SEMINAR DAN WORKSHOP KELOMPOK STRATEGIS “Eksistensi Milisi dan Memudarnya Tanggung Jawab Aktor Keamanan Negara” Hotel Santika Premiere Yogyakarta, 3 – 4 September 2013 MAKALAH Milisi Sipil (Lasykar), Negara dan Dinamika Kekuasaan Oleh: Tri Guntur Narwaya, M.Si Milisi Sipil (Lasykar), Negara dan Dinamika Kekuasaan Oleh : Tri Guntur Narwaya, M.Si 1 “Bagaimanapun sejarah lasykar yang penuh pergolakan menunjukan hal-hal penting mengenai perang kemerdekaan Indonesia” (Robert Cribb) Sejarah keterkaitan fenomena ‘milisi sipil’ 2 dan dinamika kekuasaan bisa dikatakan sangatlah erat. Dalam aspek sosiologis tentu saja gejala berkembangnya milisi sipil tentu bisa merupakan bagian warna dari watak komunal masyarakat. Pada gejala yang lebih khusus barangkali kita bisa menyebutnya sebagai bagian dari dinamika ‘politik massa’. Pada aspek lain, fenomena milisi sipil bisa dikatikan juga dengan warna tak terhindarkan dari dinamika perkembangan dan dialektika keorganisasian politik modern hari-hari ini. Banyak catatan sejarah yang bisa menggambarkan bagaimana fenomena milisi sipil dalam berbagai varian bentuknya, pernah hadir dalam perjalanan sejarah Indonesia. Penyebutan milisi sipil sendiri tentu merupakan istilah sangat terbuka yang tidak memiliki rujukan baku dan pasti tertentu, meskipun dalam dimensi-dimensi khusus merujuk pada fenomena persoalan tertentu. Pada perbincangan umum ia seringkali dilekatkan pada wajah kekuatan atau kelompok orangorang tertentu yang berkelompok, diikat oleh dasar kepentingan, motivasi dan tujuan tertentu baik yang terorganisir dengan baik maupun hanya hadir sebagai perkumpulan yang lebih terbuka.Ia bisa diikat karena berbagai kebutuhan sentimen yang sama baik bisa berupa kedekatan kedaerahan, gagasan, ideologi maupun keagamaan. Meskipun sebenarnya karakteristik wajah seperti ini tidak bisa diseragamkan dan dalam banyak hal seringkali malah bertumpang tindih dengan berbagai problem dinamika yang ada. Kemenarikan fenomena milisi sipil, kelasykaran, kelompok, barisan, grup atau organisasi massa yang ingin ditampilan dalam paper ini dikontekskan dengan problem khusus hari-hari ini, terutama dengan merebaknya kultur dan habitus kekerasan yang sering terlihat menggunakan atribut-atribut kelompok massa tertentu. Tentu saja paper ini tidak juga berkehendak ingin mengatakan secara simplistis bahwa problem kekerasan adalah satu wajah dengan problem milisi sipil. Banyak faktor dan dimensi yang berkelindan dan membentuk lapis-lapis persoalan sehingga karakteristik kekerasan itu melekat pada fenomena milisi sipil. Ada dimensi sosial, politik, ekonomi dan bahkan politik internasional dimana perkembangan milisi sipil itu mulai diperhitungkan. ‘Lasykar’ dan Keterlibatan dalam Sejarah Pergerakan Sebelum berkisah banyak dalam sisi-sisi dan naras-narasi negatif tentang fenomena lasykar atau milisi sipil tentu kita perlu menengok sebentar bagaimana lasykar pernah terlibat dan memberi andil cukup 1 Pemateri adalah Staf Divisi Riset Pusham UII Yogyakarta dan sekarang Kuliah di Program Doktoral Kajian Budaya dan Media Universitas Gajah Mada. 2 Pada paper ini penulis juga akan kadangkala menggunakan istilah “lasykar” sebagai hal yang identik dengan ‘Milisi Sipil”. Meskipun harus diakui memang dalam beberapa penyebutan masing-masing kelompok sering menggunakan kata dan istilah yang berbeda makna. 1|Page besar pada setiap jejak sejarah pergerakan Indonesia. Meskipun peran itu tidak bisa dikatakan sebagai sebuah garis determinasi yang tunggal namun lapis-lapis keterkaitannya memang hidup dalam gerak sejarah pergerakan Indonesia. Robert Cribb dalam hasil desertasinya tentang kisah lasykar ini bahkan mengatakan bahwa keterkaitan para layskar yang berasal dari dunia hitam (bandit) masyarakat sangat krusial dalam akar revolusi sosial Indonesia. 3 Fenomena itu kemudian dalam perkembangannya mulai tersamarkan dan terhilangkan. Bahkan dalam banyak hal kemudian kisah dan perannya tenggelam oleh kisah-kisah aktor dan tokoh pahlawan besar yang lebih individual. Pada aspek keahlian, kekuatan dan jaringannya, pada awalnya banyak kekuatan-kekuatan sosial masyarakat yang terdiri dari para preman, bandit dan penjahat kriminal kemudian bertemu dengan kepentingan para pejuang kemerdekaan dalam ikut serta melakukan upaya revolusi sosial. 4 Peran ini tidak bisa dianggap sepele. Dalam masa-masa perlawanan dan revolusi sosial tentu konsolidasi fisik kekuatan menjadi bagian penting dalam modal pergerakan. Bahkan dalam dimensi banyak hal fenomena lasykar ini bahkan menjadi salah satu bagian embrio terbentuknya ketentaraan modern dan profesional di Indonesia. Terbentuknya Tentara Indonesia, mau tidak mau juga diawali dengan fenomena kelsykaran ini. Namun karena lapis ikatan yang membentuk gejala kelasykaran ini juga longgar, maka juga banyak kekuatan-kekuatan kelompok sosial masyarakat ini juga dipakai untuk kepentingan kolonial Belanda dalam memerangi kaum pergerakan. 5 Pada era kekuasaan Jepang, fenomena penggunaan keterlibatan Laykar juga tidak serta merta menghilang. Prinsipnya pemerintahan penjajahan Jepang juga berkepentingan memobolisasi dukungan dengan merekrut barisan-barisan lasykar dan tentara cadangan untuk memerangi Sekutu. Lahirnya PETA mau tidak mau juga sangat terkait dengan kebutuhan ini. Bahkan beberapa organisasi massa penting dan sistem keorganisasian masyarakat yang dibentuk Jepang seperti Gerakan Tiga A, Putera, Keibodan, Jawahokokao, Seinendan dan Barisan Pelopor (Sushintai) merupakan wajah kentara dari berbagai kelindan kepentingan kekuasaan Penjajahan Jepang dalam memobilisasi masyarakat Indonesia. 6 Bahkan sampai sekarang jujur harus diakui beberapa sisa tradisi dan sistem keorganisasian semacam itu masih dipakai dan mempengaruhi sistem keorganisasian masyarakat sampai level bawah seperti RW, RT dan PKK. 3 Lihat, Robert Cribb, Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945 - 1949, Penerbit Masup Jakarta, 2010. Peran bandit sosial dalam konteks revolusi dan berkaitan dengan pernak-perniknya sendiri juga pernah dituliskan sangat menarik oleh Eric J. Hobsbawm. Lihat, Eric J. Hobsbawm, Bandit Sosial (terjemahan), Penerbit Teplok Press, Jakarta 2000. 4 Kecenderungan relasi ini memang tidak tunggal. Ada juga relasi mutualisme yang berjalan di mana banyak dari para kekuatan-kekuatan preman dan layskar ini membuituhkan jaringan kekuatan untuk mensikapi situasi chaos (ketiadaan hukum) pada transisi kolonial tersebut. Jadi tidak semata-mata karena pikiran laykar yang nasionalis namun banyak kepentingan yang saling mempengaruhi diantara keduanya. 5 Pada catatan sejarah Indonesia pada era kolonial Belanda kita mengenal nama kekuatan yakni ‘Korps Marsose’ dan juga ‘Veldpolitie’ (polisi desa) embrio lasykar atau tentara swasta yang terdiri dari orang-orang sipil yang kebanyakan direkrut dari daerah Jawa dan Ambon. Organisasi ini mempunyai struktur seperti Tentara tetapi dipimpin oleh sipil dan digunakan untuk kepentingan kekuasaan belanda dalam perang-perang penguasaan wilayah di Hindia Belanda. 6 Organisasi-organisasi masyarakat ini pada praktiknya juga melakukan pelatihan semimiliter pada anggotanya, menjaga kedisiplinan, dan juga instruksi penggunaan perang tak bersenjata dan bersenjata dengan bamboo runcing. Dalam aspek lain kekuatan-kekuatan kelompok lokal seperti para preman dan jagian lokal juga mengambil keuntungan dari relasi kepentingan penjajahan Jepang Lihat, Robert Cribb, Ibid, hal. 52. 2|Page Domain kelindan dan tali temali kepentingan ekonomi politik tentu menjadi dimensi sangat besar dalam fenomena munculnya berbagai kekuatan-kekuatan organisasi massa baik yang berbentuk kelaskaran seperti PETA maupun organisasi-organisasi lainnya. Relasi ini bagi Jepang jelas sebagai upaya mobiliasai dukungan Perang Jepang melawan Sekutu, namun bagi kepentingan elite dan tokoh pergerakan seperti Soekarno, Muhammad Yamin, Khaerul Saleh, Johan Nur ataupun Muhammad Hatta, pengalaman ini juga bisa menjadi modal berharga bagi pengalaman berorganisasi modern dalam meujudkan cita-cita kemerdekaan. Pada pengalaman revolusi setelah kemerdekaan, jelas beberapa dari keterlibatan peran Lasykar ini juga mengambil katakanlah keuntungan dari hengkangnya Belanda dan Jepang dari Indonesia. Beberapa tokoh dari kekuatan-kekuatan sosial itu kemudian mengambil dan diberi kedudukan dalam struktur kekuasaan pemerintahan. 7 Relasi Lasykar dan kekuatan milisi sipil yang bisa dikatakan cukup fenomenal yang terdiri dari mobilisasi pemuda-pemuda radikal, para aktor dunia hitam dan tokoh-tokoh pergerakan pernah ditunjukan dalam oragnisasi semacam API (Angkatan Pemuda Indonesia). 8 Organisasi yang bermarkas di Menteng 31 ini bisa dikatakan sebagai organisasi/lasykar massa yang cukup ditakuti pada masa pendudukan Jepang. API dengan beberapa tokohnya seperti Khaerul Saleh dan Johan Nur juga menjalin banyak hubungan dengan kekuatan dunia hitam dan para jagoan seperti Imam Syafei yang berkuasa di Pasar Senin dan dalam masa pemerintahan Presiden Soekarno pernah diangkat menjadi Menteri Negara Keamanan Rakyat. Milisi Sipil, Republik Baru dan Metamorfosisnya Memang harus diakui bahwa sejarah peran dan eksistensi lasykar/milisi sipil baik yang bersenjata maupun tidak bersenjata dalam perkembangnnya kemudian juga mengalamai perubahan-perubahan. Setelah era terlahirnya Tentara Profesional dalam republik Indonesia modern, eksistensi lasykar kemudian tersingkirkan. Pada sisi formal keberadaan lasykar yang sejak semula mempunyai otoritas dan kekuasaan dalam penggunaan senjata kemudian dihentikan. Namun dalam metamorfosis yang lain ia kemudian berkembang secara samar. 9 Dan kadang eksistensi kehadirannya merupakan tangan panjang dari mutualisme kepentingan kekuasaan. Dalam wajah awal perkembangannya sebenarnya embrio kelahiran lasykar atau organisasi massa baik pada awal pra kemerdekaan sampai setelah kemerdekaan merupakan salah satu bagian pertemuan menarik antara kemampuan memobilisasi pengetahuan organisasi, pengelolaan kepentingan maupun juga konsolidasi massa. Sejak pergerakan awal kemunculan tradisi organisasi-organisasi Indonesia modern awal seperti Sarikat Islam, Budi Utomo maupun Perhimpunan Indonesia selalu dalam berbagai 7 Fenomna ini amat jelas bisa terlihat pada awal-awal pembentukan republiki. Beberapa pentolan, jagoan dan pimpinan lasykar kemudian mendapat tempat yang penting dan berpengaruh. Contoh menarik diantaranya bisa kita lihat seperti sosok jagoan Haji Darip di Klender dengan Barisan Rakyat Indonesia yang menguasai berbagai jalur penting dalam kekuasaan Politik di Jakarta atau juga fenomena Haji Akhmad Khaerun di Tangerang dengan lasykar ubel-ubel yang sangat berpengaruh dalam kekuasaan politik dunia hitam di Tangerang. Lihat, Robert Cribb, Ibid, hal 68 - 69. 8 Selanjutnya API berkembang dan bermetamorfosis menjadi kekuatan Lasykar Rakyat yang amat ditakuti di Jakarta pada saat itu yang kemudian diberi nama Lasykar Rakyat Jakarta Raya (LRJR) yang merupakan gabungan dari kekuatan lasykar dan para mantran PETA dan juga tokoh tokoh semimiliter BKR. 9 Dalam banyak hal kemudian berkembang berbagai wajah lasykar atau milisi sipil yang secara tidak langsung berkait dengan berbagai kekuatan politik besar negara dan juga Tentara. Mereka secara organisatoris dikelola dan dibina baik langsung maup0un tidak langsung dalam mkutualisme kepentingan yang dibangun. Namun secara resmi neksistensi mereka sebagai bagian tubuh tentara telah ditiadakan. 3|Page perbedaan intensitas pilihan merupakan cikal bakal dari gambaran sebuah perkembangan transformasi orgaqnisasi modern. Pergerakan Sarikat Islam 10 hingga metamorfosisnya sebagai kekuatan radikal di jawa adalah buah dari pencampuran prinsip-prinsip di atas. Pencampuran dimensi kekuasaan, pengetahuan, aksesbilitas jaringan dan juga kekuatan massa sebenarnya dalam wajah yang tidak jauh berbeda masih ditiru dan diterapkan oleh kekuatan-kekuatan politik besar di Indonesia. Sejak sistem demokrasi kepartaian modern dan pemerintahan republik yang semakin modern, kondisi ciri semacam ini tak jauh berubah. 11 Hampir semua kekuatan baik partai politik Indonesia sampai pada ranah organisasi keamanan juga memiliki tangan-tangan panjang yang tak jauh berkait dengan lasykar dan milisi sipil. Pada banyak hal pendirian kekuatan-kekuatan ini tidak hanya sebagai pelengkap fungsional atau sayap kepentingan organisasi tapi pada aspek luas juga menjadi bagian koalisi besar kekuatan yang didorong oleh motivasi kepentingan ideologis 12 sampai pada problem kepentingan yang pragmatis sekalipun. 13 Eksistensi keberadaan kekuatan lasykar itu kemudian seringkali menggunakan atribut kepentingan yang menyebar dari yang ideologis, nasionalis, kedaerahan, agama sampai pada dukungan-dukungan spirit kesenangan tertentu seperti organisasi supporter sepak bola. Pada yang terakhir ini seringkali mereka juga menggunakan nama, simbol-simbol dan atribut-atribut yang tidak jauh berbeda dengan organisasi lasykar lainnya. Namun juga tak jarang terjadi lapis-lapis kepentingannya juga bisa bertemu satu dengan yang lain. Misal saja kita bisa mengenal organisasi lasykar itu pada awalnya merupakan sayap organisasi massa sebuah partai tertentu, tetapi juga bisa dimanfaatkan untuk kepentingan ideologis dan agama tertentu. Perubahan lapis-lapis relasi itu seringkali dipengaruhi oleh konteks dinamika sosial politik yang ada. Tak jarang juga mereka adalah organisasi lasykar kedaerahan tertentu tetapi menjadi bagian dari mobilitas dukungan kepentingan politik tertentu. Artimya kadangkala hubungan lapisan kepentingan itu bisa saja bersifat ketat seperti dalam relasi patron klien konvensional namun juga tak jarang lebih bersifat longgar 10 Secara detail bisa dilihat di Takashi Shiraishi, Jaman Bergerak : Radikalisme di Jawa 1912 - 1926. Penerbit Grafiti, Jakarta, 2005. 11 Lihat berbagai Partai Politik, kelompok agama, kelompok kesukuan, sampai institusi kekuasaan seperti tentara dan polisi dalam sejarah republik ini berdiri selalu mempunyai kedekatan dengan tradisi pembentukan kekuatan pendukungnya entah itu menyebut diri sebagai anak organisasi, organisasi sayap, lasykar, barisan pendukung, koalisi dukungan maupun sampai pada organisasi keamanan sebegai kekuatan pengaman organisasi induk dan kelompoknya. Contoh menarik pernah ditulis oleh Hairus Salim dalam melihat sejarah pembentukan dan keterlibatan kelompom para militer Banser NU. Lihat, Hairus Salim HS, Kelompok Paramiliter, Penerbit LKIS, Yogyakarta, 2004. 12 Pengalaman Orde Baru dengan kekuatan Golkar dan kelompok sosial politik pendukungnya dalam membangun pilar-pilar kekuasaan sejak awal transisi di tahun 1966 sampai rezim kekuasaannya, amat dekat dengan pembentukan organisasi-organisasi massa dalam segala sektor sampai pada wadah-wadah kekuatan milisimilisi sipilnya. Dalam konteks pengalaman sejarah kita mengenal organisasi-organisasi pelajar, mahasiswa dan pemuda yang disuport besar oleh tentara membangun aliansi penantang pemerintahan Presiden Soekarno/ Lihat, Arbi Sanit, Pergolakan Melawan Kekuasaan : Gerakan Mahasiswa antara Aksi Moral dan Politik, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999. Lihat juga beberapa kasus contoh keterkaitan kepentingan pragmatis politik dan eksistensi para lasykar dalam tulisannya Ngurah Suryawan. Lihat, I Ngurah Suryawan, Bali : Narasi dalam Kuasa Politik dan Kekerasan di Bali, Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2005. 13 Gambaran fenomena ini kerap muncul dalam momentum-momentum penting transisi kekeuasaan baik pusat maupun di daerah seperti Pemilu dan Pilkada. Banyak organisasi-organisasi massa dan mili sipil kemudian dibentuk demi kepentingan pragmatis. Namun dalam skala tertentu, organisasi semacam ini bisa saja dipertahankan secara permanen jangka panjang. 4|Page dan fleksibel (pragmatis). Sejarah pernah mencatat tragedy kelam dimana relasi pemanfaatan jasa kekuatan lasykar dan orang-orang yang dianggap preman (gali) berakhir dengan tragis. Kekuasaan yang dominanlah yang akhirnya menentukan apakah kekuatan ini harus dipertahankan ataupun tidak dipertahankan. 14 Liberalisasi, Institusionalisasi Demokrasi dan Segenap Tantangannya Konfigurasi penataan institusi kebangsaan dan model kenegaraan seringkali bukanlah peristiwa yang berjalan mulus. Selalu ada titik simpang dan ketegangan dalam pembentukannya. Titik simpang di ini bisa berarti sebuah medan kompromi, dialog, konflik dan bahkan ketegangan yang terjadi terus menerus berbagai kepentingan yang ada. Bisa dirasakan jejak ketegangan-ketegangan itu yang kerap membawa anak kandung berbagai konflik sosial hingga sejarah perlawanan baik dalam skala kelompok kecil sampai tingkat yang paling besar. 15 Dalam berbagai hal tentu saja berbagai kekuatan itu bisa saja bersifat laten, bawah tanah sampai pada deklarasi entitas gerakan yang nampak di permukaan. Barangkali memang problem institusionalisasi ini akan terus bergerak dan berkembang. Tata pelembagaan kebangsaan 16 Indonesia seringkali membawa konsekuensi berbagai dinamika konflik yang menyertakan berbagai kepentingan dari persoalan yang menyeret isu agama, politik, ekonomi sampai kesukuan. Transisi demokrasi dari rezim otoritarian telah juga menyertakan berbagai krisis dan konflik sosial dari berbagai kekuatan-kekuatan tersebut. 17 Ruang demokrasi menjadi pintu terbuka bagi perkembangan dinamika kemunculan berbagai aktor kepentingan termasuk ruang subur bagi pembentukan berbagai lasykar dan milisi sipil. Demokrasi pada mata pisau yang satu memberi harapan bagai terdengarnya aspirasi rakyat yang selama ini tidak mendapat tempat luas. Tetapi demokrasi yang berkecenderungan liberal ini telah juga membawa mata pisau berbagai kemungkinan lahirnya berbagai anarkis massa yang mengatasnamakan masyarakat sipil yang demokratis. Materi ini tidak akan masuk jauh pada kajian dinamika relasi dengan bagaimana kemudian penataan hukum dan demokrasi yang seharusnya dilakukan dalam tantangan ini. Penulis hanya akan memberi tekanan dan poin penting bahwa, demokrasi bisa menjadi ruang dan medan kosong perebutan yang mudah dibajak oleh siapapun untuk kepentingan esklusif berbagai kepentingan yang bertarung. 14 Peristiwa ini kerap disebut sebagai peristiwa “Penembakan Misterius (Petrus)”..dimana peran mereka yang semuala digunakan untuk pemenangan kepentingan rezim tertentu akhirnya berakhir dengan ‘politik pembasmian’. Lihat, Nico G. Schule Nordholt, “Kekerasan dan Anarki Negara Modern” dalam buku, Frans Husken & Huub de Jonge (eds), Orde Zonder Order : Kekerasan dan Dendam di Indonesia 1965 - 1998, Penerbit LKIS, Yogyakarta, 2002, hal. 84 - 108. 15 Kita bisa melihat misalnya contoh ketegangan dan perdebatan tentang pembentukan wujud negara sampai dasar ideologi negara yang ingin di pegang. Namun ketegangan juga bisa berasal dari berbagai persoalan yang menyangkut perebutan sumber daya kekuasaan. Untuk contoh terakhir ini pengalaman gerakan-gerakan sparatis rakyat di daerah dari pengalaman Gerakan Aceh Merdeka sampai Gerakan Papua Merdeka adalah salah atu wajah dari titik simpang itu. 16 Tesis tentang keterkaitan institusionalisasi kebangsaan, demokrasi dan berbagai konflik sosial di Indonesia pernah diajukan oleh Jacques Bertrand. Menurutnya tata pelembagaan demoktrasi dan kebangsaan seringkali akan memicu titik simpang berbagai ketegangan berkait dengan berbagai perbedaan kepentingan kelompok termasuk dalam persoalan alokasi kekuasaan dan akses terhadap sumber daya negara. Lihat, Jacques Bertrand, Nasionalisme dan Konflik Etnis di Indonesia, Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2012, hal. 42. 17 Lihat, Gerry Van Klinken, Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia, Penerbit Obor Jakarta kerjasama dengan KITLV Jakarta, 2007. 5|Page Ketika ruang pelembagaan hukum dan demokrasi ini hanya sebagai instrument lips service, maka sudah tentu kecenderungan itu akan selalu muncul. Kasus-kasus kekerasan yang sering dilakukan ormas atau lasykar tertentu adalah bagian wajah dari bagaimana sebenarnya penataan kelembagaan itu belum berjalan baik. Transisional politik tentu saja seringkali akan memberi warna politik ketidakpastian. Pada situasi ini tentu saja mendorong perubahan-perubahan pada konfigurasi kekuatan politik terutama pada sistem kekuasaan hegemonik yang sudah ada dan mendorong masing-masing kemudian membentuk sindikalisasi politik dalam mengamankan dan membentuk wajah kepentingan ke depan. Contok kasus juga bisa dilihat pada berkembangnya fenomena Islam politik di Indonesia yang bertumbuh subur pada fase transisional politik yang berjalan di Indonesia saat iklim demokrasi ingin dijalankan. 18 Problem ketegangan pelembagaan demokrasi ini tidak semata-mata sebagai persoalan problem tertutup yang dipengaruhi oleh dinamika internal sebuah negeri semata. Konfigurasi lahirnya berbagai ketegangan politik ini juga amat dipengaruhi oleh konfigurasi politik ekonomi yang juga terjadi diberbagai belahan dunia terutama struktur kepentingan ekonomi global. Sudah banyak buku dan tulisan yang secara umum meyakini determinasi keterkaitan ini. Namun yang lebih penting bahwa lahirnya berbagai aktor baru ataupun penguatan kembali kekuatan lama merupakan hasil dari kelindan relasi berbagai dimensi tersebut. Era liberalisasi ini semakin memungkinkan problem itu sangat terbuka terjadi. Koneksi jaringan politik ekonomi dengan sekian pengaruhnya ikut memberi warna yang lain. Dalam era liberalisasi politik pada hal-hal yang tidak terduga bisa saja hadir. Milisi-milisi sipil dalam negeri oleh berbagai hal tidak lagi hanya merupakan persoalan dalam negeri. Bahkan dalam metamorfosis negara yang lebih berkembang, ia bukan semata dimaknai sebagai problem nasional tetapi sudah merupakan persoalan global. Banyak catatan sejarah berbagai milisi sipil yang ada, dahulu hanya bekerja dan beraktifitas dalam skala domestik justru kemudian meluas menjadi sebuah jaringan koneksi kekuatan politik yang lebih luas. Fenomena ini hampir sama bisa diamati pada fase metamorfosis dan jalinan tali temali amat erat dengan berkembangnya berbagai bentuk milisi sipil yang lebih menyerupai kelompok keamanan swasta 19 yang kerap digunakan dalam kepentingan-kepentingan global. Catatan penting dari paper ini sejatinya ingin mengatakan bahwa dinamika persoalan hadirnya milisi sipil atau dalam beberapa penyebutan disebut dengan istilah ‘lasykar’ adalah sebuah problem yang sangat terkait dengan proses sejarah dinamika ekonomi politik sebuah negara. Tak ada sebuah gerakan yang terlahir dari ruang hampa. Meskipun jalinan tali temali diantara dimensi pengaruh tidak seragam namun masing-masing telah memberi kontribusi pada intensitas dan skala aktifitasnya. Fenomena gejala milisi sipil harus diletakkan pada konteks bagaimana tata pelembagaan kebangsaan dan demokrasi ini mau disusun. Tak sedikit memang ada kontribusi amat krusial tentang eksistensi kekuatan milisi sipil ini dalam kenteks pembentukan bangsa ini, namun tak sedikit pula bahwa perkembangannya juga seringkali menghadirkan wajah seram yang selalu membawa dampak kontraproduktif bagi harapan dan cita-cita demokrasi yang lebih bermartabat. Selamat berdiskusi !! 18 Lihat, Noorhaidi Hasan, Islam Politik Di Dunia Kontemporer : Konsep, Geneologi dan Teori, Penerbit Suka Press, Yogyakarta, 2012, hal. 120. 19 Lihat, Veronika Sintha Saraswati, Imperium Perang Militer Swasta: Neoliberalisme dan Korporasi Bisnis Keamanan Kontemporer, Penerbit ResistBook, Yogyakarta, 2009. 6|Page