BAB II TINJAUAN TERORITIS PIDANA DAN QISASH A. Pengertian Hukum Pidana 1. Pegertian hukum pidana Hukum adalah peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah, atau patokan (kaidah, ketentuan) mengenai ketentuan tertentu.1Pidana adalah hak kejahatan (tentang pembunuhan, perampokan, korupsi dan sebagainya) kriminal, atau perkara-perkara yang berkaitan kejahatan.2 Pidana adalah hak kejahatan (tentang pembunuhan, perampokan, korupsi dan sebagainya) kriminal, atau perkara-perkara yang berkaitan kejahatan.3 Menurut Soedarto pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat tertentu. Sedangkan Roeslan Saleh menyatakan bahwa pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.4 1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI, 2007, (Jakarta: Balai Pustaka), hal.410 2 Ibid., hal.871 3 Priyatno, Dwidja, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indinesia, 2006 (Bandung: Refika Aditama), hal.44 4 Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indinesia, 2006, (Bandung: Refika Aditama), hal. 6 16 17 Hukum Pidana adalah peraturan yang memikat, mengatur masalah tentang kejahatan atau kriminlitas. Sedangkan hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqih jinayyah. Fiqih jinayyah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang mukallaf (orang-orang yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Al-Qur‟an dan Hadist. Tindakan kriminal yang dimaksud adalah tindakan-tindakan kejahatan yang mengganggu ketentraman umum serta tindakan melawan peraturan perundangundangan yang bersumber dari Al-Qur‟an dan Hadist.5 Hukum acara pidana disebut juga hukum pidana formal untuk membedakannya dengan hukum pidana material. Hukum pidana material atau hukum pidana itu berisi petunjuk dan uraian tentang delik peraturan tentang syarat-syarat dapatnya dipidana sesuatu perbuatan, petunjuk tentang orang yang dapat dipidana atau aturan tentang pemidanaan: mengatur kepada siapa dan pidana itu dapat dijatuhkan.6 Hukum pidana Islam merupakan syariat Allah yang mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun akhirat. Syariat Islam dimaksud, secara materiil mengandung kewajiban asasi bagi kehidupan manusia untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban asasi syariat, yaitu menempatkan Allah sebagai pemegang segala hak, baik yang ada pada diri 5 Zainuri Ali, Hukum Pidana Islam, 2012, ( Jakrta: Sinar Grafika), hal. 1 Andi Hamzah, Pengantar Acara Hukum Pidana, 1985 (Jakarta: Grafika Indonesia), hal. 15 6 18 sendiri maupun yang ada pada orang lain. Setiap orang yang hanya pelaksana yang berkewajiban memenuhui perintah Allah. Perintah Allah dengan maksud, terus ditunaikan untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain.7 Arti kata hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana. Kata pidana berarti hal yang dipidanakan, yaitu oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang sehari-hari dilimpahkan. Tentunya ada alasan untuk melimpahkan pidana ini, dan alasan ini selayaknya ada hubungan dengan suatu keadaan, yang didalamnya seorang oknum yang bersangkutan bertindak kurang baik. Maka, unsur hukuman sebagai suatu pembalasan tersirat dalam kata „pidana‟. Kata hukuman sebagai istilah tidak dapat menggantikan kata pidana, sebab ada istilah hukum pidana disamping hukum perdata seperti misalnya ganti rugi berupa pembayaran sejumlah uang atau penyitaan barang disusul dengan pelelangan.8 2. Tujuan Hukum Acara Pidana Pedoman pelaksanaan KUHAP memberi penjelasan tentang tujuan hukum acara pidanasebagai berikut: “ Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran material, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana 7 Ibid, hal.1 Zainuri Ali, op.cit., hal. 1 8 19 dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tetap, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat di dakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”.9 Pada umumnya pengarang hukum acara pidana menunjuk “ menemukan kebenaran” sebagai tujuan hukum acara pidana. Dalam usaha hakim menemukan kebenaran material sebenarnya ia terikat pada batas-batas dakwaan yang diajukan oleh jaksa. Hakim seharusnya tidak puas dengan kebenaran formal yang telah ditemukannya”.10 Van Bemmelen mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana, yaitu : a. Mencari dan menemukan kebenaran b. Pemberian keputusan oleh hakim c. Pelaksanaan keputusan. 11 Menurut pendapat Andi Hamzah, tujuan hukum acara pidana mencari dan menemukan kebenaran material itu hamya merupakan tujuan antara, artinya ada tujuan akhir yaitu yang menjadi tujuan seluruh tertib hukum Indonesia. 9 Andi Hamzah, op.cit., hal. 18 Ibid., hal. 18 11 Ibid., hal. 19 10 20 Dalam hal ini, mencapai suatu masyarakat yang tertib, tentram, damai, adil dan sejahtera (tata tentram kerta raharja).12 Sejak dahulu kala atau lebih pasti lagi sejak jaman Protagoras, orang yang selalu mencari dan memperdalam tujuan pemidanaan. Di dalam protagoras sudah berbicara tentang pidana sebagai sarana pencegahan khusus maupun pencegahan umum. Demikian pula Seneca, seorang filosuf romawi yang terkenal, beliau sudah membuat formulasi yang terkenal yakni nemo prudens punit quia peccatum est, sed ne peccetur yang artinya adalah tidak layak orang yang memidana karena telah terjadi perbuatan salah, tetapi dengan maksud agartidak terjadi lagi perbuatan salah.13 Secara tradisional teori-teori pemidanaan (dasar-dasar pembenaran dan tujuan pemidanaan) pada umumnya dapat dibagi dalam dua kelompok teori, yaitu: a. Teori Absolut atau teori pembalasan (retributive/ vergelding theorieen). b. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/ doeltheorieen).14 Teori absolut, menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est). Menurut teori absolut ini setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar.15 12 Ibid., hal. 22 Dwidja Priyatno, op.cit.,hal. 22-23 14 Ibid., hal. 22 15 Ibid., hal. 24 13 21 Sedangkan teori relatif, menurut teori ini memidana bukanlah untuk memutuskan tuntunana absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.16 Karl O. Cristiansen memberi ciri pokok atau karakteristik antara teori Retributif dan teoti Utilitarian.17 a. Pada teori Retributif 1) Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan 2) Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat. 3) Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana. 4) Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar. 5) Pidana melihat kebelakang, ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar.18 b. Pada teori Utilitarian. 1) Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention). 2) Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat. 16 Ibid., hal. 25 Ibid., hal. 26 18 Dwidja Priyatno, op.cit.,hal. 22-23 17 22 3) Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja (misal karena sengaja) yang memenuhi syarat adanya pidana. 4) Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat pencegahan kejahatan. 5) Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif), pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.19 3. Asas-asas hukum pidana Asas hukum pidana ini didasari oleh pelaksanaan hukum pidana Islam, diantaranya adalah sebagai berikut: a. Asas Legalitas Asas legalitas menyatakan bahwa tidak ada pidana tanpa undangundang, tiada tidak pidana tanpa undang-undang dan tiada penuntunan tanpa undang-undang.20 Asas legalitas diterapkan oleh Syara‟ pada semua jarimah (tindak pidana) dengan cara yang berbeda, baik jarimah hudud, qishash, maupun ta‟zir.21 19 Ibid., hal. 26 Dwidja Priyatno, op.cit.,hal.33 21 Jarimah hudud dan Qishash adalah hukuman yang sudah ditentukan oleh syara‟. Sedangkan jarimah ta‟zir adalah setiap hukuman yang bersifat pendidikan atas setiap perbuatan maksiat yang 20 23 b. Asas kesalahan, yang berisi bahwa orang hanya dapat dipidana untuk tindak pidana yang dilakukannya dengan sengaja atau dengan kealpaan.22 c. Asas larangan memindahkan kesalahan kepada orang lain. d. Asas praduga tidak bersalah. Asas ini disebutkan dalam undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman dan juga dalam penjelasan umum butir 3 KUHAP yang berbunyi: “ Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.23 4. Unsur pertanggungjawaban pidana Pengertian pertanggungjawaban pidana dalam syariat Islam adalah pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan yang dikerjakan dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut mengetahui maksud dan akibat perbuatannya itu.24 Dalam syariat Islam pertanggungjawaban itu didasarkan kepada tiga hal: a. Adanya perbuatan yang dilarang b. Perbuatan itu dikerjakan dengan kemauan sendiri, dan hukumannya belum ditentukan oleh syara‟ dan dapat ditentukan oleh amri (pemimpin). Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Azaz Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, 2006, (Serang: Sinar Grafika), hal. 32-34 22 Loc.cit., 23 Andi Hamzah, Ibid., hal. 22 24 Ahmad wardi muslich, op.cit., hal. 74 24 c. Pelaku mengetahui akibat perbuatannya itu.25 B. Qishash 1. Pengertian qishash Kata qishash kadang dalam hadist disebut dengan qawad. Maksudnya adalah semisal ( almuamastilah). Adapun maksud yang dikehendaki Syara‟ adalah kesamaan akibat yang ditimpakan kepada pelaku tindak pidana yang melakukan pembunuhan atau penganiayaan terhadap korban. Dalam ungkapan lain adalah pelaku akan menerima balasan sesuai dengan perbuatan yang dia lakukan. Dia dibunuh kalau dia membunuh dan dilukai jika dia melukai atau menhilangkan anggota badan orang lain. Abdul Qadir Audah mendefinisikan qishash sebagai keseimbanagan atau pembalasan terhadap si pelaku tindak pidana dengan sesuatu yang seimbang dari apa yang telah diperbutanya. Hukuman ini dianggap sebagai hukuman yang terbaik sebab mencerminkan keadilan. Si pelaku mendapat imbalan yang sama ( setimpal ) dengan perbuatan yang dia lakukan terhadap orang lain. Hukuman ini kana menjadikan pelaku berfikir dua kali untuk melakukan hal yang serupa manakala dia mengingat akibat yang sama yang akan ditimpakan kepadanya. Qishash adalah hukuman pokok bagi perbuatan pidana dengan obyek (sasaran) jiwa atau anggota badan yang dilakukan dengan sengaja, seperti 25 Ibid., 25 membunuh, melukai, menghilangkan anggota badan dengan sengaja.26 Oleh karena itu, bentuk jarimah27 ini ada dua, yaitu pembunuhan sengaja dan penganiayaan sengaja. Pengertian jarimah menurut istilah hukum pidana Islam hampir bersesuaian dengan pengertian menurut hukum positif (hukum pidana Indonesia). Jarimah dalam istilah hukum pidana Indonesia diartikan dengan peristiwa pidana. Menurut Mr. Tresna “ Peristiwa pidana itu adalah rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman”.28 Pembunuhan sengaja adalah pembunuhan yang dilakukan secara kesengajaan dengan sasaran jiwa korban dan mengakibatkan kematian. Dalam hal ini ada dua unsur pokok, yaitu kesengajaan berbuat atua memang perbuatan itu diniati, bahkan merupakan bagian dari skenario pekalu. Untuk membedakan dari pembunuhan semi sengaja, maka pelaku harus memakai alat yang menurut kelaziman dipakai untuk membunuh, seperti benda – benda tajam, senjata api, racum. Dalam hal ini, dapat juga dikategorikan membunuh dengan sengaja, semisal dengan membakar, menenggelamkan korban ke dalam air, mendorong korban dari ketinggian, dan sebagainya. 26 Ahmad wardi muslich, op.cit., hal. 74 Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara‟, yang diancam dengan hukuman had atau ta‟zir, Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, 2006, (Serang: Sinar Grafika), hal. 9 28 Ibid., hal. 10 27 26 Adapun penganiayaan sengaja adalah suatu bentukperbuatan yang dilakukan secara sengaja dengan sasaran anggota badan yang mengakibatkan luka, hilangnya anggota badan atau hilangnya fungsi anggota badan. Disini juga ada dua unsur pokok, yaitu kengajaan berbuat dan hasil yang diakibatkan memeng dikehendaki. Perbedaannya dengan pembunuhan sengaja terletak pada hasilnya. Pada pembunuhan sengaja, hasil yang dikehendaki adalah kematian, sedangkan pada penganiayaan sengaja, hasilnya adalah lukanya, cacatnya si korban, atau hilangnya fungsi anggota badan korban. Hukuman pokok pada jarimah pembunuhan adalah qishash, yaitu dibunuh kembali. Sebagai hukuman pokok, qishash mempunyai hukuman pengganti, yaitu apabila keluraga korban menghapuskan hukuman pokok ini, qishash pun tidak dapat dijatuhkan dan digantikan dengan hukuman diyat. Diyat pun kalau seandainya dimaafkan dapat dihapuskan dan sebagai penggantinya, hakim menjatuhkan hukuman ta‟zir. Jadi qishash sebagai hukuman pokok mempunyai hukuman pengganti, yaitu diyat dan ta‟zir.29 Adanya hukum pengganti pada jarimah qishash ini disebabkan adanya pemaafan dari si korban atau wali atau ahli warisnya. Hal itu dimungkinkan, sebab jarimah qishash merupakan hak adami, hak perorangan. Oleh karena itu, kalau si 29 . H.A Djazuli, Hukum Pidana Islam, 2010, (Bandung: Pustaka Setia ), hal. 125 27 korban (masih hidup) atau wali atau ahli warisnya (jika korban mati ) memaafkan jarimah, hukuman qishash pun menjadi gugur digantikan dengan hukuman diyat.30 Apabila korban atau keluraga korban memaafkan diyat ini, dapat dihapus dan sebagai penggantinya hakim akan menjatuhkan ta‟zir. Di samping itu, hukuman pokok tersebut juga tidak boleh dijatuhkan manakal perbuatan tersebut tidak memenuhi kriteria sebagai jarimah qishash akibat adanya kesamaran atau syubhat dalam segala aspek, baik pelaku, korban, atau tempat. Dalam hal ini hukuman pokok digantikan dengan hukuman ta‟zir. Penggantinya bukan diyat, sebab dalam kasus ini terdapat syubhat atau kesamaran dan bukan pemaafan dan dalam kasus syubhat, jarimah tidak dianggap sebagai jarimah qishash lagi.31 Oleh karena itu, hukuman qishash tidak dikenakan kepada pelaku pembunuhan, kecuali terpenuhinya persyaratan di bawah ini : a. Korban adalah orang yang haram dibunuh, artinya ia terlindungi darahnya. Orang-orang yang tidak terlindungi darahnya menurut Islam adalah penzinah, muhshon, orang murtadz, kafir harbi, dll. Walaupun sebagai tindakan preventif, hakim dapat menjatuhkan hukuman lain pada pelaku, berupa ta‟zir. Hal ini karena membiarkan pembunuhan melakukan aksinya- walaupun korbannya bukan dilindungi darahnya- akan menciptakan suasana main hakim sendiri (tahakumiyyah ) yang menjurus pada saling bunuh secara berantai dan tentu menjadi anarkis. 30 Diat adalah harta benda yang wajib ditunaikan oleh sebab tindakan kejahatan, kemudian diberikan kepada si korban kejahatan atau kepada walinya. 31 H.A Djazuli, op.cit., hal. 125 28 b. Pelaku pembunuhan adalah orang mukallaf, akil baligh, tidak hilang ingatan (gila) sebab meraka dikenai pembebanan. c. Pelaku pembunuhan mempunyai hak pilih untuk melakukan atau meninggalkan. Artinya dia melakukan perbuatan tersebut tanpa tekanan, tanpa paksaan yang berat menyebabkan hilangnya hak pilih tadi. d. Pelaku pembunuhan bukan orang tua korban, ayah, atau datuknya Adapun penganiayaan sengaja juga dijatuhi hukuman qishash. Penganiayaan sengaja dapat berbentuk, pelukaan terhadap anggota badan, penghilangan fungsi anggota badan tersebut atau penghilangan pemisahan dari tempat asalnya. Adapun sumber hukum ke dua macam jarimah qishash, baik untuk pembunuhan sengaja maupun untuk penganiayaan sengaja adalah sebagai berikut: Mengenai pembunuhan sengaja, terdapat dalam surat Al-Baqoroh ayat 178, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan 29 kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.” (Qs. Al-Baqarah: 178).32 Qishash ialah mengambil pembalasan yang sama. qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, Maka terhadapnya di dunia diambil qishash dan di akhirat dia mendapat siksa yang pedih. “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar, dan barang siapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya kami Telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.”33 Alasan yang benar disini oleh Syara’ adalah seperti qishash membunuh orang murtad, rajam dan sebagainya. Sedangkan arti kata kekuasaan di sini ialah hal ahli waris yang terbunuh atau Penguasa untuk menuntut qishash atau 32 Departement Agama, Terjamahan Al-Quranul Karim,1990,(Kudus:Menara Kudus), Hal.335 33 Ibid,. Hal 270 30 menerima diat. Qishsash ialah mengambil pembalasan yang sama. qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, Maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat dia mendapat siksa yang pedih. Diat ialah pembayaran sejumlah harta Karena sesuatu tindak pidana terhadap sesuatu jiwa atau anggota badan. 2. Persyaratan Qishash Qishash selain untuk jiwa dapat dilaksanakan sesuai dengan syarat sebagai berikut: a. Pelaku berakal b. Sudah mencapai umur baligh c. Motivasi kejahatan disengaja. d. Hendaknya darah orang yang dilukai sederajat dengan darah orang yang melukainya.34 34 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 10, 1987, (Bandung: PT Al-ma‟arif Bandung), hal.75