111 Jurnal Tanah dan Sumberdaya Lahan Vol 2 No 1: 111-117, 2015 KAJIAN KEMANTAPAN AGREGAT TANAH PADA PEMBERIAN BEBERAPA JENIS BAHAN ORGANIK DI PERKEBUNAN KOPI ROBUSTA Budy Satya Utomo, Yulia Nuraini, Widianto* Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya * penulis korespondensi: [email protected] Abstract Forest conversion for plantation and the continuous fertilizer usage without organic materials has potentials to produce soil damage with the soil compaction. One of efforts to improve sustainable land productivity is by applying organic materials. The use of organic materials of vermicompost, fruit peel fertilizer, and cow manure in long term is expected to be able to improve the physical properties of soil at the robusta coffee plantation (Coffea canephora Pierre). The research was conducted at robusta coffee plantation of PT Perkebunan Nusantara XII (Persero), Bangelan Village, Wonosari District, Malang Regency. The research used factorial random design of nested pattern with 2 factors: (1) organic material treatment (control, vermicompost, coffee fruit peel fertilizer, and cow manure), (2) the soil depth level (0-10 cm, 10-20 cm, and 20-30 cm. The results showed that application of vermicompos improved higher organic matter than the application of coffee peel fertilizer, cow manure in depth of 0-10 cm. The application of various organic materials did not improve the organic materials of soil in depth of 10-20 and 20-30 cm. The application of vermicompost, coffee peel fertilizer and cow manure improved aggregate stability than without the application of organic material (NPK). Organic materials had a positive relation with soil aggregate stability in depth of 0-10 cm (r = 61%), so the higher organic material content, the higher soil aggregate stability, while in depth of 10-20 cm and 20-30 cm there was no significant relationship. Keywords : coffee fruit peel fertilizers, cow manure, soil aggregate stability, vermicompost Pendahuluan Peralihan fungsi hutan untuk perluasan areal pertanian dan perkebunan mengakibatkan kerusakan hutan dan berpotensi terjadinya kerusakan tanah. Alih fungsi lahan umumnya digunakan untuk areal perkebunan seperti perkebunan tanaman kopi secara monokultur (Jusmaliani, 2008). Li et al. (2007), menyatakan bahwa budidaya secara monokultur memiliki dampak negatif pada sifat struktur tanah dan kapasitas menahan air, yang erat kaitannya dengan rendahnya kandungan C organik tanah. Perubahan hutan menjadi perkebunan juga terjadi di PT. Perkebunan Nusantara XII (Persero) Desa Bangelan, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang. PT. Perkebunan Nusantara XII (Persero) merupakan perusahaan perkebunan yang membudidayakan dan mengelola kopi robusta dimana memulai http://jtsl.ub.ac.id pembukaan lahan hutan dengan cara tebang bakar dan pembersihan permukaan tanah yang dilakukan oleh perusahaan Belanda pada tahun 1935. Kegiatan alih fungsi lahan dengan cara tebang bakar tersebut diduga sebagai penyebab menurunnya kualitas lahan, hal ini dikarenakan pembakaran kayu dan ranting sisa pembukaan lahan dapat mempercepat proses pencucian dan pemiskinan tanah sehingga berdampak pada pemadatan tanah dengan rusaknya struktur tanah baik di lapisan atas maupun lapisan bawah. Kerusakan struktur tanah diawali dengan penurunan kestabilan agregat tanah sebagai akibat dari pukulan air hujan dan kekuatan limpasan permukaan (Suprayogo et al., 2004). Disamping itu, pengelolaan tanaman kopi di PT. Perkebunan Nusantara XII (Persero) 112 Jurnal Tanah dan Sumberdaya Lahan Vol 2 No 1: 111-117, 2015 dengan menggunakan pupuk anorganik berupa NPK secara terus menerus selama 45 tahun juga dapat berpotensi mengakibatkan kerusakan tanah. Hal ini sesuai dengan Lestari (2009), yang menyebutkan bahwa penggunaan pupuk nitrogen (ammonium sulfat dan sulfur coated urea) secara terus menerus selama 20 tahun dapat menyebabkan pemasaman tanah dan menurunnya populasi cacing secara drastis, selain itu dosis pupuk yang berlebihan dapat mengakibatkan kerusakan dan kematian tanaman serta dapat mengakibatkan pencemaran dan kerusakan lingkungan yang meliputi kerusakan tanah (Lestari, 2009). Guna meningkatkan produktifitas lahan secara berkelanjutan, perkebunan kopi PT. Perkebunan Nusantara XII melakukan beberapa pengelolaan terpadu salah satunya dengan pengembalian atau pemberian bahan organik untuk memulihkan kembali status hara dalam tanah. Bahan organik tanah sangat penting dalam mempertahankan stabilitas struktur tanah, membantu infiltrasi udara dan air, mempromosikan air retensi, dan mengurangi erosi (Gregorich et al., 1994). Hal ini sejalan dengan Goenadi (2006), yang menyebutkan bahwa bahan organik berpengaruh terhadap sifat fisik tanah yaitu dapat meningkatkan stabilitas agregat tanah, sehingga menciptakan struktur tanah yang mantap dan ideal bagi pertumbuhan tanaman yang berakibat pada tingkat porositas yang baik dan mengurangi tingkat kepadatan tanah. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa vermikompos dari sampah organik mempercepat stabilisasi bahan organik (Neuhauser et al., 1998; Frederickson et al., 1997) dan zat humat stabil. Keunggulan vermikompos adalah menyediakan hara N, P, K, Ca, Mg dalam jumlah yang seimbang dan tersedia, meningkatkan kandungan bahan organik, dan meningkatkan kemampuan tanah mengikat agregat tanah (Sutanto, 2002). Vermikompos merupakan pupuk organik yang dihasilkan dari proses perombakan bahan organik dengan memanfaatkan aktivitas cacing tanah (Madjid, 2007). Sejumlah sumber menyebutkan bahwa cacing tanah berpotensi pada proses vermikompos sampah, terutama sampah rumah tangga (Appelholf et al., 1998). Sistem vermikompos memberikan stabilitas dan mengontrol suhu, kelembaban dan aerasi (Price, 1988). Sumber bahan organik lainnya http://jtsl.ub.ac.id yang berpotensi di perkebunan ini adalah pupuk kulit buah kopi dan pupuk kandang sapi. Pupuk kulit buah kopi merupakan limbah pengolahan buah kopi yang dapat digunakan sebagai kompos. Menurut Sutrisno dan Zaman (2007), bahwa kompos kulit kopi berperan dalam memperbaiki struktur tanah, meningkatkan daya serap tanah terhadap air, meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah. Bahan organik lainnya yang digunakan adalah pupuk kandang sapi. Pupuk kandang sapi memiliki beberapa kelebihan yaitu dapat memperbaiki struktur tanah, sebagai sumber hara nitrogen, fosfor dan klium yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman, meningkatkan daya menahan air, dan banyak mengandung mikroorganisme (Hartatik dan Widowati, 2006). Untuk mengetahui sebaran bahan organik tanah tersebut, maka dilakukan pengambilan sampel pada plot yang berbeda. Bahan organik yang digunakan oleh perkebunan kopi tersebut terdiri dari vermikompos, pupuk kulit buah kopi, dan pupuk kandang sapi. Aplikasi pemberian bahan organik yang dilakukan di perkebunan kopi tersebut diharapkan mampu menyediakan bahan organik yang cukup dalam mempertahankan kualitas tanah. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian ini guna mengetahui pengaruh bahan organik berupa vermikompos, pupuk kulit kopi dan pupuk kandang sapi terhadap kemantapan agregat tanah. Bahan dan Metode Penelitian dilaksanakan pada bulan bulan Maret – April 2014 di kebun kopi robusta milik PT. Perkebunan Nusantara XII (Persero), Desa Bangelan, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang dan di Laboratorium Fisika dan Kimia Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Malang. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik survei dengan memilih secara acak 3 pohon kopi yang memiliki kerapatan kanopi dan tinggi pohon yang kurang lebih sama, serta kemiringan lahan sekitar 3-6% pada tiap plot yang telah diaplikasikan beberapa jenis bahan organik selama ± 10 tahun (plot vermikompos, pupuk kulit buah kopi, pupuk kandang sapi, dan tanpa bahan organik), kemudian dilakukan 113 Jurnal Tanah dan Sumberdaya Lahan Vol 2 No 1: 111-117, 2015 pengambilan contoh tanah pada tiga kedalaman tanah (0-10 cm, 10-20 cm, dan 20-30 cm). Parameter kesuburan tanah yang dilakukan meliputi kemantapan agregat, berat isi, dan kandungan bahan organik tanah. Rancangan penelitian yang digunakan yaitu rancangan acak kelompok faktorial pola tersarang, dengan 2 faktor : (1) plot penggunaan jenis pupuk, meliputi plot tanpa bahan organik sebagai kontrol (P0), vermikompos (P1), pupuk kulit buah kopi (P2), dan pupuk kandang sapi (P3), (2) tingkat kedalaman tanah, meliputi kedalaman 0-10 cm (K1), 10-20 cm (K2), dan 20-30 cm (K3). Masing- masing faktor diulang sebanyak 3 kali. Analisis data yang digunakan adalah analisis sidik ragam, dimana jika F hitung lebih besar dari F tabel maka faktor berpengaruh nyata. Perlakuan yang berpengaruh nyata dianalisis lebih lanjut menggunakan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) taraf 5% untuk mengetahui perlakuan terbaik. Selain itu, untuk mengetahui hubungan antar variable dilakukan analisis korelasi. Jika hubungannya nyata (p<0,05) maka dilanjutkan dengan analisis regresi. Gambar 1. Sebaran rata-rata kandungan bahan organik tanah pada tiap plot penggunaan jenis pupuk di perkebunan kopi robusta Keterangan :Histogram yang didampingi huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT 5%. P0 : plot tanpa bahan organik, P1 : plot vermikompos, P2 : plot pupuk kulit buah kopi, dan P3 : plot pupuk kandang sapi. K1 : kedalaman tanah 0-10 cm, K2 : kedalaman tanah 10-20 cm, dan K3 : kedalaman tanah 20-30 cm. Rasio C/N Hasil rasio C/N disajikan pada Gambar 2, yang menunjukkan bahwa vermikompos memiliki nilai C/N yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan pupuk kulit buah kopi dan pupuk kandang sapi. Hasil dan Pembahasan Kandungan Bahan Organik Tanah Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi penggunaan jenis pupuk dan kedalaman tanah berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kandungan bahan organik tanah. Gambar 1 menunjukkan bahwa pemberian bahan organik selama ± 10 tahun mengakibatkan kandungan bahan organik tanah pada kedalaman 0-10 cm lebih tinggi dibandingkan tanpa pemberian bahan organik. Namun, pemberian bahan organik tidak memberikan pengaruh terhadap kandungan bahan organik tanah di kedalaman 10-20 dan 20-30 cm. Pada berbagai pemberian bahan organik, vermikompos memiliki kandungan bahan organik tanah yang lebih tinggi dibandingkan pupuk kulit buah kopi dan pupuk kandang sapi di kedalaman 0-10 cm. Hal ini sesuai dengan Badan Litbang Pertanian (2011) yang menyebutkan bahwa kandungan bahan organik kotoran cacing tanah mencapai dua kali lebih tinggi untuk lapisan 0-10 cm dibanding tanah disekitarnya. http://jtsl.ub.ac.id Gambar 2. Sebaran rata-rata rasio C/N tanah pada tiap plot penggunaan jenis pupuk di perkebunan kopi robusta Keterangan :P1 : plot vermikompos, P2 : plot pupuk kulit buah kopi, dan P3 : plot pupuk kandang sapi. Vermikompos memiliki C/N yang rendah yaitu 10,05, menurut Hasibuan (2006), C/N dikatakan rendah apabila berkisar pada 10-12, sedangkan C/N dikatakan tinggi apabila nilai C/N lebih besar dari 15. Tinggi rendahnya C/N yang dihasilkan akan berpengaruh terhadap proses dekomposisi. Menurut Hairiah et al., (2000), bahwa kecepatan pelapukan atau 114 Jurnal Tanah dan Sumberdaya Lahan Vol 2 No 1: 111-117, 2015 dekomposisi bahan organik tergantung perbandingan karbon dan nitrogen dari bahan tersebut. Bahan yang memiliki C/N kecil akan mengalami proses pelapukan yang lebih cepat bila dibanding bahan organik yang memiliki C/N rasio lebih besar. Hal ini menyebabkan perlakuan vermikompos lebih cepat mengalami proses dekomposisi. Berat Isi Tanah Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian jenis pupuk berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap berat isi tanah. Gambar 3. Sebaran rata-rata berat isi tanah pada tiap plot penggunaan jenis pupuk di perkebunan kopi robusta Keterangan : Histogram yang didampingi huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT 5%. P0 : plot tanpa bahan organik, P1 : plot vermikompos, P2 : plot pupuk kulit buah kopi, dan P3 : plot pupuk kandang sapi. Pemberian bahan organik selama ± 10 tahun dapat menurunkan berat isi tanah. Dari Gambar 3 menunjukkan bahwa perlakuan tanpa pemberian bahan organik mengakibatkan berat isi tanah lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian bahan organik. Berat isi tanah yang tinggi pada perlakuan tanpa pemberian bahan organik dikarenakan kurangnya penambahan bahan organik ke dalam tanah, akibatnya persentase berat isi tanah lebih tinggi daripada tanah yang diberikan perlakuan pemberian vermikompos, pupuk kulit buah kopi dan pupuk kandang sapi. Kedalaman tanah menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap berat isi tanah. Secara umum pada semua plot perlakuan semakin dalam lapisan tanah maka berat isi tanah semakin besar (0-30 cm). http://jtsl.ub.ac.id Gambar 4. Sebaran rata-rata berat isi tanah pada kedalaman tanah tiap plot penggunaan jenis pupuk di perkebunan kopi robusta Keterangan :Histogram yang didampingi huruf yang berbeda terdapat perbedaan nyata menurut uji BNT 5%. K1 : kedalaman tanah 0-10 cm, K2 : kedalaman tanah 10-20 cm, dan K3 : kedalaman tanah 20-30 cm. Berat isi tanah pada kedalaman 0-10 cm lebih rendah dibandingkan kedalaman dibawahnya (10-20 cm dan 20-30 cm). Hal ini disebabkan kandungan bahan organik tanah yang lebih tinggi banyak terakumulasi pada lapisan atas tanah (0-10 cm) daripada lapisan bawah (10-20 cm dan 20-30 cm). Menurut Barzegar et al., (2002), bahwa bahan organik berperan dalam memperbaiki berat isi tanah pada lapisan olah (0-10 cm). Kemantapan Agregat Tanah Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian jenis pupuk berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kemantapan agregat tanah. Gambar 5. Sebaran rata-rata kemantapan agregat tanah pada tiap plot penggunaan jenis pupuk di perkebunan kopi robusta Keterangan :Histogram yang didampingi huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT 5%. P0 : plot tanpa bahan organik, P1 : plot vermikompos, P2 : plot pupuk kulit buah kopi, dan P3 : plot pupuk kandang sapi. 115 Jurnal Tanah dan Sumberdaya Lahan Vol 2 No 1: 111-117, 2015 Berdasarkan Gambar 5 menunjukkan bahwa pemberian bahan organik mengakibatkan kemantapan agregat lebih tinggi dibandingkan tanpa pemberian bahan organik, sehingga pemberian bahan organik selama ± 10 tahun dapat meningkatkan kemantapan agregat. Bahan organik yang bersifat agak plastis mampu menjadikan struktur tanah dan agregat tanah lebih mantap dan perbaikan porositas tanah dengan menurunkan berat isi tanah, meningkatnya nilai porositas tanah, indeks stabilitas agregat dan agregasi tanah (Helmi, 2009). Bahan organik akan meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah dan akan menciptakan struktur tanah yang lebih baik sehingga akan menciptakan agregat-agregat yang stabil (Utomo, 1985). Kedalaman tanah menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kemantapan agregat. Pada berbagai perlakuan, kemantapan agregat menunjukkan semakin rendah dengan bertambahnya kedalaman tanah (0-30 cm). Kemantapan agregat pada kedalaman 0-10 cm lebih tinggi dibandingkan kedalaman 10-20 cm dan 20-30 cm. Gambar 6. Sebaran rata-rata kemantapan agregat tanah pada kedalaman tanah tiap plot penggunaan jenis pupuk di perkebunan kopi robusta Keterangan :Histogram yang didampingi huruf yang berbeda terdapat perbedaan nyata menurut uji BNT 5%. K1 : kedalaman tanah 0-10 cm, K2 : kedalaman tanah 10-20 cm, dan K3 : kedalaman tanah 20-30 cm. Rendahnya kemantapan agregat pada lapisan bawah daripada lapisan atas disebabkan kandungan bahan organik tanah yang lebih tinggi banyak terakumulasi pada lapisan atas (010 cm) daripada lapisan bawah (10-20 cm dan 20-30 cm). Semakin ke bawah maka kandungan http://jtsl.ub.ac.id bahan organik tanah akan semakin berkurang (Darmawijaya, 1990). Pembahasan Umum Pemberian bahan organik mampu menurunkan berat isi tanah. Hal ini dapat dilihat dari nilai berat isi tanah pada pemberian bahan organik lebih rendah apabila dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemberian bahan organik (Gambar 3). Tanah dengan kandungan bahan organik rendah memiliki berat isi tanah yang tinggi (Utomo, 1985). Hasil penelitian menunjukkan bahwa meningkatnya kandungan bahan organik tanah akan diikuti oleh penurunan berat isi tanah terutama pada kedalaman 0-10 cm sedangkan pada kedalaman 10-20 cm dan 20-30 cm tidak menunjukkan penurunan berat isi tanah yang signifikan karena aplikasi pemupukan hanya dilakukan pada permukaan tanah. Pemberian bahan organik menunjukkan hasil yang lebih baik terhadap kandungan bahan organik tanah, berat isi tanah, dan kemantapan agregat apabila dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemberian bahan organik (Gambar 1, 3, dan 5). Semakin tinggi bahan organik berdampak terhadap penurunan berat isi tanah dan peningkatan kemantapan agregat. Tanah dengan bahan organik rendah menyebabkan peningkatan berat isi tanah sehingga menurunkan porositas tanah, stabilitas agregat dan kadar air kapasitas lapang (Li et al., 2007). Hasil pengukuran kemantapan agregat pada berbagai perlakuan menunjukkan bahwa peningkatan bahan organik tanah akan meningkatkan kemantapan agregat terutama pada kedalaman 0-10 cm apabila dibandingkan pada kedalaman 10-30 cm, seperti halnya penurunan berat isi tanah. Berdasarkan Gambar 7 dapat diketahui bahwa pemberian vermikompos memiliki kemantapan agregat yang tinggi, karena vermikompos memiliki kandungan bahan organik tanah yang tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain. Vermikompos dihasilkan dari proses perombakan bahan organik dengan bantuan aktivitas cacing tanah (Mullat, 2003). Oleh karena itu, vermikompos memiliki kandungan bahan organik tanah yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pramana (2014) bahwa pada perlakuan 116 Jurnal Tanah dan Sumberdaya Lahan Vol 2 No 1: 111-117, 2015 vermikompos memiliki populasi cacing yang tinggi. Tanah dengan kandungan bahan organik dan populasi cacing yang tinggi berpengaruh terhadap berat isi dan kemantapan agregat tanah, sehingga pada perlakuan vermikompos memiliki berat isi dan kemantapan agregat tanah yang paling baik dibandingkan dengan perlakuan lainnya. (a) Kesimpulan Pemberian vermikompos mengakibatkan kandungan bahan organik tanah lebih tinggi dibandingkan pemberian pupuk kulit buah kopi, dan pupuk kandang sapi di kedalaman 010 cm. Sementara itu, pemberian beberapa jenis bahan organik tersebut tidak memberikan pengaruh terhadap kandungan bahan organik tanah di kedalaman 10-20 dan 20-30 cm. Pemberian vermikompos, pupuk kulit buah kopi, dan pupuk kandang sapi mengakibatkan agregat tanah lebih mantap dibandingkan tanpa pemberian bahan organik (NPK). Daftar Pustaka (b) (c) Gambar 7. Grafik sebaran antara bahan organik tanah dengan kemantapan agregat tanah pada berbagai kedalaman Keterangan :P0 : plot tanpa bahan organik, P1 : plot vermikompos, P2 : plot pupuk kulit buah kopi, dan P3 : plot pupuk kandang sapi. Selain kandungan bahan organik tanah, kemantapan agregat dipengaruhi oleh tekstur tanah (fraksi klei). Hal ini sesuai dengan pernyataan Tan (1991), yang menyebutkan bahwa bahan organik dan fraksi klei merupakan zat yang merekatkan partikelpartikel tanah sehingga membentuk agregat yang mantap. Hasil penelitian diketahui bahwa terdapat korelasi positif (r = 66%) antara fraksi klei dengan kemantapan agregat. http://jtsl.ub.ac.id Appelholf, M., Edwards, C.A. and Neuhauser, E.F. 1998. Domestic vermicomposting systems earthworm. Waste Environmental Managemenet 5, 157-161. Badan Litbang Pertanian. 2011. Inovasi Sumber Daya Lahan Mendukung Sukses Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal 1-14. Barzegar, A.R., Yousefi, A. and Daryashenas, A. 2002. The effect of addition of different amounts and types of organic materials on soil physical properties and yield of wheat. Plant and Soil. 247, 295-301. Darmawijaya, I. 1990. Klasifikasi Tanah, DasarDasar Teori Bagi Penelitian Tanah dan Pelaksanaan Penelitian. UGM Press. Yogyakarta. Frederickson, J., Butt, K.R., Morris, R.M. and Danial, C. 1997. Combining vermiculture with traditional green waste composting systems. Soil Biology and Biochemistry 29 (3-4), 725-730. Goenadi, D.H. 2006. Pupuk dan Teknologi Pemupukan Berbasis Hayati dari Cawan Petri ke Lahan Petani. Yayasan John Hi-Tech. Idetama. Jakarta. Gregorich, E.G., Carter, M.R., Angers, D.A., Monreal, C.M. and Ellert, B.H. 1994. Towards a minimum data set to assess soil organic matter quality in agricultural soils. Canadian Journal of Soil Science 74, 367–385. Hairiah, K., Sardjono, M. dan Sabarnurdin, S. 2000. Pengantar Agroforestri. World Agroforestry Centre (ICRAF) South Asia. Bogor. Hartatik, W. dan Widowati, L.R. 2006. Pupuk Kandang. Hal 59-82. dalam R. D. M. Simanungkalit, D. A. Suriadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini, dan W. Hartatik (Eds.). Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. 117 Jurnal Tanah dan Sumberdaya Lahan Vol 2 No 1: 111-117, 2015 Hasibuan, B.E. 2006. Ilmu Tanah. USU Perss. Medan. Helmi. 2009. Perubahan beberapa sifat fisika regosol dan hasil kacang tanah akibat pemberian bahan organik dan pupuk fosfat. Jurnal Sains Riset 1 (18), 1-9. Jusmaliani. 2008. Bencana dalam Pandangan Islam. LIPI. Jakarta. Lestari, A.P. 2009. Pengembangan pertanian berkelanjutan melalui subtitusi pupuk anorganik dengan pupuk organik. Jurnal Agronomi 13 (1), 38-43. Li, Z., Zhan, Y. and Singh, B. 2007. Soil physical properties and their relations to organic carbon pools as affected by land use in an alpine land. Pasture 139, 98-105. Madjid, A. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online. Fakultas Pertanian Unsri. http://dasar2ilmutanah.blogspot.com. Diakses pada Tanggal 27 September 2014. Mullat, T. 2003. Membuat dan Memanfaatkan Kascing, Pupuk Organik Berkualitas. Agromedia Pustaka. Jakarta. Neuhauser, E.F., Loehr, R.C. and Malecki, M.R. 1998. The Potentialof Earthworms for Managing Sewage Sludge. In: C. A. Edwards, E. F. Nauhauser (Eds.), Earthworms in Waste and Environmental Management. SPB Academic Publishing. The Hague. Hal 9-20. http://jtsl.ub.ac.id Pramana, N. F. 2014. Kajian Populasi Cacing Tanah pada Plot Kebun Kopi Robusta (Coffea Robusta) dengan Perlakuan Jenis Pupuk Organik. Universitas Brawijaya. Malang. Price, J.S. 1988. Development of A Vermicomposting System. Agricultural Waste Management and Environmental Protection. In: Proceedings of the 4th CIEC (International Scientific Centre of Fertilisers) Symposium Held in Braunschweig. German Federal Republic. 1 (3): 293-300. Suprayogo, D., Widianto, Pratiknyo, P., Rudy, H.W., Fisa, R., Zulva, Z.A., Ni’matul, K., dan Kusuma, Z. 2004. Degradasi sifat fisik tanah sebagai akibat alih guna lahan hutan menjadi sistem kopi monokultur: kajian perubahan makroporositas tanah. Agrivita 26 (1), 60-68. Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Kanisius. Yogyakarta. Sutrisno, E. dan Zaman, B. 2007. Studi pengaruh pencampuran sampah domestik, sekam padi, dan ampas tebu dengan metode MacDonald terhadap kematangan kompos.. Jurnal Presipitasi 2 (1), 2-3. Tan, K. 1991. Dasar-Dasar Kimia Tanah. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Utomo, W. H. 1985. Dasar-Dasar Fisika Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang. 118 halaman ini sengaja dikosongkan http://jtsl.ub.ac.id