kajian kemantapan agregat tanah pada pemberian beberapa jenis

advertisement
111
Jurnal Tanah dan Sumberdaya Lahan Vol 2 No 1: 111-117, 2015
KAJIAN KEMANTAPAN AGREGAT TANAH PADA
PEMBERIAN BEBERAPA JENIS BAHAN ORGANIK
DI PERKEBUNAN KOPI ROBUSTA
Budy Satya Utomo, Yulia Nuraini, Widianto*
Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya
* penulis korespondensi: [email protected]
Abstract
Forest conversion for plantation and the continuous fertilizer usage without organic materials has
potentials to produce soil damage with the soil compaction. One of efforts to improve sustainable
land productivity is by applying organic materials. The use of organic materials of vermicompost,
fruit peel fertilizer, and cow manure in long term is expected to be able to improve the physical
properties of soil at the robusta coffee plantation (Coffea canephora Pierre). The research was
conducted at robusta coffee plantation of PT Perkebunan Nusantara XII (Persero), Bangelan
Village, Wonosari District, Malang Regency. The research used factorial random design of nested
pattern with 2 factors: (1) organic material treatment (control, vermicompost, coffee fruit peel
fertilizer, and cow manure), (2) the soil depth level (0-10 cm, 10-20 cm, and 20-30 cm. The results
showed that application of vermicompos improved higher organic matter than the application of
coffee peel fertilizer, cow manure in depth of 0-10 cm. The application of various organic materials
did not improve the organic materials of soil in depth of 10-20 and 20-30 cm. The application of
vermicompost, coffee peel fertilizer and cow manure improved aggregate stability than without the
application of organic material (NPK). Organic materials had a positive relation with soil aggregate
stability in depth of 0-10 cm (r = 61%), so the higher organic material content, the higher soil
aggregate stability, while in depth of 10-20 cm and 20-30 cm there was no significant relationship.
Keywords : coffee fruit peel fertilizers, cow manure, soil aggregate stability, vermicompost
Pendahuluan
Peralihan fungsi hutan untuk perluasan areal
pertanian dan perkebunan mengakibatkan
kerusakan hutan dan berpotensi terjadinya
kerusakan tanah. Alih fungsi lahan umumnya
digunakan untuk areal perkebunan seperti
perkebunan tanaman kopi secara monokultur
(Jusmaliani, 2008). Li et al. (2007), menyatakan
bahwa budidaya secara monokultur memiliki
dampak negatif pada sifat struktur tanah dan
kapasitas menahan air, yang erat kaitannya
dengan rendahnya kandungan C organik tanah.
Perubahan hutan menjadi perkebunan
juga terjadi di PT. Perkebunan Nusantara XII
(Persero)
Desa
Bangelan,
Kecamatan
Wonosari, Kabupaten Malang. PT. Perkebunan
Nusantara
XII
(Persero)
merupakan
perusahaan perkebunan yang membudidayakan
dan mengelola kopi robusta dimana memulai
http://jtsl.ub.ac.id
pembukaan lahan hutan dengan cara tebang
bakar dan pembersihan permukaan tanah yang
dilakukan oleh perusahaan Belanda pada tahun
1935.
Kegiatan alih fungsi lahan dengan cara
tebang bakar tersebut diduga sebagai penyebab
menurunnya kualitas lahan, hal ini dikarenakan
pembakaran kayu dan ranting sisa pembukaan
lahan dapat mempercepat proses pencucian
dan pemiskinan tanah sehingga berdampak
pada pemadatan tanah dengan rusaknya
struktur tanah baik di lapisan atas maupun
lapisan bawah. Kerusakan struktur tanah
diawali dengan penurunan kestabilan agregat
tanah sebagai akibat dari pukulan air hujan dan
kekuatan limpasan permukaan (Suprayogo et
al., 2004).
Disamping itu, pengelolaan tanaman kopi di
PT. Perkebunan Nusantara XII (Persero)
112
Jurnal Tanah dan Sumberdaya Lahan Vol 2 No 1: 111-117, 2015
dengan menggunakan pupuk anorganik berupa
NPK secara terus menerus selama 45 tahun
juga
dapat
berpotensi
mengakibatkan
kerusakan tanah. Hal ini sesuai dengan Lestari
(2009), yang menyebutkan bahwa penggunaan
pupuk nitrogen (ammonium sulfat dan sulfur
coated urea) secara terus menerus selama 20
tahun dapat menyebabkan pemasaman tanah
dan menurunnya populasi cacing secara drastis,
selain itu dosis pupuk yang berlebihan dapat
mengakibatkan kerusakan dan kematian
tanaman
serta
dapat
mengakibatkan
pencemaran dan kerusakan lingkungan yang
meliputi kerusakan tanah (Lestari, 2009).
Guna meningkatkan produktifitas lahan
secara berkelanjutan, perkebunan kopi PT.
Perkebunan Nusantara XII melakukan
beberapa pengelolaan terpadu salah satunya
dengan pengembalian atau pemberian bahan
organik untuk memulihkan kembali status hara
dalam tanah. Bahan organik tanah sangat
penting dalam mempertahankan stabilitas
struktur tanah, membantu infiltrasi udara dan
air, mempromosikan air retensi, dan
mengurangi erosi (Gregorich et al., 1994). Hal
ini sejalan dengan Goenadi (2006), yang
menyebutkan
bahwa
bahan
organik
berpengaruh terhadap sifat fisik tanah yaitu
dapat meningkatkan stabilitas agregat tanah,
sehingga menciptakan struktur tanah yang
mantap dan ideal bagi pertumbuhan tanaman
yang berakibat pada tingkat porositas yang baik
dan mengurangi tingkat kepadatan tanah.
Berbagai penelitian telah menunjukkan
bahwa vermikompos dari sampah organik
mempercepat stabilisasi bahan organik
(Neuhauser et al., 1998; Frederickson et al.,
1997) dan zat humat stabil. Keunggulan
vermikompos adalah menyediakan hara N, P,
K, Ca, Mg dalam jumlah yang seimbang dan
tersedia, meningkatkan kandungan bahan
organik, dan meningkatkan kemampuan tanah
mengikat agregat tanah (Sutanto, 2002).
Vermikompos merupakan pupuk organik
yang dihasilkan dari proses perombakan bahan
organik dengan memanfaatkan aktivitas cacing
tanah (Madjid, 2007). Sejumlah sumber
menyebutkan bahwa cacing tanah berpotensi
pada proses vermikompos sampah, terutama
sampah rumah tangga (Appelholf et al., 1998).
Sistem vermikompos memberikan stabilitas
dan mengontrol suhu, kelembaban dan aerasi
(Price, 1988). Sumber bahan organik lainnya
http://jtsl.ub.ac.id
yang berpotensi di perkebunan ini adalah
pupuk kulit buah kopi dan pupuk kandang
sapi. Pupuk kulit buah kopi merupakan limbah
pengolahan buah kopi yang dapat digunakan
sebagai kompos.
Menurut Sutrisno dan Zaman (2007),
bahwa kompos kulit kopi berperan dalam
memperbaiki struktur tanah, meningkatkan
daya serap tanah terhadap air, meningkatkan
aktivitas mikroorganisme tanah. Bahan organik
lainnya yang digunakan adalah pupuk kandang
sapi. Pupuk kandang sapi memiliki beberapa
kelebihan yaitu dapat memperbaiki struktur
tanah, sebagai sumber hara nitrogen, fosfor dan
klium yang penting bagi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman, meningkatkan daya
menahan air, dan banyak mengandung
mikroorganisme (Hartatik dan Widowati,
2006).
Untuk mengetahui sebaran bahan organik
tanah tersebut, maka dilakukan pengambilan
sampel pada plot yang berbeda. Bahan organik
yang digunakan oleh perkebunan kopi tersebut
terdiri dari vermikompos, pupuk kulit buah
kopi, dan pupuk kandang sapi. Aplikasi
pemberian bahan organik yang dilakukan di
perkebunan kopi tersebut diharapkan mampu
menyediakan bahan organik yang cukup dalam
mempertahankan kualitas tanah. Oleh karena
itu, perlu dilakukan penelitian ini guna
mengetahui pengaruh bahan organik berupa
vermikompos, pupuk kulit kopi dan pupuk
kandang sapi terhadap kemantapan agregat
tanah.
Bahan dan Metode
Penelitian dilaksanakan pada bulan bulan Maret
– April 2014 di kebun kopi robusta milik PT.
Perkebunan Nusantara XII (Persero), Desa
Bangelan, Kecamatan Wonosari, Kabupaten
Malang dan di Laboratorium Fisika dan Kimia
Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas
Brawijaya Malang. Metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
survei dengan memilih secara acak 3 pohon
kopi yang memiliki kerapatan kanopi dan tinggi
pohon yang kurang lebih sama, serta
kemiringan lahan sekitar 3-6% pada tiap plot
yang telah diaplikasikan beberapa jenis bahan
organik selama ± 10 tahun (plot vermikompos,
pupuk kulit buah kopi, pupuk kandang sapi,
dan tanpa bahan organik), kemudian dilakukan
113
Jurnal Tanah dan Sumberdaya Lahan Vol 2 No 1: 111-117, 2015
pengambilan contoh tanah pada tiga kedalaman
tanah (0-10 cm, 10-20 cm, dan 20-30 cm).
Parameter kesuburan tanah yang dilakukan
meliputi kemantapan agregat, berat isi, dan
kandungan bahan organik tanah.
Rancangan penelitian yang digunakan
yaitu rancangan acak kelompok faktorial pola
tersarang, dengan 2 faktor : (1) plot
penggunaan jenis pupuk, meliputi plot tanpa
bahan organik sebagai kontrol (P0),
vermikompos (P1), pupuk kulit buah kopi (P2),
dan pupuk kandang sapi (P3), (2) tingkat
kedalaman tanah, meliputi kedalaman 0-10 cm
(K1), 10-20 cm (K2), dan 20-30 cm (K3).
Masing- masing faktor diulang sebanyak 3 kali.
Analisis data yang digunakan adalah
analisis sidik ragam, dimana jika F hitung lebih
besar dari F tabel maka faktor berpengaruh
nyata. Perlakuan yang berpengaruh nyata
dianalisis lebih lanjut menggunakan uji Beda
Nyata Terkecil (BNT) taraf 5% untuk
mengetahui perlakuan terbaik. Selain itu, untuk
mengetahui hubungan antar variable dilakukan
analisis korelasi. Jika hubungannya nyata
(p<0,05) maka dilanjutkan dengan analisis
regresi.
Gambar 1. Sebaran rata-rata kandungan bahan
organik tanah pada tiap plot penggunaan jenis
pupuk di perkebunan kopi robusta
Keterangan :Histogram yang didampingi huruf yang
sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT 5%. P0 :
plot tanpa bahan organik, P1 : plot vermikompos,
P2 : plot pupuk kulit buah kopi, dan P3 : plot pupuk
kandang sapi. K1 : kedalaman tanah 0-10 cm, K2 :
kedalaman tanah 10-20 cm, dan K3 : kedalaman
tanah 20-30 cm.
Rasio C/N
Hasil rasio C/N disajikan pada Gambar 2, yang
menunjukkan bahwa vermikompos memiliki
nilai C/N yang lebih rendah dibandingkan
dengan perlakuan pupuk kulit buah kopi dan
pupuk kandang sapi.
Hasil dan Pembahasan
Kandungan Bahan Organik Tanah
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa
interaksi penggunaan jenis pupuk dan
kedalaman tanah berpengaruh nyata (p<0,05)
terhadap kandungan bahan organik tanah.
Gambar
1
menunjukkan
bahwa
pemberian bahan organik selama ± 10 tahun
mengakibatkan kandungan bahan organik
tanah pada kedalaman 0-10 cm lebih tinggi
dibandingkan tanpa pemberian bahan organik.
Namun, pemberian bahan organik tidak
memberikan pengaruh terhadap kandungan
bahan organik tanah di kedalaman 10-20 dan
20-30 cm. Pada berbagai pemberian bahan
organik, vermikompos memiliki kandungan
bahan organik tanah yang lebih tinggi
dibandingkan pupuk kulit buah kopi dan
pupuk kandang sapi di kedalaman 0-10 cm. Hal
ini sesuai dengan Badan Litbang Pertanian
(2011) yang menyebutkan bahwa kandungan
bahan organik kotoran cacing tanah mencapai
dua kali lebih tinggi untuk lapisan 0-10 cm
dibanding tanah disekitarnya.
http://jtsl.ub.ac.id
Gambar 2. Sebaran rata-rata rasio C/N tanah
pada tiap plot penggunaan jenis pupuk di
perkebunan kopi robusta
Keterangan :P1 : plot vermikompos, P2 : plot
pupuk kulit buah kopi, dan P3 : plot pupuk kandang
sapi.
Vermikompos memiliki C/N yang rendah yaitu
10,05, menurut Hasibuan (2006), C/N
dikatakan rendah apabila berkisar pada 10-12,
sedangkan C/N dikatakan tinggi apabila nilai
C/N lebih besar dari 15. Tinggi rendahnya
C/N yang dihasilkan akan berpengaruh
terhadap proses dekomposisi. Menurut Hairiah
et al., (2000), bahwa kecepatan pelapukan atau
114
Jurnal Tanah dan Sumberdaya Lahan Vol 2 No 1: 111-117, 2015
dekomposisi bahan organik tergantung
perbandingan karbon dan nitrogen dari bahan
tersebut. Bahan yang memiliki C/N kecil akan
mengalami proses pelapukan yang lebih cepat
bila dibanding bahan organik yang memiliki
C/N rasio lebih besar. Hal ini menyebabkan
perlakuan vermikompos lebih cepat mengalami
proses dekomposisi.
Berat Isi Tanah
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa
pemberian jenis pupuk berpengaruh nyata
(p<0,05) terhadap berat isi tanah.
Gambar 3. Sebaran rata-rata berat isi tanah
pada tiap plot penggunaan jenis pupuk di
perkebunan kopi robusta
Keterangan : Histogram yang didampingi huruf
yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT
5%. P0 : plot tanpa bahan organik, P1 : plot
vermikompos, P2 : plot pupuk kulit buah kopi, dan
P3 : plot pupuk kandang sapi.
Pemberian bahan organik selama ± 10 tahun
dapat menurunkan berat isi tanah. Dari
Gambar 3 menunjukkan bahwa perlakuan
tanpa pemberian bahan organik mengakibatkan
berat isi tanah lebih tinggi dibandingkan
dengan pemberian bahan organik. Berat isi
tanah yang tinggi pada perlakuan tanpa
pemberian bahan organik dikarenakan
kurangnya penambahan bahan organik ke
dalam tanah, akibatnya persentase berat isi
tanah lebih tinggi daripada tanah yang
diberikan perlakuan pemberian vermikompos,
pupuk kulit buah kopi dan pupuk kandang
sapi. Kedalaman tanah menunjukkan pengaruh
yang nyata terhadap berat isi tanah. Secara
umum pada semua plot perlakuan semakin
dalam lapisan tanah maka berat isi tanah
semakin besar (0-30 cm).
http://jtsl.ub.ac.id
Gambar 4. Sebaran rata-rata berat isi tanah
pada kedalaman tanah tiap plot penggunaan
jenis pupuk di perkebunan kopi robusta
Keterangan :Histogram yang didampingi huruf yang
berbeda terdapat perbedaan nyata menurut uji BNT
5%. K1 : kedalaman tanah 0-10 cm, K2 : kedalaman
tanah 10-20 cm, dan K3 : kedalaman tanah 20-30
cm.
Berat isi tanah pada kedalaman 0-10 cm lebih
rendah dibandingkan kedalaman dibawahnya
(10-20 cm dan 20-30 cm). Hal ini disebabkan
kandungan bahan organik tanah yang lebih
tinggi banyak terakumulasi pada lapisan atas
tanah (0-10 cm) daripada lapisan bawah (10-20
cm dan 20-30 cm). Menurut Barzegar et al.,
(2002), bahwa bahan organik berperan dalam
memperbaiki berat isi tanah pada lapisan olah
(0-10 cm).
Kemantapan Agregat Tanah
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa
pemberian jenis pupuk berpengaruh nyata
(p<0,05) terhadap kemantapan agregat tanah.
Gambar 5. Sebaran rata-rata kemantapan
agregat tanah pada tiap plot penggunaan jenis
pupuk di perkebunan kopi robusta
Keterangan :Histogram yang didampingi huruf yang
sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT 5%. P0 :
plot tanpa bahan organik, P1 : plot vermikompos,
P2 : plot pupuk kulit buah kopi, dan P3 : plot pupuk
kandang sapi.
115
Jurnal Tanah dan Sumberdaya Lahan Vol 2 No 1: 111-117, 2015
Berdasarkan Gambar 5 menunjukkan bahwa
pemberian bahan organik mengakibatkan
kemantapan agregat lebih tinggi dibandingkan
tanpa pemberian bahan organik, sehingga
pemberian bahan organik selama ± 10 tahun
dapat meningkatkan kemantapan agregat.
Bahan organik yang bersifat agak plastis
mampu menjadikan struktur tanah dan agregat
tanah lebih mantap dan perbaikan porositas
tanah dengan menurunkan berat isi tanah,
meningkatnya nilai porositas tanah, indeks
stabilitas agregat dan agregasi tanah (Helmi,
2009).
Bahan organik akan meningkatkan
aktivitas mikroorganisme tanah dan akan
menciptakan struktur tanah yang lebih baik
sehingga akan menciptakan agregat-agregat
yang stabil (Utomo, 1985). Kedalaman tanah
menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap
kemantapan agregat. Pada berbagai perlakuan,
kemantapan agregat menunjukkan semakin
rendah dengan bertambahnya kedalaman tanah
(0-30 cm). Kemantapan agregat pada
kedalaman 0-10 cm lebih tinggi dibandingkan
kedalaman 10-20 cm dan 20-30 cm.
Gambar 6. Sebaran rata-rata kemantapan
agregat tanah pada kedalaman tanah tiap plot
penggunaan jenis pupuk di perkebunan kopi
robusta
Keterangan :Histogram yang didampingi huruf yang
berbeda terdapat perbedaan nyata menurut uji BNT
5%. K1 : kedalaman tanah 0-10 cm, K2 : kedalaman
tanah 10-20 cm, dan K3 : kedalaman tanah 20-30
cm.
Rendahnya kemantapan agregat pada lapisan
bawah daripada lapisan atas disebabkan
kandungan bahan organik tanah yang lebih
tinggi banyak terakumulasi pada lapisan atas (010 cm) daripada lapisan bawah (10-20 cm dan
20-30 cm). Semakin ke bawah maka kandungan
http://jtsl.ub.ac.id
bahan organik tanah akan semakin berkurang
(Darmawijaya, 1990).
Pembahasan Umum
Pemberian bahan organik mampu menurunkan
berat isi tanah. Hal ini dapat dilihat dari nilai
berat isi tanah pada pemberian bahan organik
lebih rendah apabila dibandingkan dengan
perlakuan tanpa pemberian bahan organik
(Gambar 3). Tanah dengan kandungan bahan
organik rendah memiliki berat isi tanah yang
tinggi (Utomo, 1985).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
meningkatnya kandungan bahan organik tanah
akan diikuti oleh penurunan berat isi tanah
terutama pada kedalaman 0-10 cm sedangkan
pada kedalaman 10-20 cm dan 20-30 cm tidak
menunjukkan penurunan berat isi tanah yang
signifikan karena aplikasi pemupukan hanya
dilakukan pada permukaan tanah. Pemberian
bahan organik menunjukkan hasil yang lebih
baik terhadap kandungan bahan organik tanah,
berat isi tanah, dan kemantapan agregat apabila
dibandingkan
dengan perlakuan
tanpa
pemberian bahan organik (Gambar 1, 3, dan 5).
Semakin tinggi bahan organik berdampak
terhadap penurunan berat isi tanah dan
peningkatan kemantapan agregat.
Tanah dengan bahan organik rendah
menyebabkan peningkatan berat isi tanah
sehingga menurunkan porositas tanah,
stabilitas agregat dan kadar air kapasitas lapang
(Li et al., 2007). Hasil pengukuran kemantapan
agregat pada berbagai perlakuan menunjukkan
bahwa peningkatan bahan organik tanah akan
meningkatkan kemantapan agregat terutama
pada kedalaman 0-10 cm apabila dibandingkan
pada kedalaman 10-30 cm, seperti halnya
penurunan berat isi tanah. Berdasarkan
Gambar 7 dapat diketahui bahwa pemberian
vermikompos memiliki kemantapan agregat
yang tinggi, karena vermikompos memiliki
kandungan bahan organik tanah yang tinggi
dibandingkan dengan perlakuan lain.
Vermikompos dihasilkan dari proses
perombakan bahan organik dengan bantuan
aktivitas cacing tanah (Mullat, 2003). Oleh
karena itu, vermikompos memiliki kandungan
bahan organik tanah yang lebih tinggi
dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Pramana (2014) bahwa pada perlakuan
116
Jurnal Tanah dan Sumberdaya Lahan Vol 2 No 1: 111-117, 2015
vermikompos memiliki populasi cacing yang
tinggi. Tanah dengan kandungan bahan organik
dan populasi cacing yang tinggi berpengaruh
terhadap berat isi dan kemantapan agregat
tanah, sehingga pada perlakuan vermikompos
memiliki berat isi dan kemantapan agregat
tanah yang paling baik dibandingkan dengan
perlakuan lainnya.
(a)
Kesimpulan
Pemberian
vermikompos
mengakibatkan
kandungan bahan organik tanah lebih tinggi
dibandingkan pemberian pupuk kulit buah
kopi, dan pupuk kandang sapi di kedalaman 010 cm. Sementara itu, pemberian beberapa
jenis bahan organik tersebut tidak memberikan
pengaruh terhadap kandungan bahan organik
tanah di kedalaman 10-20 dan 20-30 cm.
Pemberian vermikompos, pupuk kulit buah
kopi, dan pupuk kandang sapi mengakibatkan
agregat tanah lebih mantap dibandingkan tanpa
pemberian bahan organik (NPK).
Daftar Pustaka
(b)
(c)
Gambar 7. Grafik sebaran antara bahan
organik tanah dengan kemantapan agregat
tanah pada berbagai kedalaman
Keterangan :P0 : plot tanpa bahan organik, P1 : plot
vermikompos, P2 : plot pupuk kulit buah kopi, dan
P3 : plot pupuk kandang sapi.
Selain kandungan bahan organik tanah,
kemantapan agregat dipengaruhi oleh tekstur
tanah (fraksi klei). Hal ini sesuai dengan
pernyataan Tan (1991), yang menyebutkan
bahwa bahan organik dan fraksi klei
merupakan zat yang merekatkan partikelpartikel tanah sehingga membentuk agregat
yang mantap. Hasil penelitian diketahui bahwa
terdapat korelasi positif (r = 66%) antara fraksi
klei dengan kemantapan agregat.
http://jtsl.ub.ac.id
Appelholf, M., Edwards, C.A. and Neuhauser, E.F.
1998. Domestic vermicomposting systems
earthworm. Waste Environmental Managemenet
5, 157-161.
Badan Litbang Pertanian. 2011. Inovasi Sumber
Daya Lahan Mendukung Sukses Pertanian.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Hal 1-14.
Barzegar, A.R., Yousefi, A. and Daryashenas, A.
2002. The effect of addition of different
amounts and types of organic materials on soil
physical properties and yield of wheat. Plant and
Soil. 247, 295-301.
Darmawijaya, I. 1990. Klasifikasi Tanah, DasarDasar Teori Bagi Penelitian Tanah dan
Pelaksanaan Penelitian. UGM Press. Yogyakarta.
Frederickson, J., Butt, K.R., Morris, R.M. and
Danial, C. 1997. Combining vermiculture with
traditional green waste composting systems. Soil
Biology and Biochemistry 29 (3-4), 725-730.
Goenadi, D.H. 2006. Pupuk dan Teknologi
Pemupukan Berbasis Hayati dari Cawan Petri ke
Lahan Petani. Yayasan John Hi-Tech. Idetama.
Jakarta.
Gregorich, E.G., Carter, M.R., Angers, D.A.,
Monreal, C.M. and Ellert, B.H. 1994. Towards a
minimum data set to assess soil organic matter
quality in agricultural soils. Canadian Journal of
Soil Science 74, 367–385.
Hairiah, K., Sardjono, M. dan Sabarnurdin, S. 2000.
Pengantar Agroforestri. World Agroforestry
Centre (ICRAF) South Asia. Bogor.
Hartatik, W. dan Widowati, L.R. 2006. Pupuk
Kandang. Hal 59-82. dalam R. D. M.
Simanungkalit, D. A. Suriadikarta, R. Saraswati,
D. Setyorini, dan W. Hartatik (Eds.). Pupuk
Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Litbang
Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
117
Jurnal Tanah dan Sumberdaya Lahan Vol 2 No 1: 111-117, 2015
Hasibuan, B.E. 2006. Ilmu Tanah. USU Perss.
Medan.
Helmi. 2009. Perubahan beberapa sifat fisika
regosol dan hasil kacang tanah akibat pemberian
bahan organik dan pupuk fosfat. Jurnal Sains
Riset 1 (18), 1-9.
Jusmaliani. 2008. Bencana dalam Pandangan Islam.
LIPI. Jakarta.
Lestari, A.P. 2009. Pengembangan pertanian
berkelanjutan melalui subtitusi pupuk anorganik
dengan pupuk organik. Jurnal Agronomi 13 (1),
38-43.
Li, Z., Zhan, Y. and Singh, B. 2007. Soil physical
properties and their relations to organic carbon
pools as affected by land use in an alpine land.
Pasture 139, 98-105.
Madjid, A. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan
Ajar Online. Fakultas Pertanian Unsri.
http://dasar2ilmutanah.blogspot.com. Diakses
pada Tanggal 27 September 2014.
Mullat, T. 2003. Membuat dan Memanfaatkan
Kascing, Pupuk Organik Berkualitas. Agromedia
Pustaka. Jakarta.
Neuhauser, E.F., Loehr, R.C. and Malecki, M.R.
1998. The Potentialof Earthworms for
Managing Sewage Sludge. In: C. A. Edwards, E.
F. Nauhauser (Eds.), Earthworms in Waste and
Environmental Management. SPB Academic
Publishing. The Hague. Hal 9-20.
http://jtsl.ub.ac.id
Pramana, N. F. 2014. Kajian Populasi Cacing Tanah
pada Plot Kebun Kopi Robusta (Coffea Robusta)
dengan Perlakuan Jenis Pupuk Organik.
Universitas Brawijaya. Malang.
Price,
J.S.
1988.
Development
of
A
Vermicomposting System. Agricultural Waste
Management and Environmental Protection. In:
Proceedings of the 4th CIEC (International
Scientific Centre of Fertilisers) Symposium Held
in Braunschweig. German Federal Republic. 1
(3): 293-300.
Suprayogo, D., Widianto, Pratiknyo, P., Rudy,
H.W., Fisa, R., Zulva, Z.A., Ni’matul, K., dan
Kusuma, Z. 2004. Degradasi sifat fisik tanah
sebagai akibat alih guna lahan hutan menjadi
sistem kopi monokultur: kajian perubahan
makroporositas tanah. Agrivita 26 (1), 60-68.
Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik.
Kanisius. Yogyakarta.
Sutrisno, E. dan Zaman, B. 2007. Studi pengaruh
pencampuran sampah domestik, sekam padi,
dan ampas tebu dengan metode MacDonald
terhadap kematangan kompos.. Jurnal Presipitasi
2 (1), 2-3.
Tan, K. 1991. Dasar-Dasar Kimia Tanah. Gajah
Mada University Press. Yogyakarta.
Utomo, W. H. 1985. Dasar-Dasar Fisika Tanah.
Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Universitas
Brawijaya. Malang.
118
halaman ini sengaja dikosongkan
http://jtsl.ub.ac.id
Download