caru panca sata simbol keharmonisan manusia

advertisement
1
CARU PANCA SATA SIMBOL KEHARMONISAN
MANUSIA DENGAN KOSMOS
Oleh I Made Arista
Dosen Fakultas Pendidikan Agama dan Seni UNHI Denpasar
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Caru dikelompokkan menjadi beberapa jenis menurut sarana,
pemanfaatan dan fungsi, diantaranya: caru eka sata, panca sata, panca sanak,
panca kelud, rsi gana, dan lain sebagainya. Hal ini diamanatkan oleh
“Bhagawad Gita” sebagai perputaran Cakra Yadnya ‘berkurban secara timbal
balik antara Tuhan dengan manusia’. Salah satu tindakan yang mengikuti
konsep cakra yadnya ialah Caru Panca Sata. Sarana dan praktek caru ini,
tertanam berbagai simbol keharmonisan manusia dengan kosmos/alam secara
sekala maupun niskala. Bagi umat Hindu, hal ini tidak bisa diabaikan, karena
naskah-naskah Hindu sejak lama telah menyadari dan meramalkan kerusakan
alam yang akan terjadi.
Kata Kunci: Caru Panca Sata, harmonis, manusia, kosmos
I. PENDAHALUAN
Manusia dan alam merupakan satu kesatuan, seperti yang dinyatakan
oleh Anton Bakker (1995) bahwa, alam semesta tidak dapat dipahami tanpa
ada manusia dan manusia tidak dapat dipahami tanpa ada alam. Keduanya
saling membutuhkan, saling mengisi dan selalu berinteraksi. Kesejahteraan
manusia tidak terlepas dari eksistensi alam. Alam lestari karena tindakan arif
manusia. Senada dengan itu, Frintjof Capra (2001: 13) menyatakan hubungan
kosmos atau alam dengan manusia, dipandang sebagai suatu realitas yang tak
terpisah; selamannya berada dalam gerak, hidup, organik; bersifat spiritual dan
material pada waktu yang bersamaan.
2
Khusus dalam pandangan Hindu, seperti dinyatakan oleh Prof. Dr. I
Gusti Ngurah Nala (1995: 4, dalam Suda (ed), 2010: 6) bahwa: di alam
semesta ini harus ada keseimbangan antara unsur yang tidak hidup, disebut
dengan Panca Mahabhuta, meliputi: teja ‘sinar matahari’, apah ‘air’, bayu
‘udara’, pertiwi ‘tanah’, dan akasa ‘ether’, dengan unsur hidup yang disebut
sarwa prani”. Unsur-unsur tersebut merupakan inti dari siklus kosmos dan
atau kelimanya saling bersinergi dalam bhuana alit ‘tubuh manusia’ dan
bhuana agung ‘alam semesta’. Dalam konteks ini, Bhuta Yadnya merupakan
simbol penetralisir kekuatan-kekuatan destruktif atau tenaga penghancur
Panca Maha Bhuta. Dengan harapan, alam semesta dan isinya menjadi bhuta
hita ‘makhluk harmoni’ seperti yang diamanatkan dalam Sarascamuscaya 135
(Kajeng, 1997). Dan sebaliknya tidak menjadi bhuta krodha ‘makhluk
penghancur’.
Jika manusia arogan terhadap alam, tentu alam juga membalas dengan
kemurkaan. Tindakan illegal loging ‘penebangan hutan sembarangan’
berdampak tanah longsor, erosi, banjir dan lain sebagainya. Lalu siapa yang
disalahkan? Dengan melihat masalah tersebut, ternyata spirit keharmonisan
antara manusia dengan alam telah diingkari oleh sebagian besar manusia
modern. Masuknya “kapitalisme” dan isme-isme sejenis dapat memudarkan
berbagai kearifan lokal tentang pelestarian lingkungan. Jika dihayati,
lingkungan sangat berperan dan atau berarti luar biasa bagi kehidupan
manusia.
Karena
sejalan
eksistensi
kehidupan
manusia,
lingkungan
menyediakan berbagai limpahan kebutuhan pokok; sandang, pangan, papan
hingga kebutuhan rohani. Melihat jasa alam begitu luar biasa bagi manusia,
semestinya manusia tidak angkuh terhadap alam. Jika alam terusik, sesekali ia
menampakkan kemurkaan. Lihat saja banjir bandang di Wasior (Papua) yang
terjadi baru-baru ini, telah mengingatkan kita pada keganasan alam yang
terusik.
3
Oleh masyarakat Hindu di Bali, keharmonisan manusia dengan alam
disebut palemahan. Hubungan seperti ini tidak hanya dilakukan dengan
lingkungan, juga dengan Sang Pencipta/Ida Sang Hyang Widhi Wasa
(Parhyangan)
dan
sesama
manusia
(Pawongan).
Kesatuan
segitiga
harmonisasi universal ini disebut Tri Hita Karana. Konsep ini menjadi
landasan dasar kehidupan masyarakat Hindu di Bali, dalam tatanan agama,
adat, budaya, ekonomi, individu dan sebagainya. Konsep ini telah diakui oleh
dunia internasional sebagai maskot world peace ‘perdamaian dunia,
keharmonisan dunia’. Pengamalan konsep tersebut
pada hakekatnya
menghantarkan manusia menuju Moksartham jagadhita ya ca iti dharma
‘kebahagiaan di dunia dan akhirat’.
Khusus dengan palemahan, juga tersirat dalam upacara, seperti; bhuta
yadnya merupakan kegiatan hidup untuk ber-yadnya kepada alam, karena
alam sudah sedemikian besar ber-yadnya kepada manusia (Wiana, 2007: 166).
Yadnya berupa simbol-simbol ini dipraktekan lewat masegeh, tawur, pakelem
dan mecaru. Caru dikelompokkan menjadi beberapa jenis menurut sarana,
pemanfaatan dan fungsi, diantaranya: caru eka sata, panca sata, panca sanak,
panca kelud, rsi gana, dan lain sebagainya. Hal ini diamanatkan oleh
“Bhagawad Gita” sebagai perputaran Cakra Yadnya ‘berkurban secara timbal
balik antara Tuhan dengan manusia’:
Evam pravartitam cakram
nānuvartayatītha yah,
aghāyur indiyārāmo
mogham pārtha sa jīvati (B. G. III. 16)
‘Dia yang didunia ini tidak ikut memutar roda (cakra yadnya) yang
sudah ditetapkan untuk selalu bergerak, adalah jahat di dalam sifatnya,
hanya pemuasan indria saja yang menjadi tujuan hidupnya dan orang
seperti itu wahai Partha (Arjuna) akan hidup sia-sia’ (Pudja, 2004: 88).
Salah satu tindakan yang mengikuti konsep cakra yadnya ialah Caru
Panca Sata. Sarana dan praktek caru ini, tertanam berbagai simbol
keharmonisan manusia dengan kosmos/alam secara sekala ‘nyata’ maupun
4
niskala ‘tak nyata’. Bagi umat Hindu, hal ini tidak bisa diabaikan, karena
naskah-naskah Hindu sejak lama telah menyadari dan meramalkan kerusakan
alam yang akan terjadi. Sehingga ajaran Hindu banyak mengandung nilai
pelestarian alam. Meminjam teori ekosentrisme bahwa etika terpusat pada
seluruh komunitas ekologi, baik yang hidup maupun tidak, sehingga
kewajiban moral untuk menjaga tidak hanya pada mahkluk hidup namun juga
pada unsur alam yang tidak hidup (Keraf, 2010: 92-93). Sebaliknya manusia
saat ini sebagai penganut paham antroposentrisme: manusia sebagai pusat
kosmos atau alam semesta. Maka dari pada itu, muncul egoisme manusia
terhadap
alam.
Lahirnya
ekosentrisme
sebenarnya
untuk
mengikis
antroposentrime, dan dalam usaha memperjuangkan hak asasi lingkungan
yang “diperkosa”.
Fenomena pemerkosaan alam dilukiskan oleh Anton Bakker, (1995: 6)
bahwa: “Bumi kita adalah dalam bahaya: manusia sedang membongkar
kekayaan makhluk-makhluk yang menjadi ‘rekannya’ di bumi ini, dan sedang
mengosongkan dan malahan meracun lingkungannya”. Memang benar, segala
yang ada di alam ini telah mengandung racun, dari yang tampak – tak tampak,
besar – kecil, seperti: tanah, air, udara, manusia, tumbuhan, hewan, eter
(ozon). Maka dari pada itu, nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Caru
Panca Sata dan caru/tawur yang lain parlu digali dan dikembangkan dalam
kehidupan masyarakat modern dan global.
II.PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian, Bentuk dan Pelaksanaan Caru Panca Sata
2.1.1. Pengertian Caru Panca Sata
Ritus Hindu memiliki keragaman bentuk, jenis, fungsi, dan makna.
keberagaman ini disebabkan oleh tujuan dan manfaat yang ingin dicapai.
Secara umum keberagaman ini dirangkum dalam Panca Yadnya ‘lima jenis
korban suci atau tindakan yang dilakukan secara tulus iklas’: (1) Dewa
5
Yadnya ‘yadnya kepada para Dewa’; (2) Pitra Yadnya ‘yadnya kepada leluhur
dan orang tua’; (3) Rsi Yadnya ‘yadnya kepada rohaniawan dan guru’; (4)
Manusa Yadnya ‘yadnya kepada sesama manusia’ dan (5) Bhuta Yadnya
‘yadnya kepada makhluk halus dan lingkungan’. Pengelompokan ke dalam
lima jenis yadnya tersebut, didasari oleh konsep Tri Rna ‘tiga hutang yang
harus dibayar oleh manusia’.
Begitu gencar yadnya di Bali dilaksanakan, atau dapat dikatakan tiada
yadnya setiap hari yang terlewatkan. Dari yadnya terkecil hingga terbesar
selalu ada dalam bingkai keagamaan dan kebudayaannya. Walaupun
demikian, sebagian besar masyarakat Bali dihadapkan dengan masalahmasalah mendalam, seperti; mereka melakukan yadnya secara rutin, namun
bila ditanya tentang, makna, nilai, arti yadnya yang dilakukan, terkadang
“bingung” dan “tidak tahu” dalam benak mereka. Hal ini tidak bisa disalahkan
begitu saja, mungkin karena umat Hindu di Bali sejak lama telah menjalankan
agama dengan praktek langsung dan jarang para pendahulu untuk
menceritakan apa sebearnya terkandung dalam sebuah yadnya. Minat baca
rendah menyebabkan teks-teks keagamaan jarang dibaca atau Hindu sejak
lama bukan “agama kitab”, yang terpusat pada satu kitab suci baku atau
dogma. Pada lain sisi, teks-teks keagamaan hanya diketahui dan dipegang oleh
Geria atau rohaniawan. Penekanan konsep aywa/aja wera ‘tidak boleh
diremehkan’ pula menjadi penyebab utama. Namun agama-agama Smit
terpusat mengamalkan “perintah” kitab suci. Seperti pelaksanaan Caru Panca
Sata, jarang diketahui maknanya, padahal ritual ini sering dipraktekakan. Oleh
kerena itu, untuk mengetahui secara menyeluruh, terlebih dahulu berangkat
dari pengertian Caru Panca Sata.
Secara etimologi Caru Panca Sata terdiri kata Caru, Panca, dan Sata.
Caru dalam kitab “Swara Samhita” artinya harmonis atau cantik (Wiana,
2007: 174). Panca ‘lima’ (Zoetmulder, 2004: 751) dan Sata ‘ayam’ (Panitia
Penyusun, 1978: 503; Zoetmulder, 2004: 1054). Jadi Caru Panca Sata adalah
6
suatu bentuk persembahan yang terbuat dari lima jenis ayam, disembelih dan
diolah menjadi simbol-simbol berupa jenis-jenis makanan khas Bali untuk
menjamu Bhuta Kala supaya harmonis.
Dapat dikatakan Caru Panca Sata merupakan makanan atau sebagai
perjamuan terhadap para bhuta dan kala berjumlah lima, berada pada posisi
Timur, Selatan, Barat, Utara dan Tengah. Ajaran agama Hindu yang
mendasari tata pelaksanaan macaru adalah konsep krodha ‘marah’ dan
(menjadi) somya ‘ruatan’. Meruat dari sifat yang destruktif menjadi yang
konstruktif, dari yang merusak menjadi harmonis, dari sekala ke niskala, dari
kemarahan menjadi kedamaian.
2.1.2. Bentuk Caru Panca Sata
Secara umum Caru Panca Sata terbuat dari bahan utama berupa lima
jenis/warna ayam yang disembelih (putih, biying, putih syungan, hitam dan
brumbun), bayang-bayang/layang-layang ‘kulit, bulu, kepala, kaki dan sayap
tetap utuh melekat pada kulit’. Darah dipisahkan berdasarkan jenis ayam,
dipakai untuk melengkapi tetandingan (mentah dalam takir daun pisang) dan
sebagai campuran urab barak. Masing-masing daging ayam diolah menjadi
sate lembat ‘tumbukan daging dicampur dengan bumbu Bali dan kelapa
parut’, ususnya diolah menjadi sate asem dan serapah ‘usus atau daging yang
direbus ditusuk dengan bambu kecil yang diraut (katikan), 3 irisan tiap katik’.
Begitu pula disertakan urab barak, urab putih, sayur, garam, balung ‘tulang’.
Jumlah sate dan bayuhan dari masing-masing ayam ditentukan dengan
urip/neptu ‘hitungan angka-angka mistis dihubungkan dengan arah mata
angin’, seperti: (1) Ayam putih dengan urip 5, arah Timur; (2) ayam biying
‘merah’ urip 9, arah Selatan; (3) ayam putih siyungan urip 7, arah Barat; (4)
ayam hitam urip 4, arah Utara dan (5) ayam brumbun urip 8, arah Tengah
(lihat pula dalam tabel di bawah).
7
Bayang-bayang ditata dan dibentangkan di atas sengkui, di lengkapi
dengan sorohan banten caru, tumpeng dan nasi menurut warna, urip masingmasing ayam atau arah mata angin. Masing-masing dilengkapi dengan
sanggah cucuk, diatasnya diletakkan banten dananan. Tetabuhan (arak, berem
dan air) dimasukkan dalam cambeng. Masing-masing jenis ayam dilengkapi
dengan sanggah cucuk. Adapun secara rinci dapat dilihat pada tabel di bawah
ini:
No
Ayam
Arah
Urip
Warna
Bhuta
Dewa
Aksara
1
Putih
Timur
5
Putih
Jangitan
Iswara
Sa (Sang)
2
Biying
Selatan
9
Merah
Langkir
Brahma
Ba (Bang)
3
Putih
Barat
7
Kuning
Lembukanya
Mahadewa
Ta (Tang)
Siungan
4
Hitam
Utara
4
Hitam
Taruna
Wisnu
A (Ang)
5
Brumbun
Tengah
8
Panca
Tiga Sakti
Siwa
I (Ing)
Warna
Disamping itu, dilengkapi pula dengan soroan: peras, penyeneng,
pengambeyan dan lain sebagainya, untuk banten pesaksi ‘bentuk persembahan
untuk memohon saksi’ ke Surya. Banten pemiak kala, prayascita, durmangala
sebagai pebersihan.
2.1.3. Pelaksanaan Caru Panca Sata
Setelah upakara Caru Panca Sata tertata pada tempat ritual, Pemangku
lalu ngantebang ‘menghantarkan, mempersembahkan, memantrai’ caru.
Terlebih dahulu dilakuakan dengan mantra penyucian diri, dan memohon
tirtha penglukatan. Selanjutnya Mebiakala/byakaonan, matur piuning
‘memohon saksi kepada Ida Hyang Widhi Wasa dalam prabawa sebagai Sang
Hyang Surya Raditya’ di hadapan sanggar surya. Dilanjutkan dengan
makalahias/pebersihan/nyapsap ‘pembersihan secara niskala’. Puncaknya:
8
ngaturang caru (ngundang bhuta, penyuguhan kepada bhuta, ngewaliang
‘mengembalikan’ bhuta agar menjadi Dewa), nuludang sanggah cukcuk ke
arah tengah, dan ngerarung caru. Adapun mantra Caru Panca Sata yang
lazim dipakai oleh pemangku dalam ngantebang upakara ini adalah:
Ong Sang bhūta Janggitan, aneng pūrwa, pĕţak warņa nira, pañca
uripnya, Sang Bhūta Langkir aneng daksina, abang warna nira, sanga
uripnya. Sang Bhuta Lĕmbukanya, aneng pascima, pita warna nira,
sapta uripnya. Sang Bhuta Taruna aneng uttara, krsna warna nira,
catur uripnya. Sang Bhuta Tiga Sakti, aneng Madhya, manca warna
warna nira, asta uripnya. Mapupul ta sira kabeh, den amangan caru,
wus sira amangan anginum caru iki, pamantuka sira ring desa soangsoang, anadi watĕking dewata kabeh, angradana urip waras, tĕguh
timbul, akulit tĕmaga, aotot kawat, awalung wĕsi, mangkana de nira
nugraha ring sang adruwe caru. Om Sang Bang Tang Ang Ing Nang
Mang Sing Wang Yang, Ang Ung Mang. Ong Ang Khang Kasol kaya
Isana swasti swasti swasti, sarwa Bhuta sukha pradhana namo namah
swaha. Ong Siddhir astu swaha.
‘Oh, Sang Bhuta Jangitan di Timur, putih warnamu, lima jumlah
angkamu. Sang Bhuta Langkir di Selatan, merah warnamu, sembilan
jumlah angkamu. Sang Bhuta Lembukanya di Barat, kuning warnamu,
tujuh angkamu. Sang Bhuta Taruna di Utara, hitam warnamu, empat
angkamu. Sang Bhuta Tiga Sakti di tengah, lima warna (campuran
putih, merah, kuning dan putih) warnamu, delapan angkamu.
Berkumpullah engkau semua dan memakan suguhan caru ini, setelah
engkau makan dan meminum pulanglah engkau, dan ciptakanlah hidup
sehat, tegar, berkulit tembaga, berotot kawat, bertulang besi, begitulah
kau berikan kepada orang yang mempersembahkan caru ini. Ong Sang
Bang Tang Ang Ing Nang Mang Sing Wang Yang, Ang Ung Mang
9
Caru ini biasa dipakai mengawali piodalan madia, meruat pekarangan
rumah, meruat cuntaka, pengrupukan (satu hari sebelum hari raya Nyepi) dan
dasar-dasar dari caru dan tawur yang lebih besar seperti: Caru Panca Sanak,
Caru Rsi Gana, Caru Panca Klud, Panca Sanak Medurga, Tawur Balik
Sumpah, Tawur Panca Wali Krama, Eka Dasa Ludra dan lain sebagainya
(Wikarman, 1998). Bila tidak demikian, caru atau tawur yang lebih besar
dianggap tidak memiliki arti, karena Caru Panca Sata merupakan inti dari
caru/tawur yang lebih besar. Begitu arif leluhur Bali mengkonsepsi yadnya
seperti ini, bahkan dalam konsepnya menekankan struktur (dari tingkat
nistaning nista (inti, sederhana) menuju uttamaning uttama (paling utama).
Senada dengan itu, meminjam pendapat Kontjaraningrat bahwa “komponen
sistem kepercayaan, komponen sistem upacara dan kelompok-kelompok
religius yang menganut sistem kepercayaan dan menjalankan upacara-upacara
religius, jelas merupakan ciptaan dan hasil akal manusia” (Koentjaraningrat,
2008: 149). Selain itu Ny. I. G. A. Mas Putra (1993) mengelompokkan
menjadi dua bagian pemakaian Bhuta Yadnya: (1) Yang berdiri sendiri: Tawur
Kesanga, dasar dari sebuah pembangunan rumah atau tempat suci dan lain
sebaginya; (2) yang menyertai upacara-upacara yang lainya, seperti piodalan,
dan lain sebagianya.
2. 2. Fungsi dan Makna Caru Panca Sata
Tindakan manusia terarah pasti memiliki tujuan dan fungsi, secara
simbol maupun realita. Seperti Caru Panca Sata, secara spesifik dilihat dari
sarana, rangkaian, puja mantra, maka memiliki fungsi-fungsi di antaranya:
2.2.1. Fungsi Caru Panca Sata
1. Fungsi Niskala
“Kosmos dipandang suatu realitas yang tak terpisah; selamanya berada
dalam gerak, hidup, organik; bersfat spiritual dan material pada waktu yang
bersamaan” (Capra, 2001: 13). Maka dari pada itu umat Hindu melaksanakan
10
upacara caru Panca Sata yang sarat akan nuansa spiritual. Adapun fungsi
niskala atau spirit dari Caru Panca Sata adalah:
a. Sebagai Jamuan kepada Bhuta dan Kala, seperti bhuta petak/putih =
Bhuta Jangitan dari arah Timur, bhuta abang/merah = Bhuta Langkir
dari arah Selatan, bhuta kuning = Bhuta Lembukanya dari arah Barat,
bhuta ireng/hitam = Bhuta Taruna dari arah Utara, dan Bhuta Tiga Sakti
di Tengah.
b. Sebagai Pengendalian atau Nyomya/Nyupat, yang berhubungan erat
dengan fungsi jamuan di atas. Fungsi ini dapat diketahui dari sebagian puja
mantra Caru Panca Sata di atas, seperti: “Wus sira amangan anginum
caru iki, pamantuka sira ring desa soang-soang, anadi wateking dewata
kabeh….. ‘Setelah engkau memakan, meminum caru ini, pulanglah
engkau kepada asalmu masing-masing, jadilah engkau Dewata’. Sehingga
kekuatan Tuhan (Bhuta kala) yang memiliki aspek destruktif, garang,
krodha ‘marah’, supaya kembali ke aspek santhi/santha ‘damai’, dalam
wujud Panca Dewata (aksara suci Sang (Sayojata) = Dewa Iswara di
Timur, Bang (Bamadewa) = Brahma di Selatan, Tang (Tatpurusa) =
Mahadewa di Barat, Ang (Agora) = Wisnu di Utara, dan Ing (Isana) =
Siwa di Tengah. Begitu pula dalam Manawa Dharmasastra menjelaskan
bahwa alam semesta diciptakan dari unsur mahābhūta yang bersumber
dari Tuhan itu sendiri:
Tatah svayambhūr bhagavān
avyakto vyañjayannidam,
mahābhutādi vŗttaujāh
prādurāsītta monudah (M. D. I. 6.).
‘kemudian dengan kekuatan tapanya, Yang Maha Ada dengan
sendirinya walaupun tanpa wujud, menciptakan alam semesta ini
secara bertahap, dari mahābhūta (unsur alam semesta) dan lainnya,
yang melenyapkan kegelapan (Pudja dan Sudharta, 2004: 2).
c. Sebagai
harapan
permohonan
keharmonisan
oleh
orang
yang
melaksanakan caru, seperti tertuang dalam puja mantra Caru Panca Sata
11
di atas: angradana urip waras ‘membuat tubuh sehat’, teguh timbul ‘anti,
kuat, tahan terhadap mara bahaya’, akulit temaga ‘kulit kuat seperti
tembaga’, aotot kawat ‘berotot kawat’, awalung wesi ‘bertulang seperti
besi’, mangkana de nira nugraha ring sang adruwe caru ‘demikian
engkau (Bhuta yang sudah di-somya menjadi dewa) menganugrahkan
orang yang melaksanakan caru’.
2. Fungsi Sekala
Selain secara Niskala, dalam realita (sekala) yang dimaksud dengan
Bhuta Kala adalah personifikasi unsur-unsur alam yang tampak, dari kesatuan
unsur tersebut, alam ini mengambil wujud (kesatuan Panca Maha Bhuta:
Prthiwi = padat/bumi, Apah = cair, Teja = cahaya/panas, Bayu = udara dan
Akasa = langit/eter). Begitu pula Frincof Capra (2001: 14) mengemukakan
hubungan ini seperti “…….melihat dunia sebagai sebuah sistem dari
komponen-komponen tak terpisah, saling berintegrasi, dan selalu bergerak,
bersama manusia sebagai satu bagian yang integral dari perputaran kosmos”.
Secara nyata Caru Panca Sata dilakuakan kepada lima unsur alam tersebut
(Panca Maha Bhuta), dengan menjadikan diri harmonis dengan alam,
diwujudkan dengan prilaku moral melestarikan dan menjaga kelangsungan
ekologi alam sehingga harmonis. Misalnya wujud dalam tindakan nyata
seperti:
a. Prthiwi = Bumi, tanah, benda padat. Kepada bumi semestinya manusia
memelihara kesuburan tanah, melestarikan hutan.
b. Apah = zat cair, air. Tidak mengotori air dengan limbah, sampah dan zat
beracun lainnya.
c. Teja = api, panas, cahaya, dijaga agar tidak sampai membakar hutan yang
merupakan paru-paru dunia, panas di bumi dijaga stabilitasnya dengan
cara melestarikan hutan agar tidak terjadi global warming ‘pemanasan
global’ dan memanfaatkan energi bumi dan matahari dengan tepat guna.
12
d. Bayu = angin, udara, dilakukan dengan cara tidak mencemari dengan asap
pabrik, asap kendaraan, asap rokok, asap kebakaran hutan dan lain
sebagainya.
e. Akasa = Eter/langit, ruang, dilakukan dengan cara menjaga tata ruang
yang ada pada lingkungan, sehingga lingkungan tertata dengan rapi dan
tidak mengalami gerah, sumpek dan kepadatan.
Kelima unsur alam tersebut harus seimbang dan saling melengkapi,
dengan cara melakukan tindakan pelestarian lingkungan, satwa, dan
tumbuhan. Sehingga tercipta siklus ekologi alam yang dinamis. Jadi dapat
disimpulkan bahwa fungsi sekala dari pelaksanaan Caru Panca Sata adalah
mengharmoniskan bhuana alit ‘manusia’ dengan bhuana agung ‘alam
semesta’.
Secara lebih khusus pelestarian ini dilakuakan dalam tindakan Sad
Kertih: Atma Kertih ‘melestarikan keharmonisan jiwa’, Wana Kertih
‘melestarikan keharmonisan hutan sebagai penampung air dan produksi
oksigen’, Danu Kertih ‘pelestarian sumber-sumber air di danau, mata air dan
sungai’, Samudra Kertih ‘pelestarian keharmonisan laut’, Jagat Kertih
‘pelestarian sosial yang dinamis’. Tindakan ini secara umum dilakukan dengan
ritual-ritual yang sarat akan simbol, dalam maksud mengarahkan tindakan
manusia untuk melestarikan lingkungan dengan kearifan lokal yang sangat
dibutuhkan pada era globalisasi dan modernisasi, misalnya pemakaian kain
poleng ‘kain bermotif kotak-kotak hitam dan putih’ diikatkan pada pohon
besar’. Diikatkan kain ini, secara tidak langsung telah ikut andil dalam
pelestarian lingkungan, walaupun dalam tradisi di Bali, bahwa kayu yang
diikatkan tersebut, diyakini sangat angker dan pantang untuk ditebang (Suda
(ed) 2010). Kemungkinan keyakinan ini berasal dari kepercayaan animisme
yang masih berlanjut seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia. Tidak bisa
ditampik bahwa kepercayaan animisme memiliki andil dalam pelestarian alam
di seluruh dunia. Hampir kebudayaan suku-suku tradisional memiliki cara-
13
cara tersendiri dalam mempraktekkannya. Terkadang oleh masyarakat
modern, tradisi adiluhung ini dianggap remeh.
2.1.2. Makna Caru Panca Sata
Dari fungsi Caru Panca Sata yang telah disebutkan di atas, maka semakin
jelas makna dari caru. Adapun makna yang sangat mendasar dari caru ini
adalah Asih, yadnya dan bhakti.
1. Mengasihi (Asih) segala makhluk yang bersifat gaib (Bhuta dan Kala).
Kasih ini diwujudkan dengan pelaksanaan yadnya caru, dengan menjamu
mereka dengan makanan (caru) dan minuman berupa tetabuhan (arak,
berem dan air). Bhakti kepada kekuatan Tuhan dalam simbol Bhuta Kala
yang telah dalam keadaan somya.
2. Asih diwujudkan dengan pelestarian unsur terpenting pada alam seperti:
tanah, air, energi alam, udara, dan tata ruang. Mengarah kepada tujuan
keseimbangan kosmos merupakan sebuah yadnya yang tak ternilai.
Tindakan ini pula didasari penuh rasa bhakti.
3. Penggunaan lima jenis ayam secara simbolik-diktatik mengarah kepada
manusia yang hendaknya mengurbankan sifat buruk. Dalam hal ini
disamakan dengan sifat-sifat dari ayam. Mereka terkadang berkelahi untuk
berebut makanan, kekuasaan dan sex.
III. SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka tulisan
singkat tentang Caru Panca Sata ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
Caru Panca Sata merupakan suatu bentuk persembahan yadnya umat
Hindu di Bali, terbuat dari lima jenis ayam dan diolah sedemikian rupa
14
sehingga terbentuk beberapa jenis makanan untuk menjamu Bhuta
Kala.
Secara umum memiliki fungsi Niskala dan Sekala. Pada intinya untuk
mengharmoniskan dunia (bhuana agung dan bhuana alit) beserta
unsur-unsurnya.
Caru Panca Sata dan jenis Bhuta Yadnya lain pada intinya
mengandung makna asih, yadnya dan bhakti. Dari kasih kita akan rela
berkorban dengan ketulusan hati (yadnya). Dari korban yang tulus ini
kita dapat berbakti kepada Ida Sang Hyang Widhi dalam berbagai
perbawa-Nya, termasuk kepada kekuatan Ida Sang Hyang Widhi
sebagai Sang Hyang Panca Maha Bhuta yang telah di-somya.
DAFTAR PUSTAKA
Bakker, Anton. 1995. Kosmologi dan Ekologi Filsafat Tentang Kosmos
Sebagai Rumahtangga Manusia. Yogyakarta: Kanisius.
Capra, Frintjof. 2001. Tao of Physics: Menyingkap Paralelisme Fisika Modern
dan Mistisme Timur. Terjemahan Pipit Maizier. Yogyakarta:
Jalasutra.
Kajeng, I Nyoman, dkk. 1997. Sārasamuccaya: Dengan Teks Bahasa
Sanskerta dan Jawa Kuna. Surabaya: Paramita.
Keraf, Sonny. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Kompas.
Keramas, Dewa Made Tantera. 2008. Metode Penelitian Kwalitatif dalam
Ilmu Agama dan Kebudayaan. Surabaya: Paramita.
Koentjaraningrat. 2008. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Cet ke23. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Panitia Penyusun. 1978. Kamus Bali-Indonesia. Dinas Pengajaran Propinsi
Daerah Tingkat I Bali.
Pudja, Gede. 2004. Bhagavad Gita (Pancama Veda). Surabaya: Paramita.
15
________dan Tjokorda Rai Sudharta. 2004. Manawa Dharmaśāstra (Manu
Dharmaśāstra) atau Veda Smŗti Compendium Hukum Hindu.
Surabaya: Paramita.
Putra, I. G. A. Mas. 1993. Panca Yadnya. Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi.
Suda, I Ketut (ed). 2010. “Idiologi Di Balik Pemakaian Saput Poleng Pada
Pohon Besar Di Bali”. Dalam Pelestarian Lingkungan Menurut
Agama Hindu (Dalam Teks dan Konteks). Surabaya: Paramita.
(Hal. 1-22).
Tim Penyusun. 1996/1997. Panca Yadnya: Dewa Yadnya, Bhuta Yadnya, Resi
Yadnya, Pitra Yadnya, dan Manusa Yadnya. Pemerintah
Daerah Tingkat I Bali. Proyek Peningkatan Sarana dan
Prasarana Kehidupan Beragama Tersebar di 9 Daerah Tingkat
II.
Wiana, I Ketut. 2007. Tri Hita Karana Menurut Konsep Hindu. Surabaya:
Paramita.
Wikarman, I Nyoman Singgih. 1998. Caru Palemahan dan Sasih. Surabaya:
Paramita.
Zoetmulder, P. J dan S. O. Robson. 2004. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Cet.
Ke-4. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
16
Download