perbedaan tingkat kekuatan otot pasien stroke yang diberikan rom

advertisement
PERBEDAAN TINGKAT KEKUATAN OTOT PASIEN STROKE
YANG DIBERIKAN ROM DENGAN TERAPI OUKUP DI RSUD AMBARAWA
Nur Roechana Yulfa
Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES Ngudi Waluyo Ungaran
ABSTRACT
Muscle weakness is the biggest impact in stroke patients so ROM (Range Of Motion) exercises
and oukup therapy are needed. ROM exercises is necessary to maintain muscle strength, maintain
joint mobility and stimulate circulation, while oukup therapy can give heat which has the effect of
vasodilatation of blood vessels resulting in increased blood flow. The purpose of this study is to
determine the differences in muscle strength levels of stroke patients given ROM with oukup therapy in
Ambarawa hospital.
The research design used pre-experiment (one group pretest posttest design non equivalent).
The samples were 15 respondents using accidental sampling technique. ROM exercises was the
independent variable while the dependent variable was muscle strength. The scale used Medical
Research Council Scale. This study used a statistical test of Wilcoxon.
There was a difference in the level of muscle strength of stroke patients given ROM with
oukup therapy in Ambarawa hospital, with p-value of 0.005 (: 0.05) the difference of the increase of
the muscle was 0.5333.
Based on these results it could be concluded that there was a difference in the level of muscle
strength of stroke patients given ROM with oukup therapy in Ambarawa hospital. It is recommended
to families and institution to be able to do ROM with oukup therapy as an intervention independently.
Keywords: Stroke, muscle strength, ROM, and therapy oukup.
PENDAHULUAN
Stroke atau cedera serebrovaskular
(CVA), adalah kehilangan fungsi otak yang
diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke
bagian otak. Stroke adalah masalah neurologik
primer di Amerika Serikat dan di dunia.
Meskipun
upaya
pencegahan
telah
menimbulkan penurunan pada insiden
beberapa tahun terakhir, stroke adalah
peringkat ketiga penyebab kematian, dengan
laju mortalitas 18% sampai 37% untuk stroke
pertama dan sebesar 62% untuk stroke
selanjutnya. Terdapat kira-kira 2 juta orang
bertahan hidup dari stroke yang mempunyai
beberapa kecacatan, dari angka ini 40%
memerlukan
bantuan
dalam
aktivitas
kehidupan sehari-hari (Smeltzer, 2006).
Delapan puluh lima persen stroke adalah
non-hemoragik yang terdiri dari 25% akibat
small vessel disease (stroke lakunar), 25%
akibat
emboli
dari
jantung
(stroke
tromboemboli) dan sisanya akibat large vessel
disease. Riset kesehatan dasar tahun 2007
mendapatkan prevalensi stroke nasional
sebesar 0.8%. Stroke juga menjadi penyebab
kematian paling tinggi yaitu mencapai 15.9%
pada kelompok umur 45 sampai 54 tahun dan
meningkat jadi 26.8% pada kelompok umur 55
sampai 64 tahun (Yuniadi, 2010).
Stroke dapat menyebabkan berkurangnya
kekuatan di semua kelompok otot dari semua
bagian tubuh. Tetapi otot-otot muka, tangan,
lengan, kaki, dan tungkai pada satu sisi tubuh
lebih
sering
terkena
(hemiparesis).
Kelumpuhan atau kelemahan sisi tubuh bagian
kanan biasanya disebabkan karena kegagalan
fungsi otak kiri, baik karena stroke sumbatan
atau stroke perdarahan. Sebaliknya, jika terjadi
kegagalan fungsi otak kanan, maka bagian sisi
tubuh kiri akan menderita kelumpuhan. Secara
teori, apabila otot-otot termasuk otot
ekstremitas bawah tidak dilatih terutama pada
klien yang mengalami gangguan fungsi
motorik kasar dalam jangka waktu tertentu
maka otot akan kehilangan fungsi motoriknya
secara permanen.
Perbedaan Tingkat Kekuatan Otot Pasien Stroke Yang Diberikan ROM Dengan Terapi Oukup Di RSUD Ambarawa
1
Pengaruh lain dari keterbatasan mobilisasi
adalah gangguan metabolisme kalsium dan
gangguan mobilisasi sendi. Immobilisasi dapat
mempengaruhi fungsi otot dan skeletal. Akibat
pemecahan protein pada otot, klien mengalami
kehilangan massa tubuh yang membentuk
sebagian otot. Oleh karena itu penurunan
massa otot tidak mampu mempertahankan
aktifitas tanpa peningkatan kelelahan. Massa
otot menurun akibat metabolisme dan otot
yang tidak digunakan. Jika imobilisasi
berlanjut dan otot tidak dilatih maka akan
terjadi penurunan massa yang berkelanjutan
(Potter & Perry, 2006).
Penatalaksanaan pada pasien stroke yang
dianggap sudah stabil dapat segera dilakukan
rehabilitasi
dalam
bentuk
fisioterapi.
Tujuannya adalah memulihkan kekuatan otot
dan kelenturan sendi sehingga pasien dapat
melakukan aktivitas sehari-hari. Rehabilitasi
dimaksudkan untuk mempelajari kemudian
memperoleh kembali ketrampilan sehari-hari
yang hilang akibat serangan stroke. Latihan
terdiri dari : a) Physical therapy, yang melatih
pasien pasca stroke untuk belajar berjalan,
duduk, berbaring, pergantian posisi gerak. b)
Occupational therapy, melatih mengendalikan
tangan juga belajar mengendalikan ototototnya untuk menelan makanan, membaca,
dan buang air besar/kecil. c) Speech therapy,
melatih ketrampilan berkomunikasi. d)
Psychological/psychiatric therapy, membantu
meredakan stres mental dan emosional
(Waluyo, 2009).
Rehabilitasi pada pasien stroke untuk
mengatasi kelumpuhannya adalah dengan
ROM. Menurut Potter & Perry (2006) ROM
merupakan jumlah maksimum gerakan yang
mungkin dilakukan sendi pada salah satu dari
tiga potongan tubuh: sagital, frontal dan
transversal. Potongan sagital adalah garis yang
melewati tubuh dari depan ke belakang
membagi tubuh menjadi kiri dan kanan.
Potongan frontal melewati tubuh dari sisi ke
sisi dan membagi tubuh menjadi bagian depan
dan belakang. Potongan transversal adalah
garis horizontal yang membagi tubuh menjadi
bagian atas dan bawah (Potter & Perry, 2006).
Berdasarkan hasil observasi pada
responden sebanyak 17 orang pada penelitian
yang dilakukan Mawarti (2010) di paviliun
flamboyan RSUD Jombang didapatkan
responden pasien stroke dengan hemiparase
menunjukkan
kekuatan
motorik
pada
ekstremitas atas 2 dan pada ekstremitas bawah
2
kekuatan motorik 3 sebelum diberikan latihan,
setelah dilakukan latihan ROM pasif 2x sehari
mengalami peningkatan Mean kekuatan
motorik pada Hari ke 3 sampai Hari ke 7.
Dimana pada ektrimitas atas mempunyai Mean
kekuatan motorik 4 yaitu : Bisa bergerak
melawan tahanan pemeriksa tetapi kurang
kekuatannya dan pada ekstrimitas bawah
mempunyai Mean kekuatan motorik 4 yaitu :
Bisa bergerak melawan tahanan pemeriksa
tetapi kurang kekuatannya. Jadi ternyata
kekuatan motorik setelah dilakukan latihan
ROM pasif 2x sehari pada pasien stroke
dengan hemiparase ada peningkatan kekuatan
otot dan mendekati normal.
Hidroterapi adalah penggunaan air untuk
menyembuhkan dan meringankan berbagai
keluhan. Untuk tujuan ini, air bisa digunakan
dalam banyak cara dan kemampuannya sudah
diakui sejak dahulu, terutama dikerajaan
Yunani, kekaisaran Romawi, dan kebudayaan
Turki. Juga oleh masyarakat Eropa dan Cina
kuno. Hidroterapi bisa digunakan dalam
berbagai cara, dengan manfaatnya masingmasing : berendam air panas, berendam air
dingin, berendam air biasa, sauna (mandi uap
atau terapi oukup), mandi cara Sitz (Sitz Bath),
pancuran air panas dan dingin, pembungkusan,
kantong air, dan floatasi (mengambang dalam
larutan air garam) (Sustrani, 2006).
Masyarakat etnis Karo sangat terkenal
dengan pengobatan tradisionalnya yang masih
tetap bertahan bahkan berkembang sangat
pesat. Dimana salah satu pengobatan
tradisional yang masih digunakan masyarakat
yakni oukup. Oukup dapat menyembuhkan
beberapa penyakit antara lain: menghilangkan
sakit pinggang, menetralkan kadar gula dalam
tubuh, meningkatkan daya tahan tubuh
terhadap ancaman penyakit, mengendurkan
saraf yang tegang, memperlancar peredaran
darah, mengeluarkan angin yang tidak
signifikan di dalam tubuh, mengantisipasi
ancaman hipertensi atau reumatik, menurunkan
kadar kolesterol secara perlahan-lahan,
menurunkan kadar lemak, menyehatkan paruparu dan jantung, membangkitkan nafsu
makan, meringankan kepala yang pusing dan
flu, menetralisir kesehatan ibu yang baru
melahirkan (Sembiring, 2009).
Bersauna juga terbukti sangat efektif
mengurangi respons stres dan menciptakan
keseimbangan dalam sistem saraf otonomik.
Aktivitas
itu
memperbaiki
sirkulasi
merangsang hipotalamus anterior dan sistem
Perbedaan Tingkat Kekuatan Otot Pasien Stroke Yang Diberikan ROM Dengan Terapi Oukup Di RSUD Ambarawa
saraf simpatis sehingga pembuluh darah
mengalami vasodilatasi. Pembuluh darah yang
mengalami penyumbatan akan mengantarkan
nutrisi ke seluruh bagian tubuh termasuk otot
sehingga
metabolisme
jaringan
akan
meningkat (Potter & Perry, 2006)
Penelitian ini mengkolaborasikan ROM
dengan terapi oukup untuk peningkatan
kekuatan otot pada pasien stroke. Dimana
terapi oukup bermanfaat untuk memperlancar
aliran darah sehingga otot ternutrisi dan akan
membantu mekanisme ROM itu sendiri.
Menurut
studi
pendahuluan
yang
dilakukan pada RSUD Ambarawa didapatkan
jumlah penderita stroke dalam jangka waktu
bulan Agustus sampai November ada 159
penderita stroke yang tidak diketahui
penyebabnya dan diantaranya 50 penderita
meninggal. Dari hasil wawancara 3 penderita
stroke yang ada di rawat inap, penderita hanya
diberikan terapi ROM 2 kaliseminggu setiap
pagi dan dianjurkan untuk latihan ROM secara
mandiri oleh keluarga atau penderita sendiri.
Dari hasil pengukuran otot pada 3 penderita
stroke rata-rata didapatkan kekuatan otot
penderita stroke berada di skala 2 dan 3.
Berdasarkan uraian di atas mengenai
stroke dan penanganan yang biasa dilakukan
oleh perawat adalah pemberian terapi ROM,
penulis tertarik untuk mengetahui apakah ada
perbedaan tingkat kekuatan otot terhadap
pasien stroke yang diberikan ROM dengan
terapi oukup.
METODOLOGI PENELITIAN
Desain Penelitian
Desain yang digunakan adalah penelitian
kuantitatif dengan pendekatan Pra Experiment
dengan rancangan one group pretest posttest
design, rancangan penelitian ini mengobservasi
sebanyak dua kali yaitu sebelum dan sesudah,
peneliti hanya menggunakan satu kelompok
untuk mengetahui perbedaan tingkat kekuatan
otot terhadap pasien stroke yang diberikan
ROM dengan terapi oukup.
Populasi dan sampel
Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah
pasien stroke menjalani rawat inap di RSUD
Ambarawa. Jumlah pasien pada bulan Agustus
sampai November tahun 2013 ada 159
penderita stroke.
Sampel
jumlah sampel yang direncanakan diteliti
adalah 15 responden.
Metode pengambilan sampel dalam
penelitian ini adalah pengambilan sampel
dengan
acidental
sampling
dimana
pengambilan responden dengan cara yang
kebetulan atau tersedia disuatu tempat sesuai
dengan cara yang kebetulan atau tersedia di
suatu tempat sesuai dengan konteks penelitian.
Pengambilan sampel dalam penelitian ini
dengan menggunakan kriteria inklusi dan
kriteria eksklusi. Kriteria inklusi dalam
penelitian ini antara lain: 1) Pasien serta wali
bersedia menjadi responden atau di teliti; 2)
Pasien stroke yang mengalami hemiparesis.
Adapun kriteria eksklusinya diantaranya:
1) Pasien stroke yang tidak sadar; 2) Pasien
stroke hemoragik; 3) Pasien stroke dengan
tekanan darah tinggi; 4) Pasien stroke fase
akut.
Tempat dan Waktu Penelitian
Peneliti mengambil tempat penelitian di
RSUD Ambarawa Kabupaten Semarang, Jawa
Tengah pada bulan 1 Maret sampai 1 April
2014.
Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini digunakan lembar
observasi sebagai media untuk mencatat
tingkat kekuatan otot sebelum dilakukan
perlakuan ROM dengan terapi oukup serta
mencatat tingkat kekuatan otot setelah
dilakukan ROM dengan terapi oukup.
Analisis Data
Data yang telah terkumpul diolah dengan
bantuan computer dengan menggunakan
program SPSS 1.6 For Windows.
Analisis Univariat
Variabel
yang
dianalisis
adalah
peningkatan kekuatan otot pada kelompok
perlakuan ROM dengan terapi oukup.
Analisis bivariat
Penelitian ini menggunakan uji wilcoxon
karena distribusi data tidak normal dan untuk
mengetahui
adanya
perbedaan
tingkat
kekuatan otot antara sebelum dan sesudah
diberikan perlakuan ROM dengan terapi
oukup.
Perbedaan Tingkat Kekuatan Otot Pasien Stroke Yang Diberikan ROM Dengan Terapi Oukup Di RSUD Ambarawa
3
HASIL PENELITIAN
Analisis Univariat
Tabel 1.
Uji Analisis kekuatan otot ekstremitas atas sebelum dan setelah diberikan ROM
dengan terapi oukup
Kelompok
Variabel
n
Mean
Sd
Min-Max
Ekstremitas atas
15
2.2667
1,16292
1-4
Pre-Test
Ekstremitas bawah
15
2,4667
1,18723
1-4
Ekstremitas atas
15
2,8000
1,42428
2 -5
Post-Test
Ekstremitas bawah
15
3,0000
1,41421
1-5
Tabel 1 di atas menunjukkan rata-rata
kekuatan otot sebelum dilakukan ROM dengan
terapi oukup adalah ekstremitas atas 2,2667
dengan
standar deviasi 1,16292 dan
ekstremitas bawah 2,4667 dengan standar
deviasi 1,42428 yang artinya rata-rata
kekuatan otot pasien bisa digerakkan tapi
hanyabergeser tidak dapat melawan grafitasi
dan menahan tahanan pemeriksa, sedangkan
rata-rata kekuatan otot setelah diberikan ROM
dengan terapi oukup adalah ekstremitas atas
2,8000 dengan standar deviasi 1,18723 dan
ekstremitas bawah 3,0000 dengan standar
deviasi 1,41421 artinya gerakan aktif dapat
melawan gravitasi. Dapat menggerakkan otot
dengan tahanan minimal misalnya dapat
menggerakkan telapak tangan dan jari serta
melawan grafitasi.
Analisis Bivariat
Tabel 2.
Perbedaan kekuatan otot ekstremitas atas setelah dilakukan ROM dengan terapi oukup
Perlakuan
Variabel
n
Mean
z
p-value
ROM dengan terapi oukup
Kekuatan otot
Sebelum-Setelah
15
4,50
-2,828
0,005
ekstremitas atas
Hasil perhitungan dengan uji wilcoxon di
dapatkan nilai rata-rata kekuatan otot sebelumsetelah dilakukan ROM dengan terapi oukup
pada ekstremitas atas adalah 4,50 dan nilai pvalue 0,005 dengan  = 0,05 yang artinya
terdapat perbedaan tingkat kekuatan otot
ekstremitas atas sebelum-setelah diberikan
perlakuan ROM dengan terapi oukup. Jumlah
perbedaan tingkat kekuatan otot rata-rata
setelah dilakukan ROM dengan terapi oukup
adalah 0,5333.
Tabel 3.
Perbedaan kekuatan otot ekstremitas bawah setelah dilakukan ROM dengan terapi oukup
Perlakuan
Variabel
n
Mean
z
p-value
ROM dengan terapi
oukup
Kekuatan otot
Sebelum-Setelah
15
4,50
-2,828
0,005
ekstremitas bawah
Hasil perhitungan dengan uji wilcoxon di
dapatkan nilai rata-rata kekuatan otot sebelumsetelah dilakukan ROM dengan terapi oukup
pada ekstremitas bawah adalah 4,50 dan nilai
p-value 0,005 dengan  0,05 yang artinya
terdapat perbedaan tingkat kekuatan otot
4
ekstremitas bawah sebelum-setelah diberikan
perlakuan ROM dengan terapi oukup. Jumlah
perbedaan tingkat kekuatan otot rata-rata
setelah dilakukan ROM dengan terapi oukup
adalah 0,5333.
Perbedaan Tingkat Kekuatan Otot Pasien Stroke Yang Diberikan ROM Dengan Terapi Oukup Di RSUD Ambarawa
PEMBAHASAN
Analisis Univariat
Kekuatan otot pada pasien stroke sebelum
diberikan ROM dengan terapi oukup di RSUD
Ambarawa
Stroke dapat menyebabkan berkurangnya
kekuatan di semua kelompok otot dari semua
bagian tubuh. Tetapi otot-otot muka, tangan,
lengan, kaki, dan tungkai pada satu sisi tubuh
lebih
sering
terkena
(hemiparesis).
Kelumpuhan atau kelemahan sisi tubuh bagian
kanan biasanya disebabkan karena kegagalan
fungsi otak kiri, baik karena stroke sumbatan
atau stroke perdarahan. Sebaliknya, jika terjadi
kegagalan fungsi otak kanan, maka bagian sisi
tubuh kiri akan menderita kelumpuhan
(Suharjo, 2008).
Pergerakan tubuh dihasilkan melalui
kerjasama yang komplek antara otak, tulang
belakang dan syaraf perifer. Motor area pada
kortek serebri, basal ganglia dan serebelum
mengawali setiap gerakan volunter dengan
mengirimkan pesan ke kortek spinal. Kondisi
stroke menghambat komponen system syaraf
pusat dalam mekanisme penghantaran impuls
sehingga menghasilkan efek kelemahan ringan
sampai berat pada sisi kontralateral yang
menyebabkan keterbatasan dalam pergerakan.
Kelemahan wajah, lengan, dan kaki pada
sisi yang sama (karena lesi hemisfer yang
berlawanan). Kelemahan pada otot disebabkan
oleh terjadi transport aktif kalsium dihambat
sehingga
kalsium
dalam
retikulum
sarkoplasma meningkat. Kalsium dipompa dari
retikulum dan berdisfusi kelepuh-kelepuh
kemudian kalsium disimpan dalam retikulum.
Apabila konsentrasi kalsium diluar retikulum
sarkoplasma meningkat maka intraksi antara
aktin dan miosin akan berhenti dan otot
melemah sehingga terjadi kontraktur dan
fungsi otot skeletal menurun (Mawarti, 2010).
Hasil penelitian kekuatan otot pasien
stroke yang didapat sebelum diberikan ROM
dengan terapi oukup adalah Skala 1 kedutan
otot sedikit kontraksi. Jika otot ditekan masih
terasa ada kontraksi atau kekenyalan ini berarti
otot masih belum atrofi atau belum layu. Skala
2 gerakan aktif yang terbatas oleh gravitasi.
Dapat menggerakkan otot atau bagian yang
lemah sesuai perintah misalnya telapak tangan
disuruh telungkup atau lurus bengkok tapi jika
ditahan sedikit saja sudah tak mampu bergerak.
Skala 3 gerakan aktif dapat melawan gravitasi.
Dapat menggerakkan otot dengan tahanan
minimal misalnya dapat menggerakkan telapak
tangan dan jari serta melawan grafitasi. Skala 4
gerakan aktif dapat Melawan gravitasi dan
melawan tahanan pemeriksa. Skala 5 kekuatan
normal.
Kekuatan otot pada pasien stroke setelah
diberikan ROM dengan terapi oukup di RSUD
Ambarawa
Secara teori, apabila otot-otot termasuk
otot ekstremitas bawah tidak dilatih terutama
pada klien yang mengalami gangguan fungsi
motorik kasar dalam jangka waktu tertentu
maka otot akan kehilangan fungsi motoriknya
secara permanen. Hal ini terjadi karena otot
cenderung dalam keadaan immobilisasi.
Keterbatasan mobilisasi mempengaruhi otot
klien melalui kehilangan daya tahan,
penurunan massa otot, atrofi dan penurunan
stabilitas. Pengaruh lain dari keterbatasan
mobilisasi adalah gangguan metabolisme
kalsium dan gangguan mobilisasi sendi.
Immobilisasi dapat mempengaruhi fungsi otot
dan skeletal. Akibat pemecahan protein pada
otot, klien mengalami kehilangan massa tubuh
yang membentuk sebagian otot. Oleh karena
itu penurunan massa otot tidak mampu
mempertahankan aktifitas tanpa peningkatan
kelelahan. Massa otot menurun akibat
metabolisme dan otot yang tidak digunakan.
Jika imobilisasi berlanjut dan otot tidak dilatih
maka akan terjadi penurunan massa yang
berkelanjutan (Potter & Perry, 2006).
Otot harus selalu dilatih untuk menjaga
fungsi dan kekuatannya. Bila otot berulangulang mencapai tegangan maksimum atau
mendekati maksimum selama waktu yang
lama, seperti pada latihan beban teratur, maka
irisan melintang otot akan membesar
(hipertrofi) ini disebabkan karena penambahan
ukuran masing-masing serat otot tanpa
peningkatan jumlah serat otot. Hipertrofi
hanya bisa dipertahankan selama latihan
dilanjutkan. Fenomena sebaliknya terjadi bila
terjadi dissue otot dalam waktu yang lama.
Pengecilan otot dinamakan atrofi. Tirah baring
dan imobilisasi akan menyebabkan kehilangan
masa dan kekuatan otot. Bila imobilisasi
karena suatu modalitas penanganan (mis. Pada
gips dan traksi), kita dapat mengurangi efek
imobilitas pasien dengan latihan isometrik
otot-otot di bagian yang diimobilisasi. Latihan
kuadriseps (mengencangkan otot paha) dan
latihan gluteal (mengencangkan otot bokong)
Perbedaan Tingkat Kekuatan Otot Pasien Stroke Yang Diberikan ROM Dengan Terapi Oukup Di RSUD Ambarawa
5
dapat membantu mempertahankan kelompok
otot besar yang penting untuk berjalan. Latihan
aktif dan beban berat badan pada bagian tubuh
yang tidak mengalami cedera dapat mencegah
terjadinya atrofi otot. Ketika otot mengalami
cedera, harus diistirahatkan dan diimobilisasi
sampai terjadi perbaikan. Otot yang sudah
sembuh kemudian harus dilatih secara
progresif untuk mencapai kemampuan
fungsional dan kekuatan sebelum cedera
(Smeltzer, 2006).
Latihan pada penelitihan ini diberikan
pada pasien stroke non hemoragik dan tidak
boleh diberikan pada pasien dengan stroke
hemoragik atau stroke akut karena gangguan
dalam aliran darah inilah yang memulai
serangkaian metabolisme kompleks seluler
dalam otak (Smeltzer and Bare, 2008). Kondisi
iskemik ini akan dimulai dengan berkurangnya
aliran darah otak kurang dari 25
ml/100g/menit. Dalam kondisi ini, neuron
tidak lagi bisa mempertahankan metabolisme
aerobik. Mitokondria akan melakukan
kompensasi dengan metabolisme anaerob yang
akan menghasilkan sejumlah besar asam laktat,
yang pada akhirnya akan menyebabkan
perubahan PH. Metabolisme anaerobikini
kurang efisien karena neuron tidak mampu
menghasikan ATP dalam jumlah yang
memadai sehingga proses depolarisasi
terganggu. Hal ini akan mengakibatkan
terjadinya kegagalan membran pompa yang
menjaga keseimbangan elektrolit sehingga
terjadi kematian dan kerusakan sel. Penurunan
aliran darah serebral pada tahap awalakan
menyebabkan munculnya area penumbra, yaitu
daerahyang mendapat aliran darah yang
rendah, daerah ini terdapat di sekitar area
infark. Daerah penumbra adalah jaringan otak
iskemik yang dapat diselamatkan dengan
intervensi tepat waktu. Daerah penumbra bisa
direvitalisasi dengan pemberian aktivator
jaringan plasminogen (t-PA), dan masuknya
kalsium dapat dibatasi dengan menggunakan
kalcium channel blockers. Masuknya kalsium,
dilepaskannya glutamat secara terus menerus
akan menamba sejumlah kerusakan sel dan
menyebabkan vasokonstriksi, proses ini
memperbesar area infark ke penumbra,
sehingga akan memperluas stroke.
Hasil penelitian kekuatan otot pasien
stroke yang didapat setelah diberikan ROM
dengan terapi oukup adalah Skala 1 kedutan
otot sedikit kontraksi. Jika otot ditekan masih
terasa ada kontraksi atau kekenyalan ini berarti
6
otot masih belum atrofi atau belum layu. Skala
2 gerakan aktif yang terbatas oleh gravitasi.
Dapat menggerakkan otot atau bagian yang
lemah sesuai perintah misalnya telapak tangan
disuruh telungkup atau lurus bengkok tapi jika
ditahan sedikit saja sudah tak mampu bergerak.
Skala 3 gerakan aktif dapat melawan gravitasi.
Dapat menggerakkan otot dengan tahanan
minimal misalnya dapat menggerakkan telapak
tangan dan jari. Skala 4 gerakan aktif dapat
Melawan gravitasi dan melawan tahanan
pemeriksa. Skala 5 kekuatan normal.
Analisis Bivariat
Perbedaan tingkat kekuatan otot pada pasien
stroke yang diberikan ROM dengan terapi
oukup
Hasil perhitungan menggunakan uji
wilcoxon didapatkan hasil p-value 0,005
dengan  (0,05) menunjukkan bahwa ada
perbedaan tingkat kekuatan otot pada pasien
stroke yang diberikan ROM dengan terapi
oukup.
Range Of Motion atau Rentang Gerak
Sendi (RGS) menurut Potter & Perry (2006)
merupakan jumlah maksimum gerakan yang
mungkin dilakukan sendi pada salah satu dari
tiga potongan tubuh: sagital, frontal dan
transversal (Potter & Perry, 2006).
Rata-rata peningkatan kekuatan otot pada
pasien stroke yang diberikan ROM dengan
terapi oukup pada ekstremitas atas 0,5333 dan
ektremitas bawah 0,5333 karena efek ROM
menghasilkan energi untuk kontraksi dan
meningkatkan tonus otot polos ekstremitas dan
terapi oukup untuk memperbaiki sirkulasi
sehingga dapat membantu menghantarkan
energi ke seluruh otot.
Range Of Moion dengan terapi oukup
dalam penelitian ini dilakukan pada klien
stroke dengan menggerakkan masing-masing
persendiannya sesuai gerakan normal baik
secara aktif atau pasif dilakukan 3 hari selama
5 menit secara rutin yang sebelumnya
diberikan oukup atau mandi uap dilakukan
dengan merendam ekstremitas yang sakit
dengan air hangat bersuhu 36-40 derajat C
selama 20 menit dengan kedalaman 15 cm.
Range Of Motion dapat memperbaiki
tonus otot, meningkatkan mobilisasi sendi,
memperbaiki toleransi otot untuk latihan,
mungkin
meningkatkan
massa
otot,
mengurangi kehilangan tulang. Stroke dengan
hemiparase setelah diberikan latihan ROM
Perbedaan Tingkat Kekuatan Otot Pasien Stroke Yang Diberikan ROM Dengan Terapi Oukup Di RSUD Ambarawa
pasif 2x sehari maka akan merangsang neuron
motorik (otak) dengan pelepasan transmitter
(asetilcolin) untuk merangsang sel untuk
mengaktifkan kalsium sehingga terjadi
integritas protein. Jika kalsium dan troponin C
diaktifkan
maka
aktin
dan
miosin
dipertahankan agar fungsi otot skeletal dapat
dipertahankan
sehingga
akan
terjadi
peningkatan tonus otot (Mawarti, 2010).
Penelitian lain yang dilakukan Yuliastati
pada tahun 2011 bertujuan untuk mengetahui
pengaruh latihan rentang gerak sendi terhadap
kekuatan otot ekstremitas bawah pada anak
dengan tuna grahita sedang di SLB C Kota
Bogor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
setelah dilakukan latihan rentang gerak sendi
selama tiga minggu dengan frekuensi minimal
dua kali sehari terdapat peningkatan rerata
kekuatan otot ekstremitas bawah baik kanan
maupun kiri sebesar 13.3%.
Menurut Guyton (2007), mekanisme
kontraksi dapat meningkatkan otot polos pada
ekstremitas. Latihan ROM pasif dapat
menimbulkan
rangsangan
sehingga
meningkatkan
aktivasi
dari
kimiawi,
neuromuskuler dan muskuler. Otot polos pada
ekstremitas mengandung filamen aktin dan
myosin yang mempunyai sifat kimiawi dan
berintraksi antara satu dan lainnya. Proses
interaksi diaktifkan oleh ion kalsium, dan
adeno triphospat (ATP), selanjutnya dipecah
menjadi adeno difosfat (ADP) untuk
memberikan energi bagi kontaraksi otot
ekstremitas.
Rangsangan
melalui
neuromuskuler
akan
meningkatkkan
rangsangan pada serat syaraf otot ekstremitas
terutama syaraf parasimpatis yang merangsang
untuk
produksi
asetilcholin,
sehingga
mengakibatkan kontraksi. Mekanisme melalui
muskulus terutama otot polos ekstremitas akan
meningkatkan. Metabolisme pada mitokondria
untuk menghasilkan ATP yang dimanfaatkan
oleh otot polos ekstremitas sebagai energi
untuk kontraksi dan meningkatkan tonus otot
polos ekstremitas.
Otot yang panjang akan berkontraksi
dengan kekuatan kontraksi yang lebih besar
dari pada otot yang pendek. Kekuatan
kontraksi maksimum pada panjang otot
semakin panjang otot antagonis, maka akan
berkontraksi dengan kekuatan yang lebih
besar dari pada otot yang lebih pendek. Bila
suatu otot tetap memendek secara terusmenerus hingga kurang dari panjang
normalnya, sarkomer-sarkomer pada ujung
serat otot akan menghilang. Melalui proses
inilah otot secara terus-menerus dibentuk
kembali untuk memiliki panjang yang sesuai
dengan kontraksi otot. Semua otot tubuh secara
terus menerus dibentuk kembali untuk
menyusuaikan fungsi-fungsi yang dibutuhkan
olehnya. Proses pengubahan bentuk (diameter,
panjang, kekuatan, suplay darah) ini
berlangsung cepat dalam waktu beberapa
minggu, secara normal protein kontraktil otot
dapat diganti secara total dalam waktu 2
minggu.
Kekuatan otot sangat berhubungan
dengan system neuromuscular yaitu seberapa
besar kemampuan system syaraf mengaktivasi
otot untuk melakukan kontraksi. Dengan
demikian, semakin banyak serabut otot yang
teraktivasi, maka semakin besar pula kekuatan
yang dihasilkan oleh otot tersebut. Oleh karena
itu pasien stroke dengan hemiparase harus
menggerakkan anggota badanya yang lumpuh
paling tidak 2 kali sehari untuk meningkatkan
kekuatan motoriknya supaya cepat sembuh dan
penderita tidak tergantung pada orang lain
karena ukuran keberhasilan bukan hanya
banyak jiwa yang tertolong tetapi berapa
banyak penderita berfungsi lagi di masyarakat.
Bersauna juga terbukti sangat efektif
mengurangi respons stres dan menciptakan
keseimbangan dalam sistem saraf otonomik.
Aktivitas
itu
memperbaiki
sirkulasi
merangsang hipotalamus anterior dan sistem
saraf simpatis sehingga pembuluh darah
mengalami vasodilatasi. Pembuluh darah yang
mengalami penyumbatan akan mengantarkan
nutrisi ke seluruh bagian tubuh termasuk otot
sehingga
metabolisme
jaringan
akan
meningkat.
Menurut Kusumastuti (2008), dasar utama
penggunaan air hangat untuk pengobatan
adalah efek hidrostatik dan hidrodinamik.
Secara ilmiah air hangat berdampak fisiologis
bagi tubuh. Pertama, berdampak pada
pembuluh darah. Panasnya membuat sirkulasi
darah menjadi lancar. Kedua, faktor
pembebanan di dalam air akan menguatkan
otot-otot dan ligamen yang mempengaruhi
sendi-sendi tubuh. Cedera fisik dengan
gangguan encok dan rematik sangat baik bila
diterapi air hangat. Ketiga, latihan di dalam air
berdampak positif terhadap otot jantung dan
paru-paru. Latihan di dalam air membuat
sirkulasi pernapasan menjadi lebih baik. Efek
hidrostatik dan hidrodinamik pada terapi
membantu menopang berat badan saat latihan
Perbedaan Tingkat Kekuatan Otot Pasien Stroke Yang Diberikan ROM Dengan Terapi Oukup Di RSUD Ambarawa
7
jalan. Selain hal-hal positif di atas, air bersuhu
31° Celsius mempengaruhi oksigenisasi
jaringan, sehingga dapat mencegah kekakuan
otot, mampu menghilangkan rasa nyeri,
menenangkan jiwa, dan merilekskan tubuh.
Bagi penderita stroke akan lebih mudah
berjalan di dalam air daripada di darat karena
pengaruh gaya apung air membuat tubuh lebih
ringan. Jika berjalan di darat, tubuh manusia
lebih berat karena mengalami gaya tarik bumi
atau gravitasi. Itu sebabnya pasien stroke yang
mengalami kelumpuhan cenderung sulit
berjalan jika di darat. Hal ini terjadi karena
ketika masuk dalam kolam air sebatas pusar,
berat tubuh tinggal 50 persennya. Bila kita
berendam dalam kolam air setinggi dada, berat
tubuh akan berkurang sekitar 70 persen, karena
itu latihan yang sulit dilakukan di darat dapat
dilakukan di dalam air.
SARAN
Masyarakat hendaknya dapat melakukan
ROM dengan terapi oukup secara mandiri
ketika ada keluarga yang mengalami stroke.
Tim medis hendaknya juga menyarankan
pada pasien stroke untuk melakukan ROM
dengan terapi oukup sebagai intervensi
keperawatan mandiri.
Peneliti selanjutnya untuk dapat meneliti
dengan waktu yang lebih lama sesuai dengan
waktu pemulihan pasien stroke misalnya
sepuluh hari, menambah intake kalsium, dan
perhatikan obat neuroprotektan setiap pasien.
Perawat dapat memberikan ROM dengan
terapi oukup sebagai intervensi keperawatan
mandiri tetapi harus memperhatikan obat
neuroprotektan yang digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Keterbatasan
Penelitian ini mengalami beberapa
kendala seperti waktu pelaksanaannya.
Rencana awal penelitihan dilaksanakan pada
pagi hari setelah waktu makan pagi pada pukul
08.00 WIB tetapi dari pihak rumah sakit
mengizinkan penelitihan dilaksanakan setelah
tindakan dari ruangan selesai yaitu pada pukul
11.00 WIB sehingga energi yang disimpan
pasien kurang untuk diberikan ROM dengan
terapi oukup dan faktor-faktor lain yang
menimbulkan bias seperti obat neuroprotektan
yang digunakan tidak diketahui.
KESIMPULAN
Rata-rata tingkat kekuatan otot pasien
stroke sebelum diberikan terapi ROM dengan
terapi oukup pada ekstremitas atas 2,27 dan
ekstremitas bawah 2,47.
Rata-rata tingkat kekuatan otot pasien
stroke setelah diberikan terapi ROM dengan
terapi oukup pada ekstremitas atas 2,80 dan
ekstremitas bawah 3,00.
Ada perbedaan tingkat kekuatan otot
pasien stroke sebelum-setelah pada kelompok
ROM disertai dengan terapi oukup dengan pvalue 0,005.
Ada perbedaan tingkat kekuatan otot
pasien stroke yang diberikan ROM disertai
dengan terapi oukup dengan jumlah rata-rata
peningkatan kekuatan otot ekstremitas atas
0,53 dan ekstremitas bawah 0,53.
8
[1] Daeli, Glorya. 2011. Pengalaman
Penggunaan Terapi Tradisional Oukpu :
Studi
Fenomenologi.
Fakultas
Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
[2] Ginsberg, L. 2005. Neurologi, Edisi :
Delapan. : Erlangga.
[3] Guyton. 2007. Buku Ajar
Kedokteran. Jakarta : EGC.
Fisiologi
[4] Jabbar. Di unduh hari Minggu, 08 April
2012.
Range
Of
Motion.
http://jabbarbtj.blogspot.com/2012/04/ran
ge-of-motion.html
[5] Kusumaastuti, dr. Sp.RM. (2008).
Hidroterapi, Pulihkan Otot dan Sendi
yang
Kaku.
http://www.gayahidupsehat.com. Rabu,
09 Januari 2008
[6] Kozier. 2009. Buku Ajar Praktik
Keperawatan Klinis. Edisi 5. Jakarta :
EGC
[7] Mawarti. 2010. PENGARUH LATIHAN
ROM (RANGE OF MOTION) PASIF
TERHADAP
PENINGKATAN
KEKUATAN OTOT PADA PASIEN
STROKE
DENGAN
HEMIPARASE.
Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum
Jombang.
[8] Notoatmojdo. 2010.Metode Penelitian
Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Perbedaan Tingkat Kekuatan Otot Pasien Stroke Yang Diberikan ROM Dengan Terapi Oukup Di RSUD Ambarawa
[9] Perry & Potter. 2006. Fundamental of
Nursing, volume : 2. Jakarta : EGC
[10] Sembiring, Feriel Amelia. Oukup Sebagai
Pengobatan Tradisional, Universitas
Negeri Medan.
[11] Situmeang, Pinondang. 2011. Di unduh
tanggal 19 Mei 2013. Pengertian Stroke.
http://paskastroke.blogspot.com/2013/05/
pengertian-stroke.html
[12] Smeltzer. 2006. Brunner & suddarth
Keperawatan Medikal Bedah, volume : 3.
Jakarta : EGC.
[13] Sugiyono.
2007.
Statistika
Penelitian. Bandung : Alfabet.
Untuk
[14] Suharjo, J.B., dkk. 2008. Gaya Hidup &
Penyakit
Modern.
Yogyakarta
:
KANISIUS.
[15] Susanto. 2008. Olahraga Renang sebagai
Hydrotheraphy
dalam
Mengatasi
Masalah-masalah Kesehatan, Jurnal
Ilmiah
Kesehatan
Olahraga
“MEDIKORA”, FIK UNY Yogyakarta,
Volume IV, Nomor 2, Oktober 2008_0,
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/197
807022002121004/11
[16] Sustrani, L., dkk. 2006. Diabetes
Informasi Lengkap Untuk Penderita &
Keluarga. Jakarta : Gramedia.
[17] Tombak, Anggar. 2010. Di unduh tahun
2010. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Kekuatan
Otot.
http://www.kawandnews.com/2011/10/fa
ktor-faktor-yang-mempengaruhi.html
[18] Waluyo. 2010. 100 Questions & Answer
Stroke. Jakarta : Gramedia.
[19] Yuliastati, 2011. Pengaruh Latihan
Rentang Gerak Sendi Terhadap Kekuatan
Otot Dan Luas Gerak Sendi Anak Dengan
Tuna Grahita Sedang Di Sekolah Luar
Biasa Bogor. Universitas Indonesia.
[20] Yuniadi, 2010. Intervensi pada Stroke
Non-Hemoragik.
Jurnal
Kardiologi
Indonesia, J Kardiol Indones.
Perbedaan Tingkat Kekuatan Otot Pasien Stroke Yang Diberikan ROM Dengan Terapi Oukup Di RSUD Ambarawa
9
Download