STRATEGI MEMPERTAHANKAN MULTIFUNGSI PERTANIAN DI INDONESIA Abdurachman Adimihardja Balai Penelitian Tanah, Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123 ABSTRAK Pengetahuan dan apresiasi masyarakat Indonesia terhadap multifungsi pertanian masih rendah. Fungsi pertanian yang paling dikenal masyarakat adalah sebagai penghasil produk pertanian, seperti padi, palawija, dan hortikultura, yang nilai ekonomisnya lebih rendah dari nilai kegunaan di luar pertanian, seperti untuk industri, pertambangan, perdagangan, dan permukiman. Hal tersebut, ditambah dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat pedesaan yang memerlukan pendapatan segera dan pemikiran tentang fungsi pertanian hanya dalam jangka pendek, menyebabkan konversi lahan diterima sebagai hal yang wajar, dan bukan sebagai masalah hilangnya multifungsi pertanian. Faktor lain yang mendorong percepatan proses konversi lahan pertanian adalah pembangunan sektor lain yang membutuhkan lahan siap pakai terutama ditinjau dari karakteristik biofisik dan asesibilitas, yang umumnya terpenuhi oleh lahan pertanian beririgasi. Selain itu, kuantitas dan kualitas multifungsi pertanian menjadi berkurang dengan terjadinya degradasi lahan pertanian yang diakibatkan oleh banjir, longsor, erosi tanah, dan sebagainya. Faktor-faktor pendorong hilangnya atau berkurangnya multifungsi pertanian tidak mungkin diubah hanya oleh masyarakat pengguna lahan pertanian, tetapi memerlukan fasilitas dan kebijakan pemerintah dengan strategi yang tepat dan tegas, namun harus sesuai dengan hukum yang berlaku. Strategi utama untuk mempertahankan multifungsi pertanian di Indonesia adalah: 1) meningkatkan citra pertanian dan masyarakat tani, 2) mengubah kebijakan produk pertanian harga murah, 3) meningkatkan apresiasi terhadap multifungsi pertanian, 4) meningkatkan upaya konservasi lahan pertanian, dan 5) operasionalisasi penetapan lahan pertanian abadi sesuai Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Kata kunci: Multifungsi pertanian, degradasi lahan, konversi lahan, strategi ABSTRACT Strategy for maintaining the multifunctionality of agriculture in Indonesia The knowledge and appreciation of Indonesian society towards the multifunctionality of agriculture is generally insufficient. They mostly appreciate the function of the land to produce agricultural goods, such as rice, secondary crops, and horticultural crops, of which the economic value is inferior compared to other uses such as industry, mining, trade, and housing. In addition, the rural societies’ socio-economic conditions in pressing need for quick income generation while their understanding of tangible and short term income source, create a notion that land use conversion is a natural process, and not perceived as the loss of multifunctionality. Another factor that accelerates the land conversion process is the need for some ready to use land, especially from biophysical and accessibility point of view, to develop other sectors. The need very often can be fulfilled by existing irrigated agriculture land. Furthermore, the quantity and quality of the multifunctionality of agriculture can be deteriorated by the process of land degradation, such as flood, land slide, and soil erosion. The driving factors of the agriculture multifunction degradation cannot be changed by the land user solely, but it needs a political will with appropriate and clear strategies, yet it should be in line with the law. The main strategies to maintain the multifunctionality of agriculture in Indonesia are: 1) improving the awareness on the agriculture and rural society, 2) changing the policy of low price of agricultural product, 3) increasing the appreciation on the multifunctionality of agriculture, 4) increasing the soil conservation efforts, and 5) delineating the prime agriculture land, in accordance with the Revitalization of Agriculture, Fishery, and Forestry. Keywords: Mutifunctionality of agriculture, land degradation, land conversion, strategy B agi negara agraris seperti Indonesia, peran sektor pertanian sangat penting dalam mendukung perekonomian nasional, terutama sebagai penyedia bahan pangan, sandang dan papan bagi Jurnal Litbang Pertanian, 25(3), 2006 segenap penduduk, serta penghasil komoditas ekspor nonmigas untuk menarik devisa. Lebih dari itu, mata pencaharian sebagian besar rakyat Indonesia bergantung pada sektor pertanian. Namun ironis sekali, penghargaan masyarakat umum terhadap pertanian relatif rendah dibandingkan sektor lain, seperti industri, pertambangan, dan perdagangan. Hal ini menyebabkan penghargaan terhadap 99 lahan pertanian pun terlalu rendah, tidak proporsional dengan tingkat manfaatnya. Lahan pertanian yang merupakan faktor utama sistem produksi pertanian belum terawat dan terjamin kelestariannya dengan baik. Apabila produksi pertanian diharapkan mampu mengimbangi kebutuhan penduduk yang terus meningkat maka seharusnya luas dan produktivitas lahan pertanian juga terus ditingkatkan. Namun, kenyataan menunjukkan hal lain. Lahan sawah yang diandalkan sebagai penghasil bahan pangan utama cenderung menurun luas bakunya akibat konversi ke nonpertanian. Pertanian lahan kering, walaupun konversinya tidak secepat lahan sawah, dalam beberapa dasawarsa terakhir terus mengalami degradasi oleh proses erosi, longsor, pencemaran, kebakaran, dan sebagainya. Proses konversi lahan saat ini berlangsung cepat, seolah-olah tidak terkendali, terutama terhadap lahan sawah irigasi di Pulau Jawa dan sekitar kota-kota besar di luar Jawa. Pada tahun 1981−1999, di Indonesia terjadi konversi lahan sawah seluas 1,60 juta ha, dan sekitar 1 juta ha di antaranya terjadi di Jawa (Irawan et. al. 2001). Di samping itu, pertanian lahan kering mengalami degradasi yang menurunkan fungsi-fungsi pertanian di berbagai wilayah. Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan (1993) mencatat bahwa lahan pertanian yang terdegradasi di Indonesia sudah menyebar luas, yaitu sekitar 18,30 juta ha atau 28,50% dari total lahan pertanian Indonesia yang luasnya sekitar 64,30 juta ha. Lahan terdegradasi tersebut tersebar di seluruh provinsi dengan luasan bervariasi dari 1.500 ha (Maluku) sampai 3,60 juta ha (Irian Jaya). Tingkat konversi dan degradasi lahan pertanian di Indonesia mungkin tidak akan setinggi seperti digambarkan di atas apabila disadari bahwa sistem pertanian memiliki keunggulan berupa multifungsi yang sangat bermanfaat bagi masyarakat luas. Multifungsi pertanian ini sangat penting, sehingga para peserta seminar Multifungsi Pertanian dan Konservasi Sumberdaya Lahan (Agus et al. 2004) sepakat bahwa bagi Indonesia sebagai negara agraris, memperhitungkan multifungsi pertanian di dalam pengambilan kebijakan pembangunan bukan merupakan suatu pilihan, melainkan suatu keharusan. Dalam makalah ini dibahas secara singkat beberapa strategi yang 100 diperlukan untuk mempertahankan multifungsi pertanian di Indonesia. MULTIFUNGSI PERTANIAN DI INDONESIA Pengetahuan masyarakat Indonesia tentang multifungsi pertanian masih rendah, terbukti dengan hasil penelitian Irawan et al. (2004) di DAS Citarum (Jawa Barat) dan DAS Kaligarang (Jawa Tengah). Masyarakat setempat baru mengenal 2−4 jenis fungsi pertanian, yaitu: 1) penghasil produk pertanian, 2) pemelihara pasokan air tanah, 3) pengendali banjir, dan 4) penyedia lapangan kerja. Padahal fungsi lahan pertanian bagi kemanusiaan jauh lebih banyak, seperti dikemukakan oleh Agus dan Husen (2005), yaitu: penghasil produk pertanian, berperan dalam mitigasi banjir, pengendali erosi tanah, pemelihara pasokan air tanah, penambat gas karbon atau gas rumah kaca, penyegar udara, pendaur ulang sampah organik, dan pemelihara keanekaragaman hayati. Lebih jauh di Korea Selatan, Eom dan Kang (2001) dalam Agus dan Husen (2005) mengidentifikasi 30 jenis fungsi pertanian yang bermanfaat bagi masyarakat umum dan perlu terus dilestarikan. Pandangan masyarakat umum yang kurang benar terhadap pertanian seperti tersebut di atas merupakan salah satu sebab rendahnya penghargaan terhadap pertanian. Lebih jauh lagi, hal tersebut menyebabkan pandangan terhadap konversi lahan pertanian pun kurang proporsional. Mereka menganggap konversi lahan sebagai hal yang biasa, bukan sebagai proses hilangnya multifungsi pertanian. Hal lain yang mendorong konversi lahan pertanian adalah kondisi sosial-ekonomi masyarakat pedesaan yang memerlukan pendapatan segera untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari, serta pemikiran tentang fungsi lahan pertanian hanya dalam jangka pendek dan ruang lingkup yang sempit. Selain itu, terdapat faktor eksternal yang mendorong percepatan proses konversi tersebut yaitu gencarnya pembangunan sektor nonpertanian dalam memperoleh lahan yang siap pakai, terutama ditinjau dari karakteristik biofisik dan asesibilitas. Kebutuhan tersebut pada umumnya dapat terpenuhi oleh lahan pertanian beririgasi. Isu multifungsi pertanian sudah mulai banyak diperhatikan dan dibica- rakan di Indonesia, namun masih terbatas sebagai wacana di kalangan terbatas, seperti para ilmuwan, peneliti, perguruan tinggi, dan pengamat pertanian. Tampaknya para pengambil kebijakan di tingkat pusat maupun daerah belum banyak mempertimbangkan manfaat multifungsi tersebut dalam menetapkan kebijakan pembangunan pertanian. Demikian juga masyarakat umum masih kurang peduli terhadap kenyataan adanya multifungsi pertanian, yang seyogianya dijadikan bahan pertimbangan dalam menilai lahan pertanian. Ke depan, masih perlu advokasi lebih lanjut tentang pentingnya multifungsi tersebut dalam kehidupan, yang tidak bijaksana apabila mengabaikannya. Dari sudut penelitian, perlu diteliti berbagai jenis fungsi yang dimiliki berbagai tipe pertanian seperti sawah irigasi dan tadah hujan, pertanian tanaman pangan lahan kering, pertanian rawa, dan perkebunan. DEGRADASI MULTIFUNGSI PERTANIAN Multifungsi pertanian di Indonesia saat ini sedang mengalami degradasi, sejalan dengan menurunnya kualitas dan kuantitas lahan pertanian. Proses degradasi multifungsi lahan yang paling signifikan adalah konversi lahan pertanian, karena proses ini menghilangkan semua fungsi pertanian bersamaan dengan beralihnya fungsi lahan pertanian itu sendiri. Proses degradasi lain yang banyak terjadi adalah erosi dan longsor, pencemaran, dan kebakaran hutan atau lahan. Konversi Lahan Pertanian Proses konversi lahan saat ini berlangsung tidak terkendali, terutama terhadap lahan sawah irigasi di Jawa dan sekitar kota-kota besar di luar Jawa. Konversi lahan akan terus berlangsung sebagai dampak berbagai pembangunan yang memerlukan lahan seperti sektor industri, transportasi, pendidikan, dan permukiman. Winoto (2005) menyatakan bahwa ancaman konversi lahan sawah ke depan sangat besar, yang mengancam sekitar 42,40% luas sawah beririgasi di Indonesia, seperti tergambarkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jurnal Litbang Pertanian, 25(3), 2006 Pemerintah Kabupaten. Salah satu penyebabnya adalah adanya kepentingan Pemerintah Daerah untuk mengumpulkan dana melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang diupayakan antara lain dengan cara meningkatkan nilai ekonomi lahan pertanian. Perhitungan Pemda mungkin benar apabila nilai lahan pertanian hanya diukur dengan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang diperoleh, sehingga konversi ke penggunaan untuk industri atau permukiman misalnya dianggap akan lebih menguntungkan. Namun, akan lain kesimpulannya bila nilai multifungsi pertanian dipertimbangkan juga dan dihitung nilai ekonomisnya. Erosi Tanah dan Pencemaran Kimiawi Erosi tanah oleh air telah terjadi sejak lama dan masih terus berlanjut sampai saat ini. Beberapa data yang mendukung pernyataan ini dapat dikemukakan, antara lain: 1) sedimentasi di DAS Cilutung (Jawa Barat) meningkat dari 0,90 mm/ tahun pada 1911/12 menjadi 1,90 mm/ tahun pada 1934/35, dan naik lagi menjadi 5 mm/tahun pada 1970-an (Soemarwoto 1974), 2) laju erosi di DAS Cimanuk (Jawa Barat) mencapai 5,20 mm/tahun, mencakup areal 332 ribu ha (Partosedono 1977), 3) pada tanah Ultisols di Citayam (Jawa Barat) yang berlereng 14% dan ditanami tanaman pangan semusim, laju erosinya mencapai 25 mm/tahun (Suwardjo 1981), 4) di Putat (Jawa Tengah) laju erosi mencapai 15 mm/tahun, dan di Punung (Jawa Timur) sekitar 14 mm/tahun; keduanya pada tanah Alfisols berlereng 9−10% yang ditanami tanaman pangan semusim (Abdurachman et al. 1985), dan 5) di Pekalongan, Lampung, laju erosi tanah mencapai 3 mm/tahun pada tanah Ultisols berlereng 3,50% yang ditanami tanaman pangan semusim; dan pada tanah Ultisols di Baturaja berlereng 14%, laju erosinya mencapai 4,60 mm/tahun (Abdurachman et al. 1985). Secara teknis, proses erosi tanah dapat dikendalikan karena sudah banyak teknologi pengendalian erosi yang cukup efektif, seperti teras bangku, gulud, strip rumput, mulsa, dan pertanaman lorong (Abdurachman et al. 2005). Namun, adopsi teknologi konservasi tersebut terkendala oleh berbagai permasalahan Jurnal Litbang Pertanian, 25(3), 2006 sosial-ekonomi, terutama lemahnya permodalan petani. Petani mendahulukan kegiatan yang langsung memberikan keuntungan seperti pemupukan dan pemberantasan hama atau penyakit, sedangkan penerapan teknologi pengendalian erosi merupakan prioritas terakhir, karena dianggap mahal dan tidak terasa keuntungannya dalam jangka pendek. Lahan pertanian di Indonesia juga mengalami penurunan kualitas akibat penggunaan bahan-bahan agrokimia, seperti insektisida, pestisida, dan herbisida. Penggunaan bahan kimia tersebut meninggalkan residu dalam tanah serta dalam bagian tanaman seperti buah, daun, dan umbi. Data lapangan menunjukkan adanya residu insektisida pada beras dan tanah sawah di Jawa, berupa organofosfat, organoklorin, dan karbamat (Ardiwinata et al. 1999; Harsanti et al. 1999; Jatmiko et al. 1999). Kebakaran dan Longsor Kebakaran hutan atau lahan terjadi setiap tahun di Indonesia, terutama di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua. Menurut Bappenas (1998), di Indonesia sekitar 1,50 juta ha lahan gambut terbakar selama musim kemarau 1997. Parish (2002) melaporkan terjadinya kebakaran lahan gambut seluas 0,50 juta ha di Kalimantan pada musim kemarau 1982 dan 1983. Kebakaran ini menurut Jaya et al. (2000) secara langsung mengakibatkan hilangnya serasah dan lapisan atas gambut. Kebakaran hutan juga menimbulkan kerugian seperti gangguan terhadap keanekaragaman hayati, lingkungan hidup, kesehatan, serta kelancaran transportasi (Musa dan Parlan 2002). Di sisi lain, lahan pertanian juga sering terdegradasi oleh banjir dan longsor. Pada tahun 1998−2004 di Indonesia terjadi banjir 402 kali dan longsor 294 kali, yang mengakibatkan kerugian materiil Rp 668 miliar (Kartodihardjo 2006). Banjir dan longsor membawa tanah dari puncak atau lereng bukit ke tempat di bawahnya, dan menimbulkan kerusakan lahan pertanian baik di lokasi longsor maupun pada lahan pertanian yang tertimbun longsoran tanah, serta alur di antara kedua tempat tersebut. Lahan pertanian yang terkena banjir dan longsor tersebut jelas terdegradasi multifungsinya. PERMASALAHAN MEMPERTAHANKAN MULTIFUNGSI PERTANIAN Walaupun disadari pentingnya upaya mempertahankan multifungsi lahan, dan berbagai teknologi dan cara mengatasinya sudah tersedia, implementasinya tidaklah mudah. Upaya tersebut dihadapkan kepada beberapa permasalahan yang harus diatasi dengan baik, bila multifungsi pertanian akan dipertahankan. Rendahnya Apresiasi terhadap Pertanian Disadari bahwa sektor pertanian sangat penting karena menyediakan berbagai produk yang dibutuhkan seluruh penduduk, dan menghasilkan komoditas ekspor. Namun, masyarakat memandang sektor industri, perdagangan, pertambangan, dan lain-lain memberikan lebih banyak keuntungan bagi mereka yang bekerja di dalamnya, dan lebih terjamin dibanding para petani. Usaha pertanian dianggap mengandung banyak risiko kegagalan, dan harga jual produknya relatif rendah. Pandangan masyarakat umum tersebut menjadikan bidang pertanian sebagai pilihan terakhir dalam melakukan investasi dan pencarian pekerjaan. Demikian juga dalam penggunaan lahan pertanian, masyarakat cenderung untuk tidak mempertahankannya apabila ada rencana konversi lahan ke penggunaan nonpertanian. Tingginya Nilai Faktor-faktor Penyebab Erosi dan Longsor Kondisi sumber daya alam Indonesia cenderung mempercepat laju erosi dan longsor, terutama tiga faktor berikut: 1) curah hujan yang tinggi, 2) lereng yang curam, dan 3) tanah yang peka erosi. Salah satu faktor atau gabungan faktor-faktor tersebut akan menyebabkan tingginya laju erosi. Dari ketiga faktor alami tersebut, faktor lereng merupakan penyebab erosi alami yang paling dominan di samping curah hujan yang tinggi. Sebagian besar (77%) lahan di Indonesia berlereng >3% dengan topografi bervariasi dari datar agak berombak, bergelombang, berbukit sampai bergunung. Lahan datar (lereng 101 <3%) hanya sekitar 42,60 juta ha, kurang dari seperempat wilayah Indonesia (Subagyo et al. 2000). Praktek Pertanian Tanpa Penerapan Konservasi Laju erosi akan meningkat apabila faktor manusia juga turut berperan, yaitu jika petani melaksanakan pertanian tanpa penerapan teknik-teknik konservasi tanah. Hal ini banyak terjadi pada pertanian lahan kering di lereng-lereng bukit atau gunung. Pada umumnya para petani pengguna lahan tersebut tergolong petani gurem dengan luas garapan kurang dari 1 ha dan modal kerja kecil. Dengan kondisi ekonomi seperti itu, dapat dimengerti mengapa mereka tidak menerapkan teknik-teknik pengendalian erosi. Praktek pertanian tanpa penerapan teknik konservasi dapat dilihat pada sistem perladangan berpindah (slash and burn) yang masih banyak dijumpai di luar Jawa. Bahkan pada sistem pertanian menetap pun, baik yang ada di Jawa maupun pulau-pulau lain, penerapan teknik-teknik konservasi tanah belum merupakan kebiasaan petani, dan belum dianggap bagian penting dari budi daya pertanian. Masalah Politik dan SosialEkonomi Rendahnya penerapan teknik-teknik konservasi bukan disebabkan oleh kurangnya teknologi konservasi yang dibutuhkan, namun lebih disebabkan oleh hambatan yang lebih besar, yaitu masalah politik, sosial, dan ekonomi. Hambatan-hambatan tersebut menyebabkan penerapan teknikteknik konservasi tanah belum berhasil baik, dan proses degradasi masih terus berlangsung. Politik atau kebijakan pemerintah dalam menangani konservasi tanah dan air sangat menentukan keberhasilan upaya pengendalian degradasi lingkup nasional. Hal ini disadari oleh banyak pihak, namun realisasi yang berupa program dan pendanaan sering tidak dijadikan prioritas utama. Pemerintah lebih mengarahkan program dan pendanaannya kepada kegiatan-kegiatan yang dapat memberikan hasil segera dan mudah dilihat masyarakat umum, seperti pembuatan jalan, jembatan, irigasi, dan subsidi pupuk. Di sisi lain, program konservasi tanah tidak cepat dan tidak 102 mudah terlihat hasilnya, padahal kebutuhan biaya implementasinya cukup besar. Masalah sosial sering menghambat upaya konservasi lahan pertanian, seperti kepemilikan dan hak atas lahan, fragmentasi lahan pertanian, sempitnya lahan garapan petani, dan tekanan penduduk. Selain itu, ada permasalahan yang melekat pada petani sendiri, misalnya keengganan berpindah dari lahan yang tidak sesuai untuk pertanian seperti DAS bagian hulu, atau mengganti komoditas pertanian dari tanaman semusim menjadi tanaman tahunan. Hambatan ekonomis terkait dengan kondisi petani, yang pada umumnya tergolong petani kecil atau petani gurem yang tidak memiliki modal kerja cukup, sehingga komponen konservasi lahan terabaikan. Mereka sangat membutuhkan hasil langsung yang dapat diperoleh segera untuk memenuhi kebutuhan seharihari keluarganya. Di sisi lain, penerapan tindakan konservasi memerlukan biaya tinggi, sedangkan hasilnya baru dapat terlihat dalam jangka panjang. Dalam masalah konversi atau alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian, banyak petani menjual lahan pertaniannya karena membutuhkan dana untuk keperluan hidup keluarga, walaupun terpaksa kehilangan atau berkurang mata pencahariannya. Dalam hal kebakaran hutan, masalah ekonomi yang menonjol adalah memilih cara penyiapan lahan untuk perkebunan yang biayanya murah. Namun, alasan tidak disiplin dan mau mudahnya saja lebih dominan dibanding alasan ekonomi. STRATEGI MEMPERTAHANKAN MULTIFUNGSI PERTANIAN Mempertahankan pertanian dengan multifungsinya merupakan hal yang sangat penting dalam pembangunan pertanian. Namun, hal ini tidak mudah, dan memerlukan kemauan politik pemerintah serta kesungguhan kerja masyarakat untuk bersama-sama mengupayakannya dengan menggunakan strategi yang tepat. Meningkatkan Citra Pertanian dan Masyarakat Tani Anggapan bahwa pertanian sebagai suatu usaha yang kurang menguntungkan, penuh risiko, dan kurang dihargai masyarakat perlu diubah menjadi agribisnis, yang merupakan bagian dari usaha yang cukup menjanjikan dan menantang, terutama bagi para investor. Demikian juga citra pengguna lahan sebagai petani gurem yang hidup subsisten dengan pengetahuan yang agak terbelakang, perlu diubah menjadi pelopor pembangunan menuju pertanian yang maju dan tangguh. Diharapkan para petani akan merasa lebih nyaman dan aman mengusahakan pertaniannya, tidak perlu beralih ke usaha lain. Mengubah Kebijakan Produk Pertanian Harga Murah Harga bahan pangan, yang merupakan produk utama pertanian rakyat, memang harus terjangkau oleh seluruh penduduk Indonesia. Hal ini perlu agar tidak ada yang kesulitan memperoleh makanan, dan tidak mengganggu kestabilan pemerintahan. Namun demikian, apabila harga hasil panen terlalu rendah terutama pada waktu panen besar, pihak yang dirugikan adalah para petani. Di luar masa panen, ketika petani sudah kehabisan simpanan hasil panennya, biasanya harga bahan pangan mahal sehingga petani mendapat kesulitan ekonomi. Upaya pemerintah sudah ada, antara lain dengan menetapkan harga dasar gabah atau harga pembelian gabah petani, namun belum berhasil baik. Diperlukan upaya yang lebih efektif, walaupun mungkin memerlukan biaya yang lebih besar. Apabila berhasil meningkatkan harga produk pertanian sesuai pengorbanan petani maka harkat sosial petani dan pertanian akan terangkat. Meningkatkan Apresiasi terhadap Multifungsi Pertanian Peningkatan kesadaran masyarakat akan adanya berbagai manfaat pertanian yang lestari sangat perlu dilakukan, mengingat saat ini manfaat yang dikenal hanyalah sebatas lahan pertanian sebagai penghasil bahan pangan dan produk pertanian lainnya. Hal ini dapat dilakukan dengan melaksanakan advokasi dan promosi akan pentingnya pertanian beserta multifungsinya. Dalam jangka pendek, promosi ini dapat dilakukan melalui seminar dan simposium, atau yang jangkauannya lebih Jurnal Litbang Pertanian, 25(3), 2006 luas yaitu melalui media cetak dan elektronis. Dalam jangka panjang, sasaran promosi bukan hanya masyarakat umum, tetapi harus mencakup juga para pelajar dan mahasiswa, baik melalui kurikulum pokok maupun ekstrakurikuler. Mengendalikan Degradasi Lahan Pertanian Pengendalian erosi dan longsor. Teknologi pengendalian erosi dan longsor sudah banyak tersedia, baik berupa metode vegetatif maupun mekanis. Masalah yang perlu diatasi dalam upaya pengendalian degradasi lahan pertanian adalah rendahnya adopsi teknologi tersebut oleh para petani pengguna lahan. Perlu perbaikan dalam proses transfer teknologi dari sumber teknologi kepada penyuluh dan kepada pengguna teknologi. Selain itu, perlu peningkatan kemauan dan kemampuan petani untuk menerapkan teknologi konservasi yang dibutuhkan. Pengendalian pencemaran kimiawi. Dalam rangka mengatasi pencemaran tanah oleh agrokimia, pemerintah telah memberlakukan berbagai peraturan, antara lain: 1) Permentan No. 7/1973 tentang peredaran, penyimpanan, dan penggunaan pestisida, 2) Kepmentan No. 280/1973, tentang pendaftaran, aplikasi dan lisensi pestisida, 3) Kepmentan No 429/1973, tentang pembatasan pestisida, 4) Kepmentan No. 536/1985 tentang pengawasan pestisida, dan 5) UU No. 12/1992 tentang budi daya tanaman. Namun demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa penggunaan bahan-bahan agrokimia terus meningkat dari tahun ke tahun (Badan Pengendali Bimas 1990; Soeyitno dan Ardiwinata 1999). Peraturan-peraturan yang berlaku tidak mampu mengendalikan impor dan penggunaan bahanbahan agrokimia, antara lain karena penegakan hukumnya belum dilaksanakan dengan baik, dan perdagangan bahanbahan agrokimia menyangkut nilai ekonomi yang besar. Lahan pertanian juga perlu dilindungi terhadap pencemaran oleh limbah industri, seperti industri tekstil, kertas, baterai, dan cat, dengan cara pengaturan pembuangan limbah. Teknologi pengelolaan limbah sudah tersedia, antara lain berupa pembuatan instalasi pengolahan limbah untuk berbagai jenis limbah industri. Lebih jauh dari itu, sudah ditetapkan juga baku mutu limbah untuk berbagai unsur Jurnal Litbang Pertanian, 25(3), 2006 pencemar (Ramadhi 2002), dan beberapa peraturan daerah tentang pengendalian pencemaran tanah dan air. Namun demikian, upaya-upaya tersebut belum mampu mengendalikan proses pencemaran tanah pertanian. Pengendalian kebakaran dan kerusakan wilayah pertambangan. Pengendalian ini lebih mengarah kepada aspek sosial, budaya, hukum, dan kebijakan pemerintah dibanding dengan aspek teknis. Kebakaran hutan dan lahan misalnya, perlu dicegah dengan aturan pelarangan yang ketat dengan sanksi yang berat. Pembukaan hutan perlu diarahkan agar menggunakan cara mekanis atau manual sebagai pengganti cara pembakaran, yang meskipun murah dan mudah, namun mengakibatkan degradasi lahan dan lingkungan. Kerusakan wilayah pertambangan timah atau batu bara juga perlu dicegah dengan peraturan, agar cara-cara penambangannya lebih memperhatikan pemanfaatan lahan setelah penambangan selesai. Pengendalian daerah tangkapan hujan dan konversi lahan. Upaya perlindungan lahan pertanian yang mendesak untuk segera ditangani adalah: 1) pengendalian degradasi daerah tangkapan hujan (water catchment area), dan 2) pengendalian konversi lahan pertanian. Kedua macam degradasi lahan tersebut masih terus berlangsung dan menimbulkan hambatan besar bagi pembangunan sektor pertanian, berupa penurunan produksi pertanian nasional, di samping kerugian besar bagi keluarga tani dan masyarakat serta pemerintah daerah. Merealisasikan lahan pertanian abadi sesuai RPPK. Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) yang dicanangkan oleh Presiden RI pada bulan Juni 2005, merupakan strategi umum untuk meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan dan petani hutan, serta menjaga kelestarian sumber daya alam (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian 2005). Salah satu hal penting yang dinyatakan dalam RPPK adalah perlunya penetapan, penegasan, dan penegakan hukum bagi tersedianya lahan pertanian abadi seluas 30 juta ha, yang terdiri atas 15 juta ha lahan beririgasi dan 15 juta ha lahan kering. Penetapan ini merupakan salah satu strategi operasional, dengan tujuan utama untuk mengendalikan konversi lahan pertanian. Penetapan lahan sawah irigasi abadi seluas 15 juta ha harus dilaksanakan secara bertahap, karena sekarang ini luas sawah baku di Indonesia hanya sekitar 7,78 juta ha (BPS 2003), dengan kualitas bervariasi dari sawah irigasi teknis sampai sawah tadah hujan. Abdurachman et al. (2005) mengemukakan kriteria biofisik penetapan lahan sawah abadi atau sawah utama dengan menggunakan tiga parameter, yaitu: status irigasi, intensitas pertanaman (IP), dan tingkat produktivitas. Berdasarkan kriteria tersebut, maka luas sawah yang layak dijadikan lahan sawah abadi hanya sekitar 3,30 juta ha di Jawa, Bali, dan Lombok (Abdurachman et al. 2004). Lahan-lahan sawah di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan pulau-pulau lainnya belum selesai dievaluasi seluruhnya. Namun demikian, jelas masih jauh untuk mendapatkan luasan 15 juta ha sawah abadi, karena pencetakan sawah baru memerlukan biaya tinggi dan waktu lama. Pertanian lahan kering yang ada (existing) di Indonesia cukup luas, yaitu sekitar 39,60 juta ha (BPS 2004), terdiri atas tegalan 15,60 juta ha, pekarangan 5,70 juta ha, dan perkebunan 18,30 juta ha. Di samping itu, terdapat lahan kayu-kayuan 10,40 juta ha dan lahan terlantar 10,20 juta ha. Dengan demikian, menemukan pertanian lahan kering abadi seluas 15 juta ha cukup mudah dengan memilih dan memanfaatkan lahan yang ada. Sekarang ini sedang disusun kriteria lahan abadi yang dimaksud, dan sedang dipelajari pula permasalahan lain yang terkait, seperti tinjauan aspek hukum, sosial dan ekonomi, di samping permasalahan biofisik lahan. KESIMPULAN DAN SARAN Adanya keunggulan pertanian berupa multifungsi yang bermanfaat besar bagi masyarakat sudah mulai diperhatikan dan diapresiasi, namun masih terbatas oleh kalangan tertentu seperti peneliti, ilmuwan, dan pengamat pertanian. Masyarakat luas, termasuk para petani, baru mengenal 2−4 fungsi pertanian sehingga penghargaan terhadap pertanian kurang sesuai dengan nilai pertanian yang sebenarnya. Oleh karena itu, masyarakat memandang konversi lahan pertanian sebagai suatu hal biasa, dan bukan sebagai proses hilangnya multifungsi pertanian. Lahan pertanian di Indonesia secara umum terus mengalami degradasi, yang berarti proses penurunan multifungsi 103 pertanian pun terus terjadi. Upaya pemerintah dalam pengendalian degradasi lahan pertanian masih perlu ditingkatkan, sementara petani tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk mengatasi faktor-faktor penyebabnya secara efektif dan cepat. Strategi utama untuk mempertahankan multifungsi pertanian di Indonesia adalah: 1) meningkatkan citra pertanian dan masyarakat tani, 2) mengubah kebijakan produk pertanian harga murah, 3) meningkatkan apresiasi terhadap multifungsi pertanian, 4) meningkatkan upaya konservasi lahan pertanian, dan 5) operasionalisasi penetapan lahan pertanian abadi sesuai RPPK. Penerapan strategi tersebut memerlukan kemauan politik dan fasilitasi pemerintah, dan perlu didukung oleh para petugas pertanian di lapangan. Mereka harus bekerja sama dengan masyarakat tani dalam memahami dan melaksanakan segala upaya untuk mempertahankan multifungsi pertanian. Badan Pengendali Bimas. 1990. Pesticide Use in Planning and Realization for Food Crops. Ministry of Agriculture. Laporan Badan Pengendali Bimas, Jakarta. 13 pp. Kartodihardjo, H. 2006. Masalah dan Kebijakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Makalah disampaikan pada Diskusi Terbuka Rehabilitasi Hutan dan Lahan: Kebijakan, operasionalisasi dan gagasan baru. Institut Pertanian Bogor, Bogor. DAFTAR PUSTAKA Abdurachman, A., A. Barus, U. Kurnia, dan Sudirman. 1985. Peranan pola tanam dalam usaha pencegahan erosi pada lahan pertanian tanaman semusim. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk No. 4: 41−46. Abdurachman, A., Wahyunto, dan R. Shofiyati. 2004. Gagasan pengendalian konversi lahan sawah dalam rangka peningkatan ketahanan pangan nasional. Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Pertanian dan Konversi Sumber Daya Lahan. Bogor, 18 Desember 2003 dan 7 Januari 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. hlm. 24−47. Abdurachman, A., S. Sutono, dan N. Sutrisno. 2005. Teknologi pengendalian erosi lahan berlereng. hlm. 101−140. Dalam Abdurachman, T. Mappaena, dan Saleh. (Ed.). Teknologi Pengelolaan Lahan Kering: Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Abdurachman, A., Wahyunto, dan R. Shofiyati. 2005. Kriteria biofisik dalam penetapan lahan sawah abadi di Pulau Jawa. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 24 (4): 131−136. Agus, F. dan E. Husen. 2005. Tinjauan umum multifungsi pertanian. Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Pertanian dan Ketahanan Pangan. Bogor, 12 Oktober dan 24 Desember 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. hlm. 1−16. Agus, F., H. Pawitan, dan E. Husen. 2004. Ringkasan Eksekutif. Prosiding Seminar Multifungsi Pertanian dan Konservasi Sumber Daya Lahan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Ardiwinata, A.N., S.Y. Jatmiko, dan E.S. Harsanti. 1999. Monitoring residu insektisida di Jawa Barat. Dalam Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi GRK dan Peningkatan Produktivitas Padi di Lahan Sawah Menuju Sistem Produksi Padi Berwawasan Lingkungan, 24 April 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Bappenas. 1998. Planning for fire prevention and drought management project: Internal Report. Bappenas, Jakarta. 104 BPS (Badan Pusat Statistik). 2003−2004. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan. 1993. Laporan inventarisasi/identifikasi lahan marginal/kritis pada kawasan lahan usaha tani seluruh Indonesia. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Departemen Pertanian, Jakarta. Harsanti, E.S., S.Y. Jatmiko, dan A.N. Ardiwinata. 1999. Residu insektisida pada ekosistem lahan sawah irigasi di Jawa Timur. Dalam Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi GRK dan Peningkatan Produktivitas Padi di Lahan Sawah Menuju Sistem Produksi Padi Berwawasan Lingkungan, 24 April 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Irawan, S. Eriyatno, A. Supriyatna, I.S. Anugrah, N.A. Kirom, B. Rachman, dan B. Wiryono. 2001. Perumusan Model Kelembagaan Konversi Lahan Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Irawan, B., E. Husen, Maswar, R.L. Watung, dan F. Agus. 2004. Persepsi dan apresiasi masyarakat terhadap multifungsi pertanian: Studi kasus di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Prosiding Seminar Multifungsi Pertanian dan Konservasi Sumber Daya Lahan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. hlm. 21−43. Jatmiko, S.Y., E.S. Harsanti, dan A.N. Ardiwinata. 1999. Pencemaran Pestisida pada AgroEkosistem Lahan Sawah Irigasi dan Tadah Hujan di Jawa Tengah. Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi GRK dan Peningkatan Produktivitas Padi di Lahan Sawah menuju Sistem Produksi Padi Berwawasan Lingkungan, 24 April 1999. Puslitbangtan, Bogor. Jaya, A., S.E. Page, J.O. Rieley, S. Limin, and H.D.V. Bohn. 2000. Impact of forest fire on carbon storage in tropical peat lands. In. L. Rochefort and J.Y. Daigle (Eds.). Sustaining Our Peatlands. Proc. of the 11th International Peat Congress, Quebec City, Canada. p. 106−113. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2005. Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) Indonesia. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta. hlm. 56. Musa, S. and I. Parlan. 2002. The 1997/1998 forest fire experience in Peninsular Malaysia. Workshop on Prevention and Control of Fire in Peatland, 19−21 March 2002. MARDI. Kuala Lumpur, Malaysia. p. 8. Parish, F. 2002. Peatlands. Biodiversity and Climate Changes in SE Asia, an overview. Paper presented at Workshop on Prevention and Control of Fire in Peatlands, 19−21 March 2002, MARDI. Kuala Lumpur, Malaysia. p. 11. Partosedono, R.S. 1977. Effects of Man’s Activity on Erosion in Rural Environments and Feasibility Study for Rehabilitation. In Publ. No. 113: 53−54. Paris. IAHS-AISH. Ramadhi, T. 2002. Identifikasi Pencemaran Lahan Sawah Akibat Limbah Industri Tekstil (Studi Kasus di Kecamatan Rancaekek, Bandung). Laporan Praktek Lapang. Program Studi Analisis Lingkungan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Soejitno, J. dan A.N. Ardiwinata. 1999. Residu pestisida pada agroekosistem tanaman pangan. Dalam Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi GRK dan Peningkatan Produktivitas Padi di Lahan Sawah Menuju Sistem Produksi Padi Berwawasan Lingkungan, 24 April 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Soemarwoto, O. 1974. The soil erosion problem in Java. Proc. First International Congress of Ecology. The Hague. p. 361−364. Subagyo, H., N. Suharta, dan A.B. Siswanto. 2000. Tanah-tanah pertanian di Indonesia. Dalam Abdurachman, Amien, Agus, dan Djaenudin (Ed.). Sumber Daya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Jurnal Litbang Pertanian, 25(3), 2006 Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. hlm. 21−66. Tanaman Semusim. Tesis Doktor, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suwardjo, H. 1981. Peranan Sisa-sisa Tanaman dalam Konservasi Tanah pada Usaha Tani Winoto, J. 2005. Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Tanah Pertanian dan Implemen- Jurnal Litbang Pertanian, 25(3), 2006 tasinya. Seminar Sehari Penanganan Konversi Lahan dan Pencapaian Lahan Pertanian Abadi. Departemen Pekerjaan Umum 13 Desember 2005. Bogor. hlm. 8. 105