bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyakit degeneratif yang
memerlukan penanganan secara seksama (PERKENI, 2011).Hal ini disebabkan
diabetes melitus merupakan salah satu yang mempunyai prevalensi tinggi.Di
dunia diperkirakan ada sebanyak 347 juta orang yang mengidap diabetes melitus
(WHO, 2013). Menurut American Diabetes Association (ADA), diabetes melitus
termasuk penyakit kronik yang membutuhkan pengobatan secara berkelanjutan.
Selain itu diperlukan edukasi terus menerus tentang pengendalian diri dan
tindakan untuk mencegah munculnya komplikasi akut serta mengurangi risiko
komplikasi jangka panjang.Diabetes sering kali dikaitkan dengan meningkatnya
risiko morbiditas dan mortalitas. Insidensi dan prevalensi diabetes melitus
semakin meningkat setiap tahunnya dan diperkirakan pada tahun 2030 prevalensi
diabetes melitus di seluruh dunia akan meningkat menjadi dua kali lipat. Prediksi
WHO, menyebutkan bahwa akan ada kenaikan penderita diabetes melitus di
Indonesia dari 8,4 juta penderita pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta
penderita pada tahun 2030. Hal ini akan menjadikan Indonesia menduduki ranking
ke-4 dunia setelah Amerika Serikat, Cina, dan India dalam prevalensi diabetes
melitus (Wildet al., 2004). Prevalensi penderita diabetes melitus tipe 2 juga
meningkat dengan peningkatan umur dan diakui kini semakin meningkatpada usia
remaja. Lebih tingginya peningkatan prevalensi pada remaja ini berkaitan dengan
1
2
pola gaya hidup (Triplit et al., 2008). Tempat dilakukannya penelitian ini di
Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat fakta lain yaitu penyakit diabetes melitus
menjadi sepuluh besar penyakit yang paling banyak diderita oleh masyarakat dan
menjadi penyebab kematian nomor 6 di rumah sakit dengan 214 kematian pada
tahun 2011 (Dinkes DIY, 2012).
Pengobatan diabetes melitus tipe 2 pada pasien usia lanjut mendapatkan obat 3
kali lebih banyak dibanding usia yang lebih muda (Vinks et al., 2006).Karena
banyaknya obat yang diminum pasien selama menjalani terapi pengobatan
diabetes melitus tipe 2 ini menjadi salah satupenyebab meningkatnya risiko
terjadinya Drug Related Problems(DRPs) (Frazier, 2005).DRPs merupakan suatu
masalah yang timbul dalam penggunaan obat atau terapi yang dapat
mempengaruhi outcome terapi pasien, meningkatkan biaya perawatan, serta dapat
menghambat tercapainya tujuan terapi (Prest, 2003). DRPs ini meliputi adanya
interaksi obat, efek samping yang tidak diharapkan, pasien menerima obat yang
salah, pasien diterapi tanpa adanya indikasi, adanya indikasi yang tidak diterapi,
ketidaksesuaian dosis, dan ketidakpatuhan pasien dalam meminum obat (Vinkset
al., 2006).
Studi Drug Related Problems Identified By European Community Pharmacist In
Discharged From Hospital (2004) menyatakan bahwa terdapat 63,7% pasien
mengalami DRPs meliputi karena faktor kurangnya informasi yang didapat pasien
seputar obat sejumlah 29,5%, adanya efek samping obat sejumlah 23,3%, masalah
mengenai cara penggunaan obat sejumlah 12,4%. Studi ini menunjukkan bahwa
sangat dibutuhkan peranan apoteker untuk mampu mengidentifikasi tingginya
3
jumlah DRPs yang relevan dengan outcome kesehatan pasien (Paulino et al,
2004).Tugas penting seorang farmasis adalah identifikasi, memecahkan masalah,
dan mencegah terjadinya DRPs.Analisis DRPs pada pasien yang menderita
diabetes melitus tipe 2 sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan terapi
pengobatan dibutuhkan pengontrolan secara menyeluruh terhadap pasien, untuk
mengoptimalkanterapi pasien sehingga outcome terapi pengobatan yang
diharapkan dapat tercapai.Ketika obat diresepkan kepada pasien untuk pengobatan
penyakit, harapannya dapat mencapai outcome terapi optimal.Outcome terapi
optimal yang dimaksud adalah tidak adanya masalah terkait obat (DRPs) (Johnson
et al., 2006).
B.Rumusan Masalah
Berapa persentase kejadian masing-masing jenis DRPs meliputi indikasi
yang tidak diterapi, terapi yang tidak perlu, dosis terlalu rendah, dosis terlalu
tinggi, adverse drug reaction, interaksi obat, dan ketidakpatuhan, total kejadian
DRPs, serta persentase pasien rawat jalan diabetes melitus tipe 2 yang mengalami
DRPs di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
Mengetahui persentase kejadian masing-masing jenis DRPs meliputi
indikasi yang tidak diterapi, terapi yang tidak perlu, dosis terlalu rendah, dosis
terlalu tinggi, adverse drug reaction, interaksi obat, dan ketidakpatuhan, total
kejadian DRPs, serta persentase pasien rawat jalan diabetes melitus tipe 2 yang
mengalami DRPs di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
4
1. Menambah pengetahuan dan pengalaman penulis terkait permasalahan yang
terjadi dalam penatalaksanaan terapi diabetes melitus tipe 2.
2. Meningkatkan peran farmasis dalam menjalankan pelayanan kesehatan dengan
baik agar farmasis lebih aktif dan terjun langsung dalam menangani permasalahan
yang terjadi terkait kesehatan pasien.
3. Sebagai bahan masukan, saran dan acuan bagi apoteker dan dokter rumah
sakit tersebut atas kejadian DRPs pada pasien rawat jalan diabetes melitus tipe
2sehingga kedepannya dapat memberikan terapi pengobatan yang lebih efektif
dan optimal.
E. Tinjauan Pustaka
1. Diabetes Melitus
a. Definisi Diabetes Melitus
Diabetes melitus menurut World Health Organization (WHO) merupakan
penyakit metabolik kronik yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah
disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, protein, dan lipid sebagai
akibat insufisiensi fungsi insulin. Hal ini disebabkan berkurangnya sekresi insulin
dan berkurangnya sensitivitas insulin.Akibat ketidaknormalan fungsi metabolisme
ini dapat menimbulkan berbagai komplikasi seperti retinopati, nefropati, dan
neuropati (Kroon and Williams, 2012).
5
b. Patofisiologi
Diabetes melitus merupakan penyakit degeneratif yang diawali oleh
rusaknya salah satu bagian organ pankreas yang disebut Langerhans.Langerhans
adalah kumpulan sel yang berbentuk ovoid yang tersebar di seluruh pankreas dan
menempati satu sampai dua persen berat pankreas.Langerhans ini terbagi menjadi
sel α, sel β, dan sel δ. Insulin sendiri disekresikan oleh sel β pankreas (Ganong,
2002).Gejala diabetes melitus ini muncul biasanya dimulai dengan adanya
resistensi
terhadap
insulin
dan
atau
jumlah
insulin
yang
mengalami
pengurangan.Pengurangan hormon insulin ini disebabkan oleh sel β Langerhans
pankreas mengalami kerusakan.Dalam keadaan yang normal, insulin akan
berkaitan dengan reseptor kurang dan meskipun kadar insulinnya tinggi di dalam
darah tetap saja glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga sel akan
kekurangan glukosa (Corwin, 2001). Mekanisme tersebut yang dikatakan sebagai
resistensi insulin. Salah satu cara untuk mencegah terbentuknya glukosa darah
secara berlebihan dan mengatasi resistensi insulin maka harus ada peningkatan
insulin yang disekresikan. Diabetes melitus tipe 2 terjadi ketika sel β tidak mampu
mengimbangi lalu yang terjadi kadar glukosa akan meningkat (Corwin, 2001).
Resistensi insulin ini disebabkan oleh kalori yang berlebihan, obesitas, dan
kurangnya aktivitas berolahraga, dan keturunan (Dipiro et al., 2009).Karena
obesitas berkaitan dengan resistensi insulin, maka kemungkinan besar gangguan
toleransi glukosa dan diabetes melitus merupakan akibat dari obesitas
tersebut.Pengurangan berat badan seringkali dikaitkan dengan perbaikan
sensitivitas insulin dan pemulihan toleransi glukosa(Price and Lorraine, 1995).
6
c. Klasifikasi Diabetes
1) Diabetes Melitus Tipe 1
Diabetes Melitus tipe 1 ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit
kasusnya.Diabetes ini disebabkan oleh rusaknya sel-sel β pulau Langerhans yang
disebabkan oleh reaksi autoimun(Triplitt et al., 2008).Serangan autoimun yang
terjadi karena adanya infeksi virus yang menimbulkan reaksi autoimun yang
berlebihan, sehingga imun tubuh tidak hanya membunuh virus tetapi juga
merusak sel-sel β pankreas hal ini langsung mengakibatkan defisiensi sekresi
insulin yang menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai diabetes
melitus tipe 1 (Tjay and Rahardja, 2002).Selain defisiensi insulin, fungsi sel α
juga menjadi tidak normal karena sekresi glukagon yang berlebihan. Normalnya
jika terjadi hiperglikemia maka sekresi glukagon akan menurun namun pada
diabetes melitus tipe 1 ini tidak terjadi demikian sehingga manifestasi klinik dari
penderita diabetes melitus tipe 1 ini adalah ketoasidosis diabetik jika tidak segera
diberikan insulin (Rodbard et al., 2007).
2) Diabetes Melitus Tipe 2
Diabetes Melitus tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih
banyak penderitanya dibandingkan dengan diabetes melitus tipe 1.Diabetes
melitus tipe 2 ini terutama terjadi pada orang dewasa tetapi kadang juga terjadi
pada usia remaja. Diabetes melitus tipe 2 ini disebabkan sel-sel sasaran insulin
gagal atau tidak mampu merespon insuin secara normal atau yang biasa disebut
dengan resistensi insulin.Selain karena resistensi insulin, dapat juga karena adanya
gangguan-gangguan sekresi insulin yang diakibatkan sel β pankreas yang
7
menyusut secara progresif. Penyusutan sel β pankreas dan resistensi insulin ini
yang mengakibatkan kadar glukosa darah meningkat (Tjay dan Rahardja, 2002).
Selain resistensi insulin, faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar
mempengaruhi diabetes melitus tipe 2 ini diantaranya obesitas, diet tinggi lemak
dan sedikit serat, serta kurangnya aktivitas badan (Rodbard et al., 2007).
3) Diabetes Gestasional
Diabetes Gestasional merupakan diabetes yang terjadi pada masa
kehamilan yang pada umumnya dapat pulih sendiri setelah melahirkan, namun
dapat juga berakibat buruk bagi bayi yang dikandungnya, seperti malformasi
kongenital, peningkatan berat badan bayi ketika lahir, dan meningkatnya risiko
mortalitas perinatal (Sacks et al., 2011).
d. Gejala dan Diagnosis Diabetes Melitus
Diagnosis secara klinis pada pasien diabetes melitus umumnya apabila ada
keluhan khas seperti poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
yang penyebabnya tidak diketahui (ADA, 2009).Diagnosisdiabetes melitus
ditegakkan dengan identifikasi kondisi hiperglikemia. Kriterianya antara lain
mempunyai kadar HbA1c ≥ 6,5%, kadar glukosa darah puasa ≥ 130 mg/dL, dan
kadar glukosa darah setelah 2 jam makan ≥ 180 mg/dL.Pemeriksaan ini perlu
dilakukan secara berulang agar tidak terjadi kekeliruan dalam diagnosis.Untuk
pemeriksaan glukosa darah puasa, sebelumnya pasien diminta agar puasa 8-12
jam, pasien hanya diperbolehkan minum air putih dan tidak dianjurkan untuk
melakukan aktivitas yang berat (Sacks et al., 2011).
8
Ada juga Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO), merupakan tes dengan
menggunakan beban berat yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrat yang
dilarukan dalam air.Tes ini lebih spesifik dan sensitif dibandingkan dengan
pemeriksaan glukosa darah puasa, tetapi tes ini sulit dilakukan karena persiapan
yang khusus sehingga jarang digunakan (Perkeni, 2011).Impared fasting glycemia
(IFG) dan impared glucose tolerance (IGT) merupakan tahap peralihan alami
gangguan metabolisme karbohidrat antara homeostatis glukosa darah normal dan
diabetes. IFG dan IGT tidak dapat saling menggantikan karena keduanya
mewakili gangguan regulasi glukosa yang berbeda.IFG adalah ukuran gangguan
metabolisme karbohidrat pada kondisi basal sedangkan IGT adalah ukuran yang
dinamis gangguan metabolisme karbohidrat setelah standar pembebanan
glukosa.Penderita IFG dan atau IGT disebut dengan prediabetes, dimana kondisi
ini mengindikasikan risiko tinggi terjadinya diabetes melitus (Craig et al., 2009).
Penderita mengalami IGT jika kadarglukosa darahnya 140-199 mg/dL selama
TTGO sedangkan IFG jika kadar glukosa darah puasanya 100-125 mg/dL (Triplitt
et al.,2008).
Langkah-langkah diagnosis DM menurut PERKENI tahun 2011 dapat
dilihat pada Gambar 1. Pada Gambar 1 dijelaskan mengenai skema langkah
pemeriksaan pada kelompok yang memiliki faktor risiko penyakit DM namun
tidak menunjukkan adanya gejala penyakit DM. Pemeriksaan tersebut untuk
menentukan pasien DM atau intoleransi glukosa secara lebih dini, sehingga
penanganan dapat lebih tepat (PERKENI, 2011).
9
Keluhan Klinik Diabetes
Keluhan klinis diabetes (+)
GDP
Atau
GDS
≥126
<126
≥200
<200
Keluhan klasik (-)
GDP
Atau
GDS
≥126
100-125
<100
≥200
140-199
<140
Ulang GDS atau GDP
GDS
GDP
Atau
GDS
≥126
<126
≥200
<200
TTGO
GD 2 jam
≥200
140-199
TGT
Diabetes Melitus
1. Evaluasi status gizi
2. Evaluasi penyulit DM
3. Evaluasi perencanaan
makan sesuai kebutuhan
Keterangan
GDP=Glukosa Darah Puasa
GDS=Glukosa Darah Sewaktu
GDPT=Glukosa Darah Puasa
Terganggu
TGT=Toleransi Glukosa Terganggu
TTGO= Tes Toleransi Glukosa Oral
1.
2.
3.
4.
5.
<140
GDPT
Normal
Nasihat umum
Perencanaan makan
Latihan jasmani
Berat idaman
Belum perlu obat penurun
glukosa
Gambar 1.Langkah-Langkah Diagnostik DM dan Gangguan Toleransi Glukosa
(PERKENI, 2011)
10
e. Faktor Risiko
Faktor risiko diabetes melitus sangat erat kaitannya dengan perilaku tidak
sehat yaitu diet yang tidak sehat dan tidak seimbang, kurang aktifitas fisik,
merokok,
obesitas,
hipertensi,
hiperkolesterol,
dan
konsumsi
alkohol.
Pengendalian diabetes melitus dilakukan melalui pencegahan dan penanggulangan
faktor risiko tersebut (Rodbard et al., 2007).MenurutAmerican Diabetes
Association tahun 2015, hasil data laboratorium yang dapat meningkatkan faktor
risiko orang terkena diabetes melitus antara lain mempunyai Glukosa Plasma
Puasa / FPG 80-130 mg/dL (5,6 – 6,9 mmol/l) atau IFG, Glukosa Plasma 2 jam
<180 mg/dL (7,8-11,0 mmol/l) atau IGT, dan HbA1c5,7-6,4%. Beberapa faktor
risiko untuk diabetes melitus tipe 2 antara lain:
1) Riwayat diabetes melitus pada keluarga, diabetes melitus gestasional,
melahirkan bayi dengan berat badan bayi >4kg, kista ovarium (PCOS), IFG
atau IGT.
2) Obesitas, jika BB >120% dari berat badan ideal.
3) Usia, kategori usia yang rentan terkena diabetes melitus adalah 20-59 tahun
(8,7%), sedangkan >65 tahun sebesar 18%.
4) Hipertensi, jika tekanan darah >140/90 mmHg.
5) Hiperlipidemia, jika kadarHigh Density Lipoprotein (HDL) dalam darah
>35mg/dL dan kadar lipid darah >250 mg/dL.
6) Faktor lainnya seperti kurang olahraga dan pola makan yang rendah serat
(Rordbard et al., 2007).
11
f. Penatalaksanaan Terapi Diabetes Melitus
Tujuan penatalaksanaan terapi diabetes melitus secara umum adalah
meningkatnya kualitas hidup pasien. Tujuan penatalaksanaan jangka pendek
adalah hilangnya keluhan dan gejala atau tanda diabetes melitus, mempertahankan
rasa nyaman, dan tercapainya target pengendalian kadar glukosa darah
(PERKENI, 2006a). Tujuan akhir penatalaksanaan diabetes melitus adalah
menurunkan morbiditas dan mortalitas, dengan menjaga target kadarglukosa
dalam darah berada dalam kisaran normal serta mencegah atau meminimalkan
kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes melitus (Bennett et al., 2011).
Terdapat empat pilar utama dalam pengelolaan diabetes melitus yaitu edukasi,
terapi gizi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis. Farmasis memiliki
peranan penting dalam edukasi pasien diabetes melitus meliputi edukasi mengenai
penyakit
diabetes
melitus
secara
garis
besarnya,
komplikasi
beserta
manajemennya, edukasi mengenai tujuan terapi diabetes melitus dan terapi gizi
medis (Ragucci., 2005).
1) Edukasi
Edukasi merupakan pengetahuan tentang penyakit diabetes melitus
mengenai makna, perlunya pengendalian, dan pemantauan penyakit diabetes
melitus, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya. Edukasi ini perlu
diberikan kepada pasien yang menderita diabetes melitus.Pasien juga perlu
diberitahu mengenai masalah-masalah khusus diabetes melitus seperti kondisi
khusus hipertensi, neuropati, nefropati diabetik, dan dislipidemia.Edukasi
intervensi farmakologis dan non farmakologis juga perlu dilakukan dan didukung
12
oleh kepatuhan pasien (PERKENI, 2006a). Edukasi pasien terhadap penyakit
diabetes melitus ini sangat penting mengingat 86% penderita penyakit diabetes
melitus mempunyai persepsi negatif ketika mengetahui bahwa dirinya menderita
penyakit ini (Weiss et al., 2009). Pemberdayaan pasien diabetes ini memerlukan
partisipasi aktif dari keluarga, masyarakat atau lingkungan, dan yang lebih penting
pasien itu sendiri. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam usaha mengubah
perilaku, memperbaiki kebiasaan dan mengubah gaya hidupnya. Untuk mencapai
semua keberhasilan ini, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya
peningkatan motivasi bagi pasien (Liebman, 2008).Hambatan-hambatan yang
berasal dari pasien yaitu rasa takut dengan kejadian hipoglikemia, perubahan berat
badan drastis serta aturan frekuensi dosis yang kurang nyaman untuk pasien juga
bias menghalangi pasien untuk mencapai tujuan pengobatan (Morris et al.,
2013).Aspek pengetahun pasien yang diobati dengan insulin juga masih rendah
untuk menggunakan sesuai aturan pengobatan yang benar (Jackson et al,
2010).World Health Organization (WHO) telah menyepakati bahwa kepatuhan
dalam pengobatan penyakit kronis sangat penting karena menunjukan rasa
keinginan pasien untuk melaksanakan pengobatan yang dianjurkan sehingga dapat
mendukung keberhasilan terapi (Paula et al., 2009).
2) Terapi Gizi Medis
Pasien diabetes melitus sebaiknya diberikan terapi gizi medis sesuai
dengan kebutuhannya dan disesuaikan dengan kebiasaan masing-masing individu
hal ini sebagai usaha mencapai sasaran terapi.Standar yang dianjurkan antara lain
kadar karbohidrat 60-70%, protein 10-15%, dan lemak 20-25%. Jumlah kalori ini
13
disesuaikan dengan umur, status gizi, pertumbuhan, ada tidaknya stres dan
kegiatan jasmani (Boucer et al., 2009).
3) Latihan Jasmani
Pasien diabetes dianjurkan untuk melakukan latihan jasmani secara teratur 34x dalam seminggu selama 30 menit.Hal ini bertujuan untuk menurunkan berat
badan dan meningkatkan sensitivitas terhadap insulin. Latihan jasmani ini seperti
jalan, sepeda santai, joging, berenang, perlu diperhatikan harus disesuaikan
dengan umur dan status kesegaran jasmani pasien (Nathan et al., 2009).
4) Intervensi Farmakologis
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila di perlukan
dapat dilakukan pemberian antidiabetik oral tunggal atau kombinasi (Depkes,
2006b).
a)
Obat Hiperglikemik Oral
Obat ini dimulai dengan dosis yang kecil dan dapat ditingkatkan secara
bertahap sesuai dengan respon kadarglukosa darah, dan dapat juga diberikan
sampai dosis maksimal.
(1) Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama yaitu untuk meningkatkan
sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien
dengan berat badan normal dan kurang.Efek samping utama dari obat golongan
sulfonilurea ini adalah kenaikan berat badan dan hipoglikemia.Obat golongan ini
rata-rata diberikan 15-30 menit sebelum makan (PERKENI, 2006a).
14
(2) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada meningkatnya sekresi insulin fase pertama. Golongan ini
terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid yang merupakan derivat dari asam
benzoat dan Nateglinid yang merupajan derivat dari fenilalanin.Obat ini
diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara tepat
melalui hati (PERKENI, 2006a).
(3) Thiazolidindion
Thiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma, suatu reseptor inti di sel otot dan sel
lemak.Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatnya jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga mengingkatkan
ambilan glukosa di perifer.Obat ini mempunyai kontraindikasi pada pasien dengan
gagal jantung karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada
gangguan faal hati.Cara pemberian obat ini tidak tergantung jadwal makan.Pada
pasien yang menggunakan thiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati
secara berkala (PERKENI, 2006a).
(4) Biguanid (Metformin)
Obat
ini
mempunyai
efek
mengurangi
produksi
glukosa
hati
(glukoneogenesis), dan juga memperbaiki pengambilan glukosa perifer terutama
untuk pasien diabetes gemuk. Obat ini mempunyai kontraindikasi pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL pada laki-laki dan
>1,4 mg/dL pada perempuan) dan hati, serta pasien dengan kecenderungan
15
hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, dan gagal
jantung). Efek samping dari obat ini yaitu mual, diare, dispepsia, dan asidosis
laktat (PERKENI, 2006a).Metformin juga mempunyai kemampuan menurunkan
risiko komplikasi jangka panjang dibandingkan dengan sulfonilurea (Setter et al.,
2015).Cara pemberian metformin dapat digunakan sebelum/saat/sesudah makan,
tetapi untuk mengurangi keluhan gestasional tersebut sebaiknya diberikan pada
saat atau sesudah makan (PERKENI, 2006a).
(5) Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah glukosa darah
sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia.Efek
samping yang paling sering ditemukan yaitu kembung dan flatulens.Cara
pemberian bersama suapan pertama (PERKENI, 2006a).Data golongan dan
mekanisme aksi obat antidiabetes oral dapat dilihat pada Tabel I.
(6) Insulin
Insulin disekresikan oleh sel-sel beta pankreas akan langsung diinfusikan
ke dalam hati melalui vena porta, yang kemudian akan didistribusikan ke seluruh
tubuh melalui peredaran darah. Efek kerja insulin adalah membantu transport
glukosa dari darah ke dalam sel. Kekurangan insulin menyebabkan glukosa darah
terhambat masuk ke dalam sel. Akibatnya glukosa darah akan meningkat, dan
sebaliknya sel-sel tubuh akan kekurangan bahan sumber energi sehingga tidak
dapat memproduksi energi sebagaimana seharusnya. Insulin juga mempunyai
pengaruh yang sangat luas terhadap metabolisme, baik metabolisme karbohidrat
16
dan lipid, maupun protein dan mineral. Insulin akan meningkatkan lipogenesis,
menekan lipolisis, serta meningkatkan transport asam amino masuk ke dalam sel.
Hal ini berarti jika terjadi gangguan fungsi insulin dapat menyebabkan pengaruh
negatif dan komplikasi yang sangat luas pada berbagai jaringan organ tubuh
(PERKENI, 2006b).
Tabel I. Golongan Dan Mekanisme Aksi Obat Antidiabetes Oral(Setter et al., 2015)
Golongan
Lini pertama
Contoh / Brand Name
Mekanisme Aksi
Metformin (Glucophage)
Menurunkan produksi hepatic
glucose, menaikkan uptake
glukosa dari darah ke jaringan.
Gliburid (Diabeta, Micronase)
Glipizid
Glimepirid
Glibenklamid
Pioglitazon
Rosiglitazon
Repaglinid
Nateglinid
Sitagliptin (Januvia)
Saxagliptin (Onglyza)
Exenatid (Byetta)
Exenatide ER (Bydureon)**
Liraglutid (Victoza)**
Acarbose (Precose)
Miglitol (Glyset)
Pramlintid (Symlin) **
Menaikkan sekresi insulin
Biguanid
Lini kedua
Sulfonilurea *
Glitazon (Thiazolidindion)
Meglitinid
Dipeptidyl peptidase 4 (DPP4)
inhibitors
Increatin mimetics (GLP-1
reseptor agonis) **
α-glucosidase inhibitors
Amylin analogue
Menaikkan sekresi insulin,
Menaikkan sekresi insulin
Menurunkan absorpsi glukosa
dari lambung
Keterangan:
* “Sulfonilurea”merujuk pada golongan lini kedua
** Golongan ini diberikan dengan cara injeksi subkutan. Golongan ini mempunyai peran
yang sedikit dalam penatalaksanaan terapi DM tipe 2
Insulin diperlukan dalam keadaan antara lain penurunan berat badan yang
cepat, hiperglikemia berat
yang disertai ketosis, ketoasidosis diabetik,
hiperglikemia dengan asidosis laktat, gagal dengan kombinasi obat hiperglikemik
oral dengan dosis hampir maksimal, stress berat (infeksi sistemik, operasi besar,
infark miokard akut, stroke), diabetes melitus gestasional, gangguan fungsi ginjal
17
atau hati yang berat, dan kontraindikasi atau alergi terhadap obat hiperglikemik
oral (PERKENI, 2006b). Penyesuaian dosis insulin dapat dilakukan dengan
menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum tercapai (PERKENI,
2006a).Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinyahipoglikemia.Efek
samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadapinsulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin (PERKENI, 2011). Pada Tabel
II dapat dilihat berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis yaitu
insulin kerja cepat (rapid acting insulin), insulin kerja pendek (short acting
insulin), insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin), insulin kerja
panjang (long acting insulin), dan insulin campuran tetap kerja pendek dan
menengah(premixed insulin) (PERKENI, 2011).
b) Terapi kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah,
untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan responkadar glukosa
darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan
dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini.Terapi
dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combination dalam bentuk
tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai
mekanisme kerja berbeda (Perkeni, 2011).
18
Tabel II. Jenis dan Lama Kerja Insulin (Timecourse of Action) (PERKENI, 2011)
Sediaan Insulin
Awal Kerja
(Onset)
Puncak Kerja
(Peak)
Lama Kerja
(Duration)
Kemasan
30-60 menit
30-90 menit
3-5 jam
Vial,
pen/cartridge
5-15 menit
30-90 menit
3-5 jam
Pen/cartridge
5-15 menit
30-90 menit
3-5 jam
Pen
5-15 menit
30-90 menit
3-5 jam
Pen, vial
2-4 jam
4-10 jam
10-16 jam
Vial,
pen/cartridge
2-4 jam
No peak
18-26 jam
Pen
2-4 jam
No peak
22-24 jam
Pen
Insulin Prandial (Meal
Related)
Insulin Short Acting
Reguler (Actrapid®,
Humulin® R)
Insulin Analog Rapid
Acting
Insulin Lispro
(Humalog®)
Insulin Glulisine
(Apidra®)
Insulin Aspart
(Novorapid®)
Insulin Intermediate
Acting
NPH (Insulatard®,
Humulin® N)
Insulin Long Acting
Insulin Glargine
(Lantus®)
Insulin Detemir
(Levemir®)
Insulin Campuran
70% NPH 30% Reguler
(Mixtard®, Humulin®
30-60 menit
Dual
10-16 jam
30/70)
70% Insulin Aspart
Protamin 30% Insulin
10-20 menit
Dual
15-18 jam
Aspart (Novomix® 30)
75% Insulin Lispro
Protamin 30% Insulin
5-15 menit
Dual
16-18 jam
Lispro (HumalogMix®
25)
Keterangan : Nama dalam tanda kurung adalah nama dagang.
Pen/cartridge
Pen
Pen/cartridge
Dari hasil keamanan dan keefektifannya, metformin menjadi landasan
terapi untuk sebagian besar pasien yang mendapat dua kombinasi OHO.Jika
metformin dikontraindikasikan pada pasien, thiazolidindion dapat digunakan
sebagai terapi pilihan.Karena metformin dan thiazolidindion bekerja untuk
meningkatkan sensitivitas insulin, sehingga untuk kombinasinya dapat digunakan
19
DDP-4 inhibitor, glinid atau sulfonilurea.GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor lebih
aman dibandingkan glinid atau sulfonilurea karena risiko hipoglikemia (AACE,
2009).Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakanadalah
kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengahatau insulin kerja
panjang) yang diberikan pada malamhari menjelang tidur.Dengan pendekatan
terapi tersebut padaumumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang
baikdengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerjamenengah
adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00,kemudian dilakukan evaluasi
dosis tersebut dengan menilai kadarglukosa darah puasa keesokan harinya. Bila
dengan caraseperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih
tidakterkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasiinsulin
(Perkeni, 2011).
Strategi terapi pada pasien diabetes tipe 2 yang disarankan oleh ADA
dapat dilihat pada Gambar 2, sebagai monoterapi digunakan obat golongan
biguanid seperti metformin, apabila target kadar glukosa darah belum tercapai
maka dapat digunakan 2 kombinasi obat metformin dengan 1 obat lainnya. Obat
lainnya dapat digunakan dari golongan sulfonilurea seperti glimepirid, glipizid,
gliburid, dari golongan thiazolidindion seperti pioglitazon, dari golongan DPP-4
Inhibitor seperti sitagliptin, saxagliptin, dari golongan GLP-1 receptor agonist
dan dapat juga dikombinasikan dengan insulin basal. Apabila pasien diterapi
dengan kombinasi 2 obat tetapi target kadar glukosa darah belum tercapai juga,
dapat dilakukan dengan menggunakan kombinasi 3 obat.
20
Obat monoterapi permulaan: Metformin
(Jika diperlukan untuk mencapai targer HbA1c setelah 3 bulan, dapat diberikan kombinasi 2
obat (tidak ada keadaan yang menandakan adanya kecenderungan spesifik)
Kombinasi 2 obat: Metformin + 1 obat laina
+Sulfonilurea
+Thiazolidindion
+GLP-1
receptor
agonist
+DPP-4
Inhibitor
+Insulin
(basal)
(Jika diperlukan untuk mencapai targer HbA1c setelah 3 bulan, dapat diberikan kombinasi
3 obat (tidak ada keadaan yang menandakan adanya kecenderungan spesifik)
Kombinasi 3 obat: Metformin + 2 obat lain
+Sulfonilurea
+Thiazolidindion
+DPP-4 Inhibitor
+GLP-1 Receptor
+Insulin (basal)
Agonist
+TZD
+Sulfonilurea
+Sulfonilurea +Sulfonilurea
+TZD
atau DPP-4 I
atau DPP-4 I
atau TZD
atau TZD
atau DPP-4 I
atau GLP-1RA
atau GLP-1RA
atau Insulin
atau Insulin
atau GLP-1RA
(Jika terapi kombinasi obat yang sudah termasuk insulin basal masih belum mencapai target
HbA1c setelah 3-6 bulan, maka dapat dilakukan strategi insulin kompleks, biasanya
dikombinasikan dengan1 atau 2 golongan obat non insulin.
Strategi insulin kompleks
Insulin
(terdiri dari beberapa bagian dosis perharinya)
Keterangan: TZD: thiazolidindion, DPP-4I: dipeptidyl peptidase4 inhibitor, GLP-1 RA:
glucagon like peptide 1 agonist
Gambar 2. Algoritma Tatalaksana Terapi Kombinasi Diabetes Melitus Tipe 2
(ADA, 2015)
21
2. Drug Related Problems
Drug related problems (DRPs) merupakan kejadian tidak diharapkan yang
dialami pasien, dimana melibatkan atau diduga melibatkan terapi obat dan dapat
mengganggu pencapaian tujuan terapi atau outcome terapi pasien (Cipolle et a.l,
1998). Menurut Cipolle et al., tahun 2004 terdapat tujuh kategori DRPs yaitu:
a. Terapi obat yang tidak perlu meliputi tidak ada indikasi yang valid untuk
terapi obat tersebut pada saat itu, penggunaan multiple drug pada kondisi yang
seharusnya cukup dengan single drug therapy, kondisi medis yang lebih baik
ditangani dengan terapi non obat, pasien memperoleh terapi obat untuk mengatasi
efek samping dari obat lain yang seharusnya dapat digunakan obat yang lebih
sedikit efek sampingnya, serta pasien dengan masalah pengobatan yang berkaitan
dengan penyalahgunaan obat, penggunaan alkohol, dan rokok.
b. Indikasi yang tidak di terapi adalah pasien membutuhkan terapi obat namun
tidak menerima obat dengan indikasi dan keluhan pasien. Termasuk diantaranya
pasien membutuhkan adanya kombinasi obat yang digunakan untuk memperoleh
efek sinergis dan butuh obat profilaksis untuk mengurangi risiko dari
perkembangan penyakitnya.
c. Dosis terlalu rendah meliputi dosis terlalu rendah untuk menghasilkan
respon yang diinginkan, interval dosis jarang untuk menghasilkan respon yang
diinginkan, dan durasi terapi obat terlalu pendek untuk menghasilkan respon yang
diinginkan.
22
d. Dosis terlalu tinggi meliputi dosis terlalu tinggi untuk pasien, frekuensi
dosis terlalu pendek, durasi terapi obat sangat panjang, dan dosis obat yang
diberikan terlalu cepat.
e. Adverse drug reactionsadalah reaksi yang tidak diinginkan meliputi obat
menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan yang tidak tergantung dosis, produk
obat yang lebih aman diperlukan karena adanya faktor risiko, adanya interaksi
obat yang menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan terjadi dan tidak tergantung
dosis, regimen dosis diberikan atau diubah terlalu cepat, produk obat
menyebabkan reaksi alergi, dan produk obat dikontraindikasikan karena adanya
faktor risiko.
f. Interaksi obat adalah interaksi antara obat dengan obat yang terjadi apabila
pasien menerima dua obat atau lebih dalam waktu yang sama dan secara teoritis
saling berinteraksi sehingga dapat mengubah efek obat.
g. Ketidakpatuhan meliputi pasien tidak mengerti dengan instruksi yang
diberikan, pasienmemilih untuk tidak minum obat, pasien lupa minum obat,
pasien tidak dapat menelan atau menggunakan sendiri obat yang dipakai secara
tepat, dan obat tidak tersedia untuk pasien.
Tujuan
mengidentifikasi
DRPs
adalah
membantu
pasien
untuk
mendapatkan tujuan terapi dan dapat mewujudkan hasil terbaik dari terapi obat.
Untuk mengidentifikasi, menyelesaikan dan mencegah adanya DRPs, pasien yang
mengalami DRPs mempunyai tiga komponen primer yaitu pasien mengalami
keadaan yang tidak dikehendaki atau kecenderungan menghadapi risiko, dapat
berupa keluhan medis, gejala, diagnosis, penyakit, nilai laboratorium yang
23
abnormal, atau sindrom dan dapat berakibat psikologis, fisiologis, sosial, bahkan
kondisi ekonomi. Terapi obat (produk atau regimen dosis) yang terlibat.Hubungan
yang ada (dicurigai ada) antara keadaan yang tidak dikehendaki pada pasien
dengan terapi obatnya.
F.Kerangka Konsep Penelitian
Pasien Rawat Jalan Diabetes Melitus Tipe 2
Karakteristik Pasien:
1.
2.
3.
4.
Gambaran Pengobatan
Jenis kelamin
Usia
Komorbid
Kadar glukosa
darah
Drug Related Problems:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Terapi obat yang tidak perlu atau
terapi obat tanpa indikasi
Indikasi yang tidak diterapi
Dosis Terlalu Rendah
Dosis Terlau Tinggi
Adverse Drug Reactions
Interaksi obat
Kepatuhan
Gambar 3. Kerangka Konsep Penelitian
G. Keterangan Empiris
Penelitian ini dapat memberikan gambaran persentase kejadian Drug Related
Problems penggunaan obat pada pasien rawat jalan diabetes melitus tipe 2 di
Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit PKU Muhammadiyah.
Download