BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) Teori keagenan merupakan teori yang mengungkapkan hubungan antara pemilik (principal) dengan manajemen (agent). Teori ini menjelaskan bahwa hubungan agensi muncul ketika satu orang atau lebih (principal) mempekerjakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agen tersebut (Jensen dan Meckling, 1976). Pihak principal adalah pemegang saham atau investor sebagai pemilik perusahaan sedangkan agent adalah manajemen yang mengelola perusahaan. Investor yang merupakan aspek dari kepemilikan perusahaan mendelegasikan kewenangan kepada agen manajer untuk mengelola kekayaannya. Harapan investor dengan adanya pendelegasian wewenang kepada agent adalah bertambahnya kekayaan dan kemakmuran investor (Indrawan, 2011). Dengan demikian, teori keagenan menekankan pada pemisahan fungsi antara kepemilikan perusahaan oleh investor dan pengendalian perusahaan oleh manajemen. Eisenhardt (1989) menggunakan tiga asumsi sifat dasar manusia untuk menjelaskan tentang teori keagenan yaitu: (1) manusia pada umumnya mementingkan 1 diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari risiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut, manajer sebagai manusia kemungkinan akan bertindak berdasarkan sifat opportunistic, seperti melakukan manajemen laba (Anggitasari, 2012). Manajemen laba menurut Zahra et al., (2005) akan membawa konsekuensi negatif terhadap shareholders, karyawan, komunitas dimana perusahaan beroperasi, masyarakat, karier dan reputasi manajer yang bersangkutan. Konsekuensi paling fatal yang dialami perusahaan yang disebabkan oleh tindakan manajemen yang memanipulasi laba salah satunya akan kehilangan dukungan dari para stakeholder. Respon negatif akan diberikan stakeholder yang berupa tekanan dari investor, sanksi dari regulator, ditinggalkan rekan kerja, boikot dari para aktivis, dan pemberitaan buruk di media massa (Prior et al., 2008). Manajer menggunakan suatu strategi pertahanan diri (entrenchment strategy) untuk mengantisipasi ketidakpuasan stakeholder ketika melaporkan kinerja perusahaan yang kurang memuaskan (Dianita dan Rahmawati, 2011). Salah satu cara yang digunakan manajer sebagai strategi pertahanan dirinya adalah mengeluarkan kebijakan tentang penerapan CSR. Belkaoui dan Karpik (1989 dalam Anggraini, 2006) menyatakan bahwa perusahaan yang melakukan CSR memiliki tujuan untuk membangun citra, meningkatkan reputasi dan nilai perusahaan di masa yang akan datang serta mendapatkan perhatian dari masyarakat. Dalam rangka memberikan 2 informasi CSR, perusahaan memerlukan biaya yang dapat menyebabkan laba yang dilaporkan dalam tahun berjalan menjadi lebih rendah. Ketika perusahaan menghadapi biaya pengawasan dan biaya kontrak yang rendah dan visibilitas politis yang tinggi, maka perusahaan akan cenderung untuk mengungkapkan informasi CSR (Husnan, 2013). Oleh karena itu, pengungkapan informasi CSR mempunyai hubungan positif dengan kinerja sosial, kinerja ekonomi dan visibilitas politis dan berhubungan negatif dengan biaya pengawasan dan biaya kontrak atau keagenan (Belkaoui 1989 dalam Anggraini, 2006). 2.1.2 Kinerja Keuangan Kinerja keuangan merupakan salah satu faktor yang menunjukkan efektivitas dan efisiensi organisasi dalam rangka mencapai tujuannya (Bidhari, 2013). Efektivitas dicapai ketika manajemen memiliki kemampuan untuk memilih tujuan yang tepat atau alat yang sesuai untuk mencapai tujuan tersebut. Efisiensi didefinisikan sebagai rasio antara input dan output dengan masukan tertentu untuk mendapatkan output yang optimal (Pertiwi dan Pratama, 2012). Menurut Elanvita (2004 dalam Dewi, 2014), prestasi perusahaan yang ditunjukkan oleh laporan keuangannya sebagai suatu tampilan keadaan perusahaan selama periode tertentu disebut dengan kinerja keuangan perusahaan. Kinerja keuangan adalah prestasi kerja yang dicapai perusahaan dalam periode tertentu dan tertuang pada laporan keuangan perusahaan yang bersangkutan 3 (Munawir, 2004 dalam Rahayu, 2010). Kinerja keuangan perusahaan akan memperlihatkan kondisi umum tentang suatu perusahaan dan apa yang telah dicapai oleh suatu perusahaan selama periode tertentu. Semakin baik kinerja perusahaan tersebut, umumnya mencerminkan semakin baiknya perusahaan tersebut mengelola aset-aset dan modal yang dimiliki oleh perusahaan tersebut (Purnamasari dkk, 2013). Sehingga akan menjadikan perusahaan sebagai tempat yang menjanjikan bagi investor untuk mendapatkan keuntungan dari hasil investasinya. Rasio yang digunakan dalam penelitian ini yaitu rasio profitabilitas yang dapat dijadikan rujukan untuk melihat kondisi kinerja suatu perusahaan. Rasio profitabilitas bermanfaat untuk menunjukkan keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan, salah satunya yaitu rasio Return On Equity (ROE). ROE menunjukkan kemampuan perusahaan untuk meghasilkan laba setelah pajak dengan menggunakan modal sendiri yang dimiliki perusahaan atau untuk mengukur seberapa laba yang dihasilkan dalam setiap ekuitas yang didanakan (Husnan, 2013). ROE dapat dijadikan sebagai indikator kinerja manajemen perusahaan dalam mengolah investors’ capital di dalam perusahaan (Purnamasari dkk, 2013). 2.1.3 Corporate Social Responsibility (CSR) CSR didefinisikan tentang bagaimana bisnis menyelaraskan nilai-nilai dan perilaku mereka dengan harapan dan kebutuhan para pemangku kepentingan, tidak hanya pelanggan dan investor tetapi juga karyawan, pemasok, masyarakat, regulator, 4 kelompok minat khusus, dan masyarakat secara keseluruhan (Arafat et al., 2012). Pengungkapan CSR merupakan mekanisme bagi suatu perusahaan untuk secara sukarela mengintegrasikan perhatian terhadap lingkungan sosial ke dalam operasinya dan interaksinya dengan stakeholder, yang melebihi tanggung jawab sosial di bidang hukum, Darwin (2004 dalam Kurnianto, 2010). Pendapat Friedman (2000 dalam Kurnianto, 2010), CSR adalah menjalankan bisnis sesuai dengan keinginan pemilik perusahaan (owner), biasanya dalam bentuk menghasilkan uang sebanyak mungkin dengan senantiasa mengindahkan aturan dasar yang digariskan dalam suatu masyarakat sebagaimana diatur oleh hukum dan perundang-undangan. Sebaliknya konsep triple bottom line (profit, planet, people) yang digagas oleh John Elkington makin masuk ke dalam mainstream etika bisnis (Suharto, 2008) dalam Kurnianto, 2010). John Elkinston (1997 dalam Kurnianto, 2010) mengembangkan konsep triple bottom line dalam istilah economic prosperity, environmental quality dan social justice. Perusahaan yang ingin berkelanjutan harus mampu memenuhi mengenai kesejahteraan masyarakat (people), turut berkontribusi dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet), serta mengejar profit. Triple bottom line (3P) dijelaskan sebagai berikut: a) Profit (keuntungan) Profit merupakan tambahan pendapatan yang dapat digunakan untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan. Aktifitas yang dapat digunakan untuk meraih profit yaitu dengan meningkatkan produktivitas dan melakukan efisiensi biaya, 5 sehingga perusahaan mempunyai keunggulan kompetitif yang dapat memberikan nilai tambah semaksimal mungkin. Peningkatan produktivitas dilakukan dengan memperbaiki manajemen kerja melalui penyederhanaan proses, mengurangi aktivitas yang tidak efisien, menghemat waktu proses dan pelayanan. Termasuk juga menggunakan material sehemat mungkin dan biaya serendah mungkin. b) People (Manusia) Masyarakat merupakan stakeholder penting bagi perusahaan, karena dukungan mereka sangat diperlukan bagi keberadaan, kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan. Masyarakat tidak dapat dipungkiri menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan perusahaan. Perusahaan jika ingin tetap bertahan dan diterima, maka perlu berkomitmen untuk berupaya memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat sekitar. Operasi perusahaan berpotensi memberikan dampak kepada masyarakat. c) Planet (Lingkungan) Lingkungan adalah sesuatu yang terkait dengan seluruh bidang kehidupan manusia. Semua kegiatan yang manusia lakukan berhubungan dengan lingkungan. Lingkungan dapat menjadi teman atau musuh manusia tergantung bagaimana memperlakukannya. Hubungan manusia dengan lingkungan adalah hubungan sebab akibat, dimana jika manusia merawat lingkungan, maka lingkungan pun akan memberikan manfaat kepada manusia. Sebaliknya, jika lingkungan dirusak, maka akan mendapat akibatnya. 6 Dengan meningkatkan triple bottom line bermanfaat meningkatkan nilai efisiensi perusahaan, meningkatkan operasional perusahaan dengan peningkatan produksi, pemangku kepentingan dan peningkatan akses ke peluang bisnis baru (Arafat et al., 2012). Daniri (2001 dalam Rahayu, 2010), pengungkapan CSR lahir dari desakan masyarakat atas perilaku perusahaan yang biasanya selalu fokus untuk memaksimalkan laba, menyejahterakan para pemegang saham, dan mengabaikan tanggung jawab sosial seperti perusakan lingkungan, eksploitasi sumber daya alam, dan lain sebagainya. Pengungkapan CSR saat ini tidak lagi dipandang sebagai suatu cost center tetapi sebagai strategi perusahaan dalam menstabilkan pertumbuhan usaha secara jangka panjang (Prasetia, 2014). Pengungkapan CSR penting dalam rangka mewujudkan tujuan perusahaan, yaitu meningkatkan nilai perusahaan, dan bagi perusahaan yang telah go public nilai perusahaan akan tercermin pada harga pasar saham. Laporan yang berkaitan dengan informasi maupun tanggung jawab sosial masyarakat yang bersifat non keuangan seperti pengungkapan CSR tertuang dalam Pasal 74 Ayat 1 dan Pasal 66 Ayat 2 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Laporan tersebut bersifat mandatory disclosure yaitu pengungkapan informasi berkaitan dengan aktivitas atau keadaan perusahaan yang bersifat wajib dan dinyatakan dalam peraturan hukum (Kurnianto, 2010). Pelaporan jenis mandatory akan mendapat sorotan dan kontrol dari lembaga yang berwenang dan di dalamnya terdapat standar yang menjamin kesamaan bentuk secara relatif 7 dalam praktik pelaporan dan juga terdapat persyaratan minimum yang harus dipenuhi. Mandatory disclosure bisa menjadi jembatan atas adanya asimetri informasi antara investor dengan manajer perusahaan mengenai kebutuhan informasi (Husnan, 2013). Perusahaan selain menerapkan CSR juga perlu melakukan pengungkapan (disclosure) atas aktivitas CSR yang dilakukan kepada stakeholder dalam bentuk laporan yang disebut Sustainability Reporting (Anggraini, 2006). Penerapan CSR adalah suatu aktivitas yang dilakukan perusahaan untuk menerapkan kegiatan CSR. Sedangkan pengungkapan merupakan langkah akhir dalam proses akuntansi, yaitu penyajian informasi dalam bentuk statement keuangan. 2.1.4 Manajemen Laba Manajemen laba merupakan keterlibatan manajemen dalam penyusunan laporan keuangan untuk memaksimalkan keuntungan diri pribadi maupun keuntungan perusahaan (Schipper, 1989:92). Definisi tersebut mengartikan bahwa manajemen laba merupakan perilaku oportunistik manajer untuk memaksimalkan utilitas mereka. Manajer melakukan manajemen laba dengan memilih metode atau kebijakan akuntansi untuk menaikkan laba atau menurunkan laba, pada saat manajer menaikkan laba manajer menggeser laba periode-periode yang akan datang ke periode sekarang dan pada saat manajer menurunkan laba yaitu dengan menggeser laba periode masa sekarang ke periode-periode berikutnya (Siddharta, 2000). 8 Pengungkapan CSR merupakan suatu proses untuk mengkomunikasikan dampak dari kegiatan operasi perusahaan kepada kelompok tertentu yang berkepentingan maupun kepada masyarakat baik itu dampak sosial ataupun lingkungan (Hackston dan Milne, 1996). Dengan adanya UU Nomor 40 Tahun 2007 menyebabkan perusahaan-perusahaan yang kegiatan operasinya berhubungan dengan penggunaan sumber daya alam diwajibkan untuk mengungkapkan CSR dalam laporan tahunan perusahaannya. Dengan adanya kewajiban tersebut, maka perusahaan mempunyai beban tambahan dalam pengungkapan CSR yang dilakukannya yang nantinya akan mengurangi kas yang dimiliki perusahaan. Untuk menyiasati hal tersebut dengan tujuan agar pelaksanaan CSR tetap dilaksanakan, maka perusahaan dalam hal ini manajemen melakukan manajemen laba yaitu memanipulasi laba perusahaan dari jumlah yang sebenarnya dengan tujuan untuk meminimumkan kegiatan CSR yang harus dilakukan perusahaan (Siddharta, 2000). Sebelum investor mengambil keputusan untuk melakukan suatu investasi, investor akan melakukan penilaian kinerja perusahaan dalam menghasilkan keuntungan (Mulyadi, 2006). Tingkat keuntungan yang diharapkan atas investasi yang dilakukan dapat diukur dengan menggunakan rasio profitabilitas, salah satunya yaitu return on equity (ROE). Apabila perusahaan melakukan manajemen laba dalam bentuk income minimization dimana perusahaan melaporkan laba yang lebih rendah dari yang sebenarnya dengan tujuan untuk memperkecil pengeluaran dalam pengungkapan CSR, maka ROE yang dilaporkan akan lebih rendah dari semestinya 9 (Husnan, 2013). Rendahnya nilai ROE menyebabkan menurunnya ketertarikan investor untuk menanamkan modal pada perusahaan yang mengakibatkan profitabilitas perusahaan tersebut menurun. Manajemen laba merupakan suatu proses pengambilan langkah tertentu yang disengaja sesuai dengan prinsip akuntansi berlaku umum untuk mengubah laba perusahaan menjadi seperti yang diinginkan Davidson et al., (2004 dalam Sri, 2008:48). Watts and Zimmermann (1999 dalam Widiatmaja dkk, 2010) menyatakan bahwa terdapat tiga hipotesis yang melatarbelakangi terjadinya manajemen laba, yaitu: a. The bonus plan hypothesis, hipotesis program bonus ini didasarkan adanya dorongan manajer perusahaan untuk mendapatkan bonus berdasarkan laba yang dilaporkan oleh manajer. Scott (2009) menyebutkan motivasi bonus tersebut mendorong manajer untuk memilih prosedur akuntansi yang dapat menggeser laba dari periode yang akan datang ke periode saat ini. b. The debt covenant hypothesis, hipotesis perjanjian hutang ini disebabkan oleh munculnya perjanjian antara manajer dan pemilik perusahaan berbasis pada kompensasi manajerial dan perjanjian hutang (dept covenant) (Widiatmaja dkk, 2010). c. The political cost hypothesis, hipotesis ini timbul karena manajemen memanfaatkan kelemahan akuntansi yang menggunakan estimasi akrual serta 10 pemilihan metode akuntansi dalam rangka menghadapi berbagai regulasi yang dikeluarkan pemerintah (Widiatmaja dkk, 2010). Selain tiga motivasi tersebut, Scott (2009) menambahkan beberapa motivasi penyebab manajemen laba, yaitu: 1) Kontrak Bonus Laba sering dijadikan indikator penilaian prestasi manajer perusahaan. Healy & Wahlen, (1999) menunjukkan kecenderungan manajemen yang secara oportunistik mengelola laba bersih untuk memaksimalkan bonus mereka berdasarkan program kompensasi perusahaan. Jika pada suatu tahun tertentu laba bersih perusahaan tinggi maka tindakan manajer adalah menurunkan pendapatan, sehingga laba perusahaan akan menjadi lebih rendah. Tindakan ini dilakukan karena manajer tidak akan mendapatkan bonus yang lebih tinggi dari target yang telah ditentukan sehingga bermaksud menunda penerimaan laba agar tercapainya target laba pada tahun berikutnya. Di sisi lain, jika manajer perusahaan yang memperoleh laba di bawah target laba, maka manajer akan melakukan manipulasi laba dengan meningkatkan laba agar memperoleh bonus yang maksimal. 2) Stock Price Effect Manajer perusahaan merekayasa informasi sedemikian rupa agar laporan keuangan yang disajikan mampu menarik minat publik untuk merespon penawaran secara positif. Atau dengan kata lain, dengan menyajikan informasi yang lebih baik daripada informasi yang sesungguhnya diharapkan dapat 11 membuat publik mau membeli saham yang ditawarkan dengan harga yang relatif lebih tinggi daripada harga sesungguhnya. Upaya merekayasa informasi ini disebabkan karena laporan keuangan merupakan sumber informasi utama bagi investor yang ingin mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan untuk menilai apakah perusahaan bersangkutan tepat untuk dijadikan tempat berinvestasi (Sulistyanto, 2008:25). 3) Faktor Politik Perusahaan-perusahaan dengan skala besar dan industri strategis cenderung untuk menurunkan laba guna mengurangi tingkat visibilitas terutama saat periode kemakmuran yang tinggi (Prasetia, 2014). Upaya ini dilakukan dengan harapan memperoleh kemudahan serta fasilitas dari pemerintah. 4) Faktor Pajak Sulistyanto (2008:46), Undang-Undang mengatur jumlah pajak yang akan ditarik dari perusahaan berdasarkan atas laba yang diperoleh perusahaan selama periode tertentu. Atau dengan kata lain, besar kecilnya pajak yang akan ditarik oleh pemerintah sangat tergantung pada besar kecilnya laba yang dicapai perusahaan. Kondisi inilah yang merangsang manajer untuk mengelola dan mengatur labanya dalam jumlah tertentu agar pajak yang harus dibayarkan menjadi tidak terlalu tinggi. Hal ini dapat dilakukan dengan menarik biaya pada periode yang akan datang menjadi biaya periode berjalan, dan sebaliknya mengakui pendapatan periode berjalan menjadi pendapatan periode yang akan datang. 12 5) Pergantian Chief Executive Officer (CEO) Manajemen laba juga terjadi disekitar waktu pergantian CEO. Hipotesis program bonus memprediksi bahwa ketika waktu mendekati pengunduran diri CEO maka tindakan yang dilakukan adalah memaksimalkan laba untuk meningkatkan bonus mereka. Sedangkan CEO yang kinerjanya buruk akan melakukan manajemen laba untuk memaksimalkan laba mereka dengan tujuan mencegah atau menunda pemberhentian mereka. Motivasi melakukan manajemen laba juga dapat dilakukan oleh CEO baru, terutama jika cost dibebankan pada tahun transisi, melalui penghapusan operasi yang tidak diinginkan atau divisi yang tidak menguntungkan. 6) Penawaran Saham Perdana (IPO) Pada umumnya, perusahaan yang akan melakukan penawaran saham perdana (IPO) melakukan aktifitas manajemen laba pada periode terakhir sebelum IPO. Saat perusahaan go public, informasi keuangan yang ada dalam prospektus merupakan sumber informasi yang penting dan utama. Informasi ini dapat dipakai sebagai sinyal kepada calon investor tentang nilai perusahaan untuk mempengaruhi calon investor, maka manajer berusaha untuk menaikkan laba yang dilaporkan, agar harga saham tinggi pada saat IPO. 13 Empat pola pengelolaan laba juga dijabarkan oleh Scott (2009) sebagai berikut: 1. Taking a bath, yaitu pada saat manajemen harus melaporkan kerugian, maka manajemen akan melaporkan dalam jumlah besar. 2. Income minimization, yaitu tindakan menurunkan laba perusahaan yang dilakukan manajer untuk tujuan tertentu, misalnya untuk tujuan penghematan kewajiban membayar pajak kepada pemerintah karena semakin rendah laba yang dilaporkan perusahaan semakin rendah pula pajak yang harus dibayarkan. 3. Income maximization, yaitu tindakan menaikkan laba perusahaan oleh manajer untuk tujuan tertentu, misalnya menjelang IPO laba ditingkatkan dengan harapan mendapatkan reaksi positif dari pasar. 4. Income smoothing, kebijakan ini dilakukan karena adanya motivasi manajemen untuk mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan karena umumnya investor menyukai laba yang relatif stabil. 2.2 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya 1) Penelitian yang dilakukan oleh Sun et al., (2008) yang berjudul “Corporate Environmental Disclosure, Corporate Governance and Earnings Management”. Dalam penelitian ini menggunakan manajemen laba sebagai variabel independen dan CG sebagai variabel pemoderasi. Sedangkan variabel dependennya adalah CED. Hasil penelitian menemukan adanya hubungan 14 signifikan antara CED dan manajemen laba. Jumlah rapat komite audit memiliki hubungan signifikann antara CED dan manajemen laba. 2) Penelitian yang dilakukan oleh Dianita dan Rahmawati, (2011) yang berjudul “Analysis of the Effect of Corporate Social Responsibility on Financial Performance with Earning Management as Moderating Variable”. Dalam penelitian ini menggunakan manajemen laba sebagai variabel independen dan pemoderasi. Sedangkan variabel dependennya adalah CSR dan kinerja keuangan yang diproksikan dengan ROA. Hasil penelitian menemukan bahwa praktik manajemen laba tidak mempunyai pengaruh pada kegiatan CSR. Dan kegiatan CSR yang dihubungkan dengan manajemen laba yang dilakukan manajer mempunyai pengaruh negatif terhadap kinerja keuangan perusahaan di masa yang akan datang. 3) Penelitian yang dilakukan oleh Ratmono dkk, (2014) yang berjudul “Hubungan Tingkat Pengungkapan dan Kinerja Corporate Social Responsibility serta Manajemen Laba: Pengujian Teori Ekonomi dan SosioPolitis”. Dalam penelitian ini menggunakan pengungkapan CSR dan manajemen laba sebagai variabel independen. Sedangkan variabel dependennya adalah kinerja CSR. Hasil penelitian menunjukkan temuan yang konsisten bahwa tingkat kinerja CSR berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR serta perusahaan yang mempunyai tingkat pengungkapan CSR yang tinggi cenderung melakukan praktik manajemen laba yang rendah. 15 4) Penelitian yang dilakukan oleh Purnamasari dan Yunita, (2013) yang berjudul “Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan yang menerima Indonesian Sustainability Reporting Awards”. Dalam penelitian ini menggunakan CSR sebagai variabel independen. Sedangkan variabel dependennya adalah ROE. Hasil penelitian yang diperoleh dalam penelitian ini adalah tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara pengungkapan CSR terhadap ROE. 5) Penelitian yang dilakukan oleh Utami, (2013) yang berjudul “Pengaruh Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan terhadap Kinerja Keuangan”. Dalam penelitian ini menggunakan CSR sebagai variabel independen. Sedangkan variabel dependennya adalah ROE. Hasil penelitian yang diperoleh dalam penelitian ini adalah variabel pengungkapan tanggung jawab sosial berpengaruh positif terhadap ROE. 2.3 Hipotesis Penelitian 2.3.1 Pengaruh Pengungkapan Corporate Terhadap Kinerja Keuangan Social Responsibility (CSR) Hubungan keagenan merupakan suatu kontrak dimana satu orang atau lebih (principal) memerintah orang lain (agen) untuk melakukan suatu jasa atas nama prinsipal serta memberi wewenang kepada agen untuk membuat keputusan yang terbaik bagi principal (Jensen dan Meckling, 1976). Jika kedua belah pihak tersebut 16 mempunyai tujuan yang sama untuk memaksimumkan nilai perusahaan, maka diyakini agen akan bertindak dengan cara yang sesuai dengan kepentingan principal. Belkaoui dan Karpik (1999 dalam Anggraini, 2006) menyatakan bahwa perusahaan yang melakukan CSR memiliki tujuan untuk membangun citra, meningkatkan reputasi dan nilai perusahaan di masa yang akan datang serta mendapatkan perhatian dari masyarakat. Citra positif ini dapat meningkatkan reputasi perusahaan di pasar modal karena dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam menegosiasikan kontrak yang menarik dengan suppliers dan pemerintah, menetapkan premium prices terhadap barang dan jasa, dan mengurangi biaya modal (Fombrun et al., 2000) sehingga perusahaan mendapatkan peraturan pemerintah yang lebih menguntungkan serta pengawasan yang tidak terlalu ketat dari investor dan karyawan. Citra perusahaan juga akan terlihat baik di mata konsumen. Konsumen akan mempunyai pandangan yang baik karena perusahaan telah memperlihatkan kepentingan umum sehingga konsumen tidak keberatan untuk menggunakan produknya (Rahayu, 2010). Semakin banyak konsumen menggunakan produk perusahaan, maka akan meningkatkan penjualan perusahaan. Menurut Ajilaksana (2003 dalam Indrawan, 2011), yang menyatakan bahwa semua terlibat dalam pengungkapan kinerja perusahaan, semakin baik perusahaan melakukan pengungkapan CSR maka investor akan mengetahui informasi tentang kepedulian perusahaan terkait dengan lingkungan. Kondisi perusahaan yang terkait lingkungan akan menjadi lebih baik di masa datang dan perusahaan bersedia menambah investasinya sehingga membuat nilai pasar 17 perusahaan menjadi lebih baik (Ajilaksana, 2003 dalam Indrawan 2011). CSR dapat digunakan sebagai alat organisasi untuk menggunakan sumber daya yang lebih efektif, yang mempunyai dampak positif terhadap kinerja keuangan perusahaan (Orlitzky et al., 2003). Berdasarkan kajian teori dan studi empiris yang telah dijelaskan, hipotesis pertama yang diajukan dalam penelitian ini adalah: H1: Pengungkapan CSR berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan. 2.2.2 Manajemen Laba sebagai Pemoderasi Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) Terhadap Kinerja Keuangan Eisenhardt, (1989) menggunakan tiga asumsi sifat dasar manusia untuk menjelaskan tentang teori keagenan yaitu: (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari risiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut, manajer sebagai manusia kemungkinan akan bertindak berdasarkan sifat opportunistic, seperti melakukan manajemen laba (Anggitasari, 2012). Good Management Hypothesis yang dikemukakan oleh Waddock dan Graves, 1997 dalam Dianita dan Rahmawati (2011) menjelaskan hubungan stakeholder yang baik mempunyai pengaruh positif terhadap kinerja keuangan. Dampak positif dari CSR terhadap kinerja keuangan perusahaan seharusnya berkurang secara signifikan karena ketika perusahaan melakukan pengungkapan CSR sebagai suatu konsekuensi dari manajemen laba (Husnan, 2013). 18 Pernyataan ini didasarkan pada fakta bahwa manajer yang berlindung pada penyesuaian akuntansi cenderung over-invest dalam aktivitas yang mempertinggi CSR perusahaan sebagai salah satu strategi pertahanan diri (Dianita dan Rahmawati, 2011). Munculnya ijin sosial dari strategi ini merupakan hal yang tidak produktif dan boros, diharapkan mempunyai dampak marginal negatif terhadap kinerja keuangan (Dianita dan Rahmawati, 2011). Sebagai entrenchment strategy manajer yang melakukan manajemen laba berusaha untuk melibatkan pihak stakeholder sebagai salah satu cara untuk memvalidasi tindakannya agar tidak mendapat tekanan stakeholder lainnya (Dewi, 2014). Tindakan tersebut bertujuan untuk mengurangi fleksibilitas organisasi dan berpengaruh terhadap hasil keuangan yang merugikan. Berdasarkan kajian teori dan studi empiris yang telah dijelaskan, hipotesis kedua yang diajukan dalam penelitian ini adalah: H2: Manajemen laba memoderasi pengaruh pengungkapan CSR terhadap kinerja keuangan. 19