yang bernama
Jabir,
Dia
(Jabir)
berkata,
"Tahun
ini
ada
pemberangkatan, mau ikut nggak?" (AMT. Hal. 43),
yaitu Jabir yang menawarkannya berangkat ke
Afghanistan.
Dan
pengakuan
Imam
Samudra
berangkat dengan menggunakan biayanya pribadi,
padahal semua partisipan yang akan berangkat ke
Afghanistan
ditanggung
pembiayaannya
oleh
organisasi
Negara
Islam
Indonesia
(NII/DI).
Dalam keterangan Imam Samudra bahwa yang menawarkannya berangkat ke
Afghanistan adalah Jabir yaitu orang yang telah meninggal dunia akibat kecelakaan
bom di sebuah rumah toko/ruko di Antapane Bandung. Menurut Imam Samudra juga
bahwa Jabir waktu itu pertama kali berangkat ke Afghanistan seangkatan dengan
Imam
Samudra.
Nama Jabir yang disebutkan oleh Imam Samudra dalam bukunya (AMT) sudah
langsung dapat difahami oleh orang yang pernah mengenali sosok si Jabir.
Seandainya Imam Samudra hanya menyebutkan nama Jabir saja tanpa menambah
penjelasan dengan perkataan 'almarhum' dan keterangan 'As-Syahid di Antapane'
(AMT hal. 42), sudah pasti orang tidak akan dapat menebak (menerka) siapakah
orang yang bernama Jabir yang dimaksudkan oleh Imam Samudra, sebab seseorang
terkadang memiliki nama lebih dari satu (selain dari yang diberikan oleh
orangtuanya).
Dengan demikian, Jabir yang dimaksudkan oleh Imam Samudra langsung dapat
diidentifikasi berdasarkan ciri-ciri yang diberikan oleh Imam Samudra itu tadi. Dua
ciri itu sudah mencukupi bagi saya dan teman-teman yang pernah mengenali Jabir
serta mengetahui kisah akhir hidupnya. Seandainya Imam Samudra hanya
menyebutkan nama Jabir saja belum tentu saya dapat mengenalinya sebab bisa jadi
Jabir yang disebutkan Imam Samudra adalah orang lain, bukanlah Jabir yang pernah
saya
kenal.
Menurut Imam Samudra, Jabir menawarkannya di masjid Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia Jakarta untuk berangkat ke Afghanistan. Padahal pada waktu itu sekitar
tahun 1990, Jabir sedang kuliah di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan Sadda
Pakistan (baca penjelasan tentang Akademi Militer) yang sedang menduduki kelas
dua (tahun dua). Sepengetahuan saya yang pada ketika itu selaku salah seorang
instrukturnya, Jabir (alm) tidak pernah pulang ke Indonesia sampai dia
menyelesaikan pendidikannya di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan tahun 1991.
Jadi bagaimana mungkin Jabir (alm) menawarkan Imam Samudra di Indonesia dan
malah
berangkat
bersama-sama
dari
Indonesia
ke
Afghanistan?
Di antara mantan siswa saya yang mengenal Jabir di Akademi Militer Mujahidin
Afghanistan, sempat saya tanya tentang Jabir yang meninggal dunia di Antapane.
Mereka adalah teman-teman seangkatan Imam Samudra di Akademi Militer
Mujahidin Afghanistan seperti Ali Imran, Mubarak dan juga teman yang tinggal di
fakultas Kavalery (Pohanzay Zahridor) yang sama dengan Jabir seperti Farhan. Lihat
kembali nama-nama partisipan yang pernah mengikuti pendidikan di Akademi Militer
Mujahidin
Afghanistan
dalam
bab
Perjalanan
ke
Afghanistan.
Pada waktu Imam Samudra menjadi siswa di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan
itu, saya berprofesi sebagai instruktur untuk materi pelajaran kemahiran menembak
(Hirbak) atau biasa dikenal dengan sebutan Weapon Training bagi orang-orang
Indonesia yang kuliah di situ. Ketika Imam Samudra menduduki kelas satu di
pendidikan Akademi Militer Mujahidin Afghanistan di Sadda Pakistan, si Jabir sedang
menduduki kuliah kelas tiga. Sementara saya bertugas mengajar dan melatih untuk
ketiga tingkatan kelas orang-orang NII di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan.
Ketiga:
Perjalanan Imam Samudra, bukan seperti yang
dikisahkan oleh Imam Samudra yang berangkat
langsung ke Khowst dari Peshawar "Perjalanan
sepenuhnya dipimpin oleh Asy-syahid Jabir dan dua
orang Arab." (AMT Hal. 46.) dan "Kbost, nama tempat
itu" (AMT Hal. 48.), tetapi sebenarnya Imam Samudra
berangkat dari Peshawar langsung menuju ke Akademi
Militer Mujahidin Afghanistan di Sadda, Pakistan.
Seingat saya Imam Samudra tidak datang sendirian ke Akademi Militer Mujahidin
Afghanistan dari Peshawar. Semua pengalaman siswa Indonesia atau Malaysia yang
baru (dari anggota NII) akan diantar oleh seorang guide (yang juga mantan siswa di
Akmil tersebut) yang berangkat dari rumah perwakilan kelompok NII-DI/TII di Pabbi
Peshawar Pakistan menuju Akademi Militer Mujahidin Afghanistan di Sadda Pakistan
yaitu
daerah
utara
Pakistan
di
perbatasan
Afghanistan.
Imam Samudra bukan langsung ke Khowst Afghanistan, tetapi ke Akademi Militer
Mujahidin Afghanistan di Sadda Pakistan. Dengan diantar oleh petugas dari
perwakilan NII di Peshawar, mobil angkot yang dinaiki dari Peshawar akan berhenti
di pinggiran jalan aspal yang kemudian para calon siswa yang baru harus berjalan
kaki kurang lebih 30 menit untuk masuk ke area Akademi Militer, sebab jalannya
berpasir
batu
(sirtu)
masuk
ke
kawasan
lembah.
Kebiasaan di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan ketika setiap kali ada siswa yang
baru datang harus dibawa ke barak instruktur orang Indonesia. Setelah itu pasti
siswa senior di Akademi Militer itu akan bersilaturrahmi ke tempat penginapannya
yang sudah ditentukan oleh pihak instruktur Indonesia di Akademi Militer tersebut.
Tujuan silaturrahmi itu tidak lain adalah untuk bertanya kabar 'kampung' yaitu
sebuah istilah untuk nama Indonesia yang digunakan ketika mengobrol (bercakapcakap).
Kebetulan Imam Samudra mendapat bagian akomodasi berbentuk tenda (kemah) di
fakultas Logistik (Pohanzay Logistik) yang pada waktu itu belum dibangun dengan
bangunan batu untuk barak penginapan para siswa. Oleh karena itu, Imam Samudra
hanya bisa menceritakan pengalamannya tinggal di dalam tenda (AMT hal. 48).
Kemah yang digunakan sama bentuknya dengan kemah yang dipakai oleh Mujahidin
dan Muhajirin (lihat foto hiasan). Sedangkan Jabir pula adalah siswa senior yang
berada di fakultas Kavaleri (Pohanzay Zahridor), tempatnya juga belum memiliki
bangunan untuk siswa. Jarak antara fakultas Logistik dengan fakultas Kavaleri di
Akademi Militer Mujahidin Afghanistan adalah sekitar dua ratus meter.
Oleh karena Imam Samudra mendapatkan pengalaman di Pakistan/Afghanistan
dalam suasana sebuah kampus yaitu di Akademi Militer maka Imam Samudra
teringat akan nostalgianya di Akademi Militer dengan menyebut kata-kata bahwa
'Khowst' yang didatanginya bukanlah sebuah kampus sepertimana kampus-kampus
biasa yang lainnya di Indonesia. Perhatikan kata-katanya 'Khost bukanlah kampus
biasa'
(AMT
hal.
50).
Keempat:
Imam Samudra menyebutkan nama tempat yang
didatanginya di Afghanistan yaitu Khowst (AMT Hal.
48. ‘Khost, nama tempat itu’), padahal Khowst adalah
nama sebuah kota yang pada sekitar tahun 1990
masih dikuasai oleh pemerintah komunis Afghanistan
dengan pasukannya. Bagaimana mungkin tempat
latihan berada di dalam kota Khowst, mustahil sekali.
Apakah Imam Samudra benar-benar tahu apa itu
Khowst? Tidak ada tempat lain yang bernama Khowst kecuali nama sebuah kota di
Provinsi
Paktia,
Afghanistan.
Imam Samudra menyebut nama sebuah tempat yang 'didatangi' di Khowst yang
menurutnya bernama Muaskar Khilafah. (AMT Hal.46. 'Muaskar Khilafah'), padahal
tidak ada pada waktu itu tempat latihan yang bernama Muaskar Khilafah di Khowst
Afghanistan. Wilayah yang dikuasai oleh pihak Mujahidin Afghanistan adalah di
wilayah yang orang Afghan menyebutnya Shamali Khowst (Khowst Utara) berada di
Provinsi Paktia, Afghanistan yang berbatasan dengan Sadda, Pakistan. Di Shamali
Khowst terdapat 2 buah kamp latihan milik orang Arab, yaitu Muaskar Abu Turki
yang menampung orang-orang Arab dari berbagai negara dan Muaskar Jihad.
Muaskar Jihad menamakan kelompok mereka yang terdiri atas orang Arab
berwarganegara Mesir dengan nama Jamaah Islamiyah di Mesir. (bhs Arabnya
Jama'ah
Islamiyah
bi
Misr).
Sekali lagi saya katakan bahwa tidak ada kamp latihan yang bernama Muaskar
Khilafah di Khowst Afghanistan. Dan, Imam Samudra juga tidak mendapatkan
pendidikan di kem latihan tersebut. Hanya Imam Samudra pernah sekali pergi ke
Shamali Khowst Afghanistan (yaitu Shamali Khowst yang berarti wilayah Khowst
Utara) dalam rangka mengikuti program latihan perang (Tathbiqot) dan praktek
penembakan ke sasaran musuh di medan konflik, yang disediakan untuk para siswa
Akademi Militer Mujahidin Afghanistan termasuk angkatan Imam Samudra. Siswa
Indonesia (NII) termasuk Imam Samudra mendapatkan tempat untuk membangun
tenda (kemah) selama program praktek (Thatbiqot) di kawasan kem latihan orang
Arab Mesir yaitu Muaskar jihad untuk jangka waktu beberapa hari saja.
Perkataan muaskar adalah satu kata dari bahasa Arab yang berarti Kamp latihan
kemiliteran. Asal kata Muaskar adalah ‘askara-yu’askiru (diambil dari wazan fa’lalayufa’lilu) yang berarti menjadi askar atau menjadi tentara. Kemudian kata muaskar
adalah bentuk dari isim makan yang berarti menunjukkan nama tempat (diambil dari
wazannya, mufa'lalun), jadi kata muaskar berarti tempat menjadi askar atau tempat
menjadi
tentara
atau
bisa
juga
dinamakan
tempat
latihan.
Semua kamp, muaskar dan tempat latihan kemiliteran di Afghanistan ada pemiliknya
pada waktu itu. Keterangan Imam Samudra tidak menjelaskan nama pemilik
Muaskar Khilafah itu, apakah milik orang Arab atau Afghan ataupun Indonesia (NII).
Muaskar yang dimiliki oleh orang Arab pada waktu itu juga terdapat di berbagai
belahan negara Arab, begitu juga muaskarnya orang Afghan yang didirikan oleh
berbagai organisasi (Tanzim) Mujahidin Afghanistan. Suasana tersebut berbeda
dengan zamannya Taliban yang hanya ada satu nama saja yaitu Taliban, sedangkan
Muaskar Arab hanya ada satu juga yaitu kem Al-Qaidah milik Osama bin Laden. Dulu
sebelum zaman Taliban, Osama bin Laden memiliki kem latihan yang biasa disebut
dengan nama 'Muaskar Joji' yaitu yang terletak di Joji propinsi Paktia.
Sementara berdekatan dengan Akademi Militer Mujahidin Afghanistan di Sadda
Pakistan pada waktu itu, juga terdapat kem latihan milik orang Arab yang biasa
dipanggil dengan nama Muaskar Kheldan yang di pimpin oleh orang Arab warga
Syria yaitu Abu Burhan. Dan Imam Samudra juga tidak pernah berlatih di Muaskar
Kheldan itu walaupun lokasinya bersebelahan dengan Akademi Militer Mujahidin
Afghanistan.
Ketika Kabul ibukota Afghanistan telah dapat dikuasai oleh Mujahidin Afghanistan
pada sekitar pertengahan atau akhir tahun 1992, Akademi Militer Mujahidin
Afghanistan ditutup. Akibatnya semua orang-orang NII (warga Indonesia dan
Malaysia) dipindahkan ke kem latihan milik orang Indonesia (NII) yang berlokasi di
Towrkham Afghanistan, kamp latihan tersebut awalnya dibuka sekitar tahun 1991.
Para instruktur Indonesia (NII) itu melanjutkan pendidikan bagi siswa yang belum
selesai dengan rnateri pelajaran yang sama seperti di Akademi Militer Mujahidin
Afghanistan
di
Sadda,
Pakistan,
dengan
sistem
yang
sama
juga.
Pada Januari tahun 1993, terjadi penawaran kepada orang-orang NII (Indonesia dan
Malaysia) di Pakistan dan Towrkham Afghanistan untuk memilih bergabung dengan
salah seorang dari dua orang pimpinan NII. Saya juga mendapat bagian untuk
memilih sepertimana yang lain. Bagi sesiapa yang memilih Ust. Abdul Halim sebagai
pimpinannya (Amir Jamaah) maka dia masih dapat melanjutkan program latihan dan
jihadnya di Afghanistan, sementara bagi sesiapa yang memilih Ajengan Masduki
sebagai pimpinannya (Amir Jamaah) maka dia akan segera dipulangkan ke Malaysia
atau
Indonesia.
Ini disebabkan karena Ust. Abdul Halim adalah pimpinan yang pertama kali merintis
program pengiriman personal ke Afghanistan, maka kem latihan orang Indonesia di
Towrkham, Afghanistan, itu hanya diperuntukkan untuk personal yang memilih Ust.
Abdul Halim sebagai pimpinannya. Saya melihat Imam Samudra adalah di antara
teman-teman yang dipulangkan ke Malaysia pada waktu itu, berarti Imam Samudra
tidak sempat menyelesaikan pendidikan Akademi Militer, dalam arti kata lain adalah
tidak lulus. Maka dengan diberangkatkan pulang sudah cukup sebagai jawaban yang
jelas bahwa Imam Samudra tidak memilih Ust. Abdul Halim sebagai pimpinan
jamaahnya
sehingga
dia
harus
dipulangkan.
Berkenaan apakah Imam Samudra memilih Ajengan Masduki atau tidak memilih
kedua-duanya, secara pribadi saya tidak tahu. Benar Imam Samudra pada awalnya
tidak menerima Ust. Abdul Halim sebagai pemimpinnya sewaktu penawaran yang
diberikan ketika masih berada di Peshawar, Pakistan. Tetapi kemudian setelah
bertetangga dengan Hambali yang bersebelahan rumah dengan Ust. Abu Bakar
Baasyir di Jalan Manggis, Banting, Selangor, Malaysia, Imam Samudra sudah
berubah fikiran lalu terlihat mengikuti kegiatan dan acara (aktivitas) anggota AlJamaah Al-Islamiyah di Malaysia, Indonesia, dan di Filipina. Lebih jelasnya lagi
bahwa Imam Samudra pernah berangkat ke Kem latihan Hudaybiyah atas izin
Hambali pada akhir tahun 1997 yang memang hanya diperbolehkan kepada anggota
Al-Jamaah Al-Islamiyah pada waktu itu. Selain ucapan bai’at, seseorang itu dapat
diketahui sebagai anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah adalah ikut serta dalam kegiatan
yang khusus untuk organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah.
Bab 08
Bom Bali & Kesesatan Imam Samudra
Kondisi
dan
Sasaran
Perang
Pemahaman dan tindakan Imam Samudra dan temantemannya mengantarkan mereka senantiasa dalam
sikap berperang. Mereka meyakini, tahapan gerakan
yang harus dilakukan sekarang adalah tahapan
menyerang (offensive). Mereka juga berpendapat
bahwa sekarang sudah bukan zamannya lagi bagi
orang-orang Islam bersikap bertahan (defensive),
seperti yang dijelaskan di dalam buku Aku Melawan
Teroris.
Adanya lafazh (ayat) tentang perintah berperang dan membunuh yang tertera dalam
Al-Quran, yang telah diwahyukan sejak sekitar 1426 tahun silam, membuat Imam
Samudra dan kawan-kawan menjadikannya sebagai dalil atas tindakan ofensifnya.
Padahal, jika diteliti lebih jauh, ayat-ayat Al-Quran tersebut dipotong-potong sesuai
keinginan
Imam
Samudra
sehingga
maknanya
tidak
sempurna
lagi.
Potongan ayat perang Al-Quran di dalam buku Aku Melawan Teroris:
QS. At-Taubah:5 : Artinya: “… bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja
kamu
jumpai
mereka.”
QS. At-Taubah:14 : Artinya: “Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa
mereka
dengan
(perantaraan)
tangan-tanganmu.”
QS. At-Taubah:29 : Artinya: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada
Allah
dan
tidak
(pula
kepada
hari
kemudian.”
QS. At-Taubah:36 : Artinya: “dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya
sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya
Allah
beserta
orang-orang
yang
bertakwa.”
QS Al-Anfal: 39 : Artinya: “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan
supaya
agama
itu
semata-mata
untuk
Allah.”
QS. Al-Baqarah:191 : Artinya: “Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai.”
Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Aku diperintahan untuk
memerangi manusia sampai ia mau mengucapkan dua kalimat syahadah, mendirikan
shalat, dan membayar zakat. Jika mereka melaksanakannya maka darah dan
hartanya terjaga dariku. Kecuali hak-hak Islam yang mana hal itu hitungannya
adalah
kepada
Allah.”
(Riwayat
Imam
Bukhari
dan
Imam
Muslim).
Sungguh akan sadis sekali ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an jika hanya
dibaca secara sepotong-sepotong. Namun, tampaknya dengan dalil-dalil di atas,
Imam Samudra meng-isytihar-kan bahwa kini saatnya untuk melakukan aksi
penyerangan, membalas balik tindakan orang-orang Musyrik dan Kafir (non-Muslim).
Itulah sebabnya, setiap penjelasan dalam buku Aku Melawan Teroris tentang aksi
pemboman yang dilakukannya seringkali diakui sebagai pembalasan terhadap
perbuatan orang-orang Musyrik dan Kafir bagi membela umat Islam di seluruh
belahan
bumi.
Keyakinan Imam Samudra untuk memerangi orang-orang Kafir dan Musyrik terlihat
jelas dalam bukunya:
1.
2.
3.
4.
5.
“Tahap IV: Kuwajiban Memerangi Seluruh Kaum Kafir/Musyrik” (baca: AMT,
hal: 129-134).
“Tahap keempat (terakhir) pensyariatan perang dalam Islam dapat dikatakan
sebagai tahapan perang ofensiv (hujumi, menyerang).” (AMT, hal: 133).
“Operasi Jihad Bom Bali dimaksudkan pula sebagai jihad ofensif.” (AMT, hal:
163)
“Yang menjadi target kita adalah personalnya, individunya, manusianya,
bukan tempatnya… ayat di atas dengan jelas tidak membatasi tempat
memerangi orang kafir.” (AMT, hal:120).
“Pada periode ini, seluruh kaum Musyrikin diperangi, kecuali jika mereka
bertaubat, masuk Islam, mendirikan shalat dan membayar zakat.” (AMT, hal.
130).
Itulah sebabnya, berbagai operasi yang dilakukan oleh Imam Samudra dan para
pelaku pemboman yang sefaham dengannya, adalah antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
Membunuh dan menghancurkan 'musuh' dengan segala cara, termasuk
mengorbankan diri (seperti teknis bom bunuh diri).
Merampas harta benda 'musuh', dengan cara merampok; mereka sebut
sebagai Fai. Seperti perampokan toko mas yang dilakukannya di Serang
Banten sekitar tahun 2002.
Berbohong terhadap orang atau pihak yang dianggap 'musuh', walaupun
dalam memberikan persaksian di persidangan.
Bermegah diri di hadapan 'musuh' dengan menampakkan sikap keras.
Memberikan propaganda bohong terhadap 'musuh', seperti membentuk opini
publik.
Perbandingan Dalil Al-Qur’an Imam Samudra
Dengan
Ayat-ayat
Al-Qur’an
Kemudian, apakah benar ayat-ayat Al-Qur’an tentang
perang itu seperti apa yang difahami oleh Imam
Samudra?
Ayat-ayat Al-Qur’an yang saya garis bawahi di bawah
ini adalah potongan ayat yang dicomot oleh Imam
Samudra sebagai perbandingan pengambilan dalil
untuk dijadikan sandaran berhujah. Saya tampilkan
ayat-ayat Al-Qur’an tersebut secara utuh tanpa
dipotong-potong supaya pembaca dapat membaca lafazh aslinya dan melihat di
manakah potongan ayat yang diambil oleh Imam Samudra. Tentu, akan terlihat
perbedaan faham yang mencolok jika ayat-ayat Al-Qur’an tersebut dipotong-potong
lalu dijadikan alasan keyakinan.
QS.
At-Taubah:
5.
Artinya: “Kecuali orang-orang Musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian
(dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian) mu
dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka
terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertakwa (4). Apabila sudah habis bulan-bulan Haram
itu, maka bunuhlah orang-orang Musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka,
dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika
mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah
kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang (5). Dan jika seorang di antara orang-orang Musyrikin itu
meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah supaya ia sempat mendengar
firman Allah, kemudian antarkanlah ke tempat yang aman baginya. Demikian itu
disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui. (6).”
Pemahaman
ayat:
Ayat
ini
diturunkan
di
Madinah
(ayat
Madaniyyah).
Ayat 5 surah At-Taubah berhubungan dengan ayat sebelumnya (At-Taubah: 4) dan
sesudahnya (At-Taubah: 6) tentang orang-orang Musyrikin, yaitu mengenai orang
yang melanggar perjanjian damai dan orang yang setia dengan perjanjian damai.
Perintah dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW tersebut adalah untuk
memerangi orang-orang Musyrikin yang melanggar perjanjian damai. Ayat ini
dialamatkan kepada orang-orang Musyrik (animisme), bukan kepada orang-orang
Kafir.
Arti kebalikan dari ayat ini, orang-orang Musyrik yang tetap setia dengan perjanjian
damai dan tidak membantu orang-orang yang memusuhi kaum Muslimin, maka tidak
boleh diperangi dan tidak oleh dibunuh. Orang-orang Musyrikin ini dapat bebas
berjalan ke mana-mana. Dan, Allah SWT memerintahkan kepada Rasulullah SAW
agar memenuhi masa waktu ikatan perjanjian serta hak keamanan sampai batas
waktu
tertentu
(ayat
4
surah
At-Taubah).
Perintah Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dan kaum Muslimin untuk
memberikan jaminan keamanan bagi orang-orang Musyrikin yang meminta
perlindungan
(ayat
6
surah
At-Taubah).
Bulan-bulan haram (kata 'haram' di sini berarti suci) yang dalam tahun Arab adalah
bermula dari tanggal 10 Zulhijjah hingga tanggal 10 Robiul Akhir. Urutan bulan
tersebut adalah Zulhijjah, Muharram, Safar, Robiul Awal, dan Robiul Akhir/Tsani.
Masa waktu 4 bulan yang ditentukan itu tidak boleh berperang karena dikatogerikan
bulan haram. Pasukan Muslimin harus menahan diri dari memerangi orang-orang
Musyrikin (di bulan haram) yang melanggar perjanjian damai dan juga yang punya
maksud serta persiapan memerangi kaum Muslimin. Kecuali jika musuh mulai
menyerang di bulan haram, maka pasukan Muslimin dibolehkan berperang
membalas
serangan,
meski
di
bulan
Haram
(bulan
suci).
Orang-orang Musyrikin yang diperangi lalu kalah dan menerima Islam maka mereka
mendapatkan kebebasan dan hak seperti Muslim yang lain. Mereka menjadi Muslim
sesaat setelah mengucap dua kalimah syahadah, tanpa perlu diuji. Wallahu a'alam
bis showab.
QS.
At-Taubah:
14.
Artinya: "Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan
mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang
kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat
dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti (12). Mengapakah kamu tidak
memerangi orang-orang yangmerusak sumpah (janjinya), padahal mereka telah
keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama kali memulai
memerangi kamu? Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang
berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman (13).
Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan)
tangan~tansanmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu
terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman (14).”
Pemahaman
ayat:
Ayat
ini
diturunkan
di
Madinah
(Ayat
Madaniyyah).
Asbabun Nuzul (sebab-sebab diwahyukan) ayat ini, hanya diwahyukan ketika
perjanjian Hudaybiyah. Yaitu kaum Quraish telah melanggar perjanjian Hudaybiyah
dengan secara diam-diam membantu Bani Bakar (ketika itu sedang berlangsung
peperangan antara Bani Bakar dengan Bani Khuza’ah). Suku Khuza’ah adalah sekutu
Rasulullah SAW (Riwayat Abus Syaikh, bersumber dari Qatadah dan Ikrimah).
Demikian
juga
keterangan
di
dalam
tafsir
Ibnu
Katsir.
Asbabun Nuzul, yang dimaksudkan “serta melegakan hati orang-orang yang
beriman” adalah ditujukan kepada Bani Khuza’ah. (Riwayat Abus Syaikh, bersumber
dari as-Suddi). Ayat 14 surah At-Taubah berhubungan dengan ayat sebelumnya (AtTaubah: 12 dan 13), yaitu menjelaskan tentang orang-orang Kafir (di zaman
Rasulullah SAW) yang telah melanggar perjanjian damai dan berencana memerangi
kaum Muslimin. Perintah Allah SWT kepada Rasulullah SAW agar memerangi orangorang Kafir adalah dikarenakan mereka melanggar perjanjian damai dan mengancam
keamanan
kaum
Muslimin.
Menurut tafsir Ibnu Katsir, Allah SWT memerintahkan berperang karena untuk
memperoleh hikmah dari pensyariatan jihad, padahal Allah SWT adalah mahakuasa
untuk membinasakan musuh (dari makhluknya) dengan perintah-Nya sendiri. Janji
Allah SWT akan membantu kaum Muslimin memenangkan peperangan jika
Rasulullah SAW bersikap membela kehormatan hak kaum Muslimin. Dan,
memberikan ketenangan dalam hati-hati orang-orang yang beriman dari gangguan
orang yang mernusuhi. Wallahu a'alam bis showab.
QS.
At-Taubah:
29.
Artinya: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)
kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan
oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama
Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al KItab kepada mereka, sampai mereka
membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”
Pemahaman
ayat:
Ayat
ini
diturunkan
di
Madinah
(ayat
Madaniyyah).
Perintah Allah SWT kepada Rasulullah SAW untuk memerangi orang-orang Kafir
(Ahlul Kitab) karena adanya niat permusuhan dalam diri mereka pada waktu itu
untuk memerangi kaum Muslimin. Mereka adalah di antara Ahlul Kitab (Yahudi dan
Nasrani) yang sejak dahulu sebelum kedatangan Islam telah menyelewengkan
agama.
Jika orang-orang Kafir membayar jizyah maka tidak diperangi, walaupun mereka
tidak menerima Islam. Menurut Imam Syafi'e dan Imam Ahmad bahwa jizyah hanya
diambil dari Ahlul Kitab saja. Sementara menurut Imam Malik bahwa jizyah dipungut
dari seluruh orang Kafir. Wallahu a'alam bis showab.
QS.
At-Taubah:
36.
Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah duabelas bulan, dalam
ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan
haram. Itulah (ketetapan) agamayang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri
kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum Musyrikin itu semuanya
sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya
Allah
beserta
orang-orang
yang
bertakwa.”
Pemahaman
ayat:
Ayat
ini
diturunkan
di
Madinah
(ayat
Madaniyyah).
Dalam setahun ada 12 bulan, 4 bulan di antaranya adalah bulan Haram (suci) yang
dilarang terjadinya peperangan, sesuai dengan budaya Arab sejak sebelum kenabian
Muhammad
SAW.
Allah SWT melarang kaum Muslimin menganiaya diri sendiri dengan berperang di
bulan Haram. Karena keharamannya (kesuciannya) mengakibatkan dosa yang
berlipat ganda dibandingkan dengan bulan yang lain, (lihat tafsir Ibnu Katsir).
Perintah Allah SWT kepada kaum Muslimin untuk berperang melawan orang-orang
Musyrikin di bulan Haram. Karena mereka telah memulai perang di bulan Haram,
yaitu pada bulan Muharram. Praktek yang terjadi, Rasulullah SAW dan pasukan
Muslimin melakukan penyerangan terhadap Bani Hawazin dan Bani Tsaqif (Ghozwah
Hisoru Thaif) yang ketika itu telah memasuki bulan haram yaitu bulan Dzul Qo’idah.
(Tafsir Ibnu Katsir). Wallahu a'alam bis showab.
QS.
Al-Anfal:
39.
Artinya: “Katakanlah kepada orang-orang yang Kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari
kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka
yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguknya akan berlaku (kepada
mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang dahulu" (38). Dan perangilah mereka,
supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika
mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang
mereka kerjakan (39). Dan jika mereka berpaling, maka ketahuilah bahwasanya
Allah Pelindungmu. Dia adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.
(40)”
Pemahaman
ayat:
Ayat
ini
diturunkan
di
Madinah
(ayat
Madaniyyah).
Ayat ini ada hubungan dengan ayat sebelumnya (Al-Anfal: 38), yaitu ancaman bagi
orang-orang Kafir yang akan kembali mengulangi penyerangan terhadap kaum
Muslimin (di zaman Rasulullah SAW). Perintah Allah SWT untuk memerangi orangorang Kafir yang berniat dan mempersiapkan kekuatan untuk mengulangi
penyerangan terhadap kaum Muslimin. Perkataan 'Fitnah' pada ayat ini berarti
ancaman serangan dan gangguan dari musuh (pada zaman Rasulullah SAW)
terhadap umat Islam, Agama Islam dan Negara Islam. Fitnah kemusyrikan
merupakan salah satu bentuk gangguan terhadap mentauhidkan Allah dan Aqidah
Islam.
Menurut tafsir Jalalain, perkataan 'Fitnah' berarti syirik (menyekutukan Allah SWT).
Menurut tafsir Qurtubiy, 'Fitnah' adalah syirik dan yang meyerupainya dengan
menyakiti orang-orang Mukmin. Sementara itu, Ibnu Abbas (dalam tafsir Ibnu
Katsir) menafsirkan 'Fitnah' dalam ayat ini adalah tiada lagi kemusyrikan. Wallahu
a’alam bis Showab.
QS.
Al-Baqarah:
191.
Artinya: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi)
janganlah kamu melampaui batas (190). Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu
jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu
(Mekkah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah
kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di
tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka.
Demikianlah balasan bagi orang-orang Kafir (191). Kemudian jika mereka berhenti
(dari memusuhi kamu), makasesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang (192). Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan
sehingga agama (ketaatan) itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka
berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali
terhadap
orang-orang
yang
zalim
(193).”
Pemahaman
ayat:
Asbabun Nuzul ayat ini adalah berkenaan dengan pelanggaran perjanjian
Hudaybiyah yang dilakukan kaum Quraish dengan memulai penyerangan dan
menghalangi kaum Muslimin melaksanakan ibadah Umrah. (Riwayat al-Wahidi dari
al-Kalbi dari Abu Shalih, bersumber dari ibnu Abbas). Ayat 191 surah Al-Baqarah ini
ada hubungan dengan ayat sebelumnya, yaitu memerangi orang-orang yang lebih
dulu
memulai
peperangan.
Sasaran perang adalah orang-orang Kafir yang memulai peperangan di mana saja
ditemui.
Perkataan ‘fitnah’ dalam ayat ini (fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan)
berarti ancaman permusuhan, ancaman penyerangan, ancaman timbulnya
kekacauan, menyakiti, mengganggu kebebasan beragama, ancaman pemaksaan
orang Islam kembali kepada agama yang dulu dan juga ancaman pengusiran. Semua
itu adalah akibat dari emosi kemusyrikan yang ada pada orang-orang yang
memusuhi kaum Muslimin seperti yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW.
Menurut tafsir Ibnu Katsir, perkataan 'fitnah' dalam ayat ini bahwa syirik lebih kejam
dari pembunuhan. Tafsir Jalalain juga menafsirkan perkataan 'fitnah' dengan arti
syirik. Tafsir Qurtubiy menjelaskan, kemusyrikan dan kekufuran mereka lebih besar
dosanya dari dosa pembunuhan. Karena syirik yang terdapat pada waktu itu sangat
membahayakan umat manusia, di mana kezaliman merajalela dengan bertindak
melampaui
batas-batas
hak
manusia
dan
hak
Tuhan.
Larangan berperang di Masjidil Haram, kecuali musuh yang memulai peperangan di
situ. Perintah berperang sehingga tidak ada lagi 'fitnah' adalah perintah kepada
kaum Muslimin dan pasukan Rasulullah SAW agar memerangi ancaman, gangguan,
dan serangan dari musuh, sehingga kaum Muslimin mendapatkan keamanan.
Wallabu a'alam bis showab.
Nabi
Muhammad
SAW,
bersabda:
Hadis riwayat Abdullah bin Umar ra., ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Aku
diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan
selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat dan
mengeluarkan zakat. Barang siapa melaksanakannya berarti ia telah melindungi diri
dan hartanya dariku kecuali dengan sebab syara, sedang perhitungannya (terserah)
pada
Allah
Taala.”
(Hadis
Riwayat
Bukhari
dan
Muslim).
Pemahaman
Hadis:
Pernyataan Rasulullah SAW itu memberitahu bahwa ia diperintahkan untuk
berperang.
Sasaran perang bersifat umum, yaitu manusia, yang berarti siapa saja, Muslim
ataupun non-Muslim. Masih perlu dipertanyakan maksud yang sebenarnya dari hadis
tersebut. Yang jelas hadis tersebut tidak diarahkan khusus untuk memerangi orangorang yang bukan Islam (non-Muslim) secara keseluruhan untuk menjadi Muslim,
tetapi juga perintah perang bagi Muslim yang tidak melaksanakan shalat dan tidak
menunaikan Zakat. Alasan memerangi adalah untuk mengarahkan orang tersebut
agar bersyahadat (mengucapkan dua kalimah syahadah), mendirikan shalat dan
membayar
zakat.
Penggunaan kata “Uqaatila” dalam Hadis itu diambil dari kata "Qatala- YaqtuluQatlan" yang berarti 'dia membunuh'. Sedangkan apabila kata tersebut ditambah
huruf alif sesudah huruf pertama, maka bunyinya akan menjadi lebih panjang
"Qaatala-Yuqaatilu-Qitaalan" yang berarti ‘dia memerangi’ atau‘dia berperang’.
Maksudnya perbuatan dalam hadis tersebut menunjukkan aksi menindak balas yang
mengakibatkan terjadinya saling berbunuhan atau baku bunuh dari kedua belah
pihak secara berpasukan dan bersenjata. Jika hadis ini digunakan untuk membunuh
orang-orang sipil yang tidak punya kekuatan melawan maka sangat keliru sekali
menggunakan hadis ini sebagai sandaran perbuatannya. Wallahu a’alam bis Showab.
Mengapa hadis ini selalu diarahkan atau difahami untuk memerangi orang yang tidak
/belum bersyahadah yaitu orang-orang non Muslim? Mengapa hadis ini tidak
dimaksudkan juga memerangi orang-orang yang tidak shalat yang sekarang ini
sedemikian banyak orang yang tidak shalat bahkan dari kalangan keluarga aktivis
Muslim
juga
ada
yang
tidak
shalat?
Selain dari maksud bermalas-malasan dalam shalat ada di antara Muslim yang
menganggap shalat menjadi tidak fardhu sekarang ini karena perjuangan jamaah
mereka berada dalam fase Makkiyah, apakah orang-orang Muslim ini tidak
diperangi? Begitu juga ada di antara orang Muslim yang menganggap shalat sudah
bukan kuwajiban bagi dirinya sebab dia sudah mencapai makam hakiki seperti
keyakinannya 'Aku adalah Dia dan Dia adalah Aku’ salat dianggapnya adalah kulit
sementara dia sudah mencapai ke isi atau inti dari Islam itu. Orang yang
berkuwajiban shalat adalah orang yang baru mencapai tingkat kulit dari Islam.
Apakah
orang
Muslim
ini
tidak
patut
diperangi?
Bahkan orang-orang Muslim yang beranggapan shalat dan zakat tidak wajib
dilaksanakan lebih berhak diperangi dibandingkan memerangi orang non-Muslim
yang belum bersyahadah, dan hal ini telah dilaksanakan oleh Sayyidina Abu Bakar
As-Siddiq r.a ketika beliau melancarkan peperangan terhadap orang yang tidak
membayar zakat, bukan karena mereka kikir atau bermalas-malasan dalam
membayar zakat, tetapi mereka diperangi karena berfaham zakat bukanlah
kuwajiban lagi yang harus dilaksanakan setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Begitu juga Sayyidina Abu Bakar r.a memerangi Musailamah Al-Kazzab dan
pengikutnya yang mengaku sebagai Nabi setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW,
maka mengapa orang-orang yang mengaku Nabi seperti Lia Aminuddin (di
Indonesia) dan Ghulam Mirza Ahmad serta pengikut Qadiyani tidak diperangi?
Kalau seandainya ayat-ayat Al-Qur’an dan sebuah Hadis tersebut (lihat judul
Potongan ayat perang Al-Quran di dalam buku Aku Melawan Teroris) adalah perintah
untuk memerangi dan membunuh seluruh orang-orang non-Muslim tanpa batas dan
memaksa mereka menjadi Muslim, maka akan berlawanan dengan ayat-ayat AlQur’an yang berisi perintah tidak memaksa serta memberikan jaminan keamanan
kepada orang-orang non-Muslim tanpa memaksa mereka memeluk agama Islam,
sebagaimana
berikut;
QS. At-Taubah: 4: Tentang jaminan keamanan jika setia dengan perjanjian.
Artinya: “kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian
(dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian) mu
dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka
terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah
menyukai
orang-orang
jang
bertakwa.”
QS. At-Taubah: 7: Tentang jaminan keamanan jika setia dengan perjanjian.
Artinya: "Bagaimana bisa ada perjanjian (aman) dari sisi Allah dan Rasul-Nya
dengan orang-orang musyrikin, kecuali dengan orang-orang yang kamu telah
mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidi Hharam? Maka selama
mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap
mereka.
Sesungguhnya
Allah
menyukai
orang-orang
jang
bertakwa.”
QS. Al-Mumtahanah: 8: Tentang jaminan keamanan jika tidak memusuhi
dan
tidak
memerangi.
Artinya: “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir
kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
QS. At-Taubah: 29: Tentang jaminan keamanan jika membayar Jizyah.
Artinya: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)
kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan
oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama
Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka
membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”
QS. Al-Kahfi: 29: Tentang tiada paksaan menganut agama Islam.
Artinya: “Dan Katakanlah, Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka
barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin
(kafir)
biarlah
ia
kaftr.”
QS. Al-Baqarah: 256: Tentang tiada paksaan menganut agama Islam.
Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah
jelas
jalan
yang
benar
daripada
jalan
yang
sesat.”
Lantas, apakah benar Rasulullah SAW memperlakukan orang-orang kafir dan
musyrikin (non-Muslim) seperti apa yang dilakukan oleh Imam Samudra?
Tiga
Sebab
Terjadinya
Perang
Berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis di atas,
ada tiga poin yang penting untuk difahami bersama.
Saya bandingkan dengan peristiwa-peristiwa yang
berlaku
pada
saat
Rasulullah
SAW
ketika
melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin pasukan
perang, karena dalil-dalil tersebut (diwahyukan)
seputar permasalahan perang. Dan, bermula dari
pemahaman yang salah terhadap perjalanan dakwah
Rasulullah SAW, maka menjadi titik awal kekeliruan
untuk kelanjutan gerakan dakwah umat Islam, baik di
masa
kini
dan
masa
lampau.
Tiga poin penting yang dapat diambil dari ayat-ayat yang dikemukakan di atas
adalah:
1.
Perang
karena
terjadi
pelanggaran
perjanjian
damai.
2.
Perang
karena
ada
pihak
yang
mulai
menyerang.
3.
Perang
karena
wujudnya
'Fitnah'
yaitu
ancaman
perang.
Ad.1.
Perang
karena
terjadi
pelanggaran
perjanjian
damai
Terdapat dua ayat yang berisi perintah berperang karena terjadi pelanggaran
perjanjian damai oleh kabilah dari kalangan orang-orang Musyrik (At-Taubah: 5) dan
orang-orang Kafir (At-Taubah: 14). Akibat dari pelanggaran perjanjian damai itu
menjadikan orang-orang Kafir dan Musyrik sebagai ancaman bagi kaum Muslimin.
Mereka memusuhi dengan melakukan penyerangan terhadap kaum Muslimin dan
atau
berpihak
kepada
kabilah
yang
memerangi
kaum
Muslimin.
Dalam tuntunannya, Nabi Muhammad Saw mencontohkan dengan memberi hak
kemanusiaan (hak hidup) kepada orang-orang non-Muslim ketika berperang. Sejak
awal, Rasulullah SAW tidak sewenang-wenang membunuh orang-orang non-Muslim
dan memaksa mereka menerima Islam. Nabi juga tidak pernah berniat membalas
dendam terhadap perlakuan buruk musuh kepada kaum Muslimin. Dalam berperang,
Rasulullah SAW memberikan aturan, larangan, dan peringatan kepada pasukan
Muslimin. Allah SWT juga melarang keras tindakan-tindakan yang melampaui batasbatas
ketentuan-Nya:
Artinya: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi)
janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang
yang
melampaui
batas.”
(Al-Baqarah:
190).
Melanggar perjanjian damai adalah juga berarti telah melakukan tindakan
melampaui
batas.
Artinya: “Mereka tidak memelihara (hubungan) kerabat terhadap orang-orang
mu'min dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Dan mereka itulah orang-orang
yang
melampaui
batas.”
(At-Taubah:
10).
Namun, Rasulullah SAW tidak menjadikan pelanggaran perjanjian tersebut sebagai
alasan untuk melakukan tindakan menghabisi pasukan musuh yang kalah karena
telah berkhianat dan tidak juga melakukan balas dendam atas perlakuan yang
diterima pasukan Muslimin yang menjadi korban di medan pertempuran. Sekian
banyak musuh yang kalah atau menyerah dibebaskan tanpa dipaksa untuk
menerima Islam. Bahkan, ada di antara mereka yang diusir keluar (daerah/wilayah)
dan bebas menganut kepercayaan agama mereka, selain Islam. Contoh-contoh dari
sikap Nabi Muhammad SAW ini dapat dilihat dari peristiwa perang (perhatikan Bab. 9
Ghozwah) yang dipimpin Rasulullah SAW seperti pada:
Ghozwah
Badar
Al-Kubra
Ghozwah
Bani
Qainuqa
(Kaum
Ghozwah
Bani
Nadhir
Ghozwah
Bani
Ghozwah
Bani
Quraizah
Ghozwah
Khaibar
(kaum
Yahudi
Yahudi
Wadil
Ghozwah
Fathu
Ghozwah
Ghozwah Hisoru Thaif .
(Kafir
Yahudi)
(Kaum
(Kaum
Yahudi
di
Quraish)
Madinah,
Yahudi),
Musthaliq,
Yahudi),
Khaibar),
Fadak,
Qura,
Makkah,
Hunain,
Sejak sebelum Muhammad SAW diangkat menjadi Nabi dan Rasulullah, tanah Arab
masih belum berbudaya. Budaya nomaden yang berlaku di tanah Arab tidak
memberikan jaminan hidup bagi individu yang bermukim. Sistem hak kemanusiaan
tergantung kepada adat istiadat atau hukum adat yang terdapat pada setiap kabilah
dan suku beragama. Bahkan terkadang hak hidup anak perempuan tidak ada, dan
malah boleh ditanam secara hidup-hidup pada saat kelahirannya di muka bumi ini.
Pasalnya, hal demikian dibenarkan oleh adat kabilah tersebut yaitu Arab Quraish.
Bunuh-membunuh dan membalas dendam sering terjadi di kalangan bangsa Arab
pada waktu itu. Peperangan antar kabilah adalah fenomena biasa di kalangan
masyarakat Arab, karena membela nasib anggota kabilahnya yang teraniaya.
Jaminan keamanan individu suatu kaum menjadi tergantung kepada kepala suku
(pemimpin kabilah) masing-masing; pemimpin kaum itulah yang mengatur segala
undang-undang adat dan keadilan sosial. Keadilan dalam hidup diatur oleh pemimpin
kabilah dan juga hubungan damai yang dijalin dengan kabilah yang lain.
Perjanjian damai adalah budaya bangsa Arab untuk menjamin keamanan antar
kabilah. Jika salah seorang anggota kabilah mereka dibunuh dan dianiaya, maka
pemimpin kabilah akan mengambil tindakan membalas sebagai sikap pembelaan dan
menghukum, serta menganggap kesepakatan perjanjian telah dikhianati. Jika
kabilah merasa lemah untuk membalas, maka kabilah tersebut akan berusaha
membuat kekuatan gabungan dengan kabilah yang lain guna membalas tindakan
lawannya. Sebab, Jika tidak dilakukan pembalasan maka pihak lawannya akan
merasa bebas melakukan pembunuhan dan penganiayaan tanpa khawatir akan
dihukum. Sudah menjadi hukum (aturan) di kalangan bangsa Arab (kabilah-kabilah)
bahwa pihak yang dikhianati boleh melakukan penyerangan terhadap pihak yang
mengkhianati
perjanjian.
Rasulullah SAW berposisi sebagai pemimpin kaum Muhajirin yang kemudian menjadi
pemimpin Muhajirin dan Anshor. Selaku pemimpin kaum Muslimin di Madinah
(Negara), Nabi SAW memanfaatkan budaya Arab dengan melaksanakan perjanjian
damai terhadap kabilah-kabilah yang berdekatan. Dengan perjanjian damai itu maka
Rasulullah dapat menjamin keamanan Agama Islam, Umat Islam, dan wilayah
(Negara) di mana umat Islam berada, yaitu Madinah. Dengan ikatan perjanjian
damai, kengerian perang antara kabilah dan kesadisan penyiksaan atau
penganiayaan dapat dihindarkan. Dengan demikian, peristiwa pembunuhan,
penyiksaan, dan ketidak-adilan yang pernah terjadi di Makkah sebelum hijrah ketika
kaum
Muslimin
masih
berjumlah
sedikit,
tidak
akan
berulang
lagi.
Karena tidak ada hukum yang adil mengatur sistem jaminan hak dan keamanan
untuk seluruh kabilah di tanah Arab, maka budaya kesepakatan perjanjian damai
masih tetap diperlukan untuk menghindari terjadinya pertumpahan darah yang
dilakukan dengan sewenang-wenangnya oleh kabilah-kabilah yang bermusuhan.
Sikap serta akhlak karimah Rasulullah SAW dalam menjaga hak perjanjian, hak di
medan pertempuran, dan tidak sewenang-wenang membumi-hanguskan suatu kaum
yang melanggar perjanjian damai itu, membuat seluruh anggota kabilah menerima
Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah dan Islam sebagai agama. Sikap menerima
Islam itu bukan karena tindak kekerasan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan
pasukan Muslimin, tetapi lebih disebabkan oleh akhlak Rasulullah SAW yang
memberikan hak manusia sesuai dengan batas yang telah ditentukan oleh Allah
SWT;
inilah
bagian
dari
dakwah
Islam.
Apabila seluruh kabilah sudah di bawah satu hukum dan pimpinan, maka tidak
diperlukan lagi perjanjian damai antar kabilah, karena sudah ada aturan yang
menjaga hak-hak individu, yaitu Islam. Kecuali pihak yang masih belum menerima
Islam, maka perjanjian damai masih diperlukan guna menjamin keamanan Agama,
Bangsa,
dan
Negara.
Ad.2.
Perang
karena
ada
pihak
yang
mulai
menyerang
Terdapat empat ayat yang berisi perintah berperang karena kaum Muslimin diserang
oleh pihak lain. Satu ayat Al-Qur’an (At-Taubah: 36) berisi tentang penyerangan
yang dimulai oleh kabilah dari kalangan orang-orang Musyrik terhadap kaum
Muslimin. Dan, tiga ayat Al-Qur’an (At-Taubah: 29, Al-Anfal: 39, dan Al-Baqarah:
191) yang berisi tentang penyerangan yang dimulai oleh kabilah dari kalangan
orang-orang Kafir terhadap kaum Muslimin. Apapun motif mereka melakukan
penyerangan tersebut, maka kaum Muslimin berhak menghadapi serangan tersebut.
Sikap
demikian
adalah
perintah
Allah
SWT
Jika ayat-ayat perang yang dikemukakan oleh Imam Samudra itu difahami, tidak
satu pun yang mengarah kepada perang ofensive. Sebagaimana yang dia yakini,
berikut
ini
adalah
sejumlah
catatan
yang
patut
dicermati:
1. “tahap keempat (terakhir) pensyariatan perang dalam Islam dapat dikatakan
sebagai tahapan perang offensive (hujumi, menyerang).” (AMT, hal: 133).
2. “Pada periode ini, selurub kaum musyrikin diperangi, kecuali jika mereka
bertaubat, masuk Islam, mendirikan shalat dan membayar zakat.” (AMT, hal: 130).
Apa yang saya fahami adalah bahwa penyerangan yang dilakukan oleh Rasulullah
SAW bersama pasukan Muslimin adalah karena terjadi pelanggaran perjanjian damai
yang dibarengi dengan sikap permusuhan. Akibat dari pelanggaran itu, penyerangan
adalah sebagai hukuman yang diakui dan disetujui oleh hukum yang berlaku di
kalangan bangsa Arab pada masa itu. Begitu juga sikap permusuhan dan persiapan
langkah menyerang terhadap kaum Muslimin, maka langkah yang diambil oleh
Rasulullah adalah menyerang sebelum diserang. Bukankah pertahanan yang baik
adalah menyerang? Jadi tidak ada syariat Islam yang membolehkan menyerang
perorangan atau suatu kaum karena kekufurannya atau kemusyrikannya. Wallahu
a'alam.
Penyampaian dakwah yang dilaksanakan oleh para Sahabat setelah wafatnya
Rasulullah SAW selalu didampingi dengan sejumlah pasukan perang untuk menjaga
keamanan. Hal ini dilakukan karena para Sahabat tidak ingin pengalaman buruk
yang dikenal dengan Tragedi Ar-Raji pada tahun ketiga Hijriyah akan kembali
terulang. Yaitu, ketika enam mubaligh (pendakwah Islam) yang dikirim, kemudian
dikhianati dan dibunuh di perjalanan. Pengkhianatan itu dilakukan oleh Bani Lihyan.
Sementara itu, Tragedi Bi’ir Ma’unah pada tahun keempat Hijriyah mengorbankan 70
pendakwah setelah tiba di Bi’ir Ma’unah. Pengkhianatan itu dilakukan oleh Kabilah
Najed (Nejd). Padahal para pendakwah tersebut diutus oleh Rasulullah SAW atas
permintaan kabilah atau suku non-Muslim (Bani Amir) yang ingin mengetahui Islam.
Tetapi, sebelum tugas dakwah dapat dilaksanakan di tempat, para pendakwah
tersebut diserang dan dibunuh oleh suku non-Muslim yang lain. Ini terjadi akibat
kebencian mereka yang sangat terhadap Islam, agama baru pada waktu itu.
Meski surah At-Taubah diturunkan (diwahyukan), pelaksanaan dakwah Islam oleh
para Sahabat tetap tidak dilakukan dengan kekerasan. Orang yang tidak menerima
Islam tidak langsung dibunuh atau dibumi hanguskan hingga mereka menerima
Islam secara sukarela. Penawaran Islam secara halus dilakukan kepada non-Muslim
adalah sebagai langkah dakwah bil-hikmah (dengan bijaksana) yang mengajak
manusia untuk menjadikan Islam sebagai agama dalam hidupnya. Namun, jika
dakwah Islam tersebut tidak diterima, maka Islam tetap dengan dasar prinsipnya
sebagaiman
termaktub
di
dalam
Al-Quran:
Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (Al-Baqarah: 256).
Artinya: “Dan Katakankah, Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka
barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin
(kaftr)
biarlah
ia
kafir.”
(Al-Kahfi:
29)
Tetapi, menurut undang-undang Negara Islam yang berlaku pada waktu itu, jika
seseorang tidak menerima Islam maka akan dikenakan peraturan membayar jizyah
sebagaimana Muslim dikenakan peraturan membayar zakat. Pembayaran zakat bagi
Muslim adalah untuk membersihkan nilai harta yang dimilikinya di sisi Allah SWT
Namun, jizyah yang dikenakan kepada non-Muslim adalah sebagai ikatan jaminan
keamanan untuk dirinya, juga menjadikan darah dan harta mereka sama nilainya
seperti darah dan harta kaum Muslimin yang terjamin haknya. Hasil pembayaran
jizyah dan zakat itu juga nanti akan kembali dimanfaatkan untuk kepentingan
rakyat, baik Muslim ataupun non-Muslim. Tidak ada ketentuan ukuran besar kecilnya
jizyah. Namun dalam sebuah riwayat, Sayyidina Umar mengambil jizyah dari
seorang
Yahudi
yang
miskin
berupa
sebuah
batu.
Orang non-Muslim yang mau membayar jizyah disebut sebagai Kafir Dzimmiy, yaitu
orang yang menerima pemerintahan Islam tetapi tidak menerima agama Islam. Kafir
Dzimmiy mendapat hak yang sama seperti warga Muslim yang lain dan diperlakukan
dengan adil sesuai hukum yang berlaku (Syariat Islam), dan dapat melakukan
amalan peribadatan sesuai agama yang dianuti. Tetapi, seandainya orang nonMuslim tersebut (Kafir Dzimmiy) menggugurkan status dzimmiy-nya dan tidak
menerima pemerintahan Islam, maka dia tidak dibunuh (sebab dia tidak mengangkat
senjata melawan pemerintah), tidak menjadi tawanan dan harta mereka tidak
dirampas. Meski demikian, mereka tidak dibenarkan untuk bertempat tinggal di
dalam negara Islam (artinya diusir dengan aman). Karena orang yang tidak
menerima pemerintahan negara yang ada adalah berbahaya bagi keamanan sebuah
negara (pemerintah) di manapun. Orang-orang yang membahayakan keamanan
negara
Islam
akan
diusir
dari
negara
atau
dikurung.
Kemudian jika Kafir Dzimmiy mengangkat senjata melawan kaum Muslimin dan
bergabung dengan Kafir Harbiy (musuh) memerangi pemerintah (negara Islam)
maka status dzimmiy-nya secara otomatis gugur, haknya tidak terlindungi, dan
bahkan
dia
akan
diperangi
karena
sudah
berpihak
kepada
musuh.
Lain halnya bagi non-Muslim yang “musta’man” (artinya Orang yang diamankan),
yaitu bukan berwarganegara Negara Islam, mereka adalah orang-orang yang datang
ke negara Islam dan mengakui pemerintahan Islam yang ada. Mereka adalah duta
negara, turis, pedagang, orang yang punya keperluan, bersilaturrahmi (ziarah) dan
lain-lain. Kafir “musta’man” ini tidak diperangi, tidak diusir dari negara Islam, dan
tidak kena jizyah. Mereka aman di negara Islam setelah mendapat izin tinggal (visa),
selama mereka tidak mengangkat senjata memusuhi Islam dan memata-matai. Dan,
hak-hak mereka terjamin aman hingga kembali ke tempat asal mereka.
Seandainya dakwah Islam dilakukan di sebuah negara non-Islam maka seperti
halnya dakwah kepada perorangan, ia 'diminta' menerima Islam sebagai agama
yang dianut dan aturan yang diberlakukan dalam hidup. Tetapi, sekiranya negara
tersebut ddak menerima Islam maka kembali kepada pegangan dasar, yaitu tidak
memaksa untuk menerima Islam. Selanjutnya sebagai langkah jaminan keamanan
maka negara tersebut diminta untuk membayar jizyah sebagai ikatan perjanjian
damai. Jika jizyah diberikan kepada negara Islam, maka negara tersebut berstatus
A.hlul Hudnah (gencatan senjata), mereka bebas dengan pimpinannya yang nonMuslim dan dengan undang-undang negaranya yang bukan Islam. Dalam keadaan
gencatan senjata, dapat dilaksanakan dakwah Islam dengan memberi mereka
kesempatan mendengar tentang Islam. Jika negara tersebut melanggar perjanjian
damai dengan tidak mau membayar jizyah atau mengangkat senjata terhadap
negara Islam maka status negara tersebut menjadi Negara Kafir Harbiy (Negara
Kafir yang diperangi). Dengan demikian, negara Islam akan mengirim pasukan
tempurnya untuk menyerang negara yang telah mengancam keamanan negara
Islam.
Istilah defensive atau offensive, dan tahapan-tahapannya bukanlah hal yang penting
untuk dibicarakan dan dipertentangkan. Pasalnya, setiap peperangan dan
pertempuran terkadang dapat berarti defensive, offensive, dan dapat berarti keduaduanya. Istilah defensive dan offensive tidak dapat dielakkan atau dihapus salah
satunya dari kamus perang, selama peperangan sedang berlangsung. Apa yang
penting dalam Islam adalah bahwa perang (jihad) itu dibenarkan karena untuk
membela dakwah Islam yang terancam diserang atau dimusnahkan. Dengan kata
lain, kalimah Allah (Laa ilaha illallah) harus dibela dan dipertahankan.
Apapun penetapan kemaslahatan operasi perang yang akan dimulai dengan
mengambil langkah defensive atau offensive, haruslah di bawah kendali keputusan
pimpinan tertinggi Negara atau panglima tertinggi pasukan kemiliteran, seperti
dicontohkan oleh Rasulullah SAW selaku pemimpin tertinggi. Penetapan tersebut
bukan kebijakan perorangan anggota biasa atau seorang Muslim biasa. Penetapan
dilakukannya sebuah peperangan atau tidak, haruslah diputuskan oleh Muslim yang
berwenang
(selaku
pimpinan
tertinggi).
Ghozwah dan Sariyah yaitu perang yang pernah terjadi selama masa Rasulullah
SAW, pada umumnya adalah sebagai operasi defensive sekaligus offensive: Disebut
sebagai operasi defensive, karena mempertahankan keamanan Agama Islam, Umat
Islam, dan Negara Islam dari ancaman pihak yang memusuhi dan membenci Islam.
Dikatakan operasi offensive, karena pasukan Muslimin-lah yang selalu memulai
penyerangan terhadap pasukan lawan yang telah memulakan mendeklarasi
permusuhan. Jika orang-orang non-Muslim telah melanggar perjanjian damai, maka
itu berarti mereka telah lebih dulu mendeklarasikan permusuhan dan peperangan.
Dengan demikian kaum Muslimin melakukan tindakan pertahanan (defensive)
dengan
melaksanakan
penyerangan
(offensive).
Karena orang-orang non-Muslim menghalang-halangi dakwah dan mengancam
keamanan, maka sikap pertahanan (defensive) diterapkan untuk membela agama
Islam. Sementara sikap menyerang (offensive) dilakukan guna memulai
penyerangan sebelum musuh siap berperang. Demikianlah sikap yang dicontohkan
oleh Rasulullah SAW sehingga musuh selalu didahului oleh pasukan Muslimin.
Pasukan musuh seringkali kalah karena mereka belum siap akibat dari sikap
offensive yang dilakukan oleh pasukan Muslimin secara mendadak (surprise).
Jadi, tidak ada gunanya mempertahankan istilah fase defensive ataupun fase
offensive. Tidak perlu saling mencela karena kedua-duanya benar dan diperlukan
dalam saat menghadapi peperangan, yang membedakan hanyalah niat. Apakah
berniat membela dakwah Islam dan mempertahankan kalimah Allah SWT sesuai
tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi ataukah untuk menuruti hawa nafsu yang suka
membunuh, menyerang, dan tanpa hati nurani menghantam umat manusia yang
lemah?
Ad.3.
Perang
karena
wujudnya
'Fitnah'
yaitu
ancaman
perang
Tidak ada satu ayat pun dalam Al-Qur’an yang berisi perintah memerangi kaum lain
agama. Demikian juga tak ada satu ayat pun yang secara jelas menyebut nama
agama lain untuk diperangi. Tidak ada ayat Al-Qur’an yang memerintahkan
berperang ke sasaran yang bersifat umum. Dan tidak ada ayat Al-Qur’an yang
memerintahkan untuk memerangi suatu kaum semata-mata karena kekufurannya
atau karena kemusyrikannya. Tetapi, ayat-ayat Al-Qur’an yang ada adalah akibat
kekufuran dan kemusyrikannya yang dibarengi dengan rasa benci, dendam, dan
memusuhi kaum Muslimin yang ditampakkan dengan usaha-usaha nyata menyakiti
kaum Muslimin dengan serangan (perang), maka Allah SWT perintahkan kepada
Rasul-Nya
untuk
berperang
menyambut
tantangan
tersebut.
Dalam konteks memerangi non-Muslim (Musyrik atau Kafir) yang saya fahami
dilakukan oleh Rasulullah SAW hanya terhadap mereka-mereka yang memusuhi
Islam, kaum Muslimin dan mengkhianati perjanjian damai saja, yaitu yang menjadi
ancaman keamanan kaum Muslimin, inilah yang dikatakan fitnah. Jadi ternyata saya
berbeda faham dengan apa yang dikatakan oleh Imam Samudra berdasarkan ayatayat Al-Qur’an itu dan menurut yang saya fahami bahwa pemahaman Imam
Samudra untuk membenarkan aksi kekerasannya adalah Tidak Benar
terhadap
ayat-ayat
perang
(Al-Qur’an
itu).
Menurut yang saya fahami berdasarkan dalil-dalil yang dijadikan alasan oleh Imam
Samudra itu semua (di AMT), bahwa kaum Muslimin harus dan wajib mengadakan
perlawanan untuk mempertahankan diri, yaitu mempertahankan agama Islam, umat
Islam, dan kedaulatan negara. Dengan kata lain three in one, satu aksi untuk
mempertahankan
tiga
kepentingan.
Non-Muslim yaitu orang-orang Kafir dan Musyrik tidak diperintahkan oleh Allah SWT
untuk dimusnahkan seluruhnya dari muka bumi ini jika mereka tidak menginginkan
Islam.
Sirah perjalanan Rasulullah SAW mengisahkan, kaum Muslimin menghadapi
serangan dari orang-orang non-Muslim yang selalu memulai lebih dulu, melanggar
perjanjian damai, memusuhi, atau menyerang. Baik dari kabilah yang tidak pernah
mengadakan perjanjian damai ataupun kabilah yang sudah pernah mengadakan
ikatan
perjanjian
damai
dengan
kaum
Muslimin.
Rasulullah dan pasukan Muslimin menyerang kabilah yang mengancam keamanan
Islam dan umat Islam dengan tujuan supaya mereka berhenti dari memusuhi kaum
Muslimin dan berhenti dari menghalangi dakwah Islam. Termasuk mengancam
keamanan adalah apabila musuh telah melangkah sejengkal (menguasai) masuk ke
tanah wilayah kekuasaan pemerintahan Islam dan apabila orang Islam ditawan.
Jika Hadis Nabi; “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai ia mau
mengucapkan kalimat syabadah…” bermaksud memerangi seluruh non-Muslim
hingga mereka menerima Islam, maka ucapan Nabi Muhammad itu bertentangan
dengan perbuatannya. Sepengetahuan saya, perbuatan Nabi lebih diutamakan
diambil menjadi pegangan hukum daripada ucapannya, jika ditemukan
bertentangan.
Wallahu
a’lam.
Contoh praktek perang yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW baik sebelum maupun
sesudah diwahyukan surah At-Taubah ayat 5, tetap sama bagi Rasulullah. Hanya
penundaan waktu empat bulan saja (bulan haram) yang membedakannya. Sebelum
menerima wahyu tersebut, ketika ada kabilah yang melanggar perjanjian damai,
maka dengan segera Rasulullah memimpin pasukan tempur untuk menyerang
kabilah
yang
berkhianat
atau
memusuhi
tersebut.
Tetapi, pada surah At-Taubah ayat 5, Allah SWT melarang Rasulullah melakukan
penyerangan terhadap kabilah Musyrikin yang telah melanggar perjanjian damai,
karena hampir mendekati bulan Haram dan juga larangan penyerangan terhadap
kabilah yang akan habis masa perjanjian bertepatan pada bulan Haram. Dengan
demikian mereka diberikan waktu empat bulan bebas tidak diganggu (diserang). Jika
masa empat bulan tersebut berakhir, maka barulah Rasulullah boleh memimpin atau
mengirim pasukan melakukan penyerangan terhadap kabilah musyrikin yang
melanggar perjanjian damai dan terhadap kabilah yang telah selesai masa perjanjian
damai
(kecuali
bagi
yang
memperpanjang
masa
perjanjian
tersebut).
Mengapa kabilah-kabilah yang pada waktu dahulu mengkhianati perjanjian damai
tidak diberikan tempo empat bulan, dan mengapa pula baru sekarang turun wahyu
yang memberikan tempo waktu kepada kabilah musyrikin? Sebab Allah SWT ingin
Rasulullah SAW mempraktekkan di hadapan bangsa Arab bahwa Islam menghormati
budaya. Karena itu, Nabi diperintahkan untuk menghormati bulan haram
sebagaimana budaya bangsa Arab kuno (Jahiliyah) menghormati bulan haram. Yaitu,
dengan menahan diri tidak melakukan aksi pertempuran walaupun dikhianati (terjadi
pelanggaran
perjanjian
damai).
Menghormati budaya adalah termasuk dari akhlak karimah (perilaku yang mulia).
Apabila Rasulullah tidak melakukan aksi penyerangan di bulan haram, maka itu
berarti ia telah melakukan dakwah Islam dengan akhlak karimah. Maka orang-orang
Musyrik yang melanggar perjanjian damai dibiarkan bebas (tidak diserang walaupun
diketahui mengadakan persiapan menyerang), hingga bulan haram berakhir. Kecuali
jika orang-orang Musyrik yang memulai menyerang kaum Muslimin di bulan haram,
maka
kaum
Muslimin
boleh
membalas
meski
di
bulan
haram.
Budaya bangsa Arab kuno sangat menghormati bulan haram, maka Allah SWT tidak
menginginkan kaum Muslimin mencemari bulan haram walaupun mereka berhak
menyerang orang-orang Musyrik yang telah berkhianat. Menghormati budaya yang
tidak melanggar syariat Islam adalah lebih utama sekaligus dapat mengedepankan
urusan
dakwah
Islam
bil-hikmah
(dengan
bijaksana).
Praktek yang dilakukan oleh Rasulullah SAW sebelum dan sesudah turun surah AtTaubah ayat 5 ini adalah sama: Memerangi kabilah yang berkhianat (mengkhianati
perjanjian damai) yang kemudian menjadi ancaman keamanan Islam, kaum
Muslimin dan wilayah Muslimin. Memberikan jaminan keamanan terhadap orangorang Musyrikin yang setia kepada perjanjian damai. Tidak membunuh orang-orang
Musyrik atau Kafir yang tidak memusuhi Islam dan tidak memerangi Islam. Dan
mereka tidak dipaksa untuk menerima Islam. Perlakuan yang baik terhadap musuh
yang
mengalami
kekalahan,
seperti
para
tawanan
yang
dibebaskan.
Sunnah fi’liyah yaitu sebab musabab perbuatan, tindakan, dan sikap Rasulullah
ketika berperang adalah hal yang paling penting untuk diikuti dan dijadikan dasar
pegangan yang kuat dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an tentang perang.
Penyampaian ajakan perang, kobaran semangat perang, dan kabar gembira bagi
yang berperang termasuk janji syurga, mati syahid, dan ancaman neraka bagi yang
tidak mau berperang adalah apabila status dan sasaran perang sudah jelas, dan
peperangan sedang terjadi. Hadis-hadis Nabi Muhammad SAW ketika memberi
semangat mati syahid dan janji syurga semuanya diucapkan pada masa-masa
pertempuran,
bukan
di
Madinah
atau
di
dalam
masjid.
Bukankah perilaku Rasulullah SAW adalah Al-Qur’an, sebagaimana Ummul Mukminin
‘Aisyah r.a. menjawab tentang perilaku Nabi Muhammad: “Akhlaknya (perilaku
Rasulullah
SAW)
adalah
Al-Qur’an.”
Sabda Rasulullah SAW: “Hanyasanya aku diutus untuk menyempurnakan Akhlak
yang
soleh.”
(Hadis
riwayat
Ahmad).
Dan
pernyataan
Allah
SWT
mensifati
Akhlak
Rasulullah
SAW:
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat
dan
dia
banyak
menyebut
Allah.”
(Al-Ahzab:
21).
Apa yang dilakukan oleh Rasulullah sebenarnya praktek riil memerangi 'fitnah'
sehingga kaum Musyrikin yang memerangi kaum Muslimin menjadi tunduk dan
menerima Islam sebagai penguasa yang memiliki sistem penjagaan hak-hak
kemanusiaan yang sangat diperlukan pada waktu itu. Menjamin keamanan, keadilan,
dan memberikan hak-hak manusia, baik kepada Muslim maupun yang non-Muslim.
Namun, apa yang dilakukan oleh orang-orang yang berperang setelah zaman Nabi
Muhammad SAW yang memerangi sesama Muslim atau dengan sengaja menyerang
penduduk awam Muslim dengan alasan jihad memerangi 'fitnah' adalah sebenarnya
membawa fitnah kepada umat Islam. Peristiwa ini bukan hanya terjadi pada zaman
sekarang tetapi juga dialami oleh para Sahabat dan zaman-zaman kekhalifahan.
Sebagaimana
kisah
yang
terdapat
pada
sebuah
hadis;
Hadis riwayat Usamah bin Zaid ra., ia berkata: Rasulullah SAW mengirim kami dalam
suatu pasukan. Kami sampai di Huruqat, suatu tempat di daerah Juhainah di pagi
hari. Lalu aku menjumpai seorang kafir. Dia mengucapkan: Laa ilaaha illallah, tetapi
aku tetap menikamnya. Ternyata kejadian itu membekas dalam jiwaku, maka aku
menuturkannya kepada Nabi SAW. Rasulullah bertanya: Apakah ia mengucapkan:
Laa ilaaha illallah dan engkau tetap membunuhnya? Aku menjawab: Wahai
Rasulullah, ia mengucapkan itu hanya karena takut pedang. Rasulullah SAW
bersabda: Apakah engkau sudah membelah dadanya sehingga engkau tahu apakah
hatinya berucap demikian atau tidak? Beliau terus mengulangi perkataan itu
kepadaku, hingga aku berkhayal kalau saja aku baru masuk Islam pada hari itu.
Saad berkata: Demi Allah, aku tidak membunuh seorang Muslim, hingga dibunuh
Dzul Buthain, Usamah. Seseorang berkata: Bukankah Allah telah berfirman: “Dan
perangilah mereka, agar tidak ada fitnah dan agar agama itu semata-mata untuk
Allah.” Saad berkata: Kami telah berperang, agar tidak ada fitnah. Sedangkan
engkau dan pengikut-pengikutmu ingin berperang, agar timbul fitnah. (Hadis Sahih
Bukhari dan Muslim).
Golongan yang memusuhi dan memerangi kaum Muslimin
pada zaman Nabi Muhammad SAW
Non-Muslim yang boleh diperangi bagi sebuah Negara Islam.
Menghadapi 'Fitnah' dengan niatan dakwah, cara yang adil dan tidak memaksa
memeluk
Islam
demi
menegakkan
Kalimah
Allah.
Langkah strategis perang defensive atau perang offensive bukanlah fase yang
diatur oleh Rasulullah SAW, tetapi bagaimana setia pada niat untuk berdakwah dan
tercapainya maksud dakwah Islam dengan cara yang benar. Itulah hal terpenting
sehingga Rasulullah SAW mendefinisikan tujuan perang dengan sabdanya:
Hadis riwayat Abu Musa Al-Asy’ari ra.: Bahwa seorang lelaki Arab badui datang
kepada Nabi SAW dan bertanya: Wahai Rasulullah! Seorang lelaki berperang untuk
memperoleh harta rampasan, seorang lagi berperang untuk dipuji (dikenang) dan
seorang lagi berperang agar bisa diperlihatkan kedudukannya. Siapakah yang berada
di jalan Allah? Rasulullah SAW menjawab: “Barang siapa yang berperang demi
tegaknya kalimat Allah, maka ia adalah Fie Sabilillah (berada di jalan Allah).” (Hadis
Sohih
Bukhari
dan
Muslim).
Menempatkan Kalimah Allah (Laa ilaha illallah) berada pada posisi tertinggi di mata
manusia, dijunjung dan diagungkan oleh manusia, tentu tidak dapat dipaksakan.
Hati manusia tidak dapat dipaksa dengan kekerasan untuk menerima Kalimah Allah
SWT, dan jika tetap dipaksakan maka penerimaan itu tidak bertahan lama. Tetapi,
Kalimah Allah itu akan dijunjung dan diagungkan serta menjadi tegak disebabkan
orang-orang menerima dengan sukarela dan senang hati karena melihat kemuliaan
akhlak, budi bicara yang sopan dan keadilan yang ditampakkan oleh orang-orang
yang
membawa
dakwah
Islam
atau
memimpin
negara
Islam.
Kalimah Allah SWT ditegakkan bukan dengan cara berperang. Sekali-kali tidak. Dan,
hadis di atas tidak mengandung maksud demikian. Perang dan pertempuran yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW dan kaum Muslimin yang bersamanya adalah hak
yang diakui kebenaran untuk melakukannya. Dan, umat manusia juga melihat
bahwa Rasulullah dan kaum Muslimin tidak berbuat kezaliman dalam pertempuran.
Adalah Hak bagi kaum Muslimin di Madinah untuk mempertahankan wilayah yang
telah
Allah
karuniakan
sebagai
pemerintahan
Islam.
Maksud hadis di atas adalah pemberitahuan dari Rasulullah SAW kepada umat Islam
yang sedang berperang di jalan Allah. Yaitu, harus mempunyai niat dakwah untuk
mempertahankan kalimah Allah. Artinya, dalam perang harus ada misi dakwah
Islam. Berakhlak ketika memerangi musuh, tidak membunuh karena dendam dan
marah. Jika membunuh musuh dalam pertempuran haruslah dengan cara yang baik,
membunuh dengan tidak mencacah-cacah, tidak membunuh wanita, anak-anak,
orang tua, dan berbagai lagi aturan-aturan lain dalam perang yang ditaati oleh
pasukan Muslimin. Semua itu adalah bagian dari sikap berdakwah yang ditunjukkan
kepada musuh betapa Islam memiliki aturan yang sempurna dalam berperang dan
berlaku adil. Begitu juga ketika pasukan Muslimin dapat menawan musuh yang
kalah. Para tawanan diperlakukan dengan baik tanpa tersirat rasa benci hingga
mereka dibebaskan, meski masih belum menerima Islam.
Berlaku
adil
ketika
perang
Pertumpahan darah dan saling membunuh terjadi hanya pada waktu bertemunya
dua pasukan. Ketika kondisi sudah tenang dan pasukan musuh kalah lalu
menyerahkan diri, maka pasukan Muslimin tidak dengan sewenang-wenang
membunuh orang yang lemah, sudah kalah dan menyerah. (Kecuali pada peristiwa
tertentu pernah ada yang dijatuhi hukuman yaitu diadili karena punya kesalahan).
Tidak adanya paksaan dan kekerasan yang ditampakkan oleh pasukan Muslimin
dalam mengajak kepada Islam, membuat mereka (musuh dan non-Muslim)
bertambah yakin betapa sempurnanya agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad
SAW,
sesuai
dengan
tuntunan
Allah
SWT
kepada
Rasul-Nya.
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat
mengambil
pelajaran.”
(An-Nahl:
90)
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa
bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan
neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (Al-Hadid: 25).
Perang yang dialami oleh Rasulullah SAW adalah bagian dari dakwah Islam, tetapi
perang bukanlah bagian yang terutama dalam berdakwah menyebarkan Islam. Pada
asalnya perang tidak dinginkan namun perang akan menjadi diperlukan jika
keamanan dakwah Islam, umat Islam, dan Negara Islam terancam.
Ketika sedang berdakwah lalu terdapat pihak yang menghalang-halangi dakwah
Islam dan mengancam keselamatan dakwah Islam, agama Islam, umat Islam dan
Negara, maka perang akan terpaksa dilakukan untuk membela
dan
mempertahankan kehormatan Islam. Jika dakwah dapat dilaksanakan dengan aman
tanpa adanya ancaman dan gangguan, maka perang tidak diperlukan.
Dalam kesempatan berperang terdapat misi dakwah Rasulullah SAW dan pasukan
Muslimin, yaitu sikap tidak melampaui batas dan berlaku adil dalam pertempuran.
Dan setiap kali peperangan yang dimenangkan oleh pasukan Muslimin, maka
pasukan musuh yang kalah menjadi kagum dengan perilaku serta akhlak pasukan
Muslimin. Selanjutnya, di antara mereka menerima Islam, bukan karena dipaksa
melainkan perlakuan manusiawi dan adil yang diterima. Bahkan, kebanyakan
tawanan
dibebaskan.
Di antara keadilan yang mereka lihat dari kaum Muslimin adalah sikap yang tidak
menyakiti anak-anak, isteri, dan juga kaum kerabat mereka yang tidak ikut
berperang. Kaum Muslimin mempunyai disiplin bahwa seseorang tidak dapat
memikul dosa orang lain. Jika yang bersalah adalah bapaknya, maka anaknya tidak
terkena dosa bapaknya, begitu juga isteri dan yang lain. Pelajaran berharga itu
termaktub
di
dalam
Al-Quran:
Artinya: “(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang
lain.”
(An-Najm:
38)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”
(Al-Maaidah:
8).
Namun, tidak dapat dipungkiri jika di antara mereka ada juga yang mengucap dua
kalimah syahadah (menerima Islam) karena takut. Tetapi, lambat laun mereka juga
akan memahami Islam setelah mengetahui kandungan Al-Qur’an, akhlak, dan
perilaku orang-orang di sekelilingnya dari kalangan kaum Muslimin yang benar-benar
berakhlak dengan Akhlakul Karimah.
Tidak
ada
paksaan
masuk
Islam
Jika memang Islam harus menjadi satu-satunya agama di dunia ini, mengapa
Rasulullah SAW membiarkan para tawanan bebas tanpa memaksa mereka untuk
menerima Islam? Dan, seandainya orang-orang Kafir dan Musyrik harus diperangi
hingga mereka menerima Islam, mengapa pasukan Muslimin menghentikan
peperangan dan menerima perundingan damai (gencatan senjata) ketika pasukan
musuh mengalami kekalahan dan membiarkan mereka bebas dengan agama mereka
tanpa dipaksa untuk menjadi Muslim? Demikian juga mengapa disyariatkan adanya
status
kafir
Dzimmiy
dalam
Negara
Islam?
Jika memang semua non-Muslim di muka bumi ini harus menjadi Muslim dan harus
Islam saja di muka bumi ini, mengapa Nabi SAW melakukan hal di atas? Lantas
bagaimana dengan hukum-hukum yang telah Allah tetapkan untuk bermuamalah
dengan
non-Muslim
yang
akan
tetap
berlaku
hingga
hari
kiamat?
Sebenarnya, atas dasar “Tidak, ada paksaan dalam agama (Islam)” (Al-Baqarah:
256), itulah yang membuat Rasulullah berakhlak karimah sepanjang masa hayatnya.
Nabi juga senantiasa berakhlak baik terhadap musuh-musuhnya, baik ketika aman
bersama masyarakat Muslim dan non-Muslim maupun ketika berperang. Dengan
begitu, praktek dakwah Rasulullah SAW terwujud di medan peperangan, antara lain
meliputi: larangan-larangan dalam berperang dan aturan-aturan membunuh, tidak
sewenang-wenang menjatuhkan hukuman kecuali yang sesuai dengan hukum dan
berlaku adil, tawanan diperlakukan dengan baik, tawanan dibebaskan, dengan syarat
dan ada juga yang tanpa syarat, tawanan tidak dipaksa untuk menerima Islam,
memberi kesempatan tawanan untuk membawa harta benda mereka ketika diusir.
Merampas harta kekayaan musuh bukanlah tindak pemaksaan, tetapi adalah hak
bagi pihak yang menang, hamba sahaya milik musuh dimerdekakan.
Selain itu, juga terjadinya perundingan damai (gencatan senjata), tidak menyerang
kecuali apabila diserang dan dimusuhi (karena hak), tidak memulai melanggar
perjanjian damai, ddak melanggar budaya Arab yang dihormati, seperti larangan
berperang pada bulan Haram (suci), memberi hak kafir Dzimmiy yang diperlakukan
sama sebagaimana hak Muslim, walaupun tidak menerima Islam, memberikan
pengampunan kepada orang-orang yang telah masuk daftar wanted (dibunuh),
memberi kesempatan kepada musuh untuk melarikan diri (lari dari terjadi kontak
senjata), sebelum penyerangan, memberi pemberitahuan kepada musuh untuk
berlindung dan tidak mengambil sikap melawan, tidak memiliki niat dan hasrat untuk
membalas
dendam
terhadap
kaum
yang
pernah
memusuhi
Islam.
Demikianlah cara dakwah Islam yang ditunjukkan Rasulullah SAW secara fi’liyah
(sunnah perbuatan ketika berperang) kepada umat manusia yang diterjemahkan dari
ajaran Al-Qur’an secara riil di muka bumi. Al-Hak (Kebenaran) yang menjadi
pembeda dengan agama-agama yang lain juga sudah Rasulullah SAW tampakkan di
hadapan mata manusia. Maka biarlah manusia itu sendiri memilih yang hak atau
yang batil sesuai pemahaman dan keyakinannya, tanpa unsur paksaan. Apa gunanya
memaksa orang menganut Islam sedangkan orang tersebut belum dapat
membedakan
yang
hak
(kebenaran)
dengan
yang
batil?
Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (Al-Baqarah: 256).
“Dan katakankah, kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia
kafir.”
(Al-Kahfi:29).
Dan begitu jugalah praktek Rasulullah SAW serta kaum Muslimin di Madinah (Negara
Islam) yang dimusuhi dan terancam diserang oleh kabilah-kabilah Arab. Keseluruhan
ayat yang memerintahkan memerangi orang-orang kafir dan musyrikin adalah
terbatas kepada mereka yang memusuhi Islam dan diketahui mengadakan rencana
penyerangan terhadap kaum Muslimin. Adalah hak dan kuwajiban kaum Muslimin
untuk
mengadakan
pembelaan
diri
dari
gangguan.
Jika diserang, maka perlawanan dilakukan tanpa perlu menunggu komando, tetapi
jika akan melakukan penyerangan terhadap musuh maka harus menunggu
keputusan (komando) dari pimpinan negara atau panglima tertinggi pasukan.
Pelaksanaan penyerangan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah hak kaum
Muslimin untuk melakukan demikian karena telah dikhianati atau diserang.
Pelaksanaan bertahan juga hak kaum Muslimin dan malah berstatus harus karena
menghindari, mempertahankan diri, dan menyelamatkan diri dari ancaman serta
gangguan musuh. Kedua hak tersebut dimaksudkan untuk tujuan dakwah Islam,
karena ketika non-Muslim melihat Rasulullah SAW dan pasukan Muslimin berperang
dengan penuh disiplin serta beretika maka pihak non-Muslim melihat kemuliaan
Islam.
Dan ketika pasukan musuh kalah lalu kaum Muslimin melepaskan para tawanan
tanpa berbuat zalim (melampaui batas), menyiksa, dan tidak memaksa mereka
menerima Islam, maka itu juga adalah melaksanakan misi dakwah Islam. Sikap
menyerang adalah hak kaum Muslimin karena dikhianati, yang memang diketahui
dan diakui oleh pihak musuh, tetapi perlakuan baik yang ditunjukkan oleh Rasulullah
SAW ketika berperang dan sesudah perang membuat non-Muslim yakin dengan
Rasulullah SAW sebagai seorang Nabi. Dengan sukarela mereka menerima Islam
yang menghormati hak-hak kemanusiaan dan berlaku adil. Itulah tujuan dakwah
Islam.
Dalam kondisi apapun Rasulullah SAW tetap menjaga prinsip perang yaitu
“Maintenance of Object” yang berarti 'setia pada tujuan'. Tujuan utama Rasulullah
SAW diutus sebagai Nabi adalah untuk mengajak manusia beribadah kepada Allah
SWT dan mentauhidkan-Nya, dengan bijaksana (hikmah) dan dengan memberi
pelajaran
yang
baik
(mau’izoh
hasanah).
Wahyu
Allah
SWT
kepada
Nabi
Muhammad
Saw;
Artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman
sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (An-Nisa: 36).
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah
yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl:l25).
Dalam berperang, baik ketika defensive ataupun offensive adalah juga sebuah
kesempatan untuk mendakwahkan Islam kepada pasukan musuh dengan
menunjukkan atau menonjolkan akhlak karimah dan memberikan hak-hak
kemanusiaan
yaitu
adil
serta
tidak
memaksa
menerima
Islam.
Di
dalam
Al-Quran
termaktub:
Artinya: “Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah
sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka
dan katakanlah: "A.ku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku
diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan
kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada
pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepadaNyalah
kembali
(kita).”
(Asy-Syuura:
15).
Berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis yang dikemukakan oleh Imam Samudra
(di buku AMT), bahwa perang yang dimaksudkan akan tetap terus berlangsung
sehingga agama yang menang dan berkuasa hanyalah agama Islam. Yaitu dengan
menggambarkan berulangkalinya Rasulullah SAW melakukan pertempuran untuk
menyebarkan dan memaksa orang lain menerima Islam. Perhatikan kutipan berikut
ini:
“agar tidak ada lagi kesyirikan, agar dienullah saja yang menang dan berkuasa atas
dunia ini ... Rasulullah SAW memimpin langsung pertempuran sebanyak 28 kali.
Sedangkan Sariyah (ekspedisi) yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW sebanyak 55
kali.”
(AMT.
Hal.
162).
Kemudian, Imam Samudra juga mengancam orang-orang yang tidak mau
mempercayai ayat-ayat perang dan menaati perintah ayat itu. Menurut
pemahamannya bahwa perintah perang tersebut adalah untuk memerangi seluruh
orang yang bukan Islam (non-Muslim), dan hukumnya adalah wajib dilaksanakan
oleh setiap Muslim. Menurutnya, asal perintah Allah SWT dalam Al-Qur’an adalah
wajib
ditaati.
Imam Samudra berperan laksana seorang Nabi yang mendapat wahyu langsung dari
Allah SWT, dari ayat Al-Qur’an dengan cepat dia memberi perintah perang kepada
umat Islam dan mengancam “Siapa yang berani menyangkal bahwa itu adalah
perintah Allah?...Status perintah Allah adalah wajib.” (AMT. Hal. 103). Bukan hanya
memaksa dan mengancam, malah ayat yang dibawanya tidak sempurna dan tidak
seperti yang dimaksudkan oleh Allah SWT ketika menurunkan ayat itu. Ayat tersebut
dicomot dan dipotong-potong sehingga terbentuk sedemikian rupa menjadi dalil
untuk membenarkan perbuatannya yang keji. Bukankah amal harus benar sesuai
tuntunan dalil dan bukannya dalil (dijadikan alat) membenarkan amal? Wallahu
a'alam
bis
Showab.
Bagi yang tidak menaati perintah Allah, ia bukan hanya mendapat dosa tetapi malah
dicela dan dimaki-maki oleh Imam Samudra. Begitukah akhlak seorang Muslim yang
mengaku sebagai 'Mujahid' dan 'Ustaz' yang dengan begitu mudah mencaci-maki
orang lain setelah habis metode dakwahnya untuk mengajak manusia berjihad
membela Islam? “Hanya manusia-manusia yang tolol, bodoh, idiot, dan mati hati
sajalah yang tidak takut akan ancaman Allah.” (AMT, hal:103). Dan “O, Muslim? Are
you chicken? La haula wa la quwwata illa billah.” (AMT, hal:106) Apakah begini
teladan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW sehingga menjadi pegangan
Imam Samudra untuk menyebarkan Islam? Pastinya bukan dan tidak.
Karena itu, saya sangat bersedih ketika membaca setiap kalimat Imam Samudra
yang menggambarkan Rasulullah SAW adalah seorang pemimpin yang aktif
berperang untuk menghancurkan kaum lain yang bukan Islam (AMT, hal:162), dan
seorang yang selalu memaksa orang atau kabilah yang bukan Islam untuk menerima
Islam. Dengan demikian, menurut Imam Samudra, Islam harus disebarkan dengan
perang.
Sungguh Imam Samudra telah menggambarkan Islam adalah faham agama yang
sadis dan tidak manusiawi. Sungguh dia telah menempatkan Rasulullah SAW sebagai
orang yang haus darah sehingga akan memerangi dan membunuh orang-orang yang
tidak mau menerima Islam. Dia membayangkan perbuatan Rasulullah SAW itu sama
seperti langkah awal Pejuang Taliban (yang dibangga-banggakannya) yang
memerangi semua kelompok Mujahidin di Afghanistan, bermula pada sekitar akhir
1993 dan memaksa orang untuk mengikuti Taliban dan harus menghilangkan
keanggotaan pada organisasi yang lain, jika tidak maka akan diperangi dan dibunuh.
Sebab hanya satu organisasi saja yang dibenarkan berada, yaitu Taliban. Sementara
tanzim (organisasi) Jihad Mujahidin Afghanistan yang lain harus musnah.
Bukankah sirah Rasulullah SAW itu (praktek perang) yang saya jelaskan di atas
sesuai dengan definisi yang diberikan oleh Imam Samudra dalam Aku Melawan
Teroris tentang pengertian jihad menurut Syar’i? “jihad berarti berperang melawan
kaum kafir yang memerangi Islam dan kaum Muslimin.” (AMT, hal:108).
Dengan kata lain, dari definisi itu bahwa seandainya orang kafir itu (non-Muslim)
tidak memerangi Islam dan kaum Muslimin, maka dilarang melakukan aksi militer
terhadap mereka. Demikianlah yang dipraktekkan oleh Rasulullah SAW selama
hayatnya sebagai seorang Nabi dan Rasul, pemimpin negara dan panglima tertinggi
pasukan
tempur.
Saya tidak ragu-ragu dan tidak khawatir untuk mengatakan bahwa Imam Samudra
telah sesat dan menyesatkan umat Islam serta berlaku zalim terhadap
dirinya sendiri serta terhadap sesama umat manusia. Dia telah melampaui
batas-batas hukum Allah SWT, bahwa orang-orang kafir dan musyrik yang tidak
memusuhi dan tidak berencana menyerang Islam maka tidak dibenarkan untuk
dibunuh atau diperangi dengan sewenang-wenang. Inilah peringatan dari Allah SWT
terhadap orang yang bertindak melampaui batas-batas ketentuan hukum Allah SWT:
Artinya: “Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orangorang
yang
zalim.”
(Al-Baqarah:
229)
Artinya: “dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka
sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.” (At-Thalaq: 1).
Tetapi saya khawatir, jangan-jangan jihad yang diserukan oleh Imam Samudra
bukanlah Jihad Fie-Sabilillah, melainkan ‘Jihad gaya Imam Samudra’.
Membunuh
warga
sipil
Saya kaget dan heran ketika membaca penjelasan Imam Samudra tentang dua ayat
Al-Qur’an yang dipotong-potong untuk membenarkan aksi pembomannya, (AMT,
hal:116)
yaitu:
Artinya: “barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan
serangannya
terhadapmu.”
(Al-Baqarah:
194).
Dan,
ayat
126
Surah
An-Nahl:
Artinya: “dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang
sama
dengan
siksaan
jang
ditimpakan
kepadamu.”
(An-Nahl:
126).
Dengan tegas dan bangga, Imam Samudra mengatakan bahwa membalas balik
dengan membunuh wanita, anak-anak, dan warga sipil adalah tindakan yang 'wajar',
'adil' dan 'seimbang'. Karena itu, menurut Imam Samudra, Amerika dan sekutunya
telah melampaui batas-batas perang dengan membunuh banyak warga sipil Muslim,
maka dia berniat membalas dengan cara membunuh warga sipil Amerika dan
sekutunya. Begitulah katanya “sipil dibalas sipil! Itulah keseimbangan.” Dengan
yakinnya ia mengatakan “Dan dengan demikian, jihad Bom Bali tidak dilakukan
secara
asal-asalan
dan
serampangan.”
(AMT,
hal:
116).
Astaghfirullah! Padahal wisatawan asing yang berada di Legian Bali pada waktu itu
terdapat banyak juga orang-orang non-Muslim yang bukan warga Amerika atau
Australia, kalau memang benar Amerika dan Australia adalah musuh Imam
Samudra! Kalaupun wisatawan asing yang berada di Bali itu adalah warga Amerika
ataupun warga Australia dan sekutunya maka belum tentu mereka dari pihak yang
setuju dengan tindakan pemerintah mereka yang menyerang Afghanistan dan Iraq.
Bukankah kebohongan alasan pemerintah Amerika menyerang Iraq dibongkar sendiri
oleh warga Amerika? Bagaimana kalau yang tewas dalam aksi bom Bali itu adalah
dari warga Amerika yang tidak setuju dan anti dengan kebijakan pemerintah
Amerika dalam penyerangan Afghanistan dan Iraq? Sungguh Imam Samudra sendiri
telah mengeneralisir warga Amerika dengan prasangkanya, “ini berarti pula mereka
terlibat dalam proses pembiayaan perang.” (AMT, hal: 147). Sebuah prasangka dan
tuduhan
yang
tidak
berdasar.
Bagaimana Imam Samudra boleh memahami potongan ayat Qishosh tersebut (AlBaqarah: 194) yang ditafsirkannya sendiri menurut arti harfiyah lalu dikaitkan
dengan peristiwa yang terjadi sekarang ini di luar Indonesia yang kemudian dibalas
di
Indonesia?
Jika diperhatikan kedua ayat tersebut dalam bahasa Arab, akan didapati perkataan
bi mitsli ma yang artinya secara harfiyah “dengan seumpama apa (benda) yang.”
Bermakna ada sesuatu yang digunakan serupa dengan yang terdahulu, baik itu
berbentuk perkataan maupun material. Dan menurut para mufasirrin (Ulama
penafsir Al-Qur’an) bahwa ayat tersebut menjelaskan tentang hukum Qishosh yaitu
hukum membalas kejahatan. Di dalam syariat Islam diatur tentang cara-cara
pelaksanaan
hukum
Qishosh.
Dalam tafsir Qurtubiy, penjelasan terhadap ayat ini adalah bahwa Rasulullah
memerintahkan dalam pelaksanaan hukum Qishosh harus menggunakan alat yang
sama terhadap pelaku seperti yang digunakan oleh pelaku kepada korban. Tidak
boleh melakukan tindakan yang melampaui batas dengan membalas kepada selain
pelaku, seperti terhadap kedua orangtuanya, anaknya dan kerabatnya. Begitu juga
tidak boleh berbohong kepada pelaku seandainya pelaku berbohong kepadanya.
Sebab, kemaksiatan tidak boleh dibalas dengan kemaksiatan. Sekarang, hukum
pelaksanaan Qishosh tidak boleh dilakukan secara pribadi tetapi harus atas izin
pemerintah
(artinya
Mahkamah
Islam).
Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini bahwa Allah SWT memerintahkan untuk
berlaku adil dalam melaksanakan hukum Qishosh walaupun terhadap kaum yang
bukan Islam (non-Muslim). Untuk membalas kejahatan orang lain, maka sikap sabar
si korban adalah lebih baik bagi orang-orang yang mau bersabar.
Terdapat empat hal dan satu catatan penting yang perlu diperhatikan dari ayat
tersebut (Al-Baqarah: 194 dan An-Nahl: 126), yaitu:
Pertama
:
Alat
dari
jenis
yang
sama.
Kedua
:
Teknis
pembalasan
dengan
cara
yang
sama.
Ketiga
:
Pembalasan
dilakukan
hanya
terhadap
si
pelaku.
Keempat : Pelaksanaannya dilakukan oleh si korban atau wali si korban.
Catatan: Tidak boleh melakukan pembalasan terhadap kedua orangtua pelaku,
anaknya dan kerabatnya. Apalagi terhadap bangsanya yang tidak ada hubungan
darah. Sebab tindakan demikian adalah melampaui batas hukum Allah. Keadilan
ditegakkan
biarpun
kepada
non-Muslim.
Jika Imam Samudra salah satu pengagum Ustadz Abdullah Azzam (alm), maka saya
ingin menceritakan sebuah tafsir dari salah satu ceramah Ustadz Abdullah Azzam
yang pernah saya dengar langsung pada majlis ta’lim beliau di Afghanistan. Ketika
itu ia menjelaskan penggunaan senjata api menurut syariat Islam. Senjata api yang
digunakan oleh pasukan bersenjata mujahidin Afghanistan dan pasukan bersenjata
di seluruh dunia mempunyai efek api dan panas. Padahal di dalam Islam terdapat
larangan membunuh dengan api. Sabda Rasulullah SAW: “Tidak boleh menyiksa
(membunuh) dengan (menggunakan) api kecuali pemilik api (yaitu Allah SWT).”
(Hadis
Riwayat
Abu
Daud).
Kemudian
Ust-Abdullah
Azzam
menyebutkan
sebuah
ayat
Al-Qur’an
:
Artinya: “Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati,
berlaku hukum qishosh. Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, maka
seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah
dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah: 194)
dan
ayat
yang
lain:
Artinya: “Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang
sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar,
sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (An-Nahl:126).
Selanjutnya Ust. Abdullah Azzam (alm) menjelaskan bahwa dengan ayat ini maka
dibolehkan menggunakan senjata api yang sama seperti yang digunakan musuh
ketika memerangi mujahidin. Jika musuh menggunakan api untuk membunuh maka
dibolehkan menggunakan api untuk membunuh musuh (pasukan bersenjata musuh).
Begitu juga seandainya musuh menggunakan senjata api (dari berbagai jenis) maka
dibolehkan juga menggunakan peralatan yang sama. Sebab bagaimana mungkin
pedang dan tombak menghadapi senjata api dalam perang zaman modern ini? Maka
keterangan Ust. Abdulah Azzam bersesuaian dengan maksud ayat Al-Qur’an
tersebut.
Demikian
lah
yang
saya
dengar
langsung
dari
beliau.
Selanjutnya mengenai penyerangan keatas orang-orang sipil atau membunuh
mereka, menurut yang saya fahami adalah kebijakan pimpinan perang. Rasulullah
SAW adalah pemimpin negara dan panglima tertinggi pasukan Muslimin, maka beliau
mempertimbangkan matang-matang dalam memberikan perintah yang membawa
kemaslahatan peperangan bagi mengalahkan musuh. Perintah larangan membunuh
sipil seperti wanita, anak-anak, orang tua bangka, larangan memotong pohon,
membunuh binatang ternak dan lain-lain, tetap berlaku di manapun pertempuran
berlangsung. Hanya panglima tertinggi dan pemimpin negara yang boleh membuat
keputusan atau kebijakan setelah proses kajian dan pertimbangan yang matang
untuk mencapai kemaslahatan perang walau kadang terlihat melanggar aturan
larangan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW di masa pertempuran, tanpa
niyat kesengajaan. Kebijakan yang dibuat oleh Rasulullah pada masa itu adalah
dalam kapasitas beliau sebagai pemimpin tertinggi negara dan panglima perang, dan
pelaksanaannya juga dilaksanakan secara selektif.
Contoh
kisah
penebangan
pohon
Perintah Rasulullah SAW untuk menebang pohon kurma milik Bani Nadhir bukanlah
dikarenakan Bani Nadhir pernah merusak atau menghancurkan pohon kurma milik
kaum Muslimin sehingga Rasulullah SAW melakukan tindak pembalasan terhadap
sikap Bani Nadhir yang dianggap telah melampaui batas menebang pohon.
Tetapi perintah Rasulullah SAW itu adalah siasat perang untuk melumpuhkan
pasukan lawan, yang tiada cara lain kecuali dengan cara itu dapat melemahkan
mental pasukan lawan yaitu Bani Nadhir. Dan tindakan Rasulullah SAW itu
dibenarkan
oleh
Allah
SWT.
Asal kisah peristiwa itu adalah bermula ketika Ghozwah Bani Nadhir (kaum Yahudi)
yang melarikan diri dari pengejaran pasukan Muslimin pimpinan Rasulullah SAW.
Mereka melakukan persekongkolan jahat (makar) untuk membunuh Nabi
Muhammad SAW dan siap melakukan perlawanan. Bani Nadhir menjadikan
perkampungan mereka sebagai kubu pertahanan yang lengkap dengan benteng
yang kuat. Mereka menyediakan logistik yang cukup untuk sekitar setahun,
termasuk air bersih jika dikepung hingga datang bantuan pihak yang memusuhi
kaum
Muslimin
datang
membantu
mereka.
Mengingat kuatnya pertahanan Bani Nadhir dalam menghadapi pasukan Muslimin
maka Rasulullah SAW menggunakan sebuah taktik baru untuk menjatuhkan mental
mereka yang sangat sayang kepada harta benda dan ingin hidup. Sebagai pimpinan
tertinggi, juga dengan alasan kebijakan dan siasat perang, Rasulullah SAW
memerintahkan pasukan Muslimin untuk memotong pohon kurma milik Bani Nadhir
dan membakarnya sehingga timbul rasa kekecewaan pihak Bani Nadhir untuk
mempertahankan perkebunan yang dianggap sebagai harta kekayaan mereka.
Khusus tentang siasat dan tindakan Rasulullah SAW selaku pemimpin tertinggi
pasukan ini dibenarkan oleh Allah SWT. Hal itu dijelaskan di dalam Surah Al-Hasyr,
mengisahkan tentang sikap Bani Nadhir (kaum Yahudi) yang melanggar perjanjian
damai.
Artinya: “Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir)
atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (semua itu)
adalah dengan izin Allah; dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada
orang-orang
fasik.”
(Al-Hasyr:
5).
Dengan penebangan dan pembakaran pohon kurma serta lamanya menunggu
bantuan pasukan yang memusuhi kaum Muslimin, maka Bani Nadhir menyerahkan
diri dan meminta perlindungan jaminan keselamatan jiwa, serta bersedia untuk
keluar dari Madinah. Permintaan mereka kemudian diperkenankan oleh Rasulullah
SAW.
Motif asal terjadi pertempuran dengan Bani Nadhir disebabkan karena mereka-lah
yang sebenarnya telah bertindak melampaui batas dengan melanggar perjanjian
damai dan mengancam keamanan kaum Muslimin. Dengan demikian Rasulullah SAW
melakukan penyerangan terhadap mereka karena mereka telah berkhianat terhadap
perjanjian yang telah disepakati bersama. Wahyu Allah SWT kepada Rasulullah SAW:
Artinya: “Mereka tidak memelihara (hubungan) kerabat terhadap orang-orang
mu’min dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Dan mereka itulah orang-orang
yang melampaui batas.” (At-Taubah: 10).
Contoh
kisah
penyerangan
terhadap
sipil
Bani Hawazun dan Bani Tsaqif tidak pernah menyerang atau membunuh warga sipil
kaum Muslimin. Jadi sebenarnya tiada hak bagi Rasulullah SAW membalas tindakan
Bani Hawazun dan Bani Tsaqif dengan menyerang warga sipil mereka atas alasan
mereka telah melampaui batas. Tetapi sebenarnya Rasulullah lah yang telah
memulai penyerangan keatas sipil mereka namun penyerangan tersebut bukan atas
perencanaan dan kesengajaan. Secara ringkas saya kisahkan sedikit peristiwa
tersebut
yang
terjadi
pada
Ghozwah
Hunain.
Dalam Ghozwah Hunain, Bani Hawazun sengaja membawa serta anak-anak dan
isteri-isteri mereka ke medan pertempuran untuk meningkatkan moral mereka
ketika berperang. Maka tidak mustahil dan tidak dapat dielakkan ketika panah-panah
yang diluncurkan oleh pasukan Muslimin akan mengenai warga sipil yang bersama-
sama
di
dalam
pasukan
bersenjata
musuh.
Setelah berkecamuknya peperangan Hunain, pasukan Muslimin memperoleh
kemenangan, maka pasukan musuh yaitu Bani Hawazun dan kabilah-kabilah lain
yang kalah melarikan diri ke lembah Authas dan lembah Nakhlah. Sementara Bani
Tsaqif ketika melarikan diri mengarah ke Thaif, yaitu sebuah kota yang sangat kuat
benteng
pertahanannya.
Ketika Bani Hawazun dan kabilah yang lain dapat dikalahkan di lembah Nakhlah dan
Authas, kota Thaif tempat kubu pertahanan Bani Tsaqif masih tetap belum dapat
dikuasai oleh pasukan Muslimin disebabkan kuatnya perlawanan dari dalam benteng
Thaif.
Dengan menggunakan Dabbabah (seperti kenderaan pelindung pasukan yang
terbuat dari balok-balok kayu), pasukan Muslimin berlindung di bawahnya untuk
mendekati benteng pertahanan kota Thaif, tetapi Bani Tsaqif menggunakan lelehan
besi panas yang dituangkan dari atas benteng untuk membakar Dabbabah tersebut.
Dan, dengan menggunakan Manjanik (seperti ketapel berskala besar) yang berfungsi
untuk melempar batu besar. Pasukan Muslimin mengarahkan incaran ke dalam
benteng pertahanan pasukan musuh, dan memang tidak dapat dielakkan seandainya
batu besar itu akan menimpa penduduk sipil yang berada di dalam kota Thaif.
Sekali lagi penyerangan keatas warga sipil bukan atas rencana dan kesengajaan
yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Tetapi kejadian itu terjadi karena Bani Tsaqif
telah menjadikan kota Thaif yang penuh dengan warga sipil sebagai tempat
pertempuran. Warga sipil bukanlah sasaran pasukan Muslimin, namun ada
kemungkinan mereka (sipil seperti anak-anak dan wanita Bani Tsaqif) akan menjadi
korban perang karena keberadaan mereka di dalam benteng pertahanan musuh
yang diserang. Walaupun begitu, teknis Manjanik tidak terus-menerus digunakan,
karena Rasulullah menggunakan taktik perang atau siasat perang dengan
memberikan penawaran dan jaminan kepada setiap hamba sahaya (budak) yang
mau lari dari Bani Tsaqif akan dimerdekakan. Pengepungan berlangsung selama
sebulan saja setelah sedikit demi sedikit orang-orang dari Bani Tsaqif menyerah diri
dan
menerima
Islam.
Motif asal terjadinya pertempuran Ghozwah Hunain adalah dikarenakan kabilah Bani
Hawazun, Bani Tsaqif dan kabilah yang lain telah berkumpul ingin melakukan
penyerangan keatas kaum Muslimin. Akibat ancaman serangan itu Rasulullah SAAW
memimpin
pasukan
untuk
menghadapi
kabilah-kabilah
tersebut.
Sepengetahuan saya, Rasulullah SAW tidak menggunakan senjata yang bernama
Mortar untuk menghadapi Bani Hawazun sebagaimana yang ditulis oleh Imam
Samudra dalam bukunya (AMT, hal:119). Sebab, senjata Mortar belum ada pada
waktu itu, semoga ini bukanlah satu lagi kebohongan terhadap pembaca yang
disengaja.
Contoh
kisah
membunuh
wanita
Pernah Rasulullah SAW memerintahkan pasukannya untuk membunuh wanita, tetapi
wanita yang tertentu saja. Pada perang Ghozwah Bani Quraizah, setelah
pengepungan dan Bani Quraizah ingin menyerah diri pada pihak pasukan Muslimin
terjadi perundingan damai atas permintaan Bani Quraizah dan meminta Saad Bin
Mua’dz r.a yang membuat keputusan. Salah satu di antara keputusan Saad Bin
Mua’dz adalah menjatuhkan hukuman mati keatas seorang wanita yang telah
membunuh
seorang
Muslim.
Silahkan
rujuk
bab
Ghozwah.
Ketika Ghozwah Fathu Makkah di mana terdapat empat orang wanita (Hindun binti
‘Utbah, Sarah mantan budak Amer bin Hisyam, Fartanai dan Qarinah) yang
diperintahkan Rasulullah untuk dibunuh. Ini adalah karena wanita-wanita itu telah
mengobarkan semangat permusuhan terhadap Rasulullah dan Muslimin, serta
mencaci maki Islam. Tetapi ternyata pelaksanaannya hanya satu wanita saja yang
terbunuh ketika pertempuran, selain itu (tiga wanita yang lain) mendapatkan
pengampunan dari Rasulullah SAW, Hindun termasuk yang mendapatkan
pengampunan. Seandainya Rasulullah adalah seorang yang suka membunuh dan
berniat membalas dendam, sudah pasti Hindun binti ‘Utbah tidak diberikan
pengampunan karena mengingat perbuatannya membelah-belah mayat paman
Rasulullah,
Saiyidina
Hamzah,
yang
kemudian
memakan
hatinya.
Tiada rasa kebencian pada diri Rasulullah terhadap orang-orang yang memusuhinya.
Selama orang tersebut tidak menampakkan permusuhan yang dilanjutkan dengan
langkah-langkah yang nyata, maka selama itu Rasulullah akan membiarkannya
bebas dan aman walaupun orang itu bukan beragama Islam. Dan, sekiranya
Rasulullah memberikan perintah membunuh musuh Islam, maka dia akan
menyebutkan namanya dan keterlibatannya dengan jelas, tidak secara membabibuta sehingga siapa saja boleh dibunuh serta dianggap sama. Sebagai pemimpin
negara dan panglima perang, Rasulullah berkuwajiban menjaga keamanan rakyatnya
dengan
penuh
bijaksana.
Imam Samudra mengatakan bahwa larangan-larangan yang dikatakan oleh
Rasulullah SAW di medan pertempuran itu hanya berlaku terhadap pasukan musuh
atau terhadap musuh yang tidak bertindak melampaui batas, sebagaimana katanya
“Hadits-hadits tersebut menjelaskan tentang larangan melampaui batas yang
disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 190 dan hal itu berlaku ketika musuh Islam
tidak bertindak melampaui batas terhadap kaum Muslimin.” (AMT, hal: 119). Padahal
hadis-hadis tersebut bersifat umum yang berlaku untuk semua kondisi, yaitu
larangan bagi kaum Muslimin dari bersikap melampaui batas dalam berperang.
Jika benar apa yang dikatakan oleh Imam Samudra bahwa Rasulullah SAW hanya
melakukan tindakan melampaui batas karena membalas musuh yang melampaui
batas, maka bagaimana pula halnya dengan pohon-pohon kurma Bani Nadhir,
mereka tidak pernah merusak tanaman kaum Muslimin, demikian juga warga sipil
Bani Hawazun dan warga sipil Bani Tsaqif, mereka tidak pernah membunuh warga
sipil
kaum
Muslimin?
Dan malah Imam Samudra mensifatkan Rasulullah SAW dengan sewenangwenangnya membunuh wanita dan anak-anak Bani Hawazun, sebagaimana
penjelasannya “Rasulullah melakukan penyerangan terhadap kaum Bani Hawazun
dengan menembakkan mortar dan tidak membedakan target laki-laki, wanita
ataupun
anak-anak.”
(AMT,
hal:
119)
Di halaman yang sama (AMT, hal: 119) Imam Samudra mengatakan bahwa alasan
Rasulullah
SAW
melakukan
itu
karena
berdasarkan
ayat
Al-Quran;
(Terjamahan di AMT) Artinya: “barang siapa yang melampaui batas terhadap kamu,
maka balaslah serangan mereka, sebanding dengan yang mereka lakukan terhadap
kamu.”
(Al-Baqarah:
194).
Saya yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa bukan berdasarkan ayat ini terjadinya
pertempuran dengan Bani Hawazun. Menurut buku sirah yang saya baca dan pelajari
ternyata Imam Samudra menyalahi kata-katanya sendiri yaitu bagaimana mungkin
Rasulullah membalas tindakan melampaui batas Bani Hawazun padahal Bani
Hawazun tidak melakukan tindakan melampaui batas keatas kaum Muslimin.
Saya tidak ragu-ragu mengatakan bahwa Imam Samudra sangat 'serampangan'
(pinjam istilah Imam Samudra di AMT, hal. 116) menggunakan ayat tersebut (AlBaqarah: 194) sebagai dalil untuk membunuh warga sipil di Bali dengan alasan
jihad. Penyimpangan tafsir Al-Qur’an yang berakibat fatal menyesatkan orang
banyak. Arti ayat Al-Qur’an telah tercemar oleh tindakan Imam Samudra yang
mengatasnamakan dalil tersebut. Padahal apa yang dimaksudkan oleh ayat AlQur’an
tersebut
adalah
Hukum
Qishosh.
Ternyata Imam Samudra telah menyalahartikan ayat Al-Qur’an menurut hawa
nafsunya sendiri. Alasan membunuh warga sipil non-Muslim dengan dalil ayat AlQur’an tersebut (Al-Baqarah: 194) telah mencemarkan kesucian ayat tersebut dan
keadilan hukum Allah SWT, Astaghfirullah..... Dan, Imam Samudra juga telah
berburuk
sangka
dan
mencemarkan
nama
baik
Ibnu
Katsir
dengan
mengatasnamakan tafsirnya untuk membenarkan pembunuhan yang dilakukannya
terhadap orang-orang sipil di Bali. Padahal, dalam keterangan Tafsir Ibnu Katsir
tidak menyebutkan penjelasan dibolehkan membalas dengan melaksanakan hukum
Qishosh terhadap selain pelaku. Ibnu Katsir tidak menyebutkan bahwa kejahatan
yang sama diperlakukan terhadap jenis sasaran yang sama (sipil dengan sipil).
Tetapi yang benar adalah perbuatan yang sepadan dilakukan terhadap pelaku
kejahatan tersebut sebagai hukuman kepada pelaku. Itupun yang melaksanakan
hukum itu adalah korban atau walinya, dan jika korban memaafkan pelaku, maka
hukum Qishosh otomatis gugur dilaksanakan. Hukuman atas kejahatan hanya
diperlakukan terhadap pelaku kejahatan, jika hukuman tersebut dijatuhkan kepada
selain pelaku maka itu berarti telah melampaui batas hukum Allah SWT yang adil.
Tetapi Imam Samudra dengan tegasnya menyatakan, bahwa korban tewas dari
kalangan sipil di Bali adalah 'reaksi seimbang', sebagai balasan (Qishosh) untuk
korban sipil Muslim di seluruh dunia, sesuai dengan ayat Al-Qur’an. (AMT, hal. 143).
Astaghfirullah! Mahasuci Allah dari apa yang mereka (Imam Samudra) sifatkan!!!
Tafsir Qurtubiy menjelaskan tentang hukum Qishosh bahwa kemaksiatan tidak
dibalas dengan kemaksiatan, seperti kebohongan tidak dibalas dengan kebohongan.
Dengan begitu juga sama artinya jika kezaliman adalah praktek kemaksiatan, maka
berarti tidak boleh kezaliman dibalas dengan kezaliman. Dan seandainya
pembunuhan orang-orang sipil Muslim juga adalah sebuah praktek kemaksiatan,
maka tidak boleh juga pembunuhan sipil dibalas dengan pembunuhan sipil. Biarlah
orang lain (musuh) yang berbuat kemaksiatan, namun kita sebagai umat Islam tetap
dengan
batas
serta
aturan
yang
telah
Allah
SWT
syariatkan.
Seumpama keluarga kita dibunuh dengan tanpa hak, maka kita tidak boleh
membalas terhadap keluarga pelaku, tetapi kita menuntut hukum pembalasan
(Qishosh) dilaksanakan hanya terhadap pelaku saja. Karena, jika kita membalas
membunuh keluarga pelaku maka itu berarti kita telah membunuh tanpa hak
(menghakimi sendiri) dan masuk ke dalam kategori melampaui batas ketentuan
(hukum) Allah SWT. Yang salah adalah si pelaku, bukan keluarganya. Dosa pelaku
tidak turun kepada keluarganya atau bangsanya. Inilah keadilan yang dituntunkan
dalam Islam. Jika kita telah berlaku adil terhadap sesama umat manusia, maka
berarti
kita
telah
melaksanakan
dakwah
Islam
dan
bertakwa.
Peringatan
Allah
SWT
termaktub
di
Al-Quran:
Artinya: “(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang
lain.”
(An-Najm:
38).
Artinya: “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa
yang
kamu
kerjakan.”
(Al-Maaidah:
8).
Sungguh Imam Samudra adalah orang yang telah melampaui batas dengan
melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang tidak melakukan kezaliman. Aksi
pembomannya itu telah melampaui batas hukum Allah SWT terhadap hamba-hambaNya, makhluk ciptaaan-Nya di muka bumi ini. Pemboman di Bali telah
mengorbankan sekian banyak jiwa yang tidak mengerti akan apa yang dilakukan
oleh Amerika dan sekutunya di Afghanistan, Iraq dan tempat-tempat lain. Patutkah
mereka (orang-orang sipil) yang bukan pelaku menerima hukuman Qishosh atas
kesalahan
orang
lain
????
Inilah peringatan dari Allah SWT terhadap orang yang bertindak melampaui batas
ketentuan
hukum
Allah
SWT
:
Artinya: “Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orangorang
yang
zalim.”
(Al-Baqarah:
229).
Artinya: “dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka
sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.” (At-Thalaq: 1).
Bom
Bali
buatan
aktivis
masjid
dan
ustaz?
Menurut Imam Samudra bahwa Bom Bali adalah salah satu operasi yang
direncanakan dan dilaksanakan dalam rangka berperang. Masih banyak orang yang
tidak percaya bahwa Bom Bali yang dahsyat itu dilakukan oleh Imam Samudra dan
kawan-kawannya. Tetapi, bagi orang-orang yang pernah mengenali Imam Samudra
dan kawan-kawannya, itu pasti mengetahui dan tidak meragukan akan kemampuan
mereka.
Seperti yang diakui oleh Imam Samudra serta teman-teman yang sefaham
dengannya bahwa Bom Bali memang dirancang dan dipersiapkan bertujuan
memerangi Amerika dan sekutunya. Ust. Mukhlas sendiri pada sekitar antara tanggal
20 dan 23 Oktober 2002 mengaku kepada saya bahwa dia dan adik-adiknya yang
melakukan aksi Bom di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002. ketika itu saya sedang
bersilaturrahmi menemui adik saya (istrinya) di rumah kontrakannya di Gresik
Surabaya. Saya sempat bingung memikirkan nasib dan keselamatan adik saya,
tetapi Ust. Mukhlas minta saya tidak usah berfikir tentang dirinya walaupun saya
menawarkan
bantuan
tempat
untuk
adik
saya.
Malah Imam Samudra mensyukuri hasil bom yang mereka ledakkan di Bali sesuai
efek kerusakan yang diinginkan. Seperti katanya, “Maka terjadilah apa yang telah
terjadi” (AMT, hal: 120). Banyak kata-kata Imam Samudra yang mengarah kepada
pengakuannya atas peristiwa Bom Bali yang terencana, tetapi di sini hanya beberapa
patah kata yang saya kutip dari bukunya (AMT), antara lain:
“Bom Bali adalah satu di antara perlawanan yang ditujukan terhadap penjajah
Amerika dan sekutunya.” (AMT, hal: 115).
“12 Oktober 2002, Alhamdulillah, terjadi serangan berikutnya terhadap Uncle
SAM dan gerombolannya di Bali.” (AMT, hal: 94).
“Coretan-coretan berikut barangkali dapat membantu memahami konsep
jihad yang kuyakini sehingga terlahirlah peristiwa jihad di Bali.” (AMT, hal:
107).
“nyatalah bahwa target homogen terbesar didapati di Bali, tepatnya di Sari
Club dan Paddy's Pub. Maka terjadilah apa yang telah terjadi.” (AMT, hal:
120).
“Jawaban yang sama akan diperoleh dariku jika seseorang atau banyak orang
bertanya kepadaku tentang peperangan yang telah aku dan kawan-kawanku
lakukan di Sari Club dan Paddy’s Pub.” (AMT, hal: 196).
Orang yang tidak mengetahui cara pembuatan bom dan tidak tahu sifat-sifat bahan
yang digunakan, apalagi kadar kekuatan bahan peledak asli atau bahan kimia yang
telah diracik, dan tidak tahu latar belakang Imam Samudra dan kawan-kawannya,
maka pasti akan timbul berbagai kecurigaan dan rasa tidak percaya bahwa Bom Bali
telah direncanakan, dipersiapkan, dan dilaksanakan di Bali oleh 'aktivis masjid',
pendakwah Islam dan para guru pondok pesantren, yaitu Imam Samudra dan
kawan-kawannya yang juga sudah diadili (Ust. Mukhlas alias Ali Ghufran, Ust. Alek
alias Ali Imran, Ust. Bara alias Mubarak, Ust. Idris alias Gembrot, Ust. Sawad, Abdul
Ghoni dan Ust. Hernianto). Kata Imam Samudra “Berhentilah memanggilku Ustaz.”
(AMT,
hal:
202).
Wajar saja bagi orang yang tidak percaya ustaz atau guru pondok mampu buat bom
yang biasanya diketahui hanya memegang Al-Qur’an, kitab, dan mengajar mengaji.
Ternyata mereka adalah ustaz yang berusaha untuk mengamalkan keyakinan
mereka tentang makna dari perintah ayat Al-Qur’an. Padahal mereka mengamalkan
ayat tersebut dengan implementasi yang keliru, menuruti hawa nafsu mereka
sendiri. Wajar saja kalau seorang ustaz atau aktivis masjid berbuat salah, karena
mereka juga adalah seorang manusia biasa. Atau apakah mereka tidak mungkin
berbuat
salah??
Menurut salah satu media di Indonesia yang memuat pernyataan Imam Samudra
bahwa dia kaget dan tidak menyangka ketika mengetahui akibat dari kekuatan bom
tersebut. Bagaimana Imam Samudra bisa kaget ketika mengetahui begitu
dahsyatnya kerusakan yang terjadi akibat bom yang dibuatnya? Mungkin Imam
Samudra sengaja mengalihkan perhatian dengan menyatakan rasa tidak percaya,
bahwa bom yang dibuatnya dapat memberi efek yang sedemikian rupa. Memang,
Imam Samudra sendiri tidak pernah punya pengalaman tempur di Afghanistan, dan
tidak pernah melihat efek ledakan bom atau rudal yang sekaliber Bom Bali, karena
dia tidak pernah ikut pertempuran di Afghanistan dan tidak dapat menyelesaikan
pendidikannya di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan. Sampai-sampai ada di
antara beberapa orang yang terkenal mengatakan bahwa Bom Bali itu tidak mungkin
dilakukan oleh Imam Samudra dan kawan-kawannya, aktivis masjid, orang yang
tidak berpendidikan tinggi, dan lain-lain lagi analisa yang tidak mungkin, yang
semuanya
serba
kemungkinan.
Apakah ada kepentingan lain di balik pernyataan itu? Apakah ada maksud di balik
pernyataan itu dengan menganalisa ketidak-mungkinan itu semua? Bahkan, ada
yang mengatakan bahwa itu adalah 'mikro nuklir', intervensi dari pihak luar, tanpa
pembuktian dengan diadakan pengujian bahan kimia di laboratorium, hanyalah
omong kosong bertujuan membentuk opini publik dan menyesatkan umat.
Pengamatan mata bisa salah, tetapi pemeriksaan di laboratorium adalah fakta.
Ada seorang pengacara juga mengatakan bahwa dia masih tidak percaya bahwa
Bom Bali adalah hasil kerja tangan Imam Samudra. Padahal isi buku (Aku Melawan
Teroris) itu sudah cukup jelas memuat pengakuan Imam Samudra. Belum lagi
pengakuan para pelaku Bom Bali yang lain di persidangan yang memiliki latar
belakang pengalaman di medan konflik bersenjata. Kalau pengakuan para pelaku
saja tidak cukup untuk meyakinkan, maka apakah perlu para pelaku itu membuat
bom dan meledakkannya lagi? Mungkin kalau keluarga pengacara itu yang menjadi
korban
bom,
barulah
akan
percaya.
Sungguh
mengherankan
sekali.
Wallahu
'alam
bis
showab.
Untuk
membuat bom tidaklah sulit. Banyak orang yang tidak pernah ke tempat
konflik juga mampu membuat bom. Besar atau kecil bom tergantung kepada
kemampuan fasilitas, dana, personel, tujuan, dan niat. Pasti di antara kita ada yang
pernah mendengar di Indonesia, nelayan membuat bom untuk mencari nafkah
dengan meledakkan sungai atau laut dan ada juga yang mengkomersilkan bom
buatan tangan. Dan, pasti kita pernah membaca atau mendengar berita seorang
anak putus jari atau buntung tangannya karena petasan buatan sendiri. Pernah juga
ada berita di Indonesia, seorang suami mengebom isterinya di rumah yang dituduh
telah berbuat selingkuh, dan macam-macam lagi. Membuat bom dan meraciknya
tidak ada bedanya dengan membuat kue (istilah 'kue' panggilan untuk bom, dipakai
oleh pelaku Bom Kuningan) untuk makan sendiri, jualan, atau menjamu tamu.
Sebelum kue siap terhidang perlu langkah-langkah persiapan bahan, peralatan,
menimbang sukatan (yaitu takaran, sesuai besar atau kecil bentuk yang diinginkan)
dan cara menguli adonan yang benar. Oleh karena itu, membuat bom tidaklah
sesulit yang dibayangkan orang, asal ada keinginan dan kesempatan.
Kekuatan ledakan bom dan efek penghancuran tergantung kepada; jenis bahan
peledak atau bahan kimia yang digunakan (kualitas bahan baku dan atau kualitas
racikan), kuantitas bahan yang digunakan, efek yang dikehendaki (dilengkapi
shrapnel/serpihan terlempar atau tanpa shrapnel seperti efek bakar), sekitar calon
penempatan
bom
(bangunan
atau
lapangan).
Sebagai ilustrasi, sebuah granat tangan buatan pabrik yang berbentuk nanas,
kurang lebih sebesar telur bebek, dan berisi bahan peledak (standar TNT). Dengan
berat sekitar 350 gr dan 400 gr, granat memiliki radius bahaya (mematikan) jika
terkena serpihan atau terlempar sekitar 20 hingga 25 meter. Menurut pengakuan
para pelaku Bom Bali, bahan peledak yang dimuat di mobil L300 seberat sekitar 950
kg atau mendekati 1 ton. Dipersiapkan untuk membom, seperti yang diperagakan
salah seorang pelaku Bom Bali, Ust. Ali Imran, teman Imam Samudra sendiri. Hal itu
dibenarkan oleh Imam Samudra, “Maka terjadilah apa yang telah terjadi.” di Bali
akibat
bom
yang
sebesar
itu.
Sepengetahuan saya sebuah warhead (hulu ledak rudal) yang kecil paling minim
berisikan bahan peledak seberat 500 kg yang dibawa oleh sebuah rudal (roket),
sementara bahan peledak (Bom Bali) yang beratnya hampir 1 ton ini dibawa oleh
sebuah mobil L300. Begitu juga bahan peledak untuk Bom di depan kedutaan
Australia sekitar 500 kg. Maka bagi sesiapa yang tidak pernah melihat ledakan bom
atau bahan peledak yang sebesar itu pasti akan terheran-heran dengan gumpalan
asap yang menyerupai gumpalan asal rudal. Mudah-mudahan tidak ada orang atau
pihak yang cuba membodoh-bodohkan masyarakat dengan mengatakan gumpalan
asap yang seperti itu pasti adalah sebuah rudal apalagi nuklir tanpa alasan dan bukti
yang jelas. Tiada beda bentuk ledakan dua buah bom yang sama beratnya (contoh)
yang masing-masing dibawa oleh alat yang berbeda, yaitu yang satu dibawa oleh
rudal
sementara
yang
satu
lagi
dibawa
oleh
mobil.
Sekarang mari kita bayangkan, apakah tidak sebanding jumlah bahan peledak yang
digunakan jika melihat radius kerusakan di Sari Club, Paddy's Pub dan sekitarnya di
Legian Bali? Apakah tidak sebanding juga kerusakan yang terjadi di Kuningan
terhadap bangunan-bangunan yang berada di depan kedutaan Australia? Mereka
memahami sifat-sifat serta kekuatan bahan peledak yang dimiliki dan bahkan tahu
cara membuat bom sehingga mereka juga mampu menakar bahan-bahan peledak
yang dibutuhkan untuk efek kerusakan yang dikehendaki. Kata Imam Samudra
“Maka terjadilah apa yang telah terjadi.” (AMT, hal: 120), sesuai dengan yang
diniyatkan dan direncanakan.
Militer
dan
sipil
Amerika,
sasaran
Bom
Bali
Banyak keterangan Imam Samudra tentang alasan pemboman di Bali. Namun,
semua keterangannya membuat saya meragukan kejujuran alasan Imam Samudra
tersebut, memerangi Amerika dan sekutunya. Padahal keterangan yang diberikan di
dalam bukunya (AMT), semua sudah cukup memberi kesan bahwa Imam Samudra
memerangi non-Muslim, sampai-sampai harus memaksa mereka menerima Islam.
Terlebih lagi bukti keterlibatan Imam Samudra dalam aksi pemboman di berbagai
tempat
sebelum
peristiwa
Bom
Bali.
Dengan sekian kali terlibat dalam aksi pemboman di berbagai sasaran di Indonesia,
menunjukkan bahwa Imam Samudra bukan hanya membenci serta memerangi
Amerika dan sekutunya, yang menyerang Afghanistan, Iraq, dan tempat lain,
melainkan juga terbukti sangat membenci umat Kristen dan non-Muslim yang lain.
Alasan saya, setidaknya itu terbukti dengan peristiwa pemboman malam Natal tahun
2000 yang dilakukan oleh Imam Samudra dan teman-temannya di Batam dan Pekan
Baru. Pada hari dan waktu yang sama, di tempat lain di seluruh Indonesia juga
terjadi pemboman serupa dan gereja yang menjadi sasaran. Kejadian Bom malam
Natal secara bersamaan waktunya itu menunjukkan adanya unsur kesepakatan dan
kesengajaan yang direncanakan oleh Imam Samudra dan kawan-kawannya yang
pada waktu itu juga bersama Hambali, dengan keyakinan yang sama pula. Dia
mengetahui persis peristiwa itu dan menamainya “Operasi Jihad Natal 2000” (AMT,
hal:
188).
Sekitar tahun 2002, Imam Samudra juga pernah melakukan aksi perampokan di
toko emas milik warga non-Muslim di Serang, Banten, dengan alasan membolehkan
merampas harta milik orang Kafir (non-Muslim). Harta benda hasil rampokan dari
non-Muslim itu mereka sebut Fa’i yang berarti ‘Harta Rampasan Perang’. Padahal Fa’i
dalam syariat Islam diperoleh bukan dengan cara merampok. Ini tentu merupakan
salah
satu
bentuk
penyelewengan
istilah
syariat
Islam.
Saya tak habis pikir dengan kemampuan Imam Samudra yang mengatakan bahwa
seluruh turis, wartawan, dan lain-lain yang datang ke Indonesia adalah militer
Amerika dan sekutunya. Bagaimana cara dia mengumpulkan informasi sehingga
dengan mudah langsung menetapkan bahwa ‘bule’ yang ada di Bali adalah militer?
Seperti anak-anak kecil yang hanya mengenali kulit kemudian langsung menganggap
mereka semua sama, orang Barat. Saya juga tidak percaya seandainya ada orang
yang mengatakan kalau Imam Samudra menggunakan bantuan para supranatural
untuk menentukan ‘bule’ (turis) itu adalah militer. Dan tidak mungkin, sebab Imam
Samudra
berfaham
salafi.
Ternyata Imam Samudra hanya mampu berandai-andai berdasarkan informasi
burung dengan mengatakan “Bisa saja mereka menyamar sebagai turis biasa,
wartawan,
bussinessman,
pelajar,
dan
lainnya.”
(AMT,
hal:
136).
Imam Samudra barangkali lupa dengan peringatan Allah SWT yang menjelaskan
kedudukan berprasangka dalam Islam, sebagaimana termaktub di dalam Al-Quran:
Artinya: “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja.
Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai
kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.”
(Yunus:
36).
Sesuatu yang diperoleh dengan persangkaan sama sekali tidak bisa menggantikan
sesuatu
yang
diperoleh
dengan
keyakinan.
Jika demikian, mungkinkah Imam Samudra seorang yang ceroboh, tanpa
mengetahui dengan jelas identitas dan pekerjaan seseorang langsung menganggap
seseorang itu militer, baik lelaki maupun wanita? Bagaimana pula dengan anakanak?
Bahkan sebenarnya Imam Samudra bukan hanya ceroboh, tetapi dengan sengaja
mengarahkan sasaran pemboman yang dilakukannya bersama teman-temannya di
Bali, yang memang ditujukan kepada orang sipil non-Muslim! “Maka memerangi
warga sipil (kalau memang benar sipil) dari bangsa-bangsa penjajah adalah tindakan
yang
wajar
dilakukan.”
(AMT,
hal:
116).
Jadi, mengapa Imam Samudra berbohong dan tidak langsung saja mengatakan
bahwa dia bersama teman-temannya melakukan pemboman di Bali adalah karena
sedang berperang memerangi orang yang dianggap mereka musuh permanen, yaitu
non-Muslim secara keseluruhan? Dengan demikian, jawabannya menjadi lebih jelas
sebab musabab dilakukan aksi pemboman selama ini, dan tidak perlu berbohong
dengan beralasan bahwa sasaran pembomannya adalah Amerika dan sekutunya.
Apakah alasan Imam Samudra tersebut sekadar ingin meraih simpati umat Islam
setelah melihat penyerangan yang telah Amerika dan sekutunya lakukan terhadap
Afghanistan, Iraq, dan di tempat-tempat lain? Ataukah dia ingin mengalihkan
perhatian umat Islam dan umat manusia secara keseluruhan terhadap kezaliman
yang dilakukannya dengan mengajak umat Islam membenci Amerika dan sekutunya
yang berbuat zalim? Sekecil apapun kezaliman yang dilakukan Imam Samudra tetap
merupakan
kezaliman
yang
dilarang
dalam
Islam
dan
berdosa.
Imam Samudra juga tidak perlu beralasan dengan berbagai macam dalil yang
dianggapnya membolehkan membunuh warga sipil, wanita, anak-anak dan orang
tua, dll. Karena menurut faham yang dianut oleh Imam Samudra, siapa saja yang
tidak memeluk agama Islam harus diperangi dan dibunuh tanpa perlu disampaikan
dakwah. Sungguh kebencian dan permusuhan yang ada pada dirinya tanpa dasar
dan
alasan.
Astaghfirullah!
Allahummahdinaa
Astaghfirullah!
ila
sirothikal
Astaghfirullah!!!
mustaqiim!!
Peringatan
Allah
SWT
yang
termaktub
di
dalam
Al-Qur’an:
Artinya: “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa:
barangsiapa yang membunuh seorang manusia (satu jiwa), bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi,
maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang
memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara
kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka
rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian
banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam
berbuat
kerusakan
di
muka
bumi.”
(Al-Maaidah:
32).
Hadis riwayat Anas ra.: Dari Nabi SAW tentang dosa-dosa besar, beliau bersabda:
“Menyekutukan Allah, mendurhakai kedua orangtua, membunuh manusia dan
persaksian
palsu.”
(Hadis
Sohih
Bukhari
dan
Muslim)
Jika saya bertanya kepada pembaca, apakah orang-orang non-Muslim yang berada
di Bali itu memerangi Islam dan kaum Muslimin? Apakah mereka telah melampaui
batas sehingga harus dibalas? Atau, apakah orang-orang non-Muslim di Bali itu
sedang mengadakan persiapan kekuatan kemiliteran di Bali untuk menyerang kaum
Muslimin?
Tentu jawaban pembaca adalah tidak dan tidak tahu karena tidak melihat bukti yang
nyata yang dilakukan oleh orang-orang sipil non-Muslim itu.
Bom
Istisyhadah
Kekeliruan Imam Samudra dan teman-temannya dalam menentukan sasaran dan
status 'perang' melawan musuh Islam di Bali tidak bisa disamakan dengan berperang
di medan perang. Karena itu, teman Imam Samudra yang berada di dalam mobil
pengangkut bom dan yang menggunakan bom ransel yang kemudian semuanya juga
menjadi korban tewas, tidak dapat dikatakan melaksanakan praktek isytisyhadah
atau istimaata. Meski niatnya benar untuk mati syahid, namun karena cara
pelaksanaannya salah, maka tetap salah. Mereka juga tidak dapat memenuhi
persyaratan terkabulnya Amal, yaitu ikhlasun niyah (niat yang ikhlas) dan
Mutaba’atu
rasul
(mengikuti
contoh
Rasulullah).
Wallahu
a'alam.
Istilah istimaata berasal dari bahasa Arab, diambil dari kata maata - yamuutu yang
berarti dia mati. Apabila kata tersebut ditambah dengan alif, sin dan ta’ maka akan
berbunyi istamaata – yastamiitu - istimaata yang berarti meminta mati atau
menjadikan mati, sementara isytisyhadah berarti menjadi mati syahid. Istimaata
atau isytisyhadah adalah permintaan dari anggota pasukan (perajurit) kepada
pimpinannya untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang muncul dalam
menghadapi musuh. Dengan mengorbankan dirinya, si prajurit memperkirakan akan
memberikan peluang kemenangan bagi pasukannya. Tetapi itupun setelah
dipertimbangkan oleh pimpinan dan menurut hematnya tidak ada cara lain yang
dapat
digunakan
untuk
meminimalisasi
risiko
pasukannya.
Dua orang yang terlibat dalam Bom Bali itu, menurut Imam Samudra dan kawankawan adalah mati syahid. Tentu, kebenaran hal itu masih dipertanyakan. Bukankah
tak satu orang pun yang dapat menjamin dirinya atau siapa saja yang mati akan
masuk syurga. Dikisahkan, sewaktu Sayyidina Umar Al-Khattab r.a nazak, ia
berbaring menangis menunggu detik-detik ajalnya. Lalu, seseorang yang
mendampinginya menanyakan mengapa beliau menangis. Umar r.a menjawab:
“Apakah
amalku
akan
diterima
oleh
Allah
SWT?”
Sebagai khalifah dan sahabat Nabi yang termasuk dijanjikan syurga oleh Nabi
Muhammad SAW, Sayyidina Umar masih mempertanyakan tentang amal kebaikan
yang dilakukannya di dunia. Betapa mulianya akhlak Sayyidina Umar r.a yang
meyakini syurga dan neraka ditentukan oleh Allah SWT. Tak ada yang dibawa oleh
seseorang ketika maut menjemput, kecuali amalnya sewaktu hidup. Jika amal
kebaikannya diterima oleh Allah SWT maka berbahagialah dia di syurga dan
seandainya amalnya ditolak oleh Allah SWT maka celakalah dia di dalam neraka.
Sungguh manusia tak sedikit pun memiliki pengetahuan apalagi menjamin seseorang
masuk syurga. Kita hanya diperintahkan untuk berbuat amal kebaikan sebanyakbanyaknya selama hidup, sedangkan penentuan syurga atau neraka adalah milik
Allah
SWT.
Siapakah yang dapat menjamin seseorang yang mati langsung masuk syurga?
Hanya Rasulullah SAW saja yang pernah langsung menyebut nama di antara
kalangan sahabatnya yang akan masuk syurga. Hanya Rasulullah lah yang diberikan
Allah SWT kemampuan serta mukjizat. Sementara sebagai manusia biasa, kita tidak
mampu menjamin diri sendiri masuk syurga. Bagaimana kita dapat menjamin orang
lain masuk syurga? Kita hanya mampu berharap dimasukkan ke dalam syurga dan
berharap
amal
kebaikan
kita
diterima
oleh-Nya.
Dikisahkan, seorang dari pasukan Muslimin tewas dalam pertempuran. Para sahabat
mengatakan orang tersebut mati syahid dan akan menjadi penghuni syurga. Namun,
Rasulullah SAW mengatakan orang tersebut bakal menghuni neraka karena niatnya
yang tidak benar, meski dia tampak berjihad bersama Nabi Muhammad SAW.
Dilihat dari sisi kacamata kemiliteran, jika memang Imam Samudra menganggap
mereka sedang berperang, maka saya katakan anggapan itu Salah. Begitu juga
kondisi dan kesempatan yang ada pada waktu itu tidak memenuhi kualiflkasi untuk
membenarkan dua orang temannya melaksanakan praktek bom bunuh diri. Imam
Samudra dan kawan-kawannya tega membiarkan kedua temannya, Isa dan Iqbal,
menjadi korban bom yang tak sebanding dengan kemaslahatan yang diperoleh.
Secara teknis, dalam meledakkan bom sebenarnya masih ada cara lain yang lebih
aman bagi anggota timnya sehingga dapat menghindari jatuhnya korban tewas. Jika
itu dilakukan, tak akan ada korban tewas bunuh diri di antara mereka, seperti Iqbal
dan Isa pada Bom Bali, Asmar Latin Sani pada Bom Hotel JW Marriott, dan Heri
Gulun pada Bom Kuningan. Namun, tak perlu saya sampaikan cara-cara
pelaksanaannya sebab saya tidak setuju Bali dijadikan 'medan perang' sehingga
orang-orang sipil menjadi sasaran. Begitu juga dengan pemboman Hotel JW Marriott
dan di depan kedutaan Australia, Jakarta, dan juga aksi bom di tempat umum yang
lain,
saya
tidak
setuju.
Di antara contoh istimaata yang pernah dilakukan oleh para Sahabat adalah Baro'
Bin Malik ra, yaitu pada saat terjadinya pertempuran Yamamah. Melihat pasukan
Muslimin dalam kesulitan, Baro' Bin Malik meminta dilemparkan dengan
menggunakan Manjanik, alat pelempar, ke dalam benteng pertahanan musuh agar
dapat membuka pintu gerbang benteng dari dalam, meski itu sangat membahayakan
keselamatan
dirinya.
Keputusan Baro' Bin Malik itu tidak berdasarkan inisiatifnya pribadi, tetapi atas
pertimbangan dari pasukan Muslimin. Setelah mempertimbangkan kemampuan fisik
dan tempur yang dimiliki Baro' Bin Malik dan keuntungan militer yang akan
diperoleh, pimpinan pasukan membolehkan hal itu dilakukan. Dan, ternyata
sesampainya di dalam benteng musuh, ia mampu menghadapi lawan dengan satu
tangan sementara tangan satunya lagi membuka pintu gerbang. Dengan demikian
pasukan Muslimin dapat memasuki benteng pertahanan musuh dan memenangkan
pertempuran.
Dari kisah di atas, setidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan sebelum
mengambil keputusan membenarkan anggota pasukan untuk melakukan istimata
terhadap pasukan bersenjata musuh, yaitu: Kemampuan fisik dan keterampilan
anggota pasukan itu. Memperkirakan kemungkinan-kemungkinan akibat yang timbul
dan hasil yang diperoleh setelah dilaksanakan aksi istimata itu. Apakah memberikan
manfaat yang lebih besar kepada pasukan ataupun hanya mendapatkan keuntungan
kecil saja dibandingkan dengan harus kehilangan jiwa anggota pasukannya. Jika
keadaan memang sangat mendesak harus melakukan istimaata dan tidak cara lain.
Seorang komandan perang harus senantiasa menjaga sikap security (pengamanan)
pada saat di lapangan dan pertempuran. Tindakan pengamanan itu harus meliputi
informasi, perlengkapan perang, dan anggota pasukan. Pengamanan terhadap
anggota pasukan yaitu tidak akan membiarkan mereka menjadi korban tewas dalam
pertempuran atau menjadi tawanan musuh. Kecuali dalam kondisi tertentu dan
diperlukan pengorbanan anggota pasukan sehingga dapat menyelamatkan pasukan
yang lebih banyak atau untuk menyelamatkan rakyat. Terkadang, pada prakteknya
di lapangan ada di antara anggota pasukan yang sudah ingin mati syahid. Sebagai
contoh, Rasulullah SAW pernah mengizinkan beberapa orang tertentu saja, bukan
kepada
keseluruhan
pasukan,
untuk
melakukan
istimaata.
Ketika terjadi perang Mu’tah, Kholid Bin Walid adalah seorang Sahabat Nabi yang
pertama kali menjadi komandan perang pasukan tempur Muslimin. Pengangkatan
Kholid Bin Walid bukan dilantik oleh Nabi Muhammad SAW, tetapi diangkat oleh para
Sahabat di medan pertempuran setelah tewasnya ketiga komandan yang dilantik
oleh Rasulullah SAW di Madinah, sebelum berangkat ke medan perang.
Kebijakan pertama dan utama yang diputuskan oleh Kholid Bin Walid setelah
menerima mandat tersebut dari para Sahabat adalah menarik pasukan Muslimin
mundur kembali ke Madinah. Hal ini mengingat telah banyaknya jatuh korban dari
pasukan Muslimin dan juga banyaknya yang terluka. Pasukan berhasil dibawa
kembali ke Madinah dengan selamat tanpa sepengetahuan pasukan musuh.
Setibanya pasukan di Madinah, kaum Muslimin mencela dan menghina mereka yang
dianggap telah melarikan diri dari medan pertempuran. Kecuali Rasulullah SAW yang
membenarkan tindakan Kholid Bin Walid itu dan langsung digelari Saifullah, yang
berarti
pedang
Allah.
Pelajaran yang bisa kita petik dari kisah tersebut adalah, jika mati menjadi tujuan
perang dan mati syahid menjadi keinginan pasukan Muslimin, mengapa Kholid Bin
Walid membawa pasukan Muslimin mundur ke Madinah dan tidak meneruskan
perang saja sehingga mereka seluruhnya mati syahid? Bukankah para Sahabat
sangat memahami fadhillah syuhada (keistimewaan mati syahid)? Tentu, semuanya
itu karena mati bukanlah tujuan perang, tetapi keberanian dan siap matilah yang
diperlukan
dalam
berperang.
Praktek yang dilaksanakan Imam Samudra dan kawan-kawannya bukanlah praktek
yang dibenarkan dalam Islam, sangat jauh jika ingin dimirip-miripkan dengan
langkah yang ditempuh para Sahabat, malah berlawanan. Pasalnya, para Sahabat
melakukan isytihadah (menjadi mati syahid) terhadap musuh yang bersenjata
lengkap di medan pertempuran. Perhatikan contoh yang diberikan Imam Samudra,
semuanya dalam suasana peperangan yang terjadi antara dua pasukan lengkap
bersenjata.
Contoh peristiwa yang Imam Samudra uraikan dalam bukunya (AMT, hal: 175-179)
adalah kisah pertempuran di medan peperangan, seperti:
AMT, hal: 175, tentang kisah Ibnu Syaibah dalam Al Mushannif, yaitu
mengisahkan seorang lelaki yang menerobos masuk berkali-kali ke sejumlah
pasukan lawan yang bersenjata.
2. AMT, hal: 175, tentang kisah Imam Tarmidzi, Abu Daud, Al Hakim, dan Ibnu
Hibban, yaitu mengisahkan bagaimana seorang perajurit pasukan Muslimin
menyerbu sendirian ke pasukan Romawi.
3. AMT, hal: 179, tentang kisah Baro' Bin Malik r.a. yang dilemparkan ke dalam
benteng musuh di perang Yamamah.
4. AMT, hal: 178, tentang Hadis riwayat Ibnu Abi Syaibah yang mengisahkan
Muadz Bin Ufra r.a. yang menanggalkan pakaian perang (baju besi) ketika
menyerbu ke pasukan musuh.
1.
Semua kisah tersebut adalah sebagian dari contoh peristiwa yang dialami para
Sahabat Nabi di medan peperangan. Bagaimana mungkin contoh-contoh itu
digunakan sebagai model yang dapat diikuti di masa kini, bukan di medan
peperangan. Terlebih yang diserang adalah masyarakat awam, lemah, dan tidak
bersenjata.
Perbuatan Imam Samudra telah melampaui batas dan mencemarkan nama baik para
Sahabat Nabi. Padahal para Sahabat r.a adalah orang-orang pemberani di medan
pertempuran menghadapi pasukan bersenjata. Sementara Imam Samudra dan
teman-temannya hanya berani secara sembunyi menyerang di tengah pasar orang
sipil yang lemah dan tak bersenjata. Sungguh malu dan memalukan!! Wallahu
a'alam.
Pasukan Muslimin yang berangkat ke medan pertempuran, pada umumnya adalah
orang-orang yang sudah siap menerima risiko apapun, termasuk mati. Namun, jika
ada di antara mereka yang lemah mental dan tidak siap tempur, Nabi Muhammad
SAW membangkitkan semangat mereka dengan mengingatkan bahwa Allah SWT
berjanji akan menempatkan para syuhada di syurga-Nya. Kisah ini sama sekali
bukan untuk melecehkan Sahabat Nabi, karena bagaimanapun mereka juga manusia
biasa yang mempunyai perasaan berani dan takut (baca sirah Nabi dan Hayatus
Sohabah).
Di antara Sabda Nabi Muhammad SAW ketika membangkitkan semangat tempur
para
Sahabat
di
medan
pertempuran,
seperti:
“Bangunlah menuju Syurga yang luasnya seluas langit-langit dan bumi.” (Hadis
Sohih
Riwayat
Muslim).
“Ketahuilah sesungguhnya Syurga itu di bawah bayang-bayang Pedang.” (Hadis
Sohih
Riwayat
Bukhori).
“Kamu di Syurga.” (Hadis Sohih Riwayat Bukhori dan Muslim dari Jabir), perkataan
Rasulullah SAW itu adalah ketika menjawab seorang yang menanyakan posisinya
jika
dia
terbunuh
di
pertempuran.
Di kala Allah SWT melihat tangan hamba menebas (musuh) ke sana ke mari dalam
suatu pertempuran tanpa memakai baju besi.” (Riwayat Ibnu Ishaq dalam kitab AlMaghaziy
dari
Ashim
bin
‘Umar
bin
Qotadah).
Cerita ini mengisahkan Auf bin al-Harits ketika Ghozwah Badar bertanya kepada
Rasulullah tentang apa yang membuat Allah SWT tertawa melihat hamba-Nya yang
sedang berperang. Setelah mendengar jawaban Nabi SAW dia membuang baju
besinya
dan
langsung
menyerang
musuh
hingga
mati
syahid.
Dalam sebuah peperangan, diperlukan sejumlah perajurit pemberani yang mampu
menerobos ke pertahanan lawan. Dengan demikian akan dapat menambah
semangat tempur pasukan secara keseluruhan. Dan, pemberian semangat di medan
pertempuran dapat membangkitkan serta memperkuat keyakinan seseorang
sehingga dia bangkit untuk maju bertempur demi mencapai kehidupan yang lebih
baik. Keinginan masuk syurga mampu mendorong anggota pasukan sehingga berani
dan siap mati-matian menyerang meski belum tentu juga akan mati. Sebab,
pemahaman bahwa ajal adalah ketentuan dari Allah swt sudah tertanam dalam jiwa
para Sahabat.
Bab 9
Ghozwah ( Peperangan )
Berikut
ini dijelaskan secara ringkas tentang sebab-sebab terjadinya 28 kali
Ghozwah (peperangan) di mana Rasulullah SAW terlibat di dalamnya. Sebuah
pertempuran atau gerakan pasukan Muslimin yang dipimpin oleh Nabi Muhammad
Rasulullah SAW disebut Ghozwah, yang dapat diartikan juga Perang.
01 Ghozwah Waddan, tidak terjadi pertempuran sebab tidak bertemu dengan
pasukan Quraish. Ikatan perjanjian damai dilakukan dengan Bani Dhamrah.
02. Ghozwah Buwath, tidak dapat menyusul kafilah Quraish.
03. Ghozwah Dzul ‘Usyairah, tidak terjadi kontak senjata, Rasulullah SAW
mengadakan ikatan perjanjian damai di jalur kafilah dagang itu dengan kabilah
Bani Mudlij dan sekutu-sekutu Bani Dhamrah.
04. Ghozwah Badar pertama, tidak terjadi kontak senjata sebab pasukan
Muslimin tidak dapat mengejar pasukan Quraish yang telah menyerang dan
merampok/menjarah tempat-tempat penggembalaan di daerah pinggiran
Madinah.
05. Ghozwah Badar Al-Kubra terjadi karena Quraisy menginginkan terjadinya
kontak senjata (perang) dengan pasukan Muslimin, walaupun kafilah dagang
mereka telah memasuki jalur yang aman. Akhir pertempuran pasukan Muslimin
memenangkan peperangan Badar Al-Kubra ini. Terdapat sekitar 68 orang
tawanan perang (Suku Quraish) yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW untuk
diperlakukan dengan baik, sabdanya SAW: "Perlakukanlah tawanan itu dengan
baik." Sebahagian tawanan menebus kebebasan mereka dengan membayar
antara 1000 Dirham sampai 4000 Dirham karena mereka orang kaya.
Sementara ada sebahagian tawanan yang dibebaskan tanpa membayar tebusan
karena mereka tergolong miskin. Dan ada sebahagian lagi yang dibebani
mengajar anak-anak kaum Muslimin sebelum dibebaskan karena mereka adalah
di antara orang-orang yang terpelajar.
06. Ghozwah Bani Qainuqa (Kaum Yahudi) di Madinah adalah dikarenakan Kabilah
Bani Qainuqa telah melanggar perjanjian dengan pihak Rasulullah dan
membantu Quraisy untuk memusuhi Islam. Tidak terjadi pertempuran karena
Bani Qainuqa telah keluar dari Madinah. Bani Qainuqa kalah dalam peperangan
tanpa pertumpahan darah setelah dikepung oleh pasukan Muslimin selama 15
hari. Keputusan Rasulullah SAW terhadap Bani Qainuqa yang kalah adalah diusir
keluar dari Madinah dengan meninggalkan senjata-senjata dan peralatan tukang
pengrajin (kraft) emas, tetapi boleh membawa anak-anak, isteri dan harta
benda mereka bersama.
07. Ghozwah Bani Sulaim, terjadi karena Rasulullah SAW mengetahui persiapan
yang mereka lakukan untuk menyerang Muslimin di Madinah tetapi tidak terjadi
pertempuran sebab Kabilah Bani Sulaim dan Bani Ghatafan melarikan diri dan
meninggalkan harta benda mereka.
08. Ghozwah Sawiq, terjadi karena Rasulullah SAW mengetahui persiapan yang
mereka lakukan untuk menyerang Muslimin di Madinah tetapi tidak terjadi
pertempuran sebab lepasnya pasukan musuh yaitu kaum Quraisy Makkah dari
kejaran pasukan kaum Muslimin.
09. Ghozwah Dzu Amar, terjadi karena Rasulullah SAW mengetahui persiapan
yang mereka lakukan untuk menyerang Muslimin di Madinah tetapi tidak terjadi
pertempuran sebab Kabilah Bani Tsalabah dan Bani Muharib telah melarikan diri,
dan pasukan kaum Muslimin menempati (menguasai) perkampungan mereka
sekitar sebulan.
10. Ghozwah Bahran, terjadi karena Rasulullah SAW mengetahui persiapan yang
mereka lakukan untuk menyerang Muslimin di Madinah tetapi tidak terjadi
pertempuran sebab Kabilah Bani Sulaim melarikan diri dan pasukan kaum
Muslimin menempati (menguasai) perkampungan mereka sekitar dua bulan.
11. Ghozwah Uhud dikarenakan Quraisy ingin membalas kekalahan mereka pada
peperangan Badar Al-Kubra. Dengan persiapan pasukan perang Quraisy yang
sudah berangkat ke arah Madinah, menjadi alasan bagi pihak Muslimin untuk
mempertahankan kedaulatan Madinah. Korban tewas dan kerugian besar di
pihak pasukan Muslimin di bukit Uhud tetapi dari sekian episod pertempuran
yang akhirnya dimenangi oleh pasukan Muslimin pada Ghozwah Hamra’ul Asad
walaupun banyaknya korban di pihak Muslimin akibat pertempuran.
12. ..
13. Ghozwah Bani Nadhir (Kaum Yahudi) terjadi karena Bani Nadhir telah
melanggar perjanjian damai yang disepakati dengan pihak Muslimin dan Bani
Nadhir diketahui berencana untuk membunuh Nabi Muhammad SAW. Ghozwah
ini tidak terjadi pertempuran karena Bani Nadhir lari ke perkampungan mereka
yang sudah dipersiapkan benteng yang kuat untuk menghadapi pasukan
Muslimin. Dengan kepungan yang dilakukan oleh pasukan Muslimin
mengakibatkan mereka menyerah lalu keluar dari Madinah. Terjadi kekalahan
yang tertimpa Bani Nadhir akibat dikepung oleh pasukan Muslimin selama
sekitar 20 hari. Keputusan Rasulullah SAW setelah diadakan perundingan damai
(gencatan senjata) adalah bahwa Bani Nadhir harus keluar dari Madinah, untuk
setiap 3 orang hanya boleh membawa harta kekayaan yang dimuatkan pada
seekor unta saja tanpa membawa senjata.
14. Ghozwah Dzatur Riqa terjadi karena Bani Tsa'labah dan Bani Muharib (dari
Kabilah Najed) yang berkonsentrasi untuk memerangi Madinah dan juga
membalas Kabilah Najed (Nejd) terhadap peristiwa Tragedi Bi’ir Ma’unah yang
telah membunuh 70 utusan pendakwah Islam di Bi’ir Ma’unah Nejd. Tetapi
Ghozwah ini tidak terjadi pertempuran sebab kedua Kabilah itu melarikan diri
sebelum bertemu dengan pasukan Muslimin.
15. Ghozwah Badar terakhir terjadi dikarenakan keinginan pihak Quraisy bersama
kaum Yahudi untuk membalas Ghozwah Uhud, tetapi setelah pasukan Muslimin
menunggu selama 8 hari pasukan Quraisy tidak muncul.
16. Ghozwah Daumatul Jandal terjadi karena ingin menumpaskan kabilah-kabilah
di Daumatul Jandal yang hendak melakukan penyerangan ke Madinah. Tetapi
kabilah-kabilah itu telah bersembunyi dan melarikan diri.
17. Ghozwah Bani Musthaliq terjadi dikarenakan Bani Musthaliq sedang
mengkonsentrasikan kekuatan untuk menyerang Madinah. Pasukan Muslimin
mengepung Bani Musthaliq setelah terjadi pertempuran kecil yang berakibatkan
10 orang dari Bani Musthaliq yang tewas. Kemudian mereka menyerah diri lalu
menjadi tawanan pasukan Muslimin. Sementara kabilah-kabilah lain yang
menjadi sekutu Bani Musthaliq melarikan diri.
18. Ghozwah Khandak adalah pertahanan (defensive) dalam bentuk pembuatan
parit di sekeliling Madinah. Pasukan Muslimin membuat pertahanan parit bagi
menghambat kekuatan pasukan musuh yang terdiri dari Kabilah Quraisy, kaum
Yahudi dan kabilah-kabilah Arab lainnya menjadi satu aliansi kekuatan.
Pertempuran terjadi dalam waktu yang relatif sebentar setelah niereka merasa
kaget dengan parit yang dibuat oleh pasukan Muslimin Madinah. Kemenangan di
tangan pasukan Muslimin setelah Rasulullah SAW berhasil memberikan isu
kebencian dan memicu kekacauan di tubuh aliansi, yang akhirnya mereka saling
memusuhi dan kemudian meninggalkan Madinah.
19. Ghozwah Bani Quraizah terjadi karena pelanggaran perjanjian damai yang
dilakukan oleh Bani Quraizah (Kaum Yahudi) dengan ikut sertanya mereka di
pihak aliansi pada Ghozwah Khandak. Pasukan Muslimin mengadakan
pengepungan terhadap benteng pertahanan di pemukiman Bani Quraizah sekitar
25 hari tanpa terjadinya pertempuran. Hanya terdapat seorang Muslim yang
menjadi korban tewas karena dibunuh oleh seorang wanita dari Bani Quraizah.
Bani Quraizah menyerah diri ke pasukan Muslimin lalu mereka meminta Saad
Bin Mu’adz r.a untuk membuat keputusan perundingan damai (permintaan ini
dipersetujui oleh Rasulullah SAW), maka diputuskan oleh Saad Bin Mu’adz r.a:
Pejuang-pejuang dari Bani Quraizah yang ikut berperang pada pasukan
Ahzab (pasukan musuh di Ghozwah Khandak), akan dihukum mati.
Bani Quraizah keluar dari Madinah, selain yang dihukum mati.
Harta benda milik Bani Quraizah dirampas dan dibagi-bagikan kepada
kaum Muslimin yang ikut berperang.
Anak-anak dan wanita Bani Quraizah tidak dibunuh, kecuali seorang saja
yaitu wanita yang membunuh seorang Muslim ketika terjadinya
pengepungan.
20. Ghozwah Bani Lihyan terjadi karena membalas Kabilah Bani Lihyan (Tragedi
Ar-Raji’) yang telah melakukan pengkhianatan dengan pembunuhan terhadap 4
orang juru dakwah Islam dan menjual 2 orang juru dakwah Islam kepada
Quraisy yang kemudiannya dibunuh juga. Tidak terjadi pertempuran sebab Bani
Libyan telah melarikan diri.
21. Ghozwah Dzi Qarad dilakukan oleh Rasulullah SAW karena sekelompok
penjarah dari Bani Ghatafan telah membunuh seorang Muslim dan membawa lari
seorang wanita Muslimah bersama onta-onta ternakan. Tidak terjadi
pertempuran, hanya pengejaran yang berhasil menyelamatkan wanita Muslimah
itu dan kawanan onta ternakan. Sementara sekelompok penjarah dapat
melarikan diri.
22. Ghozwah Hudaibiyah direncanakan oleh Rasulullah SAW karena mengambil
kesempatan musim Haji ke Baitul Haram Makkah, di mana bangsa Arab
berkumpul untuk berhaji (budaya Arab). Rasulullah SAW meyakini bahwa tidak
akan terjadi pertempuran sebab budaya Arab melarang (tidak boleh) berperang
pada bulan haji. Misi Hudaybiyah adalah misi dakwah dengan menampakkan
eksistansinya umat Islam yaitu pengikut Rasulullah SAW kepada bangsa Arab,
dengan harapan mereka menerima Islam. Dengan kesempatan ini Rasulullah
SAW mengadakan perjanjian damai dengan kabilah Quraisy, perjanjian ini
dinamakan Hudnah Hudaybiyah yang berarti gencatan senjata Hudaybiyah.
23. Ghozwah Khaibar adalah pertempuran antara pasukan Muslimin dengan kaum
Yahudi Khaibar yang ada di Madinah. Penyebab terjadinya pertempuran ini
adalah karena Kaum Yahudi Khaibar menghasut kabilah-kabilah Arab untuk
memusuhi
kaum
Muslimin.
Pertempuran sengit terjadi di kawasan perbentengan Yahudi Khaibar selama 3
hari yang akhirnya Yahudi Khaibar tertekan dan menyerahkan diri dengan syarat
kaum Muslimin melindungi keselamatan jiwa mereka (tidak membunuh).
Permintaan tersebut dipersetujui oleh Rasulullah SAW dan menyerahkan
perkebunan wilayah Khaibar kepada Yahudi Khaibar dengan kesepakatan
setengah hasil panen diperuntukkan untuk kaum Muslimin. Terdapat
pertempuran-pertempuran lain dengan kaum Yahudi yang memusuhi kaum
Muslimin yaitu; Yahudi Fadak, terjadi pertempuran dengan pasukan Muslimin,
yang kemudian Yahudi Fadak menyerah diri dan berdamai dengan persyaratan
yang sama seperti Yahudi Khaibar. Yahudi Wadil Qura, terjadi pertempuran
beberapa jam dengan pasukan Muslimin yang kemudian terjadi perundingan
damai, hasil perundingan sama seperti kepada Yahudi Khaibar.
24. Ghozwah ‘Umratul Qadha tidak terjadi pertempuran, tetapi Rasulullah SAW
memimpin pasukan kaum Muslimin ke Makkah (sebelum fathu Makkah) untuk
menampakkan kekuatan kaum Muslimin dan persiapan mereka kepada kaum
Quraish Makkah jika kaum Muslimin ditantang untuk berperang. Ghozwah ini
lebih bersifat perang urat saraf.
25. Ghozwah Fathu Makkah dipicu oleh pelanggaran gencatan senjata yang
dilakukan oleh pihak Quraisy. Dengan demikian Rasulullah SAW mempunyai
alasan untuk mengerahkan pasukan Muslimin untuk menguasai Makkah,
tanahair Rasulullah dan para muhajirin, dan yang lebih utama adalah Baitul
Haram yang disucikan oleh Islam. Hanya terjadi pertempuran kecil yang tak
berarti pada satu sisi Makkah (itu disebabkan Kaum radikal Quraisy yang
memulai), sementara pasukan Muslimin memasuki Makkah dengan aman tanpa
terjadi pertumpahan darah. Sebelum masuk ke Makkah, Rasulullah SAW
memerintah pasukan Muslimin untuk tidak memulai kontak senjata ketika
bergerak masuk ke Makkah sebelum Quraish memulai, dan beliau membuat
pernyataan untuk disampaikan kepada penduduk Makkah. Sabda Rasulullah
SAW:
"Barangsiapa yang masuk ke rumah Abu Sofyan ia selamat, barangsiapa yang
menutup pintu rumahnya ia selamat dan barangsiapa yang masuk ke dalam
Masjidil
Haram
ia
selamat."
Setelah Makkah telah dapat dikuasai oleh Rasulullah SAW dan kaum Muslimin,
maka kaum Quraisy seluruhnya dikumpulkan, lalu beliau SAW membebaskan
mereka yang kemudiannya mereka semua memeluk agama Islam tanpa
dipaksa. Begitu juga pengampunan diberikan kepada orang-orang yang telah
diperintahkan Rasulullah SAW untuk dibunuh sebelum memasuki Makkah, ada
10 orang tetapi hanya 3 lelaki dan seorang wanita saja yang terbunuh. Di antara
yang masih hidup di saat pemberian pengampunan adalah, Abdullah bin Saad,
Ikrimah bin Abi Jahal, Al-Haris bin Hisham, Zuhair bin Abu Umayyah, seorang
hamba sahaya Ibnu Khattal, Sarah maula Bani Abdul Muthalib dan Hindun bin
‘Utbah.
Pernah seorang dari pasukan Muslimin dari kabilah Khuza’ah membunuh
seorang lelaki karena membalas kematian saudaranya, tetapi malah Rasulullah
SAW marah dan mengatakan seandainya terjadi lagi maka akan dilaksanakan
hukum
Qishosh
ke
atas
pelaku
(dari
pasukan
Kaum
Muslimin).
Pada waktu penaklukan Makkah, diketika Rasulullah SAW sedang melakukan
Thawaf di Baitullah, ada seorang musyrik yang mendekati beliau dan bermaksud
membunuh Rasulullah SAW. Sebagai seorang Nabi, Rasulullah SAW mengetahui
niat orang musyrik itu namun beliau tidak memperlakukan kasar atau
membunuhnya tetapi beliau ajak berbicara dan sambil tersenyum beliau
meletakkan tangannya di dada orang musyrik tersebut. Kemudian pergilah
orang musyrik tersebut yang kemudian mendapat hidayah menerima Islam.
26. Ghozwah Hunain diakibatkan oleh Kabilah Bani Hawazun, Kabilah Tsaqif dan
kabilah yang lain yang hendak melakukan penyerangan terhadap kaum Muslimin
di Makkah. Pertempuran terjadi dengan hasil kabilah Bani Hawazun dapat
dikalahkan dan dapat mengusir Kabilah Tsaqif mundur ke pemukiman mereka.
Bani Hawazun kalah sehingga kebanyakan mereka menjadi tawanan perang.
Namun kemudian seluruh tawanan yang terdiri dari lelaki, anak-anak dan wanita
Bani Hawazun dibebaskan oleh Rasulullah SAW kembali ke kaum mereka Bani
Hawazun (masih dengan agama asal). Tetapi mereka semua kemudian
menerima Islam tanpa dipaksa.
27. Ghozwah Hisoru Thaif adalah pengepungan yang dilakukan oleh pasukan
Muslimin terhadap kabilah Tsaqif setelah melarikan diri kalah di pertempuran
Ghozwah Hunain. Sempat terjadi pertempuran ketika pengepungan tetapi
karena benteng pertahanan di pemukiman Kabilah Tsaqif sangat kuat maka
pasukan Muslimin hanya dapat melakukan pengepungan saja. Terhadap Bani
Tsaqif yang berlindung di balik benteng pertahanan mereka, ditinggalkan oleh
pasukan Muslimin setelah terjadi pertempuran dan pengepungan selama sekitar
sebulan. Pertimbangan ditinggalkan pengepungan tersebut antara lain karena
kuatnya pertahanan benteng dan karena diketahui sudah mulai semakin banyak
dari kalangan Bani Tsaqif yang menerima Islam maka diperkirakan lambat-laun
seluruh Bani Tsaqif akan menerima Islam.
28. Ghozwah Tabuk terjadi karena pasukan Romawi telah bersiap sedia di bagian
utara perbatasan Arab untuk melakukan penyerangan terhadap pihak Muslimin.
Tetapi tidak terjadi pertempuran karena setelah pasukan Muslimin tiba di Tabuk
ternyata pasukan Romawi tidak ada, sebab mereka telah mundur ke arah utara.
Selama menunggu kehadiran pasukan Romawi selama 20 hari, kegiatan
Rasulullah SAW adalah mengadakan ikatan perjanjian damai dengan kabilahkabilah dan penduduk yang berada di sekitar perbatasan Hijaz dan Syam.
Bab 10
Jihad Membela Agama, Bangsa & Negara
Suasana peperangan di sebuah medan pertempuran, terbayang di fikiran saya
seperti filem dokumentari tentang perang dunia pertama dan perang dunia kedua.
Dua pasukan yang lengkap bersenjata saling tembak menembak antara satu sama
lain, dan kalau ingin dibandingkan dengan mujahidin Afghanistan terdapat sedikit
perbedaan, yaitu pasukan Mujahidin Afghanistan tidak memakai pakaian seragam.
Pertama kalinya saya melihat mujahidin hanya melalui foto-foto, di mana Mujahidin
Afghanistan (bukan Pejuang Taliban) ketika bertempur dan melakukan tembak
menembak yang dapat saya lihat di majalah dan surat kabar hanya memakai
pakaian kebiasaan sehari-hari seperti pakaian di kampung halaman mereka. Begitu
juga foto-foto Pejuang Bangsa Moro di Filipina Selatan (Mindanao). Pejuang Bangsa
Moro pada kebanyakan mereka hanya memakai sandal jepit dan bercelana jeans
juga berbajukan kaos oblong membawa senjata memerangi pasukan tentera
pemerintah
Filipina
(AFP).
Bayangan tersebut saya bandingkan dengan kisah-kisah perang Nabi Muhammad
SAW dan para sahabat-sahabatnya r.a., yang pernah saya baca di buku Sirah Nabi
(sejarah hidup Nabi Muhammad SAW) dan buku Hayatus Sohabah, kisah hidup para
sahabat
Nabi
Muhammad
SAW.
Ada dua hal yang dapat saya katakan bahwa pelaksanaan Jihad perang yang
dilakukan oleh Mujahidin Afghan di Afghanistan adalah sama seperti Jihad perang
zamannya Rasulullah SAW yaitu yang pertama jika dipandang dari sudut bertemunya
dua pasukan sebagaimana dikisahkan Allah SWT di dalam Al-Qur’an.
‫ﻦ َأ ُّﻳﻬَﺎ ﻳَﺎ‬
َ ‫ﻦ َﻟﻘِﻴ ُﺘ ُﻢ ِإذَا ﺁ َﻣﻨُﻮا اَّﻟﺬِﻳ‬
َ ‫ﺡﻔًﺎ َآ َﻔﺮُوا اَّﻟﺬِﻳ‬
ْ ‫اﻷ ْدﺑَﺎ َر ُﺕ َﻮُﻟّﻮ ُه ُﻢ ﻓَﻼ َز‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang
yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi
mereka
(mundur).”
(Al-Anfal:15)
Perkataan 'orang-orang Kafir' di dalam ayat ini adalah pasukan musuh
(Quraisy) bukan Islam yang sedang dalam pertempuran dengan pasukan
Muslimin. Keadaan orang-orang kafir dalam ayat itu adalah berposisi
menyerang, maka larangan kepada pasukan mujahidin (pasukan Muslimin) dalam
peperangan dari berpaling atau mundur jika sudah berhadapan dengan musuh, yaitu
orang
kafir
(non-Muslim)
yang
memerangi
Islam.
Lebih meyakinkan lagi penilaian saya terhadap Mujahidin Afghan ketika berpeluang
melihat langsung di bumi Afghanistan sekitar tahun 1987. Peperangan yang nyata di
hadapan mata di saat melihat pasukan musuh yaitu tentara Rusia bersama dengan
pasukan tentara pemerintah komunis Afghanistan. Begitu juga setelah tentara Rusia
mundur kembali ke negara Rusia, pasukan Mujahidin bertempur menghadapi
pasukan tentara pemerintah komunis Afghanistan di bawah pimpinan Presiden
Najibullah.
Dan begitu pula ketika pengalaman saya bersama Mujahidin Bangsa Moro di Filipina
Selatan sejak akhir tahun 1994 hingga akhir tahun 1996, dan kemudian datang lagi
pada tahun 2000. Dengan demikian bertambah kuat lagi keyakinan saya akan teknis
pelaksanaan Jihad Perang yang benar, yaitu bertemunya dua pasukan dalam
keadaan bersiap siaga dan bertempur lengkap bersenjata. Pasukan Mujahidin
Pejuang Bangsa Moro juga menghadapi pasukan tentara Filipina yang datang
menyerang ke wilayah yang dikuasai oleh Mujahidin Bangsa Moro. Mujahidin Bangsa
Moro menuntut wilayah yang mayoritas penduduk Muslim di Pulau Mindanao Filipina
Selatan supaya dipisahkan dari pemerintah Filipina. Sesuai dengan sejarah Bangsa
Moro,
mereka
berhak
untuk
merdeka.
Sekitar tahun 1972 ketika Republik Filipina di bawah pemerintahan presiden Marcos,
pemerintah Filipina membuat kebijakan membumi-hanguskan Bangsa Moro di Pulau
Mindanao melalui kebijakannya yang disebut 'Martial Law'. Bermula dari saat itu
Mujahidin Bangsa Moro dalam sikap bertahan menghadapi pasukan tentara Filipina
yang menyerang ke kawasan pendudukan Mujahidin Pejuang Bangsa Moro. Musuh
Mujahidin Pejuang Bangsa Moro tampak nyata di hadapan mata Mujahidin, dan
diketahui posisi keberadaan musuh sehingga peluru meriam atau roket dapat
diarahkan ke sasaran yang tepat, yaitu ke lokasi pasukan musuh yang bersenjata.
Walaupun di sekitar tempat pertempuran terdapat perkampungan non-Muslim
namun perkampungan itu tidak diganggu oleh pihak Mujahidin Pejuang Bangsa Moro.
Yang demikian itu adalah bentuk Jihad Perang seperti yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad SAW, jika dipandang dari sudut bertemunya dua pasukan.
Sementara hal kedua yang boleh dikatakan Mujahidin Afghanistan dan Pejuang
Bangsa Moro melaksanakan praktek yang sama dengan Jihad perang Rasulullah SAW
adalah sikap mempertahankan Hak. Menurut pengakuan salah seorang pemimpin
Mujahidin Afghanistan yaitu Ustaz Abdur Rabbir Rasul Sayyaf (Pemimpin Tanzim
Ittihad-e-Islamiy) menjelaskan bahwa pertama kali terjadinya konflik adalah ketika
masyarakat menyadari program pemerintah yang menginginkan penerapan unsurunsur
komunis
yang
bermula
dari
pendidikan
dan
budaya
hidup.
Demonstrasi dan bantahan dilakukan oleh masyarakat
namun kemudian pemerintah melakukan tindakan
kekerasan terhadap masyarakat, sampai pemerintah
mendatangkan bantuan kemiliteran dari Rusia yang berupa pasukan bersenjata
Rusia. Rakyat Afghanistan menganggap Rusia benar-benar ingin menguasai
Afghanistan dan menganggap bahwa perlawanan yang mereka lakukan adalah
mengusir pasukan tentara Rusia dan juga fahaman komunisnya. Itulah yang
dikatakan mempertahankan Hak, mempertahankan negara dan mempertahankan
agama (faham dan budaya). Jadi pada dasarnya, rakyat Afghanistan bukanlah pihak
yang pertama kali memulai permusuhan dan peperangan namun mereka menyikapi
dengan sikap bertahan mempertahankan Hak. Penyerangan yang dilakukan oleh
Mujahidin
Afghanistan
adalah
sikap
pertahanan
dalam
peperangan.
Jihad
Rasulullah
SAW,
Membela
Agama,
Berperang
untuk
memperjuangkan tanah air
adalah Jihad yang paling
mulia
karena
hal
yang
demikian
adalah
mempertahankan
maruah
(kehormatan) Agama, Bangsa
dan Negara. Jihad yang
demikianlah
yang
dicontohkan oleh Rasulullah
SAW sejak setelah hijrah ke
Madinah hingga beliau wafat.
Jihad
perang
ini
juga
disebutkan
sebagai
Jihad
Defensive
(pertahanan),
sebuah
kuwajiban
yang
dibebankan ke atas seluruh
penduduk negara (Madinah)
tersebut baik terhadap lelaki
maupun
wanita.
Bangsa
dan
Negara
Jihad Defensive inilah juga
yang dipraktekkan oleh Mujahidin Afghanistan (bukan Pejuang Taliban) dan
Mujahidin Bangsa Moro (bukan Abu Sayyaf Group) seperti yang pernah saya alami
bersama para Mujahidin-mujahidin tersebut. Fase-fase Jihad yang diterapkan oleh
Mujahidin Afghanistan dan Mujahidin Bangsa Moro bersesuaian dengan fase-fase
Jihad perang Rasulullah SAW. Pada dasarnya sifat Jihad Defensive inilah yang
diterapkan di seluruh ghozwah dan peperangan yang terjadi dalam Islam. Kalaupun
terkadang pada suatu peperangan terlihat pasukan Muslimin yang pertama kali
melakukan penyerangan terhadap pasukan lawan, ini adalah dikarenakan pasukan
lawanlah yang telah memicu permusuhan dan atau telah melakukan persiapan untuk
menyerang
wilayah
kaum
Muslimin.
(Mujahidin Afghanistan yang saya sebutkan di sini bukanlah Pejuang Taliban yang
pernah menyerang Mujahidin Afghanistan. Pejuang Taliban tidak melakukan sikap
Jihad Defensive pada awal perjuangannya tetapi Taliban langsung melakukan
Offensive ke atas Negara Islam Mujahidin Afghanistan, jelas langkah itu menyalahi
sunnah
Rasulullah
SAW).
Di antara orang-orang Islam dari kalangan aktivis Muslim, ada yang berkeyakinan
bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang selalu berfikir untuk berperang, melawan
kelompok/bangsa lain yang bukan Islam dan memaksa mereka untuk memeluk
agama Islam. Sebab, menurut mereka, Rasulullah SAW tidak membenarkan adanya
orang bukan Islam (non-Muslim) wujud di muka bumi ini. Dengan alasan dari dalil
Al-Qur’an dan Hadis yang memerintahkan memerangi orang yang bukan Islam
(seperti keterangan dalam buku Aku Melawan Teroris karya Imam Samudra). Namun
saya katakan bahwa itu tidak benar, dan sekali-kali tidak benar jika seandainya kita
mempelajari dengan detil sirah (perjalanan hidup) Rasulullah SAW dan
memahaminya
dengan
baik.
Sebagai seorang Nabi yang diutus oleh Allah SWT untuk menyebarkan dakwah
Islam, maka sudah sayogyanya bagi Allah SWT membimbing Rasul-Nya sepanjang
yang dilakukan sejak pengangkatan sebagai seorang Nabi. Dan Nabi Muhammad
SAW pula selaku utusan Allah senantiasa bersikap, berakhlak dan bertindak sesuai
dengan apa yang dituntun oleh wahyu Ilahi yang diturunkan kepadanya. Sampaisampai isteri Rasulullah SAW, ‘Aisyah r.a mengatakan "Akhlak kepribadiannya adalah
Al-Qur’an.” ketika menjawab pertanyaan salah seorang sahabat Nabi tentang akhlak
kepribadian Rasulullah SAW. Oleh karena itu boleh dikatakan jika mau, cukuplah
bagi kita untuk membenarkan segala yang dilakukan oleh Rasulullah SAW tanpa
melihat
dalil-dalil
yang
ada
di
dalam
Al-Qur’an.
Dan Allah SWT juga dalam Al-Qur’an mensifatkan Nabi Muhammad SAW yang
memiliki
contoh
teladan
yang
baik
untuk
diikuti,
‫ن َﻟ َﻘ ْﺪ‬
َ ‫ﺳ َﻮ ٌة اﻟَّﻠ ِﻪ َرﺳُﻮ ِل ﻓِﻲ َﻟ ُﻜ ْﻢ آَﺎ‬
ْ ‫ﺴ َﻨ ٌﺔ ُأ‬
َ ‫ﺡ‬
َ ‫ﻦ‬
ْ ‫ن ِﻟ َﻤ‬
َ ‫ﺧ َﺮ وَا ْﻟ َﻴ ْﻮ َم اﻟَّﻠ َﻪ َﻳ ْﺮﺟُﻮ آَﺎ‬
ِ ‫اﻵ‬
‫َو َذ َآ َﺮ‬
‫اﻟَّﻠ َﻪ‬
‫َآﺜِﻴﺮًا‬
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat
dan
dia
banyak
menyebut
Allah.”
(Al-Ahzab:
21).
Sebab kita percaya bahwa tidak mungkin Rasulullah SAW akan berbuat sesuatu yang
menyalahi wahyu Allah SWT Tetapi seandainya ada kekeliruan dan kekhilafan yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW (karena beliau adalah manusia) sudah pasti Allah
SWT akan menegurnya dan Beliau SAW langsung dengan cepat akan merubah.
Semua kisah perjalanan hidup Rasulullah SAW sejak lahir hingga wafat terdapat di
dalam buku-buku sirah. Allah SWT menjelaskan di dalam Al-Qur’an bahwa apa yang
diucapkan dan dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW adalah wahyu, bukan menuruti
hawa
nafsunya.
‫َوﻣَﺎ‬
‫ﻖ‬
ُ ‫ﻄ‬
ِ ‫َﻳ ْﻨ‬
‫ﻦ‬
ِ‫ﻋ‬
َ
‫ا ْﻟ َﻬﻮَى‬
-
‫ن‬
ْ ‫ِإ‬
‫ُه َﻮ‬
‫إِﻻ‬
‫ﻲ‬
ٌ‫ﺡ‬
ْ ‫َو‬
‫ﻳُﻮﺡَﻰ‬
Artinya: “dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
(An-Najm:
3-4)
Dengan demikian sejak pertama kali saya memahami Jihad perang Rasulullah SAW
bukanlah dari pemahaman dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadis Nabi, tetapi saya
mempelajari sejarah perjalanan hidup Rasulullah SAW, sehingga saya dapat
membandingkan praktek yang dilakukan oleh Mujahidin Afghanistan (bukan Pejuang
Taliban) dan Mujahidin Bangsa Moro (bukan Abu Sayyaf Group), sehingga dapat
saya katakan memenuhi persyaratan jika dipandang dari dua sudut yaitu membela
tanah air/wilayah yang menjadi Hak mereka sebagaimana Rasulullah SAW membela
tanah kurniaan Madinah dan bertemunya dua pasukan bersenjata yaitu pelaksanaan
Jihad perang menghadapi pasukan bersenjata sebagaimana pasukan Rasulullah SAW
juga menghadapi pasukan bersenjata yang menjadi lawannya. Saya berani
mengatakannya karena saya mengalami sendiri langsung bersama Mujahidin
Afghanistan
dan
Mujahidin
Pejuang
Bangsa
Moro
suatu
waktu,
dahulu.
Saya percaya bahwa wahyu Allah SWT (dalil-dalil Al-Qur’an) yang diturunkan kepada
Rasulullah SAW ada kaitannya dengan apa yang dilakukan oleh beliau bersama para
sahabat pada waktu itu. Maka oleh yang demikian sepantasnya-lah memahami sirah
Nabi Muhammad SAW sebelum berbicara tentang ayat Jihad Perang dalam AlQur’an. Saya khawatir, dengan tidak memahami sirah Nabi Muhammad SAW akan
mengakibatkan pemahaman dalil-dalil menurut fikiran sendiri dan mengikuti hawa
nafsu. Dan yang lebih berbahaya lagi apabila mencoba memaksakan dalil-dalil AlQur’an dan Hadis tersebut supaya bersesuaian dengan apa yang dilakukannya.
Wallahu
a’lam.
Akan timbul bahaya yang sangat membahayakan banyak orang, apabila seseorang
memahami ayat Al-Qur’an dengan arti zahir saja (terjemahan harfiyah), sehingga dia
menjadikan perintah urusan perang atau menyerang tidak perlu lagi menunggu
keputusan dari hasil kebijakan seorang pemimpin tertinggi sebuah negara seperti
Perdana Menteri, Presiden (dalam bahasa Arab disebut Amir Daulab Islamiyah) atau
seorang Kholifah. Karena dia menganggap Al-Qur’an itu adalah kitab tuntunan untuk
setiap pribadi Muslim yang punya kuwajiban melaksanakan setiap ayat di dalam AlQur’an. Akibatnya pelaksanaan perintah Al-Qur’an itu semua akan dianggap sama
yang dibebankan terhadap setiap individu Muslim, pemahaman ini adalah jelas tidak
benar.
Pemahaman yang muncul sekarang ini dari kalangan sebagian aktivis Muslim adalah
bahwa perintah perang dari dalil Al-Qur’an tersebut sudah cukup menjadi beban
tanggungjawab kepada setiap individu yang beragama Islam, karena Al-Qur’an
adalah panduan untuk semua umat Islam. Maka setiap perintah yang ada di dalam
ayat Al-Qur’an adalah wajib untuk dilaksanakan, sebab perintah itu adalah perintah
yang diberikan langsung oleh Allah SWT Oleh karena itu, jika tidak melaksanakannya
akan
berdosa.
Padahal Jihad yang berarti perang yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW tidak
pernah terjadi dengan hanya dilakukan oleh satu orang atau 2-3 orang saja tetapi
Jihad Perang yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW adalah sebuah pasukan yang
terorganisir
rapi
di
bawah
satu
komando.
Bagaimana dapat dikatakan perang kalau hanya sendirian saja? Dan bagaimana
dapat dikatakan perang kalau tidak terorganisir di bawah satu kepimpinan? Dan
bagaimana
dapat
berperang
jika
kepemimpinannya
tidak
jelas?
Apakah
Jihad
Perang
adalah
Kewajiban
Fardiy
(perorangan)
?
Sungguh keliru kalau ada orang yang menggunakan dalil ayat Al-Qur’an (An-Nisa:
84) untuk memulai perang secara sendirian tanpa melibatkan orang lain;
‫ﺳﺒِﻴ ِﻞ ﻓِﻲ َﻓﻘَﺎ ِﺕ ْﻞ‬
َ ‫ﻒ ال اﻟَّﻠ ِﻪ‬
ُ ّ‫ﻚ إِﻻ ُﺕ َﻜ َﻠ‬
َ‫ﺴ‬
َ ‫ض َﻥ ْﻔ‬
ِ ‫ﺡ ِّﺮ‬
َ ‫ﻦ َو‬
َ ‫ﻋﺴَﻰ ا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣﻨِﻴ‬
َ ‫ن اﻟَّﻠ ُﻪ‬
ْ ‫َأ‬
‫ﻒ‬
َّ ‫س َﻳ ُﻜ‬
َ ‫ﻦ َﺑ ْﺄ‬
َ ‫ﺷ ُّﺪ وَاﻟَّﻠ ُﻪ َآ َﻔﺮُوا اَّﻟﺬِﻳ‬
َ ‫ﺷ ُّﺪ َﺑ ْﺄﺳًﺎ َأ‬
َ ‫َوَأ‬
‫َﺕ ْﻨﻜِﻴﻼ‬
Artinya: “Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani
melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para mu'min
(untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir
itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan (Nya).” (An-Nisa: 84).
Menurut tafsir Qurtubiy, asbabun nuzul ayat ini adalah sesaat sebelum terjadinya
Ghozwah Badar pertama. Dan perintah yang ada pada ayat ini adalah kuwajiban
Rasulullah SAW untuk melakukan Jihad Perang secara sendirian jika para sahabatnya
tidak mau ikut mempertahankan wilayah dari serangan musuh. Dan ayat ini juga
perintah kepada setiap mukmin untuk melakukan Jihad Perang biarpun sendirian jika
tiada orang lain yang mau berjuang mempertahankan hak dan membela hak
(setelah berusaha mengajak namun tidak ada satu pun yang menerima).
Menurut tafsir Ibnu Katsir, ayat tersebut sebagai kabar gembira kepada Rasulullah
SAW untuk tetap berperang biarpun sendirian sebab Allah SWT akan membantu
mengalahkan Quraisy yang berniat mengadakan penyerangan. Ayat ini juga berlaku
kepada selain Rasulullah SAW yang berperang biarpun secara sendirian menghadapi
pasukan
musuh
yang
datang
menyerang.
Pernah Baro’ Bin ‘Azib r.a. ditanya tentang seorang sahabat yang menghadapi
sendirian menerobos ke arah sepasukan musuh berjumlah seratus orang. Apakah
tindakan itu tidak menyalahi larangan Allah SWT dalam Al-Qur’an dari
membinasakan
diri
sendiri?
‫ﺷ ْﻬ ُﺮ‬
َ ‫ن‬
َ ‫ن ﻓِﻴ ِﻪ ُأ ْﻥ ِﺰ َل اَّﻟﺬِي َر َﻣﻀَﺎ‬
ُ ‫س ُهﺪًى ا ْﻟ ُﻘﺮْﺁ‬
ِ ‫ت ﻟِﻠ َﻨّﺎ‬
ٍ ‫ﻦ َو َﺑ ِّﻴﻨَﺎ‬
َ ‫ا ْﻟ ُﻬﺪَى ِﻣ‬
‫ن‬
ِ ‫ﻦ وَا ْﻟ ُﻔ ْﺮﻗَﺎ‬
ْ ‫ﺷ ِﻬ َﺪ َﻓ َﻤ‬
َ ‫ﺸ ْﻬ َﺮ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ُﻢ‬
َّ ‫ﺼ ْﻤ ُﻪ اﻟ‬
ُ ‫ﻦ َﻓ ْﻠ َﻴ‬
ْ ‫ن َو َﻣ‬
َ ‫ﻋﻠَﻰ َأ ْو َﻣﺮِﻳﻀًﺎ آَﺎ‬
َ ‫ﺳ َﻔ ٍﺮ‬
َ
‫ﻦ َﻓ ِﻌ َّﺪ ٌة‬
ْ ‫ﺧ َﺮ َأ َﻳّﺎ ٍم ِﻣ‬
َ ‫ﺴ ِﺑ ُﻜ ُﻢ اﻟَّﻠ ُﻪ ُﻳﺮِﻳ ُﺪ ُأ‬
ْ ‫ﺴ َﺮ ِﺑ ُﻜ ُﻢ ُﻳﺮِﻳ ُﺪ وَﻻ ﺮَا ْﻟ ُﻴ‬
ْ ‫ا ْﻟ ِﻌ َّﺪ َة َو ِﻟ ُﺘ ْﻜ ِﻤﻠُﻮا ا ْﻟ ُﻌ‬
‫َو ِﻟ ُﺘ َﻜ ِّﺒﺮُوا‬
‫اﻟَّﻠ َﻪ‬
‫ﻋﻠَﻰ‬
َ
‫ﻣَﺎ‬
‫َهﺪَا ُآ ْﻢ‬
‫َو َﻟ َﻌَّﻠ ُﻜ ْﻢ‬
‫ن‬
َ ‫ﺸ ُﻜﺮُو‬
ْ ‫َﺕ‬
Artinya: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Baqarah:195).
Tetapi Baro’ Bin ‘Azib menjawab bahwa apa yang dilakukan oleh sahabat itu adalah
bersesuaian dengan ayat “Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu
dibebani melainkan dengan kuwajiban kamu sendiri.” (An-Nisa: 84). Dalam riwayat
yang lain Baro’ Bin ‘Azib menjelaskan bahwa ayat “dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (Al-Baqarah:195) itu adalah berkenaan dengan
harta yang diinfakkan. Dalam riwayat lain, Baro’ Bin ‘Azib menjelaskan ketika ayat
“Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan
dengan kuwajiban kamu sendiri." diturunkan, langsung Rasulullah SAW berbicara di
hadapan sahabat-sahabatnya "Sesungguhnya Robbku memerintahkanku untuk
berperang
maka
berperanglah
kamu
semua.”
Selanjutnya Ibnu Katsir menjelaskan, ayat, "Kobarkanlah semangat para mu'min"
(An-Nisa: 84) itu bermaksud, buatlah pasukan Muslimin menjadi siap bersedia untuk
perang dan bangkitkan semangat berani, seperti ucapan Rasulullah SAW "Bangkitlah
menuju syurga yang luasnya seluas langit-langit dan bumi.” dan ucapan Rasulullah
SAW yang lain dalam beberapa riwayat lagi pada waktu itu tentang fadhilah
(keutamaan)
orang
yang
berperang
dan
mati
di
medan
perang.
Ibnu Katsir menjelaskan, ayat, "Mudah-mudahan Allah menolak serangan orangorang yang kafir itu." (An-Nisa: 84) itu bermaksud, dengan usaha Rasulullah SAW
membangkitkan semangat pasukan Muslimin menghadapi musuh, membuat mereka
bersemangat ingin mempertahankan kemuliaan Islam dan umat Islam, membuat
mereka menjadi kokoh pendirian dan sabar, maka dengan sebab yang demikian
akan menghambat atau mengalahkan musuh yang datang menyerang.
Saya katakan bahwa tidak pernah ada sunnahnya Rasulullah SAW berperang dengan
menyerang secara sendirian. Konteks ayat 84 surah An-Nisa itu adalah konteks ayat
pertahanan, makanya Allah perintahkan berperang dalam rangka mempertahankan
walaupun harus melakukan itu secara sendirian. Praktek di lapangan yang dilakukan
oleh Rasulullah SAW adalah mengadakan persiapan kekuatan personil dan kekuatan
moril. Perintah perang langsung diberikan kepada para sahabat r.a seusai menerima
wahyu dari Allah SWT itu, dan Rasulullah SAW membangkitkan semangat dengan
memberikan janji syurga kepada sesiapa saja yang mati di medan pertempuran demi
mempertahankan Hak yang telah dikaruniakan oleh Allah SWT yaitu berupa wilayah
Islam
(Madinah),
bangsa
Islam
(Umat
Islam),
dan
Agama
Islam.
Peristiwa seorang sahabat yang maju menyerang sendirian menghadapi seratus
orang pasukan bersenjata musuh itu memang dibenarkan, karena apa yang
dilakukan oleh sahabat itu masih/sudah berada di medan pertempuran, yaitu dalam
keadaan bertemunya dua pasukan perang. Dia boleh maju menyerang secara
sendirian menghadapi pasukan yang sudah berhadapan dengannya jika perlu, dan
sikap
itu
dibenarkan
kepada
perajurit.
Allah SWT memberikan kabar gembira kepada Nabi Muhammad SAW dengan ayat
itu, yang seandainya Rasulullah SAW hanya melaksanakan perang secara sendirian
pun akan dibantu oleh Allah SWT. Rasulullah SAW melakukan perang itu karena
pertahanan dan pembelaan terhadap apa yang telah Allah karuniakan yaitu Negara
Islam, Agama Islam dan komunitas Muslim. Tetapi sebagai teladan kepada para
sahabat serta umatnya, maka Allah SWT perintahkan Rasulullah SAW untuk
membangkitkan semangat perang para sahabat, sebab dengan ketabahan pasukan,
persatuan yang solid, berdedikasi tinggi serta sabar menghadapi pasukan musuh,
yang akan menjadi sebab-musabab pertolongan Allah SWT. Karena Allah SWT tidak
akan merubah nasib seseorang atau suatu kaum kecuali mereka berusaha merubah
sebab-sebab kemunduran mereka sendiri, sebagaimana termaktub di dalam AlQuran.
‫ت َ ُﻩ‬
ٌ ‫ﻦ ُﻣ َﻌ ِّﻘﺒَﺎ‬
ْ ‫ﻦ ِﻣ‬
ِ ‫ﻦ َﻳ َﺪ ْﻳ ِﻪ َﺑ ْﻴ‬
ْ ‫ﺧ ْﻠ ِﻔ ِﻪ َو ِﻣ‬
َ ‫ﺤ َﻔﻈُﻮ َﻥ ُﻪ‬
ْ ‫ﻦ َﻳ‬
ْ ‫ن اﻟَّﻠ ِﻪ َأ ْﻣ ِﺮ ِﻣ‬
َّ ‫ُﻳ َﻐ ِﻴّ ُﺮ ال اﻟَّﻠ َﻪ ِإ‬
‫ﺡ َﺘّﻰ ِﺑ َﻘ ْﻮ ٍم ﻣَﺎ‬
َ ‫ﺴ ِﻬ ْﻢ ﻣَﺎ ُﻳ َﻐ ِّﻴﺮُوا‬
ِ ‫َوﻣَﺎ َﻟ ُﻪ َﻣ َﺮ َّد ﻓَﻼ ﺳُﻮءًا ِﺑ َﻘ ْﻮ ٍم اﻟَّﻠ ُﻪ َأرَا َد َوِإذَا ِﺑ َﺄ ْﻥ ُﻔ‬
‫َﻟ ُﻬ ْﻢ‬
‫ﻦ‬
ْ ‫ِﻣ‬
‫دُو ِﻥ ِﻪ‬
‫ﻦ‬
ْ ‫ِﻣ‬
‫وَا ٍل‬
Artinya: "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga
mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’d: 11)
Jihad perang harus dilaksanakan secara bersama-sama, berkelompok, berpasukan
dan dipimpin oleh seorang pemimpin yang jelas, termasuk juga adalah pasukan
bersenjata musuh yang jelas dihadapi. Maka contoh Jihad perang yang Rasulullah
SAW tunjukkan adalah bersesuaian dengan maksud ayat Al-Qur’an surah An-Nisa
ayat 84, yaitu contoh jihad perang (Defensive) membela Agama, Bangsa dan Negara
Islam (Madinah). Sebagaimana pada ayat itu mengatakan “Mudah-mudahan Allah
menolak
serangan
orang-orang
yang
kafir
itu.”
‫ﺳﺒِﻴ ِﻞ ﻓِﻲ َﻓﻘَﺎ ِﺕ ْﻞ‬
َ ‫ﻒ ال اﻟَّﻠ ِﻪ‬
ُ ّ‫ﻚ إِﻻ ُﺕ َﻜ َﻠ‬
َ‫ﺴ‬
َ ‫ض َﻥ ْﻔ‬
ِ ‫ﺡ ِّﺮ‬
َ ‫ﻦ َو‬
َ ‫ﻋﺴَﻰ ا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣﻨِﻴ‬
َ ‫ن اﻟَّﻠ ُﻪ‬
ْ ‫َأ‬
‫ﻒ‬
َّ ‫س َﻳ ُﻜ‬
َ ‫ﻦ َﺑ ْﺄ‬
َ ‫ﺷ ُّﺪ وَاﻟَّﻠ ُﻪ َآ َﻔﺮُوا اَّﻟﺬِﻳ‬
َ ‫س َأ‬
ً ‫ﺷ ُّﺪ ا َﺑ ْﺄ‬
َ ‫َوَأ‬
‫َﺕ ْﻨﻜِﻴﻼ‬
Artinya: “Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani
melainkan dengan kuwajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para mu'min
(untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir
itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan (Nya)." (An-Nisa: 84)
Ayat ini tidak boleh digunakan dengan sewenang-wenangnya untuk dijadikan dalil
bagi melakukan serangan (Jihad) dalam keadaan sendirian di luar misi
mempertahankan kedaulatan wilayah. Apalagi di luar medan pertempuran dengan
melakukan penyerangan terhadap orang-orang sipil atau selain pasukan bersenjata
musuh,
yang
demikian
adalah
keliru
sekali.
Sunnah
Rasulullah
SAW
Dalam
Berperang
Rasulullah SAW bukanlah seorang Nabi yang suka dengan pertumpahan darah.
Sebanyak 28 kali pemberangkatan pasukan Muslimin yang dipimpin langsung oleh
Rasulullah SAW (disebut dengan istilah Ghozwah) itu adalah karena
mempertahankan keamanan Islam dan pengikutnya dari pihak-pihak yang telah
menampakkan permusuhan dan mengadakan langkah-langkah nyata (persiapan)
untuk menyerang Madinah yang mayoritasnya penduduk beragama Islam, secara
otomatis
dikuasai
penduduk
Muslim.
Sebagai pemimpin negara (Madinah), Rasulullah SAW menjaga keamanan umat
Islam seperti golongan muhajirin (pengungsi dari Makkah) di Madinah, suku asli di
Madinah yaitu kabilah Aus dan Khazraj dan keamanan suku non-Muslim lainnya yang
memiliki ikatan perjanjian damai dengan kaum Muslimin. Pertahanan yang dilakukan
adalah menyelamatkan diri daripada dianiaya oleh pihak kabilah Quraisy yang nonMuslim. Kafir Quraisy di Makkah masih menyimpan rasa dendam dengan adanya
agama baru yang dibawa oleh Nabi Muhammad Rasulullah SAW sehingga mereka
tetap berusaha untuk menghapuskan agama baru (Islam) itu, serta mencari orangorang yang melarikan diri (berhijrah) dari Makkah. Setelah hijrah, Kabilah Quraisy
bukan hanya membenci kaumnya yang lari (hijrah ke Madinah) tetapi memusuhi
semua orang yang mengikuti agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Oleh karena hampir mayoritas penduduk Madinah telah mengikuti ajaran Islam yang
dibawa oleh Rasulullah SAW, maka menjadi kuwajiban Rasulullah SAW untuk
menjaga keamanan agama Islam yang dibawanya. Lagi pula masyarakat Muslim di
Madinah adalah masyarakat Muslim yang pertama diorganisir dalam sebuah
kepimpinan kenegaraan setelah hijrah dari Makkah. Sedangkan pemimpin tertinggi
mayoritas penduduk (penganut agama Islam) di Madinah adalah Rasulullah SAW,
yang
diatur
dalam
tatanan
kenegaraan.
Kabilah Aus dan kabilah Khazraj di Madinah telah memberikan tempat dan dukungan
untuk membela agama Islam dan muhajirin yang datang dari Makkah, mereka
dipanggil dengan istilah Anshor (artinya Penolong). Hijrahnya Rasulullah SAW dan
para sahabat r.a (muhajirin) ke Madinah adalah karena: ingin menyelamatkan iman
dan keyakinan (aqidah) terhadap agama yang baru mereka anuti yaitu Islam,
menyelamatkan diri mereka dari disiksa dan dibunuh oleh kabilah Quraisy, dan
menyelamatkan diri dari dipaksa kembali kepada agama lama yaitu kesyirikan
(fitnah), sebagaimana yang pernah terjadi di Makkah sebelum berpindah ke Madinah
(Hijrah).
Gabungan antara Rasulullah SAW dan para sahabatnya muhajirin dari Makkah
bersama pihak Anshor yang bertempat tinggal di Madinah adalah sebuah kekuatan
baru bagi Rasulullah SAW untuk menghadapi penghalang dakwah Islam yaitu Kabilah
Quraisy
yang
kafir.
Kabilah Quraisy adalah suku Arab yang disegani di antara kabilah-kabilah Arab yang
ada di tanah Jazirah karena mereka adalah kabilah terkuat dan penjaga Baitul
Haram di Makkah yaitu tempat semua kabilah Arab berkumpul untuk menunaikan
ibadah haji (haji zaman jahiliyah). Kabilah Quraisy merasa terganggu dengan
pengakuan Nabi Muhammad sebagai utusan Allah yang menyerukan kalimah Tauhid
(Laa ilaha illallah, artinya Tiada Tuhan selain Allah) sehingga sejak awal lagi para
pemuka Quraisy telah melakukan pembunuhan dan penyiksaan terhadap para
penganut Islam yaitu pengikut Nabi Muhammad Rasulullah SAW di Makkah.
Oleh karena kabilah Quraisy telah meng-isytihar-kan permusuhan dengan Rasulullah
SAW dan para sahabatnya serta menghalang-halangi jalannya dakwah Islam,
bahkan berniat untuk menghancurkan agama Islam yang baru diserukan itu, maka
sejak di Makkah lagi sebelum berhijrah Rasulullah SAW senantiasa bersiap siaga dan
berhati-hati dalam mengambil langkah bagi melanjutkan dakwah Islam yang
diwahyukan serta diperintahkan oleh Allah SWT kepadanya untuk disebarkan kepada
seluruh
umat
manusia.
Kabilah Quraisy adalah musuh utama yang menghalangi dakwah Islam pada waktu
itu. Rasulullah SAW selaku pimpinan tertinggi di sebuah komunitas yang baru (di
Madinah) bertanggungjawab merencanakan langkah strategis bagi menjaga
keamanan para pengikutnya yang relatif masih sedikit dan juga penerus dakwah
Islam. Misi utama Rasulullah SAW adalah menegakkan kalimat Tauhid (Laa ilaha
illallah)
dengan
tetap
menjaga
eksistensinya
di
muka
bumi.
Menjaga
Agama,
Bangsa
dan
Negara
Langkah pertama yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan sahabatnya r.a, adalah
berpindah dari Makkah, menjauh dari Kaum Quraish yang menyiksa dan membunuh
pengikut Nabi Muhammad SAW. Para sahabat Nabi Muhammad SAW, yang keluar
dari Makkah untuk menyelamatkan keyakinan Islam (aqidah Islam) dan dirinya
disebut
sebagai
Muhajirin.
Tempat pertama yang pernah diperintahkan oleh Rasulullah kepada beberapa orang
sahabatnya r.a., adalah ke Habsyah (Abessina atau Eriteria) negeri yang diperintah
oleh seorang penganut agama Nasrani (Kristen) bernama raja Najashi, dengan
mengatakan bahwa di negara itu dipimpin oleh penganut agama Nasrani yang patuh.
Tempat perlindungan yang dipilih oleh Nabi Muhammad SAW adalah negara Kristen
dan memerintahkan kepada beberapa pengikutnya untuk ke negara itu meminta
perlindungan kepada orang Kristen. Dan memang Raja Najashi memberikan
perlindungan dan tidak mahu menyerahkan kepada utusan Quraish yang datang
menyusul meminta kepada Raja Najashi untuk menyerahkan pengikut Nabi
Muhammad
SAW
itu.
Sementara Rasululah SAW, dan para sahabatnya r.a yang lain berhijrah ke Madinah
setelah diundang dan setelah ada tawaran jaminan keamanan dari penduduk Yatsrib
(Madinah). Mungkin perlu diperhatikan bahwa hijrah ke Madinah bukan pilihan Nabi
Muhammad SAW. Dan hijrah ke Madinah terjadi sekian waktu setelah hijrahnya
sebagian
sahabat
ke
negara
Kristen
yaitu
Habsyah.
Langkah kedua. Rasulullah SAW melakukan perjanjian damai dengan kabilah-kabilah
Arab (musyrikin, bukan Islam) termasuk kaum Yahudi yang berada di Madinah yang
belum menerima Islam dengan meyakini Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah
dan mengakui kalimat Tauhid. Tujuan Rasulullah SAW mengadakan perjanjian damai
adalah supaya tidak saling mengganggu dan terjamin keamanan pengikutnya serta
lancarnya dakwah Islam. Praktek mengikat perdamaian selalu didahulukan oleh
Rasulullah
SAW,
bukan
praktek
kekerasan.
Langkah ketiga. Rasulullah SAW mengikat perjanjian damai dengan kabilah-kabilah
(musyrikin, bukan Islam) yang di luar Madinah. mulai dari yang berdekatan dengan
Madinah dan sekitarnya. Tindakan tersebut bertujuan bagi menjamin keamanan
umat Islam dari ancaman yang datang dari luar Madinah dan juga menjamin
keamanan berlangsungnya dakwah Islam di dalam dan di luar Madinah.
Langkah keempat yang dilakukan Rasulullah SAW dan pasukan Muslimin (para
sahabatnya r.a.) bagi menghadapi kemungkinan penyerangan dari pihak kabilah
Quraisy adalah dengan menguasai jalur ekonomi yang dilalui oleh kafilah dagang
milik Quraisy. Dengan demikian kafilah dagang Quraisy dan pasukan pengiringnya
akan mengambil jalur yang menjauh dari Madinah. Dan juga mengadakan perjanjian
damai dengan kabilah-kabilah yang berada di jalur kafilah dagang tersebut.
Langkah kelima. Rasulullah SAW dan kaum Muslimin di Madinah melakukan
persiapan kekuatan (pasukan dan perlengkapan perang) dengan tujuan bersiap-siap
menghadapi kemungkinan penyerangan dari luar Madinah yang memusuhi Islam.
Sikap ini adalah langkah pertahanan bagi menjaga keselamatan jiwa penduduk
Muslim di Madinah dan teritorial. Hal demikian adalah budaya Arab yang selalunya
dilakukan oleh kabilah-kabilah pada masa itu, karena kondisi lingkungan menuntut
sesuatu kelompok, suku, kaum dan kabilah untuk memiliki kekuatan sendiri bagi
mempertahankan
hak
dan
menjamin
keamanan
kaumnya.
Langkah keenam. Rasulullah SAW akan mengirim pasukan tempur untuk menyerang
pihak-pihak atau kabilah-kabilah yang melanggar perjanjian damai, baik yang
melakukan (memulai) sikap dan tindakan permusuhan maupun yang mempersiapkan
kekuatan untuk menyerang Madinah dan kaum Muslimin. Tindakan Rasulullah SAW
itu adalah karena mempertahankan kedaulatan negara, menjaga keamanan
pengikutnya dan keberlangsungan dakwah Islam (Demi Negara, Bangsa dan
Agama).
Dengan demikian saya memahami bahwa pengiriman pasukan Muslimin yang
dipimpin langsung oleh Rasulullah SAW (disebut juga Ghozwah) bertujuan
pertahanan bagi menjamin keamanan kaum Muslimin (komunitas baru) dan dakwah
Islam. Ghozwah bukan untuk penghancuran massa (atau penghapusan etnis) dan
Ghozwah bukan untuk memaksa orang untuk menerima Islam, tetapi Ghozwah
adalah
untuk
menjamin
keamanan.
Secara ringkas langkah-langkah strategis yang saya jelaskan di atas adalah,
menjaga Iman dan keyakinan Tauhid (Agama), menjaga umat Islam (Bangsa), dan
menjaga wilayah Madinah (Negara), yaitu negara karuniaan Allah SWT kepada umat
Islam
yang
telah
terbentuk
pada
waktu
itu.
Jika seandainya perjanjian damai dapat dilakukan, jaminan keselamatan disepakati,
hak-hak tidak dikhianati dan peperangan dapat dielakkan maka itulah yang
dikehendaki oleh Rasulullah SAW, karena dengan demikian manusia dapat hidup
dengan aman serta dapat terpenuhinya hak kemanusian, serta dakwah Islam dapat
diajarkan dan disebarkan dengan aman tanpa diperlukan unsur paksaan. Tetapi oleh
karena terdapat ancaman dari pihak yang mempersiapkan kekuatan untuk
menyerang, maka Rasulullah SAW tidak berdiam diri. Sebelum kekuatan musuh
membengkak kuat, langkah strategis Rasulullah SAW adalah menghentikan pasukan
musuh
di
tempat
musuh
tersebut
berada.
Oleh karena itu, hampir semua Ghozwah Rasulullah SAW dilakukan di luar Madinah
dan ditempat musuh yang sedang mempersiapkan kekuatan. Dengan demikian
Rasulullah SAW selalu dimenangkan dengan taktik 'surprise' yaitu langsung muncul
secara tiba-tiba sebelum musuh memulai fase penyerangan. Sifat Rasulullah SAW ini
menunjukkan, beliau bukan tipe pemimpin yang menunggu musuh di 'kandang'
sendiri, tetapi menghentikan musuh sejak di pintu gerbang musuh walaupun diketika
operasi
defensive
(pertahanan).
Dan jika dipelajari kisah peperangan Rasulullah SAW, maka akan didapatkan bahwa
tidak semestinya pada setiap kali Ghozwah akan terjadi pertempuran (kontak
senjata) dan pertumpahan darah, tetapi kebanyakan yang terjadi adalah Rasulullah
SAW dan pasukan Muslimin membiarkan lawannya lari menyelamatkan diri,
menyuruh pergi atau menyerahkan diri sebelum pasukan tempur Muslimin datang.
Pertempuran yang boleh dianggap besar yang terjadi ketika Rasulullah SAW sebagai
pemimpin pasukan Muslimin (Ghozwah) hanya sebanyak 6 kali saja dari 28 kali yang
dipimpin
langsung.
Saya tidak menyangkal keterlibatan Allah SWT dalam setiap langkah dan kebijakan
yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, sebab Nabi Muhammad adalah utusan-Nya
yang diperintahkan untuk menyebarkan kalimat Tauhid (Laa ilaha illallah) serta
menjaganya. Tetapi aspek manusia yang tampak pada diri Rasulullah SAW itulah
yang menjadi panduan untuk umatnya. Segala keberhasilan dan langkah-langkah
yang diambil, menjadi contoh kepada manusia yang lain karena Nabi Muhammad
SAW adalah seorang manusia. Rasulullah SAW melaksanakan perintah Allah SWT
(wahyu/Al-Qur’an), seperti halnya umat Islam semua melaksanakan perintah AlQur’an sesuai dengan fiqih-fiqihnya. Akhlak Rasulullah SAW dan kepribadiannya
adalah Al-Qur’an sebagaimana yang diakui oleh isteri beliau Aisyah r.a, yang
pastinya apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW tidak bercanggah dengan AlQur’an.
Rasulullah SAW melaksanakan semua wahyu Allah SWT tanpa wujud saling
berlawanan, maksud saya antara ayat perintah dakwah dan ayat perintah perang
dapat
dilaksanakan
sesuai
tempat
dan
masanya.
Dalam kondisi aman. Rasulullah SAW mengikat perjanjian damai tanpa memaksa
suatu kaum menerima Islam yang di dakwahkannya. Perjanjian damai atau jaminan
keamanan hak tersebut sama artinya membiarkan seseorang atau kaum itu tetap
dengan
agama
yang
dianuti
(bukan
Islam).
Dalam kondisi terancam. maka Rasulullah SAW berangkat bersama pasukan
Muslimin dengan berani siap mati menghadapi pihak yang mengancam keamanan
dan keselamatan. Tindakan Beliau SAW adalah demi membela agama Islam, umat
Islam dan Madinah sehinggalah fitnah (ancaman) itu dapat dikalahkan.
Keputusan
Ada
Pada
Pemimpin
Tertinggi
Nabi Muhammad SAW adalah seorang manusia yang pernah berperan dengan
berbagai macam peran manusia di dunia yang dapat dijadikan contoh (uswah
hasanah) kepada manusia seluruhnya. Beliau adalah seorang bapa, ketua rumah,
suami, imam shalat, ‘abid, sufi, teman, tetangga, pemimpin pasukan, pemimpin
negara, hakim dan lain-lain lagi peran selaku manusia. Setiap tindakan yang
dilakukan Rasulullah SAW menunjukkan posisi yang diperankan sesuai kondisi. Maka
saya katakan bahwa setiap perbuatan, langkah kebijakan dan perintah yang
Rasulullah SAW berikan berkaitan dengan Jihad Perang, adalah karena Rasulullah
SAW selaku pemimpin tertinggi pasukan, bukan selaku perajurit biasa. Saya
tekankan lagi bahwa setiap keterlibatan Rasulullah SAW di dalam pasukan yang
diberangkatkan untuk berperang maka beliau SAW adalah seorang pemimpin
tertinggi kaum Muslimin. Contoh tauladan (uswah hasanah) yang dapat diambil di
setiap langkah perjalanan Jihad perangnya adalah contoh yang diperuntukkan
kepada Komandan Perang. Sedangkan kepada sesiapa yang bukan komandan
perang atau bukan selevel dengan komandan sebuah pasukan yang besar, maka
harus mengikuti contoh para sahabat r.a yang memberikan contoh terbaik selaku
perajurit, kecuali sahabat-sahabat r.a yang berperan selaku komandan pasukan
perang.
Dalam konteks Ghozwah yang dibicarakan maka saya lebih setuju untuk
memandang Rasulullah SAW sebagai sosok seorang pemimpin tertinggi dalam
pasukan yang sedang beroperasional. Segala perintah, kebijakan dan segala
tindakan yang dilakukan oleh Rasulullah adalah karena beliau seorang Pemimpin
Tertinggi
Negara
dan
Panglima
Tertinggi
pasukan
bersenjata.
Sebagai contoh sekiranya Rasulullah SAW memerintahkan untuk menebang pohon
kurma, maka itu berarti adalah kebijakan dari wewenang beliau selaku seorang
pemimpin tertinggi pasukan untuk memberi perintah. Bukanlah itu pertanda
dibolehkannya kepada semua orang (anggota biasa/Perajurit) yang ikut berperang
untuk membuat keputusan menebang pohon sembarangan menurut kebijakannya
masing-masing. Larangan menebang pohon tetap berlaku kepada semua perajurit,
begitu juga larangan-larangan yang lain yang tidak diperbolehkan sewaktu
bertempur
(Jihad).
Contoh yang lain, seandainya Rasulullah SAW memerintahkan untuk menggunakan
Manjanik (seperti ketapel besar) dalam penyerangan ke sebuah desa atau
pemukiman yang dijadikan benteng pertahanan padahal di dalamnya terdapat warga
sipil, maka itu adalah kebijakan Rasulullah SAW selaku Panglima tertinggi pasukan
dan itu juga adalah wewenang pemimpin tertinggi Negara. Sekiranya tiada perintah
dari Panglima tertinggi pasukan maka perajurit dilarang untuk melakukan apa-apa
tindakan yang akan membahayakan warga sipil sesuai larangan yang berlaku di
dalam
Jihad
Perang
(peperangan).
Pastinya, selaku pemimpin tertinggi pasukan telah mempertimbangkan persoalan
dengan matang menurut hukum syar’ie dan hukum manusiawi bahwa yang akan
diselesaikan membawa keuntungan kepada pasukan sendiri. Bayangkan
bagaimanakah kacaunya pertempuran sekiranya setiap perajurit atau orang yang
bukan pada level Pemimpin membuat kebijakan seperti wewenang pemimpin
tertinggi?
Kesimpulan
Rasulullah SAW tidak pernah mempersiapkan kekuatan pasukan untuk merebut atau
menguasai suatu wilayah bagi mendirikan Negara Islam. Rasulullah SAW
mendapatkan negara (Madinah) adalah karena diundang oleh penduduk Madinah
yang telah beriman dengannya yang mengajak berpindah (hijrah) ke Madinah. Lalu
kemudian dengan dakwah Rasulullah SAW menjadikan mayoritas penduduk Madinah
menganut
agama
Islam,
terutama,
kabilah
suku
Aus
dan
Khazraj.
Setelah Allah SWT memberi karunia sebuah wilayah (Madinah) dan ternyata
mendapat tantangan dari pihak yang tidak menyukainya, barulah Allah SWT
mensyariatkan jihad perang kepada kaum Muslimin untuk mempertahankan apa
yang telah Allah
Munawwarah.
karuniakan
kepada
mereka
yaitu
Negara
Islam
Madinah
Jika sebuah wilayah yang menjadi hak kaum Muslimin belum diperoleh maka Allah
SWT belum mensyariatkan Jihad Perang, dan jika memang jihad perang adalah
untuk mendapatkan sebuah wilayah yang dikuasai kaum Muslimin maka mengapa
Allah SWT tidak mensyariatkan jihad Perang ketika masih di Makkah (sebelum
terjadinya peristiwa hijrah)?? Semua perjalanan kehidupan Rasulullah SAW
mempunyai hikmah yang menjadi perkara yang harus dikaji dan dipelajari sehingga
penerapan nilai-nilai Islam dan juga memperjuangkan dakwah Islam sesuai dengan
ketentuan
syariat.
Pada 28 kali ghozwah yang dipimpin oleh Rasulullah SAW bukanlah untuk
menghancurkan agama lain, sekali lagi bukan itu tujuan Rasulullah SAW. Akan tetapi
28 kali ghozwah itu adalah langkah pengamanan bersiri yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW bersama pasukan Muslimin untuk membela Agama Islam dan
Negara
dari
ancaman
musuh.
Di antara sela-sela 28 kali ghozwah itu, Rasulullah SAW juga ada melakukan
perjanjian damai terhadap kabilah-kabilah yang bukan Islam. Kalau memang misi
utama Rasulullah SAW memimpin langsung pasukan tempur adalah untuk
menyerang kaum kafir dan musyrik (non Muslim) yang tidak memeluk agama Islam,
lalu mengapa Rasulullah SAW mengadakan kesepakatan mengikat perjanjian damai
dengan kabilah-kabilah yang non-Muslim? Mengapa Rasulullah SAW membiarkan
pasukan musuh pergi meninggalkan Madinah setelah musuh menyerahkan diri dan
mengakui kekalahan? Mengapa Rasulullah SAW menerima tebusan dari kabilah
musuh yang datang untuk membebaskan para tawanan? Dalam keadaan mereka
masih tetap menganut agamanya yang bukan Islam !!! Maka jika demikian sangat
berlawanan sekali, dan sangat tidak benar jika ada yang menjadikan dalil 28
Ghazwah (pertempuran) yang dipimpin oleh Rasulullah SAW adalah bertujuan
memerangi
orang-orang
musyrik
atau
non-Muslim
!
Biarpun sesudah turun surah At-Taubah (Al-Bara’ah), masih juga terdapat orangorang musyrikin yang tetap dalam agama asal mereka, tetapi tidak dibunuh oleh
Rasulullah SAW. Itu adalah disebabkan karena ketika sesudah habis tempo 4 bulan
yang diberikan, masa perjanjian damai yang ada padanya masih berlaku dan
dibenarkan di dalam syariat untuk memperpanjangkan tempo perjanjian damai
tersebut
pada
praktek
di
waktu
itu.
Begitu juga selama tenggang waktu 28 kali ghozwah terdapat beberapa kaum Yahudi
di Madinah, namun Rasulullah SAW membiarkan sehinggalah mereka melanggar
perjanjian damai yang diketahui berniat memerangi kaum Muslimin. Maka Rasulullah
SAW memerangi kaum Yahudi itu bukan karena mereka beragama Yahudi, tetapi
karena mereka sudah bersiap sedia untuk memerangi kaum Muslimin.
Bab 11
Keluar dari Al-Jamaah Al-Islamiyah
MULANYA, saya merasa tabu untuk tidak aktif dari jamaah Al-Jamaah Al-Islamiyah
(JI) ini dan bahkan saya adalah orang yang selalu memberikan motivasi kepada
anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah untuk tetap istiqomah di dalam jamaah. Walaupun
berbagai konflik dan perselisihan yang terjadi di tingkat pimpinan, namun saya tetap
menjaga keutuhan kesatuan di antara anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah khususnya
yang berada di dalam lingkungan wilayah Mantiqi Tsalis (III). Terlebih lagi posisi
saya selaku ketua Mantiqi Tsalis (III) yang bertanggungjawab untuk menjaga
kelestarian
organisasi.
Setiap informasi yang saya dapatkan dari senior seperti Ust. Mustapha, Ust. Abu
Rusdan, Ust. Abu Fateh dan beberapa senior lain tentang keadaan dan
perkembangan dalam Al-Jamaah Al-Islamiyah saya tampung dan berusaha
menetralkan di tingkat bawahan di Mantiqi Tsalis (III). Ini semua saya lakukan agar
para anggota tidak bingung dengan apa yang terjadi dalam kepengurusan Al-Jamaah
Al-Islamiyah
di
tingkat
pimpinan.
Usaha saya itu ada batasnya, sebagaimana usaha para senior saya yang mencoba
tetap istiqomah namun di antara mereka ada yang telah meninggalkan Al-Jamaah
Al-Islamiyah dengan cara mengasingkan diri. Artinya, mereka non aktif walaupun
lidahnya tidak pernah mengatakan keluar dari Al-Jamaah Al-Islamiyah.
Fenomena non-aktif ini bermula sejak wafatnya Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah yang
pertama yaitu Ust. Abdul Halim atau dikenal dengan nama Ust. Abdullah Sungkar
sekitar akhir tahun 1999. Menurut seorang senior yang menceritakan kepada saya
bahwa Ust. Abdul Halim wafat dalam keadaan sedang tidur di sela-sela waktu
istirahat menunggu sesi rapat Markaziyah pada jam berikutnya. Setelah mengurusi
proses pemakaman beliau lalu para senior mulai membicarakan tentang Amir yang
berikut,
sebagai
penggantinya.
Dalam proses pemilihan calon Amir terjadi perbedaan pendapat yang akhirnya
memilih Ust. Abdus Somad (Ust.Abu Bakar Ba’asyir). Senior yang menceritakan
kepada saya itu tidak menceritakan bagaimana proses pengangkatan Ust.Abu Bakar
Ba’asyir.
Sementara dari sisi lain ada di antara senior dan anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah di
tingkat pimpinan pada waktu itu yang kurang setuju dengan pengangkatan Ust. Abu
Bakar Ba’asyir selaku Amir, sehingga terjadi keluhan dan pembicaraan di belakang
yang
kurang
enak
didengar.
Apa yang ingin saya sampaikan di sini adalah bahwa inilah pertama kali saya sangat
terkesan ketika mendengar perselisihan di kalangan pimpinan, padahal pada waktu
itu sekitar akhir tahun 1999 saya berada di Sandakan Sabah Malaysia. Secara
pribadi saya tidak setuju dengan sikap anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah baik anggota
biasa ataupun pimpinan yang tidak setuju dan mempergunjingkan atas
pengangkatan Ust. Abu Bakar Ba’asyir selaku Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah.
Hal tersebut menjadi pertanyaan saya, yang seharusnya bagi anggota Al-Jamaah AlIslamiyah siapapun dia harus menerima keputusan tersebut, dengar dan taat dalam
keadaan suka atau tidak, dan harus membantu menjalankan tugasnya. Karena
jabatan Amir tersebut bukan keinginan Ust. Abdus Somad serta bukan ambisinya.
Saya menyesali dengan perselisihan ini karena saya teringat akan firman Allah SWT
di
dalam
Al-Qur’an:
‫ﺸﻠُﻮا َﺕﻨَﺎ َزﻋُﻮا وَﻻ َو َرﺳُﻮ َﻟ ُﻪ اﻟَّﻠ َﻪ َوَأﻃِﻴﻌُﻮا‬
َ ‫ﺐ َﻓ َﺘ ْﻔ‬
َ ‫ﺤ ُﻜ ْﻢ َو َﺕ ْﺬ َه‬
ُ ‫ﺹ ِﺒﺮُوا رِﻳ‬
ْ ‫ن وَا‬
َّ ‫ِإ‬
‫اﻟَّﻠ َﻪ‬
‫َﻣ َﻊ‬
‫ﻦ‬
َ ‫ﺼّﺎ ِﺑﺮِﻳ‬
َ ‫اﻟ‬
Artinya: “Daan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantahbantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan
bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Anfal: 46)
Peristiwa yang lain ketika Ust.Abu Bakar Ba’asyir diangkat menjadi Amir yaitu
pimpinan tertinggi bagi organisasi Majlis Mujahidin Indonesia (MMI) pada bulan
Agustus 2000. Di sini dari kalangan tingkat pimpinan Al-Jamaah Al-Islamiyah
terpecah menjadi dua yaitu kepada yang setuju dengan keterlibatan Ust. Abu Bakar
Ba’asyir di dalam MMI dan pihak yang tidak setuju. Pihak yang tidak setuju meminta
Ust. Abu Bakar Ba’asyir untuk segera menarik balik kesediaannya menjabat selaku
Amir Majlis Mujahidin Indonesia, sementara Ust. Abu Bakar Ba’asyir tidak ingin
melakukan
demikian.
Terjadilah perselisihan tentang status Amir beliau selaku Amir Al-Jamaah AlIslamiyah atau Amir Majlis Mujahidin Indonesia. Pada asalnya beliau bersedia
mundur dari jabatan Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah tetapi di antara pimpinan dan
senior tidak menginginkan Ust. Abu Bakar Ba’asyir meletakkan jabatannya tersebut,
sehingga sempat mengancam akan keluar dan tidak aktif di dalam Al-Jamaah AlIslamiyah seandainya Ust.Abu Bakar Ba’asyir dihentikan jabatannya. Untuk menjaga
keutuhan organisasi maka Ust. Abu Bakar Ba’asyir mengambil keputusan untuk tetap
sebagai Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah dan dalam waktu yang sama juga ia adalah
Amir
Majlis
Mujahidin
Indonesia.
Dalam melaksanakan kuwajibannya ternyata Ust. Abu Bakar Ba’asyir menghadapi
kesulitan memimpin dua organisasi yang besar, sehingga beliau menunjuk Ust.
Zulkarnain sebagai Pelaksana Tugas Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah. Kemudian
digantikan oleh Ust. Abu Rusdan pada April 2002 dalam pilihan langsung di sebuah
rapat Markaziyah yang diadakan di Bogor, Indonesia. Sementara Amir Al-Jamaah AlIslamiyah tetap Ust. Abu Bakar Ba’asyir sampai ditentukan adanya pergantian Amir
yang
baru.
Posisi Ust. Abu Bakar Ba’asyir selaku Amir Majlis Mujahidin Indonesia adalah bibit
bencana di dalam tubuh Al-Jamaah Al-Islamiyah. Sebab, pada saat itu loyalitas
anggota kepada pimpinan menjadi hilang lalu mereka keluar dari jamaah (Al-Jamaah
Al-Islamiyah). Ada beberapa senior yang mengundurkan diri karena merasa kecewa
dengan
sikap
yang
diambil
oleh
Ust.
Abu
Bakar
Ba’asyir.
Sebagian dari kalangan senior mengikuti langkah Ust. Abu Bakar Ba’asyir menjadi
anggota Majlis Mujahidin Indonesia, dan bahkan ada di antara mereka yang dengan
tega mengeluarkan pernyataan bohong dengan mengatasnamakan Ust. Abu Bakar
Ba’asyir memerintah anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah untuk ikut menjadi anggota
Majlis Mujahidin Indonesia, padahal Ust. Abu Bakar Ba’asyir tidak pernah
mengeluarkan perintah tersebut. Kebingungan terjadi di kalangan anggota bawahan
melihat
tingkah
laku
para
pimpinan
mereka
yang
berbeda
sikap.
Akibatnya, perpecahan dan ketidakpercayaan muncul di kalangan anggota AlJamaah Al-Islamiyah, terutama di wilayah Mantiqi Tsani (II). Ada di antara anggota
Al-Jamaah Al-Islamiyah yang masuk menjadi anggota MMI, ada di antara anggota
yang tetap bersama Al-Jamaah Al-Islamiyah. Dan ada di antara mereka yang tidak
lagi ingin bersama Al-Jamaah Al-Islamiyah, apalagi menjadi anggota MMI, karena
kecewa dengan sikap Ust. Abu Bakar Ba’asyir dan sebagian senior serta pimpinan AlJamaah
Al-Islamiyah
yang
ikut
MMI.
Malah di antara mereka ada yang mengatakan bahwa, “Sekarang kita tidak perlu
berjamaah dan berjihad tidak perlu ikut jamaah, siapapun yang ingin berjihad dapat
gabung bersama.” Anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang lepas kendali dan
mengambil sikap sendiri ini akan bergabung dengan orang-orang yang mereka
anggap punya faham dan misi yang sama. Maka tidak mustahil seandainya anggota
Al-Jamaah Al-Islamiyah bersama-sama dengan anggota NII atau bersama dengan
anggota-anggota dari kelompok Wahdah Islamiyah, Jundullah, Kompak dan MMI.
Hubungan ini bukan antara kelompok atau.organisasi (Jamaah) tetapi hubungan
antar
personal.
Kebingungan dan kemarahan dari anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah baik dari tingkat
pimpinan hingga ke tingkat bawahan kembali terjadi ketika peristiwa bom pada
malam Natal tahun 2000. Karena di antara yang terlibat di dalam aksi pemboman itu
terdiri atas anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah dan anggota NII yang dipengaruhi dan
diajak oleh Hambali. Hambali telah mempengaruhi anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah
di wilayah Mantiqi Tsani (II) dan anggota NII untuk melakukan tindak balas pada
umat Kristen yang diyakininya telah melakukan penyerangan terhadap umat Islam di
Ambon. Hambali berniat membangkitkan konflik nasional antara agama Islam dan
Kristen se Indonesia, sebagai pembalasan dengan apa yang terjadi di Ambon.
Tindakan Hambali tersebut membuat anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang lain,
terutama di kalangan pimpinan Mantiqi Tsani (II), tidak dapat membendung
beberapa anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang secara diam-diam telah bergabung
dengan kelompok-kelompok kecil yang dibentuk oleh Hambali. Lebih dari 30 gereja
di seluruh Indonesia menjadi sasaran pemboman pada malam Natal tahun 2000 itu.
Pada dasarnya kemarahan anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah di Mantiqi Tsani (II)
terhadap Hambali dan orang-orang yang bersamanya adalah karena Hambali telah
melakukan kesalahan yang dilarang oleh Nabi Muhammad SAW, merusak tempat
ibadah agama lain dan melukai serta membunuh orang sipil. Akibat dari tindakan
Hambali itu secara organisasi telah merusak sistem di Mantiqi Tsani (II), di mana
Hambali ketika itu adalah Ketua Mantiqi Ula (I) telah berbuat sesuatu di wilayah
dakwah Mantiqi Tsani (II). Akibat yang kedua dari tindakan Hambali itu telah
menabur doktrin di kalangan orang-orang yang bersamanya dengan prasangka
buruk serta membenci anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang dikatakan tidak mahu
berjihad karena tidak mahu mengikuti faham jihad Hambali yang membenci orang
Kristen.
Inilah
bibit-bibit
perpecahan
di
Mantiqi
Tsani
(II).
Kekacauan bertambah lagi di tubuh Al-Jamaah Al-Islamiyah ketika pemerintah
Malaysia melakukan penangkapan terhadap mereka yang melakukan perampokan
atas nama Jihad pada pertengahan tahun 2001. Hasil dari pemeriksaan polisi
Malaysia menghasilkan sebuah jaringan yang dipimpin oleh Hambali yang berencana
melakukan beberapa operasi di Malaysia dan Singapura. Sekali lagi Hambali
melibatkan beberapa anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah dan orang-orang dari
kelompok lain seperti NII dan KMM (Kumpulan Mujahidin Malaysia) di Malaysia.
Begitu juga selanjutnya penangkapan besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintah
Malaysia dan Singapura pada akhir tahun 2001. Kekacauan dan ketakutan melanda
anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah di Malaysia dan Singapura yang mengakibatkan
sebagian mereka bersembunyi atau melarikan diri ke Thailand atau ke Indonesia.
Sementara bagi yang belum begitu dikenali sebagai anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah
mengambil sikap berbaur dengan masyarakat dan menjauh dari lingkungan AlJamaah Al-Islamiyah, dalam arti kata keluar dari Al-Jamaah Al-Islamiyah.
Dalam keadaan pimpinan Al-Jamaah Al-Islamiyah di Mantiqi Tsani (II) sibuk
mengamankan anggota Mantiqi Ula (I) warganegara Malaysia dan Singapura yang
lari dari negara mereka, ternyata terjadi sesuatu yang memperburuk lagi keadaan,
yakni, peristiwa Bom Bali. Pemerintah Indonesia yang pada awalnya menyangkal
warganya terlibat dengan kelompok teroris di Singapura dan Malaysia, seperti
pernyataan mantan wapres Hamzah Haz, menjadi terbuka dengan kejadian Bom Bali
pada
12
Oktober
2002.
Sekali lagi anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah di Mantiqi Tsani (II) menjadi marah
dengan peristiwa tersebut, sebab kejadian besar itu mengulangi peristiwa Bom di
malam Natal tahun 2000. Hanya pelaku Bom Bali saja yang tahu siapa-siapa dari
mereka yang berencana dan melakukan aksi pemboman itu. Sementara kebanyakan
anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang lain tidak mengetahui dan merasa was-was
dan khawatir kalau-kalau di antara mereka menjadi tertuduh karena pernah ke
Afghanistan atau ke Mindanao, Filipina, padahal mereka tidak pernah berniat untuk
mencelakakan
orang-orang
awam
atau
sipil.
Ketika para pelaku Bom Bali itu datang meminta perlindungan dari orang-orang yang
mereka kenal yang di antaranya adalah anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah, hanya
sebagian kecil yang menerima untuk melindungi. Sebagian besar justru menolak
untuk membantu melindungi sampai-sampai ada yang mengatakan, “Mereka yang
(Maaf..) berak kita yang membersihkan?” Ada di antara mereka yang menutup pintu
tidak mau menerima kedatangan anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah karena merasa
curiga dengan setiap orang. Ada yang meminta perlindungan tetapi terang-terangan
ditolak
dan
menyarankan
cari
yang
lain
saja.
Akibat dari operasi Polisi Indonesia mengungkap para pelaku pemboman Bali,
terjadilah penangkapan-penangkapan pelaku Bom Bali dan orang-orang yang
melindungi mereka, sampai-sampai disangkakan bahwa Polri ingin menangkap
semua orang yang terlibat di dalam organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah sebagaimana
nama Jamaah Islamiyah telah tercatat masuk di dalam daftar PBB nama-nama
kelompok
Teroris.
Termasuk akibat dari peristiwa Bom Bali adalah dapat diketahui Mukhlas (Ali
Ghufran) selaku ketua Mantiqi Ula (I), dana yang diterima dari Wan Min Wan Mat
selaku Ketua Wakalah Johor, Wan Min sendiri menerima perintah tersebut dari
Hambali (mantan Ketua Mantiqi Ula), Imam Samudra anggota wakalah Selangor,
Amrozi anggota wakalah Johor, Azahari anggota wakalah Johor dari informasi Polisi
yang didapatkan dari anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang tertangkap di Malaysia
dan Singapura. Dengan informasi tersebut telah membuat kecurigaan akan
keterlibatan
Al-Jamaah
Al-Islamiyah
di
balik
Bom
Bali.
Tetapi, apakah semua anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah mengetahui perencanaan
Bom Bali itu? Bahkan sebenarnya kebanyakan tidak setuju dan membenci terjadinya
kejadian Bom di Bali serta aksi-aksi yang mencelakakan orang awam. Anggapan
saya bahwa Mukhlas, Imam Samudra dan orang-orang yang bersamanya dari pelaku
Bom Bali tidak mewakili Al-Jamaah Al-Islamiyah, kecuali di luar pengetahuan saya
kalau
memang
itu
direncanakan
oleh
Al-Jamaah
Al-Islamiyah.
Gara-gara diketahui latar belakang para pelaku Bom Bali, sempat menjadi sorotan
serta isu bahwa Al-Jamaah Al-Islamiyah di balik peristiwa Bom Bali. Akibatnya
semua kegiatan dakwah Al-Jamaah Al-Islamiyah menjadi terhenti dan anggotaanggotanya menghindar dari aktivitas dakwah atau pembinaan yang berkelompok.
Orang-orang yang merasa dekat atau pernah bersama dengan orang-orang yang
termasuk daftar pencarian polisi, mengambil sikap berpindah tempat atau
menyembunyikan
diri
dan
mengganti
nama
serta
identitas.
Kecurigaan antara sesama anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah menjadi semakin
meningkat yang asalnya saling percaya menjadi saling curiga. Bom Bali telah
merusak hubungan antara sesama anggota dan merusak kegiatan dakwah, demikian
lah yang dianggap kebanyakan anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah sekarang ini.
Mereka lebih cenderung mengambil sikap sendiri-sendiri, di antaranya tidak
mengikuti kegiatan pengajian perkumpulan, menjadi anggota ormas Islam lain, dan
seterusnya.
Gara-gara sikap dan tindakan anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah sendiri telah
mencemarkan nama organisasi dan menyusahkan anggota yang lain. Bukan saya
yang pertama kali membuka nama Al-Jamaah Al-Islamiyah tetapi akibat perbuatan
mereka (yang terlibat dengan aksi kekerasan di Malaysia, Singapura dan Indonesia)
telah memunculkan nama Al-Jamaah Al-Islamiyah, yang selanjutnya menambah
jumlah daftar nama-nama kelompok teroris di PBB. Sementara saya hanya
melanjutkan dengan memberi penjelasan dengan sejelas-jelasnya tentang AlJamaah Al-Islamiyah supaya masyarakat umum, terutamanya umat Islam,
mengetahui apa sebenarnya Al-Jamaah Al-Islamiyah. Saya tidak ingin dan tidak tega
umat Islam diberi informasi yang tidak benar atau pun yang dusta.
Kekacauan di dalam Al-Jamaah Al-Islamiyah saya ketahui dari satu peristiwa ke satu
peristiwa yang lain membuat saya ingin mundur sebagai anggota maupun pengurus.
Tetapi saya membatalkan niat saya itu dengan mencoba berusaha untuk menjaga
anggota-anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang ada di dalam wilayah dakwah Mantiqi
Tsalis (III) agar tidak terpengaruh dengan melakukan sesuatu yang mencelakakan
orang awam atau melakukan sesuatu yang dianggap Jihad padahal bukan Jihad.
Namun sebagai manusia biasa saya punya keterbatasan. Singkat cerita, akhirnya
saya tertangkap di Bekasi, Jawa Barat, Indonesia, pada 18 April 2003 dalam sebuah
operasi
pencarian
pelaku
Bom
Bali
oleh
pihak
Polisi
RI
(Polri).
Berdasarkan informasi yang dimiliki Polri, saya tidak terlibat dalam peristiwa
pemboman di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002. Tetapi, oleh karena saya adalah
salah satu anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah maka saya diperiksa sehubungan
pengetahuan saya mengenai peristiwa Bom Bali sebagaimana anggota Al-Jamaah AlIslamiyah yang lain. Karena saya adalah warganegara Malaysia yang menggunakan
identitas palsu dan memasuki Indonesia tanpa pasport, maka saya harus ditahan
yang kemudian saya diadili di Pengadilan Negeri Palu dan dijatuhi hukuman 10
bulan.
Hukuman
itu
berakhir
pada
18
Februari
2004.
Saya menyadari bahwa saya harus ikut serta dalam menghentikan aksi-aksi
kekerasan yang bertentangan dengan Islam. Dan saya harus jelaskan kepada pihak
kepolisian bahwa tidak semua alumni Afghanistan dan Filipina adalah orang yang
berfikiran
seperti
pelaku
Bom
Bali.
Hal yang paling utama dan paling penting yang ingin saya ungkapkan di sini adalah
tidak sependapatnya saya dengan faham yang diyakini oleh beberapa orang dari
anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang telah menyimpang dari tuntunan Islam
dengan melakukan aksi penyerangan dan pemboman atas orang-orang awam. Di
antara mereka terdiri dari kalangan pimpinan Al-Jamaah Al-Islamiyah dan juga dari
kalangan
anggota
biasa.
Pemahaman dan keyakinan berperang dalam Islam yang disalahartikan menjadi
bentuk penyerangan terhadap orang-orang yang bukan musuh Islam. Aksi
pemboman yang terjadi pada malam Natal tahun 2000, pemboman Bali, pemboman
Hotel JW Marriott dan pemboman di depan Kedubes Australia adalah akibat dari
orang-orang yang mempunyai kefahaman yang sama dengan Imam Samudra, yaitu
memerangi orang-orang non-Muslim tanpa batas, sebagaimana telah kita bahas.
Pemahaman menghalalkan darah dan harta non-Muslim tanpa alasan yang hak telah
menyebabkan
umat
Islam
keliru
dan
sesat.
Pemahaman ini telah mempengaruhi kegiatan Al-Jamaah Al-Islamiyah dengan
mengakibatkan misi dakwah Islamiyah yang dilakukan mengarah kepada tujuan
membawa umat Islam membenci non-Muslim dan memerangi mereka. Padahal
Syariat Islam bukanlah seperti itu yang digambarkan oleh Imam Samudra dan
orang-orang
yang
sefaham
dengannya.
Keluarnya saya dari Al-Jamaah Al-Islamiyah bertujuan ingin menyelamatkan umat
Islam, sebatas kemampuan saya, agar tidak terpengaruh dengan faham yang keliru,
dan agar umat Islam khususnya dan umat manusia umumnya tidak menjadi sasaran
pemboman dan penyerangan yang dilakukan tanpa alasan syar’i dan manusiawi.
Kebiasaan anggota yang keluar dari organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah bermula
dengan tidak bersikap aktif mengikuti acara pengajian atau kegiatan sosial yang lain.
Dengan kata lain, berhenti mengikuti apa saja kegiatan dakwah atau acara bersama
yang diadakan oleh organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah. Apakah alasan mereka yang
sebenar menjadi tidak aktif, saya tidak mengetahuinya, namun sudah sekian banyak
orang sebelum saya yang mengambil keputusan keluar, yang pastinya dengan
berbagai
alasan
pribadi
dan
keyakinan.
Ada juga penyebab di mana anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah masuk ke dalam
organisasi Islam yang lain sehingga kesibukannya di dalam organisasi Islam itu
menjadikannya tidak lagi tertarik dengan program atau kegiatan yang diadakan oleh
organisasi
Al-Jamaah
Al-Islamiyah.
Ada hal yang saya tidak setuju tentang pemahaman sebagian anggota Al-Jamaah AlIslamiyah yang mencela mereka yang keluar dari Al-Jamaah Al-Islamiyah. Ini karena
mereka sudah pernah menyatakan (membuat pengakuan) baiat, seolah-olah
menakut-nakuti orang yang tidak aktif lagi dalam Al-Jamaah Al-Islamiyah.
Seseorang yang telah berbaiat dan menyatakan kesediaannya untuk mematuhi inti
dari isi baiat (baca baiat bab Al-Jamaah Al-Islamiyah) akan selamanya diminta
pertangungjawaban tentang baiat yang telah diucapkannya. Pertanggungjawaban itu
bukan hanya akan dipertanyakan di dunia tetapi akan ditanya juga dihadapan Allah
SWT. Karena keyakinan yang diberikan dan difahamkan bahwa baiat amal (kesetiaan
beramal) yang diucapkan seseorang itu ketika berbaiat kepada Amir Al-Jamaah AlIslamiyah (atau kepada orang yang diwakilkan) adalah baiat yang disaksikan oleh
Allah SWT, seperti yang selalu diingat-ingatkan oleh pimpinan dan para pendakwah
Al-Jamaah
Al-Islamiyah
dengan
dalil
dari
ayat
Al-Quran;
‫ن‬
َّ ‫ﻦ ِإ‬
َ ‫ﻚ اَّﻟﺬِﻳ‬
َ ‫ن ِإ َّﻥﻤَﺎ ُﻳﺒَﺎ ِﻳﻌُﻮ َﻥ‬
َ ‫ق اﻟَّﻠ ِﻪ َﻳ ُﺪ اﻟَّﻠ َﻪ ُﻳﺒَﺎ ِﻳﻌُﻮ‬
َ ‫ﻦ َأ ْﻳﺪِﻳ ِﻬ ْﻢ َﻓ ْﻮ‬
ْ ‫ﺚ َﻓ َﻤ‬
َ ‫َﻓ ِﺈ َّﻥﻤَﺎ َﻥ َﻜ‬
‫ﺚ‬
ُ ‫ﻋﻠَﻰ َﻳ ْﻨ ُﻜ‬
َ ‫ﺴ ِﻪ‬
ِ ‫ﻦ َﻥ ْﻔ‬
ْ ‫ﻋ َﻠ ْﻴ ُﻪ ﻋَﺎ َه َﺪ ِﺑﻤَﺎ َأ ْوﻓَﻰ َو َﻣ‬
َ ‫ﺴ ُﻴ ْﺆﺕِﻴ ِﻪ اﻟَّﻠ َﻪ‬
َ ‫ﺟﺮًا َﻓ‬
ْ ‫ﻋﻈِﻴﻤًﺎ َأ‬
َ
Artinya: “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya
mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka
barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan
menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah
akan
memberinya
pahala
yang
besar.”
(Al-Fatah:
10)
Tiada salahnya pada ayat Al-Quran di surah Al-Fatah itu, maha benarlah apa yang
telah termaktub di dalam Al-Quran yang menegaskan tindakan Rasulullah SAW dan
para sahabat-sahabatnya dalam peristiwa Baiatur Ridwan. Silahkan lihat tafsirnya di
buku-buku tafsir, apa yang ingin saya katakan adalah bahwa ayat ini seringkali
digunakan bagi memperingatkan para anggota organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah
untuk tetap setia mentaati kepimpinan. Yaitu dalam arti kata adalah untuk
kepentingan Al-Jamaah Al-Islamiyah. Padahal tafsir ayat itu bermaksud kepada
kepimpinan tertinggi kaum Muslimin keseluruhan yaitu kepada seorang yang
berstatus Nabi atau Khalifah bukan kepada pimpinan jamaah atau pimpinan
kelompok.
Lebih parahnya lagi ada di antara pimpinan dan anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah
yang berfaham bahwa keluar dari Al-Jamaah Al-Islamiyah berarti keluar dari Islam.
Berdasarkan dari hadis yang dipakai untuk mengingatkan anggota jamaah supaya
tetap menjaga ketaatan dan kesetiaan. Padahal hadis ini adalah bermaksud kepada
pimpinan tertinggi kaum Muslimin seperti seorang Nabi atau Khalifah, bukan kepada
pimpinan
organisasi
atau
Al-Jamaah
Al-Islamiyah.
Artinya: “Barangsiapa yang telah melepaskan ketaatan pasti akan bertemu Allah
SWT (pada hari Akhirat) dalam keadaan berdosa, dan barangsiapa yang tiada ikatan
baiat (pada dirinya) maka matinya nanti dalam keadaan mati jahiliyah.” (Hadis
Riwayat
Muslim:
1443)
Keyakinan seperti ini, meskipun pada dasarnya keliru, tapi membuat sebagian umat
Islam dapat dirangkul dan direkrut serta dimanfaatkan hanya dengan memberi
peringatan yang mengancam kehidupannya di dunia dan di akhirat berdasarkan
hadis ini. Mereka takut dianggap kafir atau mati dalam keadaan kafir atau jahiliyah.
Maka bagi siapa yang sangat berharap akan kesempurnaan hidup dalam Islam tanpa
mendahulukan ilmu, pasti tertarik untuk melakukan baiat demi mengharap
kesejahteraan hidupnya di Akhirat nanti, karena ia mendahulukan taklid buta setelah
tertegun
dengan
orang
yang
menyampaikan
hadis
tersebut.
Saya dapati perjuangan anggota-anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah sudah tidak murni
untuk kemaslahatan umat dan kemaslahatan Islam. Perjuangan di balik kebohongan
dan tanpa punya keberanian untuk menyatakan kebenaran yang sebenar. Prinsip
Tandzim Sirri (organisasi rahsia) telah membuat anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah
menjadi penakut untuk berkata jujur dan dengan sengaja membiarkan umat Islam
yang jumlahnya ratusan juta di Indonesia, Malaysia dan Singapura dalam
kebingungan
dengan
sikap
perilaku
orang
Islam
sendiri.
Perjuangan anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang keliru dalam pemahaman Jihad itu
bukan lagi untuk menghilangkan 'fitnah', tetapi perjuangan mereka adalah
mendatangkan 'fitnah', dan perjuangan mereka menimbulkan 'fitnah' kepada
umat
Islam.
Perhatikan
hadis
berikut
ini;
Hadis riwayat Usamah bin Zaid ra., ia berkata: Rasulullah SAW mengirim kami
dalam suatu pasukan. Kami sampai di Huruqat, suatu tempat di daerah Juhainah di
pagi hari. Lalu aku menjumpai seorang kafir. Dia mengucapkan: Laa ilaaha illallah,
tetapi aku tetap menikamnya. Ternyata kejadian itu membekas dalam jiwaku, maka
aku menuturkannya kepada Nabi SAW. Rasulullah SAW bertanya: Apakah ia
mengucapkan: Laa ilaaha illallah dan engkau tetap membunuhnya? Aku menjawab:
Wahai Rasulullah, ia mengucapkan itu hanya karena takut pedang. Rasulullah SAW
bersabda: Apakah engkau sudah membelah dadanya sehingga engkau tahu apakah
hatinya berucap demikian atau tidak? Beliau terus mengulangi perkataan itu
kepadaku, hingga aku berkhayal kalau saja aku baru masuk Islam pada hari itu.
Saad berkata: Demi Allah, aku tidak membunuh seorang Muslim, hingga dibunuh
Dzul Buthain, Usamah. Seseorang berkata: Bukankah Allah telah berfirman: "Dan
perangilah mereka, agar tidak ada fitnah dan agar agama itu semata-mata untuk
Allah". Saad berkata: Kami telah berperang, agar tidak ada fitnah. Sedangkan
engkau dan pengikut-pengikutmu ingin berperang. agar timbul fitnah. (Hadis Sohih
Bukhari
dan
Muslim)
Yaitu 'fitnah' kepada Agama Islam, yang
Islam adalah agama yang sadis dan kejam
SWT, serta menyesatkan segelintir umat
Astaghfirullah
menyebabkan non-Muslim menganggap
terhadap sesama makhluk ciptaan Allah
Islam dengan faham Jihad mereka…
al
adzim…
Ya Allah aku berlepas diri dari segala kezaliman yang mereka lakukan terhadap
hamba-hamba-Mu. Ya Allah ampunilah kami, bimbinglah kami dan tunjukilah kami
jalan
yang
lurus.
‫ﺠ َﻌ ْﻠﻨَﺎ ال َر َّﺑﻨَﺎ‬
ْ ‫ﻦ ِﻓ ْﺘ َﻨ ًﺔ َﺕ‬
َ ‫ﻏ ِﻔ ْﺮ َو َآ َﻔﺮُوا ِﻟَّﻠﺬِﻳ‬
ْ ‫ﻚ َر َّﺑﻨَﺎ َﻟﻨَﺎ ا‬
َ ‫ﺖ ِإ َّﻥ‬
َ ‫ﺤﻜِﻴ ُﻢ ا ْﻟ َﻌﺰِﻳ ُﺰ َأ ْﻥ‬
َ ‫ا ْﻟ‬
Artinya “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orangorang kafir. Dan ampunilah kami ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkau, Engkaulah
Yang
Maha
Perkasa
lagi
Maha
Bijaksana.”
(Al-Mumtahanah:
5)
Marilah kita bersama-sama menjelaskan misi dakwah Islam yang benar dan
membongkar kesesatan faham yang diyakini oleh anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah
seperti
Imam
Samudra
dan
kawan-kawannya.
Saya mengimbau dan menyerukan kepada semua teman-teman dan semua orangorang yang masih mempunyai niat untuk melakukan aksi pemboman dengan
sasaran apapun dan siapapun, agar dihentikan dan segera bertaubat kepada Allah
SWT.
Seruan saya ini adalah seruan yang mengharapkan keselamatan dan kebersamaan
antara sesama Muslim, agar Islam benar-benar diamalkan sesuai tuntunan
Rasulullah SAW. Dan juga agar martabat Islam segera kembali disegani dan
dimuliakan karena persatuan dan kebersamaan antara sesama umat Islam serta
kesefahaman
yang
satu
terhadap
Islam.
Wallahu 'alarn bis sowab
Tentang Penulis
NASIR Abas adalah warganegara Malaysia yang lahir di Singapura, pada 06 Mei
1969. Putra keenam –dari sembilan bersaudara– ini lahir dari Ibu Saemah yang
bersuamikan Abas. Pendidikan dasar sampai kelas 2 ditempuhnya di Singapura, lalu
dilanjutkan di Johor Bahru, Malaysia, hingga kelas tiga Sekolah Menengah. Setelah
itu melanjutkan pendidikan agama di Maahad Ittiba'us Sunnah di Kuala Pilah, sekitar
dua
tahun
setengah.
Pada akhir tahun 1987, Nasir mendapat pendidikan di Akademi Militer Mujahidin
Afghanistan, milik Mujahidin Afghan, selama tiga tahun. Setelah lulus pendidikan, ia
ditugaskan di Akademi Militer sebagai tenaga pelatih (instruktur) selama tiga tahun.
Selama enam tahun bersama Mujahidin Afghan, di sela-sela pendidikan dan tugas
melatih, ikut terlibat dalam pertempuran menentang tentara Rusia dan tentara
pemerintah
komunis
Kabul.
Selama dua tahun, akhir 1994 sampai akhir 1996,
dengan Pejuang Bangsa Moro, Mindanao, Filipina
membuka tempat latihan yang dinamakan Kamp
digunakan untuk melatih Pejuang Bangsa Moro dan
Islamiyah.
Nasir ikut berjuang bersama
Selatan. Bahkan ia sempat
Hudaybiyah. Kamp tersebut
para anggota Al-Jamaah Al-
Sebagai aktivis organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah dilakoninya sejak awal
dibentuknya pada awal tahun 1993 hingga pertengahan tahun 2003. Selain bertugas
sebagai pelatih (instruktur), Ketua Qirdas di bawah Wakalah Usman Bin Affan
(sekitar Johor Bahru) pada awal tahun 1997, Ketua Wakalah Badar Al-Kubra di
bawah Mantiqi Tsalis (III) pada akhir tahun 1997, dan menjabat Ketua Mantiqi Tsalis
(III)
sejak
April
2001.
Pada tanggal 18 April 2003 Nasir ditangkap di Bekasi, Jawa Barat, oleh pihak Polri
dalam rangka mengejar pelaku Bom Bali. Ia diadili di PN Palu, Sulawesi Tengah, dan
divonis hukuman selama 10 bulan. Hukuman tersebut ia jalani dan berakhir pada 18
Februari 2004.
Download