BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sepanjang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sepanjang sejarahnya, Australia adalah sebuah negara yang dibangun oleh
para imigran dari berbagai belahan dunia. Koloni Inggris yang pertama kali
datang pada tahun 1788, membuka jalan bagi berbagai imigran lainnya. Australia
selalu dipengaruhi oleh dominasi budaya Anglo Celtic, dengan mayoritas
penduduk kulit putih dari Inggris. Seiring dengan perkembangan waktu, beberapa
fenomena terkait imigrasi terjadi di Australia, seperti masa Perang Dunia I dan II
serta arus konflik dari berbagai negara mendorong para imigran dan pencari suaka
untuk mendapatkan tempat tinggal di benua Australia.
Meningkatnya intensitas konflik bersenjata di awal abad ke-20 di beberapa
negara dunia menimbulkan arus pengungsi besar-besaran. Perserikatan BangsaBangsa telah membentuk United Nations High Comissioner for Refugee
(UNHCR) pada tahun 1951, yang bertugas untuk memberikan perlindungan
internasional terhadap pengungsi dan memberikan solusi yang permanen terhadap
para pengungsi dengan jalan membantu pemerintah-pemerintah, pelaku-pelaku
lainnya
ataupun
organisasi-organisasi
kemanusiaan
yang
terkait
untuk
memberikan fasilitas pemulangan (repatriation) bagi para pengungsi. 1
Australia merupakan salah satu negara yang berpartisipasi dalam refugee
settlement program yang dijalankan oleh UNHCR. Semenjak tahun 1945, kurang
lebih sejumlah 700.000 pengungsi dan internally displaced persons (IDPs) telah
diterima oleh Australia baik melalui jalur darat maupun perairan. 2
Seiring dengan datangnya pengungsi ke Australia, banyak kesulitan yang
terjadi karena kurangnya dokumen pendukung yang menyebabkan pengungsi
tersebut dapat diartikan sebagai illegal immigrant. Berdasarkan hukum yang
1
A. Romsan, Usmawadi, M.D. Usamy, & M.A. Zuhir, Pengantar Hukum Pengungsi
Internasional: Hukum Internasional dan Prinsip-Prinsip Perlindungan Internasional, Badan
Perserikatan Bangsa - Bangsa Urusan Pengungsi (UNHCR), Jakarta, 2003, p. 165.
2
Department of Parliamentary Services, Asylum Seekers and Refugees: What are The Facts?,
Parliamentary Library, Canberra, 2011, p.1.
berlaku di Australia, seseorang yang datang ke Australia tanpa visa yang berlaku
dapat dikategorikan sebagai imigran gelap. Pada bulan Juni 2009, diperkirakan
sejumlah 48.700 penduduk yang tinggal tanpa visa yang berlaku berada di
Australia. 3
Berdasarkan data dari Central Intelligence Agency Amerika Serikat,
Australia menduduki peringkat ke-23 dalam presentasi migran di dalam
negaranya. Peringkat ini melebihi Amerika Serikat yang berada pada posisi ke-40
dan Inggris yang berada pada posisi ke-38. 4 Padahal, kedua negara tersebut
memiliki aturan-aturan yang ketat mengenai imigrasi dan cenderung memiliki
insekuritas yang tinggi terhadap imigran. Sebagai perbandingan, pada tahun 20042005 diperkirakan sejumlah 123.424 orang berimigrasi ke Australia. Sedangkan
pada tahun 2008-2009, diperkirakan jumlah tersebut meningkat menjadi 300.000
orang imigran. 5
Sejak terbentuknya Federasi Australia di tahun 1901, Australia telah
menjadi wilayah yang dikuasai oleh masyarakat imigran. Sejumlah 20% dari
populasi Australia pada masa itu adalah overseas-born citizen dan sejumlah kecil
imigran dari Jerman dan Cina. Meskipun demikian, identitasnya sebagai koloni
Inggris tetap mendominasi dalam hal politik, budaya, bahasa, dan agama. 6
Kebijakan imigrasi merupakan aspek penting bagi Australia dalam
mengontrol populasinya. Akan tetapi kebijakan tersebut tidak terlepas dari
pemahaman politisi Australia mengenai imigran seperti yang disebutkan oleh
Jupp:
Australia has long and strong xenophobic, racist and insular traditions and
they have always influenced immigration policy. Policy has always been
influenced by ideologies: imperialism, racism, utilitarianism, economic
3
DIAC, Population Flows 2008-09 (daring), 2010,
<http://www.immi.gov.au/media/publications/statistics/popflows2008-09/>, diakses 23 Mei 2014.
4
CIA, The World Factbook (daring), 2014, <https://www.cia.gov/library/publications/the-worldfactbook/rankorder/2112rank.html?countryname=Australia&countrycode=as&regionCode=aus&r
ank=23#as>, diakses 23 Mei 2014
5
T. Iggulden, ‘Immigration Intake to Rise to 300,000’, Lateline, 6 November 2008,
www.abc.net.au/lateline/content/2007/s2272014.htm , diakses 9 Juni 2014.
6
J. Jupp, From White Australia to Woomera: The Story of Australian Immigration, 2nd edn,
Cambridge University Press, New York, 2007, p. 6.
rationalism and humanitarianism. Australian immigration policy over the
past 150 years has rested on three pillars; the maintenance of British
hegemony and ‘white’ domination; the strengthening of Australia
economically and militarily by selective mass migration; and the state
control of these processes. 7
Berbagai tindakan telah dilakukan oleh pemerintah Australia bahkan sejak
Federasi Australia dibentuk, misalnya pemberian label kepada imigran yang
berasal dari musuh perang dengan sebutan enemy aliens, diskriminasi terhadap
imigran mengenai ketenaga kerjaan, serta kebijakan-kebijakan dan pernyataan
yang memperlihatkan betapa Australia merasa insecure dengan kehadiran imigran
yang bukan berasal dari Inggris. Isu imigrasi seringkali dikaitkan dalam isu
national security sehingga sepanjang sejarahnya pemerintah Australia telah
melakukan proses sekuritisasi terkait imigran dan pencari suaka.
Namun, kebijakan-kebijakan imigrasi yang mengacu kepada argumen
Jupp lebih banyak diterapkan pada masa pemerintahan John Howard. John
Howard merupakan Perdana Menteri Australia yang paling tegas dalam
memperketat kebijakan imigrasinya, serta melakukan sekuritisasi melalui pidatopidatonya dan kebijakan yang dikeluarkannya. Pada masanya, kemunculan partai
One Nation yang memenangkan Pauline Hanson sebuah kursi pemerintahan di
distrik Oxley pada tahun 1996 mendorong lebih banyak kebijakan-kebijakan
terkait pencari suaka dan imigran yang lebih ketat. Partai One Nation ini memiliki
ideologi yang mengagungkan bangsa kulit putih atau white nationalism, dan partai
ini memiliki visi zero net immigration. 8 Kemudian pada tahun 2001, Australia
didorong untuk bertindak dalam kasus krisis Tampa. Sebuah kapal penyelamat
Norwegia yang telah menyelamatkan 438 pencari suaka dari Timur Tengah
ditolak berlabuh di daratan Australia, pemerintah Australia mengenyampingkan
fakta bahwa kapal pencari suaka yang telah diselamatkan tersebut tidak mampu
7
Jupp, p. 7.
One Nation, Policies – Immigration,
<www.onenation.com.au/policies/policies_immigration.htm> diakses tanggal 9 Juni 2014.
8
jika harus dikembalikan ke tempat asalnya. 9 Tindakan pemerintah ini
menunjukkan determinasi kuat John Howard dalam menerapkan kebijakan
imigrasinya, kesuksesan kebijakan imigrasi John Howard akhirnya membuat
dirinya di eleksi kembali pada bulan November 2001.
Proses sekuritisasi yang dilakukan oleh John Howard melibatkan
pengeluaran beberapa kebijakan yang bersifat anti-imigran, serta speech act
melalui berbagai pidato yang menaruh imigran sebagai ancaman dalam identitas
Australia yang menimbulkan ketakutan dan insecurity pada masyarakat Australia.
Aktor yang terlibat dalam proses ini tidak hanya John Howard, melainkan Pauline
Hanson, partai One Nation, dan beberapa Menteri dalam pemerintahan Australia
di masa John Howard.
Dipilihnya kembali John Howard sebagai Perdana Menteri pada tahun
2001 menunjukkan bagaimana masyarakat Australia menginginkan kebijakankebijakan yang tegas mengenai pencari suaka dan imigran, dan mengindikasikan
keberhasilan dalam proses sekuritisasi yang dilakukan oleh pemerintah pada masa
John Howard.
Berdasarkan teori sekuritisasi,
ancaman terhadap
identitas dapat
digolongkan sebagai ancaman dalam societal sector atau ancaman terhadap
societal security. Konsep dari societal security mengarah kepada identitas, dimana
societal insecurity ada apabila sebuah komunitas menemukan suatu hal yang
dapat mengancam eksistensi mereka sebagai sebuah komunitas. Komunitas yang
dimaksud dapat berupa kelompok atau bangsa selama komunitas tersebut
memiliki identitas yang sama, dalam kasus ini adalah bangsa kulit putih di
Australia.
Dua isu utama terkait societal security di Australia adalah ancaman oleh
migrasi dan kompetisi horizontal. Ancaman migrasi sebagai contoh migrasi
penduduk Cina ke Tibet, juga terjadi di Australia dimana identitas Australia
mengalami pergeseran yang disebabkan oleh komposisi penduduk yang tidak lagi
sama. Australia pada awal dibentuknya didominasi oleh budaya Anglo Celtic
9
J. Donaldson, ‘To what extent does the securitisation of asylum seekers contribute to Australia’s
failure to meet its relevant international human rights obligations?’, Masters Intership Reports
(Human Rights), vol. CH1, 9 December 2011, p. 11.
dengan mayoritas penduduk Inggris dan Irlandia, namun seiring berjalannya
waktu arus imigrasi yang kian padat terkait dengan kebijakan populate or perish
menyebabkan budaya tersebut tidak lagi mendominasi. Terjadinya integrasi
budaya yang melahirkan budaya baru (hybrid culture) seringkali terjadi di
Australia, misalnya penduduk Lebanon yang budayanya kini terintegrasi dengan
budaya barat Australia dan melahirkan budaya campuran.
Selain itu, terjadi juga kompetisi horizontal terutama terkait dengan
akulturasi budaya dikarenakan oleh letak geografis Australia yang berada di
selatan Asia dan jauh dari negara barat manapun. Istilah yang berkembang di
masyarakat Australia seperti yellow peril atau bahaya kuning, serta ancaman dari
utara, memberikan contoh yang nyata bagaimana insekuritas Australia dalam
mempertahankan identitasnya dari akulturasi budaya dengan Asia. Sejak masa
Paul Keating, Australia berusaha mengedepankan hubungan diplomatiknya
dengan Indonesia yang disebut sebagai gerbang antara Asia dan Australia, sebagai
upaya untuk membendung pengaruh Asia tersebut.
Beberapa aspek penting dalam teori sekuritisasi adalah referent object
dalam hal ini adalah bangsa kulit putih Australia, kemudian aktor sekuritisasinya
adalah John Howard serta kelompok ekstrimis seperti partai One Nation, dan
ancaman eksistensialnya adalah imigran dan pencari suaka.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Klocker pada tahun 2004 di Port
Augusta, Australia Selatan, menunjukkan bagaimana komunitas di wilayah
tersebut memandang pencari suaka sebagai suatu ancaman. 10 Klocker memilih
wilayah ini karena terletak hanya 15 kilometer dari sebuah fasilitas penahanan
pencari suaka. Survei yang dilakukan melibatkan 1000 responden yang menulis
bahwa pencari suaka identik dengan ‘beban’, ‘mengancam’, dan ‘ilegal’. Hal ini
menunjukkan bahwa responden memiliki sikap insecure terhadap pencari suaka
dan membuktikan bahwa proses sekuritisasi oleh John Howard diterima
masyarakat dengan baik.
10
N. Klocker, ‘Community Antagonism Towards Asylum Seekers in Port Augusta, South
Australia’, Australian Geographical Studies, vol. 42, no. 1, March 2004, pp. 1-7.
B.
Rumusan Masalah
Bagaimana keefektifan proses sekuritisasi pada masa John Howard dalam
menangani ancaman societal security di Australia?
C.
Landasan Konseptual
1. Teori Sekuritisasi
Istilah sekuritisasi pertama kali dicetuskan oleh the Copenhagen
School di tahun 1990-an, dimana dapat dideskripsikan sebagai “the
designation of an existential threat requiring emergency action or special
measures and the acceptance of that designation by a significant audience.” 11
Sekuritisasi mengidentifikasi suatu isu yang telah keluar dari
keamanan tradisional ke dalam sektor-sektor baru seperti lingkungan, militer,
societal, political, dan ekonomi. 12 Proses sekuritisasi yang digunakan adalah
speech-act,
dengan
seorang
atau
sekelompok
aktor
sekuriti
yang
mendeklarasikan suatu ancaman kepada pendengar yang pada umumnya
adalah masyarakat suatu negara.
Buzan menyebutkan ada beberapa hal yang menjadi faktor
kesuksesan proses sekuritisasi yaitu bagaimana mengidentifikasi ancaman,
meyakinkan pendengar untuk menerima kredibilitas dari ancaman tersebut,
serta pengambilan langkah-langkah yang luar biasa sebagai respon dari
ancaman tersebut.13
Salah satu sektor yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
societal sector dari teori sekuritisasi. Konsep dari societal security mengarah
kepada identitas, dimana societal insecurity ada apabila sebuah komunitas
menemukan suatu hal yang dapat mengancam eksistensi mereka sebagai
11
B. Buzan, O. Waever, J. Wilde, Security: A New Framework for Analysis, Lynne Riener
Publisher, Colorado, 1998, p. 27.
12
J. Nyman, ‘Securitization Theory,’ dalam L.J. Sheperd (ed.), Critical Approaches to Security,
Routledge, New York, 2013, pp. 55-57.
13
Buzan, p. 27.
sebuah komunitas. 14 Komunitas yang dimaksud dapat berupa kelompok atau
bangsa selama komunitas tersebut memiliki identitas yang sama.
Agenda societal security telah dibentuk oleh aktor-aktor dari berbagai
masa dan wilayah, Buzan merangkum tiga isu utama perihal societal security
sebagai berikut 15:
1. Migrasi
Masyarakat Y mulai mengambil alih populasi masyarakat X,
sehingga masyarakat X tidak lagi memiliki suatu identitas yang
sama dikarenakan pergeseran komposisi masyarakat oleh migrasi.
Contoh dari isu migrasi adalah migrasi penduduk Cina ke Tibet
dan migrasi penduduk Rusia ke Estonia.
2. Kompetisi Horizontal
Meskipun masyarakat X masih menduduki wilayahnya, namun
mereka akan mengubah cara hidup karena pengaruh dari akulturasi
budaya dan bahasa dengan masyarakat Y yang tinggal di dekat
wilayahnya. Contoh dari kompetisi horizontal adalah ketakutan
Kanada oleh peristiwa Amerika-nisasi.
3. Kompetisi Vertikal
Masyarakat X akan mengubah identitas mereka karena munculnya
sebuah tindakan integrasi yang mendorong mereka ke dalam
identitas yang lebih sempit atau luas. Contoh dari kompetisi
vertikal adalah wilayah Quebec yang terintegrasi ke dalam Kanada
dan negara-negara di Uni Eropa)
Dalam menganalisa suatu proses sekuritisasi, diperlukan sebuah
framework atau kerangka sekuritisasi yang berguna untuk melihat bagaimana
aktor sekuritisasi negara atau non-negara dalam melakukan upaya
sekuritisasi. Kerangka sekuritisasi yang dimaksud yaitu 16:
14
Buzan, p. 119.
Buzan, p. 121.
16
M. G. Curley & W. Siu-lun (eds.), Security and Migration in Asia: The dynamics of
securitisation, Routledge Press, London, 2008, pp. 5-6.
15
1. Issue area: Area apakah yang mengalami ancaman / siapakah
yang terancam. Apakah ada konsesus diantara aktor-aktor, seperti
pemerintah dan kelompok masyarakat madani dalam ancaman
tersebut?
2. Securitising actors: Siapakah aktor sekuritisasi utama dalam
kasus tersebut? Seandainya aktor tersebut bagian dari pemerintah,
departemen
apakah
yang
melakukan
sekuritisasi
atau
desekuritisasi? Adakah aktor lain yang terlibat?
3. Security concept: Konsep keamanan apakah yang digunakan
untuk mengidentifikasi referent object? Negara pada umumnya
menggunakan
konsep
national
security,
sedangkan
NGO
cenderung menggunakan konsep keamanan non-tradisional untuk
mengidentifikasi permasalahan kelompok etnis, perempuan,
komunitas, dan lain sebagainya.
4. Process:
Bagaimanakah
proses
dari
speech
act
dalam
mengidentifikasi ancaman? Apa saja fokus dari speech act
tersebut, serta adakah bentuk lain dari proses sekuritisasi yang
ada?
5. Outcome I: Sudahkan proses sekuritisasi berlangsung dan sejauh
apa? Indikator apa saja yang dapat digunakan sebagai hasil dari
proses ini (kebijakan yang telah dikeluarkan, campur tangan dari
militer, dan sebagainya)? Apakah hasil sekuritisasi secara
keseluruhan: berhasil, gagal, tidak terlihat, atau yang lainnya?
6. Outcome II: Apa saja dampak dari proses sekuritisasi ini terkait
dengan menangani ancaman yang ada?
7. Conditions affecting securitisation: yaitu (1) bentuk dari issue
area dan issue linkage, (2) peran dari aktor yang berkuasa, (3)
sistem politik domestik dan (4) norma internasional.
Sedangkan dalam menganalisa keberhasilan atau kesuksesan dari
proses sekuritisasi, Jonna Nyman menyebutkan beberapa faktor kesuksesan
dalam proses sekuritisasi yaitu 17:
a. Timing;
b. Audience acceptance;
c. External reality: nature / features of ‘threat’;
d. Positioning of securitizing actor;
e. Relationship between speaker and audience;
f. Repetition / process of security speech acts following grammar of
security;
g. Social and discursive context of speech act.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan kerangka-kerangka
sekuritisasi yang telah disebutkan dalam menganalisa proses sekuritisasi dan
keberhasilan dari proses sekuritisasi.
2. Konstruktivisme
Teori konstruktivisme dan perspektif konstruktivis telah digunakan
dalam studi keamanan internasional dalam menjelaskan isu-isu seperti hak
asasi manusia, identitas, dan globalisasi. Dalam kasus ini, peneliti akan
menggunakan
perspektif
konstruktivis
dalam
menjawab
pertanyaan
penelitian.
Berdasarkan perspektif konstruktivis, hubungan internasional bersifat
dinamis dan terus berubah seiring dengan berbagai keadaan seperti kondisi
dan konstruksi sosial, militer, kerjasama ekonomi, dan lain sebagainya.
Robert Jackson dan Georg Sorensen menyebutkan bahwa:
In social theory, constructivists emphasize the social construction of
reality. The social world is not a given. The social world is a world of
human consciousness: of thoughts and beliefs, of ideas and concepts,
of languages and discourses. Four major types of ideas are:
17
Nyman, p. 59.
ideologies; normative beliefs; cause-effect beliefs; and policy
prescriptions. 18
Dengan perspektif konstruktivisme terutama mengenai pentingnya
konstruksi identitas oleh Alexander Wendt, penulis berharap akan
menemukan motivasi dan kepentingan dari upaya aktor-aktor dalam
melakukan proses sekuritisasi. Wendt menyebutkan bahwa konstruksi
identitas merupakan suatu hal yang sangat signifikan bagi suatu negara dalam
memposisikan dirinya di hubungan internasional, identitas juga membantu
menganalisa kepentingan dasar dari suatu negara. 19
D.
Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data, yaitu:
Analisis kualitatif. Data dalam riset ini juga diperkaya melalui studi berbagai
tulisan dan literatur terkait dengan pencari suaka dan imigran di Australia, aktoraktor sekuritisasi di Australia, dan data-data lainnya yang berkaitan dengan
sekuritisasi terutama societal security dengan tujuan untuk mencari data yang
valid dan faktual untuk memperkuat objektivitas. Studi pustaka juga dilakukan
sebagai landasan argumentasi yang dibangun oleh penulis pada tahap analisis
konsep dan data. Penelitian ini memiliki batasan waktu yaitu pada masa
pemerintahan John Howard di tahun 1996 hingga 2007.
E.
Hipotesis Sementara
Efektifitas proses sekuritisasi oleh John Howard dilihat dari kerangka
sekuritisasi yang menghasilkan dua outcome yang berhasil. Outcome I adalah
bentuk dari proses sekuritisasi secara keseluruhan, berhasil tidaknya dinilai dari
kemampuan John Howard serta aktor sekuritisasi lainnya dalam speech act.
Outcome II merupakan bentuk dampak dari proses sekuritisasi dalam menangani
18
R. Jackson dan G. Sorensen, Introduction to International Relations Theories and Approaches,
Oxford University Press, 2006, p. 176.
19
M. Bukovansky, ‘American Identity and Neutral Rights from Independence to the War of 1812’,
International Organization, vol. 7, no. 2, 2007, p. 209.
ancaman yang ada, dalam kasus ini John Howard berhasil mengurangi jumlah
imigran dan pencari suaka yang masuk ke Australia.
F.
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
Bab I
berisi tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah,
landasan konseptual, metode penelitian, hipotesis sementara, dan
sistematika penulisan.
Bab II
berisi tentang imigrasi dan proses sekuritisasi di Australia dari
masa ke masa dimulai dari masa Federasi hingga masa
pemerintahan John Howard, termasuk juga bagaimana tindakan
pemerintah dari masa ke masa dalam menangani ancaman
societal security serta implikasi dari kedatangan imigran ke
Australia.
Bab III
berisi tentang analisa efektifitas proses sekuritisasi oleh Perdana
Menteri John Howard menggunakan teori sekuritisasi dan
konstruktivisme.
Bab IV
berisi tentang kesimpulan yang akan menjawab pertanyaan
penelitian.
Download